Penertiban Alat Peraga Kampanye

358 Views

PENERTIBAN ALAT PERAGA KAMPANYE
Oleh: Ruslan Husen, SH., MH.
(Ketua Bawaslu Provinsi Sulteng)

 

Pendahuluan

Akibat dampak global wabah pandemi covid-19 yang melanda semua negara, KPU akhirnya menjadwalkan ulang hari pemungutan suara pemilihan kepala daerah serentak menjadi tanggal 9 Desember 2020. Langkah ini diambil setelah penundakan sebagian tahapan akibat wabah pandemi ini, hingga tahapan pemilihan dilanjutkan kembali dalam konsep yang disebut pemerintah sebagai tatanan normal baru (new normal).

Pada tahapan kontestasi pemilihan, di antara yang menyita perhatian publik adalah tahapan masa kampanye. Kampanye merupakan satu tahapan dalam pemilihan yang sangat krusial, karena pada tahapan ini peserta pemilihan memiliki kesempatan untuk menyampaikan program kerja serta visi misi mereka kepada pemilih agar dapat terpilih dalam kontestasi pemilihan. Kampanye seharusnya menjadi wadah pendidikan politik untuk menampung aspirasi politik masyarakat, dan fasilitasi penyampaian janji-janji politik dari para kontestan yang berebut simpati publik.

Pada tahapan masa kampanye pemasangan Alat Peraga Kampanye (APK) masih menjadi metode yang digemari partai politik atau gabungan parpol, pasangan calon dan/atau tim kampanye untuk mempromosikan citra diri peserta pemilihan yang mereka usung. Pemasangan alat peraga ini tidak memerlukan masyarakat berkumpul, dan bernilai sosialisasi praktis sehingga menjadikan metode ini menjadi pilihan sejak tahapan masa kampanye dimulai.

Namun dalam pelaksanaan, muncul masalah pemasangan alat peraga yang melanggar ketentuan. Mulai dari pemasangan pada tempat yang dilarang, jumlah yang melebihi dari ketentuan per/wilayah desa dan kelurahan, sampai desain materi muatan yang tidak sesuai ketentuan. Atas pelanggaran dimaksud mengharuskan langkah pencegahan pelanggaran, yang jika tidak diindahkan oleh pihak peserta maka diikuti langkah penertiban. Berdasarkan hal tersebut, muncul permasalahan siapa yang berwenang dalam penertiban APK yang melanggar, dan bagaimana mekanisme penertibannya?

Sebelum masa kampanye, muncul juga berbagai alat peraga berbentuk spanduk dan baliho milik para bakal calon kepala daerah dengan tujuan untuk mensosialisasikan citra diri mereka. Bahkan ada yang berani menyebut sebagai calon kepala daerah, padahal belum ada calon yang ditetapkan oleh KPU setempat. Atas peraga kampanye bernilai politik yang terpasang di area publik tersebut, apakah melanggar atau tidak. Jika melanggar ketentuan, siapa yang berwenang melakukan penertiban dan kapan itu dilaksanakan?

Konsep dan Pengaturan Kampanye

Kampanye sejatinya mencerdaskan, membahagiakan, dan menjadi referensi yang cukup bagi pemilih untuk menentukan pilihan dan menyalurkan hak pilihnya di hari pemungutan suara. Kampanye pasangan calon idealnya disampaikan dengan cara sopan, tertib, mendidik, bijak, dan beradab, serta tidak bersifat provokatif. Melalui kampanye, pasangan calon dapat mengukur perolehan suara dengan kekuatan visi, misi, dan program yang ditawarkan dan disampaikan kepada masyarakat sebagai pemilih. Dengan demikian, kampanye semestinya menjadi wadah adu ide, gagasan, dan program dari pasangan calon yang akhirnya menjadi sarana interaksi yang mencerdaskan terutama bagi masyarakat pemilih dan pasangan calon.[1]

Menurut Gun Gun Heryanto kampanye harus diletakkan tidak semata sebagai upaya meraup suara dengan menghalalkan segala cara. Melainkan harus dibingkai dengan tanggung jawab politik guna menjaga kualitas kontestasi elektoral. Kampanye tidak semata dimaknai sebagai skema prosedural melainkan harus menjaga etos demokratik seperti nilai ketaatan atas hukum dan keadaban politik.[2] Sehingga pelaksanaan kampanye wajib tunduk dan patuh pada peraturan yang mengatur soal tahapan kampanye pemilihan.

Atas Peraturan KPU tentang kampanye pemilihan kepala daerah, ditemukan metode kampanye yang sebelumnya dapat dilaksanakan menjadi terlarang dilakukan akibat pandemi covid-19. Metode kampanye yang dilarang dilakukan dimaksud karena mengumpulkan dan melibatkan banyak orang berkerumun hingga rawan saling menyebarkan virus, meliputi: pentas seni, panen raya, dan atau konser musik; kegiatan olahraga berupa gerak jalan santai, dan atau sepeda santai; perlombaan; dan kegiatan sosial berupa bazar, donor darah, dan/atau hari ulang tahun.

Walaupun terdapat metode kampanye yang dilarang, partai politik atau gabungan parpol, pasangan calon dan/atau tim kampanye tetap diperbolehkan melaksanakan kampanye menggunakan metode tertentu. Merujuk pada Pasal 65 UU Pemilihan, metode kampanye dapat dilaksanakan melalui:

  1. pertemuan terbatas;
  2. pertemuan tatap muka dan dialog;
  3. debat publik/debat terbuka antarpasangan calon;
  4. penyebaran bahan kampanye kepada umum;
  5. pemasangan alat peraga kampanye;
  6. pemasangan iklan kampanye di media massa cetak, media massa elektronik, dan lembaga penyiaran publik atau lembaga penyiaran swasta;
  7. kegiatan lain yang tidak melanggar larangan kampanye dan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Atas semua metode kampanye yang diperbolehkan, pemasangan APK masih menjadi metode yang digemari para kontestan pemilihan. Alat peraga kampanye merupakan semua benda atau bentuk lain yang memuat visi, misi, dan program pasangan calon, simbol, atau tanda gambar pasangan calon yang dipasang untuk keperluan kampanye yang bertujuan untuk mengajak orang memilih pasangan calon tertentu, yang difasilitasi oleh KPU yang didanai APBD dan dibiayai sendiri oleh pasangan calon.[3] Jadi alat peraga ada yang dibiayai oleh penyelenggara lewat anggaran hibah daerah, dan ada yang dibiayai dan dilaksanakan sendiri oleh partai politik dan/atau pasangan calon.

Tujuan fasilitasi kampanye melalui anggaran daerah/negara menurut Lia Wulandari sebagai jaminan agar proses kompetisi berlangsung secara jujur dan adil antar peserta. Adanya perbedaan kemampuan sumber daya finansial dan manusia di antara peserta pemilihan, melalui fasilitasi kampanye diharapkan peserta memiliki kesempatan yang sama dalam melakukan kegiatan kampanye dan sosialisasi program, visi dan misi mereka kepada pemilih.[4] Adapun pembiayaan mandiri dalam produksi alat peraga oleh peserta pemilihan, tetap proporsional sebagai pengeluaran dana kampanye yang akan dilaporkan, dan dalam pelaksanaan harus tunduk pada aturan yang mengatur batasan jumlah, tempat pemasangan, dan desain materi muatan.

Beberapa ketentuan seputar metode kampanye APK pada perhelatan pemilihan, yang sekaligus dapat digunakan sebagai indikator kepatuhan atau terjadinya pelanggaran dalam pemasangan alat peraga. Pertama, jumlah dan ukuran. Jumlah dan ukuran APK[5] terdiri atas:

  1. baliho/billboard/videotron paling besar ukuran 4 (empat) meter x 7 (tujuh) meter, paling banyak 5 (lima) buah setiap pasangan calon untuk setiap kabupaten/kota;
  2. umbul-umbul paling besar ukuran 5 (lima) meter x 1,15 (satu koma lima belas) meter, paling banyak 20 (dua puluh) buah setiap pasangan calon untuk setiap kecamatan; dan/atau
  3. spanduk paling besar ukuran 1,5 (satu koma lima) meter x 7 (tujuh) meter, paling banyak 2 (dua) buah setiap pasangan calon untuk setiap desa atau sebutan lain/kelurahan.

Walaupun jumlah alat peraga sudah ditentukan, pasangan calon dapat menambahkan APK paling banyak 150% (seratus lima puluh persen) dari jumlah maksimal. Misalnya untuk jumlah 20 setiap kecamatan dengan ukuran 5m x 1,15m, pasangan calon dapat meminta KPU setempat memfasilitasi penambahan 10 sehingga memenuhi kouta 150% dari jumlah sebelumnya. Tapi penambahan lewat pembiayaan hibah daerah tetap memperhatikan ketersediaan anggaran lewat alokasi penggunaan di KPU setempat.

Kedua, desain dan materi. Desain dan materi alat peraga dapat memuat nama, nomor, visi, misi, program, foto pasangan calon, tanda gambar partai politik atau gabungan partai poitik dan/atau foto pengurus partai politik atau gabungan partai politik.

Namun, pada desain dan materi APK dilarang mencantumkan foto atau nama presiden dan wakil presiden dan/atau pihak lain yang tidak menjadi pengurus partai politik.[6] Juga dilarang memuat materi yang menjadi larangan kampanye, sebagaimana disebutkan dalam Pasal 69 UU Pemilihan.

Ketiga, Lokasi pemasangan. KPU berkoordinasi dengan pemerintah daerah, perangkat kecamatan, dan perangkat desa/kelurahan untuk menetapkan lokasi pemasangan APK, yang selanjutnya dituangkan pada keputusan KPU. Pada penetapan lokasi pemasangan, wajib merujuk pada Pasal 30 ayat (9) PKPU Nomor 4 Tahun 2017 yang menyatakan alat peraga dilarang dipasang pada lokasi meliputi: tempat ibadah termasuk halaman; rumah sakit atau tempat pelayanan kesehatan; gedung milik pemerintah; dan lembaga pendidikan (gedung dan sekolah). Pemasangan APK juga dilaksanakan dengan mempertimbangkan etika, estetika, kebersihan dan keindahan kota atau kawasan setempat sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Keempat, jangka waktu pemasangan. Pemasangan alat peraga dimulai pada masa kampanye sesuai peraturan tahapan yang ditetapkan KPU. Waktu kampanye dalam pelaksanaan pilkada putaran keempat, dimulai tanggal 26 September 2020 dan berakhir pada 5 Desember 2020 atau 3 hari sebelum tanggal pemungutan suara. Waktu tersebut sejatinya dimanfaatkan oleh pasangan calon untuk melaksanakan kampanye, karena setelah itu masa tenang menjadi terlarang melakukan kampanye.

Penertiban Alat Peraga Kampanye

Mekanisme penertiban Alat Peraga Kampanye (APK) merujuk pada Perbawaslu Nomor 12 Tahun 2018 Tentang Perubahan Atas Perbawaslu Nomor 12 Tahun 2017 Tentang Pengawasan Kampanye Peserta Pemilihan. Perbawaslu tersebut mengamanatkan tanggungjawab kepada Bawaslu, Bawaslu Provinsi, Bawaslu Kabupaten/Kota, dan Panwas Kecamatan untuk melakukan pengawasan terhadap persiapan kampanye dan pelaksanaan kampanye.[7] Pada tahapan persiapan kampanye, Bawaslu melaksanakan pengawasan terhadap lokasi pemasangan alat peraga yang akan ditetapkan oleh KPU setelah berkoordinasi dengan pemerintah daerah, perangkat kecamatan, dan perangkat desa atau sebutan lain/kelurahan.[8] Hal ini berhubungan dengan pelaksanaan pengawasan kampanye di lokasi yang terlarang dipasangi alat peraga.

Pada tahapan pelaksanaan kampanye, salah satu objek pengawasan jajaran Bawaslu yakni terkait pemasangan APK. Berdasarkan Pasal 8 ayat (2) Perbawaslu Nomor 12 Tahun 2017 menyatakan objek pengawasan yang dilakukan oleh jajaran Bawaslu untuk memastikan pemasangan hal-hal berikut:

  1. APK yang dipasang oleh KPU Provinsi dan/atau KPU Kabupaten/Kota sesuai dengan desain yang disampaikan oleh pasangan calon dan tim kampanye;
  2. APK yang ditambahkan oleh pasangan calon telah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
  3. penetapan jumlah maksimal APK berdasarkan hasil koordinasi KPU Provinsi atau KPU Kabupaten/Kota dengan pasangan calon dan/atau tim kampanye pasangan calon;
  4. adanya surat keputusan penetapan jumlah maksimal APK dari KPU Kabupaten/Kota;
  5. adanya surat persetujuan tertulis dari KPU Kabupaten/Kota untuk ukuran dan jumlah APK yang dicetak oleh pasangan calon;
  6. adanya persetujuan dari KPU Provinsi atau KPU Kabupaten/Kota untuk penggantian APK yang rusak pada lokasi dan jenis APK yang sama;
  7. Partai politik atau gabungan partai politik, pasangan calon dan/atau tim kampanye tidak mencetak dan memasang APK selain dalam ukuran, jumlah dan lokasi yang telah ditentukan oleh KPU;
  8. Gubernur atau wakil gubernur, bupati atau wakil bupati, dan wali kota atau wakil wali kota yang menjadi pasangan calon tidak memasang APK yang menggunakan program pemerintah provinsi atau kabupaten/kota selama masa cuti Kampanye;
  9. Gubernur atau wakil gubernur, bupati atau wakil bupati, dan wali kota atau wakil wali kota yang menjadi pasangan calon menurunkan APK yang menggunakan program pemerintah provinsi atau kabupaten/kota dan sudah terpasang sebelum masa kampanye dimulai dalam waktu 1×24 jam; dan
  10. pemasangan APK sesuai dengan jadwal dan lokasi kampanye yang sudah ditetapkan.

Atas objek pengawasan di atas, jajaran Bawaslu dapat melakukan pengawasan dengan cara: melakukan pengawasan langsung, mendapatkan salinan surat keputusan penetapan jumlah maksimal alat peraga, mendapatkan salinan surat persetujuan tertulis dari KPU Kabupaten/Kota untuk ukuran dan jumlah alat peraga yang dicetak oleh pasangan calon, mendapatkan salinan surat persetujuan dari KPU Provinsi atau KPU Kabupaten/Kota untuk penggantian alat peraga yang rusak, dan mendapatkan salinan berita acara penyerahan alat peraga.

Pada proses pengawasan, apabila ditemukan alat peraga yang tidak sesuai desain, jadwal, dan/atau lokasi yang telah ditetapkan, maka Bawaslu memberikan rekomendasi penurunan.[9] Rekomendasi dimaksud telah melalui proses penanganan pelanggaran administrasi di pengawas pemilihan, yang diawali dengan laporan atau temuan, rapat pleno, registrasi temuan pelanggaran, penanganan selama lima hari.

Rekomendasi penurunan atas pelanggaran pemasangan alat peraga ditujukan kepada KPU setempat selaku eksekutor. Atas rekomendasi tersebut, KPU melakukan serangkaian proses internal yang menghasilkan tindakan atas pelanggaran ketentuan pemasangan APK dimaksud, jika terbukti kebenarannya, peserta pemilihan dikenai sanksi oleh KPU berupa: peringatan tertulis; atau perintah penurunan APK dalam waktu 1 x 24 jam.[10]

Apabila partai politik atau gabungan partai politik, pasangan calon dan/atau tim kampanye tidak melaksanakan perintah penurunan APK dari KPU, maka Bawaslu berkoordinasi dengan Satuan Polisi Pamong Praja setempat untuk penertiban. Koordinasi dan penertiban alat peraga dalam praktek, dapat melibatkan pihak kepolisian untuk pengamanan, dan jajaran KPU sebagai penyelenggara teknis untuk bersama-sama melakukan penertiban alat peraga dimaksud.

Terhadap alat peraga yang masih terpasang menjelang hari tenang, maka KPU berkoordinasi dengan pemerintah daerah dan Bawaslu membersihkan alat peraga kampanye paling lambat 3 (tiga) hari sebelum hari dan tanggal pemungutan suara.[11] Jadi sentral penertiban alat peraga ada di KPU setempat, adapun pihak pemerintah daerah dan Bawaslu dapat berpartisipasi sesuai hasil rapat koordinasi yang digagas oleh KPU.

Muncul pertanyaan, bagaimana dengan alat peraga berbentuk spanduk dan baliho milik bakal calon kepala daerah yang terpasang sebelum masa kampanye dimulai? Alat peraga tersebut ditujukan sebagai sarana sosialisasi diri para bakal calon sebelum penetapan pasangan calon. Jadi subjek hukum yang diterangkan oleh alat peraga belum berstatus sebagai calon resmi sesuai penetapan KPU. Akibat subjek yang belum terpenuhi, maka Bawaslu belum memiliki wewenang melakukan serangkaian proses penindakan pelanggaran administrasi.

Lalu siapa yang berwenang? Sejatinya pemerintah daerah menggunakan kewenangannya selaku penguasa ruang wilayah di daerah. Terhadap alat peraga yang dipasang pada tempat-tempat yang dilarang sesuai dengan peraturan daerah (Perda), dapat dilakukan penertiban oleh perangkat daerah. Jadi menggunakan instrumen dan sumber daya daerah, dengan catatan penertiban harus adil tanpa membedakan perlakukan atas alat peraga milik petahana atau bukan petahana.

Penutup

Mekanisme penertiban APK yang melanggar ketentuan, pertama Bawaslu memberikan rekomendasi penurunan alat peraga yang ditujukan ke KPU Provinsi atau KPU Kabupaten/Kota atas hasil pengawasan pemasangan alat peraga. Atas rekomendasi tersebut KPU Provinsi atau KPU Kabupaten/Kota memberikan sanksi berupa peringatan tertulis atau perintah penurunan APK dalam waktu 1 x 24 jam. Terakhir, apabila partai politik atau gabungan partai politik, pasangan calon dan/atau tim kampanye tidak melaksanakan penurunan, Bawaslu berkoordinasi dengan Satuan Polisi Pamong Praja setempat untuk menurunkan APK tersebut.

Terhadap alat peraga yang dipasang sebelum masa kampanye, dihitung sebagai keseluruhan jumlah hak peserta pemilihan yang boleh terpasang pada wilayah tertentu pada kampanye. Jika ternyata melebihi jumlah, dipasang pada wilayah yang dilarang, dan memuat desain materi yang tidak sesuai ketentuan, maka dapat dikategorikan sebagai pelanggaran sehingga dilakukan langkah-langkah penanganan pelanggaran hingga penertiban alat peraga.

Saran, sebelum penertiban alat peraga dilakukan baik pada tahapan kampanye dan tahapan masa tenang maka terlebih dahulu Bawaslu memastikan pencegahan pelanggaran telah dilakukan. Berupa surat himbauan, nota kesepahaman, dan koordinasi dengan pihak terkait yang ditujukan untuk mencegah terjadinya pelanggaran sekaligus mengefektifkan penertiban alat peraga kampanye.

Daftar Pustaka

Dede Sri Kartini (Editor). 2019. Perihal Penyelenggaraan Kampanye; Serial Evaluasi Penyelenggaraan Pemilu Serentak 2019. Jakarta: Bawaslu.
Gun-Gun Heryanto. 2019. Panggung Komunikasi Politik. Yogyakarta: Ircisod.
Ruslan Husen. 2019. Dinamika Pengawasan Pemilu. Bandung: Ellunar.

Catatan Kaki:

[1] Ruslan Husen. 2019. Dinamika Pengawasan Pemilu. Bandung: Ellunar. hlm. 145.
[2] Gun-Gun Heryanto. 2019. Panggung Komunikasi Politik. Yogyakarta: Ircisod. hlm. 150.
[3] Pasal 1 angka 22 PKPU Nomor 4 Tahun 2017 Tentang Kampanye Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, dan/atau Walikota dan Wakil Walikota.
[4] Lia Wulandari dalam Dede Sri Kartini (Editor). 2019. Perihal Penyelenggaraan Kampanye; Serial Evaluasi Penyelenggaraan Pemilu Serentak 2019. Jakarta: Bawaslu. hlm. 54.
[5] Lihat Pasal 28 ayat (2) PKPU Nomor 4 Tahun 2017.
[6] Lihat Pasal 29 ayat (2) PKPU Nomor 4 Tahun 2017.
[7] Pasal 2 ayat (3) Perbawaslu Nomor 12 Tahun 2017 Tentang Pengawasan Kampanye Peserta Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, dan/atau Walikota dan Wakil Walikota.
[8] Pasal 5 ayat (2) huruf f Perbawaslu Nomor 12 Tahun 2017.
[9] Pasal 8 ayat (4) Perbawaslu Nomor 12 Tahun 2017.
[10] Lihat Pasal 76 ayat (1) PKPU Nomor 4 Tahun 2017.
[11] Lihat Pasal 31 PKPU Nomor 4 Tahun 2017.

Bayang-Bayang Radikalisme di Tengah Pandemi Keberagaman

419 Views

Bayang-Bayang Radikalisme di Tengah Pandemi Keberagaman
Oleh : Ruslan Husen


Sepanjang sejarah peradaban umat manusia yang berlangsung berabad-abad lamanya, pemikiran dan aliran radikal muncul dengan berbagai bentuk yang tidak terbatas pada kelompok dan wilayah tertentu. Misalnya dalam tubuh umat Islam, terdapat pemikiran dan aliran radikal yang tidak menerima kemajemukan sebagai kenyataan perbedaan pandangan sesama umat Islam, apalagi perbedaan antar umat beragama. Hingga memaksakan pandangan dan kehendak menjurus pada tindakan kekerasan dan menumpahkan darah.

Bentuk pemikiran dan aliran radikal seperti itu, dalam sejarah tidak hanya terjadi di tubuh umat Islam, tetapi di tubuh umat Kristen, Hindu, dan Budha juga pernah terjadi. Hanya saja pola kekerasan di internal penganut agama itu telah selesai, mereka cepat merefleksi dan mengatur posisi mencegah konflik berkepanjangan yang merugikan.

Persoalannya, saat keradikalan pemikiran seseorang atau kelompok diikuti tindakan ekstrim berujung kekerasan dan intimidasi hingga memantik konflik sosial. Mereka cenderung menjadikan lawan terhadap orang atau kelompok yang memiliki pemahaman dan aliran keyakinan berbeda. Sebab menganggap pemikiran yang dipahaminya paling benar, sementara pemikiran berbeda tidak benar dan sesat, sehingga harus diluruskan dengan berbagai cara, kendati dengan cara kekerasan, intimidasi, bahkan menumpahkan darah.

Jika potensi pemikiran dan aliran radikal tidak dibendung secara tepat, maka kekerasan dan konflik terbuka dapat terjadi. Konflik antar agama atau konflik sesama internal umat beragama, konflik suku, dan konflik aliran kepercayaan dapat terbawa apalagi beriringan dengan situasi ekonomi dan politik. Ketika konflik, maka semua pihak akan dirugikan, kehidupan ekonomi macet, kehidupan sosial terganggu, sarana dan prasarana publik rusak, bahkan konflik berkepanjangan akan mengganggu stabilitas nasional hingga negara berpotensi terpecah bahkan hancur.

Sehingga perlu antisipasi semua pihak mencegah penyebaran pemahaman radikal yang menjurus pada tindakan kekerasan. Dalam tulisan ini akan diurai singkat, bagaimana cikal bakal sumber radikalisme? Bagaimana tuntunan sikap dan perilaku toleransi dalam negara bangsa? Terakhir, langkah strategis yang perlu dilakukan dalam penanganan potensi dan tindakan radikalisme?

Kekerasan; Buah Radikalisme

Radikalisme berasal dari istilah bahasa Latin, radix yang berarti akar, pangkal, bagian bawah, atau bisa juga berarti menyeluruh, habis-habisan dan amat keras menuntut perubahan.[1] Dalam Kamus Bahasa Indonesia[2] radikalisme diartikan sebagai paham atau aliran yang radikal dalam politik; paham atau aliran yang menginginkan perubahan dan pembaharuan sosial dengan cara drastis bahkan kekerasan.

Beranjak dari defenisi tersebut maka dipastikan Nabi Musa disebut radikalis oleh penguasa Fir’aun dan Nabi Muhammad dituduh radikalis oleh kaum Qurais. Dalam perkembangan saat ini, radikalisme cenderung berkonotasi negatif dan dipahami sebagai suatu pandangan, paham, dan gerakan menolak secara menyeluruh tatanan, tertib sosial, dan paham yang berbeda dengan cara perubahan atau perombakan secara besar-besaran melalui jalan kekerasan. Motifnya beragam baik sosial, politik, budaya maupun agama, yang ditandai tindakan-tindakan keras, ekstrim, dan anarkis sebagai wujud penolakan terhadap gejala yang dihadapi.

Fenomena kekerasan sebagai buah perbedaan pemahaman dari aliran keyakinan radikalisme dapat ditemui dari konflik berkepanjangan yang hingga hari ini terus terjadi, terutama di belahan dunia timur tengah. Banyak motif dan kepentingan negara besar terlibat turut menambah runyam peta konflik timur tengah. Rembesan konflik itu, dihubungkan dengan fenomena kekerasan yang terjadi di tanah air, dapat dikatakan memiliki korelasi erat. Ketika timur tengah bergejolak perang, maka imbas pada ikutan perbedaan pemahaman yang tajam pada kalangan penganut aliran keyakinan di tanah air menjadi terbawa-bawa, bahkan ikut memancing potensi konflik lewat tuduhan menyesatkan.

Atas dasar kesamaan ideologi dan empati sesama manusia lantas memunculkan gerakan balas-dendam atau tindakan pembalasan, dengan sasaran kelompok yang mendukung atau sealiran dengan tertuduh pelaku ketidakadilan di wilayah perang timur tengah tadi. Dengan melakukan kekerasan pada rumah ibadah atau pada komunitas tertentu penganut agama dan keyakinan berbeda, hingga tindakan kekerasan dilabeli oleh pemerintah sebagai tindakan “teroris”. Selanjutnya, akibat tindakan aparat pengamanan terutama dari kepolisian yang mereka nilai represif, memunculkan sikap balik menyerang dan menganggap aparat kepolisian sebagai musuh. Hingga turut menjadi sasaran kekerasan berupa bom bunuh diri atau pembunuhan, tanpa melihat lagi apa agama dianut.

Bahkan belakangan aparat pemerintah juga menjadi sasaran tindakan kekerasan dan target pembunuhan, karena dianggap sebagai pihak bertanggungjawab atas penanganan kelompoknya yang mereka nilai refresif dan tidak adil. Pemerintah dengan segala sumber daya lantas melakukan tindakan menghambat laju perkembangan sel-sel kelompok radikal ini. Memetakan pola jaringan, dan mengambil tindakan yang perlu guna mengatasi perkembangan pemikiran dan dampaknya. Menggunakan sarana penegak hukum maupun sarana pencegahan dengan pelibatan kelompok masyarakat secara luas.

Pada posisi ini, pola sasaran balasan atau target sasaran kekerasan dari kelompok radikal mengalami perubahan. Jika sebelumnya, sasaran merupakan komunitas agama tertentu (sebutlah penganut Kristen), lantas berubah ke aset-aset dan kepentingan Pemerintah Amerika Serikat-karena dianggap sebagai pelaku pembunuhan massa masyarakat sipil di Palestina, Afganistan, dan Irak. Selanjutnya berbalik menyasar aparat kepolisian-karena dianggap melakukan pembelaan terhadap musuh-musuh mereka dan melakukan tindakan represif yang tidak adil melalui penangkapan dan proses hukum. Hingga terakhir sasaran mengarah kepada pejabat negara yang dituduh bertanggungjawab mengkoordinir tindakan represif terhadap golongan dan aktivitas mereka.

Demikian gambaran singkat fenomena kekerasan yang pernah terjadi di tanah air. Walaupun disadari, masih banyak perspektif argumentasi penyebab, pola tindakan, dan penanganan tindakan kekerasan. Paling tidak, ada pemikiran dan aliran keyakinan yang menjadi penyebab sekaligus sebagai legitimasi kekerasan dan pembunuhan akibat perbedaan. Pola ajaran dan rutinitas spiritual bisa saja mereka tampak lebih dari penganut agama lain, tampak sholeh (ahli ibadah) dengan rutinitas keagamaan yang ketat. Namun menyimpan ajaran sekaligus ajakan menentang pemikiran berbeda dari yang mereka anut dan yakini.

Kenyataan ini bukan baru dalam pergolakan sejarah Islam, memegang predikat ahli ibadah namun berani menumpahkan darah sesama muslim. Contoh, Imam Ali bin Abi Thalib harus meninggal dunia karena tubuhnya ditebas pedang beracun saat bangkit dari sujud shalat shubuh oleh seorang Khawarij bernama Abdurrahman bin Muljam. Apakah Ibnu Muljam seorang preman dan tidak mengenal agama? Tidak, Ia merupakan ahli ibadah dan dikenal shalat wajib tepat waktu, melakukan rutinitas puasa, shalat malam dan ibadah sunnah lainnya. Bahkan merupakan guru mengaji, yang pernah dikirim Khalifah Umar bin Khattab ke Mesir untuk melakukan pengajaran Alquran di sana. Sangat ironis, pembunuhan ini menurut kaum Khawarij anggap sebagai tangga untuk mendekatkan diri kepada Allah Swt melalui tetesan darah dari orang yang tertuduh menyimpang.

Padahal siapa Ali Bin Abi Thalib, orang yang telah terbunuh. Apakah Khawarij Ibnu Muljam mengetahuinya? Ali merupakan sepupu Rasulullah Saw dan juga mantunya, Ali menikah dengan Fathimah az-zahra (Anak Nabi Saw) yang melahirkan cucu kesayangan Nabi Saw-imam Al-Hasan  dan imam Husein. Ali juga merupakan sahabat sejati Nabi dalam mengarungi medan dakwah Islam yang penuh tantangan, halangan, dan rintangan.

Akibat pandangan ideologi sempit sekaligus dangkal, hanya menganggap pemikiran dan aliran pemikiran yang dianut benar, sehingga pemikiran berbeda dicap tidak benar, alias ”sesat”. Khawarij berani mengkafirkan Ali, menganggap sesat dan menyesatkan karena dianggap tindak berhukum dengan cara Allah Swt, hingga halal darahnya ditumpahkan, dan membunuhnya merupakan jihad menegakkan ajaran agama. Klaim kebenaran sepihak dengan ikutan tindakan kekerasan dan pembunuhan letak masalah pemikiran dan aliran ini. Penghormatan dan toleransi antar sesama umat manusia menjadi hilang akibat doktrin sempit dan memaksanakan kehendak.

Radikalisme ternyata memiliki akar ideologi di kalangan pengikutnya. Aksi kekerasan bahkan pembunuhan didasari pada pandangan dan keyakinan keagamaan yaitu tafsir teks Alquran dan Hadits maupun pendapat para tokoh yang menjadi panutan. Para pelaku radikalime selalu mengklaim bahwa upaya mereka merupakan aktualisasi ajaran jihad yang dikehendaki Islam. Menurut Wahid Institut dan Ma’arif Institut[3] bahwa beberapa karakteristik radikalisme Islam yaitu:

  1. Menghakimi orang yang tidak sepaham dengan pemikirannya;
  2. Mengatasnamakan agama bahkan Tuhan untuk menghukum kelompok yang memiliki keyakinan berbeda;
  3. Gerakan mengubah negara bangsa menjadi negara agama;
  4. Mengganti NKRI menjadi khilafah;
  5. Klaim memahami kitab suci, karenanya berhak menjadi wakil Allah untuk menghukum siapapun;
  6. Agama diubah menjadi ideologi, menjadi senjata politik untuk menyerang pandangan politik yang berbeda.

Perlu antisipasi atas lahirnya generasi baru radikalisme yang bergerak terstruktur, sistematis, dan massif. Mereka bisa berwujud ahli ibadah yang menyuarakan pembebasan umat dari kezaliman, dan menawarkan jalan menuju surga dengan cara mengkafirkan sesama umat Islam yang kadang diikuti dengan justifikasi kebenaran akan tindakan kekerasan. Regenerasi radikalisme ini lahir dan bergerak meracuni generasi muda melalui pengajian-pengajian keagamaan dan pemberian bea-siswa lembaga pendidikan. Dalam proses transformasi pemikiran itu diidentifikasi ajarannya yang dengan mudah mengkafirkan sesama muslim.

Sumber Radikalisme

Gerakan radikal pada pokoknya menghambat kemajuan dan peradaban dunia Islam. Sebab mereka memiliki pandangan menyatukan berbagai aliran, pemikiran dan pandangan umat Islam ke dalam satu tubuh-aliran menurut pemahamannya. Ini jelas mustahil, perbedaan pandangan merupakan fakta sejarah dan merupakan ketetapan penciptaan yang beriringan dengan perkembangan umat manusia. Mengelola perbedaan pemikiran pada porsi yang tepat, mengakui perbedaan dan menerapkan toleransi. Misalnya, semua pemikiran benar dalam porsi masing-masing, yakni diyakini benar tapi menyimpan potensi salah, atau menganggap pemikiran lainnya salah tetapi memiliki potensi benar.

Menetapkan salah dan benar adalah hak preogatif pengadilan Tuhan, dan tidak diserahkan ke manusia, apalagi sering mengklaim hanya kelompoknya benar. Lalu siapa benar dari semua aliran pemikiran dimaksud? yakni siapa paling besar manfaatnya bagi kehidupan, dengan mengatasi keterpurukan kehidupan manusia. Dengan pemahaman ini, memupuk sikap dan tindakan berlomba-lomba melakukan kebaikan, mendahulukan kemuliaan akhlak pergaulan harmonisasi manusia.

Sekali lagi, perbedaan pemikiran dan aliran pemikiran merupakan fakta sejarah yang sudah berlangsung berabad-abad lalu. Bahkan sejak generasi awal manusia, sudah ada klaim merasa diri paling benar, dan menganggap pihak berbeda pandangan adalah tidak benar. Ini dicontohkan sisi peristiwa pembunuhan pertama kali manusia, oleh Qabil membunuh Habil. Keduanya bersaudara, anak-anak dari pasangan Nabi Adam AS dan Siti Hawa ketika sudah diturunkan ke muka bumi setelah diusir dari surga karena makan buah khuldi. Akibat merasa paling benar dan tidak membuka pintu toleransi, akhirnya pembunuhan terjadi-darah tertumpah.

Tidak dipungkiri bahwa dalam agama, secara tekstual ditemukan teks-teks yang bisa memberikan nuansa tindakan radikalisme. Persoalan penafsiran atas teks-teks keagamaan kadang menimbulkan justifikasi radikalisme atas nama agama, yang beririsan dengan pemahaman keagamaan sempit ditambah dengan frustasi menghadapi masalah kebuntuan kehidupan sosial-ekonomi berkepanjangan. Padahal tafsir teks keagamaan juga beragam, tergantung dari sudut pandang, jika dari sudut aliran radikal akan dianggap sebagai perintah agama. Namun dari sisi moderat, mendahulukan akhlak dan toleransi yang dapat diikuti dengan perang jika warga negara telah dibunuh dan terusir dari negaranya.

Lalu apa yang menyebabkan sumber radikalisme di kalangan masyarakat? Radikalisme tidak jalan sendiri, dan bebas nilai. Ada ideologi yang tertanam kuat di kalangan penganutnya, hingga penganut mati-matian membela dan berkorban, demi menegakkan keyakinan pemikiran dan mempertahankan eksistensi. Sumber radikalisme perlu dicari tahu, guna diketahui pola-pola hubungan dengan tindakan kekerasan, hingga ditemukan langkah tepat untuk mengantisipasi perkembangannya.

Menurut Moh. Tholhah Hasan[4], ada dua pandangan yang menjadi sumber gerakan radikal terutama dalam lingkup kehidupan beragama. Pertama, gerakan takfir. Pandangan berbeda lantas dianggap telah menyimpang sehingga menjadi kafir. Saat ada dua pilihan muslim atau kafir, walaupun orang lain beragama Islam namun karena memiliki pandangan berbeda dengan dirinya, maka dikelompokkan sebagai golongan kafir. Demikian pula dengan pejabat, politisi, dan aparat penegak hukum mereka anggap kafir karena tidak menerapkan hukum Islam sesuai dengan pandangannya, bahkan karena penyelenggara negara melakukan tindakan kebijakan yang merugikan dan menghambat dakwah Islam, menurut yang berpandangan ekstrim dapat dibunuh dan halal darahnya untuk ditumpahkan.

Kedua, heroisme bayang-bayang negara Islam. Berpendapat bahwa masyarakat sekarang sejatinya sama dengan masyarakat awal Islam saat Nabi Muhammad Saw menetap di Mekkah dan Madinah selanjutnya di bawah kepemimpinan khilafah Islamiyah. Apa yang dilakukan dan dipraktekkan oleh Nabi hendak menjadi panutan dan tuntutan, kendati dengan batasan pemahaman klaim kebenaran sepihak. Mereka menganggap praktek kehidupan masa Nabi dan kepemimpinan khilafah bisa dipraktekkan dan diwujudkan dalam kehidupan kenegaraan saat ini. Adapun keterpurukan kehidupan masyarakat bernegara, dianggap karena tidak menerapkan sistem Islam, makanya harus diubah menjadi negara Islam.

Sebenarnya mereka memahami ajaran agama dalam kadar pemahaman sempit, karena hanya mendalami pemikiran dan aliran dari golongan pihaknya. Tidak membuka diri akan kemajemukan dan memahami pemikiran dunia Islam, sehingga dapat memetik hikmah dari semua pemikiran paling benar. Termonopoli ajaran agama bahkan kebenaran yang seharusnya milik bersama. Ditambah lagi dengan mengambil peran Tuhan untuk menghakimi manusia, dengan berani mengatakan ini sesat dan itu sesat, ini bid’ah dan itu bid’ah. Mereka berusaha menunjukkan eksistensi dan otoritas pemikiran dengan mengambil peluang keterbatasan kehidupan sosial dan kelemahan otoritas dalam negara.

Apalagi soal toleransi, lagi-lagi dinafikkan. Berbeda pendapat, lalu menganggap “lawan” pihak berbeda pendapat dengannya. Susah mengakui keberagaman dan perbedaan pendapat dari pihak lain. Sikap toleransi tidak pernah, terutama dengan sesama umat Islam yang berbeda pendapat, demikian pula dengan pemeluk agama lain yang mempersoalkan eksistensi mereka akan dianggap sebagai lawan. Parahnya lagi jika diikuti dengan tindakan kekerasan dan pembunuhan.

Selain dua faktor tersebut, faktor ketiga, yakni faktor ketidakadilan ekonomi dan politik, juga menjadi penyumbang sumber radikalisme. Adanya keterpinggiran akses terhadap hasil-hasil pembangunan, dan ketidakpuasan hasil kontestasi politik menjadi alasan pemicu lahir gerakan radikal. Agama pada tahap awal bukan pemicu, namun ketika kelompok sudah terbentuk dan menghadapi masalah ekonomi dan politik, maka agama menjadi faktor legitimasi perekat untuk melakukan tindakan radikal kendati dengan cara kekerasan.

Isu lokal karena ketidakadilan ekonomi dan politik menjadi masalah awal keterpurukan soal, jika masalah tersebut beriringan dengan ajaran agama maka jadi penguat sekaligus pemicu tindakan radikalis. Tujuan tindakan mereka untuk memulihkan keterpurukan sosial dengan menunjuk aktor pemerintah sebagai pihak bertanggungjawab yang menyebabkan keterpurukan kendati dengan cara kekerasan.

Terakhir faktor keempat, yakni ketidakadilan penegakan hukum. Penanganan pelanggaran dan proses penegakan hukum dinilai timpang. Dengan tindakan tajam, dan tegas terhadap kelompok Islam, tetapi atas pelanggaran serupa yang dilakukan oleh kelompok non Islam malah diperlakukan berbeda. Saat kelompok Islam melakukan kekerasan disebut sebagai aksi terorisme, tetapi kelompok di luar itu disebutkan krimimal biasa atau kelompok sipil bersenjata. Parahnya lagi, sebagian media massa ikut-ikutan memperkeruh suasana dengan terus menyebarkan isu terorisme yang dipastikan selalu dilekatkan dengan Islam, tetapi selain itu dianggap tindakan kriminal biasa.

Toleransi

Setiap negara memiliki tantangan masing-masing dalam mengelola perbedaan, namun terdapat negara yang berhasil mengelola perbedaan warga negaranya hingga lahir persatuan dan kesatuan memperkokoh kehidupan berbangsa dan bernegara. Adanya toleransi masyarakat dalam suatu negara, memiliki hubungan erat antara fakta keberagaman dan kebijakan pengelolaan perbedaan. Banyak faktor berpengaruh mewujudkan kehidupan toleran, diantaranya warisan perjalanan peradaban umat manusia seperti karakteristik, kultur, dan keagamaan yang menjadi penyumbang terwujud atau tidaknya kehidupan toleran serta ketegasan negara mengayomi warganya.

Selain itu, salah satu penghambat mewujudkan kehidupan sesama yang toleran, yakni paham atau aliran radikal di tengah-tengah masyarakat. Paham ini pada kondisi tertentu menganggap lawan dari pihak berseberangan pendapat dengan dirinya, hingga beririsan dengan situasi geo-politik terutama di wilayah timur tengah yang memicu tindakan kekerasan atau pembunuhan kepada penganut berbeda atau pihak tertentu. Mereka menganggap pendapat dan aliran dianutnya paling benar, hingga belakangan mereka disebut pemerintah sebagai “teroris”.

Ragam pendapat, perbedaan pemikiran, serta ragam ijtihad merupakan hal yang bersifat naluriah dan tidak dapat disangkal. Secara realistis diakui terjadi karena adanya perbedaan tingkat pengetahuan, kemampuan akal, dalil-dalil yang saling berlawanan serta tidak diketahuinya sebagian dalil oleh yang lain. Tetapi, perbedaan pendapat ini sejatinya tidak menjadi sebab permusuhan, perpecahan, kekerasan dan pembunuhan, lalu menilai pihak yang berlawanan pendapat sebagai orang yang tidak punya ilmu dan tidak adil.[5]

Padahal menurut Ismatillah A Nu’ad, semua ajaran monoteisme (Yahudi, Kristen, dan Islam) yang selama ini diyakini sebagai rahmat dan keberkahan bagi seluruh alam akan hancur ditelan fenomena radikalisme yang ditakuti tatanan humanis, akibat memaksanakan kehendak dengan cara-cara kekerasan. Seruan-seruan yang mengajarkan kesetaraan, keadilan, dan toleransi yang diyakini ajaran monoteisme dimentahkan dengan logika kekerasan yang diperbuat umat-umatnya.[6]

Padahal agama Islam memberikan petunjuk toleransi kehidupan bernegara, mengakui perbedaan demi keutuhan persatuan sebagai sebuah bangsa. Bahkan bukan hanya Islam, ajaran agama lain juga menekankan penting nilai dan prinsip toleransi. Ajaran Islam, menurut Alwi Shihab[7] Alquran berkali-kali menganjurkan saling menjaga persatuan dan hubungan baik bahkan mengingatkan sesama muslim adalah bersaudara. Sebagai saudara, sudah selayaknya saling bekerja sama, bahu-membahu dalam mencapai kebaikan. Sesama muslim diingatkan untuk tidak menghujat hanya karena perbedaan mazhab dan aliran keyakinan, apalagi jika perbedaan tersebut tidak melanggar prinsip dasar keimanan. Untuk itu hendaknya mereka saling menjaga hubungan baik serta tidak saling mencurigai dan berprasangka negatif apalagi saling cemooh dan menghina serta mencari-cari kesalahan sesama.

Demikian pula dengan penganut agama lain, non-muslim. Alquran menganjurkan berbuat baik dan berlaku adil karena merupakan dasar pergaulan. Bukan berseteru, memaki, mencerca apalagi membunuh, dengan catatan selama pihak non-muslim tidak memerangi agama Islam dan selama tidak mengusir umat Islam dari negeri asal. Dengan kata lain, syarat memerangi pihak non-muslim ketika mengusir muslim dari negerinya. Alquran memerintahkan mempertahankan diri, dan membunuh lawan apabila mereka telah memulai membunuh. Selanjutnya Alquran juga memerintahkan berhenti berperang apabila musuh telah menghentikan agresi. Sebagai contoh warga Palestina dibenarkan untuk memerangi Israel untuk mempertahankan diri karena orang-orang Palestina telah diusur dari negerinya. Namun dalam situasi damai seperti Indonesia, maka perlakuan dituntut dari umat Islam merupakan perlakukan baik dan adil kepada non-muslim sesama manusia.

Penanganan Radikalisme

Agama prinsipnya tidak mengajarkan tindakan radikalisme, agama senantiasa mendahulukan kedamaian, ketenangan, dan kesejahteraan terwujud. Radikalisme terjadi akibat pemahaman ideologi sempit dan keterbatasan pengetahuan keagamaan, kendati pelaku ditemui dengan motif menjalankan ajaran agama. Nampak tidak menerima perbedaan pendapat dengan yang mereka anut. Seolah-olah pendapatnya paling benar, seolah-olah Tuhan berpihak di mereka hingga menghakimi pendapat benar dan sesat.

Paham radikalime perlu dibendung pemerintah dengan pelibatan pemuka agama dan lembaga pendidikan melalui cara yang dikenal dengan deredikalisasi. Deradikalisasi adalah suatu upaya mereduksi kegiatan radikal dan menetralisir pemikiran radikal melalui proses meyakinkan untuk meninggalkan penggunaan kekerasan. Program ini bisa berkenaan dengan proses menciptakan lingkungan mencegah tumbuhnya gerakan radikal dengan cara menanggapi akar-akar penyebab tumbuhnya gerakan ini.

Pertama, sosialisasi pemahaman arti penting toleransi. Internalisasi toleransi dalam diri setiap individu akan memantik masyarakat saling menghormati dan menghargai sesama, menumbuhkan nasionalisme, serta menyejahterakan kehidupan sosial. Hadirnya organisasi keagamaan dan organisasi lembaga lintas agama merupakan aset penting bagi terbangun perdamaian agama dan perdamaian lintas agama.

Demikian pula dengan peran strategis Majelis Ulama Indonesia menyosialisasikan toleransi dan memprakarsasi dialog antar umat beragama dengan menghimpun seluruh organisasi masyarakat. Dialog tidak boleh inklusif membatasi pada anggota tertentu dan organisasi yang terbatas. Lembaga ini harus benar-benar menjadi representasi lembaga Islam yang ada di Indonesia.

Kedua, pemberdayaan lembaga pendidikan, guna menanamkan pendidikan menyangkut semua aspek Alquran dan pembangunan akhlak setiap peserta didik. Pemikiran menyimpang dilawan dengan pemikiran Islam yang benar, dengan terus menanamkan ke dasar pemikiran peserta didik. Agar sasaran generasi mendatang dan masyarakat dapat memilah dan menetapkan pemikiran Islam yang benar untuk menjamin kehidupan adil dan damai.

Selain itu, program penelitian untuk mendapatkan gambaran motif dan pola gerakan juga penting dilakukan dengan memanfaatkan pihak perguruan tinggi. Untuk selanjutnya hasil penelitian menjadi bahan dalam penetapan kebijakan program dan kegiatan pemerintah menangkal gerakan radikal.

Ketiga, pendekatan kewirausahaan, dengan memberikan pelatihan dan modal usaha agar dapat mandiri dan tidak mengembangkan paham radikalisme. Kewirausahaan memiliki peran besar dalam pelaksanaan deradikalisasi dari sisi sosial ekonomi. Dunia usaha mampu menciptakan lapangan kerja, mengurangi pengangguran, meningkatkan pendapatan, dan meningkatkan produktivitas. Selain itu, dunia usaha juga memiliki peranan penting menjadikan masyarakat lebih inovatif, kreatif dan mandiri.

Keempat, penegakan hukum. Hukum sejatinya mampu mendinamisasi tata kehidupan masyarakat lewat instrumen penegakan hukum yang tegas dan adil. Pelaku kekerasan dan intoleransi dihukum secara adil dan tegas agar memberi efek jera sekaligus memberi tanda peringatan kepada mereka yang berniat-mencoba melanggar hukum. Tapi, dalam kasus radikalisme ini, penegakan hukum merupakan langkah terakhir dari langkah-langkah penanganan radikalisme dengan pelibatan lembaga masyarakat, yakni setelah dilakukan sosialisasi dan deradikalisasi ideologi.

Penutup

Radikalisme berasal dari paham radikal yang menganggap pemikiran dan aliran mereka saja yang benar, selain pemikiran itu tidak benar dan sesat. Pemikiran radikal, kadang diikuti sikap dan tindak radikal membid’ahkan, mengkafirkan, bahkan diiringi kekerasan bahkan pembunuhan. Padahal kehidupan berbangsa dan bernegara yang beragam, agama Islam menekankan perilaku toleransi mengakui perbedaan dan menjamin tata kelola kehidupan adil dan damai.

Sehingga perlu penangaan radikalisme, yang dapat mengancam stabilitas daerah bahkan nasional untuk dilakukan pemerintah dengan pelibatan stakeholders terkait terutama pemuka agama dan lembaga pendidikan. Melalui sosialisasi, pendekatan kewirausahaan, pemberdayaan lembaga pendidikan sebagai benteng utama membendung pemikiran radikal, yang beriringan dengan penegakan hukum kepada “siapa saja” pelaku intoleran, kekerasan, dan pembunuhan.


Catatan Kaki

[1] Muslih. 2015. Melacak Akar Radikalisme Beragama di Sekolah. Semarang: UIN Walisongo Semarang. hlm. 9.
[2] Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa. 2008. Kamus Bahasa Indonesia. Jakarta: Pusat Bahasa, hlm. 1246.
[3] Wahid Institut dan Ma’arif Institut dalam Abdul Jamil Wahab. 2004. Manajemen Konflik Keagamaan; Analisis Latar Belakang Konflik Keagamaan Aktual. Jakarta: Elex Media Komputindo. hlm. 108.
[4] Moh. Tholhah Hasan, dalam Alwi Shihab dkk. 2019. Islam dan Kebhinekaan. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama hlm. 228-229.
[5] Muhammad Thalib (Penerjemah). 2001. Membangun Kekuatan Islam Di Tengah Perselisihan Ummat. Yogyakarta: Wahdah Press. hlm. 62.
[6] Ismatillah A Nu’ad. 2005. Fundamentalisme Progresif Era Baru Dunia Islam. Jakarta: Panta Rei. hlm. 11.
[7] Alwi Shihab dkk, Ibid, hlm. 14 dan 34.


File pdf dapat didownload : Bayang-Bayang Radikalisme di Tengah Pandemi Keberagaman

Menuju Pilkada Serentak Tahun 2020

281 Views

MENUJU PILKADA SERENTAK TAHUN 2020
(Eksistensi Pengawas Pemilu  pada Pilkada Serentak Episode ke-4 dan
Ancaman “Romantisme Publik”)

Oleh : Ahmad S. Mahmud, S.Ip., M.AP.
( Tenaga Pendukung Bawaslu Prov. Sulawesi Tengah )

Komisi Pemilihan Umum (KPU) telah menyusun Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) Tentang Tahapan, Program dan Jadwal Penyelenggaraan Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan wakil Bupati, Walikota dan wakil Walikota Tahun 2020 serta telah ditetapkan dan diundangkan, yaitu PKPU Nomor 15 Tahun 2019. Dengan begitu artinya tahapan Pilkada Serentak Gelombang ke-4 akan segera dimulai. Selain itu, sebagai tanda akan segera dimulainya Pilkada dapat kita lihat dengan mulai bertebarannya Bahan Sosialisasi diri bakal calon yang akan mencoba peruntungan dalam kontestasi Pilkada di pada ruang-ruang publik saat ini.

Pada Pilkada serantak Tahun 2020 akan diselenggarakan Pemilihan Kepada Daerah (Pilkada) di 270 Daerah, Meliputi 9 Provinsi, 224 Kabupaten dan 37 Kota di Indonesia. Pilkada Tahun 2020 merupakan Pilkada serentak Gelombang ke 4 atau bisa dikatakan Pilkada Serentak Episode Ke-4, Pilkada serentak Pertama kali dilaksanakan Tahun 2015, Gelombang kedua dilaksanakan Tahun 2017 dan Gelombang ketiga dilaksanakan pada Tahun 2018.

Berdasarkan PKPU 15 Tahun 2019 tahapan Pilkada Serentak Episode Ke-4 dimulai dari Persiapan meliputi Perencanaan  Program yang akan dimulai 30 September 2019, sedangkan untuk Pelaksanaan Pemungutan Suara dan Penghitungan Suara di TPS untuk Pilkada Serentak Tahun 2020 akan Serentak  dilaksanakan pada 23 September 2020.

Terkait eksistensi Pengawas Pemilu  dalam menghadapi Pilkada tentunya tidak perlu diragukan lagi.! Ya,sudah 3 kali pengalaman dalam mengawal Pilkada Serentak mulai Pilkada serentak Tahun 2015, Pilkada serentak Tahun 2017 dan Pilkada serentak 2018. Apalagi Pengawas Pemilu  baru saja sukses mengawasi Pemilu  serentak Pertama kali di republik ini yang menggabungkan Pemilu Legislatif dan Pemilu Presiden dan Wakil Presiden atau Pemilu “Lima Kotak”, dan jaraknya hanya kurang lebih dua Bulan dengan dimulainnya tahapan penyelenggaraan  Pilkada Serentak Tahun 2020 dan Pengawas Pemilu  berhasil menjaga trust publik dan sukses merebut “hati” publik termasuk peserta Pemilu melalui eksistensinya dalam melakukan Pengawasan Pemilu serentak Tahun 2019.

Catatan kesuksesan dalam mengawasi Pemilu Serentak Pertama yang berdampak pada kepercayaan publik tersebut bukan pernyataan sepihak, berdasakan Penelilian Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesi (LIPI) kepercayaan publik terhadap integritas Bawaslu dan Jajarannya sangat baik. Dalam rilis hasil Riset LIPI tersebut 83,8% responden percaya bahwa Bawaslu dan jajarannya melaksanakan tugasnya dengan baik, ada 9,3% responden tidak percaya dan terdapat 6,9% responden tidak menjawab, Kepercayaan terhadap Pengawas Pemilu dalam hal ini Bawaslu dan jajarannya berada satu digit diatas KPU dan jajarannya, yang memperoleh angka 82,5%.

Namun tunggu dulu, hal itu selain menjadi nilai positif juga bisa saja memiliki dampak negatif terhadap eksistensi Pengawas Pemilu serta trust publik, sehingga dapat menjadi paradoks bagi Pengawas Pemilu dalam menjaga eksistensinya dalam mengawal Pilkada Serentak Tahun 2020.

Berdasarkan Undang-Undang Pilkada, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015, sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 Pengawas Pemilu  khususnya di tingkat Provinsi dan Kabupaten/Kota, sebagaimana diatur dalam Pasal 28 dan Pasal 30 Undang-Undang tersebut memiliki kewenangan di antaranya : Pertama, mengawasi tahapan penyelenggaraan Pemilihan; Kedua, mengelola, memelihara, dan merawat arsip/dokumen; Ketiga, menerima laporan dugaan pelanggaran terhadap pelaksanaan peraturan perundang-undangan mengenai Pemilihan; Keempat, menyampaikan temuan dan laporan kepada KPU Provinsi untuk ditindaklanjuti; Kelima, meneruskan temuan dan laporan yang bukan menjadi kewenangannya kepada instansi  yang berwenang; Keenam, mengawasi pelaksanaan tindak lanjut rekomendasi Bawaslu tentang pengenaan sanksi kepada anggota KPU Provinsi, sekretaris dan pegawai sekretariat KPU Provinsi yang terbukti melakukan tindakan yang mengakibatkan terganggunya tahapan penyelenggaraan Pemilihan yang sedang berlangsung; Ketujuh, mengawasi pelaksanaan sosialisasi penyelenggaraan Pemilihan; dan melaksanakan kewenangan lainnya yang diberikan oleh peraturan perundang-undangan.

Terdapat beberapa kewenangan yang notabene sebagai “mahkota” dalam melakukan penindakan yang hanya dimiliki dalam rezim Pemilu. Selain penguatan kelembagaan Pengawas Pemilu dalam Undang-Undang Pemilu memiliki kewenangan Yaitu Memutus Pelanggaran Administratif Pemilu dan Sengketa Pemilu; Memutus Pelanggaran Administratif Pemilu yang bersifat Terstruktur, Sistematis dan Masif (TSM) dan dapat memberikan sanksi diskualifikasi, dalam Pilkada kewenangan tersebut juga ada, namun terbatas pada pelanggaraan administratif Politik Uang; serta beberapa kewenagan besar lainnya dan juga memiliki porsi waktu yang lebih longgar dalam melakukan penanganan dugaan pelanggaran.

Singkatnya, dalam rezim Pemilu Pengawas Pemilu tidak hanya bertindak sebagai pengawas, namun juga memiliki wewenang eksekutorial terhadap pelanggaran administartif dan sengketa Pemilu, sehingga prodak dari hasil penanganan pelanggaran adalah putusan yang jika dalam Pilkada hanya berupa rekomendasi. Dan tidak dapat dipungkiri kewenangan-kewenangan tersebut menjadi daya tarik dan “pemikat hati” publik sehingga dapat membangun trust public terhadap eksistensi Pengawas Pemilu.

Paling tidak, berdasarkan kewenangan baru dalam Undang-Undang Pemilu Pengawas Pemilu bukan lagi “macan ompong” seperti Stereotipe yang berkembang di Publik dimasa lalu yang dialamatkan kepada Pengawas Pemilu karena lemahnya kewenagan yang dimiliki, atau katakan saja “tukang pos” yang menjadi istilah yang sering dialamatkan kepada lembaga Pengawas Pemilu dikarenakan tidak memiliki wewenang eksekutorial terhadap laporan maupun temuan hasil pengawasannya khususnya pelanggaran administratif, Pengawas Pemilu cukup meneruskan laporan/temuan hasil pengawasannya ke instansi berwenang. Dalam mengarungi Pemilu 2019, Bawaslu hadir dengan “wajah baru” memiliki kelembagaan yang kuat dengan kewenangan yang besar, Pengawas Pemilu berhasil mendapat bargaining position dalam penyelenggaraan Pemilu Tahun 2019.

Perlu dicatat, Publik terlanjur terbiasa dengan eksistensi Pengawas Pemilu  pada Penyelenggaraan Pemilu Tahun 2019 dengan kuatnya kewenangan yang diberikan melalui Undang-Undang 7 Tahun 2019. Sehingga, romantisme Publik terhadap pelaksanaan tugas fungsi dan kewenangan dalam Pemilu menjadikan banyak harapan besar publik dititipkan pada Pengawas Pemilu. Publik tidak cukup memahami bahwa ada kewenanganan berbeda pada rezim Pemilu dan rezim Pemilihan/Pilkada dimana Pengawas Pemilu memiliki kewenangan yang cenderung terbatas. Maka perlu disadari, dengan begitu keadaan ini bisa saja berdampak pada kekecewaan publik, karena begitu besar ekspektasi yang dititipkan kepada Pengawas Pemilu.

Tidak hanya Publik, Pengawas Pemilu  juga jangan sampai terjebak dalam romantisme tersebut, apalagi terlalu nyaman dengan ueforia, walapun saat ini Bawaslu RI telah mengajukan usulan perubahan terbatas Undang-Undang Pilkada, Jika memang akan ada revisi tentunya itu merupakan kabar gembira, namun demikian jika memang akan dilakukan revisi maka tidak bisa dalam waktu singkat, sementara Tahapan Pilkada sudah di depan mata.

Selain itu, tidak ada jaminan Undang-Undang Pilkada akan disetujui untuk dilakukan Revisi saat ini, seandainnya memang tidak ada revisi saat ini terhadap Undang-Undang Pilkada maka kondisi perbedaan kewenangan yang cenderung terbatas pada Pilkada sudah tentu sedikit banyak berdampak pada performance Pengawas Pemilu, dalam keadaan demikian dalam mengarungi Pilkada serentak Episode Ke-4 ini, Pengawas Pemilu setidaknya harus mempersiapakan diri sebaik mungkin untuk menjaga eksistensinya agar tetap mendapat trust publik.

Melakukan persiapan yang matang, melakukan Mapping, Mitigasi dan ekseskusi kebijakan Pengawasan dengan baik. Selain itu, penting untuk tetap intens memberikan pemahaman keadaan “keterbatasan” yang dimiliki kepada publik dalam konteks pengawasan dan penindakan. tetap menjaga  trust publik melalui kerja-kerja dengan performa terbaik, agar tidak ada lagi “macan ompong”, agar tidak ada lagi “tukang pos”, agar romanstisme tersbut bisa terjaga dan tetap berlanjut, Dan akhirnya Pilkada Episode Ke-4 “masih” berakhir dengan Happy Ending dan Ceria, Not Sad Ending. Semoga.!

Pernah terbit di Harian Radar Sulteng, edisi 2 September 2019.

Eksistensi Bawaslu dalam Sengketa Hasil Pemilu

257 Views

EKSISTENSI BAWASLU DALAM SENGKETA HASIL PEMILU
Oleh: Ruslan Husen

Sengketa hasil pemilu yang lebih dikenal dengan istilah perselisihan hasil pemilihan umum (PHPU) dapat dianggap sebagai residu demokrasi. Disebut residu, karena seluruh tahapan pemilu telah selesai yang ditandai penetapan hasil pemilu. Namun, terdapat peserta pemilu merasa ada proses tahapan pemilu mengabaikan prinsip demokrasi yang turut mempengaruhi perolehan suaranya. Hingga mengajukan permohonan PHPU ke Mahkamah Konstitusi (MK) sebagai alternatif terakhir membuktikan tata cara dan pelanggaran pemilu yang mempengaruhi perolehan suaranya. Sekaligus memohon kepada MK yang menerima, memeriksa dan mengadili perkara untuk membatalkan perolehan suara sebagaimana ditetapkan oleh KPU secara berjenjang dan menetapkan perolehan suara sesuai dalil petitum pemohon.

Perselisihan hasil pemilu disebutkan dalam ketentuan Pasal 473 Undang-Undang Nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu), meliputi perselisihan antara KPU dan peserta pemilu mengenai penetapan perolehan suara hasil pemilu secara nasional. Pertama, perselisihan penetapan perolehan suara hasil pemilu anggota DPR, DPD, dan DPRD secara nasional meliputi perselisihan penetapan perolehan suara yang mempengaruhi perolehan kursi peserta pemilu. Kedua, perselisihan penetapan perolehan suara hasil pemilu presiden dan wakil presiden secara nasional meliputi perselisihan penetapan perolehan suara yang mempengaruhi penetapan hasil pemilu presiden dan wakil presiden.  

Salah satu kewenangan MK sebagai lembaga peradilan yang memiliki kewenangan memutuskan dalam tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final, adalah memutus perselisihan hasil pemilu.[1] Kewenangan tersebut guna melaksanakan prinsip checks and balances yang menempatkan semua lembaga negara dalam kedudukan setara, sehingga terdapat keseimbangan dalam penyelenggaraan negara. Dalam menyelenggarakan peradilan, MK menggunakan hukum acara umum dan hukum khusus yaitu hukum acara yang memuat aturan umum beracara di MK dan aturan khusus sesuai dengan karakteristik perkara yang menjadi kewenangan MK.

Pemohon dalam PHPU adalah Partai Politik Peserta Pemilu untuk pengisian keanggotaan DPR dan DPRD; Perseorangan calon anggota DPR dan DPRD dalam satu Partai Politik yang sama yang telah memperoleh persetujuan tertulis dari ketua umum dan sekretaris jenderal atau sebutan lainnya dari Partai Politik yang bersangkutan; Perseorangan Calon Anggota DPD Peserta Pemilu; dan/atau Pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden. Sedangkan yang jadi termohon adalah KPU secara berjenjang.

Permohonan pemohon disampaikan secara tertulis dan harus berdasarkan pada argumentasi yang logis dan jelas. Ini penting untuk menguraikan pokok materi permohonan, misalnya tentang ketidak-akuratan daftar pemilih tetap, ketidak-netralan aparat negara, diskriminasi dan penyalahgunaan penegakan hukum, penyalahgunaan birokrasi dan BUMN, penyalahgunaan APBN dan program pemerintah, pembatasan kebebasan media dan pers, atau mobilisasi pemilih. Masing-masing dalil pokok permohonan harus didukung dengan alat bukti yang menguatkan pokok permohonan.

Materi permohonan dalam perselisihan hasil adalah penetapan perolehan suara hasil pemilu yang telah ditetapkan KPU secara nasional dan mempengaruhi: a. Terpenuhinya ambang batas perolehan suara 2,5% sebagaimana dimaksud dalam UU Pemilu. b. Perolehan kursi partai politik peserta pemilu dan kursi calon anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota dari partai politik di suatu daerah pemilihan. c. Terpilihnya calon anggota DPD.

Sedangkan materi permohonan pada pemilu presiden dan wakil presiden adalah: a. Penentuan pasangan calon yang masuk pada putaran kedua pemilu presiden dan wakil presiden; b. Terpilihnya pasangan calon presiden dan wakil presiden.

Berkaitan dengan objek permohonan PHPU, yang menjadi objek permohonan adalah keputusan KPU tentang penetapan hasil rekapitulasi penghitungan suara pemilu yang mempengaruhi terpilihnya calon peserta pemilu. Dalam permohonan juga menyertakan alat bukti yang dapat diajukan ke MK yakni: a. surat atau tulisan; b. keterangan saksi; c. keterangan ahli; d. keterangan para pihak; e. petunjuk; dan f. alat bukti berupa informasi yang diucapkan, dikirimkan, diterima atau disimpan secara elektronik dengan alat optik atau yang serupa dengan itu. Alat bukti itu akan diperiksa oleh hakim di dalam sidang berdasarkan catatan staf pendukung MK. Dalam pemeriksaan itu harus dapat dipertanggung jawabkan perolehan alat bukti yang diajukan. Perolehan secara hukum ini menentukan suatu alat bukti sah atau tidak, yang dinyatakan dalam persidangan.

* * * 

Selain pihak pemohon dan termohon (KPU) dalam penyelesaian PHPU di MK, juga terdapat “pihak terkait” dan pihak pemberi keterangan “Bawaslu”. Pihak terkait merupakan peserta pemilu yang dalam penetapan KPU memperoleh suara terbanyak dan berkepentingan terhadap pengajuan permohonan pemohon. Adapun Bawaslu sebagai lembaga pengawas pemilu yang berkedudukan sebagai pemberi keterangan dalam PHPU yang sedang diperiksa.

Melalui beberapa putusan MK setelah proses tahapan persidangan guna mendengar permohonan pemohon, jawaban termohon, keterangan pihak terkait, dan keterangan Bawaslu serta pemeriksaan saksi dan ahli, dapat berupa penjatuhan putusan: tidak dapat diterima; dikabulkan, dalam artian membatalkan keputusan KPU dan menetapkan perhitungan yang benar; atau ditolak, yaitu permohonan tidak beralasan.

Terhadap permohonan yang tidak memenuhi syarat-syarat kedudukan hukum (legal standing) dan syarat-syarat kejelasan, maka majelis hakim MK menjatuhkan putusan berupa permohonan tidak dapat diterima. Manakala alasan yang menjadi dasar permohonan terbukti secara sah dan meyakinkan, maka majelis hakim MK menjatuhkan putusan berupa mengabulkan permohonan dengan menyatakan membatalkan hasil penghitungan suara oleh KPU dan menetapkan hasil penghitungan suara yang benar sebagaimana dimaksudkan oleh Pemohon. Atau sebaliknya, manakala tidak terbukti secara sah dan meyakinkan, maka majelis hakim MK menyatakan putusan yang menolak permohonan pemohon.

Eksistensi Bawaslu

Eksistensi Bawaslu dalam perselisihan hasil Pemilu di MK secara subjektif dapat dikatakan menentukan kualitas pertimbangan putusan majelis hakim. Bawaslu memberikan keterangan sebagai “lembaga pemberi keterangan” dengan menguraikan hasil pengawasan, penindakan pelanggaran, dan penyelesaian sengketa proses pemilu yang relevan dengan pokok permohonan pemohon. Bawaslu melaksanakan tugas dan kewenangan telah mendapatkan mandat UU Pemilu dan anggaran dari keuangan negara, olehnya materi muatan keterangan yang disampaikan sangat menentukan dan dipertimbangkan dalam putusan majelis hakim MK.

Apalagi posisi Bawaslu berbeda dengan semua pihak yang hadir di persidangan. Pemohon, jelas memohon mengubah penetapan KPU dan ingin ditetapkan pemenang kontestasi pemilu. Sementara termohon (KPU), posisinya mempertahankan keputusan yang ditetapkan, bahwa benar dan tidak cacat hukum. Demikian pula dengan pihak terkait, sebagai pihak yang ditetapkan KPU sebagai pihak yang memperoleh suara terbanyak, berkeinginan dan menguatkan jawaban dari termohon (KPU). Adapun Bawaslu berbeda dengan posisi semua pihak tadi, yakni fokus memberikan keterangan terkait faktual hasil pengawasan, penindakan pelanggaran dan penyelesaian sengketa proses pemilu. Posisi ini menandakan tidak ada keberpihakan pada pihak tertentu, murni menerangkan pelaksanaan kewenangan pengawasan pemilu khususnya terkait dalil pemohon.

Tidak jarang apa yang didalilkan oleh pemohon, terutama pelanggaran dalam tahapan pemilu, hakikatnya telah melalui proses penanganan pelanggaran di Bawaslu. Hanya saja, pemohon merasa kurang puas dari hasil (produk) kinerja Bawaslu, sehingga masih mengupayakan langkah terakhir melalui sengketa hasil di MK. Dengan harapan MK mau melihat pokok permasalahan-dalil pemohon, sebagai harapan pencapaian keadilan substantif.

Sejatinya MK dibatasi oleh ketentuan hukum acara dan keyakinan hakim, hingga tidak berani keluar dari frame ketentuan dimaksud. Sangat beresiko apalagi lewat proses persidangan yang terbuka, lantas mempertontonkan sikap keberpihakan dan tidak profesional. MK sudah selesai dengan sikap dan tindakan pragmatis sesaat seperti itu, beralih pada sikap dan tindakan mewujukan keadilan dan penegah konstitusi. Yakni, pelanggaran pemilu dan sengketa proses pemilu menjadi ranah kewenangan Bawaslu yang telah diselesaikan dalam tahapan pemilu. Tinggal didalami hasil pengawasan kaitan dengan perolehan suara pemohon dan tindaklanjut rekomendasi dan putusan administrasi sekaitan dengan dalil-dalil pemohon.

Komitmen MK terlihat kembali dalam putusan MK Nomor: 190/PHPU.D-VIII/2010, MK telah menegaskan bahwa:

“pembatalan hasil pemilu atau pemilukada karena pelanggaran-pelanggaran yang bersifat terstruktur, sistematis dan masif sama sekali tidak dimaksudkan oleh MK untuk mengambil alih kewenangan badan peradilan lain. Mahkamah tidak akan pernah mengadili pelanggaran pidana dan administrasi dalam pemilu dan pemilukada, melainkan hanya mengambil pelanggaran-pelanggaran yang terbukti di bidang itu yang berpengaruh terhadap hasil pemilu dan pemilukada sebagai dasar putusan, tetapi tidak menjatuhkan sanksi pidana dan administrasi terhadap pelakunya”[2]

Terhadap dalil-dali pemohon, MK memetakan berbagai dalil terjadinya pelanggaran pemilu kaitan dengan kewenangan dan kinerja Bawaslu, yaitu: (1) dalil yang tidak dilaporkan ke Bawaslu, atau Bawaslu tidak pernah menerima laporan atau temuan apapun; (2) Bawaslu menerima pengaduan atau mendapatkan temuan dan telah ditindaklanjuti; serta (3) Bawaslu tidak melaksanakan kewenangannya. Oleh karenanya, MK menilai dalil-dalil yang sudah pernah diputuskan atau tidak pernah diajukan kepada Bawaslu, maka tidak dipertimbangkan kembali secara mendalam oleh MK karena dianggap sudah diselesaikan sebelumnya. Meskipun, beberapa dalil yang belum pernah diajukan ke Bawaslu, juga tetap dipertimbangkan dan dinilai oleh MK.[3]

Menyadari eksistensi Bawaslu dalam proses sengketa hasil Pemilu dan penegasan MK untuk tidak mengambil alih kewenangan lembaga yang mengadili pelanggaran pidana dan administrasi pemilu, sejatinya struktur Bawaslu responsif terus menyiapkan diri dan kelembagaan menghadapi tantangan ke depan. Yakni, menyiapkan dokumen dan mengolah data/bahan yang terkait dengan pelaksanaan tugas dan wewenang Bawaslu. Seputar hasil pengawasan per/tahapan pemilu, penindakan pelanggaran yang bersumber dari temuan dan laporan, dan penyelesaian sengketa proses pemilu yang telah ditangani.

Penyiapan teknis dimaksud dengan memanfaatkan sarana teknologi dan informasi. Dokumen menumpuk hasil kinerja kelembagaan secara berjenjang ditabulasi dan diolah dalam bentuk soft copy. Kendati jika dibutuhkan dokumen hard copy dengan cepat dapat diakses sebagai alat bukti yang diajukan ke muka persidangan. Menyelesaikan hal-hal teknis tapi strategis seperti ini, perlu ditunjang staf pendukung yang bertanggungjawab mengelola dan menyiapkan dokumen terkait.

Proses pemberian keterangan di MK, yang diminta tampil memberikan keterangan adalah lembaga atas nama Bawaslu secara kelembagaan, bukan atas nama perseorangan. Keterangan yang diberikan adalah yang sudah dilaksanakan sebagai terjemahan melaksanakan mandat UU Pemilu, bukan yang belum dilakukan apalagi opini belaka.

Pertama, dokumen hasil pengawasan tahapan pemilu. Penyampaian pengawasan hasil kinerja pengawasan tahapan pemilu secara kelembagaan, di dalamnya memuat aspek pencegahan pelanggaran, pengawasan langsung dan melekat terhadap peserta pemilu dan sesama penyelenggara pemilu (KPU) serta pihak lain yang harus terjaga netralisnya dalam penyelenggaraan pemilu. Penyampaian keterangan bukan opini orang-perorang, tetapi merupakan hasil kinerja kelembagaan yang telah melalui kesepakatan rapat pleno komisioner dan ditulis dalam format baku keterangan tertulis.

Kedua, dokumen hasil penindakan pelanggaran pemilu. Proses pemilu masih diliputi dengan berbagai bentuk pelanggaran pemilu, baik dilakukan oleh peserta pemilu, aparat pemerintahan bahkan penyelenggara pemilu dalam frame orang-perorang. Atas pelanggaran pemilu tersebut, Bawaslu dengan kewenangannya, melakukan proses penindakan pelanggaran lewat pintu laporan atau pintu temuan pelanggaran. Olehnya, sekaitan dalil pemohon dalam PHPU, Bawaslu menguraikan proses dan tindaklanjut penindakan pelanggaran pemilu.

Ketiga, dokumen penyelesaian sengketa proses pemilu. Sengketa proses pemilu sebagai sengketa yang terjadi antar-peserta pemilu dan sengketa peserta pemilu dengan penyelenggara pemilu sebagai akibat dikeluarkannya keputusan KPU secara berjenjang. Bawaslu menerima permohonan sengketa, dan menyelesaikan melalui forum mediasi. Jika tidak tercapai kesepakatan mediasi, penyelesaian sengketa para pihak dilanjutkan dengan proses adjudikasi. Dalam PHPU, Bawaslu juga memberikan keterangan sekaitan dengan pokok permohonan pemohon yang ada kaitannya dengan pelaksanaan kewenangan penyelesaian sengketa proses pemilu ini.

Penutup

Pemilu bukan semata-mata dasar mendapatkan dukungan dan legitimasi rakyat untuk berkuasa, tetapi pemilu harus dilaksanakan sesuai prosedur dan tata cara yang digariskan oleh hukum pemilu. Dalam demokrasi, tujuan dan tata cara merupakan dua sisi yang tidak bisa diabaikan. Prosedur dan tata cara justru memberi jaminan tegaknya prinsip pemilu luber dan jurdil, yang turut memberikan jaminan atas persamaan hak, kesetaraan dan kebebasan masyarakat.

Menjamin pelaksanaan prinsip pemilu dimaksud, terbentang eksistensi dan peran strategis Bawaslu sesuai UU Pemilu dalam sengketa hasil yang tidak hanya sebagai pengawas pemilu, tetapi sebagai eksekutor penanganan pelanggaran dan pemutus sengketa proses pemilu. Hasil kinerja pelaksanaan kewenangan Bawaslu itu telah membantu pengembangan pertimbangan majelis hakim MK yang menerima, memeriksa dan mengadili penyelesaian PHPU.


Catatan Kaki:
[1] Lihat ketentuan Pasal 24C UUD NRI Tahun 1945.
[2] Putusan MK Nomor: 190/PHPU.D-VIII/2010.
[3] Pan Mohamad Faiz, 2019, Putusan Sengketa Hasil Pilpres, Jurnal Konstitusi Nomor 148 Juni 2019, Mahkamah Konstitusi, Jakarta, hlm. 70.

Ancaman Golput dalam Pemilu

309 Views

ANCAMAN GOLPUT DALAM PEMILU
Oleh: Ruslan Husen

Golongan putih yang biasa disingkat “golput” merupakan istilah politik yang berawal dari gerakan protes mahasiswa dan pemuda dalam pelaksanaan Pemilu di masa pemerintahan orde baru. Dipakai istilah “putih” karena gerakan ini menganjurkan agar mencoblos bagian putih di surat suara di luar gambar Parpol peserta Pemilu. Kala itu, jarang yang berani tidak datang ke Tempat Pemungutan Suara (TPS) karena akan ditandai sebagai pihak yang berpotensi merongrong Pancasila atau menentang Pemerintah. Golongan putih kemudian digunakan sebagai istilah perlawanan aktivis kepada pihak Golongan Karya, Parpol penguasa pada masa orde baru.

Ketika dipertontonkan sandiwara politik tingkat tinggi masa orde baru, pelaksanaan Pemilu hanya menjadi rutinitas politik untuk melanggengkan kekuasaan pemerintahan orde baru. Selama kurang lebih 32 tahun pemerintahan orde baru berkuasa, Pemilu silih berganti dilaksanakan, tetapi kepemimpinan nasional akan selalu dipegang oleh orde baru. Belum selesai proses Pemilu, dapat diprediksi pemenang Pemilu adalah Golkar, dan jika Golkar pemenang, maka dipastikan Presiden terpilih adalah Soeharto.

Golput pada dasarnya sebagai gerakan moral yang tidak dimaksudkan untuk mencapai kemenangan politik, tetapi lebih ditujukan untuk melahirkan tradisi kritis atas jaminan perbedaan pendapat dengan penguasa, yakni sebagai suara kritis menentang sistem Pemilu yang selalu menguntungkan pemerintahan orde baru. Aktivitas gerakan itu disambung dengan penyampaian pikiran secara terbuka kepada publik dan penempelan selebaran kampanye yang menyatakan tidak akan turut memberikan suara dalam Pemilu.

Golput Ideologis dan Teknis

Golput merupakan bentuk ekspresi politik dan merupakan hak dasar warga negara, sebagai turunan dari prinsip demokrasi. Opsi untuk memilih peserta Pemilu atau tidak memilih merupakan pilihan politik sebagai bagian dari ekspresi prinsip kedaulatan rakyat. Ketika pemilih melihat dan merasakan sistem Pemilu tidak berjalan demokratis, berupa pimpinan politik tidak berintegritas berupa menggunakan segala cara untuk terus berkuasa, dan sistem Pemilu yang belum berhasil menjamin pelaksanaan prinsip demokrasi, serta belum adanya jaminan persamaan di muka hukum, maka golput menjadi gerakan alternatif untuk mengkritisi sistem Pemilu. Gerakan ini biasanya disebut dengan gerakan “golput ideologis”.

Secara prinsip, dapat dimaknai bahwa sikap golput ideologis dilindungi oleh Konvensi Internasional tentang Hak Sipil dan Politik (ICCPR), UUD tahun 1945, dan Undang-Undang Hak Asasi Manusia (HAM) sebagai bagian dari hak kebebasan berkumpul dan berekspresi untuk mengemukan pendapatan secara lisan dan tertulis di muka umum. Berangkat dari landasan ini, maka pandangan dan sikap golput tidak dapat dipidana, walaupun secara substansi gerakan golput dapat berkontribusi dalam menurunkan angka partisipasi pemilih dalam proses Pemilu.

Selain golput ideologis, terjadinya golput dalam proses Pemilu juga dapat dipicu oleh terhalanginya pemilih yang memenuhi syarat untuk menggunakan hak memilihnya di TPS, mereka ini disebut “golput teknis”. Hal ini dapat terjadi, jika pemilih tersebut tidak terdaftar dalam Daftar Pemilih Tetap (DPT) atau pemilih tidak memiliki identitas kartu kependudukan (e-KTP). Sementara dalam ketentuan UU Pemilu, untuk dapat menggunakan hak memilih, maka pemilih harus terdaftar terlebih dahulu dalam DPT, terdaftar sebagai pemilih tambahan (DPTb) bagi pemilih pindahan, atau pemilih memiliki e-KTP sehingga didaftar sebagai pemilih khusus (DPk) yang menggunakan hak memilihnya mulai jam 12.00-13.00. Jika petugas di TPS memperkenankan pemilih yang tidak terdaftar dalam DPT, DPTb atau DPk walaupun secara faktual yang bersangkutan berdomisili di wilayah setepat, maka resikonya adalah pelanggaran proses Pemilu dan proses pemungutan suara di TPS yang bersangkutan wajib diulang dengan menggelar Pemilihan Suara Ulang.

Adanya permasalahan teknis proses Pemilu sangat potensial mengancam pemilih yang ingin menyalurkan aspirasi suaranya menjadi terhalangi. Mereka bisa saja telah memiliki pilihan politik, tetapi karena urusan teknis dari berbagai aspek, apakah dari aspek data kependudukan, pemberitahuan, halangan datang ke TPS atau penyebab teknis lainnya menjadikan mereka tidak dapat menggunakan hak memilihnya pada waktu yang telah ditentukan.

Mengurangi golput teknis ini, Pemerintah, Penyelenggara Pemilu bahkan peserta Pemilu sendiri dengan berbagai macam strategi dan persiapan sejak dini terus mengantisipasi agar golput karena alasan teknis dapat ditekan. Sebagai langkah jaminan perlindungan hak konstitusional warga negara dan mengupayakan legitimasi pemimpin yang lahir dari pilihan politik warga negara.

Menurunnya Partisipasi Pemilih

Proses demokratisasi dari Pemilu ke Pemilu menunjukkan tingkat partisipasi pemilih mengalami penurunan sejak Pemilu tahun 1999, baik dalam pelaksanaan Pemilu legislatif maupun Pemilu Presiden. Tren penurunan partisipasi pemilih dari Pemilu ke Pemilu nampak sebagai berikut:

  • Pemilu Presiden putaran I tahun 2004 menunjukkan partisipasi pemilih 79,76 persen, namun dalam pelaksanaan Pemilu Presiden putaran II tahun 2004 turun menjadi 74,44 persen;
  • Pemilu Presiden 2009 angka partisipasi pemilih 72,09 persen, yang dimaknai turun jika dibandingkah dengan angka partisipasi pemilih di Pemilu tahun 2004;
  • Pemilu Presiden 2014, kembali angka partisipasi pemilih turun pada angka 70 persen.

Demikian pula dengan partisipasi pemilih dalam pelaksanaan Pemilu legislatif, juga cenderung mengalami penurunan, dengan angka persentase sebagai berikut:

  • Pemilu legislatif 1999 partisipasi pemilih 97,7 persen.  
  • Pemilu legislatif 2009 partisipasi pemilih 70,99 persen.
  • Pemilu legislatif 2014 partisipasi pemilih 75,11 persen.

Turunnya partisipasi pemilih pada satu sisi dapat mempengaruhi performa politik karena menunjukkan turunnya minat pemilih berpartisipasi dalam pelaksanaan Pemilu dan mereka cenderung tidak tertarik lagi (apatis) dengan kegiatan politik praktis. Tingkat partisipasi erat kaitannya dengan kepercayaan pemilih bahwa Pemilu menjadi salah satu jalan untuk menentukan masa depan negara. Jika ternyata proses Pemilu tidak memberi keyakinan akan hal itu, maka alternatif golput sebagai gerakan ideologis akan menjadi pilihan.

Partisipasi politik masyarakat berupa penggunaan hak memilih guna menentukan pemimpin nasional/daerah dalam sejumlah literatur disebabkan oleh beberapa faktor yang mempengaruhi, seperti sistem Pemilu, masalah teknis pendataan pemilih, integritas penyelenggara Pemilu, konten kampanye politik, dan durasi masa kampanye yang lama.

Pertama, sistem Pemilu pada satu sisi turut mempengaruhi tingkat partisipasi pemilih dalam Pemilu. Negara yang menggunakan sistem proporsional terbuka cenderung lebih tinggi tingkat partisipasi pemilihnya, jika dibanding dengan negara yang menggunakan sistem proporsional tertutup. Faktor kandidat dan persaingan antar kandidat/calon legislatif baik antar ataupun internal partai dalam sistem proporsional terbuka cenderung meningkatkan tingkat partisipasi pemilih dalam Pemilu. Apalagi ada kecenderungan publik lebih melihat ketokohan seorang kandidat/calon ketimbang parpol yang digunakan sebagai kendaraan politiknya.

Kedua, masalah teknis pendataan pemilih. Persoalan data pemilih seolah menjadi masalah yang tidak kunjung selesai dari Pemilu ke Pemilu, bahkan masalah yang ditemukan cenderung berulang. Pemerintah dan Penyelenggara Pemilu telah mengupayakan akurasi data pemilih dengan pendekatan berbagai kebijakan, tetapi fakta sampai saat ini data pemilih terus saja bermasalah yang tidak jarang berujung pada sengketa hasil yang turut mempersoalkan data pemilih. Konkritnya akurasi data pemilih ditujukan pada pemilih yang memenuhi syarat agar dimasukkan dalam DPT, tetapi pemilih yang tidak memenuhi syarat agar dicoret/dihapus dalam DPT.

Ketiga, integritas Penyelenggara Pemilu. Persepsi publik terhadap integritas dan profesionalitas Penyelenggara Pemilu akan mempengaruhi tingkat partisipasi pemilih. Dalam hal ini, Penyelenggara Pemilu harus memegang prinsip integritas dan bekerja secara profesional untuk melindungi suara rakyat dari berbagai bentuk manipulasi dan kecurangan yang mengancam. Pada akhirnya masyarakat dapat berkolaborasi dalam mencegah teradinya pelanggaran dan melaporkan pelanggaran untuk ditindak sesuai ketentuan hukum. Sebaliknya, jika integritas dan profesionalitas Penyelenggara Pemilu tidak dijamin, berupa terjadi persekongkolan dan tidak netral atau tegas dalam menindak pelanggaran, maka dapat dipastikan akan berpotensi menimbulkan kekacauan hasil Pemilu dan membuat sikap apatis masyarakat untuk menggunakan hak memilihnya. Sebab, tidak ada jaminan suara rakyat dikawal hingga lahir pemimpin pilihan rakyat, akibat terciderai integritas dan profesionalitas Penyelenggara Pemilu.

Keempat, konten kampanye Pemilu. Pelaksanaan kampanye sejatinya mencerdaskan dan membahagiakan, tidak diisi dengan konten-konten negatif dan menyebarkan keresahan. Kampanye bermuatan fitnah dan negatif cenderung memicu pemilih non-partisan dan mengambang menjadi malas datang ke TPS. Adanya hubungan antara kampanye fitnah dan negatif yang diterima oleh pemilih yang non-partisan serta tidak berafiliasi ke peserta Pemilu tertentu, dapat memicu mereka malas (apatis) menggunakan hak pilihnya. Pemilih non-partisan ketika diterpa kampanye fitnah dan negatif memiliki kecenderungan yang tinggi untuk tidak berpartisipasi dibanding dengan pemilih loyal. Pemilih loyal cenderung tidak terpengaruh oleh informasi negatif, mereka memiliki pendirian kokoh dengan berbasis pada kepentingan pragmatis bahkan rasionalitas-ideologis.

Kelima, waktu kampanye yang panjang ternyata memberi pengaruh pada pemilih malas datang ke TPS. Kemalasan tersebut dipengaruhi oleh adanya kejenuhan politik yang timbul karena tidak adanya inovasi kampanye oleh kandidat/calon. Setiap hari publik disuguhkan dengan dinamika kontestasi politik yang dinamis, terkadang menyerang dan membantah hingga hilang nalar-rasional berganti dengan pandangan pragmatis sesaat. Di samping itu, waktu kampanye yang panjang juga banyak dikeluhkan oleh peserta Pemilu terutama calon legislator, karena mereka mengeluarkan dana kampanye yang banyak dan sulitnya menjaga basis massa bila terdapat gempuran politik secara terus menerus dari calon lain.

Golput Tidak Dapat Dipidana

Selama ini, Penyelenggara Pemilu dan Pemerintah baik di tingkat pusat maupun daerah terus menghimbau dan mengajak warga negara untuk tidak golput, yakni mereka dapat berpartisipasi dalam proses politik guna menentukan pemimpin. Sebab publik tentu menantikan pemimpin yang memiliki kapasitas dan integritas yang handal, yakni pemimpin yang mampu berjuang untuk mewujudkan keadilan, kesejahteraan dan kemajuan pembangunan daerah/nasional. Dan, semua itu dapat terwujud atas partisipasi warga negara dalam memilih pemimpin dalam perhelatan pesta demokrasi. Artinya, proses menentukan pemimpin tidak bisa diserahkan pada sebagian kelompok orang tertentu saja, sebab pemimpin itu akan memimpin warga negara secara keseluruhan. Apalagi ada kelompok orang yang ingin memperoleh kekuasaan dengan cara-cara yang melanggar hukum, hingga harus dilawan berupa mencegah pelanggaran dan melaporkan pelaku kepada instansi berwenang untuk ditindak sesuai ketentuan hukum.

Walaupun, Pemerintah dan Penyelenggara Pemilu terus melaksanakan berbagai kegiatan untuk meningkatkan partisipasi pemilih, jika golput tetap menjadi pilihan mereka maka harus diterima sebagai realitas politik. Inilah dinamika kehidupan berdemokrasi, bahwa hak untuk memilih peserta Pemilu dijamin sebagai hak dasar warga negara termasuk hak untuk tidak memilih alias golput juga dijamin sebagai sebuah hak dasar yang dijamin dalam kehidupan berdemokrasi. Walaupun hak tidak memilih sangat kontra-produktif dengan upaya peningkatan partisipasi politik (hak memilih) yang pada akhirnya dapat bersinggungan dengan kepercayaan publik atas hasil Pemilu dan legitimasi pemimpin nantinya.

Eksistensi gerakan golput atau pilihan tidak memilih peserta Pemilu dalam kehidupan demokrasi sebagai bagian dari ekspresi hak dasar warga negara tidak dipersoalkan sebatas tidak mengganggu stabilitas sosial dan penggunaan hak pilih warga negara lainnya. Bentuk kebebasan itu sah dan legal untuk dilaksanakan. Sehingga tindakan represif menindak pihak yang mengampanyekan golput merupakan tindakan yang tidak memiliki dasar dalam proses penegakan hukum. Artinya tidak ada regulasi yang dapat diancamkan dan dikenakan kepada orang-orang yang mengambil langkah atau mengampanyekan golput.

Ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu) pada prinsipnya mengancam pelaku politik uang (money politics) yang mempengaruhi pemilih untuk menggunakan hak memilihnya dengan cara tertentu, yakni tidak memilih peserta Pemilu. Ancamannya sama dengan pelaku politik uang yang mempengaruhi pemilih dengan memberikan uang atau materi lainnya kepada pemilih agar memilih peserta Pemilu tertentu. Golput tidak termasuk dalam bentuk pidana Pemilu, meski sering dikaitkan dengan ketentuan Pasal 515 UU Pemilu. Pasal ini menekankan, bahwa setiap orang yang dengan sengaja pada saat pemungutan suara menjanjikan atau memberikan uang atau materi lainnya kepada pemilih supaya tidak menggunakan hak pilihnya, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp.36.000.000,00.

Tanpa adanya janji atau memberikan sejumlah uang atau materi lainnya kepada pemilih, berupa tindakan sekadar menggerakkan orang untuk golput maka tidak tersebut tidak dapat dipidana. Sehingga dapat dimaknai bahwa orang yang memilih golput atau mendeklarasikan dirinya golput tidak dapat dipidana. Pada posisi ini golput dimaknai sebagai bagian dari langkah kebebasan berekspresi untuk mengemukakan pendapat secara lisan dan tulisan.

Golput, Tapi Datang ke TPS

Pada posisi ini, sikap dan pilihan golput sebagai gerakan ideologis dalam perhelatan Pemilu merupakan hal yang lumrah dan biasa terjadi dalam dinamika Pemilu. Walaupun kadang golput sangat kontra-produktif dengan kebijakan dan langkah Pemerintah dan Penyelenggara Pemilu untuk meningkatkan partisipasi pemilih dan mengupayakan legitimasi pemimpin pilihan rakyat. Sehingga sejak dini upaya untuk mengurangi jumlah golput baik alasan ideologis maupun masalah teknis terus diantisipasi dengan melakukan serangkaian kegiatan program yang terencana, terukur dan masif agar terbangun pemahaman akan urgensi dan partisipasi publik dalam Pemilu.

Bagi yang memilih golput, mereka seharusnya tetap datang ke TPS, untuk mencegah terjadinya penyimpangan surat suara atas dirinya. Inilah golput ideologis, pilihan bertanggung-jawab, pilihan perlawanan atas sistem Pemilu yang dinilai tidak demokratis, atau malah pilihan atas inisiasi perubahan sistem Pemilu. Pilihan datang ke TPS mengontrol proses Pemilu, guna membuktikan keraguan dan pilihan politik akan golput. Sekali lagi, golput dilaksanakan dengan langkah terukur dan strategis, dan bukan malah golput karena malas (apatis) datang ke TPS.

Di TPS, menjadi salah satu tingkatan yang rawan terjadinya manipulasi suara proses Pemilu, pada tahapan ini berbagai pihak (stakeholders) Pemilu harus berani mengambil peran mengontrol dan mengawasi pelaksanaan pemungutan suara di TPS. Dalam hal ini, perlu dipastikan petugas di TPS dapat bekerja dalam koridor ketentuan dan regulasi Pemilu, jangan ada pihak yang melakukan kecurangan tanpa ada pencegahan dan penindakan pelanggaran dari pihak terkait. Apabila ada pelanggaran di TPS maka menyampaikan informasi awal atau laporan kepada instansi terkait dalam hal ini Pengawas Pemilu atau pihak yang memiliki kewenangan untuk melakukan penindakan pelanggaran.

Inisiasi Pemimpin

Pesan bijak menyebutkan, kebaikan yang tidak terorganisir akan dikalahkan oleh kejahatan yang terorganisir. Idealitas tatanan masyarakat adil dan sejahtera dengan rahmat Tuhan yang Maha Kuasa, hanya tercapai dengan usaha sungguh-sungguh yakni saat orang-orang baik bersekutu memperjuangkan keadilan dan keadilan sosial. Saat kejahatan korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) menggejala dalam struktur kekuasaan misalnya di akhir masa pemerintahan orde baru, maka perangkat anak bangsa yang menginisiasi tatanan masyarakat yang lebih baik, lantas bahu-membahu menuntut diturunkannya pemerintahan rezim orde baru. Ini gerakan sosial kolektif mewujudkan tatanan baru masyarakat yang dicitakan.

Langkah kolektif publik ini idealnya sejalan dengan inisiasi melahirkan pemimpin yang memiliki integritas dan kapasitas yang mapan. Artinya, orang-orang baik yang apatis acuh tak-acuh terhadap kontestasi politik tidak akan berkontribusi apa-apa, ada atau tidak adanya dia sama saja tidak memiliki nilai. Saat ini terjadi, maka membuka peluang kejahatan atau kecurangan terjadi. Pesan bijak juga menyebutkan, kejahatan atau kecurangan banyak terjadi, bukan karena banyaknya orang jahat tetapi karena diamnya orang-orang baik. Eksistensi kecurangan bukan berarti mereka mampu beradaptasi sehingga membentuk kekuatan kejahatan baru terus-menerus, melainkan diamnya atau tidak berbuatnya orang-orang baik yang memiliki kapasitas dan kekuasaan.

Dalam perhelatan Pemilu, warga negara ingin dipimpin oleh pemimpin yang memiliki kapasitas integritas dan profesionalitas yang handal. Semisal calon yang diajukan tidak ada yang terbaik, maka minimal yang dipilih adalah yang paling baik dari semua calon yang diajukan atau yang paling sedikit catatan kesalahannya. Intinya tetap melakukan pilihan atas berbagai calon yang diajukan, dengan menggunakan hak memilih datang ke TPS. Dengan kekuasaan yang dimiliki, maka struktur dan kondisi sosial-politik dalam suatu masyarakat dapat dikontrol. Guna pencegahan kondisi yang mengancam stabilitas sosial, atau melalui kekuasaan melahirkan kebijakan dan hukum yang mengatur dan mendesain kehidupan sosial masyarakat yang ideal ke depannya.

Dari itu, harapan melahirkan pemimpin sejatinya tidak diserahkan pada kelompok tertentu saja tetapi partisipasi pemilih kolektif juga harus aktif. Sebab kepemimpinan akan mencakup semua sendi kehidupan masyarakat. Jangan sampai ada penyesalan di belakang hari. Maka, golput terutama golput ideologis pada posisi ini tidak memperoleh porsi rasionalitas. Sebab warga negara harus ambil bagian strategis menentukan pemimpin. Golput akhirnya menjadi “gerakan frustasi” sebagai kebuntuan ideologis karena kehilangan basis epistemologi dan orientasi politik. Minimal label frustasi itu dapat disematkan dalam skala politik di Indonesia dalam menghadapi dan melaksanakan kontestasi Pemilu.

Perlindungan Hak Pilih

661 Views

PERLINDUNGAN HAK PILIH
Oleh: Ruslan Husen

Hak pilih merupakan salah satu bentuk hak politik yang sifatnya mendasar bagi seluruh warga negara dan termasuk dalam kategori Hak Asasi Manusia (HAM). Hak pilih diatur di dalam ketentuan hukum fundamental suatu negara, yakni dalam Undang-Undang Dasar dan dalam Undang-Undang Pemilihan Umum. Negara berkewajiban memberikan jaminan perlindungan atas hak pilih warga negara melalui kebijakan dan tindakan melindungi hak pilih penduduk yang memenuhi syarat, agar dimasukkan dalam daftar pemilih tetap untuk menyalurkan hak suaranya di hari pemungutan suara.

Hak pilih di antaranya adalah hak untuk memilih dan dipilih dalam suatu pelaksanaan Pemilu yang jujur dan adil. Pemilu yang dilakukan dengan pemilih memberikan suara secara langsung, umum, bebas, dan rahasia. Pemilu yang dilaksanakan secara berkala oleh lembaga Penyelenggara Pemilu, yakni KPU, Bawaslu, dan DKPP sebagai satu kesatuan fungsi penyelenggaraan Pemilu.

Hak pilih ini memiliki karakter demokratis bila memenuhi tujuh prinsip, yaitu umum (universal), setara (equal), rahasia (secret), bebas (free) dan langsung (direct), jujur dan adil (honest and fair). Hak pilih bersifat umum bila dapat menjamin setiap warga negara tanpa diskriminasi untuk memilih dan hak untuk dipilih dalam Pemilu. Kesetaraan dalam hak pilih mensyaratkan adanya kesamaan nilai suara dalam Pemilu bagi setiap pemilih. Prinsip kerahasiaan dalam hak pilih adalah adanya jaminan bahwa tidak ada pihak lain yang mengetahui pilihan pemilih. Prinsip langsung dalam hak pilih adalah adanya jaminan bahwa pemilih dapat memilih secara langsung para calon tanpa perantara.[1]

Dalam International Convenan on Civil and Political Rights (ICCPR) disebutkan bahwa keberadaan hak-hak dan kebebasan dasar manusia yang bersifat absolut tidak boleh dikurangi walaupun dalam keadaan darurat, yang terdiri atas hak bebas dari pemidanaan yang bersifat surut, hak sebagai subjek hukum, hak kebebasan berpikir, hak berkeyakinan atau agama. Begitu juga hak dalam memilih dan dipilih dalam suatu pelaksanaan Pemilihan atau Pemilu secara periodik. Hal ini menekankan bahwa hak politik berupa hak memilih dan hak untuk dipilih merupakan hak yang dimiliki oleh warga negara yang memenuhi syarat dan negara harus hadir untuk memfasilitasi dan memberikan perlindungan secara maksimal.

Selain itu, Mahkamah Konstitusi dalam putusan Perkara Nomor 011-017/PUU-I/2003 tanggal 24 Februari 2004 antara lain menyebutkan, “Menimbang, bahwa hak konstitusional warga negara untuk memilih dan dipilih (right to vote and right to be candidate) adalah hak yang dijamin oleh konstitusi, undang-undang maupun konvensi internasional, maka pembatasan penyimpangan, peniadaan, dan penghapusan akan hak dimaksud merupakan pelanggaran terhadap hak asasi dari warga negara.”

Bentuk jaminan pemilih untuk dapat menggunakan hak pilihnya adalah tersedianya DPT yang akurat. Apabila pemilih telah terdaftar, pada hari pemungutan suara mereka mendapat jaminan untuk dapat menggunakan hak pilihya. Namun sebaliknya, bila pemilih tidak terdaftar dalam DPT, mereka potensial kehilangan hak pilihnya.

Menegakkan Hak Pilih

Tujuan utama sistem keadilan Pemilu adalah menjamin kebijakan dan tindakan yang diambil stakeholders (utamanya Pemerintah dan Penyelenggara Pemilu) dalam proses Pemilu selalu sesuai dengan kerangka hukum demi menegakkan hak pilih warga negara. Karena itulah, kerja-kerja Penyelenggara Pemilu yang berintegritas dengan fasilitasi Pemerintah menjadi salah satu standar integritas penyelenggaraan Pemilu.

Menurut Ramlan Surbakti, integritas Pemilu jika pelaksanaannya berdasarkan kepastian hukum yang dirumuskan sesuai asas Pemilu demokratis. Pemilu berintegritas adalah Pemilu yang jauh dari praktik manipulasi Pemilu (electoral fraud), seperti penyimpangan lain termasuk manipulasi perhitungan suara, pendaftaran pemilih secara ilegal, intimidasi terhadap pemilih. Manipulasi pemilihan seperti mencegah warga yang berhak memilih untuk memberikan suara secara bebas bahkan ada kalanya mencegah warga untuk memilih.[2]

Integritas Pemilu terlihat jika Pemilu terlaksana berdasarkan prinsip Pemilu demokratis dan penegakan hak pilih dan kesetaraan politik dengan Penyelenggara Pemilu yang profesional, tidak memihak dan senantiasa transparan. Demikian seharusnya jika ingin mewujudkan integritas Pemilu, maka jaminan hak untuk memilih dan dipilih dengan kerangka hukum yang mengakomodir semua warga negara yang memenuhi syarat bisa ikut dalam Pemilu tanpa diskriminasi.

Salah satu parameter Pemilu demokratis menurut Robert A. Dahl adalah inclusiveness, artinya setiap orang yang sudah dewasa harus diikutkan dalam Pemilu karena mempunyai kesempatan sama. Sedangkan equal vote, artinya setiap suara mempunyai hak dan nilai yang sama tanpa adanya suatu diskriminasi.[3] Keberadaan suatu formulasi hukum yang mewajibkan proses pemutakhiran daftar pemilih tetap secara transparan dan akurat, dengan jaminan perlindungan hak warga negara yang memenuhi syarat untuk didaftar dan mencegah masuknya orang-orang yang tidak memenuhi syarat dalam daftar pemilih tetap.

Fungsi lembaga Penyelenggara Pemilu sebagai pelaksana teknis sangat menentukan. KPU dan jajarannya melakukan pendataan pemilih dengan menggunakan basis data dari Pemerintah, untuk difaktualkan dengan cara memasukkan pemilih yang memenuhi syarat karena belum terdata, serta menghapus pemilih dari data karena tidak memenuhi syarat sebagai pemilih. Dan, Bawaslu beserta jajarannya dalam proses faktual data pemilih melakukan pengawasan melekat kepada KPU untuk akurasi data pemilih dengan memberikan saran dan rekomendasi jika sekiranya ada potensi pelanggaran proses pendataan tersebut.

Demi menjamin prinsip persamaan dan keadilan sebagai bagian dari prinsip demokrasi, maka hak pilih warga negara dalam proses penetapan DPT harus terakomodir secara utuh tanpa terkecuali. Kepastian ini menjadi penting, mengingat penetapan pemilih merupakan suatu parameter untuk meningkatkan partisipasi pemilih bagi negara demokrasi. Semakin sedikit pemilih yang tidak terdaftar dalam DPT, maka semakin tinggi nilai demokrasinya, sebaliknya semakin besar pemilih yang tidak terdaftar dalam DPT, maka nilai demokrasinya makinrendah.

Masalah dalam Penyusunan DPT

Permasalahan ketidakakuratan DPT menjadi permasalahan yang senantiasa muncul pada saat penyelenggaraan Pemilu. Pemilu dan Pemilihan Kepala Daerah sudah berulang dilaksanakan, tetapi masalah akurasi DPT masih saja terjadi, bahkan masalah yang sama terus berulang. Hal ini dampak saat ada sengketa hasil Pemilu, masalah akurasi DPT sering dijadikan objek sengketa yang turut dipermasalahkan.

Dalam proses Pemilu, Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) sebagai sumber data pemilih, menyiapkan data base berupa Daftar Penduduk Potensial Pemilih Pemilihan (DP4) berdasarkan data administrasi kependudukan untuk disinkronisasi langsung oleh KPU. DP4 tersebut difaktualkan oleh KPU dan jajarannya dengan melakukan pencocokan dan penelitian langsung ke rumah-rumah penduduk. Pengawas Pemilu juga hadir melakukan pengawas melekat untuk mengantisipasi potensi-potensi pelanggaran.

Permasalahan muncul menurut Sri Nuryanti,[4]saat pengelola data kependudukan yang kemudian diubah menjadi data pemilih tidak dilakukan oleh satu lembaga dan tidak dilakukan dengan sistem yang terintegrasi. KPU menerima DP4 meskipun sudah melakukan sinkronisasi, tetap mengalami masalah dalam hal ini sebagai berikut :

  • validasi sumber data awal dan permasalahan yang dihadapi pada waktu pemutakhiran;
  • masalah mobilitas penduduk dan mutasi kependudukan yang terjadi dan tidak terdata maupun belum terjadi ataupun akan terjadi setelah ada penetapan DPT;
  • gugatan peserta Pemilu;
  • masalah partisipasi warga negara yang minim dalam pembuatan DPT.

Dalam penyusunan DPT, persoalan teknis pembuatan DPT untuk menghasilkan data pemilih yang akurat, komprehensif dan mutakhir tidaklah mudah, butuh peran serta semua pihak utamanya Pemerintah, Penyelenggara Pemilu, peserta Pemilu, dan masyarakat. Apalagi dilihat dari proses pembuatan DPT yang cukup rumit, maka diperlukan sumber data komprehensif untuk mendapatkan daftar pemilih yang baik.

Sejak awal sumber data kependudukan tidak dapat dipastikan akurasinya, ini yang menambah kerumitan untuk mendapatkan data akurat bahkan sejak sumber datanya. Hal ini berdasar pemahaman bahwa data kependudukan berupa data lahir, mati, pindah penduduk, tidak tercatat secara on line. Dari itu, potensi data ganda akan sering terjadi, belum lagi soal mobilitas penduduk yang tidak bisa terdeteksi rentang waktunya.

Permasalahan pengelolaan data pemilih untuk akurasi DPT disebabkan oleh banyak faktor diantaranya, faktor ketentuan undang-undang, sumber data, dan partisipasi pemilih dan peserta Pemilu.  Kombinasi dari permasalahan tersebut menjadi akumulasi problematika akurasi DPT. Terobosan yang perlu dilakukan adalah melakukan antisipasi data pemilih yang tidak akurat, tidak mutakhir atau tidak menyeluruh. Bahwa stakeholders Pemilu mulai dari Pemerintah, Penyelenggara Pemilu, peserta Pemilu, dan warga negara memiliki peran strategis masing-masing dalam menjamin hak pilih sebagaimana disebutkan dalam dalam konstitusi.

Pertama, Ketentuan undang-undang belum cukup menjamin validitas sumber data yang diberikan oleh Pemerintah, belum lagi sistem pendaftaran pemilih yang dianut Indonesia tidak konsisten atau berubah-ubah. Ketidak-konsistenan terhadap sistem tertentu juga berdampak kepada ketidak-akuratan DPT.

Inkonsistensi atau perubahan sistem pendaftaran pemilih dari Pemilu ke Pemilu pada akhirnya potensial menyebabkan daftar pemilih tidak akurat. Hal ini disebabkan asumsi pemilih bahwa dirinya telah terdaftar sebagai pemilih dalam Pemilu yang lalu. Namun karena sistem yang berubah-ubah, sangat mungkin pemilih yang semula terdaftar menjadi tidak lagi terdaftar. Ini disebabkan karena daftar pemilih disusun berdasarkan data yang berbeda.

Kedua, Sumber data. Lembaga yang memiliki otoritas melakukan pendataan jumlah penduduk di Indonesia adalah Kementerian Dalam Negeri (Mendagri) dan Badan Pusat Statistik (BPS). Nyatanya, data jumlah penduduk dari dua lembaga tersebut sering kali ditemukan berbeda. Perbedaan data penduduk itu dapat disebabkan dua hal, yaitu sumber data dan metode pengumpulan data dari masing-masing lembaga.

Data penduduk ada dua jenis, yaitu penduduk berdomisili secara de facto dan penduduk domisili de jure. Berdasarkan dua jenis data itu, Kemendagri mendata berdasarkan data penduduk domisili de jure dengan dibuktikan identitas kependudukan. Sementara BPS berdasarkan data penduduk domisili de facto, tanpa memperhatikan identitas kependudukan setiap orang yang secara de facto berdomisili di suatu tempat dicatat dalam data jumlah penduduk.[5]

Dengan demikian, metode yang digunakan oleh Kemendagri cq. Pemerintah Daerah adalah mendata jumlah penduduk berdasarkan identitas kependudukan. Kemendagri lebih bersifat pasif terhadap data penduduk yang sangat bergantung pada laporan peristiwa kependudukan (kelahiran, kematian, perkawinan) dari masyarakat. Sementara BPS menggunakan metode sensus, yaitu mencatat data penduduk secara aktif dengan melibatkan petugas sensus menemui orang secara langsung dalam suatu wilayah tertentu.

Ketiga, Tingkat partisipasi pemilih dan peserta Pemilu yang masih minim. Partisipasi politik merupakan inti dari prinsip demokrasi. Demokratis atau tidaknya suatu sistem politik, sangat ditentukan oleh ada atau tingginya tingkat partisipasi politik warga.

Akurasi daftar pemilih di antaranya ditentukan oleh respons masukan dan tanggapan dari masyarakat dan peserta Pemilu. Pendidikan pemilih hendaknya diarahkan untuk kegiatan pemutahiran DPT. Pemutahiran daftar pemilih dapat dijadikan sebagai salah satu substansi pendidikan politik yang sering digalakkan Partai Politik (Parpol). Kalau Parpol melaksanakan amanat ini, niscaya tidak mengalami kesukaran dalam mengajak, dan memfasilitasi para anggota dan simpatisan yang belum terdaftar dalam data pemilih untuk mendaftarkan diri kepada Penyelenggara Pemilu masing-masing wilayah.

Penutup

Hasil dari Pemilu yang berintegritas adalah merupakan cita-cita dan wujud dari integritas Pemilu itu sendiri tanpa ada diskriminasi yang didasarkan pada aturan yang ada. Keadaan tersebut mencerminkan betapa tingginya integriras dari proses Pemilu tersebut. Untuk keperluan pendaftaran pemilih agar ke depan menjamin DPT yang akurat, harus diambil sikap mengenai lembaga mana yang memiliki otoritas melakukan pendataan penduduk, dan pada gilirannya data lembaga mana yang akan digunakan sebagai pedoman KPU untuk melakukan pemutakhiran DPT.

Selain itu, KPU perlu membangun sistem informasi daftar pemilih. Sistem informasi daftar pemilih ini memiliki tiga fungsi utama, yaitu pemeliharaan data daftar pemilih, pemutahiran daftar pemilih yang dapat diakses oleh pemilih, dan transfer informasi dari PPS/PPK kepada KPU dan sebaliknya. Untuk tiga fungsi ini diperlukan perangkat lunak dan keras. Penyelenggara Pemilu, KPU dan Bawaslu perlu mengembangkan inovasi kemudahan akses bagi pemilih sesuai dengan karakteristik masyarakat daerah masing-masing.


[1] Ramlan Surbakti, Didik Supriyanto, dan Hasyim Asy’ari, 2011, Meningkatkan Akurasi Daftar Pemilih; Mengatur Kembali Sistem Pemilih Pemutahiran Daftar, Jakarta, hal. 1 -2.
[2] Ramlan Surbakti dalam Tota Pasaribu R dkk, 2018, Penerapan Pemilu Berintegritas Dan Jaminan Kesetaraan Hak Politik Dalam Pendaftaran Pemilih, Jurnal Wacana Politik, Vol. 3, No. 2, Oktober 2018, hal. 122.
[3]  Robert A. Dahl dalam Tota Pasaribu R dkk, Ibid, hlm. 122.
[4] Sri Nuryati dalam Luky Sandra Amalia dkk, 2016, Evaluasi Pemilu Legislatif 2014; Analisis Proses dan Hasil, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, hlm. 38.
[5] Ramlan Surbakti, Didik Supriyanto, dan Hasyim Asy’ari, 2011, Op Cit, hlm. 24-25.

Sanksi Administrasi dalam Penegakan Keadilan Pemilu

324 Views

SANKSI ADMINISTRASI DALAM PENEGAKAN KEADILAN PEMILU
Oleh: Ruslan Husen

Proses Pemilu di Indonesia masih diwarnai bermacam pelanggaran, terjadi karena kesengajaan maupun kelalaian. Meski banyak ketentuan hukum harus ditaati, dipedomani, dan dilaksanakan para pihak, nyatanya pelanggaran Pemilu terus terjadi terutama dilakukan oleh peserta Pemilu. 

Pelanggaran didefinisikan sebagai perbuatan (perkara) yang melanggar peraturan yang ditetapkan. Pelanggaran dapat dilakukan banyak pihak bahkan dapat dikatakan semua orang memiliki potensi melakukan pelanggaran.[1] Pelanggaran Pemilu terdiri atas pelanggaran administratif, pidana, etika penyelenggara Pemilu, dan pelanggaran peraturan hukum lainnya. Dari bentuk sanksi terhadap peserta Pemilu yang melanggar, ternyata paling ditakuti peserta Pemilu bentuk sanksi administratif.

Pelanggaran administratif Pemilu adalah perbuatan atau tindakan yang melanggar tata cara, prosedur, atau mekanisme yang berkaitan dengan administrasi pelaksanaan Pemilu dalam setiap tahapan penyelenggaraan Pemilu. Bawaslu menerima, memeriksa, mengkaji, dan memutus dugaan pelanggaran administratif Pemilu melalui acara biasa sesuai dengan tempat terjadinya pelanggaran, dalam waktu paling lama 14 hari kerja setelah temuan dan laporan diterima dan di registrasi.

Pemeriksaan dugaan pelanggaran administrasi Pemilu dilakukan secara terbuka oleh Majelis Pemeriksa yang terdiri dari Ketua dan Anggota Bawaslu, dengan dibantu oleh pejabat struktural dan staf pendukung Bawaslu. Produk penyelesaian pelanggaran administratif Pemilu dalam bentuk putusan, yang wajib ditindaklanjuti oleh KPU paling lama 3 hari kerja sejak tanggal putusan dibacakan.

Lalu apa bentuk sanksi administratif itu? Pasal 461 ayat (6) Undang-Undang Nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu) memuat beberapa jenis sanksi administratif Pemilu, yakni :

  • perbaikan administrasi terhadap tata cara, prosedur, atau mekanisme sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
  • teguran tertulis;
  • tidak diikutkan pada tahapan tertentu penyelenggaraan Pemilu; dan 
  • sanksi administratif lainnya sesuai dengan ketentuan dalam UU Pemilu.

Pertimbangan putusan Bawaslu memperhatikan pokok laporan terlapor, jawaban terlapor, hasil pembuktian berupa pemeriksaan alat bukti yang diajukan para pihak, dan kesimpulan para pihak. Putusan dibuat dalam sebuah format baku layaknya putusan pengadilan. Putusan akhir memuat kepala putusan, dengan irah-irah “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”, identitas para pihak, jawaban/kesimpulan para pihak, pertimbangan hukum, dan amar putusan.

Atas putusan Bawaslu Provinsi atau Bawaslu Kabupaten/Kota, pihak yang merasa dirugikan baik Pelapor atau Terlapor dapat mengajukan permintaan koreksi secara langsung kepada Bawaslu RI di Jakarta. Dalam masa waktu 3 hari kerja sejak putusan Bawaslu setempat dibacakan.

Penjatuhan putusan Bawaslu harus dimaknai sebagai upaya penegakan keadilan Pemilu. Keadilan Pemilu merupakan instrumen menegakkan hukum dan menjamin penerapan prinsip demokrasi melalui Pemilu yang jujur dan adil. Keadilan Pemilu dikembangkan untuk mencegah pelanggaran pelaksanaan Pemilu, sekaligus sebagai sarana dan mekanisme untuk membenahi pelanggaran tersebut dan memberikan sanksi kepada pelaku pelanggaran.[2]

Norma dan nilai keadilan Pemilu tidak hanya terbatas pada proses penegakan hukum Pemilu, tetapi merupakan salah satu faktor dalam merancang dan menjalankan seluruh proses Pemilu. Norma dan nilai ini dapat bersumber dari budaya dan kerangka hukum yang hidup berkembang dalam kehidupan sosial masyarakat ataupun dari instrumen hukum nasional dan internasional.

Belum Dimengerti

Pada perhelatan Pemilu sebelumnya tidak dikenal adanya sanksi administratif, nanti pada pelaksanaan Pemilu tahun 2019 sanksi administratif mulai dikenal di samping sanksi pidana Pemilu, dan sanksi lainnya. Sanksi administratif hakikatnya menekankan pada upaya korektif atas perbuatan dan tindakan yang terkait dengan proses administrasi tahapan Pemilu, baik dilakukan Penyelenggara Pemilu (khususnya KPU) maupun peserta Pemilu. Secara faktual terdapat kondisi tahapan Pemilu yang tidak semestinya dari sisi tata cara, prosedur, dan mekanisme tahapan Pemilu sesuai ketentuan UU Pemilu. Dan, Bawaslu bersama jajarannya berwenang memulihkan kondisi yang tidak semestinya itu lewat mekanisme penyelesaian pelanggaran administratif Pemilu, baik dengan acara cepat maupun dengan acara biasa.

Penanganan pelanggaran administratif Pemilu merupakan penindakan pelanggaran Pemilu, ini dimaknai upaya itu bukan lagi pelaksanaan fungsi pencegahan. Serangkaian kegiatan penindakan pelanggaran dengan berpedoman pada UU Pemilu dan Peraturan Bawaslu Nomor 8 tahun 2018 tentang Penyelesaian Pelanggaran Administratif Pemilu. Regulasi ini memberi pedoman tentang wewenang, majelis pemeriksa, objek pelanggaran, mekanisme temuan dan laporan pelanggaran, bukti, sanksi, pemeriksaan pendahuluan, sidang pemeriksaan, dan putusan. Dalam bagian akhir Peraturan Bawaslu, diatur tentang mekanisme pemeriksaan dengan acara cepat, dan koreksi.

Memahami konstruksi regulasi secara holistic apalagi dalam waktu singkat, tersimpan tantangan berat, termasuk giat Penyelenggara Pemilu memahami dan menerapkan regulasi dimaksud. Pada posisi demikian, Penyelenggara Pemilu dapat kesulitan memahami mendetail regulasinya terutama saat belum dibekali, apalagi posisi peserta Pemilu yang tidak pernah diberi materi khusus tentang regulasi teknis tersebut. Mereka harus memahami dan melaksanakan ketentuannya, dalam upaya mempertahankan atau memulihkan hak politiknya.

Posisi ini menempatkan Pengawas Pemilu-lah yang paling mengetahui makna dan maksud dari regulasi teknis itu. Olehnya, kiprah Pengawas Pemilu harus berlaku jujur dan adil dalam memberikan pelayanan kepada semua pihak, terutama peserta Pemilu. Pelayanan maksimal yang menerapkan prinsip keadilan, kemanfaatan, dan kepastian hukum. Pelayanan kepada peserta Pemilu secara transparan dan profesional.

Sanksi Administrasi Lebih Ditakuti

Fungsi sanksi hukuman memberi efek jera kepada pelaku yang melanggar, sekaligus memberi peringatan kepada mereka yang ingin mencoba-coba melanggar. Dalam UU Pemilu terdapat berbagai bentuk sanksi, ada sanksi pidana Pemilu, sanksi administratif, dan sanksi etika bagi Penyelenggara Pemilu, serta sanksi yang dijatuhkan berdasarkan peraturan perundang-undangan lainnya.

Bagi peserta Pemilu, sanksi yang paling ditakuti adalah sanksi administratif, karena berhubungan langsung dengan tujuan dan kepentingan eksistensi sebagai peserta Pemilu dan pemegang daulat rakyat-sebagai calon terpilih. Sanksi yang diputuskan oleh Bawaslu dapat memuat : pencoretan dari Daftar Calon tetap (DCT) peserta Pemilu, Pembatalan sebagai calon terpilih ketika selesai tahapan perhitungan suara, Tidak diikutkan dalam tahapan tertentu dalam tahapan Pemilu, Tidak mengikuti tahapan Pemilu berikutnya.

Menurut Didik Supriyanto, sanksi administratif lebih mudah dilakukan dan lebih mudah dijatuhkan, tapi dengan efek lebih ditakuti khususnya bagi pemilih, calon, dan Partai Politik.[3] Berangkat dari kenyataan ini, UU Pemilu perlu memperkuat penjatuhan sanksi pidana yang diikuti dengan penjatuhan sanksi administratif. Setidaknya itu nampak ketika putusan pengadilan telah berkekuatan hukum tetap, yang ditindaklanjuti KPU dengan memberikan sanksi administratif. Misalnya sanksi pidana politik uang (money politics) yang diikuti dengan sanksi diskualifikasi sebagai peserta Pemilu, atau pembatalan sebagai calon terpilih jika selesai tahapan perhitungan suara.

Konsekwensi sanksi administratif bagi peserta Pemilu perlu ketahui, agar maksimal menjadi peringatan pihak yang mencoba melanggar. Sekaligus memberi efek jera kepada pelaku pelanggaran tata cara, mekanisme, dan prosedur administratif tahapan Pemilu atau pihak yang melanggar ketentuan pidana Pemilu.

Apalagi permintaan koreksi atas putusan, yang diajukan pihak Pelapor atau Terlapor akan cenderung ditolak oleh Bawaslu RI. Bawaslu RI percaya dengan jajarannya dalam menerapkan aturan hukum memutus pelanggaran administratif Pemilu. Pada sisi lain, kelembagaan Bawaslu didesain secara hierarkis, dalam konteks ini penyampaian laporan, monitoring, dan konsultasi terus dilakukan sehingga putusan Bawaslu setempat sangat dipengaruhi oleh arahan dan hasil koordinasi dengan Bawaslu RI. Ini juga nampak saat pengajuan koreksi putusan sengketa proses Pemilu, Bawaslu RI senantiasa menolak permintaan koreksi dan menguatkan putusan Bawaslu Provinsi atau Bawaslu Kabupaten/Kota.

Bawaslu menjatuhkan putusan atas pelanggaran administratif Pemilu setelah melalui proses pemeriksaan laporan atau temuan melalui sidang pemeriksaan. Saat objek kasus/perkara merupakan temuan Pengawas Pemilu, maka Bawaslu tidak serta merta menganggap terpenuhi unsur pelanggaran. Tetapi terlebih dahulu melakukan serangkaian proses pemeriksaan sebagai bagian menegakkan keadilan Pemilu. Saat memeriksa, mengadili, dan memutus objek perkara, posisi majelis pemeriksa Bawaslu harus objektif dan adil selayaknya “Hakim” yang memutus sesuai dengan hati nurani dengan memperhatikan fakta hukum, bukti dan keterangan yang disampaikan di muka sidang pemeriksaan.

Dengan posisi Bawaslu seperti itu, banyak pihak mengkritik fungsi Bawaslu, di satu sisi sebagai penemu dugaan pelanggaran adminitratif Pemilu. Kemudian di sisi yang lain, bertindak sebagai pengadil atas temuan Pengawas Pemilu. Ada kecenderungan sikap dan pendapat Bawaslu sama, saat melaksanakan fungsi pengawasan lewat hasil temuan dengan sikap dan pendapat saat menjatuhkan putusan. Idealnya dua fungsi berbeda itu juga dilaksanakan oleh lembaga yang berbeda.

Demikianlah, norma dan ketentuan dalam UU Pemilu dan peraturan teknisnya. Ketentuan itu menjadi pedoman, acuan, dan rambu-rambu dalam pelaksanaan Pemilu serentak tahun 2019, yang harus ditaati oleh Penyelenggara Pemilu, peserta Pemilu, dan semua pihak stakeholders Pemilu. Jika ketentuan tersebut ingin diubah dalam perhelatan pesta demokrasi berikutnya, maka itu sah diinisiasi oleh pembentuk undang-undang.

Pemeriksaan Acara Cepat

Tidak semua pelanggaran administratif Pemilu harus diselesaikan lewat mekanisme pemeriksaan acara biasa (sidang pemeriksaan) dalam waktu 14 hari kerja. Terdapat mekanisme pemeriksaan “acara cepat” yang dapat ditempuh oleh Pengawas Pemilu sebagai bentuk penindakan alternatif yang efektif dan efesien, tapi dengan out put putusan sanksi yang sama dengan sanksi dari mekanisme pemeriksaan acara biasa.

Penyelesaian pelanggaran administratif Pemilu melalui acara cepat dapat diselesaikan di tempat kejadian dengan mempertimbangkan kelayakan dan keamanan setempat, dilaksanakan paling lama 2 (dua) hari sejak laporan diterima oleh Pengawas Pemilu sesuai dengan kewenangan masing-masing.

Pertama, objek kejadian masih berlangsung. Misalnya dalam pelaksanaan kampanye Pemilu melalui iklan di media massa cetak atau pemasangan APK di tempat yang merupakan fasilitas pemerintah, Pengawas Pemilu lebih dahulu menggunakan langka fungsi pencegahan pelanggaran. Jika terjadi pelanggaran, maka diselesaikan lewat acara cepat yang secara faktual objek pelanggaran masih berlangsung. Dalam kasus tersebut : iklan masih tayang/terbit, dan APK masih terpasang.

Kedua, jelas ketentuan norma yang mengatur. Ketentuan norma dalam UU Pemilu dan peraturan teknisnya ada yang bersifat terang dan sederhana, karena merupakan norma turunan sepanjang pelaksanaan pesta demokrasi (Pemilihan dan Pemilu), dan ada norma hasil politik hukum pembentuk undang-undang berdasarkan konteks kebutuhan, ruang, dan waktu. Atau secara tekstual dan praktek dapat dipahami dengan mudah tanpa potensi pemahaman multi tafsir. Untuk ketentuan norma yang jelas, ketika ada kejadian/temuan dapat diambil kesimpulan/putusan berupa melanggar atau tidak melanggar ketentuan administratif Pemilu.

Selanjutnya, putusan Pengawas Pemilu dengan mekanisme pemeriksaan acara cepat dibacakan secara terbuka dan dapat dihadiri oleh para pihak. Selanjutnya salinan putusan disampaikan kepada para pihak pada hari yang sama setelah putusan dibacakan.


[1] Uu Nurul Huda, 2018, Hukum Partai Politik dan Pemilu di Indonesia, Fokusmedia, Jakarta, hlm. 272.
[2] Cetro (Penyunting), 2010, Keadilan Pemilu: Ringkasan Buku Acuan International IDEA, International IDEA, Bawaslu RI, dan CETRO, Jakarta, hlm. 5.
[3] Didik Supriyanto dalam Luky Sandra Amalia dkk, 2016, Evaluasi Pemilu Legislatif 2014; Analisis Proses dan Hasil, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, hlm. 131.