Kader Pengawasan Partisipatif Pemilihan

199 Views

Oleh : Ruslan Husen, SH, MH.
(Peneliti Jati Centre)


JATI CENTRE – Proses dan hasil pemilihan kepala daerah (pemilihan atau pilkada) berintegritas dan bermartabat merupakan tujuan ideal dari pembentukan UU Nomor 1 Tahun 2015 sebagaimana diubah terakhir kali dengan UU Nomor 6 Tahun 2020 (UU Pemilihan).

Yakni proses pelibatan semua pihak dalam penyelenggaraan pemilihan, termasuk aktif mencegah dan menindaklanjuti setiap pelanggaran secara jujur dan adil, hingga lahir pemimpin pilihan rakyat (pemilih) untuk realisasi janji-janji politik saat kampanye lalu.

Dikatakan sebagai pemilihan berintegritas dan bermartabat jika pelaksanaan pemilihan memenuhi standar prinsip transparansi proses, prinsip akuntabilitas, dan akses publik menguji kebenaran proses dan hasil, serta prinsip partisipasi masyarakat. Prinsip-prinsip ini menjadi satu-kesatuan sistem yang berkolaborasi dalam pencapaian tujuan dari pelaksanaan pemilihan.

Kedudukan dari prinsip partisipasi masyarakat dalam negara yang menggunakan demokrasi sebagai sistem politiknya, adalah mutlak. Dikatakan demokratis jika secara langsung maupun tidak langsung masyarakat terlibat dalam pengambilan kebijakan politik termasuk mengawal pelaksanaan kebijakan.

Dalam penyelenggaran pemilihan, bentuk partisipasi masyarakat dapat diidentifikasi lewat giat sebagai pemilih menggunakan hak memilihnya di tempat pemungutan suara, menyatakan sikap atau dukungan, mencegah terjadinya kecurangan, dan melaporkan kecurangan kepada instansi berwenang, dan menjadi pemantau pemilihan.

Bentuk-bentuk partisipasi masyarakat dimaksud sejatinya dipupuk, dibina dan diberdayakan hingga menjadi kekuatan sosial yang turut mendukung pencapaian tujuan pemilihan berintegritas dan bermartabat. Partisipasi masyarakat akan berkolaborasi dengan kegiatan penyelenggara pemilihan dan pemerintah, sekaligus menjadi kontrol sosial penyelenggaraan yang efektif hingga turut menjadi sebab legitimasi proses dan hasil pemilihan.


SELENGKAPNYA: Baca di file PDF berikut ini.

Sistem Pemeritahan dan Kebijakan Luar Negeri Arab Saudi

557 Views

Oleh : Nadia.S.Sy. M.H
(Dosen Universitas Islam Negeri Datokarama Palu)

Pendahuluan

Islam awal mulanya lahir dan berkembang di Mekkah dan Madinah yang kemudian menyebar hampir keseluruh jazirah Arab pada masa Nabi. Cakupan wilayah dunia Islam pada masa Nabi hanya meliputi yang saat ini kita kenal dihuni oleh negara-negara monarki seperti Arab Saudi, Qatar, Oman, Bahrain, Uni Emirat Arab, Yaman dan Kuwait. Sedangkan pada Sahabat di bawah kepemimpinan Khulafaur Rasyidin, Abu Bakar, Umar, Utsman, dan Ali berhasil mengembangkan Islam ke arah utara. Abu Bakar dalam masa kepemimpinannya telah memperluas Islam hingga ke sebagian Suriah melalui Amru bin Ash dan Irak melalui Khalid bin Walid.

Pada masa Umar perkembangan Islam mengalami kemajuan yang luar biasa hingga ke seluruh wilayah Irak, Palestina, dan Mesir. Masa Utsman perluasan wilayah Islam telah mencapai Cyprus dan Tripoli. Dalam kepemimpinan Ali perluasan wilayah Islam hampir tidak memngalami perkembangan yang berarti karena terjadinya konflik internal umat Islam yang secara otomatis menghentikan agresifitas perluasan wilayah Islam. Cakupan wilayah Islam pada masa sahabat telah mencakup wilayah yang cukup luas yang membentang dari Iran hingga sebagian Arab Barat. Wilayahnya meliputi yang saat ini dihuni oleh semua negara Teluk, semua negara Arab Timur dan Iran, negara-negara Delta Nil dan sebagian Arab Barat.[1]

Masa bani Umayyah perluasan Islam mengalami perkembangan yang cukup pesat dibanding sebelumnya, karena pada masa ini perluasan Islam telah meliputi berbagai penjuru terutama Barat, Timur dan Utara. Ke arah Barat, perluasan Islam telah mencapai samudra Atlantik dan menyebrang ke Granada dan kota-kota lainnya di Spanyol dan Bordeuox Perancis. Ke Timur, perluasan wilayah hingga mencakup Irak bagian Timur, Turkistan dan Sindh. Sementara ke wilayah Utara  Islam telah mencakup Wilayah konstantinopel (Istanbul), dan Asia kecil. Jika dibandingkan dengan imperium-imperium besar dalam sejarah dunia seperti Romawi dan Persia maka Islam tidak kalah dengan kedua imperium ini.[2]

Setelah masa ini, perluasan wilayah Islam tidak mengalami perkembangan yang signifikan. Seperti halnya imperium-imperium besar lainnya setelah mengalami masa-masa kejayaan dan perkembangan pasti mengalami masa kemunduran dan keruntuhan. Demikian pula halnya Islam, setelah runtuhnya kekhalifahan Turki Utsmani yang menjadi simbol kekuatan terbesar umat Islam pada tahun 1924, kekuatan atau kepemimpinan politik umat Islam secara otomatis menjadi terpecah belah ke dalam berbagai kawasan salah satunya adalah kawasan Arab teluk yang di dalamnya dihuni oleh negara-negara Monarki seperti Arab Saudi, Qatar, Bahrain, Yaman, Oman, Uni Emirat Arab, kuwait dan juga Iran.

Arab Teluk adalah satu kawasan yang sangat kaya dengan dengan limpahan minyaknya, sehingga perekonomian negara-negara yang berada di wilayah Arab Teluk mempunyai kekuatan ekonomi yang benar-benar kuat yang dapat dikatakan hampir tidak ada negara-negara Muslim yang berada di kawasan lainnya yang dapat menyamai kekayaan negara-negara ini. Barakah minyak yang dimiliki negara-negara yang berada di kawasan Arab Teluk telah menjadikan negara ini mampu memberikan kesejahteraan secara ekonomis terhadap penduduknya, walaupun sistem pemerintahan negara yang berada di kawasan ini seuruhnya menganut sistem monarki Absolut terkecuali Iran.

Makalah ini, penulis memfokuskan pembahasan pada negara Arab teluk yaitu Arab Saudi. Ada dua alasan mengapa Arab Saudi menjadi pembahasan yang menarik dan perlu untuk dikaji lebih lanjut. Pertama, Arab Saudi adalah negara yang kita kenal menjadi awal mula munculnya Islam yang di bawa oleh Nabi, yang di dalamnya terdapat dua kota suci Mekkah dan Medinah atau yang dikenal dengan istilah Al-Haramain yang menjadi sental penyebaran agama Islam pada masa itu. Ini menjadi dasar bagi kita untuk mengetahui bagaimana sistem pemerintahan Arab Saudi, baik dari segi lembaga eksekutif, legislatif dan yudikatifnya.

Kedua, hal yang menarik dalam membahas Arab Saudi adalah ditinjau dari politik hubungan luar negerinya. Kita ketahui Arab Saudi dalam hubungan luar negerinya awalnya mempunyai hubungan yang erat dengan Inggris pada masa perang dunia I tahun (1901-1930) bahkan mereka sempat membuat kesepakatan atau perjanjian. Akan tetapi, dalam perjalannya perjanjian ini dibatalkan dan Arab Saudi lebih memilih untuk mempunyai hubungan yang erat dengan Amerika Serikat yang dimulai dari raja Abdul aziz ibn Saud   hingga sekarang pangeran Abdullah yang menggantikan raja Fahd. Selain mempunyai hubungan yang erat dengan Amerika, Arab Saudi juga mempunyai hubungan yang erat dengan negara-negara lain termasuk Indonesia yang tidak hanya berkutat pada hubungan ketenegakerjaannya (TKI dan TKW) tetapi juga persoalan politik.

Kerangka Teori

Menjelaskan problematika tulisan ini, penulis menggunakan teori sistem dan teori hubungan internasional. Menurut David Easton Teori sistem adalah suatu model yang menjelaskan hubungan tertentu antara sub-sub sistem dengan sistem sebagai suatu unit (yang bisa saja berupa suatu masyarakat, serikat buruh, organisasi soial, lembaga swadaya masyarakat dan  organisasi pemerintah).

Sedangkan teori sistem menurut Michael Rush dan Philip Althoff menyatakan bahwa gejala sosial merupakan bagian dari politik tingkah laku yang konsisten, internal dan reguler dan dapat dilihat serta dibedakan, karena itu kita bisa menyebutnya sebagai: sistem sosial, sistem politik dan sejumlah sub-sub  lainnya.[3] Teori sistem digunakan untuk menjelaskan sistem pemerintahan Arab Saudi dan hubungan-hubungan yang ada di dalamnya.

Teori hubungan internasional adalah suatu teori yang menjelaskan bagaimana negara-negara berhubugan satu sama lain dalam politik dunia. Dalam teori hubungan internasional pendekatan kebijakan luar negeri selalu menjadi hal yang tidak dipisahkan dan selalu memuat penjelasan tentang kebijakan luar negeri.[4] Karena, itu dalam melihat hubungan luar negeri Arab Saudi dengan negara lain teori hubungan internasional dengan pendekatan kebijakan luar negeri sangat relefan untuk menjelaskan permasalahan tersebut.

Pembahasan

1.  Sistem Pemerintahan Arab Saudi

Tulisan ini tidak akan menjelaskan tentang sejarah terbentuknya kerajaan Arab Saudi yang dipengaruhi oleh paham Wahabi yang di bawa oleh Muhammad bin Abdul Wahab, dan detail perkembangannya mulai raja pertama dari raja Abdul Aziz Ibn Saud hingga sampai kepada raja Abdullah sekarang yang menggantikan raja Fahd mulai dari tahun 2005 hingga sekarang. Pembahasan makalah ini lebih berfokus pada persoalan sistem pemerintahan Arab Saudi yang ada pada saat ini, dan hubungan luar negeri yang dibangunnya khususnya dengan Amerika dan Indonesia.

Arab Saudi adalah sebuah negara yang berbentuk monarki atau kerajaan. Selain itu, Arab Saudi juga terkenal sebagai negara Islam yang kaya karena memiliki kekayaan alam berupa minyak bumi. Walaupun Arab Saudi merupakan negara Islam, Arab Saudi tidak menggunakan sistem pemerintahan Islam dalam menjalankan roda pemerintahannya.  Sistem pemerintahan yang berlaku di Arab Saudi adalah sistem pemerintahan Monarki atau kerajaan. Arab Saudi yang menjalankan sistem pemerintahan monarki dengan beberapa penyesuaian yang diputuskan berdasarkan kondisi negara itu sendiri.

Raja Arab Saudi menyandang gelar sebagai penjaga dan pelayan umat Islam. Pada prakteknya, gelar itu hanya untuk menegaskan posisi moral otoritas raja Arab Saudi yang diklaim untuk dirinya sendiri dalam kaitannya dengan dunia Islam. Sehingga tidak heran bila hukum yang berlaku di Arab Saudi adalah hukum syariat Islam yang berdasarkan pada ajaran agama Islam yang bersumber dari Al-qur’an dan Hadits Nabi. Selain sebagai pelayan umat Islam raja Arab Saudi juga mempunyai peran sebagai kepala negara, perdana menteri, panglima angkatan perang, penjaga dua kota suci atau Khadim Al-Haramain, raja mempunyai wewenang untuk mengangkat dan memberhentikan dewan menteri dan juga raja mempunyai otoritas untuk menfsirkan hukum setelah melalui sejumlah konsultasi dan konsensus. [5]

Banyak negara-negara di dunia yang memandang sistem pemerintahan monarki atau kerajaan yang dijalankan di Arab Saudi merupakan sistem pemerintahan monarki yang kuno dan reaksioner. Bahkan menurut nasionalis Arab Saudi yang revolusioner, Arab Saudi adalah negara buatan yang dibentuk oleh kekuatan kolonial dalam rangka memenuhi kepentingan impreialisme barat. Walaupun pada kenyataannya pandangan sinis tersebut tidak sepenuhnya benar.

Sebagai negara berbentuk kerajaan dengan sistem pemerintahan absolut berdasarkan agama Islam, semua hukum yang berlaku di Arab Saudi dibuat berdasarkan syari’at Islam. Sampai pada tuntunan atau panduan raja sebagai kepala pemerintahan dan kepala negara di Arab Saudi juga dibuat berdasarkan ajaran agama Islam. Di Arab Saudi, sistem pemerintahan monarki yang dijalankan adalah sistem pemerintahan monarki yang absolut dimana kekuasaan raja tidak terbatas. Raja juga memegang kekuasaan kepala negara dan kepala pemerintahan. berada di tangan raja.[6]

Negara Arab Saudi walaupun sistem pemerintahannya berdasarkan monarki absolut, negara ini juga memiliki lembaga eksekutif, legislatif dan yudikatif sebagaimana yang ada pada negara-negara yang menganut sistem pemerintahan republik, walaupun lembaga-lembaga tersebut masih berada dalam kontrol raja dan belum mempunyai fungsi independensi sebagaimana yang berlaku di negara-negara yang menganut sistem pemerintahan republik yang dalam hal ini termasuk Indonesia.

a.  Cabang Eksekutif

Pemimpin eksekutif di Arab Saudi adalah raja dan Perdana menteri yaitu Abdullah bin Abdul-Aziz Al Saud sejak 1 Agustus 2005 sampai sekarang. Arab Saudi merupakan salah satu negara di dunia dimana raja memegang dua peran utama yaitu sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan. Arab Saudi dipimpin oleh seorang raja yang dipilih berdasarkan garis keturununan atau orang yang diberi kekuasaan langsung oleh raja.

Hal ini berdasarkan pasal 5 Basic Law of Government yang menyatakan kekuasaan kerajaan diwariskan kepada anak dan cucu yang paling mampu dari pendiri Arab Saudi, Abdul Aziz bin Abdul Rahman Al-Saud, dimana raja merangkap perdana menteri dan panglima tinggi angkatan bersenjata Arab Saudi. Pada tanggal 20 Oktober 2006 Raja Abdullah telah mengamandemen pasal ini dengan mengeluarkan UU yang membentuk lembaga suksesi kerajaan (Allegiance Institution) terdiri dari para anak dan cucu dari Raja Abdul Aziz Al-Saud. Dalam ketentuan baru, raja tidak lagi memilki hak penuh dalam memilih Putera Mahkota. Raja dapat menominasikan calon Putera Mahkota. Namun, Komite Suksesi akan memilih melalui pemungutan suara. Selain itu, bila Raja atau Putera Mahkota berhalangan tetap, Komite Suksesi akan membentuk Dewan Pemerintahan Sementara (Transitory Ruling Council) yang beranggotakan lima orang.[7]

Dalam pemerintahan Arab Saudi para dewan Menteri-Menteri ditunjuk langsung oleh raja yang mayoritas berasal dari keturunan dan kaum kerabat raja. Tetapi, semenjak oktober 2003 ada upaya perbaikan terhadap sistem pemilihan ini  dengan mengumumkan niat untuk mengadakan pemilu dari setengah anggota wakil pemerintah lokal dan propinsi dan sepertiga dari anggota dewan al-syura dalam waktu empat sampai lima tahun.[8]

b.  Cabang Legislatif

Negara Arab Saudi memiliki badan legislatif atau disebut Majlis Al-Shura.  Raja Fahd Pelayan Dua Kota Suci telah memperkokoh sendi-sendi Syura di Saudi Arabia dengan mengeluarkan sistem yang baru untuk Majelis Syura tertanggal 27/8/1412 H sebagai ganti sistem yang lama tahun 1347 H yang lebih menjadikan raja sebagai penafsir tunggal dalam persoalan undang-undang dan seluruh persoalan sosial lainnya, dan mengesahkan Peraturan Intern Majelis dan ketentuan-ketentuan umum yang menyertainya pada tanggal 3/3/1414 H, kemudian pada Sidang Majelis I menetapkan untuk Majelis seorang ketua dan 60 anggota.

Sedang pada Sidang II, Majelis menjadi teridiri dari seorang ketua dan 90 anggota. Pada Sidang III, Majelis berubah terdiri dari seorang ketua dan 120 anggota. Lalu pada Sidang IV terdiri dari seorang ketua dan 150 anggota yang mereka itu berasal dari para ulama, pakar dan spesialis dalam bidangnya Majelis Al-Shura menasihati Raja dan juga Dewan Menteri-Menteri tentang isu-isu terkait program-program serta kebijakan-kebijakan pemerintah. Peran utama majllis ini untuk mengevaluasi, menafsirkan dan memperbaiki hukum pemerintah, hukum kecil, kontrak dan perjanjian internasional.[9]

Pada tanggal 26/6/1426 H = 1/8/2005 M Pelayan Dua Kota Suci raja Abdullah bin Abdul Aziz yang menggantikan raja Fahd, beliau memberikan perhatian yang sangat penuh terhadap Majelis ini dengan mendukung langkah-langkahnya dan memperkuat tujuan-tujuannya sejak beliau menjadi Putra Mahkota, dimana beliau menyampaikan pidato mewakili raja pada permulaan tugas tahunan Majelis dalam Sidang Majelis III dan IB, di samping dukungan yang beliau lakukan kepada Majelis melalui revisi beberapa materi Undang-undang Majelis agar sesuai dengan berbagai perubahan positif yang senantiasa muncul, yang dialami oleh Arab Saudi untuk mewujudkan kesejahteraan bagi rakyatnya. Para elit yang menjadi anggota dalam Majelis yang baru, selama keempat sidangnya, telah menunjukkan kualifikasi mereka dengan menghasilkan pekerjaan-pekerjaan besar dan keputusan-keputusan penting dalam waktu yang cukup singkat.[10]

Adanya lembaga legislatif atau Majlis Al-Shura ini yang kemudian terus dikembangkan oleh raja Fahd maupun raja Abdullah yang memerintah sekarang, Arab Saudi mulai mengalami perkembangan ke arah monarki konstitusional. Kekuasaan atau wewenang raja mulai mengalami pergeseran walaupun lembaga ini prosedur kinerjanya belum sepenuhnya independen karena masih mempertimbangkan pendapat dari raja dan masih berada dalam kontrol raja Arab Saudi.

c.  Cabang Kehakiman atau Lembaga Yudikatif

Lembaga yudikatif Arab Saudi memiliki lembaga Pengadilan tertinggi yakni Dewan Kehakiman Agung, yang membicarakan hal-hal yang disebut oleh Raja. Ia juga merupakan makhamah banding tertinggi dan menimbang banding dan juga merevisi kasus yang melibatkan hukuman mati atau mutilasi yang dijatuhkan oleh pengadilan rendah. Pengadilan Tingkat kedua terdiri dari dua pengadilan yang mendengar rayuan dan yang tertinggi adalah Pengadilan Banding yang terdiri dari lima atau lebih hakim. Pengadilan ini bisa mendengar semua rayuan kecuali kasus-kasus dari badan administratif dan pengadilan atau konflik antara pengadilan syariah rendah dengan pengadilan yang lain. Setelah itu adalah Pengadilan Terbatas yang mendengar kasus-kasus kecil melibatkan hal perdata atau pidana. Sedangkan pengadilan terendah adalah Pengadilan Umum yang mendengar kasus pribadi, sipil, keluarga dan kriminal.[11]

d.  Administrasi Pemerintahan

Adapun yang berkaitan dengan Administrasi pemerintahan Arab Saudi, negara ini telah membentuk kabinet yang berkaitan dengan tata pemerintahan pada tahun 1373H/1953M. Majelis ini sekarang mencakup sejumlah departemen yang berkompeten, seperti: Pertahanan, Luar Negeri, Dalam Negeri, Keuangan, Ekonomi dan Perencanaan, Perminyakan dan Pertambangan, Kehakiman, Urusan Islam, Wakaf, Dakwah dan Bimbingan, Pendidikan dan Pengajaran, Pendidikan Tinggi, Kebudayaan dan Informasi, Perdagangan dan Perindustrian, Air dan Listrik, Pertanian, Pekerjaan, Urusan Sosial, Komunikasi dan Teknologi Informasi, Urusan Kota dan Pedesaan, Haji, dan Layanan Sipil.[12]

e.  Pemerintah Daerah

Ada 13 mintaqah atau daerah propinsi di Arab Saudi dan setiap area adalah dipimpin oleh seorang gubernur yang disebut Amir yang ditunjuk oleh raja. Amir ini pula adalah dibantu oleh seorang wakil gubernur dan juga majelis daerah. Dewan ini terdiri dari ketua-ketua departemen pemerintah tingkat daerah. Disamping itu, acara ini juga dibantu oleh suatu majelis 10 anggota orang-orang ternama di masyarakat masing-masing yang ditunjuk setiap empat tahun.[13]

Adapun mintaqah atau propinsi dalam kerajaan Arab Saudi sekarang terdiri dari 13 propinsi sebagai berikut:

  1. Propinsi Daerah Riyadh Ibukota: Riyadh
  2. Propinsi Daerah Makkah Al-Mukarramah Ibukota: Mekkah Al-Mukarramah
  3. Propinsi Daerah Madinah Al-Munawwarah Ibukota: Madinah Al-Munawwarah
  4. Propinsi Daerah Al-Qashim Ibukota: Buraidah
  5. Propinsi Daerah Timur Ibukota: Damam
  6. Propinsi Daerah Asir Ibukota: Abha
  7. Propinsi Daerah Tabuk Ibukota: Tabuk
  8. Propinsi Daerah Hail Ibukota: Hail
  9. Propinsi Daerah Perbatasan Utara Ibukota: Ar-ar
  10. Propinsi Daerah Jizan Ibukota Jizan
  11. Propinsi Daerah Najran Ibukota: Najran
  12. Propinsi Daerah Al-Baahah Ibukota: Al-Baahah
  13. Propinsi Daerah Al-Juf Ibukota: Sakaka[14]

f.  Pemerintah Lokal

Ada 178 Dewan  pembuangan  kota di sini dan setiap acara memiliki anggota antara empat sampai empat belas orang tergantung pada ukuran nya. Kota yang utama  seperti Riyadh, Dammam, Jeddah, Mekah dan Madinah memiliki 14 orang anggota dalam pemerintahan lokal. Pemerintah lokal di Taif, Al-Ahsa, Buraidah, Abha, Hail, Tabuk, Jizan, Bahaah, Najran, Al-Juf dan Wilayah Perbatasan Utara memiliki 12 orang anggota dan majelis di Khamis Mushait, Unaizah, Alkharj, Hafr Al-Baten dan Yanbu ada 10 orang anggota. Pada 2005, separuh dari Dewan ini dipilih melalui cara demokratis yaitu secara pemilu. Sedangkan sisanya lagi ditunjuk oleh pemerintah.[15]

2.  Hubungan Luar Negeri Arab Saudi

Arab Saudi dalam hubungan luar negeri dengan negara-negara lain dan masyarakat internasional bertitik tolak dari prinsip, dasar, dan fakta geografi, sejarah, agama, ekonomi, keamanan, dan politik, serta dalam kerangka utama yang terpenting di antaranya menjaga hubungan baik dengan negara tetangga dan menghindari segala bentuk intervensi dalam urusan dalam negeri negara-negara lain, memperkuat hubungan dengan negara-negara Teluk dan Jazirah Arabia; dan mendukung hubungan dengan negara-negara Arab dan Islam melalui segala hal yang membantu kepentingan bersama dan melindungi permasalahannya. Saudi Arabia mengikuti kebijakan nonblok, dan membangun hubungan kerjasama dengan berbagai negara sahabat, serta memainkan peran aktif melalui berbagai organisasi regional dan internasional. Kebijakan ini digalakkan melalui berbagai lingkup (Teluk, Arab, Islam dan internasional).[16]

Pembahasan ini penulis tidak menjelaskan secara detail mengenai hubungan luar negeri Arab Saudi dengan negara-negara lain, baik yang berada di kawasan Arab Teluk maupun negara-negara Islam secara umum, mengingat luasnya pembahasan tersebut ditambah referensi yang kurang memadai, sehingga penulis hanya membahas hubungan luar negeri Arab Saudi yang berkaitan dengan Amerika dan Indonesia.

a.  Hubungan Arab Saudi dengan Amerika

Jika kita menganalisa dasar hubungan Arab Saudi dengan negara-negara lain yang didasarkan pada berbagai aspek, maka hubungan Arab Saudi dengan    Amerika didasarkan pada persoalan ekonomi dan keamanan. Kepentingan Arab Saudi terhadap adalah dalam dua hal, yang pertama persoalan eksplorasi minyak yang ada di Arab Saudi, dan juga persoalan keamanan yaitu Arab Saudi meminta bantuan dari Amerika untuk melindungi kerajaan Arab Saudi dari kekuatan oposisi maupun negara lain yang mencoba merongrong dan meruntuhkan kerajaan Arab Saudi.

Hubungan Saudi-Amerika telah terbentuk pada masa Perang Dunia II, dan pada tanggal 18 Februari 1943, Presiden Amerika Serikat Franklin D. Roosevelt mengumumkan bahwa “membela Arab Saudi adalah sangat vital bagi pertahanan Amerika Serikat,” sementara perusahaan-perusahaan minyak Amerika Serikat telah merintis jalan untuk mengukuhkan hubungan ini sepuluh tahun sebelum Roosevelt mengumumkannya, ketika perusahaan Standard Oil of California mendapatkan monopoli untuk pengeboran minyak di wilayah Kerajaan Arab Saudi.[17]

Pada bulan juni 1974 tercapailah kesepakatan yang dikenal dengan istilah jual-beli Militer Amerika-Saudi. Selanjutnya pada waktu itu dibentuk badan bersama Amerika-Saudi untuk kerjasama bidang ekonomi dan bisnis, dan badan kerjasama untuk urusan keamanan. Ketua badan ini dibentuk oleh Menlu Amerika Henry Kissinger seorang Yahudi dan raja Fahd bin Abdul Aziz (yang pada saat itu belum dilantik menjadi raja).[18]

Selama masa 70 tahun, keseimbangan antara perlindungan terhadap rezim Saudi dan aliran minyak dengan harga yang bagus diterapkan. Meskipun hubungan-hubungan ini menghadapi beberapa kali ketidaksepahaman satu sama lain dan bahkan ketegangan, namun kasus-kasus demikian tidak terlalu dianggap penting. Namun, belakangan ini keharmonisan tersebut tidak lagi dalam bentuk yang sama seperti sebelumnya, dan lebih cenderung terguncang.

Akhir-akhir ini, komplain dari pejabat resmi Saudi terdengar karena kepentingan-kepentingan dari aliansi kuat antara dua negara ini telah terguncang. Hal ini membuat Menteri Luar Negeri AS, John Kerry mengadakan kunjungan darurat ke Riyadh pada bulan November 2013, ia bertemu dengan Raja Abdullah, Menteri Luar Negeri Saud Al Faysal, dan beberapa pejabat resmi Saudi lainnya; namun diragukan apakah Kerry sukses untuk membatasi atau mencegah lebih jauh kemerosotan hubungan dua negara.[19]

Setelah pengumuman tercapainya perjanjian Jenewa 24 November 2013 pada persoalan Nuklir Iran antara kelompok negara P5+1 dan Iran, frustasi Arab Saudi kepada pemerintah Obama mencapai puncaknya. Hal ini bukan semata-mata karena penandatanganan perjanjian, namun lebih pada jalan yang dicapai, bahwa perjanjian itu disiapkan di bawah kerahasiaan total dengan negosiasi melalui jalur samping antara utusan Amerika Serikat dan Iran melalui beberapa tahap, setidaknya delapan bulan sebelum akhirnya penandatanganan perjanjian di Jenewa.[20]

Setelah kepercayaan keluarga Kerajaan Saudi terhadap Washington terguncang dan mengekspresikan perasaan tidak senangnya yang mereka mampu tunjukkan secara maksimum, akankan Saudi berpisah dengan Amerika Serikat? Nampaknya ini tidak akan terjadi, karena Saudi tidak memiliki tempat lain untuk pergi – berdasarkan beberapa analis asal Amerika.Duta besar Amerika Serikat untuk Riyadh tahun 2001-2003, Robert Jordan, mengatakan: “Tidak ada negara di dunia ini lebih mampu memberikan perlindungan pada ladang minyak dan ekonomi mereka selain dari Amerika Serikat, dan Arab Saudi menyadari itu.[21]

b.  Hubungan Arab Saudi dengan Indonesia

Hubungan Diplomatik Indonesia dan Arab Saudi telah terbina dalam kurun waktu yang cukup lama dan telah menghasilkan banyak bentuk kerjasama yang telah disepakati, hal ini tidak terlepas dari latar belakang Indonesia sebagai Negara berpenduduk muslim terbesar di dunia meskipun secara resmi bukanlah negara Islam. Pola interaksi hubungan internasional kedua Negara juga telah lama berkembang. Hubungan Diplomatik Indonesia–Arab Saudi baru secara resmi tercatat didirikan pada tanggal 1 Mei 1950 atau tepatnya 5 tahun setelah Indonesia meraih kemerdekaan dan menjadi Negara yang berdaulat. Awal mula hubungan diplomatik resmi ini sangat terkait dengan usaha rakyat Indonesia untuk mendapatkan kemerdekaan yang selalu mendapat dukungan dan simpati dari Negara-Negara di Timur Tengah khususnya Arab Saudi.

  • Kerjasama Politik Indonesia-Arab Saudi

Dalam kerjasama politik, Indonesia dengan Arab Saudi telah melakukan kerjasama politik pada tanggal 24 November 1970, yaitu dalam bentuk Treaty of Friendship Between the Republic of Indonesia and the Kingdom of Saudi Arabia. (Perjanjian Persahabatan Antara Republik Indonesia dan Kerajaan Arab Saudi). Dalam hal ini kedua negara tidak mengintervensi atau memaksa kehendak politik masing-masing. Karena dalam kerjasama politik umumnya cenderung pada upaya untuk mempererat hubungan bilateral kedua negara berdasarkan sistem politik luar negeri kedua negara.[22]

  • Kerjasama Ekonomi Indonesia-Arab Saudi

Pada 7 Agustus 2003, kedua negara sepakat dalam kerjasama Agreed Minutes yang berisikan butir-butir Kesepakatan di bidang ekonomi dan perdagangan pada Pertemuan Ketujuh Komisi Bersama Antara Republik Indonesia dan Kerajaan Arab Saudi, Jakarta, 6-7 Agustus 2003. Pada tanggal 18 Desember 2011, Delegasi Kemenko Perekonomian Indonesia telah melakukan kunjungan kerja ke Riyadh yang dipimpin oleh Rizal Affandi Lukman, Delegasi RI telah melakukan serangkaian pertemuan dengan Dr. Ahmad Habib, Deputi Menteri Ekonomi dan Perencanaan, Kementerian Ekonomi Arab Saudi.[23]

 

Kesimpulan

Arab Saudi adalah sebuah negara yang berbentuk monarki atau kerajaan. Selain itu, Arab Saudi juga terkenal sebagai negara Islam yang kaya karena memiliki kekayaan alam berupa minyak bumi. Walaupun Arab Saudi merupakan negara Islam, Arab Saudi tidak menggunakan sistem pemerintahan Islam dalam menjalankan roda pemerintahannya.  Sistem pemerintahan yang berlaku di Arab Saudi adalah sistem pemerintahan Monarki atau kerajaan. Arab Saudi yang menjalankan sistem pemerintahan monarki dengan beberapa penyesuaian yang diputuskan berdasarkan kondisi negara itu sendiri. Namun pada masa raja Fahd dan sekarang raja Abdullah monarki Arab Saudi telah mengarah kepada monarki konstitusional karena dengan pengembangan Majelis Al-Shura oleh kedua raja tersebut.

Arab Saudi dalam hubungan luar negeri dengan negara-negara lain dan masyarakat internasional bertitik tolak dari prinsip, dasar, dan fakta geografi, sejarah, agama, ekonomi, keamanan, dan politik, serta dalam kerangka utama yang terpenting di antaranya menjaga hubungan baik dengan negara tetangga dan menghindari segala bentuk intervensi dalam urusan dalam negeri negara-negara lain, dan mendukung hubungan dengan negara-negara Arab dan Islam melalui segala hal yang membantu kepentingan bersama. Hubungan luar negeri Arab dengan Amerika didasarkan atas kepentingan ekonomi dalam hal ini adalah minyak dan persoalan keamanan negara. Sedangkan hubungan Arab Saudi dengan Indonesia dibangun atas dasar  kesamaan agama dalam hal ini adalah Islam.


Catatan Kaki

[1]Ibnu Burdah, “Islam Kontemporer, Revolusi dan Demokrasi” (Malang; Intrans Publishing, 2014), hlm 2-3
[2]Ibid,.
[3]Taufik Nurohman, “Teori Sistem David Easton”, http://taufiknurohman25.blogspot.com, Diakses tanggal  10 Agustus  2020.
[4]Jhon T. Ishiyama dan Marijke Breuning (ed),  “Ilmu Politik  Dalam Paradigma Abad ke-21”, (Jakarta: Kencana, 2013), Jilid 1, hlm. 555.
[5]Ilma Nurhidayati, “Sistem Pemerintahan Saudi Arabia”, http://ilmakribooo.wordpress.com, diakses tanggal 10 Agustus 2020
[6]Usman Kari Linge Bin Abdul Wahab, “Demokrasi Dalam Pemikiran Politik : Negara Arab Saudi”, http://usmankari.blogspot.com, diakses tanggal 10 Agustus 2020
[7]Angga Diharja Firdaus, “Politik Pemerintahan Arab Saudi”, http://diharjaangga.blogspot.com, diakses tanggal 10 Agustus 2020
[8]Usman Kari Linge Bin Abdul Wahab, “Demokrasi Dalam Pemikiran Politik…, Op Cit.
[9]Abu Khansa Salma, “Sisi Lain Arab Saudi”, http://saudi-tauhid-sunnah.blogspot.com, diakses tanggal 10 Agustus 2020
[10]Ibid,.
[11]Usman Kari Linge Bin Abdul Wahab, ” Demokrasi Dalam Pemikiran Politik…., Op Cit.
[12]Angga Diharja Firdaus, “Politik Pemerintahan Arab…, Op Cit.
[13]Usman Kari Linge Bin Abdul Wahab, ” Demokrasi Dalam Pemikiran Politik…., Op Cit.
[14]Abu Khansa Salma, Sisi Lain Arab Saudi” Op Cit.
[15]Usman Kari Linge Bin Abdul Wahab,” Demokrasi Dalam Pemikiran Politik…., Op Cit.
[16]Angga Diharja Firdaus, “Politik Pemerintahan Arab…, Op Cit.
[17]Ahmad Malli, “Hubungan Saudi Amerika”, http://www.islamtimes,  diakses tanggal 10 Agustus 2020
[18]Abu Muhammad Al-Maqdisi, “Saudi di Mata Seorang Al-Qa’idah: Mengkritisi Praktik Hukum Islam di  Kerajaan Arab Saudi” Penerjemah Abu Sulaiman , (Solo: Jazera, 2005), hlm 115
[19]Ahmad Malli, “Hubungan Saudi Amerika….,
[20]Ibid,.
[21]Ibid,.
[22]Manuel Marbun, “Hubungan Diplomatik Indonesia Arab Saudi”, http://www.slideshare.net,  diakses tanggal 10 Agustus 2020
[23]Ibid,


DAFTAR PUSTAKA
Al-Maqdisi, Abu Muhammad, “Saudi di Mata Seorang Al-Qa’idah: Mengkritisi Praktik Hukum Islam di  Kerajaan Arab Saudi”, Solo: Jazera, 2005
Burdah, Ibnu, “Islam Kontemporer, Revolusi dan Demokrasi” Malang; Intrans Publishing, 2014
Firdaus, Angga Diharja, “Politik Pemerintahan Arab Saudi”,  http://diharjaangga.blogspot.com, akses tanggal 10 Agustus 2020
Jhon T. Ishiyama dan Marijke Breuning (ed),  “Ilmu Politik  Dalam Paradigma Abad ke-21”, Jakarta: Kencana, 2013
Kari Linge Bin Abdul Wahab, Usman, ” Demokrasi Dalam Pemikiran Politik : Negara Arab Saudi “, http://usmankari.blogspot.com, akses tanggal 10 Agustus 2020
Malli, Ahmad, “Hubungan Saudi Amerika”, http://www.islamtimes,  akses tanggal 10 Agustus 2020
Marbun, Manuel “Hubungan Diplomatik Indonesia Arab Saudi”, http://www.slideshare.net,  akses tanggal 10 Agustus 2020.
Nurhidayati, Ilma, “sistem pemerintahan saudi arabia” http://ilmakribooo.wordpress.com, akses tanggal 10 Agustus 2020.
Nurohman, Taufik, “Teori Sistem David Easton”, http://taufiknurohman25.blogspot.com, Diakses tanggal  10 Agustus 2020.
Salma , Abu Khansa, “Sisi Lain Arab Saudi”, http://saudi-tauhid-sunnah.blogspot.com, akses tanggal 10 Agustus 2020.

Dinamika Penerapan Sistem Pemerintahan Presidensial dan Parlementer di Indonesia

2.040 Views

Oleh :  Muhammad Taufik,S.Sy., M.Sos
(Dosen Universitas Islam Negeri (UIN) Datokarama Palu)

Setiap negara dalam menjalankan pemerintahannya, memiliki sistem yang berbeda-beda meskipun dengan nama yang sama seperti sistem presidensial atau sistem parlementer. Baik sistem presidensial maupun sistem parlementer, sesungguhnya berakar dari nilai-nilai yang sama yaitu ”demokrasi”.[1] Penerapan demokrasi dalam setiap negara mengambil bentuk yang berbeda-beda antara negara yang satu maupun negara lain, terkadang dalam sebuah negara dalam menjalankan demokrasi mengambil bentuk sistem parlementer, demikian pula terkadang suatu negara menjalankan sistem presidensial demi untuk mewujudkan demokrasi.

Terkadang muncul anggapan bahwa sistem pemerintahan presidensial lebih unggul dan cenderung lebih stabil daripada parlementer. Anggapan ini merupakan anggapan yang tidak sepenuhnya benar, persoalan sebenarnya adalah tergantung bagaimana demokasi dijalankankan dalam sebuah negara. Tarik- menarik antara dua teori sistem pemerintahan tersebut mempunyai implikasi apakah suatu negara lebih dominan menyelenggarakan sistem presidensial atau parlementer.

Setiap negara dalam menjalankan demokrasi memiliki cara yang berbeda-beda. Dua model alternatif utama yaitu sistem pemerintahan presidensial dan pemerintahan parlementer menjadi hal yang selalu diperdebatkan. Kelebihan dan kekurangan dari kedua bentuk pelaksanaan demokrasi (presidensial dan parlementer) telah lama diperdebatkan. Bahkan lebih lama dari pelaksanaan demokrasi modern itu sendiri, yang belum dijalankan sepenuhnya di seluruh penjuru dunia hingga awal abad ke-20. Sehingga tidaklah mengherankan perhatian yang besar terhadap sistem pemerintahan presidensial dan pemerintahan parlementer muncul bersamaan dengan gelombang demokratisasi, yang tentunya tidak pernah semarak atau seluas seperti sekarang ini. Perdebatan yang muncul terkait persoalan ini, umumnya dipelopori dua negara yaitu Inggris raya dan Amerika serikat, yang menjadi model utama pemerintahan parlementer dan presidensial yang kemudian menyebar ke negara-negara lainnya termasuk Indonesia.[1]

Sementara untuk Indonesia sendiri, menjadi suatu perdebatan sampai sekarang dikalangan para pakar hukum tata negara dan politik bahwa sistem pemerintahan Indonesia menganut sistem pemerintahan yang berbentuk apa. Hanta yuda, mengemukakan bahwa ketika UUD 1945 belum diamandemen, corak pemerintahan Indonesia sering dikatakan sebagai sistem semipresidensial. Namun dalam prakteknya sistem pemerintahan Indonesia justru lebih mendekati corak parlementer seperti halnya dalam masa konstitusi Republik Indonesia Serikat (RIS) dan UUDS tahun 1950. Dan setelah amandemen UUD 1945 sistem pemerintahan Indonesia menjadi sistem presidnesial murni. Sedangkan Bagir manan menyebutkan bahwa sistem pemerintahan Indonesia menganut sistem pemerintahan presidensial karena berpendapat pertanggungjawaban presiden kepada MPR bukan merupakan pertanggungjawaban kepada badan legeslatif. dalam hal ini menambahkan, petanggungjawaban Presiden kepada MPR tidak boleh disamakan dengan pertanggungjawaban kabinet  kepada parlemen (dalam sistem parlementer).[2]

Dari permasalahan ini, sehingga menjadi hal sangat penting untuk menelusuri pelaksanaan sistem pemerintahan di Indonesia hingga sekarang ini, apakah menganut sistem presidensial murni atau campuran sistem presidensial dan parlementer.

PEMBAHASAN

1.  Pengertian Sistem Pemerintahan Presidensial dan Parlementer

Sebelum menjelaskan dan memaparkan secara lebih luas terkait persoalan sistem pemerintahan presidensial dan parlementer dari sisi perbedaan, kelemahan dan kelebihan, terlebih dahulu akan dijelaskan secara singkat mengenai pengertian dari sistem pemerintahan presidensial dan sistem parlementer.

Sistem pemerintahan presidensial atau disebut juga dengan sistem kongresional adalah sistem pemerintahan dimana badan eksekutif dan legislatif memiliki kedudukan yang independen. Kedua badan tersebut tidak berhubungan secara langsung seperti dalam sistem pemerintahan parlementer. Mereka dipilih oleh rakyat secara terpisah. Sistem presidensial tidak mengenal adanya lembaga pemegang supremasi tertinggi. Kedaulatan negara dipisahkan (separation of power) menjadi tiga cabang kekuasaan, yakni legislatif, eksekutif, dan yudikatif, yang secara ideal diformulasikan sebagai ”Trias Politica” oleh Montesquieu. Presiden dan wakil presiden dipilih langsung oleh rakyat untuk masa kerja yang lamanya ditentukan konstitusi. Konsentrasi kekuasaan ada pada presiden sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan. Dalam sistem presidensial para menteri adalah pembantu presiden yang diangkat dan bertanggung jawab kepada presiden.[3]

Sistem pemerintahan presidensial merupakan bagian dari sistem pemerintahan negara republik di mana kekuasan eksekutif atau Presiden dipilih melalui pemilu dan terpisah dengan kekuasan legislatif atau anggota DPR. Menurut Rod Hague sebagaimana yang dikutip Anita Rahmawati, pemerintahan presidensial terdiri dari 2 unsur yaitu:

  1. Presiden yang dipilih rakyat memimpin pemerintahan dan mengangkat pejabat-pejabat pemerintahan yang terkait.
  2. Presiden dengan dewan perwakilan memiliki masa jabatan yang tetap, tidak bisa saling menjatuhkan.[4]

Sistem pemerintahan parlementer adalah sebuah sistem pemerintahan dimana parlemen memiliki peranan penting dalam pemerintahan. Dalam hal ini parlemen memiliki wewenang dalam mengangkat perdana menteri dan parlemen pun dapat menjatuhkan pemerintahan, yaitu dengan cara mengeluarkan semacam mosi tidak percaya. Berbeda dengan sistem pemerintahan presidensial, di mana sistem pemerintahan parlemen dapat memiliki seorang presiden dan seorang perdana menteri, yang berwenang terhadap jalannya pemerintahan. Dalam sistem pemerintahan presidensial, presiden berwenang terhadap jalannya pemerintahan, namun dalam sistem pemerintahan parlementer presiden hanya menjadi simbol kepala negara saja. Sistem parlementer dibedakan oleh cabang eksekutif pemerintah tergantung dari dukungan secara langsung atau tidak langsung cabang legislatif, atau parlemen, sering dikemukakan melalui sebuah veto keyakinan. Oleh karena itu, tidak ada pemisahan kekuasaan yang jelas antara cabang eksekutif dan cabang legislatif.[5]

Secara sederhana perbedaan anatara sistem pemerintahan presidensial dan parlementer adalah persoalan wewenang dan kekuasaan kepala negara. Dalam sistem pemerintahan presidensial kekuasaan kepala negara relatif kuat dan tidak dapat dijatuhkan oleh lembaga legislatif, kekuasaan kepala negara sekaligus kekuasaan pemerintahan terpusat kepada presiden. Sedangkan dalam sistem pemerintahan parlementer Presiden hanya berfungsi sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan dipegang oleh perdana menteri. Kekuasaan Presiden atau kepala negara dapat dijatuhkan oleh lembaga legislatif dengan memunculkan mosi tidak percaya yang dikemukakan melalui sebuah veto keyakinan.

2.  Perbedaan Sistem Pemerintahan Presidensial dan Parlementer

Sistem pemerintahan presidensial dan parlementer memiliki ciri-ciri khusus dan terdapat diantara keduanya. Secara umum dan lebih luas antara Sistem pemerintahan presidensial dan parlementer menurut Arend Lijphart terdapat perbedaan setidakya dalam tiga hal: pertama, dalam sistem pemerintahan parlementer, kepala pemerintahan bisa dijabat oleh perdana menteri sedangkan kepala negara dijabat oleh presiden. Keduanya bergantung pada mosi atau kepercayaan badan legislatif dan dapat diturunkan dan dilengserkan dari jabatan melalui mosi tak percaya dari legislatif. Sedangkan dalam sistem pemerintahan presidensial, kepala pemerintahan juga merangkap sebagai kepala negara yang dipegang oleh presiden, dan dipilih untuk masa jabatan tertentu sesuai dengan UUD dan dalam keadaan normal tidak dapat diturunkan oleh anggota legislatif.

Kedua, dalam sistem parlementer kepala pemerintahan dan kepala negara dipilih oleh badan legislatif. Sementara dalam sistem presidensial kepala pemerintahan atau kepala negara dalam hal ini adalah presiden dipilih oleh rakyat, baik secara langsung atau melalui badan pemilihan.

Ketiga, dalam sistem pemerintahan parlementer memiliki pemerintah atau eksekutif kolektif atau kolegial, posisi perdana menteri dalam kabinet bisa berubah-ubah, yaitu lebih tinggi hingga sama dengan menteri-menteri yang lain, tetapi selalu ada tingkat kolegalitas yang relatif tinggi dalam pembuatan keputusan. Sedangkan dalam sistem pemerintahan presidensial memiliki eksekutif non kolegial atau satu oang yang berpusat pada presiden, dimana para anggota kabinet presidensial hanya merupakan penasihat dan bawahan presiden.[6]

Saldi Isra mengatakan bahwa sistem parlementer berbeda dengan sistem presidensial, karena dalam sistem presidensial presiden tidak hanya sebagai kepala eksekutif tetapi sekaligus sebagai kepala negara. Artinya presiden tidak hanya sebagai kepala pemerintahan tetapi juga sebagai kepala negara. Dengan rentang kekuasaan presiden yang begitu luas, maka perbedaan lain yang dari sistem pemerintahan presidensial dan parlementer adalah terletak pada objek utama yang diperebutkan. Dalam sistem parlementer objek utama yang yang diperebutkan adalah parlemen, sedangkan dalam sistem presindesial objek utama yang diperebutkan adalah presiden. Karena itu dalam sistem presidensial posisi presiden sebagai kepala ekesuktif dan lembaga legislatif cenderung berhadap-hadapan (vis a vis).[7]

Dari penjelasan ini, secara umum kita telah memiliki gambaran terkait perbedaan antara sistem presidensial dan parelementer. Namun, untuk lebih memperjelas perbedaan terkait dua sistem tersebut, penulis akan menjelasakan secara spesifik dari sistem presidensial dan parlementer baik dari ciri-cirinya, maupun terkait dengan kelemahan dan kelebihannya.

a.  Sistem Presidensial

Sistem pemerintahan presidensil ini bertitik tolak dari konsep pemisahan sebagaimana dianjurkan oleh teori Trias Politika. Sistem ini menghendaki pemisahan secara tegas, khususnya antara badan pemegang kekuasaan eksekutif dan badan legislatif.[8] Contoh negara yang menggunakan sistem pemerintahan presidensial antara lain: Amerika Serikat, Myanmar, Filipina, Indonesia.

a) Ciri-ciri dari sistem pemerintahan presidensial

  1. Kedudukan Presiden di samping sebagai Kepala Negara juga sebagai Kepala Eksekutif (pemerintahan).
  2. Presiden dan Parlemen masing-masing dipilih langsung oleh Rakyat melalui Pemilihan Umum. Jadi tidaklah mengherankan jikalau ada kemungkinan terjadi komposisi Presiden berasal dari partai politik yang berbeda dengan komposisi meyoritas anggota partai politik yang menduduki kursi di parlemen.
  3. Karena Presiden dan Parlemen dipilih langsung oleh Rakyat melalui pemilihan umu, maka kedudukan antara kedua lembaga ini tidak bisa saling mempengaruhi (menjatuhkan seperti halnya di sistem parlementer.
  4. Kendati Presiden tidak dapat diberhentikan oleh parlemen di tengah-tengah masa jabatannya berlangsung, namun jika Presiden malakukan perbuatan yang melanggar hukum, maka presiden dapat dijatuhi Impeachment (Pengadilan DPR).
  5. Dalam rangka menyusun Kabinet (Menteri), Presiden wajib minta persetujuan Parlemen. Di sini Presiden hanya menyampaikan nominasi anggota kabinet, sedangkan parlemen memberi persetujuan personil yang telah diajukan oleh Presiden.
  6. Menteri-menteri yang diangkat oleh Presiden tersebut tunduk dan bertanggung jawab kepada Presiden.[9]

b) Kelebihan Sistem Pemerintahan Presidensial

  1. Badan eksekutif lebih stabil kedudukannya karena tidak tergantung pada parlemen.
  2. Masa jabatan badan eksekutif lebih jelas dengan jangka waktu tertentu. Misalnya, masa jabatan Presiden Amerika Serikat adalah empat tahun, Presiden Indonesia adalah lima tahun.
  3. Penyusun program kerja kabinet mudah disesuaikan dengan jangka waktu masa jabatannya.
  4. Legislatif bukan tempat kaderisasi untuk jabatan-jabatan eksekutif karena dapat diisi oleh orang luar termasuk anggota parlemen sendiri.[10]

c)Kekurangan Sistem Pemerintahan Presidensial

  1. Kekuasaan eksekutif diluar pengawasan langsung legislatif sehingga dapat menciptakan kekuasaan mutlak.
  2. Sistem pertanggungjawaban kurang jelas.
  3. Pembuatan keputusan atau kebijakan publik umumnya hasil tawar-menawar antara eksekutif dan legislatif sehingga dapat terjadi keputusan tidak tegas dan memakan waktu yang lama.[11]

b.  Sistem Pemerintahan Parlementer

Pada prinsipnya sistem pemerintahan parlementer menitik beratkan pada hubungan antara organ negara pemegang kekuasaan eksekutif dan legislatif. Sistem ini merupakan sisa-sisa peninggalan sistem Monarkhi. Dikatakan demikian karena kepala negara apapun sebutannya, mempunyai kedudukan yang tidak dapat diganggu gugat. Sedangkakan penyelenggaraan pemerintahan sehari-hari diserahkan kepada Perdana Menteri.[12] Contoh negara yang menggunakan sistem pemerintahan parlementer: Inggris, India, Malaysia, Jepang, dan Australia.

a)Ciri-ciri dari sistem pemerintahan parlementer

  1. Terdapat hubungan yang erat antara eksekutif dan legislatif (parlemen), bahkan antara keduanya saling ketergantungansatu sama lain.
  2. Eksekutif yang dipimpin oleh Perdana Menteri dibnetuk oleh parlemen dari partai politik atau organisasi peserta pemilu yang menduduki kursi mayoritas diparlemen.
  3. Kepala Negara (apapun sebutannya) hanya berfungsi ataupun berkedudukan sebagai Kepala Negara. Tidak sebagai kepala eksekutif atau pemerintahan.
  4. Dikenal adanya mekanisme pertanggungjawaban Menteri kepada Parlemen yang mengakibatkan parlemen dapat membubarkan ataupun menjatuhkan mosi tidak percaya kepada Kabinet, jika pertanggungjawaban atas pelaksanaan pemerintahan yang dilakukan oleh Menteri baik dibidangnya masing-masing ataupun atas dasar kolektifitas tidak dapat diterima oleh parlemen.[13]

b)Kelebihan sistem pemerintahan parlementer

  1. Pembuat kebijakan dapat ditangani secara cepat karena mudah terjadi penyesuaian pendapat antara eksekutif dan legislatif. Hal ini karena kekuasaan eksekutif dan legislatif berada pada satu partai atau koalisi partai.
  2. Garis tanggung jawab dalam pembuatan dan pelaksanaan kebijakan public jelas.
  3. Adanya pengawasan yang kuat dari parlemen terhadap kabinet sehingga kabinet menjadi barhati-hati dalam menjalankan pemerintahan.[14]

c)Kekurangan sistem pemerintahan parlementer

  1. Kedudukan badan eksekutif/kabinet sangat tergantung pada mayoritas dukungan parlemen sehingga sewaktu-waktu kabinet dapat dijatuhkan oleh parlemen.
  2. Kelangsungan kedudukan badan eksekutif atau kabinet tidak bias ditentukan berakhir sesuai dengan masa jabatannya karena sewaktu-waktu kabinet dapat bubar.
  3. kabinet adalah anggota parlemen dan berasal dari partai mayoritas. Karena pengaruh mereka yang besar diparlemen dan partai, anggota kabinet dapat mengusai parlemen.
  4. Parlemen menjadi tempat kaderisasi bagi jabatan-jabatan eksekutif. Pengalaman mereka menjadi anggota parlemen dimanfaatkan dan manjadi bekal penting untuk menjadi menteri atau jabatan eksekutif lainnya.[15]

 

3.  Dinamika Penerapan Sistem Pemerintahan Presidensial dan Parlementer Di Indonesia

Sejarah ketatanegaraan Indonesia, negara Indonesia pernah menggunakan konstitusi tertulis selain UUD 1945, dan masing-masing mengatur sistem pemerintahan Indonesia berbeda-beda. Bahkan menurut UUD 1945 sebelum amandemen maupun setelah amandemen pun mengalami perbedaan. Sehubungan dengan hal tersebut, maka pada bagian ini akan disampaikan sistem pemerintahan Indonesian menurut konstitusi yang pernah dan sedang berlaku.

  1. Sistem Pemerintahan Indonesia Menurut Konstitusi RIS.

Secara singkat Sistem Pemerintahan Indonesia menurut Konstitusi RIS adalah Sistem Pemerintahan Indonesia Parlementer yang tidak murni. Karena pada pasal 118 Konstitusi RIS  antara lain menegaskan:

  1. Presiden tidak dapat diganggu gugat.
  2. Menteri-menteri bertanggung jawab atas seluruh kebijaksanaan pemerintahan baik bersama-sama untuk seluruhnya, maupun masing-masing untuk bagiannya sendiri-sendiri.

Ketentuan pasal ini menunjukkan bahwa RIS mempergunakan sistem pertanggungjawaban Menteri. Kendatipun demikian dalam pasal 122 Konstitusi RIS juga dinyatakan bahwa DPR tidak dapat memaksa kabinet atau masing-masing Menteri untuk meletakkan jabatannya.[16]

  1. Sistem Pemerintahan Indonesia Menurut UUDS 1950

Sistem pemerintahan Indonesia menurut UUDS 1950 masih malanjutkan Konstitusi RIS. Hal ini disebabkan UUDS 1950 pada hakikatnya merupakan hasil amandemen dari konstitusi RIS dengan menghilangkan pasal-pasal yang bersifat federalis. Di dalam pasal 83 UUDS 1950 dinyatakan:

  1. Presiden dan wakil presiden tidak dapat diganggu gugat.
  2. Menteri-menteri bertanggung jawab atas seluruh kebijaksanaan pemerintahan baik bersama-sama untuk seluruhnya, maupun masing-masing untuk bagiannya

sendiri-sendiri.

Berkaitan dengan pasal di atas, pasal 84 UUDS 1950 menyatakan bahwa Presiden berhak membubarkan DPR. Keputusan Presiden yang menyataka pembubaran itu memerintah pula untuk mengadakan pemilihan Presiden baru dalam 30 hari. Konstruksi pasal semacam ini mengingatkan pada sistem parlementer yang tidak murni.[17]

  1. Sistem Pemerintahan Indonesia Menurut UUD 1945 Sebelum Amandemen

Pokok-pokok sistem pemerintahan negara Indonesia berdasarkan UUD 1945 sebelum diamandemen tertuang dalam Penjelasan UUD 1945 tentang tujuh kunci pokok sistem pemerintahan negara tersebut sebagai berikut:

  1. Indonesia adalah negara yang berdasarkan atas hukum (rechtsstaat).
  2. Sistem Konstitusional.
  3. Kekuasaan negara yang tertinggi di tangan Majelis Permusyawaratan Rakyat.
  4. Presiden adalah penyelenggara pemerintah negara yang tertinggi dibawah Majelis Permusyawaratan Rakyat.
  5. Presiden tidak bertanggung jawab kepada Dewan Perwakilan Rakyat.
  6. Menteri negara ialah pembantu presiden, menteri negara tidak bertanggungjawab kepada Dewan Perwakilan Rakyat.
  7. Kekuasaan kepala negara tidak terbatas.[18]

Berdasarkan tujuh kunci pokok sistem pemerintahan, sistem pemerintahan Indonesia menurut UUD 1945 menganut sistem pemerintahan presidensial. Sistem pemerintahan ini dijalankan semasa pemerintahan Orde Baru di bawah kepemimpinan Presiden Suharto. Ciri dari sistem pemerintahan masa itu adalah adanya kekuasaan yang amat besar pada lembaga kepresidenan.[19]

Mekipun adanya kelemahan, kekuasaan yang besar pada presiden juga ada dampak positifnya yaitu presiden dapat mengendalikan seluruh penyelenggaraan pemerintahan sehingga mampu menciptakan pemerintahan yang kompak dan solid. Sistem pemerintahan lebih stabil, tidak mudah jatuh atau berganti. Konflik dan pertentangan antarpejabat negara dapat dihindari. Namun, dalam praktik perjalanan sistem pemerintahan di Indonesia ternyata kekuasaan yang besar dalam diri presiden lebih banyak merugikan bangsa dan negara daripada keuntungan yang didapatkanya.[20]

Memasuki masa Reformasi ini, bangsa Indonesia bertekad untuk menciptakan sistem pemerintahan yang demokratis. Untuk itu, perlu disusun pemerintahan yang konstitusional atau pemerintahan yang berdasarkan pada konstitusi. Pemerintah konstitusional bercirikan bahwa konstitusi negara itu berisi:

  1. Adanya pembatasan kekuasaan pemerintahan atau eksekutif
  2. Jaminan atas hak asasi manusia dan hak-hak warga negara.[21]

Berdasarkan hal itu, Reformasi yang harus dilakukan adalah melakukan perubahan atau amandemen atas UUD 1945. dengan mengamandemen UUD 1945 menjadi konstitusi yang bersifat konstitusional, diharapkan dapat terbentuk sistem pemerintahan yang lebih baik dari yang sebelumnya. Amandemen atas UUD 1945 telah dilakukan oleh MPR sebanyak empat kali, yaitu pada tahun 1999, 2000, 2001, dan 2002. berdasarkan UUD 1945 yang telah diamandemen itulah menjadi pedoman bagi sistem pemerintaha Indonesia sekarang ini.

  1. Sistem Pemerintahan Indonesia Menurut UUD 1945 Sesudah Amandemen

Sekarang ini sistem pemerintahan di Indonesia masih dalam masa transisi. Sebelum diberlakukannya sistem pemerintahan baru berdasarkan UUD 1945 hasil amandemen keempat tahun 2002, sistem pemerintahan Indonesia masih mendasarkan pada UUD 1945 dengan beberapa perubahan seiring dengan adanya transisi menuju sistem pemerintahan yang baru. Sistem pemerintahan baru diharapkan dapat berjalan dengan baik setelah dilakukannya Pemilu 2004.

Pokok-pokok sistem pemerintahan Indonesia setelah amandemen UUD 1945 adalah sebagai berikut:

  1. Bentuk negara kesatuan dengan prinsip otonomi daerah yang luas. Wilayah negara terbagi dalam beberapa provinsi.
  1. Bentuk pemerintahan adalah republik, sedangkan sistem pemerintahan presidensial.
  2. Presiden adalah kepala negara dan sekaligus kepala pemerintahan. Presiden dan wakil presiden dipilih dan diangkat oleh MPR untuk masa jabatan lima tahun. Untuk masa jabatan 2004-2009, presiden dan wakil presiden akan dipilih secara langsung oleh rakyat dalam satu paket.
  3. Kabinet atau menteri diangkat oleh presiden dan bertanggung jawab kepada presiden.
  4. Parlemen terdiri atas dua bagian (bikameral), Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Dewan Perwakilan Daerah (DPD). Para anggota dewan merupakan anggota MPR. DPR memiliki kekuasaan legislatif dan kekuasaan mengawasi jalannya pemerintahan.
  5. Kekuasaan yudikatif dijalankan oleh Makamah Agung dan badan peradilan dibawahnya.[22]

Sistem pemerintahan ini juga mengambil unsur-unsur dari sistem pemerintahan parlementer dan melakukan pembaharuan untuk menghilangkan kelemahan-kelemahan yang ada dalam sistem presidensial. Beberapa variasi dari sistem pemerintahan presidensial di Indonesia adalah sebagai berikut.

  1. Presiden sewaktu-waktu dapat diberhentikan oleh MPR atas usul dari DPR. Jadi, DPR tetap memiliki kekuasaan mengawasi presiden meskipun secara tidak langsung.
  2. Presiden dalam mengangkat penjabat negara perlu pertimbangan atau persetujuan dari DPR.
  3. Presiden dalam mengeluarkan kebijakan tertentu perlu pertimbangan atau persetujuan dari DPR.
  4. Parlemen diberi kekuasaan yang lebih besar dalam hal membentuk undang-undang dan hak budget (anggaran).

Dengan demikian, ada perubahan-perubahan baru dalam sistem pemerintahan Indonesia. Hal itu diperuntukan dalam memperbaiki sistem presidensial yang lama. Perubahan baru tersebut, antara lain adanya pemilihan secara langsung, sistem bikameral atau adanya dua kekuatan dalam legislatif (DPR dan DPD), lembaga-lembaga negara yaitu eksekutif dan legislatif yang mempunyai fungsi sama dan saling mengendalikan dan mengawasi melalui mekanisme cheks and balance, dan pemberian kekuasaan yang lebih besar kepada parlemen untuk melakukan pengawasan dan fungsi anggaran.[23]

KESIMPULAN

Mengacu pada penjelasan dalam pembahasan tulisan ini, maka penulis menarik beberapa kesimpulan sebagai berikut:

  1. Secara umum perbedaan antara sistem pemerintahan Parlementer dan presidensial dalam tiga hal: pertama, dalam sistem pemerintahan parlementer, kepala pemerintahan bisa dijabat oleh perdana menteri sedangkan kepala negara dijabat oleh presiden. Keduanya bergantung pada mosi atau kepercayaan badan legislatif dan dapat diturunkan dan dilengserkan dari jabatan melalui mosi tak percaya dari legislatif. Sedangkan dalam sistem pemerintahan presidensial, kepala pemerintahan juga merangkap sebagai kepala negara yang dipegang oleh presiden, dan dipilih untuk masa jabatan tertentu sesuai dengan UUD dan dalam keadaan normal tidak dapat diturunkan oleh anggota legislatif. Kedua, dalam sistem parlementer kepala pemerintahan dan kepala negara dipilih oleh badan legislatif. Sementara dalam sistem presidensial kepala pemerintahan atau kepala negara dalam hal ini adalah presiden dipilih oleh rakyat, baik secara langsung atau melalui badan pemilihan. Ketiga, dalam sistem pemerintahan parlementer memiliki pemerintah atau eksekutif kolektif atau kolegial, posisi perdana menteri dalam kabinet bisa berubah-ubah, yaitu lebih tinggi hingga sama dengan menteri-menteri yang lain, tetapi selalu ada tingkat kolegalitas yang relatif tinggi dalam pembuatan keputusan. Sedangkan dalam sistem pemerintahan presidensial memiliki eksekutif non kolegial atau satu oang yang berpusat pada presiden, dimana para anggota kabinet presidensial hanya merupakan penasihat dan bawahan presiden.
  2. Dalam proses pelaksanaan sistem pemerintahan di Indonesia, baik dalam masa konstitusi RIS tahun 1949 dan UUDS tahun 1950 Indonesia menjalankan sistem parlementer tidak murni hal ini mengacu pada pasal 118 konstitusi RIS dan pasal 83 dan 84 UUDS. Sementara pelaksanaan pemerintahan di Indonesia sebelum amandemen UUD 1945 menggunakan sistem presidensial, dan sesudah amandemen UUD 1945 dari tahun 1999,2000, 2001 dan 2002 dapat dikatakan bahwa Indonesia menganut sistem campuran antara presidensial dan parlementer sebagai upaya untuk memperbaiki kelemahan-kelemahan dari sistem presidensial. Ini dapat dilihat dalam pokok-pokok pemerintahan Indonesia diantaranya: bahwa presiden dipilih oleh rakyat dalam pemilihan langsung, dan menteri-menteri diangkat oleh presiden dan bertanggung jawab terhadap presiden hal ini menegaskan bahwa Indonesia menganut sistem presidensial. Dalam hal lain disebutkan bahwa: Presiden sewaktu-waktu dapat diberhentikan oleh MPR atas usul dari DPR. Jadi, DPR tetap memiliki kekuasaan mengawasi presiden meskipun secara tidak langsung dan Presiden dalam mengangkat penjabat negara perlu pertimbangan atau persetujuan dari DPR, dua hal inipula merupakan penegasan bahwa Indonesia menggunakan sistem pemerintahan parlementer.

Catatan Kaki

[1]Arend Lijphart, “Sistem Pemerintahan Parlementer dan Presidensial” saduran Ibrahim dkk, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1995), hlm 3-4

[2]Resa Indrawan Samir, “Tinjauan Terhadap Sistem Presidensial Indonesia”,  dalam https://resaindrawansamir.wordpress.com/2012/01/13/tinjauan-terhadap-sistem-pemerintahan-presidensial-indonesia/, diakses tanggal 19 April 2020

[3]Anita Rahmawati, “Makalah Sistem Pemerintahan Presidensial…..,

[4]Ibid.,

[5]WikiPedia Ensiklopedi Bebas, “Sistem Parlementer”, dalam http://id.wikipedia.org/wiki/Sistem_presidensial, diakses tanggal 19 April 2020

[6]Arend Lijphart, “Sistem Pemerintahan Parlementer dan….., hlm. 5-6

[7]Saldi Isra, “Pergeseran Fungsi Legislasi: Menguatnya Model Legislasi Parlementer dalam Sistem Presidensial Indonesia”, (Jakarta: Rajawali Press, 2010), hlm. 38

[8]B. Hestu Cipto Handoyo, “Hukum Tata Negara Indonesia”, (Yogyakarta: Universitas Atma Jaya, 2009), hal. 134

[9]Ibid., hlm. 134-137

[10]Azan Sumarwan dan Dianah, “Sistem Pemerintahan”, dalam http://witantra.wordpress.com/2008/05/30/sistem-pemerintahan, diakses tanggal 19 April 2020.

[11]Ibid.,

[12]B. Hestu Cipto Handoyo, “Hukum Tata Negara…., hal. 132.

[13]Ibid., hlm. 133

[14]Azan Sumarwan dan Dianah, “Sistem Pemerintahan…,

[15]Ibid.,

[16]B. Hestu Cipto Handoyo, “Hukum Tata Negara…., hal. 153

[17]Ibid., hlm. 152

[18]Ema Sundari, Sistem Pemerintahan Indonesia Sebelum Dan Sesudah  Amandemen, dalam http://community.gunadarma.ac.id/blog/view/id_11893/title_sistem-pemerintahan-indonesia-sesudah-dan-sebelum/, diakses tanggal 19 April 2020

[19]Ibid.,

[20]Ibid.,

[21]Ibid.,

[22]Ibid.,

[23]Ibid.,


DAFTAR PUSTAKA

Cipto Handoyo, B. Hestu, “Hukum Tata Negara Indonesia”, Yogyakarta: Universitas Atma Jaya, 2009

Indrawan Samir, Resa, “Tinjauan Terhadap Sistem Presidensial Indonesia”,  dalam https://resaindrawansamir.wordpress.com/2012/01/13/tinjauan-terhadap-sistem-pemerintahan-presidensial-indonesia/, diakses tanggal 19 April 2020

Isra, Saldi, “Pergeseran Fungsi Legislasi: Menguatnya Model Legislasi Parlementer dalam Sistem Presidensial Indonesia”, Jakarta: Rajawali Press, 2010

Lijphart , Arend Lijphart, “Sistem Pemerintahan Parlementer dan Presidensial” Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1995

Rahmawati, Anita, “Sistem Pemerintahan Presidensial”, dalam http://anitaunty.blogspot.com/2013/07/makalah-sistem-pemerintahan-presidensial.html, diakses tanggal 19 April 2020

Sumarwan, Azan dan Dianah, “Sistem Pemerintahan”, dalam http://witantra.wordpress.com/2008/05/30/sistem-pemerintahan, diakses tanggal 19 April 2020.

Sundari, Ema, Sistem Pemerintahan Indonesia Sebelum dan Sesudah  Amandemen, dalam http://community.gunadarma.ac.id/blog/view/id_11893/title_sistem-pemerintahan-indonesia-sesudah-dan-sebelum/, diakses tanggal 19 April 2020

WikiPedia Ensiklopedi Bebas, “Sistem Parlementer”, dalam http://id.wikipedia.org/wiki/Sistem_presidensial, diakses tanggal 19 April 2020.

Peradaban Alternatif dalam Model Ber-Islaman

638 Views

Peradaban Alternatif dalam Model Keber-Islaman
Oleh : Mashur Alhabsyi, S.Pd

Banyaknya persoalan di kalangan umat Islam saat ini, baik dari sosial, ekonomi, dan  politik membuat peradaban Islam tertinggal jauh dari barat, saat ini barat telah maju dari segi tekhnolgi dan Informasi. Kehadiran tekhnologi barat membuat ketertinggalan perkembangan Islam dalam dunia Ilmu pengetahuan.

Di samping itu, menjadi problem besar umat Islam saat ini yaitu model  ber-Islaman ummat Islam. Keber-Islaman ummat Islam yang dipertontonkan secara individu atau sekelompok orang hanya dalam bentuk assesoris. Bahkan Keber-Islaman ini bisa dikatakan Islam assesoris yaitu Islam simbol, misalnya saat ini pandangan keber-Islaman dilihat dari sisi pakaian, jika sesorang telah mengenakkan jubbah, berkopiyah putih dan bersurban serta menggunakan assesoris pakaian sholeh maka itulah kesempurnaan keber-Islaman yang di imaninya.

Sedangkan pada dasarnya,  keber-Islaman seseorang juga bisa dilihat dari berbagai aktivitas yang luas dan beraneka ragam. Yaitu, mulai dari sikap dan perilakunya terkait dengan ekonomi, hubungan-hubungannya dengan sesama, dalam berpolitik, berkeluarga, bertetangga, menyangkut terhadap orang lain yang sedang berkekurangan atau kesulitan, ilmu pengetahuan, pengabdian dan pengorbanannya, dan masih banyak lagi lainnya.

Demikian gambaran keber-Islaman saat ini, sehingga jangan heran tampak keber-Islaman kita dapat dikatakan dengan keber-Islaman yang borjuistik.  Yaitu keberIslaman yang selalu melanggengkan egoisme dan kepentingan  pribadi. Bahkan  menipiskan solidaritas,  menampakkan kebanggaan atas kemewahan materiil di atas ketimpangan sosial.  KeberIslaman kita menjadi seperti ini, karena hegemoni pemahaman terhadap keIslaman hanya sekedar tekstual dalam memahami ayat-ayat Qur’anik tanpa memaknai makna kontekstual dari ayat-ayat suci tersebut sehingga yang terjadi adalah ber-Islam dengan sekedar memahami ajarannya tanpa secara sungguh-sungguh mengaplikasikan kondisi-kondisi konkret nilai kebenaran ilmu pengetahuan di dalalamnya.

Jika keber-Islaman ini yang selalu tampak dalam prespektif umat, maka yakin dan percaya peradaban Islam akan selalu tertinggal dibandingkan dengan peradaban barat. Saat ini kita semua sudah merasakan bagaimana peradaban telah dimonopoli oleh barat sehingga penulis berusaha menawarkan secara singkat  salah satu solusi alternative dari hasil bacaan terkait Peradaban Alternatif dalam Model Keber-Islaman

Adanya judul sederhana ini, berdasarkan hasil fenomenologi lingkungan dan kondisi yang dirasakan oleh penulis, dengan demikian dari judul tersebut akan diuraikan secara singkat terkait Peradaban Alternatif dalam Model Keber-Islaman dengan beberapa uraian yaitu Pertama, paradigma ber-Islam, model ini akan dijelaskan bagaimana kondisi rill pada umumnya cara ber-Islamnya umat saat ini. Kedua, ber-Islam Model Kontekstual, model yang kedua ini sebagai gambaran dan dorongan kepada umat Islam agar mengedepankan Ilmu Pengetahuan dalam Ber-Isam dengan meneladani model Ilmuan Islam terdahulu. Ketiga, mengulas Peradaban Alternatif dalam model keber-Isaman, sub judul yang ketiga ini akan menjadi pembahasan utama tentang Peradaban Al-ternatif dalam model keber-Isaman yang akan memberi penjelasan terkait solusi berislam dalam memajukan peradaban. Sehingga harapan dari ketiga sub judul tersebut menjadi solusi bagi ummat Islam dalam menjalankan nilai-nilai keberislaman.

Paradigma KeberIslaman

Istilah berislam secara bahasa berasal dari kata Islam, yang diambil dari bahasa arab dengan di awali kata fiil madhi, yaitu Aslama-Yuslimu  yang berakar dari kata Salima dan memiliki arti selamat. Sedangkan Al-Islam dalam qaidah Ilmu bahasa arab sebagai kata Masdhar yang memiliki arti kedamaian dan ketentraman.[1] Dengan demikian dapat didefenisikan bahwa berislam yaitu cara menjalankan ajaran Islam dengan kesadaran menuju suatu kedamaian dan ketentraman.

Paradigma keberislaman merupakan suatu keragaman berpikir, bertindak, dalam melaksanakan ajaran-ajarannya. Paradigma Keberislaman juga dapat menjadi barometer seseorang dalam menjalankan kehidupan.  Dewasa ini, berbagai macam paradigma keberislaman yang muncul di kehidupan ummat Islam utamanya di Indonesia, mulai dari cara berpikir yang Fundamentalis, Tradisional, Moderen hingga yang Radikal. Dengan demikian keragaman berpikir itulah yang akan mewarnai dimensi kehidupan ini. Namun, apakah dengan berbagai macam cara berpikir seperti itu umat Islam sudah dapat merealisasikan nilai-nilai keber-Islaman? Dan sudah sejauh manakah praktek keber-Islaman yang sebenarnya?, jawaban dari pertanyaan tersebut, ada di diri masing-masing umat Islam.

Ada sebuah riset yang dilakukan tahun 2010 dan tahun 2014 oleh Scherazade S Rehman dan Hossein Askari dari George Washington Universty dengan judul risetnya  How Islamic are Islamic Countries? Suatu riset yang menjawab tentang seberapa besarkah keber-Islaman umat Islam itu, dan hasilnya sangat mengejutkan ternyata hasil riset itu memposisikan Selandia Baru pada tahun 2010 berada pada posisi pertama dengan di nobatkan sebagai negara paling Islami sedangkan pendudukanya minoritas Islam dan di tahun 2014 Irlandia baru. Sedangkan Indonesia yang mayoritas Muslim berada pada posisi 140 di tahun 2010 dan 130 di tahun 2014, bahkan Arabsaudi yang notabenenya sumber utama agama Islam tidak pernah menduduki sepuluh besar dari 208 negara yang diteliti.[2]

Setuju atau tidaknya dengan penelitian di atas, itulah fakta yang terjadi di lapangan, itulah gambaran serta paradigma mayoritas keberislaman umat saat ini, ajaran-ajaran Islam hanya berada dalam teks-teks suci sedangkan nilai-nilainya belum teraplikasikan dalam kehidupan sehari-hari. Padahal ajaran Islam adalah ajaran yang paling kompleks yang mengatur semua aspek kehidupan. Bahkan salah satu tokoh Islam, yang dikenal dengan hujjatul Islam di zamanya yaitu Imam Al-Gazali telah mencantumkan dalam sebuah bukunya yang berjudul Bidayatul Hidayah, terkait budaya dan paradigma keberislaman, mulai dari bangun hingga tidur kembali bagaimana Islam mengatur para penganutnya. Namun yang terjadi di zaman modern ini tidak sekompleks apa yang ada, saat ini umat Islam memang makin berkembang namun ajarannya belum maksimal terealisasikan.

Muhammad Abduh salah satu tokoh pembaharu Islam dari Mesir, saat berpergian ke Prancis dan bertemu filosof prancis hingga terjadi dialog yang begitu panas. Dalam dialog tersebut Abduh menegaskan bahwa Islam adalah agama unggul, cinta ilmu, pro-kemajuan, dan seterusnya. Dalam menanggapi pemaparan tersebut, tokoh Prancis yang bernama Renan begitu tenang melihat pemaran Abduh tentang Islam, sembari memberikan tanggapan, “Saya tahu persis semua kehebatan Islam melalui Al-Qur’an. Tetapi, tolong tunjukkan kepada saya satu saja komunitas Muslim di dunia yang membuktikan semua ajaran mulia sebagaimana anda gambarkan barusan,” Abduh terdiam. Merenung. Benar, Islam memang penuh ajaran menga­gumkan. Tetapi, Islam bukan hanya komitmen, melainkan kesungguhan. Dalam Islam, tujuan hidup bukan sekadar pernyataan, namun perwu­jud­an. Islam juga mengajarkan bahwa kebaikan tidak cukup diamalkan, tetapi harus pula didakwahkan. Tanpa itu, ajaran Islam akan hampa makna.

Oleh karena itu, sudah saatnya berislam bukan sekedar memahami teks-teks saja melainkan mengamalkan dan mengaplikasikan nilai-nilai yang terkandung dalam teks tersebut. Nabi Muhammad SAW di nobatkan oleh Michel H Hart sebagai 100 Tokoh yang berpengaruh di dunia, pada esensinya bukan banyak menghafal teks-teks Qur’an yang di turunkan kepadanya, melainkan Nabi Muhammad SAW mengamalkan teks-teks itu dalam kehidupan sehari-hari. Sehingga paradigma Keberislaman saat itu di rasakan oleh kaum Musyrikin. Begitu pula para Ilmuan di Abad 11 hingga 14 memahami Islam bukan hanya sekedar teks melainkan mengaplikasikan ajaran-ajarannya.

Ber-Islam Model Kontekstual

Model ber-Islam tidak seharusnya bersifat tekstual melainkan harus memahami dari sisi kontekstualnya. Pembahasan terkait ber-Islam model kontekstual ini akan lebih mengarah pada cara pandang berIslam dengan model pemahaman terhadap al-Qur’an secara kontekstual. Hal ini dikarenakan al-Qur’an  pada esensinya memiliki sumber pengetahuan yang luas. Di dalamnya banyak tersirat nilai-nilai ilmu pengetahuan, jika dikaji atau dipahami makna kontekstualnya maka akan mengembalikan peradaban umat Islam. Seperti halnya peradaban umat Islam di masa 14 abad silam. Menurut Raghib As-Sirjani dalam bukunya Madza Qaddamal Muslimuna Lil’Alam Ishamaatu al-Muslimin fi al-Hadrahah al-Insaniyah (membangan peradaban Islam pada dunia ) yang diterjamahkan oleh Sonif bahwa, “peradaban Islam merupakan kepanjangan dari asas serta nilai Al-Qur’an dan Sunnah, kemudian membukanya kepada seluruh masyarakat di seluruh dunia tanpa membedakan bentuk, jenis atau agama”.[3]

Pandangan tersebut secara gamblang menyatakan bahwa pengaruh nilai-nilai al-Quran dalam dimensi kehidupan sangat baik, sehingga ulama-ulama  pada saat itu  menjadikan al-Quran sebagai sumber pertama dan utama dalam perkembangan Ilmu pengetahuan. Dewasa ini umat Islam sudah seharusnya berpikir kritis dan lebih terbuka dalam memahami nilai Islam, teks-teks al-Qur’an sudah seharusnya dimaknai dan dipahami secara universal. Keterblakangan umat Islam saat ini adalah terlalu kaku dalam memahami teks al-Qur’an sehingga dalam memajukan peradaban umat sangat tertinggal.

Berbeda halnya dengan barat, jika kita melihat para orientalis barat, mereka bukanlah umat Islam tetapi perhatiaanya terhadap kajian al-Quran sangat antusias, misalnya Andrew Rippin, salah satu orientalis barat yang mengkaji asbab-annuzul al-Quran, Prof. Theodore Noldeke yang mengkaji terkait kritik sejarah terhadap teks al-Quran, yang pada esensinya mereka bertujuan ingin membantah kebenaran al-Quran. Seperti yang dicontohkan  oleh Imam Muchlas dalam bukunya pandangan Al-Qur’an terhadap Agama Kristen beliau mengemukakan bagaimana perdebatan diantara orientalis barat sesama orientalis barat terhadap kebenaran teks al-Qur’an misalnya Ignaz Goldziher, Papa H.A Lammens, Theodore Noldeke mengatakan al-Qur’an itu adalah plagiat dari kitab Bybel atau asal dari ajaran pendeta nasrani bahierah atau Waraqoh bin Naufal yang pernah bertemu muka dengan Nabi Muhammad Al-Amien. Muhammad saw telah diajar oleh pendeta Nasrany Bahieroh atau Waroqah. Tetapi menurut Muchlas bahwa tuduhan ini dibantah langsung oleh orientalis barat kembali seperti Monsigneur Seddilio dalam buku sejarah arab, juz 1,p. 59 dan Filosof Inggris Thomas Carlyle dalam buku ‘Pahlawan-Pahlawan”, dan Hendry de Castry dalam buku “Al-Islam” mereka mengemukakan bahwa Muhammad itu tidak tahu tulis baca, tidak berguru kepada siapapun juga selama-lamanya, ini disaksikan oleh orang-orang yang semasa dengan dia”.[4]

Melihat giat dan antusias kajian orientalis barat terhadap kebenaran al-Qur’an dan terjadinya perdebatan tentang al-Qur’an dikalangan mereka menjadi pembelajaran bagi ummat Islam. Lantas bagaimana dengan umat Islam saat ini? sudah sejauhmana al-Qur’an dikaji dan difahami nilai-nilai esensialnya? Maka dengan demikian sebagai stimulasi awal untuk mendorong cara berpikir serta model berIslam secara kontekstual maka akan diberikan deskripsi sederhana terkait kajian   al-Qur’an secara kontekstual melalui ulama terdahulu.

BerIslam di masa keemasan atau kejayaan ummat Islam merupakan cara berislam yang mengedepankan Ilmu pengetahuan. Sebagaiman di masa Bani Abbasiyyah yaitu masa Khalifah Alma’mun (813-833 H) yang mana banyak melahirkan berbagai macam ilmu pengetahuan, baik dari segi ilmu tafsir yang dikenal dengan tokoh utamanya yaitu Al-Farra dan At-Thabari, Ilmu hadits dengan menghasilakn pembukuan hadits ke dalam kitab-kitab yang hingga saat ini masih digunakan yang sangat popular yaitu “Kutub as-Sittah” yang disusun langsung oleh ulama hadits yang terkemuka yaitu Imam Muslim, Imam Bukhari, Imam Turmudzi, Imam Annasa’i, Ibnu Majjah, dan  Abu Daud, Ilmu Fiqih dengan tokoh Imam Hanafi, Imam Malik, Imam Syafii dan Imam Ahamd bin Hambal, serta di bidang tasawuf yaitu Al-Ghazali, Al-Qusyairi, dibidang Filsafat yaitu Al-Kindi, Ibnu Sina, Al-farabi, dan di bidang sain dan tekhnologi yaitu Al-Biruni, Jabir Bin Hayyan dan Arrazi.[5]  Dan masih banyak tokoh sain yang terkemuka saat itu.

Kehadiran para tokoh ilmuan Islam terdahulu, seharusnya menjadi Spirit of Power bagi ummat Islam sekarang, untuk memajukan peradaban. Ulama-ulama terdahulu menjadikan Ilmu pengetahuan sebagai aspek kebutuhan hidup bukan sekedar habis di ruang perdebatan. berIslam ulama-ulam terdahulu, yang tanpa disadari cara berIslam mereka bukan hanya terpaku pada kajiaan tekstual akan tetapi mereka juga mengedepankan nilai-nilai kontekstual di dalamnya. Misalnya di dalam ayat suci al-qura’an  surah al-Ghasyiah  ayat 20 Allah Swt berfirman yang artinya :

“Dan bumi bagaimana ia dihamparkan”?

Secara tekstual kita akan memahmi contoh ayat tersebut bahwa dengan kekuasaan Allah SWT apapun yang Allah SWT ciptakan maka hal tersebut mudah bagi Allah, berbeda halnya dengan para Ilmuan Islam dimasa silam, ketika firman Allah bertanya tentang bagaimana Bumi dihamparkan, maka secara kontekstual mereka merenungi dan memahami ayat tersebut, dengan memaknai apakah maksud dari ayat tersebut , apa makna kontekstual yang tercantum di dalamnya. Serta ilmu pengetahuan apakah yang bisa dikaji di dalamnya. Maka dengan begitu tak heran jika dari hasil perenungan dan pembacaan kontekstual itu lahirlah ilmuan Geografi dan Astronom yaitu al-Biruni.

Tokoh ini dijabarkan model penelitiannya oleh Mujammil Qomar dalam bukunya Pemikiran Islam metodologis.[6] Mujammil menjelaskan bahwa Al-biruni seorang ilmuan Multidispliner abad ke 11 yang dalam pandangannya DE.Smith menyatakan bahwa Al-Biruni adalah matematikawan paling cemerlang pada zamanya. Dia membahas pembagian sudut menjadi tiga bagian yang sama besarnya, dan ia adalah penemu prinsip menggambar di atas permukaan benda yang bulat. Pada akhirnya, al-Biruni berusaha untuk mengukur bumi, dan usaha pengukuran bumi yang dilakukan al-Biruni menunjukkan kuatnya semangat menggali ilmu pengetahuan terutama terkait dengan georgrafi dan astronomi, dengan keadaan alat yang masih sederhana itu, pengukuran bumi itu dilakukan dan hasilnya benar-benar spektakuler. Sehingga al-Biruni berhasil menemukan luas bumi yang hanya selisih sedikit dengan temuan yang dihasilkan melalui alat yang paling canggih.

Kemudian contoh pada surah Alhadid ayat 25 Allah SWT berfirman yang artinya :
Sesungguhnya Kami telah mengutus Rasul-rasul Kami dengan membawa bukti-bukti yang nyata dan telah Kami turunkan bersama mereka Al kitab dan neraca (keadilan) supaya manusia dapat melaksanakan keadilan. dan Kami ciptakan besi yang padanya terdapat kekuatan yang hebat dan berbagai manfaat bagi manusia, (supaya mereka mempergunakan besi itu) dan supaya Allah mengetahui siapa yang menolong (agama)Nya dan rasul-rasul-Nya Padahal Allah tidak dilihatnya. Sesungguhnya Allah Maha kuat lagi Maha Perkasa.

Pada surah berikut, secara kontekstual menggambarkan tentang ilmu kimia yaitu apa makna besi yang Allah maksudkan di ayat tersebut, maka dalam memahami ayat tersebut dengan perenungan dan kajian eksperimennya maka lahirlah seorang ilmuan Islam yaitu Jabir bin Hayyan (721-815) seorang ilmuan kimia yang diakui oleh ilmuan barat  yang penemuan awalnya bernama alkemi dan diganti dengan para ilmuan barat dengan kimia bahkan hingga namanya pun diganti dengan sebutan geber. Menurut ilmuan barat bahwa Jabir bin Hayyan merupakan orang pertama yang melakukan eksperimen dengan mendirikan bengkel dan mempergunakan tungku untuk mengolah mineral-mineral dan mengekstrasi dari mineral-mineral itu zat-zat kimiawi serta mengklasifikasikannya. Dia melakukan Intizhar, Sehingga dia dinobatkan sebagai bapak kimia pertama. Prestasi ini dilakukan dengan perenungan awal, pengamatan dan percobaan. Sehingga berhasil penemukan penelitiannya.[7]

Contoh model kontekstual ber-Islam yang di gambarkan di atas, seharusnya menjadi idola bagi ummat Islam saat ini, model yang mereka lakukan adalah salah satu cara untuk memajukan peradaban Islam, mereka memiliki karakter-karakter utama yang dapat diadaptasikan dibudayakan oleh generasi muslim sekarang ini, terutama kalangan intelektualnya sebagai penyambung lidah intelektualisme. Dengan demikian peradaban umat Islam saat ini dapat mengimbangi barat. bahkan dapat melebihi dari barat.

Peradaban Alternatif dalam Model Keber-Islaman

Kata peradaban pada dasarnya berasal dari kata adab, yang berarti tingkah laku atau perbuatan yang melekat pada setiap manusia. Sedangkan secara terminology  peradaban lebih disandarkan pada kemajuan suatu bangsa ataupun agama. Misalkan peradaban Islam, maka di dalamnya akan membahas tentang perjalanan kemajuan agama Islam baik dari ekonomi, social maupun ilmu pengetahuan.

Pada tulisan ini akan dibahas terkait peradaban alternatif dalam model keberislaman. Perdaban alternatif yang dimaksudakan yaitu akan mengarahkan pada aspek moralitas yang dilandaskan pada spritualitas sehingga menghasilkan nilai-nilai kemanusiaan yang baik terhadap peradaban. Hal ini mencoba diulas atau di gagas oleh penulis karena melihat bahwa sisi ini yang menjadi kekurangan dari peradaban barat. mereka boleh diunggulkan dalam bidang ilmu pengetahuan berupa tekhnologi dan sains tetapi dalam nilai spritualitas agama dalam wujud hakikat kebertuhanan mereka lemah. Sebagaimana dinyatakan oleh Mujammil Qomar, “peradaban barat ini mengalami kegagalan sangat  fatal terkait dengan persoalan spiritual, kejiwaan dan kemanusian. Peradaban ini memupuk arogansi dan menjauhkan manusia dari Tuhannya”.[8]

Mengunggulkan spritualitas agama yang dimaksud yaitu spritualitas agama yang dibangun di atas moralitas. Sehingga dalam mewujudkan suatau peradaban tidak hanya berfokus pada materil, namun, peradaban non materil berupa moralitaslah yang menjadi peradaban utama dalam membangun peradaban alternative model keberislaman umat saat ini, baik itu moralitas dalam bertindak mapun berpikir. Karena tujuan moralitas itu bukan sekedar memajukan prestasi ilmu, melainkan tujuan moralitas itu mewujudkan kedamain terhadap umat manusia.

Sebagaimana disampaikan Abudin Nata dalam bukunya pemikiran pendidikan Islam bahwa “ naluri dasar manusia baik secara individu, maupun social menginginkan sebuah kehidupan yang tertib, aman, damai dan nyaman. Sehingga memungkinkan mereka dapat mengaktualisasikan seluruh potensinya, berupa cipta, rasa, dan karsanya secara optimal, dalam bentuk kebudayaan dan peradaban”.[9] Nabi Muhammad saw mampu membawa kemajuan umat Islam dikarenakan mengedepankan moralitas, serta membawa ajaran Islam dengan prinsip kedamain dan bukan kekerasan, serta mempertontonkan ajaran Islam sebagai ajaran Rahmatan Lil ‘alamin.

Dewasa ini sudah seharusnya mulai mensinergikan antara peradaban moral dengan peradaban materil inilah yang menjadi perwujudkan dari peradaban alternatif dalam berislam. Umat Islam saat ini bukan lagi menjadi penikmat tekhnologi melainkan harus menjadi pemeran tekhnologi yang dilandaskan moralitas. Keberadan lembaga pendidikan Islam yang mengsinergikan antara iman dan takwa (imtak) dan ilmu pengetahuan tekhnologi (Iptek) sudah menjadi loncatan awal bagi generasai saat ini dalam memajukan peradaban.

Dengan demikian, ada beberapa aspek yang harus diperhatikan dalam membangun peradaban alternative dalam dimensi keberagaman. Pertama, menjadikan moralitas sebagai podasi awal peradaban keberagaman, karena bagi umat islam bahwa moralitas di atas segalanya, kemajuan ilmu pengetahuan jika tidak di landaskan moralitas yang kuat, maka tidak akan mewujudkan suatu peradaban yang baik.

Kedua, mengaplikasikan nilai-nilai ajaran Islam. Seperti yang telah diuraikan di atas, bahwa kelemahan umat Islam adalah kurangnya menerapkan nilai-nilai ajarannya, sehingga dalam mewujudkan peradaban alternative dalam keberislaman harus mengedepankan nilai-nilai ajaranya.

Ketiga, kreatif dan Produktif dalam mengembangkan Ilmu pengetahuan. Berpikir kreatif dan produktif menjadi landasan bagi umat islam  dalam mewujudkan model baru terhadap suatu peradaban keberagaman. Kreatifitas yang dimaksud bukan kreatif dalam mengikuti peradaban yang telah ada, namun dapat membuat suatu hal yang baru dan selalu produktif terhadap hal-hal yang baru itu.

Kempat, peradaban yang dilandasi Keimanan dan ketaqwaan kepada Allah SWT. Model keempat inilah pondasi paling dasar dalam membangun suatu peradaban, tidak akan terwujud ke tiga peradaban di atas tanpa menghadirkan nilai-nilai keTuhanan di dalam diri umat manusia. Suatu bangsa boleh maju peradabannya, tapi jika tidak berlandaskan nilai-nilai ketuhanan maka bangsa itu akan hancur. Sebagaimana Allah swt menegaskan dalam surah Al-A’arf ayat 96 yang artinya; menegaskan :
Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, Maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya.

Jelaslah, bahwa tidak ada artinya kemajuan peradaban suatu bangsa tanpa dilandasi keberimanan dan ketaqwaan kepada Allah SWT. Dengan demikian suatu keberagamaan umat Islam dapat diwujudkan jika menerapkan konsep peradaban alternative.

Kesimpulan

Peradaban alternatif dalam keberagaman merupakan suatu konsep keberislaman yang mengedepankan nilai keimanan dan ketaqwaan, menjunjung tinggi nilai-nilai moralitas dan selalu memberikan kontribusi pemikiran kreatif dan produktif dalam bertindak serta mengaplikasikan dalam kehidupan nilai-nilai dan ajaran islam, sehingga peradaban ummat Islam dapat terwujudkan. Sebab, saat ini untuk mewujudkan peradaban harus dilandasi keimanan dan ketaqwaan serta moralitas yang kuat. Bangsa ini akan maju jika dikedepankan moralitas, begitu perkataan orang bijak. Jika moralitas dibiarkan dan tidak dibangun makan akan menghancurkan suatu perdaban.

Daftar Bacaan

Ahmad Warson Munawwir, 1997, Al-Munawwir Kamus Arab Indonesia, Pustaka Progressif, Surabaya.
M Husnaini, 2020, Hidup Bahagia dengan Energi Positif, Solokuro, Lamongan.
Raghib As-Sirjani, 2009,  Madza Qaddamal Muslimuna Lil’Alam Ishamaatu al-Muslimin fi al-Hadrahah al-Insaniyah, Mu’asasah Iqra, Penerjamah, Sonif, 2011. Sumbangan Peradaban Islam pada Dunia, Pustaka Al-Kautsar.
Imam Muchlas, 1982, Pandangan Al-Qur’an terhadap Agama Kristen, Al-Ihsan, Surabaya.
Zakki Fuad, 2016, Sejarah Peradaban Islam (Paradigma Teks, Reflektif dan Filosofis), CV. Indo Pramaha, Surabaya.
Mujamil Qomar, 2015, Pemikiran Islam Metodologis, Kalimedia, Yogyakarta.
Abudin Nata, 2012, Pemikiran Pendidikan Islam dan Barat, Raja Grafindo, Jakarta.

Catatan Kaki

[1] Ahmad Warson Munawwir, 1997, Al-Munawwir Kamus Arab Indonesia, Pustaka Progressif, Surabaya, hal. 654 – 655.
[2] Di sadur dari Artikel M Husnaini, 2020, Penulis Buku “Hidup Bahagia dengan Energi Positif” Tinggal di Takerharjo, Solokuro, Lamongan.
[3] Raghib As-Sirjani, 2009,  Madza Qaddamal Muslimuna Lil’Alam Ishamaatu al-Muslimin fi al-Hadrahah al-Insaniyah, Penerbit ; Mu’asasah Iqra, Penerjamah, Sonif, 2011. Sumbangan Peradaban Islam pada Dunia, Pustaka Al-Kautsar, hal.17.
[4] Imam Muchlas, 1982,  Pandangan Al-Qur’an terhadap Agama Kristen, Al-Ihsan, Surabaya, hal.9.
[5] Zakki Fuad, 2016, Sejarah Peradaban Islam (Paradigma Teks, Reflektif dan Filosofis), CV. Indo Pramaha, Surabaya, hlm. 115-122.
[6] Mujamil Qomar, 2015, Pemikiran Islam Metodologis, Kalimedia, Yogyakarta, hal 100.
[7] Mujamil Qomar, ibid, hal 99.
[8]Mujammil Qomar, ibid, hal 104.
[9] Abudin Nata, 2012, Pemikiran Pendidikan Islam dan Barat, Raja Grafindo, Jakarta, hal 205.

Pragmatis dan Idealis Gerakan Mahasiswa

1.675 Views

Pragmatis dan Idealis Gerakan Mahasiswa[1]
Oleh : Ruslan Husen, SH, MH.[2]

 

Kaum muda dengan dunia dan sepak terjangnya dalam konteks perjuangan dan pergerakan di Indonesia, menggiring bayangan kita tidak terlepas dengan posisi dan gerakan mahasiswa sebagai motor penggerak pergerakan. Demikian pula terhadap keterpurukan sosial akibat kebijakan pemerintah atau kerusakan lingkungan alam, mahasiswa berani tampil dan ambil bagian meneriakkan protes atas kebijakan yang tidak berpihak pada kepentingan rakyat.

Namun, kini seolah gerakan mahasiswa kehilangan taring dan kewibawaan. Gerakan mahasiswa mengalami krisis dan luka. Semakin lantang teriakan dan tuntutan dilontarkan mahasiswa, seolah-olah makin menjerumuskan dirinya pada defenisi paradoks. Apa yang diteriakkan dan dituntut sering kali berseberangan dengan yang telah dilakukan. Akibatnya, tuntutan dan advokasi yang dilakukan mempunyai daya tawar minimalis dan terkadang dipandang sebelah mata dari pihak pengambil kebijakan.

Logika dan opini yang berkembang tersebut, membawa pada pemikiran untuk membangun defenisi baru sebagai rumusan memulai perjuangan dan pergerakan yang lebih baik dan berkualitas. Walau telah banyak dibahas rumusan ulang gerakan dan perjuangan mahasiswa, tetap bayang heroisme masa lalu dari gerakan mahasiswa tidak pernah hilang. Apalagi, memakai diksi berjuang atas nama rakyat namun ternyata ada kepentingan pragmatis, baik kepentingan pribadi atau golongan yang akhirnya merusak kemurnian perjuangan.

Dengan demikian, yang terjadi adalah beban sejarah pergerakan selanjutnya, sebab sejarah tidak bisa dilupakan serta-merta. Sehingga memungkinkan merusak ritme dan pola gerakan ke depannya. Dalam artian mengambil hikmah dan pelajaran dari sejarah untuk rumusan gerakan dan perjuangan yang lebih baik dan sistematis.

Untuk itu, tulisan ini mencoba membangun definisi baru yang koheren agar bayang-bayang heroisme tidak terus menghantui dan membebani perjuangan dan pergerakan. Sebab kedudukan mahasiswa dengan tipe idealis dan paragmatis bukan merupakan dikotomi baku, yang saling bertentangan dan menjatuhkan. Hal mendasar, gerakan mahasiswa di tengah garis pemisah idealis dan paragmatis yang terpolalarisasi dalam bentuk baku, seolah-olah tidak bisa bersatu dalam suatu payung perjuangan bersama.

Tipe Gerakan Mahasiswa

Definisi yang dimunculkan, tipe idealis sebagai sebuah sifat untuk melakukan perbaikan dan perubahan atas ketidak-adilan dengan berbagai macam pelanggaran norma dalam konteks sosial kultural masyarakat. Sedangkan paragmatis adalah sifat sebaliknya yang tidak mengkritisi sama sekali realitas kehidupan sosial masyarakat.

Kemudian tipe idealis sering digambarkan pada posisi yang sedikit kiri dan tipe paragmatisme pada sisi yang lebih kanan. Walaupun kaku, namun terminologi tersebut sering kali digunakan dan diketemukan dalam realitas dunia kampus pergerakan mahasiswa. Pendefinisian seperti itu akan menghasilkan definisi minimalis. Sebab ada juga cara pandang lain, dua tipe itu sering kali tidak bisa dipisahkan dan sering komplementer.

Klaim dikotomi minimal akan manjatuhkan pada klaim-klaim yang tidak sehat. Misalnya mahasiswa tipe idealis merupakan mahasiswa yang berdemo, orasi, dan berteriak lantang menentang kapitalisme dan menentang negara atau militerisme sekalipun. Walaupun terkadang teriakan tersebut sering berbalik arah dan mengenai dirinya saat Ia memperoleh kedudukan dan bekerja di instansi pemerintahan. Sebailnya, mahasiswa paragmatis merupakan mahasiswa yang mempriorotaskan kegiatan studi (akademisi) semata, menjadi kutu buku dan mengikuti seksama setiap perkuliahan dan kegiatan akademik.

Menggunakan terminolagi tersebut, terlihat bercorak kontras. Tapi, sekali lagi bukankah hal itu sangat minimalis? Sebab, dua kelompok tipe mahasiswa itu sama-sama belajar dan berjuang dengan cara sendiri-sendiri, terlepas dari keluaran yang dihasilkan. Semua pada tataran tertentu dapat berperan melakukan perbaikan tatanan dan keterpurukan sosial dengan jiwa dan panggilan kemanusiaan masing-masing.

Klaim kedua yang biasa dimunculkan adalah klaim kritis dan advokasi. Mahasiswa yang sering berdemo (mahasiswa idealis) mempunyai tingkat kritis dan advokasi yang lebih tinggi dibandingkan mahasiswa yang berorientasi pada kegiatan studi (pragmatis).

Apakah generalisasi tersebut sepenuhnya benar? Mahasiswa yang mengaku dirinya idealis terkadang ditemukan merupakan mahasiswa yang berwajah ganda, tidak konsisten dengan apa yang dilontarkan. Hal ini sebenarnya lahir dari adanya kepentingan pragmatis. Sementara, tidak semua mahasiswa yang berorientasi pada studi (akademik) semata dinyatakan tidak kritis dan peka pada permasalahan sosial. Sebab, dia mungkin saja mengkritisi dengan medium dan cara berbeda. Tetapi tetap, pada tujuan yang sama perbaikan tatanan sosial masyarakat.

Jadi, alangkah baiknya tidak saling menyalahkan. Berusaha mencari titik temu, ketimbang memperbesar titik pembeda. Fokus pada tujuan bersama, hingga mampu menggerakkan dan empati diri untuk terlibat dengan kebiasaan dan pilihan jalan masing-masing. Hingga nanti dipertemukan pada tujuan yang sama, yakni keadilan dan kesejahteraan sosial.

Penutup

Gambaran mahasiswa idealis dan pragmatis ternyata memberi keterangan dikotomi yang berpotensi merusak ritme gerakan dan perjuangan. Tidak semua mahasiswa harus turun ke jalan, orasi dan berteriak menentang kapitalisme, militerisme atau kebijakan ketidakadilan negara. Tetapi terpenting, konsisten mencapai tujuan keadilan dan kesejahteraan sosial. Konsisten berjuang bersama menuju arah perbaikan, dengan jujur dan beretika dengan cara perjuangan yang dipilih. Tanpa harus menyalahkan dan mematikan potensi diri yang tidak sepaham dengan jalan perjuangan pilihan.

Alangkah baiknya saling kerja sama mencapai tujuan keadilan sosial masyarakat. Tanpa harus terlibat dalam suatu kubangan persaingan dan kepentingan pragmatis yang pada akhirnya merusak ritme dan corak gerakan perjuangan. Optimis bahwa semua pilihan gerakan mahasiswa berfungsi dalam membangun tatanan masyarakat yang lebih baik, tanpa harus menyalahkan pilihan gerakan idealis atau pragmatis.


[1] Disampaikan dalam Kegiatan Pengkaderan VI Kesatuan Sukarelawan Kemanusiaan Universitas Tadulako (KSRK-Untad), di Kawatuna Palu pada Sabtu, (21/11/2020).
[2] Penulis merupakan Pendiri KSRK Untad, kini berpraktik sebagai Advokat dan Konsultan Hukum di Palu.

Panel Narasumber Ruslan Husen, Syamsidi Markus, dan Ilyas bersama Moderator dan Pengurus saat Diklatsar Ke-VI KSRK-Untad, di Kawatuna Palu, Sabtu, (21/11/2020)

Penegakan Hukum di Indonesia

1.816 Views

Penegakan Hukum di Indonesia[1]
Oleh : Ruslan Husen, SH, MH.[2]

Pendahuluan

Hukum bertujuan mewujudkan keadilan bagi masyarakat, mengatur tata tertib kehidupan masyarakat secara damai dan adil, dan menjamin kepastian hukum atas kasus yang dihadapi setiap subjek hukum. Namun dalam tataran praktik, hukum masih dihadapkan pada masalah berkelanjutan, yang gilirannya turut memperburuk citra penegakan hukum.

Akhirnya, penegakan hukum belum bisa mewujudkan tujuan hukum. Malah hukum menjadi alat politik penguasa untuk kriminalisasi para pengkritik (oposisi) pemerintahan. Demikian pula, struktur hukum melalui aparat penegak hukum lebih melindungi pengusaha (pemodal) dalam pelanggaran eksploitasi sumber daya alam, ketimbang menjaga masyarakat setempat dari dampak kerusakan lingkungan.

Secara teoritik, penegakan hukum merupakan proses tegak dan berfungsinya norma hukum yang secara nyata sebagai pedoman perilaku hubungan hukum kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Lawrence Meir Friedman[3] mengungkapkan bahwa penegakan hukum ditentukan dan dipengaruhi unsur-unsur dalam sistem hukum (elements of legal system) yakni: struktur hukum meliputi institusi dan aparat penegak hukum; substansi hukum meliputi aturan, norma dan perilaku nyata manusia; budaya hukum meliputi kepercayaan, nilai, pemikiran serta harapannya.

Selanjutnya Soerjono Soekanto mengembangkan teori tersebut dengan menyebutkan masalah pokok penegakan hukum terletak pada faktor-faktor yang mempengaruhi, yakni hukumnya sendiri, penegak hukum, sarana dan fasilitas, masyarakat dan kebudayaan. Kelima faktor tersebut saling berkaitan erat sebagai kesatuan sistem, dan merupakan esensi dari penegakan hukum yang juga merupakan tolok ukur dari pada efektivitas penegakan hukum.[4]

Mengacu pada teori sistem hukum tersebut, menjadikan penegakan hukum di Indonesia harus mendapatkan dukungan sumber daya manusia profesional dan berintegritas, regulasi yang progresif, peran aktif masyarakat mengawal proses, dan sarana-prasarana hukum yang memadai. Dukungan dan ketersediaan dimaksud menjadi satu-kesatuan kebutuhan, jika ada yang belum terpenuhi maksimal, maka mempengaruhi produktifitas hasil dari sistem hukum.

Masalah Penegakan Hukum

Praktik penegakan hukum masih sering dihadapkan masalah yang turut memberi citra buruk upaya menggapai keadilan. Keadilan sebagai tujuan hukum, seolah ideal pada tataran konsep dan normatif. Namun, dalam praktik menjadi sesuatu yang langka. Seorang penegak hukum bisa menjelaskan tujuan hukum mencapai keadilan, tapi sikap dan perilaku justru melanggar hukum dan menginjak-injak nilai keadilan.

Identifikasi masalah penegakan hukum berikut, dapat menjadi tanda peringatan para penegak hukum agar kembali ke khittah makhluk Tuhan yang dipercayakan menyampaikan dan menerapkan nilai keadilan dalam berbagai aspek kehidupannya. Tidak terjerumus berkelanjutan dalam kubangan haram pelaku pelanggaran hukum, yang sejatinya menegakkan hukum.

Pertama, mafia peradilan. Mafia peradilan merupakan perbuatan konspiratif yang dilakukan secara terstruktur, sistematis, dan kolektif oleh aktor tertentu terutama oknum aparat penegak hukum dan pencari keadilan. Tujuannya mendapatkan keuntungan pragmatis melalui penyalahgunaan wewenang, dan perbuatan melawan hukum yang mempengaruhi proses penegakan hukum. Dampaknya menjadi rusaknya sistem hukum dan tercabik-cabiknya nilai dan rasa keadilan.

Praktik mafia peradilan lekat dengan diksi penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power) oleh aparat penegak hukum. Semakin menguatnya penyalahgunaan kekuasaan, makin mengarah pada tumbuh suburnya mafia peradilan. Akibatnya, peradilan menjadi tidak bernilai menindak tersangka atau terdakwa pelaku kejahatan atau pelanggaran. Rasa dan nilai keadilan masyarakat dipermainkan. Pelanggaran hukum yang terus-menerus memberi indikasi, negara gagal melaksanakan kewajibannya untuk melindungi, menghormati  dan memenuhi hak-hak warga negara.

Kedua, keterbatasan regulasi berupa kekosongan hukum, norma mulitafsir, norma kabur, dan norma tidak lengkap. Pembentuk undang-undang juga manusia, mereka sama halnya dengan manusia biasa yang melekat sifat khilaf, kekurangan dan keterbatasan. Sejak semula sudah diprediksikan, setiap undang-undang yang dihasilkan pembentuk undang-undang pasti mengandung berbagai keterbatasan. Ada celah hukum yang tidak tertutup, hingga tiba penerapan operasionalnya baru diketahui kekurangan dan kelemahan.

Padahal hukum tidak mungkin tegak jika belum mencerminkan perasaan atau nilai-nilai keadilan yang hidup dalam masyarakatnya. Hukum tidak mungkin menjamin keadilan jika materi muatannya sebagian besar merupakan warisan masa lalu yang tidak sesuai dengan tuntutan zaman. Artinya, persoalan bukan hanya berkenaan dengan penegakan hukum tetapi pembuatan hukum.

Ketiga, sikap apatis masyarakat pengawal proses penegakan hukum. Masyarakat menjadi apatis dan tidak ingin terlibat dalam proses penegakan hukum terutama yang menyangkut kepentingan dan hajat orang banyak. Mereka memilih melakukan hal-hal secara langsung bersentuhan dengan kepentingan pragmatisnya. Akhirnya, proses penegakan hukum dengan berbagai masalah terlaksana tanpa kontrol masyarakat dan kekuatan publik.

Praktik mafia peradilan semakin leluasa lewat konspirasi penguasa, pengusaha, pencari keadilan dengan aparat penegak hukum tanpa kontrol pengawasan dari masyarakat. Potensi kekuatan yang ada di masyarakat seperti lembaga swadaya masyarakat dan perguruan tinggi seolah tidak memiliki taji kekuatan, tunduk dan bercerai-berai dengan urusan pragmatis masing-masing.

Keempat, keterbatasan sarana dan prasarana hukum. Hukum senantiasa dinamis mengikuti perkembangan dan perubahan zaman. Demikian pula perangkat sarana dan prasarana hukum, sebagai pendukung penindakan pelanggaran atas nama hukum harus tersedia secara memadai. Masalahnya, proses penegakan hukum masih dipenuhi keterbatasan akses sarana dan prasarana yang dimiliki oleh negara. Sehingga pelanggaran dan kejahatan terutama yang terkait dengan informasi dan teknologi terus berkembang cepat, tanpa diiringi inovasi dan progresif perangkat struktur penegak hukum.

Penegakan Hukum Progresif

Norma atau perangkat hukum bertujuan mempertahankan dan memantapkan peristiwa tertentu pada suatu tempat dan waktu lewat kodifikasi hukum. Sementara, masyarakat dan nilai kesadaran terus bergerak mengalami perubahan, tidak pernah berhenti, terus berlangsung dari waktu ke waktu. Akibatnya, hukum yang terkodifikasi tertinggal waktu dan masa. Hukum menjadi kalimat mati akibat arus perubahan yang semakin dinamis.

Sebagai alternatif sumber hukum yang memiliki legalitas memaksa, perubahan nilai mesti tunduk kepada kemapanan kodifikasi hukum walaupun tidak sesuai lagi dengan kebutuhan dan kesadaran masyarakat. Akibatnya, penerapan hukum melukai rasa keadilan dan kesadaran masyarakat.

Ternyata atas perkembangan zaman dan masyarakat, undang-undang belum mampu mengiringi kebutuhan dan kesadaran masyarakat yang dinamis. Kehidupan sosial senantiasa tumbuh dan berkembang mengakibatkan hukum yang terkodifikasi dalam bentuk undang-undang tidak mampu mengakomodir perubahan. Nilai-nilai hukum yang hidup di masyarakat dihormati dan dihargai secara kolektif, namun selama belum masuk kodifikasi hukum, dianggap tidak punya daya normatif yang dapat dipaksakan pelaksanannya.

Selain masalah kekosongan hukum dalam hukum positif, masalah lain yang sering dialami seperti terdapat norma multitafsir, norma kabur, dan norma tidak lengkap. Bahkan menjadi masalah berulang dalam proses penegakan hukum. Sementara, menyandarkan peristiwa hukum yang membutuhkan penyelesaian dan kepastian terhadap masalah regulasi tersebut, akan berdampak tercerabutnya keadilan dan nilai kesadaran masyarakat. Ada peristiwa hukum berupa pelanggaran atau kejahatan namun tidak ada hukum positif yang mengatur, hingga perbuatan tidak dapat diadili.

Hukum progresif berusaha menjawab masalah regulasi tadi. Mengajak seluruh penegak hukum menafsirkan dan menemukan hukum berdasarkan nilai-nilai keadilan yang tumbuh dan berkembang di tengah masyarakat. Bernardus Maria Taverne pernah menyebutkan “Berikan aku hakim, jaksa, polisi dan advokat yang baik, niscaya aku akan berantas kejahatan meski tanpa undang-undang sekalipun”. Artinya penegakan hukum bukan hanya ditunjang undang-undang, melainkan ditentukan oleh aparat penegak hukumnya.

Kata lain, hukum progresif bertujuan menggunakan hukum bagi kepentingan rakyat di atas kepentingan individu. Pandangan hukum progresif, hukum dilihat sebagai instrumen melayani kepentingan rakyat. Apabila rakyat menghadapi persoalan hukum yang berdimensi struktural, bukan rakyat yang dipersalahkan, melainkan perlu pengkajian asas, doktrin atau peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Para penegak hukum baik hakim, jaksa, polisi, dan advokat untuk berani mengambil langkah, tindakan dan pemikiran revolusioner yang abnormal dari keadaan hukum yang tidak normal ini. Berani untuk melahirkan pemikiran dan langkah hukum yang ditujukan untuk kebahagiaan manusia. Meninggalkan hukum kolonial yang legalistik, positivistik, formalistik dan dogmatik, hingga menjadi penegak hukum yang progresif memihak kepada kepentingan rakyat.

Langkah hukum progresif berusaha mencari cara guna mematahkan kekuatan positivisme hukum yang menganggap hukum hanya dalam bentuk peraturan tertulis, selain itu bukan hukum. Ini adalah paradigma aksi, bukan peraturan. Dengan demikian, peraturan tertulis dan sistem bukan satu-satunya yang menentukan tujuan hukum. Penegak hukum masih bisa menolong keadaan buruk yang ditimbulkan oleh sistem yang ada, dengan langkah penemuan hukum yang progresif membahagiakan manusia.

Penutup

Meski Indonesia terkenal sebagai negara dengan sistem hukum yang buruk, tetapi masih ada harapan melalui kekuatan progresif. Mereka ada di kejaksaan, pengadilan, kepolisian, advokat, akademisi, organisasi masyarakat, birokrasi, politisi, dan banyak lagi. Kekuatan mereka terbangun melalui jaringan informal, dari diskusi tukar pengalaman, melalui pembacaan media yang progresif.

Gerakan hukum progresif merupakan hasil refleksi dari realitas keterpurukan hukum saat ini, di mana diperlukan keberanian dan komitmen melakukan pembaharuan hukum menjadi responsif, termasuk meningkatkan kualitas para penegakan hukum. Melakukan perbaikan di berbagai sektor hukum, baik itu dari segi aparatur penegak hukum, segi kurikulum hukum, maupun kesadaran dan peran aktif masyarakat dalam penegakan hukum.

Catatan Kaki

[1] Disampaikan dalam Sosialisasi Penegakan Hukum, Jati Centre di Palu, pada Jumat (11/03/2022).
[2] Penulis merupakan Peneliti dan Konsultan Hukum di Palu.
[3] Lawrence Friedmann dalam Achmad Ali, 2005, Keterpurukan Hukum di Indonesia; Penyebab dan Solusi, Ghalia Indonesia, Bogor, hlm 1.
[4] Soerjono Soekanto, 2011, Faktor-Faktor yang Memengaruhi Penegakan Hukum, Raja Grafindo Persada, Jakarta, hlm 5.

Diplomacy, Humanitarian Action and Development

841 Views

Oleh : Noorwahid Sofyan, MA
(Akademisi IAIN Palu)

Secara sederhana aksi kemanusiaan dimaknai sebagai kegiatan yang bertujuan mengurangi penderitaan sesama manusia -termasuk membantu, menolong, mengadvokasi- yang disebabkan oleh bencana alam atau konflik dan peperangan. Aksi ini berlandaskan pada prinsip kemanusiaan (humanity), independensi, kesukarelawanan, imparsialitas dan netralitas juga didasarkan pada rasa empati, keikhlasan serta solidaritas sebagai mahluk Tuhan yang menghuni muka bumi.

Namun dalam kenyataannya, aksi kemanusiaan tidak cukup hanya dengan niat tulus tanpa pamrih untuk membantu mereka yang membutuhkan (Anderson, 1999). Diperlukan lebih dari sekedar keikhlasan agar bantuan yang diberikan sebagai bagian dari respon kemanusiaan itu bisa tepat sasaran. Dalam beberapa kasus, ditemukan ada indikasi bahwa bantuan yang diberikan oleh para donor melalui organisasi kemanusiaan tidak menyentuh basic need mereka yang dibantu. Kalau pun kebutuhan mendasar itu dapat dipenuhi, tidak bertahan begitu lama alias hanya bersifat temporer atau tidak berkelanjutan. Sebatas memberi “ikan” bukan “kail”.

Tentu tidak mudah bagi aksi kemanusiaan untuk memberikan sumbangsih yang berkelanjutan kepada para korban. Diperlukan pendekatan yang sistematis dan komprehensif untuk melakukan itu. Dalam tulisan Nell Gabiam yang mengutip Ferguson mengungkapkan “development relies on two meanings that are often conflated: on the one hand, development means a process of transition “toward a modern, capitalist, industrial economy modernization, capitalist development, the development of the forces of production, etc. On the other hand, it can be understood as any form of intervention aiming to improve quality of life and alleviate poverty”.

Hal ini menjadi perhatian Koddenbrock dan Büttner yang melihat ada peluang untuk menghubungkan dan mengsinergikan aksi kemanusiaan yang diidentikkan  dengan  independensi, netralitas  dan  bebas  dari  politik  dengan developmentaslism sebagai sebuah metode perubahan sosial yang menyeluruh untuk menghantarkan pada kehidupan yang lebih baik secara ekonomi, sosial dan politik.

Developmentalism  memang  menjadi kemestian dalam sudut  pandang  ideal kemanusiaan bahkan dalam salah satu kesepakatan global, kata development telah dituangkan dalam Sidang Umum PBB pada tahun 1986 dalam Declaration of the Right to Development (Deklarasi tentang Hak terhadap Pembangunan). Dan PBB mendefenisikannya sebagai “a comprehensive economic, social, cultural and political process, which aims at the constant

improvement of the wellbeing of the entire population and of all individuals … in which all human   rights  and   fundamental   freedoms   can   be   fully   realized”.   Dalam   pada   itu pembangunan (development) menjadi sarana perbaikan kesejahteraan seluruh penduduk dan individu yang memungkinkan terwujudnya semua hak dan kemerdekaan dasar manusia yang dipandang sejalan dengan tujuan dasar dalam kegiatan kemanusiaan di seluruh dunia.

Lantas bagaimana mengsinergikannya? Bukankah usaha-usaha pembangunan adalah langkah politik sedangkan aksi humanitarian adalah kegiatan yang seringkali sensitif dengan hal yang berbau politis. Koddenbrock dan Büttner mencoba menjawab keraguan itu dengan nada optimis bahwa kemungkinan itu terbuka lebar apabila dibangun pondasi konseptual, institusional dan operasional  yang  dapat  mengsinergikan relief,  rehabilitasi dan pembangunan.

Pada level konseptual, pembangunan dan kegiatan kemanusiaan harus dipahami sebagai kategori yang tidak selamanya bertentangan dan tidak mungkin disatukan. Pada level institusional harus ada jaminan pertanggungjawaban agar tidak terjadi penyalahgunaan wewenang yang dapat menghancurkan semangat dan prinsip utama kemanusiaan dalam upaya pembangunan sedangkan pada tingkatan operasional adalah kepastian berjalannya program jangka panjang yang dilakukan dengan melibatkan pihak- pihak yang mendukung pembangunan (Koddenbrock dan Büttner).

Dilihat dari sudut pandang diplomasi kemanusiaan, aktivitas kemanusiaan seperti yang digambarkan  di atas  bukanlah  hal  yang  sederhana  dan  aktor  kemanusiaan  yang  bekerja sebagai relawan maupun profesional dalam bidang kemanusiaan merupakan diplomat yang tidak terlepas dari kehidupan diplomasi. Tantangan yang dihadapi adalah bagaimana menghadapi,  membangun dan  memanfaatkan ragam aktor  yang  ada  di lapangan.  Dalam multitrack diplomacy  secara jelas ditekankan arti pentingnya pelibatan setiap elemen -baik pemerintah,  profesional,  bisnis,  private  citizen,  penelitian, training  dan  edukasi,  aktivis, agama,  funding,  dan  media dalam  membantu  dan  memperlancar serta  mensukseskan aktivitas kemanusiaan (McDonald and Diamond, 1996).

Untuk itu dibutuhkan kemampuan negosiasi dan diplomasi yang handal menentukan kesuksesan aktivitas kemanusiaan yang dilakukan. Seperti yang diutarakan Larry Minear bahwa setiap aktor kemanusiaan harus memahami fungsi, trik, dan keahlian diplomasi. “Those functions include negotiation of humanitarian access to vulnerable populations, promoting respect for international law and norms, combating a culture in which violations occur with impunity, supporting indigenous counterpart individuals and institutions, and engaging in advocacy with political authorities at the local, national and international levels” (Minear, 2000).

Jika aktivitas kemanusiaan dan pembangunan (development) ini diterima sebagai sesuatu yang dapat bersinergi maka menjadi keharusan bagi aktor kemanusiaan untuk memahami sekaligus mempraktekkan aktivitas diplomasi dalam menjalankannya.

**

Bahan Bacaan

Anderson, Mary B, Do No Harm: How Aid Can Support Peace-or War, London: Lyenne Rienner Publisher Inc. 1999.
Diamond, Dr. Louise and Ambassador John McDonald, Multitrack Diplomacy: A System Approach to Peace, West Harford USA: Kumarian Press. 1996.
Gabiam, Nell, When “Humanitarianism” Becomes “Development”: The Politics of International Aid in Syria’s Palestinian Refugee Camps, American Anthropologist, vol. 114,  American Anthropological Association,                , 2012.
Koddenbrock, Kai and Martin Büttner, The Will to Bridge? European Commission and U.S. Approaches to Linking Relief, Rehabilitation and Development, Chapter 8,
                                    ,                  :                  . Smith, Hazel, Humanitarian Diplomacy : Practitioners and Their Craft, New York : United Nations University Press. 2007.