Benarkah Dana Bagi Hasil Sulteng Hanya 200 Rupiah Miliar?

Moh. Ahlis Djirimu
185 Views

Benarkah Dana Bagi Hasil Sulteng Hanya 200 Rupiah Miliar?
Oleh : Moh. Ahlis Djirimu
( Guru Besar FE-Untad dan Local Expert Sulteng-Regional Expert Sulawesi Kemenkeu R.I )

 

JATI CENTRE – Dana Bagi Hasil merupakan dana bersumber dari pendapatan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang dialokasikan kepada daerah berdasarkan persentase tertentu untuk mendanai kebutuhan daerah dalam pelaksanaan desentralisasi.

Peraturan Menteri Keuangan Nomor 06/PMK.07/2012 menyebutkan DBH mempunyai tiga jenis yakni DBH Perpajakan meliputi Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 29, dan Pasal 29 untuk Wajib Pajak Orang Pribadi Dalam Negeri, serta PPh Pasal 21.

Komponen kedua yaitu Cukai Hasil Tembakau (CHT), serta komponen ketiga adalah DBH Sumberdaya Alam meliputi DBH Kehutanan, DBH Mineral dan Batubara, DBH Minyak Bumi dan Gas Bumi, DBH Pengusahaan Panas Bumi, serta DBH Perikanan.

Empat Pilar Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah (HKPD) adalah menurunkan ketimpangan fiskal baik ketimpangan vertikal maupun horizontal, menguatkan Local Taxing Power, Meningkatkan Kualitas Belanja, serta Harmonisasi Belanja Pemerintah Pusat dan Daerah.

Dalam fiscal resource allocation, bila Pendapatan Asli Daerah (PAD) bertumpu pada pendanaan sesuai potensi, Dana Alokasi Umum (DAU) fokus menutupi ketidakseimbangan fiskal horizontal, maka DBH berusaha menutup vertical fiscal imbalance.

Diskusi di media sosial yang berkembang aktual bertumpu pada DBH Sumberdaya Alam Mineral dan Batubara khususnya logam dasar dan migas. DBH, dalam pelaksanaanya bertujuan pula mengurangi ketimpangan daerah penghasil dan bukan penghasil.

Prinsip pelaksanaannya dilakukan by origin, yakni daerah penghasil mendapatkan porsi lebih besar ketimbang daerah bukan penghasil termasuk daerah dalam provinsi. Prinsip lain adalah base on actual revenue, maksudnya penyaluran DBH dilakukan berdasarkan Penerimaan Tahun Anggaran.

Di Tahun 2025, Provinsi Sulteng memperoleh Rp586,2,- miliar, sedangkan daerah penghasil Kabupaten Banggai mendapatkan Rp778,4,- miliar, yang merupakan penerimaan DBH tertinggi di Sulteng berasal dari DBH Migas.

Kabupaten Morowali dan Morowali Utara memperoleh masing-masing Rp509,6,- miliar dan Rp334,8,- miliar. Daerah non Penghasil Kepulauan: Banggai Laut dan Banggai Kepulauan hanya memperoleh masing-masing Rp48,3,- miliar dan Rp46,6,- miliar.

Ada beberapa hal yang perlu dilakukan daerah, sehingga tidak saja menuntut porsi besar, tetapi harus berbasis data. Pertama, selama dua puluh tahun lebih pelaksanaan otonomi daerah, pemanfaatan Transfer ke Daerah dan Dana Desa (TKDD) belum optimal.

Sebagian besar Dana Alokasi Umum (DAU) atau antara 30-65 persen digunakan bagi belanja pegawai. Di Sulteng, porsi tersebut hingga 40 persen lebih. Usaha mengurangi belanja pegawai hingga 25 persen sedang berlangsung. Ketergantungan tinggi pada Dana Alokasi Khusus (DAK) sebagai satu dari beberapa sumber Belanja Modal juga menjadi tren di daerah.

Kedua, Struktur Belanja yang kurang memuaskan yang tercermin pada program dan kegiatan belum fokus pada pencapaian indikator baik Indikator Kinerja Utama (IKU) maupun Indikator Kinerja Kunci (IKK) karena paradigmanya tetap pada “Uang Mengikuti Fungsi”, yang tercemin dari OPD menunggu pagu indikatif dan Bappeda membagi.

Hal lain yakni adanya  kenyataan belum diperkadakannya Perubahan Rencana Kerja Pemerintah Daerah (RKPD) Tahun 2025 dan RKPD Tahun 2026, dan belum diperdakannya Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJMD) Periode 2025-2029 yang sudah melampaui waktu 40 hari dari tanggal pelantikan pasangan kepala daerah, serta penyusunan Renstra berbarengan dengan RPJMD sesuai Inmendagri Nomor 2 Tahun 2025. Lambatnya pengesahan dokumen tersebut justru memperlambat implementasi Visi dan Misi Pemerintah.

Ketiga, Local Taxing Power di Sulteng masih rendah dari potensinya. Tax Ratio hanya mencapai 3,5 poin, sedangkan potensi Penerimaan Perpajakan mencapai 11,6 poin.

Artinya masih ada potensi 8,1 poin Penerimaan Pajak Daerah dan Retribusi Daerah di Sulteng yang belum dioptimalkan. Hal ini mencerminkan pula Bapenda belum inovatif dan kreatif mencari potensi sumber PAD.

Keempat, Pemanfaatan Pembiayaan masih terbatas, khususnya Kerjama Pemerintah Badan Usaha (KPBU), serta Sinergi Pemerintah Pusat dan Daerah belum optimal yang tercermin adanya mismatch antara Program dan Kegiatan Pemerintah Pusat dan Pemda, antara Program dan kegiatan Pemerintah Provinsi dan Kabupaten/Kota.

Diskursus yang dikemukan oleh Gubernur Sulteng di DPR RI memberikan Pelajaran tidak saja bagi Pemerintah Pusat, tetapi bagi Pemerintah Daerah. Bagi Pemerintah Pusat, selain Bappenas dan Kemenkeu berkesempatan menghitung ulang potensi DBH bagi daerah penghasil.

Eksploitasi kekayaan alam termasuk mineral dan batubara di Indonesia yang didominasi asing, maka Pemerintah Indonesia berpeluang menaikkan pendapat baik pajak maupun royalti melalui perantara Independent Surveyor.

Adanya pengawasan dan monitoring kegiatan tambang di lokasi tambang oleh Independent Surveyor dibantu oleh laboratorium menganalisis mineral apa saja yang selama ini lolos dari pengawasan. Direktorat Jenderal Pajak dan Kementrian Energi dan Sumberdaya Mineral (ESDM) berperan besar memperoleh kebenaran laporan penambang dari lokasi.

Independent Surveyor menghitung jumlah kuantitas maupun kualitas mineral yang diproduksi dan diekspor seperti Mine PIT, Run of Mine (ROM), stock pile, end stock pile, dan loading port. Independent Surveyor ini merupakan “pengawas” kekayaan mineral mengingat kemampuan dan pengetahuannya menghitung kuantitas mineral dengan cara draught survey. Sedangkan kualitas mineral dapat dilakukan melalui uji lab.

Tiongkok menggunakan jasa Independent Surveyor melalui China Certification and Inspection Company (CCIC) yang memonitor dan mengontrol setiap ekspor maupun impor ke Tiongkok dan menerapkan China Mining Law Overview yakni menentukan mana mineral yang dapat dieskpor dan mana yang tidak boleh.

Di Indonesia, oleh karena banyak Perusahaan pertambangan merupakan investor asing, kecenderungan melakukan transfer pricing sangat besar. Transfer pricing merupakan upaya penambang untuk mengecilkan harga jual ekspor mineral, agar pembayaran pajak maupun royalti atas penjualan dan ekspor produk pertambangan semakin kecil.

Tindakan mengecilkan jumlah harga jual ekspor mineral membuat royalti yang harus dibayarkan pada Pemerintah Indonesia semakin mengecil pula. Selama ini Pemerintah menerapkan system in cash dalam pemungutan royalti, belum menerapkan in kind dalam bentuk penerimaan berwujud barang langsung.

Sistem in cash yaitu penambang menjual atau mengeskpor langsung, royalti negara keluar negeri, dan kemudian dibayarkan dalam bentuk tunai kepada Pemerintah Indonesia.

Penerapan in kind, yakni royalti negara akan diterima berupa mineral tambang, yang konon diterapkan pada saat berlakunya domestic market obligation (DMO).

Bagi Pemerintah Provinsi Sulteng maupun 13 kabupaten/kota, efisiensi membawa makna sebaiknya fokus pada spending better melalui penganggaran berkualitas. Spending better bermakna penganggaran berbasis kinerja dalam kerangka uang mengikuti program, program mengikuti hasil, hasil mengikuti talent kompetitif para aparatur yang menekankan pada sinkronisasi dan harmonisasi perencanaan dan penganggaran.

Beberapa kasus yang muncul di lapangan setelah implementasi dokumen perencanaan dan penganggaran adalah, pertama, Sasaran Strategis tidak terfokus pada hasil, namun masih berorientasi pada kegiatan.

Kedua, Indikator Kinerja tidak mengukur hasil secara tepat. Sasarannya berorientasi pada hasil, namun indikatornya berorientasi kegiatan. Ketiga, Program/Kegiatan tidak terkait dengan pencapaian tujuan/hasil.

Keempat, rincian kegiatan tidak sesuai dengan tujuan kegiatan. Spending review merupakan satu dari beberapa solusi yang terdiri dari reviu strategis yang fokus utamanya pada efektivitas dan skala prioritas, serta memberikan rekomendasi kepada pemerintah tentang apa yang harus dilakukan dan apa yang tidak boleh.

Reviu fungsional berfokus pada efisiensi atau bagaimana suatu kebijakan atau program dilaksanakan dengan sumberdaya lebih sedikit. Sebab, selama ini hanya Kabupaten Morowali yang benar-benar mempunyai Kapasitas Fiskal Tinggi dan Belanja Berkualitas dalam arti tepat mutu, tepat sasaran, tepat waktu dan tepat administrasi.

Banggai dan Kota Palu benar mempunyai Kapasitas Fiskal tinggi dalam arti punya uang cukup membiayai pembangunan, tetapi belanjanya belum berkualitas. Hal ini terbalik dengan Bangkep dan Banggai Laut. Dua daerah ini minim uang, namun belanjanya berkualitas.

Kontras dengan Provinsi Sulteng, Buol, Donggala, Parigi Moutong, Poso, Sigi, Touna dan Tolitoli yang kapasitas fiskalnya rendah, belanjanya belum berkualitas. Bahasa awam mengatakan: so miskin, boros pula.

Walaupun nantinya DBH yang diterima besar, belum tentu serta merta dapat menggunakan secara tepat yang selama ini tercermin evolutifnya penurunan angka kemiskinan yang menempatkan Sulteng secara bergantian dengan Provinsi Sumatra Selatan di posisi Sembilan dan sepuluh, kemiskinan tertinggi di Indonesia.***

61 TAHUN SULAWESI TENGAH: KADO MANIS INFRASTRUKTUR KONEKTIVITAS NASIONAL

Moh Ahlis Djirimu
195 Views

61 Tahun Sulawesi Tengah: Kado Manis Infrastruktur Konektivitas Nasional
Oleh : Moh. Ahlis Djirimu
( Guru Besar FEB-Untad dan Local Expert Sulteng-Regional Expert Sulawesi Kemenkeu R.I )

JATI CENTRE – Belanja infrastruktur konektivitas, baik darat, laut, dan udara sangat menentukan kinerja Pembangunan suatu negara. Berbagai riset menunjukkan bahwa infrastruktur konektivitas yang baik dapat menurunkan angka kemiskinan dan meningkatkan Indeks Pembangunan Manusia (IPM).

Pada daerah yang angka kemiskinannya tinggi dapat saja terjadi peningkatan kemiskinan karena konektivitas jalan darat kurang baik, sehingga memperbesar nilai yang dibeli petani lebih besar ketimbang nilai yang dijual petani. Di dataran tinggi bulan Kabupaten Tojo Una-Una, Kecamatan Ampana Tete, petani berasal dari Desa Bulan Jaya, Mertasari, Uemea misalnya pernah merupakan pembudidaya kedelai hitam.

Sayangnya, kedelai hitam sebagai bahan baku produksi kecap membusuk saat belum sampai di pasar. Akhirnya dibuang di jurang. Tentu saja petani merugi yang selanjutnya menggerus produksinya. Di Kecamatan Talatako Kepulauan Togian, akibat signal telepon genggam kurang baik, produsen cengkih mencatat harganya per kilogram mencapai Rp120,- ribu di pasar Marisa Gorontalo.

Pada hari berikutnya, ternyata surplus cengkih mendorong penurunan harga pada Rp95,- ribu, sehingga ketika produsen cengkih dari Talatako tiba dengan Ferry di Marisa, harganya telah turun dan tidak ada jalan lain, selain menjualnya dalam posisi penjual lemah.

Infrastruktur konektivitas mendorong pula kenaikan angka harapan hidup, rata-rata lama sekolah dan harapan rata-rata lama sekolah, serta mendorong peningkatan kesejahteraan masyarakat pada dimensi ekonomi.

Suatu Ketika di era 1990an, sambil mengobrol dinihari pukul 03.00 bersama almarhum om Teny driver PO. Honda Jaya sesaat memasuki wilayah Kecamatan Bunta sebelum pemekaran menjadi Kecamatan Nuhon dan Simpang Raya, para anak usia 13-15 tahun ditemani orang tuanya telah menunggu PO Honda Jaya, PO Super Motor, PO Victoria, semenjak pukul 03.00 wita sekedar menumpang gratis menuju SMPN 1 Bunta, satu-satunya SMPN saat itu.

Jarak sekitar 35 km atau akumulatif 70 km menjadi pemandangan harian selama 6 hari. Berbagai pertanyaan pada siswa tersebut mulai dari rasa ngantuk, kosong perut, dll selama bertahun-tahun hingga Proyek Perluasaan dan Peningkatan Mutu SMP ADB Loan 1810-INO membantu membangun SMPN di Sumber Mulya, Toima’a dan Tomeang memperpendek jarak anak usia 13-15 tahun tersebut pada dekade 2000an.

Keterlambatan waktu merujuk pasien di wilayah Terluar, Terdepan dan Terpencil (3T) Sulteng hingga saat ini masih menjadi pemandangan harian.

Di Sulawesi Tengah, belanja infrastruktur konektivitas semakin meningkat sejak Tahun 2021. Di Tahun 2021, pagu yang disiapkan oleh APBN mencapai Rp1,045,- triliun yang terbagi atas Rp32,64,- miliar sarana berupa bus, kapal laut, alat penerbangan. Prasarana berupa jalan, jembatan, Pelabuhan, bandara mencapai Rp154,53,- miliar.

Rehabilitasi atau perawatan sarana mencapai Rp8,97,- miliar dan perawatan/rehabilitasi prasarana mencapai Rp849,39,- miliar. Namun, realisasinya sangat rendah, hanya mencapai Rp717,95,- miliar.

Realisasi rendah pada Prasarana Jalan, Jembatan, Pelabuhan, Bandara mencapai Rp96,43,- miliar dari Rp154,53,- miliar dan Rp580,- miliar pada Perawatan/rehabilitasi Prasarana dari pagu sebesar Rp849,39,- miliar.

Di Tahun 2022, Pemerintah Pusat mengalokasikan APBN Rp1,285,62,- triliun dengan sebaran pagu sebesar Rp16,27,- miliar pada Sarana, Rp287,97,- Prasarana, Rp1,7,- miliar pada Rehabilitasi Sarana dan Rp979,69,- miliar pada Rehabilitasi Prasarana.

Dari Rp1,285,63,- triliun tersebut, serapannya hanya mencapai Rp966,13,- miliar dengan realisasi paling rendah pada Perawatan Prasarana hanya mencapai Rp744,23,- miliar. Lalu di Tahun 2023, Pada Tahun 2023, terjadi peningkatan total pagu belanja konektivitas sebesar 81,79 persen (year-on-year) dari Rp1,285,- triliun menjadi Rp2,337,- triliun. Realisasinya mencapai Rp2,15,- triliun.

Selama periode 2021-2023, capaian output yang sebagian besar disumbang oleh kinerja PUPR. Realisasi jembatan seharga Rp422,61,- miliar, diikuti oleh jalan sepanjang 57,31,- km. Sedangkan capaian output konektivitas laut terealisasi sebanyak 9 uniy fasilitas pelabuhan laut dan 1 bangunan operasional.

Lalu capaian output Konektivitas Udara sebanyak 14 unit Pembangunan Bandar Udara termasuk bandara baru di Kabupaten Banggai Laut. Selama 2021-2023, porsi belanja terbesar tercatat atas belanja untuk infrastruktur konektivitas darat.

Namun, pada Tahun 2023 Pemerintah meningkatkan alokasi konektivitas udara sebesar 231,8 persen dari pagu Tahun 2022. Realisasi belanja untuk infrastruktur seperti jalan, jembatan, dan sebagainya mengalami peningkatan signifikan dibandingkan dengan 2 tahun yang lalu.

Tingkat Kemantapan Jalan Nasional di Sulteng mencapai 98,99 poin. Panjang Jalan Nasional di Sulteng mencapai 2.373,40 km, merupakan jalan terpanjang di Sulawesi. Adapun kondisi jalan tersebut yakni 805,46 km berada dalam kondisi baik, 1.520,93 km berada pada kondisi sedang, 38,48 km berada pada kondisi rusak ringan dan 8,53 km berada pada kondisi rusak berat.

Namun, hasil riset Kemenkeu menemukan bahwa Belanja APBN bagi Konektivitas Darat, Belanja APBN Konektivitas Laut, dan Belanja APBD Teknologi Informasi dan Komunikasi memberikan dampak positif bagi perekonomian semua provinsi di Sulawesi. Sebaliknya, Belanja APBD Konektivitas Darat, Belanja APBD Konektivitas Laut dan Belanja APBN TIK, kurang memberikan dampak bagi atraktivitas perekonomian.

Temuan lain adalah, terdapat 5 pelabuhan laut, 4 pelabuhan penyebrangan dan 1 terminal belum terkoneksi dengan Jalan Nasional. Riset tersebut merekomendasikan bahwa satuan kerja wajib melakukan pembinaan atas pekerjaan yang besifat lanjutan Program yang “Memperkuat Infrastruktur untuk Mendukung Pengembangan Ekonomi dan Pelayanan Dasar” oleh KemenPUPR dan Kemenhub.

Bagi Sulteng, Tingkat Kemantapan Jalan Provinsi Sulteng mencapai angka relatif 65 poin. Setiap peningkatan 1 km jalan provinsi membutuhkan Rp3,- miliar. Tentu konstrain anggaran patut diatasi dengan kebijakan lain seperti pengalihaan status jalan provinsi menjadi jalan nasional pada ruas tertentu.

Namun, kendala right of way (ROW) yang diduduki oleh masyarakat di Sulteng menjadi tantangan untuk merealisasikannya, kecuali mengadvokasi masyarakat agar jangan mengambil hak jalan menjadi tempat niaga di masing-masing depan rumahnya.

Selama ini, terdapat Jalan Lingkar Luar Kota Palu sepanjang 56,8 km, Palu-Parigi by Pass sepanjang 48,5 km dengan titik nol koordinat pada tugu Kecamatan Sigi Biromaru, Ruas Gimpu-Gintu sepanjang 53 km, Tonusu-Pendolo sepanjang 58,2 km dan Ruas Buleleng-Matarape sepanjang 46,1 km.

Pemerintah Provinsi Sulteng dapat mereplikasi Kerjasama KemenPUPR dan Kemenhub pada ruas Lingkar Peling di Banggai Kepulauan dan Lingkar Una-Una dan Togian di Kabupaten Tojo Una-Una.

Perencanaan infrastruktur konektivitas darat yang terhubung Bangkep Bagian Utara yang lebih maju kinerja pembangunannya dan Bangkep Bagian Selatan yang lebih tertinggal dapat dilanjutkan transportasi publik bus milik Badan Usaha Transportasi Darat Milik Provinsi Sulteng yang terkoneksi dengan Pelabuhan Salakan yang merupakan wilayah kerja Dinas Perhubungan Provinsi Sulteng, Keanekaragaman Hayati Kokolomboi dan obyek wisata Danau Kaca Paisupok.

Demikian pula dengan lingkar Una-Una dan Togian dari Barat ke Timur dapat terkoneksi dengan Pelabuhan Ferry di Pusungi, Wakai, Togian. Tentu perencanaan yang layak dapat menjadi pintu masuk bagi peningkatan kualitas infrastruktur konektivitas. Last but not least, 686 desa blank spot membutuhkan penanganan, khusus penyediaan area bagi menara Base Transciever Service (BTS) di pelosok negeri.

Studi pendahuluan Palu-Parigi by Pass yang penulis bersama tim peneliti lakukan pada 2021 yang sudah dipublikasi pada Journal of Infrastructure Policy and Development (JIPD) menunjukkan bahwa ruas jalan nasional Tawaili-Toboli sepanjang 43,5 km menunjukkan kecepatan maksimal mencapai 35,1 km/jam dan kecepatan rata-rata mencapai 34,8 km/jam, serta volume rata-rata kemacetan mencapai 1.232,1 unit kenderaan.

Biaya kemacetan pada ruas Tawaili-Toboli mencapai Rp4,386,829,- atau Rp4,39,- juta per jam atau Rp9,686,117,823,- atau Rp9,69,- miliar per tahun. Pada rencana ruas Palu-Parigi by pass menunjukkan kecepatan maksimal mencapai 70 km/jam dan kecepatan rata-rata mencapai 66,1 km/jam, serta volume rata-rata kemacetan mencapai 4.900 unit kenderaan.

Biaya kemacetan pada ruas jalan baru Palu-Parigi by pass mencapai Rp2,193,414,- atau Rp2,19,- juta per jam atau Rp4,843,058,912,- atau Rp4,84,- miliar per tahun.

Semoga infrastruktur konektivitas dukungan APBN dapat diikuti pula infrastruktur konektivitas dukungan APBD, sehingga Tingkat kemantapan infrastruktur konektivitas nasional yang diikuti pula oleh kemantapan infrastuktur provinsi dan kemantapan infrastruktur kabupaten/kota. Hal inilah menjadi kado manis HUT Sulteng ke 61 tahun.***

Resensi Buku: Memaknai Hegemoni Ekonomi Tiongkok

Ahlis Djirimu
158 Views

Resensi Buku: Memaknai Hegemoni Ekonomi Tiongkok
Moh. Ahlis Djirimu
( Staf Pengajar FEB-Universitas Tadulako sekaligus penerjemah buku Memaknai Hegemoni Ekonomi Tiongkok )

JATI CENTRE – Secara garis besar, buku Memaknai Hegemoni Ekonomi Tiongkok memberikan informasi dan gambaran bahwa sejak 2007, Amerika Serikat dan Eropa berada dalam krisis besar berkepanjangan. Para pemimpinnya mengenal gravitasi ini tetapi mengabaikan asal muasalnya.

Penghapusan proteksi kepabeanan, diberlakukan berbarengan dengan dogma absolut dan dipertahankannya tanpa mengindahkan depresiasi besar secara sengaja Yuan, telah menghasilkan ketidakseimbangan ekstrim perdagangan internasional. Antara 2000 dan 2007, untuk mempertahankan pertumbuhan tanpa mengindahkan defisit besar perdagangan, Amerika Serikat, Inggris dan Eropa Selatan terlihat menolak memberlakukan kebijakan ekonomi bertualang yang hasilnya adalah krisis.

Tiongkok selalu menolak melakukan revaluasi Yuan, defisit perdagangan negara-negara Barat tidak teratasi, krisis berkelanjutan. Kekuatan besar kapitalis dan totaliter berpadu menjadikan Tiongkok memimpin strategi penjelajahan untuk menggeser hegemoni Amerika Serikat.

Strategi ini berwujud pada semua garis depan (ekonomi, keuangan, militer, diplomasi, kebudayaan, dll). Instrumen utamanya adalah moneter, Tiongkok menjalankan “imperialisme ekonomi”.

Seiring berjalannya waktu, penerbitan buku ini dalam bahasa menandai sepuluh Tahun terbitnya buku Memaknai Hegemoni Ekonomi Tiongkok dalam edisi Prancis yakni pada Januari 2011, yang saat muncul hanya empat bulan sebelum terbitnya buku Penulis Amerika PETER NAVARRO berjudul Death by China pada Mei 2011. Tanpa penulisnya saling ketemu, buku Peter Navarro dan buku Memaknai Hegemoni Ekonomi Tiongkok memberikan analisis yang sama dan kesimpulan yang sama atas kiprah Tiongkok.

Menurut Peter Navarro maupun penulis Memaknai Hegemoni Ekonomi Tiongkok, sejak Tahun 2000, Beijing membangun Strategi bertumpu pada Perdagangan Internasional, metodik, terstruktur, sistematis dan menjelajah, untuk mendapatkan hegemoni dunia.

Kami berkesimpulan bahwa instrumen proteksionisme pabean berhadapan dengan made in China mutlak diterapkan untuk mencegah strategi Beijing yang mendestabilisasi belahan dunia lain.

Tanpa ragu, Peter Navarro pada periode 2016-2020 menjadi Penasehat Dagang yang paling didengar oleh Presiden Trump. Tindakan balasan perdagangan yang menginspirasi Kebijakan Trump dikerahkan untuk membuat peka dan memobilisasi semua masyarakat Amerika melawan strategi Partai Komunis Tiongkok. Di Tahun 2020, saat Covid-19, antara 70-75 persen warga Amerika menganggap Tiongkok adalah pesaing utama Amerika Serikat.

Buku Memaknai Hegemoni Ekonomi Tiongkok menggarisbawahi bahwa Tiongkok menerapkan strategi merkantilisme, yang pada sisi sejarah tanpa ragu, mengarah pada hegemoni dunia bagi Tiongkok dan bagi Partai Komunis Tiongkok.

Strategi ini mendorong adanya penurunan perekonomian pada negara lain. Point of View saya, secara bersamaan berada pada tataran ekonomi dan geopolitik. Keduanya digambarkan atas empat hal berikut :

Pertama, Neraca Dagang berperan penting bagi setiap Negara. Negara-negara yang neraca dagangnya secara umum surplus, namun tidak selamanya, berada dalam dinamika kekuatan membangun industrinya; pertumbuhan Produk Domestik Bruto menjadi penentu utama. Negara-negara yang mengalami terus-menerus defisit, akan secara relatif mengalami dinamika deindustrialisasi.

Negara-negara ini akan mengalami peningkatan signifikan PDB, namun melemah karena solusi yang ditempuh melalui hutang luar negeri yang lebih besar dari pembentukan tabungan domestik ; pertumbuhan PDBnya tidak sehat karena dijamin oleh peningkatan hutang.

Kedua, Negara-negara yang mengalami surplus terhadap semua negara menimbulkan masalah pada negara lain. Seperti yang anda ketahui, perdagangan internasional merupakan permainan neraca seimbang. Surplus neraca dagang suatu negara menyebabkan negara lain defisit.

Jika satu atau beberapa negara membangun strategi merkantilisme untuk mencapai surplus besar neraca dagangnya, maka strategi ini merupakan strategi non-koperatif karena, secara mekanik, negara-negara lain akan mengalami defisit perdagangan dan saat yang sama mengalami deindustrialisasi dan peningkatan derajat hutang.

Ketiga, negara-negara besar yang menjadi super merkantilis menunjukkan bukti-bukti dominasi dan hegemoni. Seperti yang anda ketahui, pada abad ke17, William Petty, dalam karyanya Kebijakan Aritmetika, menjelaskan bahwa suatu negara yang berhasil menerapkan strategi merkantilis melalui surplus perdagangan sedemikian besar akan berujung pada posisi penguasaan pada negara-negara lain.

Suatu negara dapat mencapai industrialisasi secara spektakuler, sebaliknya, negara lain mengalami deindustrialisasi dan merusak tahapan industrialisasi pada negara-negara non-industrialized ; Pertumbuhan ekonominya dapat tetap tinggi sebaliknya, negara-negara lain mengalami defisit.

Selanjutnya, suatu negara super-merkantilis mengakumulasi sedemikian besar cadangan emas dan cadangan devisanya secara simetris, sementara, negara lain mengalami pertumbuhan hutang luar negeri dan menjadi subordinasinya dan berada dalam cengkraman dominasi keuangan negara lain.

Keempat, pada abad ke21, Tiongkok secara seksama merupakan negara « super-merkantilis » yang menginspirasi hegemoni. Kebijakan merkantilis telah diterapkan oleh Kerajaan Inggris pada abad ke19, lalu oleh Amerika Serikat pada abad ke 20. Tujuan utama Tiongkok dan Partai Komunis Tiongkok (PCC) adalah memimpin hegemoni di awal abad ke21.

Setelah 10 tahun terbitnya Memaknai Hegemoni Ekonomi Tiongkok, dominasi Tiongkok berada pada tataran industri dan perdagangan; Tiongkok cenderung secara bersamaan menuju pada penguasaan multidimensional.

Cobalah kita kaji peningkatan kekuatan Tiongkok selama sepuluh tahun terakhir dalam berbagai bidang : Dominasi Ekonomi sejak Tahun 2013, PDB nomor wahid dunia dalam ukuran paritas daya beli (PPP) dan Pasar terbesar dunia; Penguasaan Keuangan Dunia (negara donor nomor wahid dunia, jauh di depan Jepang dan Saudi Arabia) ; Penguasaan Teknologi Dunia (teknologi 5G, dalam kecerdasan buatan) ;  Penguasaan Diplomatik (mengontrol berbagai organisasi PBB khususnya World Trade Organization (WTO) dan Food Agriculture Organization (FAO) dan berbagai negara menggantungkan diri pada Tiongkok.

Lalu berbagi Penguasaan atas kekuatan militer dan persenjataan seperti peluru kendali bawah tanah, kapal selam dan penguasaan bawah laut dalam, berbagai pangkalan militer di berbagai belahan dunia, terutama di laut Tiongkok dan laut Natuna Utara, dan lain-lain ; Berbagi Penguasaan Ruang Angkasa (perjalanan bolak balik ke bulan) ; Berbagi Penguasaan Wilayah meliputi jalur infrastruktur dunia Silk Road mengontrol jalur transportasi di berbagai negara ; Berbagi dominasi maritim (jalur perdagangan dunia, jalur pelabuhan dan pangkalan militer laut di dunia). Pada akhirnya, yang tersisa adalah penguasaan moneter dan militer berada di tangan Amerika Serikat.

Sekali lagi, untuk menandai eksploitasi Tiongkok yang berhasil mendorong Dana Moneter Internasional (IMF) memasukkan Yuan dalam jantung Special Drawing Right (SDR) yang selanjutnya Yuan menjadi mata uang konvertibel dunia.

Ketidakseimbangan perdagangan sedemikian besar, yang dikenal oleh penduduk dunia dan yang menjadi dasar perubahan geopolitik yang patut diperhitungkan menjadi tanda adanya bahaya besar. Negara-negara yang mengalami defisit sedemikian besar, cenderung sedikit demi sedikit mengalami instabilitas, berisiko mendorong sistem politiknya sedikit demi sedikit menjadi otoriter, bahkan totaliter, sebagai jawaban atas keberatan dalam masyarakatnya, dalam petualangannya, khususnya militer.

Namun, bahaya yang paling dekat adalah unjuk kekuatan militer Tiongkok di Laut Natuna Utara yang menjadikan beberapa pulau buatan sebagai pangkalan militer, setelah pengambil alihan Hong Kong, dengan mengorbankan perjanjian internasional yang telah ditandatangani Tiongkok, serta ancaman invasi militer ke Taiwan.

Profesor Didin S. Damahuri, ketika membaca buku ini menyatakan bahwa buku ini termasuk dalam perspektif yang langka, karena bukan hanya melihat dari perspektif Akademisi Prancis-warga masyarakat Barat, yang dapat berbeda dengan perspektif warga wilayah lain misalnya dibandingkan dengan kepentingan Asia, dalam melihat Sukses Besar pembangunan ekonomi Tiongkok dengan segala pandangan akan dampaknya.

Tetapi menariknya, Profesor Antoine Brunet dan Profesor Jean-Paul Guichard (AB-JPG, kedua penulis buku ini sebagaimana dalam tradisi akademis Prancis dan Eropa umumnya, melihat secara komprehensif yang menukik ke perbandingan sejarah tentang Kisah Sukses Tiongkok ini dikaitkan dengan Kisah Sukses Jepang, dalam sejarah masa lalu, masa kontemporer dan dalam konteks inter-relasi secara global-internasional.

Juga, dalam melihat bagaimana konteks “Keajaiban Tiongkok”, menyusul “Keajaiban Jepang” dikaitkan dengan analisis peran Inggris di masa lalu dan Amerika Serikat di masa kini sebagai negara Adi Daya baik dalam perspektif Sejarah Pemikiran Ekonomi (history of economic thought) maupun sejarah perekonomian secara empiris (empirical economic history).

Buku Memaknai Hegemoni Ekonomi Tiongkok ini secara konstan mengemukakan tinjauan dalam konteks pemikiran arus tengah yang neoklasikal dan bagaimana AB-JPG merekomendasikan kebijakan bagi Amerika Serikat dan Eropa dalam menghadapi kemajuan ekonomi Tiongkok yang dalam beberapa tahun ke depan dapat menyalip Amerika Serikat dalam ranking GDP.

Dengan Uraian tersebut, terasa ada semacam “Etnocentrical bias”, yakni selalu menempatkan Barat (khususnya Amerika Serikat dan Eropa) sebagai “Pusat” yang harus, tetapi dalam posisi yang terpenting, baik secara geo-politik maupun geo-ekonomi global.

Padahal, sudah lebih dari satu dasawarsa, disadari oleh berbagai kalangan intelektual secara internasional, akan adanya fakta tentang tengah terjadinya pergeseran Pusat Ekonomi Dunia dari Atlantik ke Pasifik dan diramalkan Asia akan menjadi Pusat Pembangunan Ekonomi dan Peradaban Dunia sebagaimana dikemukakan oleh salah satu buku yang berpengaruh yang ditulis oleh Kishore Mahbubani.

Adalah Sangat menarik, pandangan Profesor Kishore Mahbubani–Intelektual dari Lee-Kuan Yew School of Public Policy Singapore–yang sangat disegani oleh kalangan intelektual Amerika Serikat maupun Eropa karena pandangannya tentang Ekonomi Pasar di Asia.

Menurut Mahbubani, negara-negara di Asia menempatkan Ekonomi Pasar sangat pragmatis dalam apa yang ia sebut March to Modernity dan meramalkan karena keadaan sekarang dan kecenderungannya ke depan. Menurutnya Asia akan menjadi “Pusat Peradaban dan Pembangunan” yang sekarang masih berpusat di negara-negara Barat.

Namun Sukses banyak negara-negara Asia (Jepang, Tiongkok, Korea-selatan, India, Malaysia, Thailand, Singapura), mekanisme pasarnya tanpa harus meninggalkan nilai-nilai Agama, nilai tradisional dan dengan peran negara dan demokrasi politik yang unik dan bervariasi.

Ia mencontohkan di Tiongkok, bagaimana rakyatnya sekarang bukan hanya menikmati kemakmuran yang jauh lebih tinggi, tetapi juga kebebasan atau demokratisasi secara riil berkat kemajuan ekonomi. Dengan demikian, Ekonomi Pasar di Asia menyempal dari arus tengahnya Ekonomi Pasar Amerika Serikat dan Eropa atau Profesor Didin S. Damanhuri menyebutnya sebagai Ekonomi Heterodoks.

Kemudian kita mengenal Ekonomi Pasarnya Jepang yang dalam waktu relatif singkat (1970-1990an) kinerja cabang-cabang industrinya (Elektronik, Telekomunikasi, otomotif) mampu men-trespasse cabang industri Amerika Serikat dan Eropa, berkat peran negara dengan apa yang disebut Japan Incorporated, yakni, peran perencanaan jangka panjang dan sinerginya dengan pelaku lain (swasta, parlemen, dunia riset, para perwakilan di luar negeri).

Sementara dalam praxisnya, menyerahkan sepenuhnya kepada pihak swasta untuk merealisasikan aksi koporasinya dalam mekanisme pasar (nasional maupun global). Menurut hasil studi, kesejahteraan buruhnya juga–bersama Swedia–yang paling tinggi di dunia, di mana serikat buruh di Jepang tidak terlalu kuat seperti di Eropa.

Ekonomi Pasar Amerika Serikat dengan peran negara yang relatif minim, yang menghasilkan kinerja sebagai Adidaya Ekonomi, Politik dan militer di dunia berkat kemajuan Iptek yang fantastis, namun kinerja sosialnya rapuh.

Dewasa ini ada sekitar 2 juta gelandangan (karena krisis 2008), penduduk tanpa rumah sekitar 12 persen, kemiskinan (dengan poverty line menurut ukuran mereka sendiri yang jauh lebih tinggi dari negara-negara berkembang) sekitar 18 persen. Problem kemiskinannya lebih menjadi urusan Yayasan-Yayasan sosial seperti Yayasan Keluarga Kennedy, Rockefeller, Ford, dan lain-lain.

Sejak Administrasi Obama dari Partai Demokrat, memang sekarang untuk urusan Kesehatan, terdapat Undang-Undang yang menjamin penduduk miskin mempunyai akses kepada pelayanan kesehatan yang gratis, meskipun saat itu lagi dicoba mau dicabut kembali oleh Partai Republik lewat penolakan Anggaran pada Tahun 2013-2014 yang kemudian menimbulkan kebijakan yang menghebohkan dunia, yakni “penghentian sementara pelayanan pemerintahan” (shutdown) oleh Presiden Obama.

Ekonomi Pasar di Eropa ceritanya lain lagi, di mana berdampingan dengan peran negara yang menjamin sistem jaminan sosial untuk seluruh penduduk, juga menjadi mediator Buruh dan Majikan, serta mendorong Gerakan Koperasi yang sangat efisien dan perform.

Dengan begitu, Ekonomi Eropa umumnya lebih merata dan relatif kecil kemiskinannya, meski sekarang lagi terserang krisis fiskal dan sosial sekaligus maupun covid19 yang belum juga berakhir hingga sekarang. Dengan krisis 2008 di AS yang hingga sekarang belum pulih benar dan juga Eropa dengan krisis fiskal yang masih jauh dari selesai.

Sebaliknya Asia terus memimpin pertumbuhan dunia dengan bermacam variasi dalam model pembangunannya seperti secara ringkas diuraikan sebelumnya. Namun, pertanyaan yang penting bukanlah apakah Tiongkok merupakan hegemoni yang baik atau tidak, melainkan bagaimana kawasan seharusnya merespon kemungkinan meningkatnya hegemoni tersebut.

Dalam jangka pendek, sedang terjadi peningkatan pengeluaran dan pembelian senjata militer di kawasan Asia, tidak terkecuali Indonesia yang diprediksi akan meningkatkan anggaran militernya. Demikian halnya Filipina dan negara-negara lain di Kawasan Asia. Hal tersebut mengindikasikan akan adanya suatu perlombaan senjata di Asia.

Namun, harus dipahami bahwa opsi internal balancing dalam merespon Tiongkok bukanlah opsi bijak. Hal ini karena sebagian besar negara-negara Asia adalah negara berkembang, di mana berbagai kendala domestik untuk merealisasikan strategi ini termasuk kepentingan ekonomi dan pembangunan, serta kapital politik untuk mengalokasikan dana militer.

Presiden Obama di awal pemerintahannya kedua mencetuskan pivot to Asia. Nyatanya, empat tahun setelahnya, « yang kuat » tersebut tidak kunjung tiba. Terlebih Pemerintahan Trump akan dijatuhkan hambatan dan beban mobilisasi militer yang sama dengan yang diampu Obama.

Namun, jika benar militer AS akan terlibat dalam rangka membantu negara-negara kawasan Asia merespon peningkatan hegemoni Tiongkok, hal ini tidak berarti Tiongkok akan berhenti dan menjaga jarak. Salah satu penyebabnya adalah Laut Natuna Utara (LNU) lebih dari sekedar kantong ekonomi, kini merupakan bagian dari diskursus identitas nasional dan historis Tiongkok.

Walaupun kemungkinan adanya konflik terbuka masih terlihat rendah, dapat dipastikan bahwa opsi keseimbangan baik internal maupun eksternal dengan bantuan AS merupakan opsi yang berujung pada ekskalasi ketegangan dan sentimen nasionalisme negara-negara kawasan. Opsi yang lebih strategis untuk diambil adalah tindakan-tindakan yang menghasilkan deeskalasi ketegangan yang ada.

Hal ini termasuk merevitalisasi kerjasama keamanan antara Tiongkok dan negara-negara kawasan Asia pada isu non-tradisional seperti terorisme dan narkoba, berpartisipasi dalam upaya Tiongkok dalam program One Belt One Road (OBOR), mempertimbangkan kerjasama bilateral dan juga multilateral dengan Tiongkok di gugusan kepulauan sengketa di LNU. Selain itu, melanjutkan upaya untuk mendirikan sebuah code of conduct yang saling bermanfaat di kawasan yang sama.

Memang kini Tiongkok terkesan sebagai hegemoni yang secara agresif memproyeksikan kekuatannya di kawasan. Namun, dari kacamata negara-negara di kawasan Asia, semua merupakan sekutu AS, semua melakukan latihan militer bersama rutin dan sebagian besar menyediakan tempat bagi pangkalan militer AS.

Namun kita tidak dapat memungkiri adanya the miracle of China yakni pertumbuhan PDB perkapita Tiongkok mencapai lima kali lipat dari pertumbuhan perkapita dunia.

Selain itu, bila Britania Raya membutuhkan 58 tahun mencapai tahap industrialisasi yakni pada periode 1880-1938, Amerika Serikat membutuhkan waktu 47 tahun untuk mencapainya pada periode 1839-1886, Jepang membutuhkan 34 tahun mencapai masa industrialisasi yakni pada periode 1885-1919, Korea Selatan membutuhkan masa 11 tahun mencapai masa industrialisasi yakni pada 1966-1977, maka Tiongkok hanya membutuhkan 8,6 tahun yakni pada periode.

Pembangunan bertumpu pada fondasi crisis less growth, pada lima hal yakni likuiditas internasional yang tinggi, sistem perbankan solid, sistem pengamanan keuangan efektif, tingkat tabungan tinggi dan stabil, serta pasar besar dan kapasitas diferensial.

Selain itu, Tiongkok sangat memperhatikan nasehat dalam Paradoks Triffin yakni tetap mengakumulasi cadangan devisanya di dalam negerinya, kontras dengan pengalaman AS yang menumpuk cadangan devisanya di luar negeri yang dapat mengancam keistimewaan dolar sebagai mata uang dunia.

Buku ini menarik bukan hanya berisi uraian sejarah dan strategi ekonomi maupun geopolitik. Salah satu pelajaran yang dapat diambil dari buku ini bagaimana kita mempelajari strategi Tiongkok supaya Indonesia tidak menjadi korban dari politik hegemoni imperialisme Tiongkok.

Buku ini merupakan buku putih yang mengajar strategi apa yang harus dilakukan sehingga kita mendapat manfaat untuk membangun ekonomi Indonesia, melalui kerjasama internasional dalam berbagai bidang dan dapat menjadi rujukan dalam pengembangan pemikiran-pemikiran ekonomi di masa datang.

Namun, selain buku ini mendapat apresiasi, buku tidak lepas dari kritik pembaca. Istilah kapitalisme demokrasi, kapitalisme totaliter, sosialisme pasar kurang mendapat analisis mendalam. Fenomena di Tiongkok seperti reformasi ekonomi di perdesaan, eksploitasi tenaga kerja, kapitalisme pasar yang menimbulkan masalah lingkungan.

Akibat industrialisasi massal menimbulkan imperialisme baru Tiongkok yang berujung pada Tiongkok menjadi eksportir modal dan eksportir tenaga kerja murah, serta adanya sentralisasi modal pada segelintir group-group besar yang dapat kita lihat bahwa 215 perusahaan multinasional di dunia ini, 112 perusahaan tersebut berasal dari Tiongkok, dan buku ini belum menjelaskan bagaimana perilaku kapitalisme negara oleh Tiongkok.

Di balik perdebatan ini, Tiongkok menghadapi dua masalah besar yakni urbanisasi dan pembangunan ekonomi wilayah barat nan miskin. Namun, pada tahap pembangunan ekonomi pasca open door policy, Tiongkok berhasil melalui 3 masa besar yakni periode 1978-1999 merupakan masa perubahan politik, periode 1992-1999 merupakan ekspansi perekonomian pasar sosialis yang ditandai oleh pertumbuhan ekonomi rata-rata 10,9 persen, serta periode Tahun 2000 hingga sekarang merupakan periode pertumbuhan ekonomi tinggi, stabil dan inovatif walaupun masih menghadapi pandemi covid19.

Tentu saja semua negara berorientasi pada inovasi bergantung pada faktor penggerak pertumbuhan ekonominya : TK, Modal, sains dan teknologi. Negara Maju dan Berkembang tunduk pada hukum « 7-3-3-7 » yakni 70 persen perekonomian Negara Maju didorong oleh ilmu pengetahuan dan teknologi, dan 30 persen oleh TK, modal dan bahan baku. Sebaliknya, 70 persen perekonomian negara berkembang didorong oleh TK dan modal, dan 30 persen oleh sains dan teknologi.

Tentu saja jalan menuju transformasi ekonomi berbasis inovasi masih panjang bagi Tiongkok. Tetapi tanda-tanda menuju ke sana telah terlihat melalui digitalisasi ekonomi. Semoga uraian ini tentu menambah khazanah mengapa pada masa jabatan kedua, Presiden Trump mengambil kebijakan tarif resiprokal pada negara lain selain Tiongkok.***

ADUH! 2 Medali Emas Sulteng Beralih Menjadi Milik Riau, Setelah Putusan PN Jakarta Pusat 2025

KONI Sulteng
169 Views

JATI CENTRE – Perjuangan KONI Provinsi Riau, untuk mempertahankan atlet renang Riau, Azzahra Permatahani, akhirnya terpenuhi. Setelah melalui beberapa persidangan yang panjang baik di bidang hukum KONI Pusat dan BAORI, akhirnya diputuskan oleh Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, yang menyatakan Azzahra, resmi dan murni milik Riau.

Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Nomor 481/Pdt.Sus-Arb/2024/PN Jkt.Pst tanggal 3 Februari 2025. Amar putusannya mengabulkan permohonan pemohon dari KONI Riau. Menyatakan putusan arbitrasi BAORI KONI pusat bertentangan dengan Undang-undang RI.

Menyatakan menolak putusan BAORI, dan atlet Azzahra adalah atlet KONI Provinsi Riau, dan bukan atlet Provinsi Sulteng.

Menyatakan tidak sah perpindahan atlet Azzahra Permatahani dari KONI Riau ke KONI Sulawesi Tengah, dikarenakan putusan BAORI belum didaftarkan ke PN Jakarta Pusat, sesuai dengan pasal 59 UU Nomor 30 tahun 1999.

Putusan PN Jakarta Pusat juga memutuskan bahwa 2 medali emas yang diraih oleh atlet renang Azzahra Permatahani, yang semula milik Sulawesi Tengah, menjadi milik KONI Riau. Kemudian, putusan terakhir yang dikeluarkan yakni menghukum termohon untuk membayar perkara sebesar Rp578.000.

Ketua umum KONI Riau, Iskandar Hoesin, bersyukur keluarnya hasil keputusan PN Jakarta Pusat. Perjuangan yang telah dilalui tim hukum KONI Riau akhirnya membuahkan hasil. Mulai saat menghadiri pertemuan KONI Pusat, bersama KONI Riau dan KONI Sulteng. Hingga pada saat entry by name dan satu hari menjelang pertandingan Cabor renang PON XXI Aceh-Sumut, KONI Pusat tetap berpegangan pada hasil BAORI.

“Alhamdulillah, perjuangan kita untuk mempertahankan Azzahra sebagai atlet renang Riau akhirnya terpenuhi. Setelah tim hukum KONI Riau menggugat hasil putusan BAORI di PN Jakarta Pusat. Hasilnya tidak sia-sia kita menang, dan Azzahra dinyatakan sebagai atlet Riau,” ujar Iskandar Hoesin sebagaimana dikutip dari laman riau.harianhaluan.com pada Rabu 26/3/2025.

“Yang paling kita sukuri, salah satu poin dari putusan PN Jakarta Pusat menyatakan perolehan medali yang diraih oleh Azzahra untuk medali emasnya menjadi milik Riau. Dua emas yang diraih Azzahaa pada PON Aceh-Sumut, sepenuhnya menjadi milik Riau,” tambah Iskandar Hoesin, didampingi Kabid Hukum KONI Riau, Syahrial.

Dijelaskan Iskansar Hoesin, dengan bertambahnya dua medali emas dari Azzahar tersebut, maka torehan medali emas Riau menjadi 23 medali emas dari 21 medali emas pada klasemen akhir PON XXI Aceh-Sumut, tahun 2024 lalu. Bahkan posisi Riau juga naik dari posisi 12, masuk ke posisi 10 besar klasemen PON XXI.

“Tambahan dua medali emas ini tentunya sangat menguntungkan kita, dan posisi kita berada di posisi 10 menggeser Lampung. Emas kita menjadi 23 emas dari 21 medali emas, setelah putusan PN Jakarta Pusat menyatakan medali emas Azzahra menjadi milik Riau. Dengan demikian target kita di 10 besar PON XXI Aceh-Sumut tercapai,” kata Iskandar Hoesin.

“Kita sudah mengajukan ke KONI Pusat untuk perubahan klasemen PON XXI Aceh-Sumut, begitu juga dengan putusan dari PN Jakarta Pusat juga sudah kita kirimkan. Sekarang kita menunggu keputusan dari KONI Pusat terkait dengan perubahan medali emas dan klasemen PON XXI,” tambahnya.

***

Untuk diketahui, pada pelaksanaan PON XXI Aceh-Sumut 2024, terjadi perselisihan antara KONI Riau dan KONI Sulteng, terkait dengan perpindahan atlet renang Riau Azzahra Permatahani ke Sulteng.

Kedua KONI ini sama-sama mendaftarkan Azzahra, namun kerena putusan BAORI KONI Pusat memenangkan Azzahar sebagai atlet Sulteng, KONI Riau pun mengajukan gugatan ke PN Jakarta Pusat.

Akhirnya setelah persidangan, PN Jakarata Pusat menyatakan Azzahra sebagai atlet resmi Riau dan membatalkan putusan BAORI, serta perolehan 2 medali yang diraih oleh Azzahra yang sebelumnya milik Sulteng menjadi milik Riau.***

Artikel pernah tayang di riau.harianhaluan.com

Identifikasi 13 Titik Tambang Ilegal di Sulteng

311 Views

JATI CENTRE – Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Sulawesi Tengah, pernah melaporkan ada 13 titik Pertambangan Tanpa Izin (PETI) di wilayah kerjanya. Titik terbanyak berada di Parigi Moutong.

Kepala ESDM Sulteng, Haris Kariming saat itu mengatakan, 13 titik itu merupakan laporan hasil investigasi oleh Tim Inspektur Tambang (TIT) Kementerian ESDM.

“13 titik tambang ilegal itu tersebar di sejumlah kabupaten/kota di Sulteng dan terbanyak berada di wilayah Parigi Moutong,” terang Haris, Kamis (18/3/2021) sebagaimana dikuti dari Media Indonesia.

Haris menjelaskan, khusus untuk wilayah Parigi Moutong, masing-masing terdapat di Desa Lobu sebanyak tiga titik, 21,6 hektare (ha) di antaranya berada di kawasan hutan lindung.

Sementara dua titik lainnya masing-masing seluas 12,8 ha dan kurang lebih satu ha. Kemudian di Desa Kayubuko seluas 72,371 ha yang telah ditertibkan beberapa kali suratnya.

Selanjutnya, lanjut Haris, PETI di Buranga, Kecamatan Ampibabo yang belum lama ini mengalami longsor dan menelan korban jiwa.

Selain itu, PETI di Tirtanagaya, Kecamatan Bolano Lambunu, kemudian di Sungai Tada, Kecamatan Tinombo Selatan, di Desa Sijoli Kecamatan Moutong, serta di Desa Kasimbar Barat dan Kasimbar.

“Kemudian di Salubanga, Kecamatan Sausu seluas 1165 hektar yang diusulkan untuk menjadi WPR (Wilayah Pertambangan Rakyat),” ungkap Haris.

Selain di Parigi Moutong, juga terdapat titik PETI di sejumlah daerah lainnya di Sulteng, seperti di wilayah Kabupaten Poso, tepatnya di Dongi-Dongi seluas 15 ha lebih dan di Kecamatan Toili Barat, Kabupaten Banggai.

“Untuk wilayah Kabupaten Buol terdapat di dua titik, tepatnya di Desa Bulubalang, Kecamatan Paleleh Barat dan di Desa Dopalak Kecamatan Paleleh kurang lebih 10 ha,” kata Haris.

Di Kota Palu sendiri juga terdapat titik peti yang sudah beroperasi cukup lama.

“Lokasi peti tersebut berada di dalam lahan kontrak karya PT. Citra Palu Minerals (CPM) di Kelurahan Poboya, Kecamatan Mantikulore,” imbuh Haris.

Kepala Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Sulteng, Sadli Lesnusa mengatakan, aktivitas PETI jelas diartikan melanggar aturan, tidak ada yang membenarkan, sehingga perlu diupayakan penertiban.

“Keberadaan PETI di Sulteng, telah berjalan cukup lama dan turun temurun, di antaranya karena faktor modal usaha kecil, lemahnya pemahaman pelaku usaha, dan pengurusan izin yang dianggap terlalu panjang birokrasinya,” tandasnya.

Data Terbaru

Aktivitas PETI tentu melanggar UU Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, serta tidak memberi pemasukan kepada negara/daerah.

Sehingga atas data tahun 2021 tersebut, hingga kini tentu ada perubahan yang bisa terjadi penambahan lokasi aktivitas PETI yang mengancam kelestarian lingkungan.

Dinas ESDM sesuai kewenangannya penting memberikan data dan informasi mutakhir tentang aktivitas PETI di daerah dalam wilayah kerjanya.

Sehingga dibutuhkan langkah penataan dari pemerintah daerah, dan penegakan hukum dari Aparat Penegak Hukum (APH).***

Artikel tayang di Media Indonesia : https://mediaindonesia.com/nusantara/391549/ada-13-titik-tambang-ilegal-di-sulteng?utm_source=chatgpt.com

MK: Pengunduran Diri Anggota Legislatif untuk Mencalonkan Diri sebagai Kepala Daerah Bertentangan dengan Prinsip Kedaulatan Rakyat

Pemohon MK
337 Views

JATI CENTRE – Mahkamah Konstitusi (MK) putuskan calon legislatif terpilih tidak boleh mundur demi maju kontestasi Pilkada.

Pengunduran diri calon legislatif terpilih dapat dibenarkan sepanjang pengunduran diri dimaksud dilakukan untuk menjalankan tugas negara yang lain, seperti diangkat atau ditunjuk untuk menduduki jabatan menteri, duta besar, atau pejabat negara/pejabat publik lainnya.

Artinya, jabatan-jabatan tersebut merupakan jabatan yang bukan jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum (elected officials), melainkan jabatan yang berdasarkan pengangkatan dan/atau penunjukan (appointed officials).

Demikian Putusan Nomor 176/PUU-XXII/2024 ini dibacakan dalam Sidang Pengucapan Putusan uji materiil Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu) terhadap UUD 1945.

Caleg Terpilih Tidak Boleh Mundur Demi Maju Pilkada

Sidang Pengucapan Putusan ini digelar pada Jumat (21/3/2025) di Ruang Sidang Pleno MK. Permohonan ini diajukan oleh Adam Imam Hamdana beserta 3 (tiga) rekannya, yakni Wianda Julita Maharani, dan Adinia Ulva Maharani yang merupakan mahasiswa.

“Mengabulkan permohonan para Pemohon untuk sebagian. Menyatakan Pasal 426 ayat (1) huruf b Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang tentang Pemilihan Umum  bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai ‘mengundurkan diri karena mendapat penugasan dari negara untuk menduduki jabatan yang tidak melalui pemilihan umum’,” ujar Ketua MK Suhartoyo saat membacakan amar putusan dengan didampingi delapan Hakim Konstitusi lainnya.

Dalam pertimbangan hukum  yang dibacakan oleh Wakil Ketua MK Saldi Isra menekankan, bahwa meskipun pengunduran diri merupakan hak calon terpilih, mandat rakyat yang diberikan melalui pemilu harus menjadi pertimbangan utama sebelum mengambil keputusan untuk mengundurkan diri.

“Ketika seorang calon terpilih berhasil meraih suara terbanyak, maka keterpilihannya merupakan mandat rakyat yang harus dihormati. Suara rakyat yang diberikan dalam pemilu merupakan perwujudan demokrasi dan tidak boleh diabaikan,” ujar Saldi Isra.

Menurut MK, pengunduran diri seorang calon legislatif terpilih dapat meniadakan suara pemilih yang telah memilihnya. Dalam sistem pemilu proporsional terbuka, pemilih dapat memilih berdasarkan figur calon yang diusung. Jika calon yang terpilih mengundurkan diri, suara rakyat menjadi tidak bermakna dan menimbulkan ketidakpastian hukum.

Lebih lanjut, Hakim Konstitusi Arsul Sani dalam pertimbangan lainnya menjelaskan bahwa ketidakjelasan dalam Pasal 426 ayat (1) UU Pemilu berpotensi menimbulkan praktik yang tidak sehat dalam demokrasi.

Pasal ini tidak memberikan batasan yang jelas mengenai alasan yang dapat digunakan untuk pengunduran diri calon terpilih. Akibatnya, penyelenggara pemilu hanya memproses pengunduran diri tanpa mempertimbangkan dampaknya terhadap pemilih.

Alasan MK

Mahkamah Konstitusi menilai bahwa batasan dalam pengunduran diri calon terpilih diperlukan untuk menjaga prinsip kedaulatan rakyat dalam pemilu.

Oleh karena itu, MK memutuskan bahwa pengunduran diri calon terpilih harus memiliki alasan yang jelas dan konstitusional. Dua isu utama yang menjadi pertimbangan MK dalam putusan ini adalah pengunduran diri karena pencalonan sebagai kepala daerah dan pengunduran diri terkait kepentingan tugas negara.

MK juga menyatakan bahwa pengunduran diri untuk mencalonkan diri sebagai kepala daerah bertentangan dengan prinsip kedaulatan rakyat.

Sebab, calon tersebut telah mendapatkan mandat dari rakyat melalui pemilu legislatif. Di sisi lain, pengunduran diri dapat dibenarkan jika dilakukan untuk menjalankan tugas negara, seperti diangkat menjadi menteri, duta besar, atau pejabat negara lainnya yang bukan merupakan jabatan hasil pemilihan umum.

Putusan MK ini sejalan dengan fenomena yang terjadi dalam Pemilu Legislatif 2024, di mana banyak calon terpilih yang mengundurkan diri untuk maju dalam Pilkada.

MK menilai praktik ini mencerminkan ketidaksehatan demokrasi dan berpotensi bersifat transaksional, sehingga mengurangi penghormatan terhadap suara rakyat.

Dengan putusan ini, MK menyatakan bahwa Pasal 426 ayat (1) huruf b UU Pemilu bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat, kecuali dimaknai bahwa pengunduran diri hanya dapat dilakukan jika calon terpilih mendapat penugasan untuk menduduki jabatan yang tidak melalui pemilihan umum.

“Dengan demikian, dalil permohonan para Pemohon tentang tidak adanya batasan untuk calon terpilih mengundurkan diri yang diatur dalam Pasal 426 ayat (1) huruf b UU 7/2017 adalah dalil yang berdasar. Oleh karena itu, menurut Mahkamah terhadap I Pasal 426 ayat (1) huruf b UU 7/2017 harus dinyatakan bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai ‘mengundurkan diri karena mendapat penugasan dari negara untuk menduduki jabatan yang tidak melalui pemilihan umum’, sebagaimana termuat dalam amar Putusan a quo,” tegas Arsul.

Dalil Permohonan

Para Pemohon merasa bahwa adanya calon legislatif terpilih yang mengundurkan diri merupakan bentuk pengkhianatan, serta tidak bertanggung jawab atas mandat yang diberikan langsung oleh rakyat, terlebih adanya alasan yang tidak serius.

Pemohon juga mendalilkan dengan adanya pasal a quo, maka menimbulkan peluang setiap calon legislatif untuk sekadar tes saja, manakala suara yang didapatkan calon setelah dikalkulasikan menunjukkan tren yang positif, maka calon anggota tersebut akan mengundurkan diri dan berpindah haluan ke Pilkada.

Menurut Pemohon, hal tersebut sangat berpotensi menjadikan suara rakyat tidak dihargai. Padahal penghargaan terhadap suara rakyat sudah menjadi semangat Putusan MK Nomor 60/PUU-XXII/2024.

Selain itu, dalam negara hukum yang berkedaulatan rakyat, penting untuk memposisikan kepentingan rakyat sebagai kepentingan utama karena sejatinya prinsip kedaulatan rakyat memandang bahwa kekuasaan itu berasal dari rakyat. Sehingga dalam melaksanakan segala urusan berkenaan dengan tugasnya, para pemegang kekuasan harus berpegang pada kehendak rakyat yang lazimnya disebut dengan demokrasi.

Pemohon menyebut Putusan MK tersebut inheren dengan fenomena anggota DPR, DPD, dan DPRD yang melakukan pengunduran diri, dengan tanpa adanya limitasi yang jelas akan berpotensi terjadi praktik-praktik tukar suara rakyat dengan kepentingan politik dan kepentingan-kepentingan lain yang tidak selaras dengan prinsip kedaulatan rakyat.

Hal tersebut tentu bertolak belakang dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 40/PUU-VIII/2010 yang menyatakan bahwa prinsip paling pokok dari demokrasi adalah free and fairness (prinsip kebebasan memilih dan prinsip jujur adil).***

Sumber: Mahkamah Konstitusi

Nizar Rahmatu diLaporkan ke Bawaslu Parigi Moutong, Terkait Syarat Pencalonan Pilkada 2024

209 Views

JATI CENTRE – Syarat pencalonan M. Nizar Rahmatu yang juga Ketua KONI Sulteng ini pada Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Parigi Moutong (Parimo) 2024 kembali dipersoalkan.

Hal itu, ditujukan dengan adanya laporan warga negara dari Kelurahan Kampal, Kecamatan Parigi, Fadli ke Bawaslu Parimo.

Fadli mendatangi kantor Bawaslu Parimo, sekitar 16.00 WITA, Jum’at, 21 Maret 2025 lalu, didampingi sebanyak 10 penasehat hukum yang tergabung dalam Tim Hukum Erwin-Sahid.

“Hari ini, kami mendampingi saudara Fadli melakukan pelaporan di Bawaslu, terkait syarat pencalonan M Nizar Rahmatu,” kata Dr Muslimin Budiman, SH MH sebagai Tim Hukum Erwin-Sahid, saat konfrensi pers di Parigi, Jum’at.

Ia mengatakan, terdapat dua item yang dijadikan laporan ke Bawaslu Parimo, yakni putusan Mahkamah Agung (MA) Nomor: 72 K/PID.SUS/2015 dan surat Kejaksaan Negeri Palu Nomor: B3010A/T.6.10.PD.I/12/2024.

Sejak Agustus 2012, kata dia, M Nizar Rahmatu sudah tidak lagi menjalani masa penahanan, karena tidak ada perpanjangan status pengalihan penahanan dari Rumah Tahanan (Rutan) ke tahanan kota.

“Sehingga, statusnya tidak jelas lagi pada 2012. Apakah dia sebagai terpidana, sementara dia dalam proses pengalihan penahanan, yang dalam KUHP perhitungannya seperlima,” ungkapnya.

Kemudian, jika dikaitkan dengan berita acara eksekusi pada 15 Oktober 2019, pada dasarnya M Nizar Rahmatu dinilai belum menjalani masa hukumannya.

Apabila dilihat dari putusan MA, M Nizar Rahmatu menjalani hukuman badan dari 1 Desember 2011 hingga 12 April 2012.

“Yang kemudian, status pengalihan tahanannya mulai dari 12 April 2012 hingga perpanjangan status pengalihan penahanan dari Pengadilan Tinggi pada 12 Oktober 2012,” ujarnya.

Olehnya, dalam rentang waktu dari 2012 hingga turunnya putusan MA pada 2015, status hukum M Nizar Rahmatu tidak jelas.

“Apakah lepas demi hukum atau apa? Karena tidak ada lagi perpanjangan status pengalihan penahanan dari Mahkama Agung (MA),” tukasnya.

Dengan demikian, jika dikaitkan dengan PKPU 8 Tahun 2024 tentang syarat pencalonan kepala daerah, masa jedah M Nizar Rahmatu belum terpenuhi.

“Selain itu, jangan salah menafsirkan masa jedah lima tahun itu. Karena harus clear dulu semuanya selama lima tahu, baru bisa maju. Jadi lima tahun satu bulan, baru kita maju di Pilkada dan harus dihitung sejak pendaftaran pasangan calon,” terangnya.

Senada, Penasehat Hukum, Muh Nuzul Thamrin Lapali menambahkan, berdasarkan putusan MA terhadap status M Nizar Rahmatu, belum mencukupi masa jedah lima tahun. Mana lagi, ada pengalihan penahanan.

Ia menuturkan, baik peraturan perundang-undangan maupun PKPU mempertegas, masa jedah bagi mantan narapidana dihitung setelah yang bersangkutan menjalani keseluruhan sampai dengan tahapan pendaftaran pasangan calon.

“Jadi jangan dihitung dalam masa penelitian administrasi, karena tahapan pencalonan dimulai dari pendaftaran sampai dengan penetapan pasangan calon,” kata dia.

Dengan proses pelaporan ini, harapannya proses demokrasi lebih baik lagi. Selain itu, dari penemuan fakta ini, kesalahan dalam penyelenggaraan Pilkada Parimo tidak lagi terulang.

“Sebaiknya KPU Parimo lebih profesional lagi dalam melakukan penelitian berkas pencalonan. Karena daerah akan mengalami banyak kerugian, jika penyelenggaran Pilkada diulang kembali,” pungkasnya.***

Artikel pernah tayang di: noteza.id