61 TAHUN SULAWESI TENGAH: KADO MANIS INFRASTRUKTUR KONEKTIVITAS NASIONAL

Moh Ahlis Djirimu
107 Views

61 Tahun Sulawesi Tengah: Kado Manis Infrastruktur Konektivitas Nasional
Oleh : Moh. Ahlis Djirimu
( Guru Besar FEB-Untad dan Local Expert Sulteng-Regional Expert Sulawesi Kemenkeu R.I )

JATI CENTRE – Belanja infrastruktur konektivitas, baik darat, laut, dan udara sangat menentukan kinerja Pembangunan suatu negara. Berbagai riset menunjukkan bahwa infrastruktur konektivitas yang baik dapat menurunkan angka kemiskinan dan meningkatkan Indeks Pembangunan Manusia (IPM).

Pada daerah yang angka kemiskinannya tinggi dapat saja terjadi peningkatan kemiskinan karena konektivitas jalan darat kurang baik, sehingga memperbesar nilai yang dibeli petani lebih besar ketimbang nilai yang dijual petani. Di dataran tinggi bulan Kabupaten Tojo Una-Una, Kecamatan Ampana Tete, petani berasal dari Desa Bulan Jaya, Mertasari, Uemea misalnya pernah merupakan pembudidaya kedelai hitam.

Sayangnya, kedelai hitam sebagai bahan baku produksi kecap membusuk saat belum sampai di pasar. Akhirnya dibuang di jurang. Tentu saja petani merugi yang selanjutnya menggerus produksinya. Di Kecamatan Talatako Kepulauan Togian, akibat signal telepon genggam kurang baik, produsen cengkih mencatat harganya per kilogram mencapai Rp120,- ribu di pasar Marisa Gorontalo.

Pada hari berikutnya, ternyata surplus cengkih mendorong penurunan harga pada Rp95,- ribu, sehingga ketika produsen cengkih dari Talatako tiba dengan Ferry di Marisa, harganya telah turun dan tidak ada jalan lain, selain menjualnya dalam posisi penjual lemah.

Infrastruktur konektivitas mendorong pula kenaikan angka harapan hidup, rata-rata lama sekolah dan harapan rata-rata lama sekolah, serta mendorong peningkatan kesejahteraan masyarakat pada dimensi ekonomi.

Suatu Ketika di era 1990an, sambil mengobrol dinihari pukul 03.00 bersama almarhum om Teny driver PO. Honda Jaya sesaat memasuki wilayah Kecamatan Bunta sebelum pemekaran menjadi Kecamatan Nuhon dan Simpang Raya, para anak usia 13-15 tahun ditemani orang tuanya telah menunggu PO Honda Jaya, PO Super Motor, PO Victoria, semenjak pukul 03.00 wita sekedar menumpang gratis menuju SMPN 1 Bunta, satu-satunya SMPN saat itu.

Jarak sekitar 35 km atau akumulatif 70 km menjadi pemandangan harian selama 6 hari. Berbagai pertanyaan pada siswa tersebut mulai dari rasa ngantuk, kosong perut, dll selama bertahun-tahun hingga Proyek Perluasaan dan Peningkatan Mutu SMP ADB Loan 1810-INO membantu membangun SMPN di Sumber Mulya, Toima’a dan Tomeang memperpendek jarak anak usia 13-15 tahun tersebut pada dekade 2000an.

Keterlambatan waktu merujuk pasien di wilayah Terluar, Terdepan dan Terpencil (3T) Sulteng hingga saat ini masih menjadi pemandangan harian.

Di Sulawesi Tengah, belanja infrastruktur konektivitas semakin meningkat sejak Tahun 2021. Di Tahun 2021, pagu yang disiapkan oleh APBN mencapai Rp1,045,- triliun yang terbagi atas Rp32,64,- miliar sarana berupa bus, kapal laut, alat penerbangan. Prasarana berupa jalan, jembatan, Pelabuhan, bandara mencapai Rp154,53,- miliar.

Rehabilitasi atau perawatan sarana mencapai Rp8,97,- miliar dan perawatan/rehabilitasi prasarana mencapai Rp849,39,- miliar. Namun, realisasinya sangat rendah, hanya mencapai Rp717,95,- miliar.

Realisasi rendah pada Prasarana Jalan, Jembatan, Pelabuhan, Bandara mencapai Rp96,43,- miliar dari Rp154,53,- miliar dan Rp580,- miliar pada Perawatan/rehabilitasi Prasarana dari pagu sebesar Rp849,39,- miliar.

Di Tahun 2022, Pemerintah Pusat mengalokasikan APBN Rp1,285,62,- triliun dengan sebaran pagu sebesar Rp16,27,- miliar pada Sarana, Rp287,97,- Prasarana, Rp1,7,- miliar pada Rehabilitasi Sarana dan Rp979,69,- miliar pada Rehabilitasi Prasarana.

Dari Rp1,285,63,- triliun tersebut, serapannya hanya mencapai Rp966,13,- miliar dengan realisasi paling rendah pada Perawatan Prasarana hanya mencapai Rp744,23,- miliar. Lalu di Tahun 2023, Pada Tahun 2023, terjadi peningkatan total pagu belanja konektivitas sebesar 81,79 persen (year-on-year) dari Rp1,285,- triliun menjadi Rp2,337,- triliun. Realisasinya mencapai Rp2,15,- triliun.

Selama periode 2021-2023, capaian output yang sebagian besar disumbang oleh kinerja PUPR. Realisasi jembatan seharga Rp422,61,- miliar, diikuti oleh jalan sepanjang 57,31,- km. Sedangkan capaian output konektivitas laut terealisasi sebanyak 9 uniy fasilitas pelabuhan laut dan 1 bangunan operasional.

Lalu capaian output Konektivitas Udara sebanyak 14 unit Pembangunan Bandar Udara termasuk bandara baru di Kabupaten Banggai Laut. Selama 2021-2023, porsi belanja terbesar tercatat atas belanja untuk infrastruktur konektivitas darat.

Namun, pada Tahun 2023 Pemerintah meningkatkan alokasi konektivitas udara sebesar 231,8 persen dari pagu Tahun 2022. Realisasi belanja untuk infrastruktur seperti jalan, jembatan, dan sebagainya mengalami peningkatan signifikan dibandingkan dengan 2 tahun yang lalu.

Tingkat Kemantapan Jalan Nasional di Sulteng mencapai 98,99 poin. Panjang Jalan Nasional di Sulteng mencapai 2.373,40 km, merupakan jalan terpanjang di Sulawesi. Adapun kondisi jalan tersebut yakni 805,46 km berada dalam kondisi baik, 1.520,93 km berada pada kondisi sedang, 38,48 km berada pada kondisi rusak ringan dan 8,53 km berada pada kondisi rusak berat.

Namun, hasil riset Kemenkeu menemukan bahwa Belanja APBN bagi Konektivitas Darat, Belanja APBN Konektivitas Laut, dan Belanja APBD Teknologi Informasi dan Komunikasi memberikan dampak positif bagi perekonomian semua provinsi di Sulawesi. Sebaliknya, Belanja APBD Konektivitas Darat, Belanja APBD Konektivitas Laut dan Belanja APBN TIK, kurang memberikan dampak bagi atraktivitas perekonomian.

Temuan lain adalah, terdapat 5 pelabuhan laut, 4 pelabuhan penyebrangan dan 1 terminal belum terkoneksi dengan Jalan Nasional. Riset tersebut merekomendasikan bahwa satuan kerja wajib melakukan pembinaan atas pekerjaan yang besifat lanjutan Program yang “Memperkuat Infrastruktur untuk Mendukung Pengembangan Ekonomi dan Pelayanan Dasar” oleh KemenPUPR dan Kemenhub.

Bagi Sulteng, Tingkat Kemantapan Jalan Provinsi Sulteng mencapai angka relatif 65 poin. Setiap peningkatan 1 km jalan provinsi membutuhkan Rp3,- miliar. Tentu konstrain anggaran patut diatasi dengan kebijakan lain seperti pengalihaan status jalan provinsi menjadi jalan nasional pada ruas tertentu.

Namun, kendala right of way (ROW) yang diduduki oleh masyarakat di Sulteng menjadi tantangan untuk merealisasikannya, kecuali mengadvokasi masyarakat agar jangan mengambil hak jalan menjadi tempat niaga di masing-masing depan rumahnya.

Selama ini, terdapat Jalan Lingkar Luar Kota Palu sepanjang 56,8 km, Palu-Parigi by Pass sepanjang 48,5 km dengan titik nol koordinat pada tugu Kecamatan Sigi Biromaru, Ruas Gimpu-Gintu sepanjang 53 km, Tonusu-Pendolo sepanjang 58,2 km dan Ruas Buleleng-Matarape sepanjang 46,1 km.

Pemerintah Provinsi Sulteng dapat mereplikasi Kerjasama KemenPUPR dan Kemenhub pada ruas Lingkar Peling di Banggai Kepulauan dan Lingkar Una-Una dan Togian di Kabupaten Tojo Una-Una.

Perencanaan infrastruktur konektivitas darat yang terhubung Bangkep Bagian Utara yang lebih maju kinerja pembangunannya dan Bangkep Bagian Selatan yang lebih tertinggal dapat dilanjutkan transportasi publik bus milik Badan Usaha Transportasi Darat Milik Provinsi Sulteng yang terkoneksi dengan Pelabuhan Salakan yang merupakan wilayah kerja Dinas Perhubungan Provinsi Sulteng, Keanekaragaman Hayati Kokolomboi dan obyek wisata Danau Kaca Paisupok.

Demikian pula dengan lingkar Una-Una dan Togian dari Barat ke Timur dapat terkoneksi dengan Pelabuhan Ferry di Pusungi, Wakai, Togian. Tentu perencanaan yang layak dapat menjadi pintu masuk bagi peningkatan kualitas infrastruktur konektivitas. Last but not least, 686 desa blank spot membutuhkan penanganan, khusus penyediaan area bagi menara Base Transciever Service (BTS) di pelosok negeri.

Studi pendahuluan Palu-Parigi by Pass yang penulis bersama tim peneliti lakukan pada 2021 yang sudah dipublikasi pada Journal of Infrastructure Policy and Development (JIPD) menunjukkan bahwa ruas jalan nasional Tawaili-Toboli sepanjang 43,5 km menunjukkan kecepatan maksimal mencapai 35,1 km/jam dan kecepatan rata-rata mencapai 34,8 km/jam, serta volume rata-rata kemacetan mencapai 1.232,1 unit kenderaan.

Biaya kemacetan pada ruas Tawaili-Toboli mencapai Rp4,386,829,- atau Rp4,39,- juta per jam atau Rp9,686,117,823,- atau Rp9,69,- miliar per tahun. Pada rencana ruas Palu-Parigi by pass menunjukkan kecepatan maksimal mencapai 70 km/jam dan kecepatan rata-rata mencapai 66,1 km/jam, serta volume rata-rata kemacetan mencapai 4.900 unit kenderaan.

Biaya kemacetan pada ruas jalan baru Palu-Parigi by pass mencapai Rp2,193,414,- atau Rp2,19,- juta per jam atau Rp4,843,058,912,- atau Rp4,84,- miliar per tahun.

Semoga infrastruktur konektivitas dukungan APBN dapat diikuti pula infrastruktur konektivitas dukungan APBD, sehingga Tingkat kemantapan infrastruktur konektivitas nasional yang diikuti pula oleh kemantapan infrastuktur provinsi dan kemantapan infrastruktur kabupaten/kota. Hal inilah menjadi kado manis HUT Sulteng ke 61 tahun.***

Resensi Buku: Memaknai Hegemoni Ekonomi Tiongkok

Ahlis Djirimu
89 Views

Resensi Buku: Memaknai Hegemoni Ekonomi Tiongkok
Moh. Ahlis Djirimu
( Staf Pengajar FEB-Universitas Tadulako sekaligus penerjemah buku Memaknai Hegemoni Ekonomi Tiongkok )

JATI CENTRE – Secara garis besar, buku Memaknai Hegemoni Ekonomi Tiongkok memberikan informasi dan gambaran bahwa sejak 2007, Amerika Serikat dan Eropa berada dalam krisis besar berkepanjangan. Para pemimpinnya mengenal gravitasi ini tetapi mengabaikan asal muasalnya.

Penghapusan proteksi kepabeanan, diberlakukan berbarengan dengan dogma absolut dan dipertahankannya tanpa mengindahkan depresiasi besar secara sengaja Yuan, telah menghasilkan ketidakseimbangan ekstrim perdagangan internasional. Antara 2000 dan 2007, untuk mempertahankan pertumbuhan tanpa mengindahkan defisit besar perdagangan, Amerika Serikat, Inggris dan Eropa Selatan terlihat menolak memberlakukan kebijakan ekonomi bertualang yang hasilnya adalah krisis.

Tiongkok selalu menolak melakukan revaluasi Yuan, defisit perdagangan negara-negara Barat tidak teratasi, krisis berkelanjutan. Kekuatan besar kapitalis dan totaliter berpadu menjadikan Tiongkok memimpin strategi penjelajahan untuk menggeser hegemoni Amerika Serikat.

Strategi ini berwujud pada semua garis depan (ekonomi, keuangan, militer, diplomasi, kebudayaan, dll). Instrumen utamanya adalah moneter, Tiongkok menjalankan “imperialisme ekonomi”.

Seiring berjalannya waktu, penerbitan buku ini dalam bahasa menandai sepuluh Tahun terbitnya buku Memaknai Hegemoni Ekonomi Tiongkok dalam edisi Prancis yakni pada Januari 2011, yang saat muncul hanya empat bulan sebelum terbitnya buku Penulis Amerika PETER NAVARRO berjudul Death by China pada Mei 2011. Tanpa penulisnya saling ketemu, buku Peter Navarro dan buku Memaknai Hegemoni Ekonomi Tiongkok memberikan analisis yang sama dan kesimpulan yang sama atas kiprah Tiongkok.

Menurut Peter Navarro maupun penulis Memaknai Hegemoni Ekonomi Tiongkok, sejak Tahun 2000, Beijing membangun Strategi bertumpu pada Perdagangan Internasional, metodik, terstruktur, sistematis dan menjelajah, untuk mendapatkan hegemoni dunia.

Kami berkesimpulan bahwa instrumen proteksionisme pabean berhadapan dengan made in China mutlak diterapkan untuk mencegah strategi Beijing yang mendestabilisasi belahan dunia lain.

Tanpa ragu, Peter Navarro pada periode 2016-2020 menjadi Penasehat Dagang yang paling didengar oleh Presiden Trump. Tindakan balasan perdagangan yang menginspirasi Kebijakan Trump dikerahkan untuk membuat peka dan memobilisasi semua masyarakat Amerika melawan strategi Partai Komunis Tiongkok. Di Tahun 2020, saat Covid-19, antara 70-75 persen warga Amerika menganggap Tiongkok adalah pesaing utama Amerika Serikat.

Buku Memaknai Hegemoni Ekonomi Tiongkok menggarisbawahi bahwa Tiongkok menerapkan strategi merkantilisme, yang pada sisi sejarah tanpa ragu, mengarah pada hegemoni dunia bagi Tiongkok dan bagi Partai Komunis Tiongkok.

Strategi ini mendorong adanya penurunan perekonomian pada negara lain. Point of View saya, secara bersamaan berada pada tataran ekonomi dan geopolitik. Keduanya digambarkan atas empat hal berikut :

Pertama, Neraca Dagang berperan penting bagi setiap Negara. Negara-negara yang neraca dagangnya secara umum surplus, namun tidak selamanya, berada dalam dinamika kekuatan membangun industrinya; pertumbuhan Produk Domestik Bruto menjadi penentu utama. Negara-negara yang mengalami terus-menerus defisit, akan secara relatif mengalami dinamika deindustrialisasi.

Negara-negara ini akan mengalami peningkatan signifikan PDB, namun melemah karena solusi yang ditempuh melalui hutang luar negeri yang lebih besar dari pembentukan tabungan domestik ; pertumbuhan PDBnya tidak sehat karena dijamin oleh peningkatan hutang.

Kedua, Negara-negara yang mengalami surplus terhadap semua negara menimbulkan masalah pada negara lain. Seperti yang anda ketahui, perdagangan internasional merupakan permainan neraca seimbang. Surplus neraca dagang suatu negara menyebabkan negara lain defisit.

Jika satu atau beberapa negara membangun strategi merkantilisme untuk mencapai surplus besar neraca dagangnya, maka strategi ini merupakan strategi non-koperatif karena, secara mekanik, negara-negara lain akan mengalami defisit perdagangan dan saat yang sama mengalami deindustrialisasi dan peningkatan derajat hutang.

Ketiga, negara-negara besar yang menjadi super merkantilis menunjukkan bukti-bukti dominasi dan hegemoni. Seperti yang anda ketahui, pada abad ke17, William Petty, dalam karyanya Kebijakan Aritmetika, menjelaskan bahwa suatu negara yang berhasil menerapkan strategi merkantilis melalui surplus perdagangan sedemikian besar akan berujung pada posisi penguasaan pada negara-negara lain.

Suatu negara dapat mencapai industrialisasi secara spektakuler, sebaliknya, negara lain mengalami deindustrialisasi dan merusak tahapan industrialisasi pada negara-negara non-industrialized ; Pertumbuhan ekonominya dapat tetap tinggi sebaliknya, negara-negara lain mengalami defisit.

Selanjutnya, suatu negara super-merkantilis mengakumulasi sedemikian besar cadangan emas dan cadangan devisanya secara simetris, sementara, negara lain mengalami pertumbuhan hutang luar negeri dan menjadi subordinasinya dan berada dalam cengkraman dominasi keuangan negara lain.

Keempat, pada abad ke21, Tiongkok secara seksama merupakan negara « super-merkantilis » yang menginspirasi hegemoni. Kebijakan merkantilis telah diterapkan oleh Kerajaan Inggris pada abad ke19, lalu oleh Amerika Serikat pada abad ke 20. Tujuan utama Tiongkok dan Partai Komunis Tiongkok (PCC) adalah memimpin hegemoni di awal abad ke21.

Setelah 10 tahun terbitnya Memaknai Hegemoni Ekonomi Tiongkok, dominasi Tiongkok berada pada tataran industri dan perdagangan; Tiongkok cenderung secara bersamaan menuju pada penguasaan multidimensional.

Cobalah kita kaji peningkatan kekuatan Tiongkok selama sepuluh tahun terakhir dalam berbagai bidang : Dominasi Ekonomi sejak Tahun 2013, PDB nomor wahid dunia dalam ukuran paritas daya beli (PPP) dan Pasar terbesar dunia; Penguasaan Keuangan Dunia (negara donor nomor wahid dunia, jauh di depan Jepang dan Saudi Arabia) ; Penguasaan Teknologi Dunia (teknologi 5G, dalam kecerdasan buatan) ;  Penguasaan Diplomatik (mengontrol berbagai organisasi PBB khususnya World Trade Organization (WTO) dan Food Agriculture Organization (FAO) dan berbagai negara menggantungkan diri pada Tiongkok.

Lalu berbagi Penguasaan atas kekuatan militer dan persenjataan seperti peluru kendali bawah tanah, kapal selam dan penguasaan bawah laut dalam, berbagai pangkalan militer di berbagai belahan dunia, terutama di laut Tiongkok dan laut Natuna Utara, dan lain-lain ; Berbagi Penguasaan Ruang Angkasa (perjalanan bolak balik ke bulan) ; Berbagi Penguasaan Wilayah meliputi jalur infrastruktur dunia Silk Road mengontrol jalur transportasi di berbagai negara ; Berbagi dominasi maritim (jalur perdagangan dunia, jalur pelabuhan dan pangkalan militer laut di dunia). Pada akhirnya, yang tersisa adalah penguasaan moneter dan militer berada di tangan Amerika Serikat.

Sekali lagi, untuk menandai eksploitasi Tiongkok yang berhasil mendorong Dana Moneter Internasional (IMF) memasukkan Yuan dalam jantung Special Drawing Right (SDR) yang selanjutnya Yuan menjadi mata uang konvertibel dunia.

Ketidakseimbangan perdagangan sedemikian besar, yang dikenal oleh penduduk dunia dan yang menjadi dasar perubahan geopolitik yang patut diperhitungkan menjadi tanda adanya bahaya besar. Negara-negara yang mengalami defisit sedemikian besar, cenderung sedikit demi sedikit mengalami instabilitas, berisiko mendorong sistem politiknya sedikit demi sedikit menjadi otoriter, bahkan totaliter, sebagai jawaban atas keberatan dalam masyarakatnya, dalam petualangannya, khususnya militer.

Namun, bahaya yang paling dekat adalah unjuk kekuatan militer Tiongkok di Laut Natuna Utara yang menjadikan beberapa pulau buatan sebagai pangkalan militer, setelah pengambil alihan Hong Kong, dengan mengorbankan perjanjian internasional yang telah ditandatangani Tiongkok, serta ancaman invasi militer ke Taiwan.

Profesor Didin S. Damahuri, ketika membaca buku ini menyatakan bahwa buku ini termasuk dalam perspektif yang langka, karena bukan hanya melihat dari perspektif Akademisi Prancis-warga masyarakat Barat, yang dapat berbeda dengan perspektif warga wilayah lain misalnya dibandingkan dengan kepentingan Asia, dalam melihat Sukses Besar pembangunan ekonomi Tiongkok dengan segala pandangan akan dampaknya.

Tetapi menariknya, Profesor Antoine Brunet dan Profesor Jean-Paul Guichard (AB-JPG, kedua penulis buku ini sebagaimana dalam tradisi akademis Prancis dan Eropa umumnya, melihat secara komprehensif yang menukik ke perbandingan sejarah tentang Kisah Sukses Tiongkok ini dikaitkan dengan Kisah Sukses Jepang, dalam sejarah masa lalu, masa kontemporer dan dalam konteks inter-relasi secara global-internasional.

Juga, dalam melihat bagaimana konteks “Keajaiban Tiongkok”, menyusul “Keajaiban Jepang” dikaitkan dengan analisis peran Inggris di masa lalu dan Amerika Serikat di masa kini sebagai negara Adi Daya baik dalam perspektif Sejarah Pemikiran Ekonomi (history of economic thought) maupun sejarah perekonomian secara empiris (empirical economic history).

Buku Memaknai Hegemoni Ekonomi Tiongkok ini secara konstan mengemukakan tinjauan dalam konteks pemikiran arus tengah yang neoklasikal dan bagaimana AB-JPG merekomendasikan kebijakan bagi Amerika Serikat dan Eropa dalam menghadapi kemajuan ekonomi Tiongkok yang dalam beberapa tahun ke depan dapat menyalip Amerika Serikat dalam ranking GDP.

Dengan Uraian tersebut, terasa ada semacam “Etnocentrical bias”, yakni selalu menempatkan Barat (khususnya Amerika Serikat dan Eropa) sebagai “Pusat” yang harus, tetapi dalam posisi yang terpenting, baik secara geo-politik maupun geo-ekonomi global.

Padahal, sudah lebih dari satu dasawarsa, disadari oleh berbagai kalangan intelektual secara internasional, akan adanya fakta tentang tengah terjadinya pergeseran Pusat Ekonomi Dunia dari Atlantik ke Pasifik dan diramalkan Asia akan menjadi Pusat Pembangunan Ekonomi dan Peradaban Dunia sebagaimana dikemukakan oleh salah satu buku yang berpengaruh yang ditulis oleh Kishore Mahbubani.

Adalah Sangat menarik, pandangan Profesor Kishore Mahbubani–Intelektual dari Lee-Kuan Yew School of Public Policy Singapore–yang sangat disegani oleh kalangan intelektual Amerika Serikat maupun Eropa karena pandangannya tentang Ekonomi Pasar di Asia.

Menurut Mahbubani, negara-negara di Asia menempatkan Ekonomi Pasar sangat pragmatis dalam apa yang ia sebut March to Modernity dan meramalkan karena keadaan sekarang dan kecenderungannya ke depan. Menurutnya Asia akan menjadi “Pusat Peradaban dan Pembangunan” yang sekarang masih berpusat di negara-negara Barat.

Namun Sukses banyak negara-negara Asia (Jepang, Tiongkok, Korea-selatan, India, Malaysia, Thailand, Singapura), mekanisme pasarnya tanpa harus meninggalkan nilai-nilai Agama, nilai tradisional dan dengan peran negara dan demokrasi politik yang unik dan bervariasi.

Ia mencontohkan di Tiongkok, bagaimana rakyatnya sekarang bukan hanya menikmati kemakmuran yang jauh lebih tinggi, tetapi juga kebebasan atau demokratisasi secara riil berkat kemajuan ekonomi. Dengan demikian, Ekonomi Pasar di Asia menyempal dari arus tengahnya Ekonomi Pasar Amerika Serikat dan Eropa atau Profesor Didin S. Damanhuri menyebutnya sebagai Ekonomi Heterodoks.

Kemudian kita mengenal Ekonomi Pasarnya Jepang yang dalam waktu relatif singkat (1970-1990an) kinerja cabang-cabang industrinya (Elektronik, Telekomunikasi, otomotif) mampu men-trespasse cabang industri Amerika Serikat dan Eropa, berkat peran negara dengan apa yang disebut Japan Incorporated, yakni, peran perencanaan jangka panjang dan sinerginya dengan pelaku lain (swasta, parlemen, dunia riset, para perwakilan di luar negeri).

Sementara dalam praxisnya, menyerahkan sepenuhnya kepada pihak swasta untuk merealisasikan aksi koporasinya dalam mekanisme pasar (nasional maupun global). Menurut hasil studi, kesejahteraan buruhnya juga–bersama Swedia–yang paling tinggi di dunia, di mana serikat buruh di Jepang tidak terlalu kuat seperti di Eropa.

Ekonomi Pasar Amerika Serikat dengan peran negara yang relatif minim, yang menghasilkan kinerja sebagai Adidaya Ekonomi, Politik dan militer di dunia berkat kemajuan Iptek yang fantastis, namun kinerja sosialnya rapuh.

Dewasa ini ada sekitar 2 juta gelandangan (karena krisis 2008), penduduk tanpa rumah sekitar 12 persen, kemiskinan (dengan poverty line menurut ukuran mereka sendiri yang jauh lebih tinggi dari negara-negara berkembang) sekitar 18 persen. Problem kemiskinannya lebih menjadi urusan Yayasan-Yayasan sosial seperti Yayasan Keluarga Kennedy, Rockefeller, Ford, dan lain-lain.

Sejak Administrasi Obama dari Partai Demokrat, memang sekarang untuk urusan Kesehatan, terdapat Undang-Undang yang menjamin penduduk miskin mempunyai akses kepada pelayanan kesehatan yang gratis, meskipun saat itu lagi dicoba mau dicabut kembali oleh Partai Republik lewat penolakan Anggaran pada Tahun 2013-2014 yang kemudian menimbulkan kebijakan yang menghebohkan dunia, yakni “penghentian sementara pelayanan pemerintahan” (shutdown) oleh Presiden Obama.

Ekonomi Pasar di Eropa ceritanya lain lagi, di mana berdampingan dengan peran negara yang menjamin sistem jaminan sosial untuk seluruh penduduk, juga menjadi mediator Buruh dan Majikan, serta mendorong Gerakan Koperasi yang sangat efisien dan perform.

Dengan begitu, Ekonomi Eropa umumnya lebih merata dan relatif kecil kemiskinannya, meski sekarang lagi terserang krisis fiskal dan sosial sekaligus maupun covid19 yang belum juga berakhir hingga sekarang. Dengan krisis 2008 di AS yang hingga sekarang belum pulih benar dan juga Eropa dengan krisis fiskal yang masih jauh dari selesai.

Sebaliknya Asia terus memimpin pertumbuhan dunia dengan bermacam variasi dalam model pembangunannya seperti secara ringkas diuraikan sebelumnya. Namun, pertanyaan yang penting bukanlah apakah Tiongkok merupakan hegemoni yang baik atau tidak, melainkan bagaimana kawasan seharusnya merespon kemungkinan meningkatnya hegemoni tersebut.

Dalam jangka pendek, sedang terjadi peningkatan pengeluaran dan pembelian senjata militer di kawasan Asia, tidak terkecuali Indonesia yang diprediksi akan meningkatkan anggaran militernya. Demikian halnya Filipina dan negara-negara lain di Kawasan Asia. Hal tersebut mengindikasikan akan adanya suatu perlombaan senjata di Asia.

Namun, harus dipahami bahwa opsi internal balancing dalam merespon Tiongkok bukanlah opsi bijak. Hal ini karena sebagian besar negara-negara Asia adalah negara berkembang, di mana berbagai kendala domestik untuk merealisasikan strategi ini termasuk kepentingan ekonomi dan pembangunan, serta kapital politik untuk mengalokasikan dana militer.

Presiden Obama di awal pemerintahannya kedua mencetuskan pivot to Asia. Nyatanya, empat tahun setelahnya, « yang kuat » tersebut tidak kunjung tiba. Terlebih Pemerintahan Trump akan dijatuhkan hambatan dan beban mobilisasi militer yang sama dengan yang diampu Obama.

Namun, jika benar militer AS akan terlibat dalam rangka membantu negara-negara kawasan Asia merespon peningkatan hegemoni Tiongkok, hal ini tidak berarti Tiongkok akan berhenti dan menjaga jarak. Salah satu penyebabnya adalah Laut Natuna Utara (LNU) lebih dari sekedar kantong ekonomi, kini merupakan bagian dari diskursus identitas nasional dan historis Tiongkok.

Walaupun kemungkinan adanya konflik terbuka masih terlihat rendah, dapat dipastikan bahwa opsi keseimbangan baik internal maupun eksternal dengan bantuan AS merupakan opsi yang berujung pada ekskalasi ketegangan dan sentimen nasionalisme negara-negara kawasan. Opsi yang lebih strategis untuk diambil adalah tindakan-tindakan yang menghasilkan deeskalasi ketegangan yang ada.

Hal ini termasuk merevitalisasi kerjasama keamanan antara Tiongkok dan negara-negara kawasan Asia pada isu non-tradisional seperti terorisme dan narkoba, berpartisipasi dalam upaya Tiongkok dalam program One Belt One Road (OBOR), mempertimbangkan kerjasama bilateral dan juga multilateral dengan Tiongkok di gugusan kepulauan sengketa di LNU. Selain itu, melanjutkan upaya untuk mendirikan sebuah code of conduct yang saling bermanfaat di kawasan yang sama.

Memang kini Tiongkok terkesan sebagai hegemoni yang secara agresif memproyeksikan kekuatannya di kawasan. Namun, dari kacamata negara-negara di kawasan Asia, semua merupakan sekutu AS, semua melakukan latihan militer bersama rutin dan sebagian besar menyediakan tempat bagi pangkalan militer AS.

Namun kita tidak dapat memungkiri adanya the miracle of China yakni pertumbuhan PDB perkapita Tiongkok mencapai lima kali lipat dari pertumbuhan perkapita dunia.

Selain itu, bila Britania Raya membutuhkan 58 tahun mencapai tahap industrialisasi yakni pada periode 1880-1938, Amerika Serikat membutuhkan waktu 47 tahun untuk mencapainya pada periode 1839-1886, Jepang membutuhkan 34 tahun mencapai masa industrialisasi yakni pada periode 1885-1919, Korea Selatan membutuhkan masa 11 tahun mencapai masa industrialisasi yakni pada 1966-1977, maka Tiongkok hanya membutuhkan 8,6 tahun yakni pada periode.

Pembangunan bertumpu pada fondasi crisis less growth, pada lima hal yakni likuiditas internasional yang tinggi, sistem perbankan solid, sistem pengamanan keuangan efektif, tingkat tabungan tinggi dan stabil, serta pasar besar dan kapasitas diferensial.

Selain itu, Tiongkok sangat memperhatikan nasehat dalam Paradoks Triffin yakni tetap mengakumulasi cadangan devisanya di dalam negerinya, kontras dengan pengalaman AS yang menumpuk cadangan devisanya di luar negeri yang dapat mengancam keistimewaan dolar sebagai mata uang dunia.

Buku ini menarik bukan hanya berisi uraian sejarah dan strategi ekonomi maupun geopolitik. Salah satu pelajaran yang dapat diambil dari buku ini bagaimana kita mempelajari strategi Tiongkok supaya Indonesia tidak menjadi korban dari politik hegemoni imperialisme Tiongkok.

Buku ini merupakan buku putih yang mengajar strategi apa yang harus dilakukan sehingga kita mendapat manfaat untuk membangun ekonomi Indonesia, melalui kerjasama internasional dalam berbagai bidang dan dapat menjadi rujukan dalam pengembangan pemikiran-pemikiran ekonomi di masa datang.

Namun, selain buku ini mendapat apresiasi, buku tidak lepas dari kritik pembaca. Istilah kapitalisme demokrasi, kapitalisme totaliter, sosialisme pasar kurang mendapat analisis mendalam. Fenomena di Tiongkok seperti reformasi ekonomi di perdesaan, eksploitasi tenaga kerja, kapitalisme pasar yang menimbulkan masalah lingkungan.

Akibat industrialisasi massal menimbulkan imperialisme baru Tiongkok yang berujung pada Tiongkok menjadi eksportir modal dan eksportir tenaga kerja murah, serta adanya sentralisasi modal pada segelintir group-group besar yang dapat kita lihat bahwa 215 perusahaan multinasional di dunia ini, 112 perusahaan tersebut berasal dari Tiongkok, dan buku ini belum menjelaskan bagaimana perilaku kapitalisme negara oleh Tiongkok.

Di balik perdebatan ini, Tiongkok menghadapi dua masalah besar yakni urbanisasi dan pembangunan ekonomi wilayah barat nan miskin. Namun, pada tahap pembangunan ekonomi pasca open door policy, Tiongkok berhasil melalui 3 masa besar yakni periode 1978-1999 merupakan masa perubahan politik, periode 1992-1999 merupakan ekspansi perekonomian pasar sosialis yang ditandai oleh pertumbuhan ekonomi rata-rata 10,9 persen, serta periode Tahun 2000 hingga sekarang merupakan periode pertumbuhan ekonomi tinggi, stabil dan inovatif walaupun masih menghadapi pandemi covid19.

Tentu saja semua negara berorientasi pada inovasi bergantung pada faktor penggerak pertumbuhan ekonominya : TK, Modal, sains dan teknologi. Negara Maju dan Berkembang tunduk pada hukum « 7-3-3-7 » yakni 70 persen perekonomian Negara Maju didorong oleh ilmu pengetahuan dan teknologi, dan 30 persen oleh TK, modal dan bahan baku. Sebaliknya, 70 persen perekonomian negara berkembang didorong oleh TK dan modal, dan 30 persen oleh sains dan teknologi.

Tentu saja jalan menuju transformasi ekonomi berbasis inovasi masih panjang bagi Tiongkok. Tetapi tanda-tanda menuju ke sana telah terlihat melalui digitalisasi ekonomi. Semoga uraian ini tentu menambah khazanah mengapa pada masa jabatan kedua, Presiden Trump mengambil kebijakan tarif resiprokal pada negara lain selain Tiongkok.***

Lingkungan Hidup Dalam Perspektif Islam

106 Views

Oleh : Moh Faidal Dg Pasau


 JATI CENTRE – Dalam pandangan Islam, manusia ialah makhluk terbaik diantara semua ciptaan tuhan dan berani memegang tanggungjawab mengelola bumi, maka semua yang ada di bumi diserahkan untuk manusia. Oleh karena itu manusia diangkat menjadi khalifah di muka bumi. Sebagai makhluk terbaik, manusia diberikan beberapa kelebihan diantara makhluk ciptaan-Nya, yaitu kemuliaan, diberikan fasilitas di daratan dan lautan, mendapat rizki dari yang baik-baik, dan kelebihan yang sempurna atas makhluk lainnya.

Sebagai khalifah di bumi, manusia diperintahkan beribadah kepada-Nya dan diperintah berbuat kebajikan dan dilarang berbuat kerusakan. Selain konsep berbuat kebajikan terhadap lingkungan yang disajikan Al-Qur’an seperti dipaparkan di atas, Rasulullah SAW memberikan teladan untuk mempraktekkannya dalam kehidupan sehari-hari.

Hal ini dapat diperhatikan dari hadist-hadist nabi, seperti hadist tentang pujian allah kepada orang yang menyingkirkan duri dari jalan; dan bahkan allah akan mengampuni dosanya, menyingkirkan gangguan dari jalan ialah sedekah, sebagian dari iman, dan merupakan perbuatan baik.

Jika kita melihat sebagian besar beberapa komunitas banyak melakukan kegiatan – kegiatan harian seperti beberapa gerakan lingkungan hidup yang melatar belakangi dasar dari sebuah buku yang telah dibedah sebagai contoh “Melawan Nafsu Merusak Bumi“.

Lingkungan merupakan bagian dari integritas kehidupan manusia. Sehingga lingkungan harus dipandang sebagai salah satu komponen ekosistem yang memiliki nilai untuk dihormati, dihargai, dan tidak disakiti, lingkungan memiliki nilai terhadap dirinya sendiri. Integritas ini menyebabkan setiap perilaku manusia dapat berpengaruh terhadap lingkungan disekitarnya. Perilaku positif dapat menyebabkan lingkungan tetap lestari dan perilaku negatif dapat menyebabkan lingkungan menjadi rusak.

Integritas ini pula yang menyebabkan manusia memiliki tanggung jawab untuk berperilaku baik dengan kehidupan di sekitarnya. Kerusakan alam diakibatkan dari sudut pandang manusia yang anthroposentris, memandang bahwa manusia adalah pusat dari alam semesta.

Dalam Islam, manusia mempunyai peranan penting dalam menjaga kelestarian alam (lingkungan hidup). Islam merupakan agama yang memandang lingkungan sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari keimanan seseorang terhadap Tuhannya, manifestasi dari keimanan seseorang dapat dilihat dari perilaku manusia, sebaha khalifah terhadap lingkungannya. Islam mempunyai konsep yang sangat detail terkait pemeliharaan dan kelestarian alam (lingkungan hidup).

Salah satu ayat yang terdapat di dalam Al-Qur’an yang menjelaskan mengenai proses penciptaan alam semesta yaitu Q.S. As-Sajdah (32) : 4 yang artinya “Allah-lah yang telah menciptakan langit dan bumi dan segala yang ada diantara keduanya dalam waktu enam hari, kemudian dia bersemayam di atas Arsy. Kamu semua tidak memiliki seorang penolong dan pemberi syafaat pun selain diri-Nya. Lalu, apakah kamu tidak memperhatikannya ?“

Tujuan alam diciptakan adalah bukan untuk dirusak, dieksploitasi secara berlebihan, dicemari, atau bahkan dihancurkan. Akan tetapi adalah untuk difungsikan semaksimal mungkin dalam kehidupan. Kita juga sebagai umat manusia yang bertugas untuk melestarikan Alam Semesta juga harus mempunyai prinsip dalam melestarikannya di kehidupan sehari-hari.

Para Pemikir Islam dan Lingkungan Hidup

Para pemikir islam terkhusus took hislamiceco theology sepakat bahwa yang menjadi akar dari krisis dan pencemaran lingkungan bertitik tolak dari sains dan teknologi barat yang berpijak kepada asumsi-asumsi positivistic. Karena itu, disadari bahwa yang perlu dilakukan adalah melakukan dekonstruksi terhadap kerangka epistemologis pengetahuan barat tersebut, lalu merekonstruksi sebuah paradigma tentang alam yang lebih bersahabat dengan berpijak kepada tradisi Islam.

Dalam hal ini, Ziauddin Sardar adalah seorang saintis, penulis yang produktif, salah satu took hislamiceco theology dari pakistan, yang mendeteksi agrevitas sains dan teknologi ini demikian berkembang dan pesatnya tanpa kontrol moral sehingga keharmonisan dan keindahan ekologi menjadi rusak (Ziauddin Sardar,1998).

Etika Islam Tentang Lingkungan Hidup

Khusus dengan penataan lingkungan hidup, Alquran memberikan sejumlah rambu-rambu, kaidah moral/etika yang mendasari pengelolaan lingkungan hidup.

Seluruh prinsip-prinsip etis dalam pengelolaan lingkungan bertumpu pada ajaran fundamental Islam yang dalam terminology akademis disebut sebagai tauhid yaitu tuhan dipandang sebagai pemilik dan pemelihara alam semesta. Oleh sebab itu segala aktifitas yang berkaitan dengan proses pengelolaan dan penataan lingkungan hidup mengacu kepada tuhan sebagai rabbal-alamin, dalam arti bahwa sesungguhnya tuhanlah sebagai pemilik alam semesta dan pemelihara alam semesta, hal ini berarti segenap proses penataan dan pemanfaatan lingkungan hidup harus diilhami oleh sifat-sifat sebagai rabbal-alamin, tuhan sebagai pencipta dan pemelihara.***

Banggai dalam Kerangka Implementasi Sulteng Nambaso

Moh Ahlis Djirimu
116 Views

Oleh: Moh. Ahlis Djirimu
( Staf Pengajar FEB-Untad )

 

JATI CENTRE – Pelaksanaan Musyawarah Rencana Pembangunan Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah (Musrenbang RKPD) Kabupaten Banggai Tahun 2026 pada 24 Maret 2025 ini merupakan kegiatan perencanaan tahun pertama Pemerintahan Kabupaten Banggai periode 2025-2029, dan/atau dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Periode 2025-2029.

Walaupun pemimpin daerahnya belum ditetapkan oleh Mahkamah Konstitusi pemenangnya, namun Pembangunan terus berjalan secara alamiah dan terencana, demikian pula proses perencanaan dan penganggarannya. Para ahli Perencanaan Pembangunan menyatakan bahwa lima puluh persen keberhasilan Pembangunan ditentukan oleh kualitas perencanaan. Lima puluh persen lainnya ditentukan oleh kualitas implementasi, kualitas monitoring dan evaluasi sinkronisasi antar dokumen perencanaan, serta umpan balik dalam Pembangunan.

Keberhasilan pelaksanaan dokumen perencanaan ditentukan oleh kemampuan perangkat daerah memahami Permasalahan Pembangunan dan Isu Strategis, Visi dan Misi Kepala Daerah, Tujuan, Sasaran, Strategi dan Arah Kebijakan selama lima tahun pelaksanaan Pembangunan.

Selain itu, sebagai tambahan, keberhasilan Pembangunan ditentukan pula oleh kemampuan Organisasi Perangkat Daerah (OPD) memahami dan mampu menyusun kerangka logis Indikator Kinerja Daerah (IKD), serta menselaraskannya dengan dokumen Kebijakan Umum Anggaran (KUA) dan Prioritas Plafon Anggaran Sementara (PPAS). Hal yang terpenting adalah komitmen dan konsistensi melaksanakan dokumen perencanaan dan penganggaran, sepatutnya dilaksanakan sebagai pelayan masyarakat.

Tahun 2025 merupakan era penuh tantangan bagi Indonesia. Presiden Republik Indonesia mengeluarkan Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2025 tentang Efisiensi Belanja Dalam Pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Tahun Anggaran 2025.

Kebijakan ini jelas mengefisiensikan Anggaran Belanja Kementrian/Lembaga Tahun Anggaran 2025 sebesar Rp256,1,- triliun dan Transfer ke Daerah (TKD) sebesar Rp50,60,- triliun. Di Provinsi Sulawesi Tengah, data Kementrian keuangan menunjukkan bahwa Kebijakan Efisiensi ini menyentuh angka Rp1,52,- triliun atau sekitar 8,1 persen dari pagu awal sebesar Rp18,74,- triliun.

Pemerintah Provinsi Sulawesi Tengah terdampak efisiensi sebesar Rp257,3,- miliar, Kabupaten Banggai sebesar Rp25,5,- miliar atau 1,17 persen, Kabupaten Banggai Kepulauan sebesar Rp143,32,- miliar atau 16,31 persen, serta Kabupaten Banggai Laut sebesar Rp118,65,- miliar atau 16,95 persen. Efisiensi Transfer ke Daerah di Sulawesi Tengah berdampak pada pencadangan Dana Alokasi Khusus (DAK) Fisik bidang Konektivitas, Irigasi, Pertanian Pangan, dan Pangan Akuatik dan Dana Alokasi Umum Earmark Bidang Pekerjaan Umum, serta Kurang Bayar DBH.

Walaupun relatif kecil, namun hal tersebut akan memiliki konsekuensi dalam pencapaian target kinerja OPD terkait Dinas Pengampu yakni Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang, Dinas Ciptakarya dan Sumberdaya Air, Dinas Pengampu Urusan Pertanian, Pangan dan Perikanan. Pelajaran yang dapat kita tarik dari efisiensi ini adalah efisiensi relatif tidak mengurangi manfaat yang akan diterima masyarakat, karena hasil efisiensi akan digunakan untuk kegiatan prioritas pemerintah yang manfaatnya langsung dirasakan oleh masyarakat.

Selain itu, efisiensi ini mendorong Pemerintah Daerah melakukan perbaikan kualitas belanja yang benar-benar sesuai kebutuhan yang merupakan satu dari beberapa pilar keuangan daerah seperti diamanahkan dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah.

Adanya kebijakan Pemerintah Pusat mengandung hikmah bahwa Provinsi Sulawesi Tengah dan tiga belas kabupaten/kota sesegera mungkin melakukan transformasi paradigma Pembangunan dari Uang Mengikuti Fungsi menjadi Uang mengikuti Program, Program Mengikuti Hasil.

Adanya Paradigma Uang Mengikuti Program dilakukan secara holistik dalam arti perencanaan terstandarisasi sesuai Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan (SPPN) dan regulasi turunannya dalam makna keselarasan Perencanaan dan Penanggaran antara Pemerintah Provinsi Sulawesi dan Pemerintah Kabupaten/Kota untuk mencapai Visi dan Misi Kepala Daerah.

Untuk maksud cita-cita tersebut dan mencapai Visi Pemerintah Provinsi Sulteng Periode 2025-2029 yakni “Berani Mewujudkan Sulawesi Tengah sebagai Wilayah Pertanian dan Industri yang Maju dan berkelanjutan 2025-2029”.

Data Portal BKKBN menunjukkan, Di Kabupaten Banggai terdapat 85.745 orang atau 26,26 persen Masyarakat kita belum memiliki Kartu Jaminan Kesehatan. Ada 11.730 anak usia 7-12 tahun atau 25,79 persen tidak sekolah. Ada 1.230 anak usia 13-15 tahun atau 7,05 persen tidak sekolah.

Ada 2.747 anak usia 16-18 tahun atau 15,75 persen tidak sekolah, serta ada 24.342 anak usia 19-24 tahun atau 67,25 persen tidak duduk di bangku kuliah. Selain itu, di Kabupaten Banggai, terdapat 131.809 jiwa atau 41,18 persen belum mempunyai Akte Kelahiran. Pada sisi infrastruktur dasar, sebanyak 3.805 Keluarga mempunyai rumah beralaskan lantai yang ini menjadikan Kabupaten Banggai terbanyak di Sulteng.

Rumah Tangga tanpa Septic Tank di Kabupaten Banggai mencapai 3.577 yang menjadikan Kabupaten Banggai terbanyak di Sulteng. Data Dinas Komunikasi, Informatika, Persandian, Statistik Provinsi Sulteng menunjukkan bahwa 126 desa yakni terbanyak di Sulteng dari 686 desa atau 18,37 persen blank spot berada di Kabupaten Banggai.

DPRD dan Pemerintah Provinsi Sulteng akan mewujudkan bahwa mereka ini tertangani dengan baik sebagai implementasi hadirnya negara dan DPRD Sulteng akan mengawasi pelaksanaan Sembilan Nawacita Berani 2025-2029 pada Program Unggulan “Berani Sehat, Berani Cerdas, Berani Berdering”.

Selama periode 2021-2023, Pemerintah Pusat menggelontorkan Prasarana dan Sarana Konektivitas dengan realisasi di Tahun 2021 mencapai Rp717,95,- miliar dari pagu Rp1,04,- triliun. Di Tahun 2022, Pemerintah Pusat merealisasikan Rp986,13 miliar dari pagu Rp1,29,- triliun, dan di Tahun 2023, Pemerintah Pusat merealisasikan Sapras Konektivitas sebesar Rp2,15,- triliun dari pagu Rp2,34,- triliun.

Panjang Jalan Nasional di Sulteng mencapai 2.373,40 km yang menunjukkan panjang jalan nasional terpanjang di Sulawesi. Dari jumlah tersebut, 805,46 km berada dalam kondisi baik, 1.520,93 km berada dalam kondisi kualitas sedang, 38,48 km berada dalam kondisi rusak ringan, serta 8,53 km berada dalam kondisi rusak berat. Namun, hasil riset Badan Kebijakan Fiskal dan Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan Kemenkeu menunjukkan bahwa 5 pelabuhan penyebrangan, 4 pelabuhan laut dan 1 terminal belum terkoneksi dengan Jalan Nasional.

Selain itu, hasil riset tersebut menunjukkan bahwa hanya Dana APBN Jalan Nasional, APBN Transportasi Laut, APBN Transportasi Udara dan Dana APBD Teknologi, Informasi dan Telekomunikasi yang mendorong atraktivitas positif Perekonomian Sulteng. DPRD Sulteng akan mengawal dan mengawasi pelaksanaan implementasi program unggulan “Berani lancar”.

Badan Pusat Statistik (BPS) Sulteng menunjukkan bahwa pada Februari 2025, di saat 3 kabupaten/kota lainnya yang menjadi rujukan perhitungan Indeks Harga Konsumen (IHK) yakni Kota Palu, Kabupaten Tolitoli dan Kabupaten Morowali mengalami deflasi, sebaliknya, Kabupaten Banggai mengalami inflasi sebesar 0,48 persen. Hal ini erat kaitannya dengan permintaan kebutuhan pokok meningkat jelang Ramadhan 2025 dan dapat menjadi indikasi tergerusnya daya beli Masyarakat.

Di Tahun 2024, di Kabupaten Banggai, baik luas panen per hektar, produksi padi dalam satuan Gabah kering Giling (GKG), Produktivitas ton GKG/Ha, dan Produksi Beras per ton mengalami penurunan. Luas panen di Kabupaten Banggai mengalami penurunan dari 39.418 Ha, menjadi 38.385 Ha.

Produksi Padi dalam satuan Gabah Kering Giling (GKG) menurun dari 178.758 ton pada 2023 menjadi 159.471 ton pada 2024 atau mengalami penurunan sebesar 10,79 persen. Produktivitas padi di Kabupaten Banggai menurun dari 4,53 poin pada 2023 menjadi 4,15 poin di Tahun 2024, serta produksi beras menurun dari 105.517 ton pada 2023 menjadi 94.132 ton pada 2024 atau mengalami penurunan pula sebesar 10,79 persen. Penurunan produksi padi dalam year-on-year terjadi pula di Morowali, Poso, Donggala, Tolitoli, Buol, Sigi dan Morowali Utara.

Hal ini tentu berpengaruh pada Produksi Padi Sulteng per 2024 mengalami penurunan sebesar 7,5 persen dari 2023 yang dapat mendorong kelangkaan beras yang selanjutnya memicu kenaikan harga. Kebijakan Peraturan Penyanggah Harga dengan menciptakan kelembagaan pangan sebagai Depot Logistik Daerah dapat menjadi kebijakan yakni memenuhi kebutuhan beras di Sulteng barulah di antar daerahkan atau di antar pulaukan.

Indeks Ketahanan Pangan Kabupaten Banggai mencapai 85,72 poin dengan komponen tertinggi pada Komponen Ketersediaan Pangan mencapai 93,92 poin, Keterjangkauan Pangan mencapai 90,69 poin, Sebaliknya, Komponen terendah pada angka Pemanfaatan Pangan hanya mencapai 75,83 poin lebih rendah dari angka Pemanfaatan Pangan di Kabupaten Morowali mencapai 78,65 poin, Buol sebesar 78,81 poin dan Morowali Utara mencapai 77,07 poin.

Posisi Kabupaten Banggai ini patut diperkuat oleh Pemerintah Provinsi Sulteng melalui program “Berani Lancar” karena Kabupaten Banggai merupakan pemasok Ketersediaan Pangan ke Kabupaten Banggai Kepulauan dan Banggai Laut, bahkan hingga ke Kabupaten Kepulauan Sula dan Taliabu. Sejak 2021, Kabupaten Bangkep dan Banggai Laut terus mengalami penurunan.

Masalah hidrometeorologi yang terbukti dari hasil riset Kementrian Keuangan menunjukkan selama April 2023 sampai dengan April 2024, suhu permukaan di Kabupaten Banggai meningkat dari 27,5 derajat Celcius menjadi 28 derajat Celcius atau naik 0,5 derajat Celcius, sedangkan selama 10 tahun terakhir, suhu di permukaan di Sulteng meningkat 1,2 derajat Celcius.

Hal ini tentu akan mengganggu rantai pasok bahan pangan ke daerah kepulauan, di samping menganggu produksi pangan dan perikanan. DPRD Sulteng akan mengawasi pula implementasi program “Berani Murah” dan “Berani Panen Raya”, serta “Berani Tangkap banyak” di wilayah pengelolaan perikanan 715 Laut Sulawesi sekaligus menginisiasi Kerjasama Antar Daerah di Teluk Tolo dan Perairan Halmahera mencakup 4 provinsi di Pulau Sulawesi dan Provinsi Maluku Utara dan Maluku.

Sembilan anggota DPRD Provinsi Sulteng daerah pemilihan Banggai Raya berperan aktif juga dalam mensukseskan Sembilan Program Unggulan Pemerintah Sulteng Periode 2025-2029 melalui Program “Berani Sejahtera, Berani Berdering, Berani Harmoni, Berani Lancar, Berani Berkah, Berani Menyala, Berani Cerdas, Berani Berkah, Berani Sehat” melalui implementasi Pokok-Pokok Pikiran Tahunan di dalam RPJMD Provinsi Sulteng Periode 2025-2029 dan Renstra OPD Periode 2025-2029.

Musrenbang RKPD Kabupaten Banggai Tahun 2026 yang dilaksanakan pada Senin ini hendaknya dapat menghasilkan lima catatan penting yakni, pertama, menyepakati permasalahan Pembangunan daerah; Kedua, Menyepakati Prioritas Pembangunan Daerah di Tengah efisiensi dana Pembangunan; Ketiga, Menyepakati Program, Kegiatan, Subkegiatan, Pagu Indikatif, Indikator dan Target Kinerja, serta Lokasi;

Keempat, Melakukan penyelarasan Program, Kegiatan, Subkegiatan, Pembangunan daerah dengan sasaran dan prioritas Pembangunan Provinsi Sulteng; Kelima, Melakukan Klarifikasi Program dan Kegiatan yang merupakan kewenangan daerah Kabupaten Banggai dengan Program dan Kegiatan Desa yang diusulkan berdasarkan hasil Musrenbang Kecamatan. Inilah makna paradigma Money Follow Program, Program Follow Result dalam bingkai Pembangunan “Sulteng Nambaso” bermakna Sulteng Besar.

Sembilan anggota DPRD Sulteng Dapil Banggai Raya akan selalu bertanya, apa yang dapat mereka dukung dalam mencapai Visi dan Misi Pemerintah Provinsi Sulteng periode 2025-2029 di Kabupaten Banggai.

Targetnya, Angka Kemiskinan Ekstrim sebesar 1,15 persen di Tahun 2024 kembali menjadi Nol persen seperti Tahun 2023, lalu 26,21 ribu penduduk miskin atau 6,56 persen angka kemiskinan menurun walaupun angka 6,56 persen tersebut merupakan fenomena Kemiskinan Alamiah di Kabupaten Banggai yang tentu melandai penurunannya.

Caranya adalah fokus kebijakan tematik dan spasial yakni tematik Perlindungan Sosial dan Pemberdayaan Rumah Miskin Perempuan di Kabupaten Banggai yang memang terbanyak di Sulteng mencapai 6.274 rumah tangga, fokus tematik pada kemiskinan disabilitas 2.214 jiwa, 2.075 rumah tangga nelayan perikanan tangkap dan budidaya, tanpa melupakan rumah tangga petani, yang secara spasial tersebar di wilayah Utara Banggai, semenanjung Tompotika.***

MK: Pengunduran Diri Anggota Legislatif untuk Mencalonkan Diri sebagai Kepala Daerah Bertentangan dengan Prinsip Kedaulatan Rakyat

Pemohon MK
237 Views

JATI CENTRE – Mahkamah Konstitusi (MK) putuskan calon legislatif terpilih tidak boleh mundur demi maju kontestasi Pilkada.

Pengunduran diri calon legislatif terpilih dapat dibenarkan sepanjang pengunduran diri dimaksud dilakukan untuk menjalankan tugas negara yang lain, seperti diangkat atau ditunjuk untuk menduduki jabatan menteri, duta besar, atau pejabat negara/pejabat publik lainnya.

Artinya, jabatan-jabatan tersebut merupakan jabatan yang bukan jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum (elected officials), melainkan jabatan yang berdasarkan pengangkatan dan/atau penunjukan (appointed officials).

Demikian Putusan Nomor 176/PUU-XXII/2024 ini dibacakan dalam Sidang Pengucapan Putusan uji materiil Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu) terhadap UUD 1945.

Caleg Terpilih Tidak Boleh Mundur Demi Maju Pilkada

Sidang Pengucapan Putusan ini digelar pada Jumat (21/3/2025) di Ruang Sidang Pleno MK. Permohonan ini diajukan oleh Adam Imam Hamdana beserta 3 (tiga) rekannya, yakni Wianda Julita Maharani, dan Adinia Ulva Maharani yang merupakan mahasiswa.

“Mengabulkan permohonan para Pemohon untuk sebagian. Menyatakan Pasal 426 ayat (1) huruf b Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang tentang Pemilihan Umum  bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai ‘mengundurkan diri karena mendapat penugasan dari negara untuk menduduki jabatan yang tidak melalui pemilihan umum’,” ujar Ketua MK Suhartoyo saat membacakan amar putusan dengan didampingi delapan Hakim Konstitusi lainnya.

Dalam pertimbangan hukum  yang dibacakan oleh Wakil Ketua MK Saldi Isra menekankan, bahwa meskipun pengunduran diri merupakan hak calon terpilih, mandat rakyat yang diberikan melalui pemilu harus menjadi pertimbangan utama sebelum mengambil keputusan untuk mengundurkan diri.

“Ketika seorang calon terpilih berhasil meraih suara terbanyak, maka keterpilihannya merupakan mandat rakyat yang harus dihormati. Suara rakyat yang diberikan dalam pemilu merupakan perwujudan demokrasi dan tidak boleh diabaikan,” ujar Saldi Isra.

Menurut MK, pengunduran diri seorang calon legislatif terpilih dapat meniadakan suara pemilih yang telah memilihnya. Dalam sistem pemilu proporsional terbuka, pemilih dapat memilih berdasarkan figur calon yang diusung. Jika calon yang terpilih mengundurkan diri, suara rakyat menjadi tidak bermakna dan menimbulkan ketidakpastian hukum.

Lebih lanjut, Hakim Konstitusi Arsul Sani dalam pertimbangan lainnya menjelaskan bahwa ketidakjelasan dalam Pasal 426 ayat (1) UU Pemilu berpotensi menimbulkan praktik yang tidak sehat dalam demokrasi.

Pasal ini tidak memberikan batasan yang jelas mengenai alasan yang dapat digunakan untuk pengunduran diri calon terpilih. Akibatnya, penyelenggara pemilu hanya memproses pengunduran diri tanpa mempertimbangkan dampaknya terhadap pemilih.

Alasan MK

Mahkamah Konstitusi menilai bahwa batasan dalam pengunduran diri calon terpilih diperlukan untuk menjaga prinsip kedaulatan rakyat dalam pemilu.

Oleh karena itu, MK memutuskan bahwa pengunduran diri calon terpilih harus memiliki alasan yang jelas dan konstitusional. Dua isu utama yang menjadi pertimbangan MK dalam putusan ini adalah pengunduran diri karena pencalonan sebagai kepala daerah dan pengunduran diri terkait kepentingan tugas negara.

MK juga menyatakan bahwa pengunduran diri untuk mencalonkan diri sebagai kepala daerah bertentangan dengan prinsip kedaulatan rakyat.

Sebab, calon tersebut telah mendapatkan mandat dari rakyat melalui pemilu legislatif. Di sisi lain, pengunduran diri dapat dibenarkan jika dilakukan untuk menjalankan tugas negara, seperti diangkat menjadi menteri, duta besar, atau pejabat negara lainnya yang bukan merupakan jabatan hasil pemilihan umum.

Putusan MK ini sejalan dengan fenomena yang terjadi dalam Pemilu Legislatif 2024, di mana banyak calon terpilih yang mengundurkan diri untuk maju dalam Pilkada.

MK menilai praktik ini mencerminkan ketidaksehatan demokrasi dan berpotensi bersifat transaksional, sehingga mengurangi penghormatan terhadap suara rakyat.

Dengan putusan ini, MK menyatakan bahwa Pasal 426 ayat (1) huruf b UU Pemilu bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat, kecuali dimaknai bahwa pengunduran diri hanya dapat dilakukan jika calon terpilih mendapat penugasan untuk menduduki jabatan yang tidak melalui pemilihan umum.

“Dengan demikian, dalil permohonan para Pemohon tentang tidak adanya batasan untuk calon terpilih mengundurkan diri yang diatur dalam Pasal 426 ayat (1) huruf b UU 7/2017 adalah dalil yang berdasar. Oleh karena itu, menurut Mahkamah terhadap I Pasal 426 ayat (1) huruf b UU 7/2017 harus dinyatakan bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai ‘mengundurkan diri karena mendapat penugasan dari negara untuk menduduki jabatan yang tidak melalui pemilihan umum’, sebagaimana termuat dalam amar Putusan a quo,” tegas Arsul.

Dalil Permohonan

Para Pemohon merasa bahwa adanya calon legislatif terpilih yang mengundurkan diri merupakan bentuk pengkhianatan, serta tidak bertanggung jawab atas mandat yang diberikan langsung oleh rakyat, terlebih adanya alasan yang tidak serius.

Pemohon juga mendalilkan dengan adanya pasal a quo, maka menimbulkan peluang setiap calon legislatif untuk sekadar tes saja, manakala suara yang didapatkan calon setelah dikalkulasikan menunjukkan tren yang positif, maka calon anggota tersebut akan mengundurkan diri dan berpindah haluan ke Pilkada.

Menurut Pemohon, hal tersebut sangat berpotensi menjadikan suara rakyat tidak dihargai. Padahal penghargaan terhadap suara rakyat sudah menjadi semangat Putusan MK Nomor 60/PUU-XXII/2024.

Selain itu, dalam negara hukum yang berkedaulatan rakyat, penting untuk memposisikan kepentingan rakyat sebagai kepentingan utama karena sejatinya prinsip kedaulatan rakyat memandang bahwa kekuasaan itu berasal dari rakyat. Sehingga dalam melaksanakan segala urusan berkenaan dengan tugasnya, para pemegang kekuasan harus berpegang pada kehendak rakyat yang lazimnya disebut dengan demokrasi.

Pemohon menyebut Putusan MK tersebut inheren dengan fenomena anggota DPR, DPD, dan DPRD yang melakukan pengunduran diri, dengan tanpa adanya limitasi yang jelas akan berpotensi terjadi praktik-praktik tukar suara rakyat dengan kepentingan politik dan kepentingan-kepentingan lain yang tidak selaras dengan prinsip kedaulatan rakyat.

Hal tersebut tentu bertolak belakang dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 40/PUU-VIII/2010 yang menyatakan bahwa prinsip paling pokok dari demokrasi adalah free and fairness (prinsip kebebasan memilih dan prinsip jujur adil).***

Sumber: Mahkamah Konstitusi

Tolitoli Dalam Bingkai “Sulteng Nambaso”

Ahlis Djirimu
128 Views

Tolitoli Dalam Bingkai “Sulteng Nambaso”

Oleh: Moh. Ahlis Djirimu
( Staf Pengajar FEB-Untad )

JATI CENTRE – Pekan ini Kabupaten Tolitoli menjadi topik hangat karena selain diguyur hujan nyaris tanpa henti menimbulkan pendangkalan teluk Tolitoli, di hulu catchment area tergerus oleh monokultur cengkih.

Saat yang sama daerah ini melaksanakan Musyawarah Rencana Pembangunan (musrenbang). Pertanyaan yang sering muncul pada Pemerintah Provinsi Sulteng adalah, apa yang dapat provinsi tangani di daerah yang inflasinya selalu paling tinggi dari empat rujukan Indeks Harga Konsumen (IHK) di Sulteng? Pelaksanaan Musrenbang Rencana Kerja Pemerintah Daerah (RKPD) Kabupaten Tolitoli Tahun 2026 pada 13 Maret 2025 merupakan kegiatan perencanaan tahun pertama Pemerintahan Kabupaten Tolitoli periode 2025-2029, dan/atau dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Periode 2025-2029.

Para ahli Perencanaan Pembangunan menyatakan bahwa lima puluh persen keberhasilan Pembangunan ditentukan oleh kualitas perencanaan. Lima puluh persen lainnya ditentukan oleh kualitas implementasi, kualitas monitoring dan evaluasi, sinkronisasi antar dokumen perencanaan, serta umpan balik dalam Pembangunan. Keberhasilan Pembangunan ditentukan oleh kualitas dokumen perencanaan.

Keberhasilan pelaksanaan dokumen perencanaan ditentukan oleh kemampuan perangkat daerah memahami Permasalahan Pembangunan dan Isu Strategis, Visi dan Misi Kepala Daerah, Tujuan, Sasaran, Strategi dan Arah Kebijakan selama lima tahun pelaksanaan Pembangunan, memahami dan mampu menyusun kerangka logis Indikator Kinerja Daerah (IKD), serta menselaraskannya dengan dokumen Kebijakan Umum Anggaran (KUA) dan Prioritas Plafon Anggaran Sementara (PPAS). Selain itu, komitmen dan konsistensi melaksanakan dokumen perencanaan dan penganggaran, sepatutnya dilaksanakan sebagai pelayan Masyarakat.

Tahun 2025 merupakan era penuh tantangan bagi Indonesia. Presiden Republik Indonesia mengeluarkan Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2025 tentang Efisiensi Belanja Dalam Pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Tahun Anggaran 2025.

Kebijakan ini jelas mengefisiensikan Anggaran Belanja Kementrian/Lembaga Tahun Anggaran 2025 sebesar Rp256,1,- triliun dan Transfer ke Daerah (TKD) sebesar Rp50,60,- triliun. Di Provinsi Sulawesi Tengah, data Kementrian Keuangan menunjukkan bahwa Kebijakan Efisiensi ini menyentuh angka Rp1,52,- triliun atau sekitar 8,1 persen dari pagu awal sebesar Rp18,74,- triliun.

Satuan Kerja Provinsi Sulawesi Tengah terkena efisiensi sebesar Rp257,3,- miliar dan Kabupaten Tolitoli sebesar Rp84,6,- miliar. Efisiensi Transfer ke Daerah di Sulawesi Tengah berdampak pada pencadangan Dana Alokasi Khusus (DAK) Fisik bidang Konektivitas, Irigasi, Pertanian Pangan, dan Pangan Akuatik dan Dana Alokasi Umum Earmark Bidang Pekerjaan Umum, serta Kurang Bayar DBH. Walaupun relatif kecil, namun hal tersebut akan memiliki konsekuensi dalam pencapaian target kinerja Organisasi Perangkat Daerah (OPD) terkait Dinas Pengampu seperti Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang, Dinas Ciptakarya dan Sumberdaya Air, Dinas Pengampu Urusan Pertanian, Pangan dan Perikanan.

Pelajaran yang dapat kita Tarik dari efisiensi ini adalah efisiensi relatif tidak mengurangi manfaat yang akan diterima masyarakat, karena hasil efisiensi akan digunakan untuk kegiatan prioritas pemerintah yang manfaatnya langsung dirasakan oleh Masyarakat.

Selain itu, efisiensi ini mendorong Pemerintah Daerah melakukan perbaikan kualitas belanja yang benar-benar sesuai kebutuhan seperti diamanahkan dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. Realisasi tahun historis Pajak Daerah Tahun 2024 mencapai 20,03 persen dan Retribusi Daerah mencapai 19,66 persen. Sedangkan realisasi end-to-end 5 tahun terakhir mencapai 7,14 persen bagi Pajak Daerah dan 8,33 persen bagi Retribusi Daerah. Apakah Pemerintah Provinsi menggunakan realisasi tahunan atau realisasi periodik, Gubernurlah yang memberikah titah pada Bapenda.

Adanya kebijakan Pemerintah Pusat mengandung hikmah bahwa Provinsi Sulawesi Tengah dan tiga belas kabupaten/kota sesegera mungkin melakukan transformasi paradigma Pembangunan dari Uang Mengikuti Fungsi menjadi Uang mengikuti Program, Program Mengikuti Hasil.

Adanya Uang Mengikuti Program dilakukan secara holistik dalam arti perencanaan terstandarisasi sesuai Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan (SPPN) dan regulasi turunannya dalam makna keselarasan Perencanaan dan Penanggaran antara Pemerintah Provinsi Sulawesi dan Pemerintah Kabupaten/Kota untuk mencapai Visi dan Misi Kepala Daerah.

Untuk maksud cita-cita tersebut dan mencapai Visi Pemerintah Provinsi Sulteng 2025-2029 yakni “Berani Mewujudkan Sulawesi Tengah sebagai Wilayah Pertanian dan Industri yang Maju dan berkelanjutan 2025-2029”,

Data Portal BKKBN menunjukkan, Di Kabupaten Tolitoli terdapat 55.241 orang atau 26,44 persen Masyarakat kita belum memiliki Kartu Jaminan Kesehatan. Ada 6.172 anak usia 7-12 tahun atau 25,79 persen tidak sekolah. Ada 1.169 anak usia 13-15 tahun atau 10,15 persen tidak sekolah. Ada 2.647 anak usia 16-18 tahun atau 23,04 persen tidak sekolah, serta ada 16.145 anak usia 19-24 tahun atau 67,33 persen tidak duduk di bangku kuliah.

Selain itu, ada 914.591 jiwa penduduk Sulteng belum mempunyai Akte kelahiran. DPRD dan Pemerintah Provinsi Sulteng akan mewujudkan bahwa mereka ini tertangani dengan baik sebagai implementasi hadirnya negara dan DPRD Sulteng akan mengawasi pelaksanaan Nawacita Berani Periode 2025-2029 pada Program Unggulan “Berani Sehat dan Berani Cerdas”;

Selama periode 2021-2023, Pemerintah Pusat menggelontorkan Prasarana dan Sarana Konektivitas dengan realisasi di Tahun 2021 mencapai Rp717,95,- miliar dari pagu Rp1,04,- triliun. Di Tahun 2022, Pemerintah Pusat merealisasikan Rp986,13 miliar dari pagu Rp1,29,- triliun, dan di Tahun 2023.

Pemerintah Pusat merealisasikan Sapras Konektivitas sebesar Rp2,15,- triliun dari pagu Rp2,34,- triliun. Panjang Jalan Nasional di Sulteng mencapai 2.373,40 km yang menunjukkan panjang jalan nasional terpanjang di Sulawesi. Dari jumlah tersebut, 805,46 km berada dalam kondisi baik, 1.520,93 km berada dalam kondisi kualitas sedang, 38,48 km berada dalam kondisi rusak ringan, serta 8,53 km berada dalam kondisi rusak berat.

Namun, demikian, hasil riset Badan Kebijakan Fiskal dan Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan Kemenkeu menunjukkan bahwa 5 pelabuhan penyebrangan, 4 pelabuhan laut dan 1 terminal belum terkoneksi dengan Jalan Nasional, serta masih ada 686 desa dari 1.482 desa atau 36 persen berada pada kategori “Blank Spot”.

Selain itu, hasil riset tersebut menunjukkan bahwa hanya Dana APBN Jalan Nasional, APBN Transportasi Laut, APBN Transportasi Udara dan Dana APBD Teknologi, Informasi dan Telekomunikasi (TIK) yang mendorong atraktivitas positif Perekonomian Sulteng. DPRD Sulteng akan mengawal dan mengawasi pelaksanaan implementasi program unggulan “Berani lancar” dan “Berani Berdering”;

Badan Pusat Statistik (BPS) Sulteng menunjukkan bahwa setiap bulan, sejak Kabupaten Tolitoli termasuk daerah rujukan penghitungan angka Indeks Harga Konsumen (IHK) bahwa Kabupaten Tolitoli merupakan daerah tertinggi di Sulteng. Pada Januari 2025, deflasi di Kabupaten Tolitoli mencapai -1,22 persen. Hal ini menunjukkan bahwa daya beli penduduk Tolitoli melemah. Di Tahun 2024, luas panen di Kabupaten Tolitoli mencapai 13.007 Ha, menurun dari 13.889 Ha.

Sebaliknya, Produksi Padi dalam satuan Gabah Kering Giling (GKG) meningkat dari 55.429 ton pada 2023 menjadi 59.017 ton pada 2024. Produktivitas padi di kabupaten Tolitoli meningkat dari 3,99 poin pada 2023 menjadi 4,54 poin di Tahun 2024, serta produksi beras meningkat dari 32.719 ton pada 2023 menjadi 34.837 ton pada 2024. Indeks Ketahanan Pangan Kabupaten Tolitoli mencapai 79,18 poin dengan titik terendah pada angka Pemanfaatan Pangan hanya mencapai 69,59 poin lebih rendah dari angka Ketersediaan Pangan mencapai 88,2 poin dan Keterjangkauan Pangan 82,93 poin.

Posisi Kabupaten Tolitoli ini patut diperkuat oleh Pemerintah Provinsi Sulteng melalui program “Berani Lancar” dengan mengusulkan pengaktifan lagi Pelabuhan Penghubung Wani dan Pelabuhan Tolitoli, serta mengusulkan pada Kementrian Perhubungan agar Pelabuhan Tolitoli direaktivasi sebagai persinggahan Kapal PT. Pelni seperti oleh KM.

Kerinci di masa lalu. DPRD Sulteng akan mengawasi pula implementasi program “Berani Murah” dan “Berani Panen Raya”, serta “Berani Tangkap” banyak di wilayah pengelolaan perikanan (WPP) 716 Laut Sulawesi sekaligus mengawal Pembangunan di 2 pulau terluar Indonesia: Lingayan dan Salando. Bila tidak, pengalaman Sipadan & Ligitan dapat terulang. Bukankah di Filipina ada perairan Lingayan? Mungkin punya cerita historis dengan Pulau Lingayan.

Musrenbang RKPD Kabupaten Tolitoli Tahun 2026 ini hendaknya dapat menghasilkan lima catatan penting yakni, pertama, menyepakati permasalahan Pembangunan daerah; Kedua, Menyepakati Prioritas Pembangunan Daerah di Tengah efisiensi dana Pembangunan; Ketiga, Menyepakati Program, Kegiatan, Subkegiatan, Pagu Indikatif, Indikator dan Target Kinerja, serta Lokasi; Keempat, Melakukan penyelarasan Program, Kegiatan, Subkegiatan, Pembangunan daerah dengan sasaran dan prioritas Pembangunan Provinsi Sulteng; Kelima, Melakukan Klarifikasi Program dan Kegiatan yang merupakan kewenangan daerah Kabupaten Tolitoli dengan Program dan Kegiatan Desa yang diusulkan berdasarkan hasil Musrenbang Kecamatan.

Inilah makna paradigma Money Follow Program, Program Follow Result dalam bingkai Pembangunan Sulteng Nambaso. Tugas utama Bappeda Provinsi Sulteng membuat logiciel Framework, Pedoman Umum, Pedoman Tehnis, Pedoman Operasional jabaran Sembilan program unggulan tersebut, karena hal ini wilayah tugas pokok dan fungsinya (Tupoksi) di bidang perencanaan. Sedangkan hal-hal tehnis menjadi tupoksi perangkat daerah tehnis.***

Kinerja Ekonomi dan Fiskal Provinsi Sulteng Di Awal 2025

Moh Ahlis Djirimu
128 Views

Kinerja Ekonomi dan Fiskal Provinsi Sulteng Di Awal 2025

Oleh: Moh. Ahlis Djirimu
( Staf Pengajar FEB-Untad, Local Expert Sulteng & Regional Expert Sulawesi Kemenkeu R.I )

 

JATI CENTRE – Realisasi Penerimaan Perpajakan di Provinsi Sulteng pada Januari 2025 mencapai Rp280,897,465,988,- (Rp281,- miliar). Realisasi ini, berada di bawah realisasi Januari 2024 mencapai Rp319,709,931,017,- atau lebih rendah yang pertumbuhannya mencapai minus 12,14 persen. Realisasi terbesar secara absolut terjadi pada Kantor Pelayanan Pajak (KPP) Pratama Kota Palu mencapai Rp101,482,339,168,- (Rp101,- miliar), namun proporsi pertumbuhannya mencapai minus 40,02 persen dari realisasi Januari 2024 mencapai Rp169,204,592,312. Realisasi Penerimaan Perpajakan terbesar kedua dicapai oleh KPP Pratama Poso yang mencapai Rp84,688, 909,215,- (Rp84,- miliar) atau pertumbuhannya positif mencapai 28,11 persen dari realisasi Januari 2024 sebesar Rp66,108,285,706,- (Rp66,- miliar).

Realisasi Penerimaan Perpajakan ketiga tertinggi dicapai oleh KPP Pratama Luwuk mencapai Rp49,608,986,716,- (Rp49,6,- miliar) atau pertumbuhan paling tertinggi yakni 65,68 persen terhadap realisasi Januari 2024 sebesar Rp29,942,250,604,- Realisasi paling rendah Penerimaan Perpajakan melalui KPP Pratama Kabupaten Tolitoli mencapai Rp45,117,230,889,- lebih rendah ketimbang realisasi bulan yang sama pada 2024 yang mencapai Rp54,454,802,395,- atau laju pertumbuhannya month-to-month mencapai minus 17,15 persen. Rendahnya realisasi Penerimaan Perpajakan ini patut dikaji letak masalahnya, karena jumlah penduduk bertambah, obyek pasti yang dikenai pajak dan restribusi juga bertambah, atau ada kaitannya dengan ciri khas Kabupaten Tolitoli sebagai daerah monokultur cengkih.

Tetapi, kondisi melemahnya pendapatan masyarakat dapat mempengaruhi kinerja Penerimaan Negara dari sektor perpajakan ini. Penerimaan Pajak Sulawesi Tengah secara umum, sampai dengan 31 Januari 2025 terealisasi sebesar Rp281,- miliar. Sehubungan dengan belum ditetapkannya target penerimaan pajak Tahun 2025, maka perhitungan capaian penerimaan pajak bulan Januari 2025 belum dapat dilaksanakan.

Realisasi Pajak Penghasilan (PPh) Non Migas mencapai Rp53,320,554,844,- (Rp53,20,- miliar) atau kontribusinya terhadap target mencapai 19,04 persen, namun pertumbuhannya menurun sebesar minus 1,16 persen. Realisasi ini lebih rendah dari realisasi PPh Non Migas pada Januari 2024 yang mencapai Rp53,945,309,061,- (Rp53,94,- miliar). Pada komponen PPh Non Migas, realisasi terbesar terjadi pada PPh Pasal 23 mencapai Rp14,413,695,267,- (Rp14,41,- miliar). Realisasi ini meningkat sebesar 63,68 persen dari Rp8,805,910,703,- (Rp8,80,- miliar) pada Januari 2024 yang kontribusinya mencapai 5,15 persen. Realisasi penerimaan PPh terbesar kedua terjadi pada sub komponen PPh Pasal 25/29 Badan mencapai Rp13,617,380,813,- (Rp13,62,- miliar) lebih tinggi dari realisasi komponen PPh Pasal 25/29 Badan pada Januari 2024 yakni Rp13,325,386,161,- (Rp13,32,- miliar) atau mengalami kenaikan sebesar 2,19 persen dan kontribusinya di dalam PPh Non Migas mencapai 4,86 persen.

Realisasi Sub Komponen PPh Final menempati urutan ketiga terbesar dalam PPh Non Migas pada Januari 2025 mencapai Rp12,995,124,991,- lebih rendah ketimbang realisasi PPh Final pada Januari 2024 mencapai Rp15,161,541569,- atau capaiannya mengalami penurunan sebesar minus 14,29 persen dan kontribusinyanya mencapai 4,64 persen dalam PPh Non Migas. Ada empat Sub Komponen PPh Non Migas yang mempunyai Laju Pertumbuhan positif selama Januari 2024-Januari 2025. Keempat Sub Komponen PPh tersebut adalah PPh Pasal 22 sebesar 8,11 persen, dari Rp1,61,- miliar menjadi Rp1,74,- miliar. Selanjutnya, Sub Komponen PPh Pasal Pasal 23 dari Rp8,80,- miliar menjadi Rp14,41,- miliar atau Laju Pertumbuhannya mencapai 63,68 persen. Penerimaan PPh Non Migas dari Sub Komponen Pasal 25/29 OP meningkat dari Rp1,35,- miliar menjadi Rp1,43,- miliar atau terjadi kenaikan sebesar 5,64 persen, serta PPh Pasal 29/29 Badan meningkat dari Rp13,32,- miliar meningkat menjadi Rp14,62,- miliar.

Sebaliknya, terdapat 3 Sub Komponen PPh Non Migas mengalami penurunan baik realisasi absolutnya maupun pertumbuhannya selama Januari 2024-Januari 2025. Ketiga Sub Komponen PPh Non Migas tersebut adalah PPh Pasal 21 yang penerimaannya menurun dari Rp12,88,- miliar menjadi Rp8,36,- miliar atau menurun sebesar minus 35,11 persen. Sub Komponen PPh Non Migas Pasal 26 menurun dari Rp594,41,- juta menjadi Rp551,08,- miliar atau mengalami penurunan sebesar minus 7,29 persen, serta Sub Komponen PPh Non Migas Final yang penerimaannya menurun dari Rp16,16,- miliar menjadi Rp13,- miliar atau mengalami penurunan sebesar minus 14,29 persen.

Pajak Pertambahan Nilai (PPn) mengalami penurunan dari Rp264,42,- miliar pada Januari 2024 menjadi Rp221,83,- miliar pada Januari 2025 atau mengalami penurunan sebesar minus 16,11 persen. Namun, kontribusinya tetap terbesar dalam Penerimaan Negara sektor perpajakan yakni 79,22 persen. Dua Sub Komponen penyumbang dalam PPn, walaupun kecil kontribusinya adalah PPn Barang Mewah Dalam Negeri mengalami kenaikan dari Rp52,19,- juta pada Januari 2024, menjadi Rp63,21,- juta pada Januari 2025 atau mengalami pertumbuhan sebesar 21,10 persen dan kontribusinya mencapai 0,02 persen. PPn lainnya meningkat dari Rp94,52,- pada Januari 2024 menjadi Rp162,72,- juta pada Januari 2025 atau mengalami kenaikan sebesar 72,15 persen. Sebaliknya, PPn Dalam negeri yang biasanya mendominasi tiga perempat penerimaan negara pada PPn mengalami penurunan dari Rp263,45,- miliar pada Januari 2024 menjadi Rp220,84,- miliar pada januari 2025 atau pertumbuhannya menurun minus 16,17 persen dan kontribusinya tetap besar pada 78,86 persen.

Empat Sub Komponen PPn yang belum terealisasi yakni PPn Barang Mewah Impor, PPn Barang Mewah Lainnya, PPn Barang Dalam Negeri Ditanggung Pemerintah, PPn Barang Mewah Ditanggung Pemerintah. Realisasi Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) menurun dari Rp1,34,- miliar pada Januari 2024 menjadi Rp129,87,- juta pada Januari 2025 atau mengalami penurunan drastis sebesar minus 90,32 persen. PPh Ditanggung Pemerintah (DTP) belum terealisasi pada Januari 2025.

Pajak Lainnya mengalami rekor kenaikan tertinggi dari Rp2,83,- juta pada Januari 2024 menjadi Rp4,75,- miliar pada Januari 2025 atau terjadi kenaikan sebesar 167703,26 persen dan kontribusinya dalam Penerimaan Pajak Negara mencapai 1,70 persen. Pajak Penghasilan Minyak Bumi dan Gas sampai dengan Januari 2025 belum terealisasi. Secara keseluruhan, realisasi Penerimaan Perpajakan bulanan pada Januari 2025, mengalami penurunan dari Rp319,71,- miliar pada Januari 2024 menurun menjadi Rp280,02,- miliar pada Januari 2025 atau mengalami penurunan sebesar minus 12,41 persen.

Struktur perekonomian Sulteng dari sisi 10 Sektor Penerimaan Pajak Tertinggi per Januari 2025 mengalami perubahan berarti dalam Penerimaan Perpajakan. Dominasi dan posisi Sektor Industri Pengolahan digeser oleh Sektor Perdagangan Besar dan Eceran yang walaupun menurun dari Rp182,- miliar pada Januari 2024 menjadi Rp132,- miliar pada Januari 2025. Kontribusi Sektor Perdagangan Besar dan Eceran dalam Penerimaan Pajak mencapai 47,94 persen, walaupun mengalami penurunan pertumbuhan sebesar minus 27,67 persen, lalu diikuti oleh Sektor Administrasi Pemerintahan yang kontribusinya mencapai 11,43 persen, namun mengalami penurunan pertumbuhan sebesar minus 29 persen.

Sektor ketiga mendominasi Penerimaan Perpajakan Negara adalah Sektor Jasa Persewaan yang kontribusinya mencapai 7,56 persen naik dari Rp20,- miliar menjadi Rp21,- miliar. Hal yang mengejutkan terjadi pada Sektor Pertanian, Kehutanan dan Perikanan yang naik dari posisi kesepuluh menjadi keempat yang Penerimaan Negara di sektor perpajakan meningkat dari Rp8,- miliar menjadi Rp18,- miliar atau terjadi kenaikan sebesar 116,49 persen.

Kontribusi Sektor Industri Pengolahan yang biasanya menduduki posisi pertama baik kontribusinya maupun penyumbang Penerimaan Pajak, namun pada Januari 2025 berada di posisi kesembilan yang kontribusinya menurun dari Rp7,- miliar pada Januari 2024 menjadi Rp6,- miliar pada Januari 2025 dan laju pertumbuhannya menurun sebesar minus 18,13 persen. Sedangkan Sektor Pertambangan dan Penggalian yang selama beberapa tahun menjadi andalan Sulteng berada pada posisi keenam yang kontribusinya dalam Penerimaan Negara Perpajakan mencapai 5,64 persen dalam perekonomian dan memberikan sumbangsih Penerimaan Perpajakan menurun dari Rp21,- miliar pada Januari 2024 mengalami menjadi Rp16,- miliar pada Januari 2025 atau terjadi penurunan sebesar minus 27,39 persen.

Pada sisi teoretis, hal ini merupakan fenomena biasa dalam transformasi ekonomi pada istilah proses alokasi seperti dijelaskan oleh Hollish Chenery-Moshes Syrquin dalam the Pattern of Development: 1950-1970 pada sisi Proses Alokasi dalam transformasi perekonomian. Namun, karena penduduk Sulawesi Tengah 70 persen tinggal di perdesaan dan bermata pencaharian sebagai petani dan nelayan, maka menjadi masalah dalam strategi pembangunan pada daerah yang kaya sumberdaya alam. Sumber Daya Alam menjadi kutukan ketimbang manfaat dan Provinsi Sulawesi Tengah hanya menjadi compradores atau pelayanan bagi investasi asing yang tercermin dari dampak negatif pada lingkungan dan naiknya kasus HIV-AIDS di kawasan industri.

Pada Tahun 2025, penerimaan Bea dan Cukai di Sulawesi Tengah diproyeksikan mencapai Rp1,91,- triliun, sedangkan realisasinya pada Januari 2025 mencapai Rp103,93,- miliar atau 5,42 persen dari target Rp1,91,- triliun tersebut. Realisasi tersebut lebih rendah daripada realisasi Januari 2024 yang mencapai Rp200,52,- miliar atau lebih rendah 48,17 persen. Realisasi tersebut mencakup Penerimaan Satuan Kerja Kantor Bea Cukai Pantoloan mencapai Rp13,62,- juta atau proporsinya 0,01 persen, Penerimaan pada Satuan Kerja Kantor Bea Cukai Morowali mencapai Rp103,85,- miliar atau proporsinya 99,92 persen dan pada Satuan Kerja KPPBC TMP C Luwuk mencapai Rp70,12,- juta atau proporsinya sebesar 0,07 persen.

Komoditas yang menyumbang penerimaan Bea Masuk terbesar berasal dari Barang Logam Bukan Aluminium Siap Pasang yang kontribusi sebesar 45,97 persen atau Rp36,41,- miliar, diikuti dengan Pipa dan Sambungan Pipa dari Baja dan Besi sebesar Rp12,24,- miliar atau proporsinya sebesar 15,46 persen, dan Kabel Listrik dan Elektronik Lainnya sebesar Rp8,98,- miliar atau proporsinya mencapai 11,34 persen yang pertumbuhan Penerimaan Bea Masuk meningkat dari Rp1,86,- miliar pada Januari 2024 menjadi Rp8,98,- miliar pada januari 2025 atau terjadi kenaikan sebesar 384,45 persen. Pertumbuhan terbesar kedua terdapat pada Barang dari Plastik untuk Bangunan sebesar 181,85 persen (yoy) atau dari sebesar Rp972,- juta pada Januari 2024 menjadi Rp2,74,- miliar pada Januari 2025.

Penerimaan terbesar PNBP sampai dengan Januari 2025 mencapai Rp60,2,- miliar atau pertumbuhannya mengalami penurunan 27,63 persen year-on-year atau 8,43 persen dari target PNBP Tahun 2025. Penerimaan terbesar PNBP per 31 Januari 2025 berasal dari Penerimaan Izin Keimigrasian dan Izin Masuk Kembali (20,8 persen) yang dipungut oleh Kemenimpas, disusul oleh Pendapatan Jasa Kepelabuhanan (13,3 persen) yang dipungut oleh Kemenhub, Penerimaan Belanja Modal TAYL (13,1 persen), dan Pendapatan Jasa Saranan Bantu Navigasi Pelayaran (7,0 persen). BLU Universitas Tadulako belum memperlihatkan realisasi PNBP.

Pendapatan negara per akhir Januari 2025 mencatatkan nominal sebesar Rp444,2,- miliar. Capaian belanja berada di angka Rp1,93,- triliun yang sebagian besar disumbang oleh penyaluran Transfer Ke Daerah (TKD), sebesar Rp1,74,- triliun. Perkiraan defisit regional Tahun Anggaran 2025 sekitar Rp22,69,- triliun. Hal ini dapat disimpulkan bahwa sebagian besar komponen mengalami konstraksi di awal Tahun 2025. Penghematan belanja perjalanan dinas telah terlihat dengan adanya kontraksi pada belanja barang. Dampak selanjutnya adalah terdapat potensi perlambatan pertumbuhan ekonomi pada triwulan I TA 2025 sebagai akibat atas menurunnya realisasi sebagai respon atas efisiensi anggaran. Fokus anggaran Tahun 2025 mengalami perbedaan, dari mendorong pembangunan infrastruktur pada Tahun 2024 menjadi peningkatan kualitas dan ketahanan pangan.

Per Januari 2025, fungsi pelayanan umum menjadi fungsi dengan tingkat realisasi tertinggi, sebesar 9,1 persen. Belanja Pemerintah Pusat dialokasikan sebesar Rp6,48,- triliun dengan efisiensi sebesar Rp1,26,- triliun pada TA 2025 dengan efisiensi terfokus pada belanja barang sebesar Rp536,- miliar dan Belanja Modal sebesar Rp724,- miliar. Alokasi Dekonsentrasi Tugas Pembantuan (DK-TP) di Sulawesi Tengah mencapai Rp58,2,- miliar. Namun, terdapat blokir anggaran sebesar Rp51,21,- miliar. dengan demikian sisa anggaran yang dapat dicairkan adalah Rp6,99,- miliar. Pemblokiran belanja DK-TP merupakan kebijakan mandatori. DK-TP memiliki komponen belanja barang (52) sehingga tingkat effisiensinya sangat tinggi. Total efisiensi sebesar Rp1,52.- triliun atau sekitar 8,1 persen dari pagu awal (Rp18,74,- triliun).

Efisiensi TKD di Sulawesi Tengah berdampak pada pencadangan DAK Fisik (Bidang Konektivitas, Irigasi, Pangan Pertanian, dan Pangan Akuatik) dan DAU Earmark Bidang PU, serta Kurang Bayar DBH, walaupun relatif kecil. Hal tersebut akan memiliki konsekuensi dalam pencapaian target kinerja OPD terkait seperti, Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang, Dinas Cipta Karya dan Sumber Daya Air, dan Dinas Pengampu Urusan Pangan, Pertanian, dan Perikanan.

Informasi lain yakni tidak ada pencadangan alokasi TKD DBH, Dana Desa, DAK Non Fisik, dan Infis. Sementara Pencadangan Kurang Bayar DBH masih menunggu pengaturan lebih lanjut. Efisiensi TKD tidak mengurangi manfaat yang akan diterima oleh masyarakat, karena hasil efisiensi ini akan digunakan untuk kegiatan prioritas pemerintah yang manfaatnya langsung dirasakan oleh masyarakat. Hasil ALCo realisasi sampai dengan 31 Januari 2025 ini dapat digunakan untuk mendorong Pemda untuk melakukan optimalisasi PAD melalui kebijakan Local Taxing Power karena di Tingkat Provinsi Sulteng, potensi PAD mencapai 11,6 poin, namun tax ratio baru mencapai 3,5 poin.

Hal ini berarti ada potensi terpendam sebesar 8,1 poin yang dapat dilakukan dengan cara Bapenda menetapkan target Pajak Daerah sebesar 23,30 persen dan Retribusi Daerah sebesar 19,66 persen sesuai realisasi historis Desember 2023-Desember 2024 dan perbaikan kualitas belanja yang benar-benar sesuai dengan kebutuhan yang fungsi pengawasannya ada ada Wakil Gubernur yang dapat meminta kepada Kanwil Direktorat Jenderal Perbendaharaan Negara (DJPb) Sulteng menjelaskan setiap tahun hasil spending review.

Secara total, realisasi belanja APBN pada Januari 2025 berada pada angka Rp1,93,- triliun dengan deviasi sebesar 28,9 persen (understated). Capaian ini disumbang oleh realisasi BPP yang melebihi proyeksi dan realisasi TKD yang memiliki deviasi yang signifikan yaitu -34,9 persen. Overstated BPP merupakan hasil dari adanya kebijakan efisiensi sehingga nilai realisasinya berada di bawah proyeksi sebelum adanya blokir. Understatement TKD disebabkan oleh tingginya penyaluran DAU, dan DAK Non Fisik; Pagu Pendapatan daerah sebesar Rp25,71,- triliun atau naik 3,29 persen yoy yang didorong oleh peningkatan pada semua kompenen pagu baik PAD, Pendapatan Transfer, dan Lain-lain Pendapatan Daerah yang Sah. Sampai dengan. 31 Januari 2025, dalam hal ini Direktorat Akuntansi & Pelaporan Keuangan (APK) belum memperoleh data APBD Pemda, begitu pula Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan (DJPK) belum menerima data dari Kemendagri, sehingga data konsolidasi APBD belum dapat disediakan.

Sementara data yang bisa disajikan hanya sebatas pagu APBD (tentatif), yang telah diinput oleh bidang Pembinaan Akuntansi & Pelaporan Keuangan (PAPK) Kanwil DJPb Provinsi Sulawesi Tengah. Pagu belanja daerah sebesar Rp26,65,- triliun atau naik 0,27 persen yoy yang didorong oleh peningkatan pada komponen pagu belanja operasi dan belanja transfer. Pemda masih menunggu juknis langkah-Langkah dalam efisiensi belanja APBD dari Kemendagri.

Ekonomi Sulteng pada kuartal III Tahun 2024 tumbuh sebesar 9,08 persen (yoy) menempati posisi tertinggi kedua setelah Provinsi Papua Barat. Secara quarterly to quarterly (qtq), ekonomi sulteng tumbuh 5,37 persen dari Q2 2024. Peningkatan ekonomi Sulawesi Tengah ditopang oleh Net Export dengan share-to-growth sebesar 5,13 persen. Dari sisi produksi, penopang utama ekonomi Sulteng merupakan Sektor Industri Pengolahan.

Hal yang perlu menjadi perhatian adalah pertumbuhan ekonomi Sulteng yang berada di bawah 2-digit selama dua kuartal terakhir. Ekonomi Sulteng pada kuartal IV Tahun 2024 tumbuh sebesar 10,29 persen (yoy) dengan laju tahunan sebesar 9,89 persen (yoy). Secara qtq, ekonomi sulteng tumbuh 2,72 persen dari Q3 2024. Capaian tersebut masih di bawah target RPJMD TA 2024 yakni sebesar 10,80 persen (yoy).

Pertumbuhan ekonomi Sulteng berada di bawah 10 persen pada TW II dan TWIII 2024 menjadi Pelajaran bahwa mesin industry telah berada pada kondisi stabil beroperasi, tetapi daya beli Masyarakat Sulteng melemah, setelah 3 tahun berturut-turut konsisten di atas 2-digit. Peningkatan ekonomi Sulawesi Tengah ditopang oleh Net Export dengan share-to-growth sebesar 5,9 persen dan konsumsi rumah tangga sebesar 1,46 persen. Dari sisi produksi, pertumbuhan ekonomi Sulteng masih ditopang dari Industri Pengolahan dan Sektor Penggalian dikuti sektor Jasa Keuangan dan Asuransi; dan Penyediaan Akomodasi dan Makan Minum. Perekonomian Sulteng menunjukkan kenaikan tertinggi di Kawasan Sulawesi. Pertumbuhan ekonomi Sulteng yang impresif tersebut mampu mendongkrak kontribusi perekonomian Sulteng terhadap perekonomian Nasional sebesar share 1,71 persen pada Tahun 2024, dan juga share sebesar 24,03 persen terhadap perekonomian Pulau Sulawesi.

Inflasi bulan Desember tercatat sebesar 0,32 persen (mtm) dan 1,29 persen (yoy). Inflasi terjadi di seluruh Sulteng kecuali di Kabupaten Tolitoli dengan deflasi sekitar -0,06 persen (mtm) dan -0,35 persen (yoy). Penyumbang inflasi didominasi oleh komoditas pangan, terutama ikan selar, bawang merah, dan tomat. Harga beras Sulteng tetap stabil hingga penghujung 2024, mencapai Rp14,800/kg untuk periode Desember 2024. yang sebagian besar kembali dipengaruhi oleh peningkatan harga emas perhiasan sebesar 0,38 persen, Sigaret Kretek Mesin sebesar 0,25 persen, Bawang Merah 0,20 persen.

Harga beras Sulteng tercatat menunjukkan kondisi stabil pada Desember 2024, sekitar Rp14,800/kg. Namun perlu diperhatikan terkait deflasi untuk komoditas ikan selar sebesar 0,13 persen, bawang merah sebesar 0,07 persen, tomat sebesar 0,07 persen; Deflasi bulan Januari sebesar -1,18 persen (mtm) dan 0,02 persen (yoy), serta -1,18 persen (ytd). Secara umum, penuruanan harga terjadi di seluruh kota dan kabupaten di Sulteng akibat subsidi tarif listrik dari pemerintah.

Penyumbang inflasi didominasi oleh komoditas pangan, terutama sigaret kretek mesin, minyak goreng, dan beras. Harga beras Sulteng tetap stabil hingga awal 2025, mencapai Rp14,800/kg untuk periode Januari 2025. Namun demikian, terpantau tiga komoditas yang perlu diwaspadai karena mengalami kenaikan harga menjelang HBKN dan berpotensi memicu inflasi musiman, yakni cabai, minyak goreng, dan gula pasir.

Pelaksanaan Makan Bergizi Gratis (MBG) saat ini dilaksanakan menggunakan mekanisme Bantuan Pemerintah dilatarbelakangi kondisi belum terbentuknya unit vertikal di daerah dan terbatasnya SDM (pengelola keuangan, PBJ, dll) pada Badan Gizi Nasional (BGN). Idealnya, pelaksanaan MBG dilaksanakan melalui belanja operasional atau belanja yang melekat pada BGN, sehingga BGN memiliki kontrol penuh terhadap pelaksanaan MBG, bukan diwewenangkan kepada penerima bantuan. Target operasi SPPG masih terus berjalan.

Angka kemiskinan menurun dari 13 persen pada 2021 menjadi 12,30 persen Tahun 2022, namun kembali meningkat menjadi 12,41 persen di Tahun 2023 lalu pada Maret 2024 menurun menjadi 11,77 persen dan 11,04 persen pada September 2024. Angka kemiskinan di Tahun 2023 masih di atas target 2023 yakni 10,84 persen. Target penurunan persentase penduduk miskin dalam RPJMD Sulteng Tahun 2021-2026 mencapai 10,84 persen.

Namun, justru terjadi kenaikan dari 12,30 persen pada 2022 menjadi 12,41 persen pada Maret 2023. Di Tahun 2024, semua 13 kabupaten/kota mengalami penurunan angka kemiskinan. Kemiskinan di Kota Palu menurun menjadi 5,94 persen, diikuti oleh kemiskinan di Kabupaten Banggai menurun menjadi 6,56 persen, lalu Kabupaten Morowali sebesar 11,55 persen dan Morowali Utara sebesar 11,95 persen. Tiga kabupaten berada pada angka kemiskinan sekitar 12 persen yakni Sigi sebesar 12,06 persen, Banggai Kepulauan sebesar 12,32 persen dan Tolitoli yakni 12,45 persen.

Kabupaten Buol dan Banggai Laut mempunyai angka kemiskinan masing-masing 13,08 persen dan 13,78 persen. Kabupaten Parigi Moutong dan Poso mempunyai angka kemiskinan pada kisaran 14 persen yang masing-masing mencapai 14,20 persen dan 14,23 persen. Dua kabupaten mempunyai angka kemiskinan tertinggi yakni Kabupaten Tojo Una-Una sebesar 16,36 persen dan Kabupaten Donggala sebesar 15,30 persen.

Namun, penurunan angka kemiskinan ini justru dibarengi dengan kenaikan angka kesenjangan distribusi pendapatan yang ditunjukkan oleh koefisien Gini dari 0,301 poin pada Maret 2024 menjadi 0,309 poin pada September 2024; Kemiskinan ekstrim yang turun di Sulteng dari 3,15 persen pada 2021 menjadi 3,02 persen pada Tahun 2022, lalu turun lagi menjadi 1,44 persen pada 2023 adalah kemiskinan ekstrim yang ditargetkan menjadi 0 persen pada 2024; Target penurunan kemiskinan ekstrim 0 persen belum tercapai pada 2024. Kabupaten Banggai yang pada 2023 telah mencapai 0 persen angka kemiskinan ekstrim, di Tahun 2024 mempunyai angka kemiskinan ekstrim sebesar 1,15 persen. Secara umum, angka kemiskinan esktrim di Sulteng mencapai 1,27 persen. Kota Palu mempunyai angka kemiskinan ekstrim mendekati 0 persen yakni 0,36 persen. Sebaliknya, angka kemiskinan ekstrim tertinggi di Kabupaten Tojo Una-una mencapai 2,16 persen.

Luas panen padi di Sulteng mengalami penurunan pada 2023-2024. Di Tahun 2023, luas panen mencapai 177.699 Ha menurun menjadi 171.786 Ha. Hal ini terjadi pada tujuh daerah yaitu, Banggai, Poso, Donggala, Tolitoli, Buol, Sigi dan Morowali Utara; Produksi padi dalam satuan Gabah Kering Giling (GKG) Sulteng mengalami penurunan dari 821.367 ton GKG di Tahun 2023 menjadi 759.838 ton GKG di Tahun 2024. Hal ini terjadi pada Kabupaten Banggai, Poso, Donggala, Buol, Sigi dan Morowali Utara. Produktivitas lahan tanaman pangan padi mengalami penurunan dari 4,62 ton GKG/Ha pada 2023 menjadi 4,42 ton GKG/Ha pada 2024.

Hal ini terjadi pada delapan kabupaten yakni Banggai Kepulauan, Banggai, Poso, Donggala, Parigi Moutong, Tojo Una-Una, Sigi, Morowali Utara. Produksi beras Sulteng mengalami penurunan dari 484.835 ton pada 2023 menurun menjadi 448.514 ton. Indeks Ketahanan Pangan (IKP) Sulawesi Tengah menunjukkan pertumbuhan pada Tahun 2022 namun menurun di tahun 2023. IKP mencapai 75,83 poin, menjadikan Sulteng di urutan 17 secara nasional. Ketersediaan pangan di Banggai Kepulauan dan Banggai Laut perlu diperhatikan karena terus mengalami penurunan sejak Tahun 2021. Selain itu, indeks kemanfaatan—yang diukur dari Rata Lama Sekolah, stunting, harapan hidup, rasio tenaga Kesehatan, dan akses air bersih — Donggala, Tolitoli, dan Sigi perlu diperkuat.

Kebutuhan pada Produk Domestik Regional Bruto Hijau (PDRB Hijau) mendesak yang dapat bekerjasama dengan BPS Sulteng untuk menghitung PDRB setelah melalui valuasi ekonomi diperkurangkan dengan bencana dan kerusakan lingkungan akibat bencana tahunan yang melanda Sulteng. Laju pertumbuhan ekonomi Sulteng tentu saja tidak setinggi 9,08 persen pada kuartal III 2024. Namun demikian, perhatian pada Ekonomi Hijau, dan Ekonomi Sirkuler, serta Bioekonomi dapat menjadi tradisi baru di Sulteng sebagai bagian dari implementasi pembangunan lingkungan dan menjaga lingkungan sebagai kekayaan masa depan Sulteng jauh dari gangguan industrialisasi massif.

Komoditi makanan penyumbang inflasi pada Desember 2024 adalah emas perhiasan sebesar 0,38 persen, sigaret kretek mesin 0,25 persen, bawang merah sebesar 0,20 persen; Satu dari masalah lonjakan harga di Sulteng adalah mahalnya biaya transportasi dan logistik. Solusi merangkai konektivitas Jalan Nasional dengan 10 infrastruktur lainnya yang belum terhubung yakni 5 Pelabuhan laut, 4 Pelabuhan Penyebrangan dan 1 terminal.

Selain itu, Solusi melakukan pembinaan atas pekerjaan yang bersifat lanjutan Program “Memperkuat Infrastruktur untuk Mendukung Pengembangan Ekonomi dan Pelayanan Dasar” KemenPUPR. Satu dari berbagai solusi mengurangi kemiskinan makanan di Sulteng adalah memperkuat infrastruktur jalan dan jembatan dalam distribusi pangan dan hortikultura antar 13 kabupaten/kota, selain penguatan kelembagaan ekonomi melalui Peraturan Daerah Penyanggah Harga yang menciptakan adalah Depot Logistik milik daerah atau berupa penguatan kiprah Badan Usaha Milik Daerah (BUMD).

Tantangan dan dampak kesulitan geografis juga dapat dilihat dari data Indeks Kesulitan Geografis (IKG) yang merupakan ukuran untuk menentukan tipologi desa berdasarkan tingkat kesulitan untuk akses pada suatu desa, serta dapat menggunakan Data Desa Presisi oleh IPB University. Akses yang dimaksud adalah akses terhadap pelayanan dasar, kondisi infrastruktur, serta aksesibilitas jalan atau sarana transportasi, dan komunikasi. Nilai IKG yang rendah menunjukkan bahwa aksesibilitas di wilayah tersebut baik, dan begitupun sebaliknya. Pada Tahun 2021 IKG Sulteng berkisar antara 12,56 poin sampai dengan 77,30 poin dari total 1.842 desa. Jika dikelompokkan, maka sebanyak 12,65 persen desa di Sulteng nilai IKGnya rendah, 58,15 persen cukup rendah, 25,24 persen sedang, dan 3,96 persen tinggi.

Mayoritas desa-desa yang memiliki nilai IKG tinggi adalah desa-desa yang ketersediaan fasilitas/infrastrukturnya sangat rendah, baik karena akses jalan yang buruk ataupun letak geografis desa yang berada jauh di pedalaman, ataupun di lereng/puncak gunung. Selain itu, 686 desa dari 1.842 desa atau proporsinya 37,24 persen masih blank-spot dengan jumlah terbanyak yakni 126 desa berada di Kabupaten Banggai. Belanja mitigasi dan/atau penanganan perubahan iklim telah tersalurkan sekitar Rp2,95,- miliar selama Januari-Mei 2024. Hal ini dilakukan karena selama satu dekade, suhu di Sulteng mengalami kenaikan sebesar 1,2 derajat Celcius.

Pemerintah melakukan re-focussing anggaran pada 2024 sehingga berdampak terhadap menurunnya pagu belanja terkait perubahan iklim.

Belanja tematik Mitigasi Perubahan Iklim mengalami penurunan pagu sebesar 83,8 persen pada 2024 namun kecepatan penyerapannya tercatat lebih baik. Belanja Adaptasi Perubahan Iklim mengalami kenaikan pagu yang cukup signifikan sekitar 7 kali lipat dari Tahun 2023. Alokasi Transfer ke Daerah (TKD) di Tahun 2024 atas bidang terkait adaptasi perubahan iklim menunjukkan adanya penurunan terlepas dari peningkatan pagu DAK Fisik. Selain DAK Fisik, alokasi anggaran TA 2024 DAK Non Fisik terkait Dana Ketahanan Pangan dan Pertanian menunjukkan penurunan sebesar 15,9 persen (yoy).

Dalam rangka mitigasi dampak perubahan iklim atas sektor perekonomian di Sulteng, khususnya agrikultur, dapat dilaksanakan beberapa hal sebagai berikut:, pertama, Penggeseran pagu belanja APBN terkait menjadi TKD sehingga pemda dapat memanfaatkannya sesuai dengan kondisi di lapangan; Kedua, Penguatan belanja untuk rehabilitasi kerusakan akibat industri ekstraksi; Ketiga, Penguatan kualitas belanja modal penunjang sektor pertanian termasuk dalam kepastian capaian outcome atas belanja yang terealisasikan.

Penambahan daerah kepulauan yakni Banggai Laut, Banggai Kepulauan, Tojo Una-Una sebagai acuan perhitungan harga sebagai Indeks Harga Konsumen (IHK) dan Nilai Tukar Petani (NTP), serta Nilai Tukar Nelayan (NTN) dapat memperkaya realitas harga-harga kebutuhan pokok makanan dan non-makanan, sehingga strategi spasial dan tematik dalam pembangunan ekonomi dapat tercipta khususnya pada Pemerintahan baru di 13 kabupaten/kota dan Provinsi Sulteng.

Pemerintah Provinsi dapat menginisiasi perhitungan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Hijau baik di tingkat Provinsi Sulteng maupun pada 13 kabupaten/kota yang tentu saja memperhitungkan kerusakan ekosistem hutan dan perairan. Namun, dalam jangka pendek di era efisiensi, optimalisasi PAD menjadi tugas mendesak pada Bapenda dan perangkat daerah pengumpul PAD di Provinsi Sulteng.***