LIRA Sulteng: Suara Rakyat Desa Matarape Harus Didengar, Investasi Wajib Bawa Kesejahteraan

83 Views

PALU – Ketua Dewan Pertimbangan Lumbung Informasi Rakyat (LIRA) Provinsi Sulawesi Tengah Hj. Arnila Hi. Moh. Ali angkat bicara menyoal memanasnya situasi antara warga Desa Matarape, Kabupaten Morowali, dengan pihak PT Kacci Purnama Indah (PT KPI).

Pihaknya menyampaikan keprihatinan atas ketegangan yang terjadi di lapangan, sekaligus mengapresiasi langkah damai masyarakat dalam menyampaikan aspirasi melalui pendirian posko perjuangan.

“Kami menyikapi informasi bahwa masyarakat Desa Matarape protes terhadap aktivitas hauling dan pemuatan ore nikel oleh PT KPI yang dinilai telah berdampak langsung pada lingkungan, kesehatan, dan produktivitas pertanian warga,” tegas sosok yang akrab disapa Hj. Cica pada Sabtu (14/6/2025) di Palu.

Menurut Ketua Komisi III DPRD Sulteng ini, persoalan ini harus segera ditanggapi secara serius oleh pihak perusahaan maupun pemerintah daerah.

Setiap kegiatan investasi memang penting untuk pembangunan daerah, namun tidak boleh mengorbankan kesejahteraan dan kenyamanan hidup masyarakat setempat.

Ia menilai, dampak lingkungan akibat operasional PT KPI, seperti polusi, kebisingan, dan penurunan produktivitas lahan pertanian, perlu segera dievaluasi.

Pembangunan jety dan jalan hauling mungkin secara legal telah memiliki izin, tetapi bukan berarti bebas dari tanggung jawab sosial dan lingkungan.

“Dari itu, perlu adanya kajian sosial secara menyeluruh untuk mengukur dampak nyata terhadap masyarakat, agar ada keadilan ekologis dan ekonomi di lingkar tambang,” imbuhnya.

Hj. Cica juga menyoroti tuntutan warga terkait kompensasi sebesar Rp10 juta per tongkang sebagai bentuk penghargaan terhadap dampak langsung yang ditanggung masyarakat.

Ia menyebut permintaan tersebut sebagai bentuk aspirasi realistis yang patut difasilitasi melalui dialog terbuka antara masyarakat dan pihak perusahaan.

“Saya minta PT KPI tidak menghindar dari persoalan ini. Datangi masyarakat, buka ruang dialog, dan hadirkan solusi bersama yang menguntungkan semua pihak,” kata Hj. Cica.

Tegasnya lagi, jangan tunggu hingga konflik membesar dan menciptakan ketidakstabilan sosial.

Ia pun mendukung penuh langkah Himpunan Pelajar Mahasiswa Matarape (HIPPMAT) yang secara kelembagaan menyatakan diri mengawal perjuangan masyarakat.

Hj. Cica menyebut peran generasi muda sangat strategis dalam memastikan proses pembangunan tetap berada dalam rel keadilan sosial dan lingkungan.

“Saya mengapresiasi sikap adik-adik mahasiswa dari HIPPMAT yang berdiri bersama rakyat. Itu menunjukkan kesadaran kritis yang tinggi dan rasa cinta terhadap kampung halaman,” ujarnya.

Menutup pernyataannya, Hj. Cica menyatakan bahwa LIRA Sulteng dan Komisi III DPRD Provinsi Sulawesi Tengah akan mencermati dan menindaklanjuti perkembangan situasi di lapangan.

Sekaligus mendorong semua pihak untuk menyelesaikan persoalan ini dengan bijak dan manusiawi.***

Ketua Komisi III DPRD Sulteng Desak PT KPI Segera Dialog dengan Warga Matarape, Suara Rakyat Harus Didengar

532 Views

PALU – Memanasnya situasi antara warga Desa Matarape, Kabupaten Morowali, dengan pihak PT Kacci Purnama Indah (PT KPI) dalam dua hari terakhir, membuat Ketua Komisi III DPRD Provinsi Sulawesi Tengah, Hj. Arnila Hi. Moh. Ali angkat bicara.

Sebagai wakil rakyat, sosok yang akrab disapa Hj. Cica menyampaikan keprihatinan atas ketegangan yang terjadi di lapangan.

Sekaligus mengapresiasi langkah damai masyarakat dalam menyampaikan aspirasi melalui pendirian posko perjuangan.

“Kami menyikapi informasi bahwa masyarakat Desa Matarape protes terhadap aktivitas hauling dan pemuatan ore nikel oleh PT KPI yang dinilai telah berdampak langsung pada lingkungan, kesehatan, dan produktivitas pertanian warga,” tegas Hj. Cica pada Sabtu (14/6/2025) di Palu.

Menurut Anggota Legislatif Dapil Morowali dan Morowali Utara ini, persoalan ini harus segera ditanggapi secara serius oleh pihak perusahaan maupun pemerintah daerah.

Setiap kegiatan investasi memang penting untuk pembangunan daerah, namun tidak boleh mengorbankan kesejahteraan dan kenyamanan hidup masyarakat setempat.

Ia menilai, dampak lingkungan akibat operasional PT KPI, seperti polusi, kebisingan, dan penurunan produktivitas lahan pertanian, perlu segera dievaluasi.

Pembangunan jety dan jalan hauling mungkin secara legal telah memiliki izin, tetapi bukan berarti bebas dari tanggung jawab sosial dan lingkungan.

“Dari itu, perlu adanya kajian sosial secara menyeluruh untuk mengukur dampak nyata terhadap masyarakat, agar ada keadilan ekologis dan ekonomi di lingkar tambang,” imbuhnya.

Hj. Cica juga menyoroti tuntutan warga terkait kompensasi sebesar Rp10 juta per tongkang sebagai bentuk penghargaan terhadap dampak langsung yang ditanggung masyarakat.

Ia menyebut permintaan tersebut sebagai bentuk aspirasi realistis yang patut difasilitasi melalui dialog terbuka antara masyarakat dan pihak perusahaan.

“Saya minta PT KPI tidak menghindar dari persoalan ini. Datangi masyarakat, buka ruang dialog, dan hadirkan solusi bersama yang menguntungkan semua pihak,” kata Hj. Cica.

Tegasnya lagi, jangan tunggu hingga konflik membesar dan menciptakan ketidakstabilan sosial

Ia pun mendukung penuh langkah Himpunan Pelajar Mahasiswa Matarape (HIPPMAT) yang secara kelembagaan menyatakan diri mengawal perjuangan masyarakat.

Hj. Cica menyebut peran generasi muda sangat strategis dalam memastikan proses pembangunan tetap berada dalam rel keadilan sosial dan lingkungan.

“Saya mengapresiasi sikap adik-adik mahasiswa dari HIPPMAT yang berdiri bersama rakyat. Itu menunjukkan kesadaran kritis yang tinggi dan rasa cinta terhadap kampung halaman,” ujarnya.

Menutup pernyataannya, Hj. Cica menyatakan bahwa Komisi III DPRD Provinsi Sulawesi Tengah akan mencermati dan menindaklanjuti perkembangan situasi di lapangan.

Sekaligus mendorong semua pihak untuk menyelesaikan persoalan ini dengan bijak dan manusiawi.***

FINIS di MA, KPU Banggai 3 Kali Kalah Lawan Tim Hukum Jati Centre

69 Views

JATI CENTRE — Perjuangan hukum Moh. Sugianto M. Adjadar (akrab dipanggil Gogo) akhirnya mencapai titik akhir. Mahkamah Agung melalui putusan kasasi bernomor 238 K/TUN/2025, resmi menolak permohonan kasasi yang diajukan oleh KPU Banggai.

Lembaga penyelenggara pemilu di tingkat kabupaten itu dinyatakan kalah untuk ketiga kalinya secara beruntun dalam proses peradilan yang berlangsung sejak 2024 lalu.

Dalam amar putusannya tertanggal Jumat, 23 Mei 2025, Mahkamah Agung menyatakan bahwa KPU Banggai terbukti melanggar prosedur hukum administrasi ketika menerbitkan Keputusan Nomor 23 Tahun 2024 yang memberikan sanksi kepada Sugianto Adjadar sebagai anggota Panitia Pemilihan Kecamatan (PPK) Batui.

Sugianto dianggap tidak terbukti melakukan pelanggaran etik atau administratif sebagaimana dituduhkan.

Gugatan Dimenangkan di Tiga Tingkat Peradilan

Sengketa ini bermula dari keputusan KPU Banggai tertanggal 16 April 2024 yang mencopot Sugianto dari jabatannya sebagai anggota PPK Batui. Pencopotan tersebut berdasar pada keterangan Sugianto saat menjadi saksi di Badan Pengawas Pemilu Kabupaten Banggai.

Namun, menurut tim hukum Sugianto dari Jati Centre, tindakan KPU tersebut cacat hukum karena tidak melalui proses klarifikasi yang semestinya dan langsung menjatuhkan sanksi tanpa memberikan ruang pembelaan.

Sugianto pun mengajukan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Palu. Dalam putusan pada 9 Oktober 2024, PTUN Palu mengabulkan seluruh gugatan dan memerintahkan KPU Banggai untuk mencabut keputusan tersebut.

KPU kemudian mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PTTUN) Makassar, namun kembali kalah. Putusan PTTUN pada 12 Desember 2024 memperkuat keputusan PTUN Palu.

Tak berhenti di situ, KPU Banggai mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung. Namun, upaya hukum tertinggi itu pun berakhir dengan kekalahan ketiga.

MA menilai bahwa semua pertimbangan pengadilan tingkat pertama dan banding sudah sesuai hukum dan tidak ada kesalahan dalam penerapan aturan.

Putusan MA: Pelanggaran Asas Pemerintahan yang Baik

Mahkamah Agung secara tegas menyebutkan bahwa keputusan KPU Banggai telah melanggar asas-asas umum pemerintahan yang baik, khususnya asas kecermatan.

Serta bertentangan dengan Pasal 7 ayat (2) huruf f Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan dan Pasal 107 ayat (2) Peraturan KPU Nomor 3 Tahun 2020.

Hakim MA menilai bahwa KPU Banggai tidak memberikan kesempatan yang layak kepada Sugianto untuk menyampaikan pembelaan sebelum sanksi dijatuhkan. Tindakan ini dinilai bertentangan dengan prinsip due process of law dan asas perlindungan hak-hak individu dalam administrasi publik.

Selain itu, Mahkamah juga menekankan bahwa Sugianto tidak terbukti melakukan pelanggaran kode etik penyelenggara pemilu sebagaimana diatur dalam Peraturan DKPP Nomor 2 Tahun 2017.

Kesaksian yang ia sampaikan di Bawaslu dianggap tidak dapat dijadikan dasar untuk menjatuhkan sanksi administratif.

Jati Centre Apresiasi Putusan MA

Pihak kuasa hukum Sugianto dari Jati Centre menyambut gembira keputusan ini. Dalam keterangan tertulisnya, Ruslan Husen menyatakan bahwa keputusan Mahkamah Agung adalah bukti bahwa lembaga peradilan berpihak pada keadilan dan prinsip tata kelola pemerintahan yang bersih.

“Kemenangan ini bukan hanya kemenangan bagi klien kami, tetapi juga bagi seluruh warga yang memperjuangkan haknya secara konstitusional. Proses panjang ini menunjukkan bahwa lembaga penyelenggara pemilu tidak bisa bertindak semena-mena, apalagi terhadap penyelenggara di level bawah,” kata Ruslan.

Ia juga menambahkan bahwa keputusan ini menjadi preseden penting KPU, terutama dalam hal tata kelola sanksi dan evaluasi terhadap penyelenggara pemilu tingkat kecamatan dan desa.

KPU Banggai Diminta Evaluasi Total

Putusan ini memberi pukulan telak bagi KPU Kabupaten Banggai. Selain dinyatakan kalah di tiga tingkat peradilan, lembaga tersebut juga diwajibkan membayar biaya perkara kasasi sebesar Rp500.000.

Lebih dari itu, integritas kelembagaan mereka dipertanyakan publik karena melakukan tindakan administratif yang terbukti melanggar hukum.

Publik pun menyerukan agar KPU Banggai melakukan evaluasi menyeluruh terhadap prosedur pemberian sanksi dan mekanisme pengambilan keputusan internal.

Banyak pihak menilai, jika saja KPU mengikuti prosedur yang benar dan memberi ruang klarifikasi kepada pihak yang bersangkutan, konflik ini tidak perlu terjadi dan menguras waktu, tenaga, serta anggaran negara.

Dengan keluarnya putusan Mahkamah Agung ini, maka tidak ada lagi upaya hukum yang bisa ditempuh oleh KPU Banggai. Putusan ini bersifat final dan mengikat.***

SAH, Dr. Kaharuddin Syah Secara Aklamasi Terpilih sebagai Ketua DPD KAI Provinsi Sulteng

86 Views

JATI CENTRE — Dr. Kaharuddin Syah terpilih sebagai Ketua DPD KAI Sulawesi Tengah untuk periode 2025–2030 dalam Musyawarah Daerah (MUSDA) ke-V Kongres Advokat Indonesia Provinsi Sulawesi Tengah (KAI Sulteng) yang digelar pada Sabtu, 31 Mei 2025, di Palu.

Akademisi Universitas Muhammadiyah Palu ini dalam forum tertinggi DPD KAI Sulteng terpilih secara sah dan aklamatif.

Usai terpilih sebagai Ketua, Dr. Kaharuddin Syah segera menetapkan Aifan sebagai Sekretaris KAI Sulteng yang baru. Keduanya diberikan mandat penuh untuk menyusun struktur kepengurusan dan menyiapkan program kerja strategis yang akan menjadi pedoman organisasi hingga 2030.

“Kami berkomitmen membawa semangat pembaruan, kolaborasi, dan penguatan kapasitas anggota. KAI Sulawesi Tengah harus menjadi rumah bersama bagi advokat yang berintegritas dan menjunjung tinggi etika profesi,” ujar Dr. Kaharuddin dalam pidato perdananya.

Kegiatan yang dihadiri oleh sejumlah pengurus dan anggota Dewan Pimpinan Cabang (DPC) KAI dari berbagai kabupaten dan kota di Sulawesi Tengah ini berlangsung sukses dan penuh semangat kebersamaan.

Selain memilih ketua, MUSDA ke-V ini juga menjadi ajang penting untuk merumuskan arah kebijakan organisasi lima tahun ke depan, serta menegaskan kembali komitmen KAI dalam menjaga profesionalisme, integritas, dan pelayanan hukum yang berkeadilan di wilayah Sulawesi Tengah.

Agenda utama MUSDA mencakup penyampaian laporan pertanggungjawaban pengurus sebelumnya, pembahasan program kerja organisasi, serta pemilihan ketua dan sekretaris baru.

Seluruh proses MUSDA berlangsung secara demokratis dan sesuai dengan AD/ART organisasi.

Proses Demokratis dan Terbuka

MUSDA dibuka secara resmi oleh Wakil Sekretaris Jenderal DPP KAI, Riswanto Lasdin, yang dalam sambutannya menekankan pentingnya soliditas internal dan peningkatan kapasitas advokat sebagai garda terdepan penegakan hukum di Indonesia.

“Musda ini bukan hanya soal memilih ketua. Ini adalah momentum untuk menyatukan langkah, menyusun strategi, dan menyegarkan semangat dalam mewujudkan KAI yang profesional dan responsif terhadap kebutuhan masyarakat,” ujar Riswanto.

Mantan Ketua DPD KAI Sulteng ini juga menekankan profesionalitas, integritas, dan kebersamaan advokat KAI dalam menjalankan profesi penegakan hukum di Indonesia.

MUSDA ke-V ini diikuti oleh seluruh DPC KAI se-Sulawesi Tengah, peserta peninjau, serta tamu undangan dari berbagai unsur, termasuk akademisi, praktisi hukum, dan tokoh masyarakat.

Suasana kegiatan berlangsung kondusif dan produktif, mencerminkan semangat kolektif untuk membangun organisasi yang lebih kuat dan inklusif.

Dengan berakhirnya kegiatan ini, KAI Sulawesi Tengah diharapkan mampu memainkan peran yang lebih signifikan dalam mengawal proses penegakan hukum di daerah, serta menjadi mitra strategis pemerintah dan masyarakat dalam membangun sistem hukum yang adil dan beradab.***

ADUH! 2 Medali Emas Sulteng Beralih Menjadi Milik Riau, Setelah Putusan PN Jakarta Pusat 2025

KONI Sulteng
230 Views

JATI CENTRE – Perjuangan KONI Provinsi Riau, untuk mempertahankan atlet renang Riau, Azzahra Permatahani, akhirnya terpenuhi. Setelah melalui beberapa persidangan yang panjang baik di bidang hukum KONI Pusat dan BAORI, akhirnya diputuskan oleh Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, yang menyatakan Azzahra, resmi dan murni milik Riau.

Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Nomor 481/Pdt.Sus-Arb/2024/PN Jkt.Pst tanggal 3 Februari 2025. Amar putusannya mengabulkan permohonan pemohon dari KONI Riau. Menyatakan putusan arbitrasi BAORI KONI pusat bertentangan dengan Undang-undang RI.

Menyatakan menolak putusan BAORI, dan atlet Azzahra adalah atlet KONI Provinsi Riau, dan bukan atlet Provinsi Sulteng.

Menyatakan tidak sah perpindahan atlet Azzahra Permatahani dari KONI Riau ke KONI Sulawesi Tengah, dikarenakan putusan BAORI belum didaftarkan ke PN Jakarta Pusat, sesuai dengan pasal 59 UU Nomor 30 tahun 1999.

Putusan PN Jakarta Pusat juga memutuskan bahwa 2 medali emas yang diraih oleh atlet renang Azzahra Permatahani, yang semula milik Sulawesi Tengah, menjadi milik KONI Riau. Kemudian, putusan terakhir yang dikeluarkan yakni menghukum termohon untuk membayar perkara sebesar Rp578.000.

Ketua umum KONI Riau, Iskandar Hoesin, bersyukur keluarnya hasil keputusan PN Jakarta Pusat. Perjuangan yang telah dilalui tim hukum KONI Riau akhirnya membuahkan hasil. Mulai saat menghadiri pertemuan KONI Pusat, bersama KONI Riau dan KONI Sulteng. Hingga pada saat entry by name dan satu hari menjelang pertandingan Cabor renang PON XXI Aceh-Sumut, KONI Pusat tetap berpegangan pada hasil BAORI.

“Alhamdulillah, perjuangan kita untuk mempertahankan Azzahra sebagai atlet renang Riau akhirnya terpenuhi. Setelah tim hukum KONI Riau menggugat hasil putusan BAORI di PN Jakarta Pusat. Hasilnya tidak sia-sia kita menang, dan Azzahra dinyatakan sebagai atlet Riau,” ujar Iskandar Hoesin sebagaimana dikutip dari laman riau.harianhaluan.com pada Rabu 26/3/2025.

“Yang paling kita sukuri, salah satu poin dari putusan PN Jakarta Pusat menyatakan perolehan medali yang diraih oleh Azzahra untuk medali emasnya menjadi milik Riau. Dua emas yang diraih Azzahaa pada PON Aceh-Sumut, sepenuhnya menjadi milik Riau,” tambah Iskandar Hoesin, didampingi Kabid Hukum KONI Riau, Syahrial.

Dijelaskan Iskansar Hoesin, dengan bertambahnya dua medali emas dari Azzahar tersebut, maka torehan medali emas Riau menjadi 23 medali emas dari 21 medali emas pada klasemen akhir PON XXI Aceh-Sumut, tahun 2024 lalu. Bahkan posisi Riau juga naik dari posisi 12, masuk ke posisi 10 besar klasemen PON XXI.

“Tambahan dua medali emas ini tentunya sangat menguntungkan kita, dan posisi kita berada di posisi 10 menggeser Lampung. Emas kita menjadi 23 emas dari 21 medali emas, setelah putusan PN Jakarta Pusat menyatakan medali emas Azzahra menjadi milik Riau. Dengan demikian target kita di 10 besar PON XXI Aceh-Sumut tercapai,” kata Iskandar Hoesin.

“Kita sudah mengajukan ke KONI Pusat untuk perubahan klasemen PON XXI Aceh-Sumut, begitu juga dengan putusan dari PN Jakarta Pusat juga sudah kita kirimkan. Sekarang kita menunggu keputusan dari KONI Pusat terkait dengan perubahan medali emas dan klasemen PON XXI,” tambahnya.

***

Untuk diketahui, pada pelaksanaan PON XXI Aceh-Sumut 2024, terjadi perselisihan antara KONI Riau dan KONI Sulteng, terkait dengan perpindahan atlet renang Riau Azzahra Permatahani ke Sulteng.

Kedua KONI ini sama-sama mendaftarkan Azzahra, namun kerena putusan BAORI KONI Pusat memenangkan Azzahar sebagai atlet Sulteng, KONI Riau pun mengajukan gugatan ke PN Jakarta Pusat.

Akhirnya setelah persidangan, PN Jakarata Pusat menyatakan Azzahra sebagai atlet resmi Riau dan membatalkan putusan BAORI, serta perolehan 2 medali yang diraih oleh Azzahra yang sebelumnya milik Sulteng menjadi milik Riau.***

Artikel pernah tayang di riau.harianhaluan.com

Identifikasi 13 Titik Tambang Ilegal di Sulteng

461 Views

JATI CENTRE – Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Sulawesi Tengah, pernah melaporkan ada 13 titik Pertambangan Tanpa Izin (PETI) di wilayah kerjanya. Titik terbanyak berada di Parigi Moutong.

Kepala ESDM Sulteng, Haris Kariming saat itu mengatakan, 13 titik itu merupakan laporan hasil investigasi oleh Tim Inspektur Tambang (TIT) Kementerian ESDM.

“13 titik tambang ilegal itu tersebar di sejumlah kabupaten/kota di Sulteng dan terbanyak berada di wilayah Parigi Moutong,” terang Haris, Kamis (18/3/2021) sebagaimana dikuti dari Media Indonesia.

Haris menjelaskan, khusus untuk wilayah Parigi Moutong, masing-masing terdapat di Desa Lobu sebanyak tiga titik, 21,6 hektare (ha) di antaranya berada di kawasan hutan lindung.

Sementara dua titik lainnya masing-masing seluas 12,8 ha dan kurang lebih satu ha. Kemudian di Desa Kayubuko seluas 72,371 ha yang telah ditertibkan beberapa kali suratnya.

Selanjutnya, lanjut Haris, PETI di Buranga, Kecamatan Ampibabo yang belum lama ini mengalami longsor dan menelan korban jiwa.

Selain itu, PETI di Tirtanagaya, Kecamatan Bolano Lambunu, kemudian di Sungai Tada, Kecamatan Tinombo Selatan, di Desa Sijoli Kecamatan Moutong, serta di Desa Kasimbar Barat dan Kasimbar.

“Kemudian di Salubanga, Kecamatan Sausu seluas 1165 hektar yang diusulkan untuk menjadi WPR (Wilayah Pertambangan Rakyat),” ungkap Haris.

Selain di Parigi Moutong, juga terdapat titik PETI di sejumlah daerah lainnya di Sulteng, seperti di wilayah Kabupaten Poso, tepatnya di Dongi-Dongi seluas 15 ha lebih dan di Kecamatan Toili Barat, Kabupaten Banggai.

“Untuk wilayah Kabupaten Buol terdapat di dua titik, tepatnya di Desa Bulubalang, Kecamatan Paleleh Barat dan di Desa Dopalak Kecamatan Paleleh kurang lebih 10 ha,” kata Haris.

Di Kota Palu sendiri juga terdapat titik peti yang sudah beroperasi cukup lama.

“Lokasi peti tersebut berada di dalam lahan kontrak karya PT. Citra Palu Minerals (CPM) di Kelurahan Poboya, Kecamatan Mantikulore,” imbuh Haris.

Kepala Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Sulteng, Sadli Lesnusa mengatakan, aktivitas PETI jelas diartikan melanggar aturan, tidak ada yang membenarkan, sehingga perlu diupayakan penertiban.

“Keberadaan PETI di Sulteng, telah berjalan cukup lama dan turun temurun, di antaranya karena faktor modal usaha kecil, lemahnya pemahaman pelaku usaha, dan pengurusan izin yang dianggap terlalu panjang birokrasinya,” tandasnya.

Data Terbaru

Aktivitas PETI tentu melanggar UU Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, serta tidak memberi pemasukan kepada negara/daerah.

Sehingga atas data tahun 2021 tersebut, hingga kini tentu ada perubahan yang bisa terjadi penambahan lokasi aktivitas PETI yang mengancam kelestarian lingkungan.

Dinas ESDM sesuai kewenangannya penting memberikan data dan informasi mutakhir tentang aktivitas PETI di daerah dalam wilayah kerjanya.

Sehingga dibutuhkan langkah penataan dari pemerintah daerah, dan penegakan hukum dari Aparat Penegak Hukum (APH).***

Artikel tayang di Media Indonesia : https://mediaindonesia.com/nusantara/391549/ada-13-titik-tambang-ilegal-di-sulteng?utm_source=chatgpt.com

MK: Pengunduran Diri Anggota Legislatif untuk Mencalonkan Diri sebagai Kepala Daerah Bertentangan dengan Prinsip Kedaulatan Rakyat

Pemohon MK
424 Views

JATI CENTRE – Mahkamah Konstitusi (MK) putuskan calon legislatif terpilih tidak boleh mundur demi maju kontestasi Pilkada.

Pengunduran diri calon legislatif terpilih dapat dibenarkan sepanjang pengunduran diri dimaksud dilakukan untuk menjalankan tugas negara yang lain, seperti diangkat atau ditunjuk untuk menduduki jabatan menteri, duta besar, atau pejabat negara/pejabat publik lainnya.

Artinya, jabatan-jabatan tersebut merupakan jabatan yang bukan jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum (elected officials), melainkan jabatan yang berdasarkan pengangkatan dan/atau penunjukan (appointed officials).

Demikian Putusan Nomor 176/PUU-XXII/2024 ini dibacakan dalam Sidang Pengucapan Putusan uji materiil Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu) terhadap UUD 1945.

Caleg Terpilih Tidak Boleh Mundur Demi Maju Pilkada

Sidang Pengucapan Putusan ini digelar pada Jumat (21/3/2025) di Ruang Sidang Pleno MK. Permohonan ini diajukan oleh Adam Imam Hamdana beserta 3 (tiga) rekannya, yakni Wianda Julita Maharani, dan Adinia Ulva Maharani yang merupakan mahasiswa.

“Mengabulkan permohonan para Pemohon untuk sebagian. Menyatakan Pasal 426 ayat (1) huruf b Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang tentang Pemilihan Umum  bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai ‘mengundurkan diri karena mendapat penugasan dari negara untuk menduduki jabatan yang tidak melalui pemilihan umum’,” ujar Ketua MK Suhartoyo saat membacakan amar putusan dengan didampingi delapan Hakim Konstitusi lainnya.

Dalam pertimbangan hukum  yang dibacakan oleh Wakil Ketua MK Saldi Isra menekankan, bahwa meskipun pengunduran diri merupakan hak calon terpilih, mandat rakyat yang diberikan melalui pemilu harus menjadi pertimbangan utama sebelum mengambil keputusan untuk mengundurkan diri.

“Ketika seorang calon terpilih berhasil meraih suara terbanyak, maka keterpilihannya merupakan mandat rakyat yang harus dihormati. Suara rakyat yang diberikan dalam pemilu merupakan perwujudan demokrasi dan tidak boleh diabaikan,” ujar Saldi Isra.

Menurut MK, pengunduran diri seorang calon legislatif terpilih dapat meniadakan suara pemilih yang telah memilihnya. Dalam sistem pemilu proporsional terbuka, pemilih dapat memilih berdasarkan figur calon yang diusung. Jika calon yang terpilih mengundurkan diri, suara rakyat menjadi tidak bermakna dan menimbulkan ketidakpastian hukum.

Lebih lanjut, Hakim Konstitusi Arsul Sani dalam pertimbangan lainnya menjelaskan bahwa ketidakjelasan dalam Pasal 426 ayat (1) UU Pemilu berpotensi menimbulkan praktik yang tidak sehat dalam demokrasi.

Pasal ini tidak memberikan batasan yang jelas mengenai alasan yang dapat digunakan untuk pengunduran diri calon terpilih. Akibatnya, penyelenggara pemilu hanya memproses pengunduran diri tanpa mempertimbangkan dampaknya terhadap pemilih.

Alasan MK

Mahkamah Konstitusi menilai bahwa batasan dalam pengunduran diri calon terpilih diperlukan untuk menjaga prinsip kedaulatan rakyat dalam pemilu.

Oleh karena itu, MK memutuskan bahwa pengunduran diri calon terpilih harus memiliki alasan yang jelas dan konstitusional. Dua isu utama yang menjadi pertimbangan MK dalam putusan ini adalah pengunduran diri karena pencalonan sebagai kepala daerah dan pengunduran diri terkait kepentingan tugas negara.

MK juga menyatakan bahwa pengunduran diri untuk mencalonkan diri sebagai kepala daerah bertentangan dengan prinsip kedaulatan rakyat.

Sebab, calon tersebut telah mendapatkan mandat dari rakyat melalui pemilu legislatif. Di sisi lain, pengunduran diri dapat dibenarkan jika dilakukan untuk menjalankan tugas negara, seperti diangkat menjadi menteri, duta besar, atau pejabat negara lainnya yang bukan merupakan jabatan hasil pemilihan umum.

Putusan MK ini sejalan dengan fenomena yang terjadi dalam Pemilu Legislatif 2024, di mana banyak calon terpilih yang mengundurkan diri untuk maju dalam Pilkada.

MK menilai praktik ini mencerminkan ketidaksehatan demokrasi dan berpotensi bersifat transaksional, sehingga mengurangi penghormatan terhadap suara rakyat.

Dengan putusan ini, MK menyatakan bahwa Pasal 426 ayat (1) huruf b UU Pemilu bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat, kecuali dimaknai bahwa pengunduran diri hanya dapat dilakukan jika calon terpilih mendapat penugasan untuk menduduki jabatan yang tidak melalui pemilihan umum.

“Dengan demikian, dalil permohonan para Pemohon tentang tidak adanya batasan untuk calon terpilih mengundurkan diri yang diatur dalam Pasal 426 ayat (1) huruf b UU 7/2017 adalah dalil yang berdasar. Oleh karena itu, menurut Mahkamah terhadap I Pasal 426 ayat (1) huruf b UU 7/2017 harus dinyatakan bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai ‘mengundurkan diri karena mendapat penugasan dari negara untuk menduduki jabatan yang tidak melalui pemilihan umum’, sebagaimana termuat dalam amar Putusan a quo,” tegas Arsul.

Dalil Permohonan

Para Pemohon merasa bahwa adanya calon legislatif terpilih yang mengundurkan diri merupakan bentuk pengkhianatan, serta tidak bertanggung jawab atas mandat yang diberikan langsung oleh rakyat, terlebih adanya alasan yang tidak serius.

Pemohon juga mendalilkan dengan adanya pasal a quo, maka menimbulkan peluang setiap calon legislatif untuk sekadar tes saja, manakala suara yang didapatkan calon setelah dikalkulasikan menunjukkan tren yang positif, maka calon anggota tersebut akan mengundurkan diri dan berpindah haluan ke Pilkada.

Menurut Pemohon, hal tersebut sangat berpotensi menjadikan suara rakyat tidak dihargai. Padahal penghargaan terhadap suara rakyat sudah menjadi semangat Putusan MK Nomor 60/PUU-XXII/2024.

Selain itu, dalam negara hukum yang berkedaulatan rakyat, penting untuk memposisikan kepentingan rakyat sebagai kepentingan utama karena sejatinya prinsip kedaulatan rakyat memandang bahwa kekuasaan itu berasal dari rakyat. Sehingga dalam melaksanakan segala urusan berkenaan dengan tugasnya, para pemegang kekuasan harus berpegang pada kehendak rakyat yang lazimnya disebut dengan demokrasi.

Pemohon menyebut Putusan MK tersebut inheren dengan fenomena anggota DPR, DPD, dan DPRD yang melakukan pengunduran diri, dengan tanpa adanya limitasi yang jelas akan berpotensi terjadi praktik-praktik tukar suara rakyat dengan kepentingan politik dan kepentingan-kepentingan lain yang tidak selaras dengan prinsip kedaulatan rakyat.

Hal tersebut tentu bertolak belakang dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 40/PUU-VIII/2010 yang menyatakan bahwa prinsip paling pokok dari demokrasi adalah free and fairness (prinsip kebebasan memilih dan prinsip jujur adil).***

Sumber: Mahkamah Konstitusi