Ketika Ateis Berkurban untuk Partikel Tuhan (Higgs Boson)

944 Views

  

Oleh : Saeful Ihsan (Penulis Buku dan Novel)

Bagi orang muslim, mendekatkan diri kepada Allah di hari raya Haji atau Idul Adha itu mudah. Cukup patungan tujuh orang membeli seekor sapi lalu menyembelihnya. Dagingnya dibagikan ke fakir dan miskin. Namanya ibadah kurban. Suatu ibadah yang diilustrasikan dalam kisah penyembelihan nabi Ibrahim terhadap anaknya, Ismail (versi Alkitab menyebut Ishak, putera Ibrahim yang lain), dan kemudian sembelihan itu diganti dengan seekor kibas.

Mengapa saya katakan mudah? Karena orang Islam sudah menemukan Tuhan dan meyakininya. Keyakinan itu mesti diperkuat dengan melaksanakan segala perintah yang terkandung di dalam kitab suci Alquran, dan hadits nabi Muhammad saw. Salah satunya dengan berkurban. Kurban sendiri merupakan peng-Indonesia-an dari “Qurban”, asal katanya Qaraba. Bentuk lainnya adalah (Q)karib yaitu dekat. Kurban berarti mengorbankan sesuatu untuk mendekatkan diri kepada Allah. Dalam konteks hari raya Idul Adha, kurban adalah pengorbanan yang disimbolkan dengan menyembelih sapi, kibas, kambing, dan domba.

Kesulitannya hanya terletak pada yang belum mampu secara ekonomi saja. Tetapi bagi yang masih memiliki kelebihan uang, patungan tujuh orang untuk satu ekor sapi itu terhitung mudah.

Lain halnya dengan mereka yang ateis. Jangankan bisa mendekatkan diri, menemukan Tuhan saja belum. Penelitian mutakhir pencarian jejak Tuhan di alam semesta adalah dikembangkannya Higgs Mechanism pada tahun 1960-an dan ditemukannya Higgs Boson dengan massa baru pada tahun 2012 oleh Peter W. Higgs–peraih nobel fisika tahun 2013–bersama kawan-kawannya yang tergabung dalam Tim eksperimen ATLAS dan CMS. Higgs Boson juga disebut partikel Tuhan, atau anti-matter (anti materi).

Partikel Tuhan? Mungkin ini agak menyinggung kita, golongan yang ber-Tuhan. Tetapi itulah keyakinan mereka, penamaan itu berangkat dari sana. Ateis punya definisi sendiri tentang Tuhan, berbeda dengan kaum teis. Jangankan itu, definisi Tuhan di kalangan teis sendiri, antara satu dan lainnya berbeda-beda.

Walau agaknya terlalu percaya diri tidak meyakini adanya Tuhan, kaum ateis itu diam-diam penasaran dengan Tuhannya orang-orang beragama. Upaya mereka untuk membuktikan ketiadaan Tuhan saja–dan itu sangat kentara disengaja–sudah membuktikan bahwa membicarakan Tuhan itu penting.

Para ateis itu berlindung di bawah kedigdayaan sains, apalagi di Abad ke 21 ini. Mereka lebih percaya pada sains tinimbang agama. Sains, taruhlah ala Popperian yang katanya lebih baik mengedepankan kebenaran ketimbang menjanjikan kepastian, digunakan untuk menantang kebenaran keyakinan kaum teis.

Stephen Hawkings mengatakan bahwa “filsafat telah mati–apalagi teologi.” Lalu kemudian membangga-banggakan sains yang memberikan jawaban-jawaban yang dibutuhkan di masa kini ketimbang filsafat dan agama, barang yang sudah ketinggalan jaman itu. Lalu berdasarkan argumentasi saintifik tentang alam semesta, terutama penemuan lubang hitam (black hole) berupaya membutikan bahwa Tuhan tidak ada.

Richard Dawkins adalah ateis selanjutnya yang begitu mati-matian menyajikan ketiadaan Tuhan lewat “God Delusion”. Kaum agamawan di matanya adalah orang-orang pongah dan suka bikin ribut lantaran keyakinannya ditentang.

Saya melihat, seolah-olah orang-orang ateis itu ingin berkata begini: “Cobalah yang rasional sedikit, buktikan kalau Tuhan itu ada. Coba dong patahkan argumentasi sains.” Lalu, setelah itu apakah setelah tantangan mereka dipenuhi dan mereka kalah akan berkata, “Itu baru namanya jawaban, kalau begitu saya percaya?”

Agus Mustofa, penulis buku-buku serial “Tasawuf Modern”, yang juga lulusan Teknik Nuklir itu menjawab: “Tidak!” percaya atau tidak percaya adanya Tuhan itu hanya berdasarkan suka atau tidak suka. Pembuktian hanyalah sebuah alasan untuk memperkuat kesukaan atau ketidaksukaan. Telah banyak argumentasi yang disampaikan, tetap saja berupaya dibantah dengan mengajukan argumentasi-argumentasi baru.

Ada anomali di kalangan mereka. Di satu sisi tidak percaya akan adanya Tuhan, tetapi pada sisi yang lain tetap saja mendefinisikan Tuhan. Adanya istilah partikel Tuhan (God Particle)–pertama kali dimunculkan oleh Leon Lederman pada tahun 1994–berarti kata “Tuhan” nya telah didefinisikan terlebih dahulu. Nampaknya Tuhan yang dibayangkan adalah materi yang memiliki unsur penyusun terkecil bernama partikel. Sebuah benda subatomik–bagian-bagian kecil dalam struktur atom.

Tetapi bisa saja maksudnya bukan begitu. Mungkin saja penggunaan kata “Tuhan” adalah sebuah sindiran, untuk menyatakan bahwa partikel ini “mahakuasa” (saya menggunakan huruf “m” kecil di awal kata) atas materi. Higgs Boson atau partikel Tuhan itu adalah pemberi massa kepada materi, yang jika tanpanya, materi tak akan memiliki massa.

Partikel subatomik sendiri, terutama partikel Higgs Boson ini patut dicurigai adalah sebuah jawaban spekulatif atas kebingungan para ilmuan tentang struktur atom yang ditemukan belakangan.

Einstein mula-mula mengatakan bahwa benda terkecil di alam semesta adalah atom. Tahun 1899, J.J. Thompson datang membeberkan bentuk atom seperti bola pejal. Kemudian Rutherford di tahun 1911 menemukan ternyata di dalam atom masih ada inti yang bermuatan positif, dikelilingi oleh elektron bermuatan negatif. Neihls Bohr dua tahun kemudian menemukan, bahwa di dalam atom ada kulit-kulit serupa lintasan tata surya. Di masa yang lebih modern, Erwin Schrodinger menerangkan bahwa atom hanya bisa dijelaskan dengan teori mekanika kuantum yang bergantung kepada teori “ketidakpastian Heisenberg”.

Agus Mustofa mengomentari tentang teori atom paling mutakhir ini. Katanya, para saintis hanya mampu berhenti pada partikel subatomik. Ketika sampai pada level partikel penyusun atau “quark”–kata Agus Mustofa–para ilmuwan tak mampu lagi menangkap bentuknya. Terkecuali para ilmuwan tadi terpaksa menggunakan iman untuk memercayainya ada. Artinya para ilmuwan menganggapnya ada saja, meski tak mengetahui persis bagaimana bentuknya–mereka terpaksa beriman pada ketakjelasan substansi atom itu.

Satu hal yang belum bisa dijawab ilmuwan tentang partikel subatomik, yakni dualitas elektron. Elektron memiliki sifat materi sekaligus gelombang. Agus Mustofa meragukan ini, bagaimana mungkin di saat yang sama, materi adalah gelombang, padahal materi bukan gelombang? Materi itu kuantitas sedang gelombang itu kualitas. Bagaimana mungkin di saat yang sama kuantitas juga adalah kualitas?

*

Mendekatkan diri kepada Tuhan hanyalah sebuah bahasa untuk semakin mempertautkan hati kepada sang pencipta. Secara dzati Tuhan itu sangat dekat sekali, lebih dekat dari urat nadi. Dalam dunia filsafat Islam, Tuhan (Allah) adalah wahdatul wujud. Satu-satunya wujud yang ada. Adapun hubungannya dengan makhluk adalah pada tingkatan atau gradasinya. Yang tertinggi adalah wujud Tuhan dan yang terendah adalah materi murni.

Pemikiran seperti ini misalnya bisa kita lacak pada Alfarabi tentang emanasi, ataukah “ashalatul wujud” yang lebih mutakhir pada Mulla Shadra (Shadruddin al Shirazi).

Tetapi bagi kaum ateis, Tuhan itu jauh sekali dari kriteria ada. Umur alam semesta sudah sedemikian tuanya–bermilyar tahun yang lalu–yang ditemukan baru partikel Tuhan, Tuhannya sendiri belum ditemukan. Mereka memaksa supaya mata mereka bisa melihat Tuhan, barulah bisa dipercaya Tuhan itu ada. Sedang jejak Tuhan di alam adalah bukanlah teori yang bisa dipercaya umat manusia secara universal.

Partikel Tuhan atau Higgs Boson yang ditemukan Peter W. Higgs memang belum dibantah oleh temuan yang baru. Higgs Boson adalah partikel dasar yang diyakini merupakan asal usul alam semesta, ia pemberi massa kepada materi.

Akan tetapi Higgs Boson yang disebut partikel Tuhan itu, Tuhannya sendiri pasti bukan sungguhan, tetapi rekaan pencipta istilah itu saja. Kalaupun yang mereka maksud adalah Tuhan yang maha besar itu, maka betapa lemah dan terbatasnya Tuhan itu. Setidaknya ada empat alasan mengapa ia tak cocok disebut patikel Tuhan:

Pertama, Higgs Boson ternyata punya masa hidup, dinyatakan dalam rumus: 1,56 x 10 pangkat minus 22. Artinya suatu saat partikel ini akan mati, bisa diprediksi kapan matinya. Sedang alam semesta sendiri yang katanya bersumberdari partikel Tuhan, tak bisa diprediksi kapan kesudahannya. Kedua, memiliki massa. Terakhir tahun 2012, Higgs Boson ditemukan dengan massa 125 GeV. Mungkinkah partikel Tuhan punya massa yang bisa diukur otak manusia? Ketiga, jika Tuhan memiliki partikel dan kehendaknya terletak pada partikel itu–jadi mirip neurosains–berarti itu bukan Tuhan. Sebab Tuhan berkehendak di atas segalanya, bukannya kehendak-Nya lahir atas akumulasi kehendak partikel-partikel-Nya.

Keempat, dan ini yang paling tidak memungkinkan untuk disebut partikel Tuhan; Higgs Boson itu diciptakan. Denny JA mengatakan, untuk melakukan eksperimen higgs boson, diperlukan terowongan raksasa sepanjang 27 kilometer yang kemudian dinamai Large Hadren Collider (LHC), dan ditanam di kedalaman 100 meter ke dalam tanah. Ini dilakukan demi menggerakkan proton untuk mendekati kecepatan cahaya. Memang tenaga yang dibutuhkan sangat besar sekali. Suhu yang diperlukan minus 235 derajat celcius, dan lama pekerjaannya memakan waktu 50 tahun.

Tak usah ditanya soal biaya yang harus dikeluarkan. Eksperimen Higgs Boson menghabiskan 13,25 billion USD, atau setara dengan 180 triliun rupiah. Kata Denny JA, kurang dari itu, eksperimen tak akan jadi. Praktis sewaktu riset ini dilakukan, ada 9 negara yang terlibat membiayai: Jerman, Inggris, Italia, Perancis, Spanyol, Swiss, Amerika Serikat, Rusia, dan India.

Coba bandingkan, untuk menemukan Tuhan saja, walau itu katakanlah hanya partikelnya saja, mahalnya minta ampun. Itu belum ongkos mendekatkan diri. Maka bersyukurlah kita yang telah meyakini Tuhan secara gratis dari orangtua kita, biaya mendekatkan diri kepada-Nya pun amat murah.

Begitulah nasib para ateis perlu mengeluarkan ongkos yang sangat mahal untuk menemukan Tuhan. Mereka berkurban dengan cara menyembelih modal sebanyak-banyaknya, kemudian dipersembahkan kepada temuan yang itu diharap lebih indah dari sekadar mengatakan “Tuhan itu ada”. Nyatanya, mereka tetap gelisah, lantaran butuh berjuta-juta tahun untuk tetap membuktikan bahwa Tuhan tidak ada.

Sementara orang beriman, hanya butuh modal keyakinan, ketaatan, dan hidup bermakna, mereka sudah menemukan Tuhan di dalam jiwanya dan mendekatkan diri kepada-Nya.

Ikhwal Kepentingan Memaksa dalam Pembubaran Hizbut Tahrir Indonesia

832 Views

Oleh: Randy Atma R. Massy, SH, MH.

 

Penayangan video diskusi mengenai Jejak Khilafah di Nusantara menjadi sebuah pemberitaan yang kini kembali menjadi viral dan marak, sehingga kembali menimbulkan Polemik di masyarakat. Dibalik penayangan kembali mencuat nama Organisasi yang juga beberapa tahun sebelumnya menjadi sorotan terkait pembubarannya yaitu Organisasi Masyarakat yang dikenal dengan Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) pada tanggal pada 19 Juli 2017, gerakan transnasional ini resmi dinyatakan terlarang. Sebagaimana yang tertulis dalam Surat Keputusan Menteri Hukum dan Ham No. AHU-30.AH.01.08 tahun 2017 berdasarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) No. 2 tahun 2017 tentang organisasi kemasyarakatan dengan alasan Ikhwal Kegentingan Yang Memaksa.

Pasca runtuhnya era Soeharto, menjadi peluang berbagai organisasi yang mengatasnamakan agama untuk mengklaim gagalnya negara atau pemerintah. Salah satu alasan inilah yang kemudian menjadikan HTI terus mempromosikan ide sistem khilafah sebagai solusi. Bukanlah hal baru memang. Dengan berkembangnya waktu, HTI dirasa makin masif dalam menyosialisasikan cita-citanya untuk mendirikan negara Islam. Maka, mulai muncul ide pemerintah untuk membubarkan HTI[1] Sehingga, berbagai pertanyaanpun muncul merespons wacana ini Misal, di pihak yang kontra dengan wacana tersebut terus mempertanyakan mengapa inisiatif seperti itu baru muncul pada era pemerintahan Jokowi. Pada era-era sebelumnya, HTI dibiarkan beraktivitas. Sebaliknya, pihak yang pro berargumen bahwa aktivitas HTI semakin merisaukan.

Setelah dilakukan penelusuran terkait dengan kebijakan tersebut, ada keterkaitan dengan beberapa program pemerintah yang termaktub dalam Nawacita sebagaimana berikut:

  • Nomor 2 : Menghilangkan absennya pemerintah dalam mengelola pemerintahan yang bersih, efektif, demokratis dan terpercaya dengan mendorong partisipasi publik dalam menentukan kebijakan publik dari pengelolaan badan publik yang baik.
  • Nomor 8 : Melakukan revolusi karakter bangsa melalui kebijakan penataan kembali kurikulum pendidikan nasional dan mengembalikan nilai-nilai nasionalis serta melakukan evaluasi model penyeragaman dalam sistem pendidikan di Indonesia.
  • Nomor 9 : Memperteguh kebhinekaan yang akan mengembalikan rasa kerukunan antar warga sesuai dengan jiwa konstitusional atau Pancasila serta meningkatkan proses pertukaran budaya untuk meningkatkan pemahaman atas kemajemukan.[2]

Dalam Nawacita tersebut tampak bagaimana pemerintah berupaya dalam memperkuat nilai-nilai demokrasi dengan kembali pada paham nasionalisme. Oleh karena itu, pemerintah akan menindaklanjuti segala paham yang berbau anti Pancasila. Melalui survey yang dilakukan oleh Saiful Mujani Research and Consulting, saat ini NKRI terancam dengan berbagai paham keagamaan tertentu yang mengkhawatirkan akan terjadinya perang saudara. Hal ini kemudian direspons oleh pemerintah dengan menginstruksikan kementerian Koordinator bidang politik, Hukum dan Keamanan untuk melakukan kajian terhadap Ormas yang memiliki ideologibertentangan dengan Pancasila ataupun UUD NKRI. Inilah yang kemudian menjadi dasar Menkumham untuk membubarkan HTI[3].

Penerbitan Perppu No 2 Tahun 2017 tentang Perubahan atas Undang-Undang No 17 tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan menuai pro dan kontra. Demikian pula dengan keputusan pemerintah membubarkan Hizbut Tahrir Indonesia,  Sembilan hari setelah penerbitan Perppu. Pihak yang kontra menganggap langkah pemerintah sebagai bentuk pemberangusan kebebasan berserikat[4]. Dalam Perppu ada asas contrario actus, maka lembaga yang memberikan izin dan mengesahkan ormas diberikan kewenangan mencabut izin itu manakala ormas tertentu sudah melanggar ketentuan izin[5] dan dianggap sebuah tindakan darurat dan segera dilaksanakan pembubarannya yang diindikasikan saat itu mengancam keutuhan NKRI yang beridelogikan pancasila, tentu dalam hal ini Negara haruslah memposisikan dirinya sebagai negara hukum yang menjadikan hukum sebagai panglima dalam pergerakan negara yang berada pada koridor Konstitusi.

Makna atau nilai dari negara hukum tersebut adalah bahwa hukum merupakan sumber tertinggi (supremasi) dalam mengatur dan menentukan mekanisme hubungan hukum antara negara dan masyarakat, maupun antara anggota atau kelompok masyarakat yang satu dengan yang lainnya dalam mewujudkan tujuannya.[6] Dalam konteks kehidupan bernegara, maka hukum harus berperan, sehingga segala sesuatunya berjalan dengan tertib dan teratur, sebab hukum menentukan dengan tegas hak dan kewajiban masing-masing. Hukum harus mampu mewujudkan rasa keadilan dan kegunaan bagi kepentingan masyarakat, serta kepastian hukum.[7] Di sisi lain negara hukum harus dapat menyelenggarakan ketertiban hukum dengan berpedoman pada hukum (rule of law), serta negara kesejahteraan (welfare state).[8]

Urgensi Fungsi dan Materi Muatan Perppu

Secara hierarki semua jenis peraturan perundang-undangan mempunyai fungsi tertentu. Tetapi secara umum menurut Bagir Manan fungsi peraturan perundang-undangan dibagi menjadi 2 (dua) kelompok utama, yaitu:[9]

1. Fungsi Internal, yaitu fungsi peraturan perundang-undangan sebagai sub-sistem hukum terhadap sistem kaidah hukum pada umumnya. Secara internal, peraturan perundang-undangan menjalankan beberapa fungsi antara lain:

  • Fungsi penciptaan hukum (rechtschepping) yang melahirkan sistem kaidah hukum yang berlaku umum dilakukan atau terjadi melalui beberapa cara, yaitu melalui keputusan hakim, kebiasaan yang timbul di dalam praktik dalam kehidupan masyarakat atau negara, dan peraturan perundang-undangan. Di Indonesia, peraturan perundang-undangan merupakan cara utama penciptaan hukum.
  • Fungsi pembaharuan hukum. Pembentukan peraturan perundang-undangan dapat direncanakan, sehingga pembaruan hukum dapat pula direncanakan. Fungsi pembaruan terhadap perundang-undangan antara lain dalam rangka mengganti peraturan perundang-undangan masa Belanda dan peraturan perundang-undangan nasional yang tidak sesuai lagi dengan kebutuhan dan perkembangan baru.
  • Fungsi integrasi pluralisme sistem hukum. Pluralisme sistem hukum yang berlaku hingga saat ini merupakan salah satu warisan kolonial yang harus ditata kembali. Pembaruan sistem hukum nasional adalah dalam rangka mengintegrasikan berbagai sistem hukum tersebut sehingga tersusun dalam satu tatanan yang harmonis satu sama lain.
  • Fungsi kepastian hukum. Kepastian hukum merupakan asas penting di dalam tindakan hukum dan penegakan hukum dan peraturan perundang-undangan dapat memberikan kepastian hukum yang lebih tinggi daripada hukum kebiasaan dan hukum adat atau yurisprudensi.[10]

2. Fungsi eksternal, adalah keterkaitan peraturan peru ndang-undangan dengan tempat berlakunya. Fungsi eksternal bisa juga disebut fungsi sosial hukum, dan dapat dibedakan menjadi:

  • Fungsi perubahan. Fungsi perubahan yaitu hukum sebagai sarana rekayasa sosial dimana peraturan perundang-undangan diciptakan atau dibentuk untuk mendorong perubahan masyarakat dibidang ekonomi, sosial, maupun budaya.
  • Fungsi stabilitas. Peraturan perundang-undangan dibidang pidana, ketertiban, dan keamaan merupakan kaidah-kaidah yang terutama bertujuan menjamin stabilitas masyarakat.
  • Fungsi kemudahan. Fungsi kemudahan dapat berfungsi sebagai sarana mengatur berbagai kemudahan peraturan yang berisi insentif, seperti keringan pajak.

Fungsi peraturan perundang-undangan yang disebutkan di atas sejalan dengan fungsi hukum yang dikemukakan oleh Sjahran Basah. Menurut Sjahran Basah, ada 5 (lima) fungsi hukum yang disebut dengan panca fungsi hukum, yaitu: Pertama, direktif, artinya hukum sebagai pengarah dalam membangun untuk membentuk masyarakat yang hendak dicapai sesuai dengan tujuan kehidupan bernegara. Kedua, integratif, yaitu sebagai pembina kesatuan bangsa. Ketiga, stabilitatif, yaitu untuk memelihara dan menjaga keselarasan, keserasian, dan keseimbangan dalam kehidupan bernegara dan bermasyarakat. Keempat, perfektif, yaitu sebagai penyempurna, baik terhadap sikap tindak administrasi negara maupun sikap tindak warga negara apabila terjadi pertentangan dalam kehidupan bernegara dan bermasyarakat. Dan kelima, korektif, yaitu sebagai pengoreksi atas sikap tindak, baik administrasi negara maupun warga negara apabila terjadi pertentangan hak dan kewajiban untuk mendapatkan keadilan.[11]

Dalam negara hukum yang modern, menurut A. Hamid S. Attamimi, peraturan perundang-undangan mempunyai fungsi sebagai berikut:[12]

  1. memberikan bentuk pada endapan-endapan nilai-nilai dan norma-norma yang berlaku dan hidup dalam masyarakat;
  2. produk fungsi negara di bidang pengaturan; dan
  3. metode dan instrumen ampuh yang tersedia untuk mengatur dan mengarahkan kehidupan masyarakat menuju cita-cita yang diharapkan.

Adanya berbagai jenis peraturan perundang-undangan di Negara Republik Indonesia yang tersusun secara hierarki, mengakibatkan pula adanya perbedaan dalam hal fungsi maupun materi muatan dari berbagai jenis peraturan perundang-undangan tersebut.[13]

Dalam hierarki peraturan perundang-undangan disebutkan bahwa undang-undang dan perppu mempunyai kedudukan yang sama. Berdasarkan hal itu pula sehingga fungsi undang-undang dan perppu adalah sama, yaitu:

  1. menyelenggarakan pengaturan lebih lanjut ketentuan dalam Undang-Undang Dasar 1945 yang tegas-tegas menyebutnya. Fungsi ini terlihat jelas di dalam pasal-pasal Undang- Undang Dasar Tahun 1945, karena pasal-pasal tersebut menyatakan secara tegas hal-hal yang harus diatur dengan undang-undang;[14]
  2. pengaturan dibidang materi konstitusi seperti: 1) organisasi, tugas, dan susunan lembaga negara dan 2) tata hubungan antara negara dan warga negara dan antar warga negara/penduduk secara timbal balik.[15]

Istilah “materi muatan” pertama kali diperkenalkan oleh A.Hamid S. Attamimi, yang menurut pengakuannya mulai diperkenalkan kepada masyarakat sejak tahun 1979 sebagaimana dimuat dalam Majalah Hukum dan Pembangunan Nomor 3 Tahun 1979. Menurutnya, istilah materi muatan sebagai pengganti atau alih bahasa dari istilah Belanda het onderwerp dalam ungkapan Thorbecke het eigenaardig onderwerp der wet yang diterjemahkan dengan materi muatan yang khas dari undang-undang, yakni materi pengaturan khas yang hanya semata-mata dimuat dalam undang-undang dan oleh karena itu menjadi materi muatan undang-undang.[16] Pasal 1 angka 13 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan memberikan pengertian mengenai materi muatan peraturan undang-undangan yaitu sebagai materi yang dimuat dalam peraturan perundang-undangan sesuai dengan jenis, fungsi, dan hierarki peraturan perundang-undangan.

Mengenai materi muatan Perppu, diatur dalam Pasal 11 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, yaitu bahwa “materi muatan peraturan pemerintah pengganti undang-undang sama dengan materi muatan undang-undang”. Hal ini dikarenakan kedudukan perppu dan uu sama secara hierarki, bedanya hanya perppu dikeluarkan oleh presiden dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa.

Menurut Maria Farida Indrati Soeprapto, karena perppu ini merupakan peraturan pemerintah yang menggantikan undang-undang, materi muatannya adalah sama dengan materi muatan dari undang-undang.[17] Hal senada juga dikemukakan oleh Bagir Manan yang menyatakan bahwa materi muatan perppu merupakan materi muatan undang-undang. Dalam keadaan biasa materi muatan tersebut harus diatur dengan undang-undang.[18]Tetapi lebih lanjut Bagir Manan menyebutkan bahwa materi muatan perppu semestinya mengenai hal-hal yang berkaitan dengan penyelenggaraan pemerintahan (administrasi negara). Jadi tidak boleh dikeluarkan perppu yang bersifat ketatanegaraan dan hal-hal yang berkaitan dengan lembaga-lembaga negara, kekuasaan kehakiman, pelaksanaan kedaulatan rakyat, dan lain-lain di luar jangkauan penyelenggaraan administrasi negara.[19]

Sedangkan yang menjadi materi muatan suatu undang-undang berdasarkan Pasal 10 ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yaitu berisi:

  1. pengaturan lebih lanjut mengenai ketentuan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
  2. perintah suatu undang-undang untuk diatur dengan undang-undang;
  3. pengesahan perjanjian internasional tertentu;
  4. tindak lanjut atas putusan Mahkamah Konstitusi; dan/atau
  5. pemenuhan kebutuhan hukum dalam masyarakat.

Proses Pembentukan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang

Istilah Perppu sepenuhnya adalah ciptaan UUD NRI 1945,[20] yaitu sebagaimana yang tertuang dalam ketentuan Pasal 22 UUD NRI 1945. Berdasarkan Pasal 22 UUD NRI 1945 tersebut, dapat diketahui beberapa hal yaitu:[21]

  1. Peraturan tersebut disebut peraturan pemerintah sebagai pengganti undang-undang, yang berarti bahwa bentuknya adalah peraturan pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2) Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 bahwa: “Presiden menetapkan peraturan pemerintah untuk menjalankan undang-undang sebagaimana mestinya”. Jika biasanya bentuk peraturan pemerintah itu adalah peraturan yang ditetapkan untuk menjalankan undang-undang sebagaimana mestinya, maka dalam keadaan kegentingan yang memaksa bentuk peraturan pemerintah itu dapat dipakai untuk menuangkan ketentuan-ketentuan yang semestinya dituangkan dalam bentuk undang-undang dan untuk menggantikan undang-undang;
  2. Pada pokoknya, perppu sendiri bukanlah nama resmi yang diberikan oleh UUD NRI 1945. Namun, dalam praktik selama ini, peraturan pemerintah yang demikian itu lazim dinamakan sebagai Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang atau disingkat Perppu.
  3. Perppu tersebut pada pokoknya hanya dapat ditetapkan oleh Presiden apabila persyaratan kegentingan yang memaksa terpenuhi sebagaimana mestinya. Keadaan “kegentingan yang memaksa” yang dimaksud disini berbeda dan tidak boleh dicampur-adukkan dengan pengertian “keadaan bahaya” sebagaimana ditentukan oleh Pasal 12 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang berbunyi “Presiden menyatakan keadaan bahaya. Syarat-syarat dan akibatnya keadaan bahaya ditetapkan dengan undang-undang”;
  4. Karena pada dasarnya Perppu itu sederajat atau memiliki kekuatan yang sama dengan undang-undang, maka Dewan Perwakilan Rakyat harus secara aktif mengawasi baik penetapan maupun pelaksanaan Perppu di lapangan, jangan sampai bersifat eksesif dan bertentangan dengan tujuan awal yang melatarbelakanginya. Dengan demikian, Perppu harus dijadikan sebagai objek pengawasan yang sangat ketat oleh Dewan Perwakilan Rakyat sesuai dengan tugasnya.
  5. Karena materi Perppu seharusnya dituangkan dalam bentuk undang-undang, maka masa berlakunya Perppu dibatasi hanya untuk sementara. Menurut ketentuan Pasal 22 ayat (2) dan (3) UUD NRI 1945 yaitu sampai dengan mendapat persetujuan dari Dewan Perwakilan Rakyat, dan jika tidak mendapat persetujuan maka perppu tersebut harus dicabut.

Konstitutionalitas Perppu dalam Pembubaran ORMAS

Konstitusi memberikan jaminan kepada setiap individu atau sekelompok orang untuk bersepakat mengikat diri pada sebuah organisasi untuk mencapai apa yang menjadi kepentingannya. Era reformasi yang telah berlangsung sejak tahun 1997, telah membuka peluang bagi hubungan masyarakat sipil dan negara yang mengalami transformasi yang demikian cepat.[22]

Hal ini ditunjukkan dari gejala semakin kuatnya peran masyarakat sipil dalam mengorganisir dirinya untuk memperjuangkan kepentingannya ketika berhadapan dengan negara ataupun pada saat mengisi layanan publik. Euforia tersebut merupakan puncak manifestasi dari kemerdekaan hati nurani dan kemerdekaan berpikir yang telah diperjuangkan pada masa reformasi.[23]

Pasca Reformasi, dinamika perkembangan Ormas dan perubahan sistem pemerintahan membawa paradigma baru dalam tata kelola organisasi kemasyarakatan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Pertumbuhan jumlah Ormas, sebaran dan jenis kegiatan Ormas dalam kehidupan demokrasi semakin menuntut peran fungsi dan tanggung jawab Ormas untuk berpatisipasi dalam upaya mewujudkan cita-cita nasional bangsa Indonesia, serta menjaga dan memelihara keutuhan dan kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dinamika Ormas dengan segala kompleksitasnya menuntut pengelolaan dan pengaturan hukum yang lebih komprehensif, mengingat UU Nomor 8 Tahun 1985 tentang Ormas sudah tidak sesuai dengan kebutuhan dan dinamika kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Hal inilah yang melatarbelakangi lahirnya UU Nomor 17 Tahun 2013 sebagai pengganti UU Nomor 8 Tahun 1985 yang sudah berlaku selama kurang lebih 18 tahun[24].

Di dalam UU Nomor 17 Tahun 2013 selain memuat tentang ketentuan umum mengenai Ormas juga memuat mengenai larangan dan sanksi bagi Ormas. Larangan terhadap Ormas diatur dalam Pasal 59 UU Ormas menjelaskan sebuah ormas dilarang untuk melakukan tindakan permusuhan terhadap suku, agama, ras, dan golongan. Ormas juga tidak boleh melakukan tindakan kekerasan yang mengganggu ketentraman dan ketertiban umum, termasuk perbuatan merusak. Melakukan tindakan separatis yang mengancam kedaulatan NKRI, dan kegiatan yang menjadi tugas dan wewenang penegak hukum yang diatur berdasarkan undang-undang.[25] Selain larangan tersebut, Ormas juga dilarang untuk menerima sumbangan dari pihak manapun yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, mengumpulan dana untuk partai politik, dan menganut, mengembangkan, serta menyebarkan ajaran yang bertentangan dengan Pancasila.[26]

Satu hal perbedaan yang terlihat jelas dalam kedua UU tersebut adalah apabila dalam Pasal 13 UU Nomor 8 Tahun 1985 ormas dilarang menerima bantuan dari pihak asing tanpa persetujuan Pemerintah, maka dalam Pasal 56 ayat (3) UU Nomor 17 Tahun 2013 ormas dilarang menerima bantuan dari siapapun apabila bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Aturan dalam UU Nomor 17 Tahun 2013 lebih mempresentasikan kedaulatan hukum, dibandingkan dengan UU Nomor 8 Tahun 1985 yang berdasarkan persetujuan pemerintah yang lebih condong kepada pendekatan dan kepentingan politik. Karenanya penulis UU Nomor 17 Tahun 2013 lebih dekat kepada tujuan negara yang menurut Aristoteles adalah untuk mencapai kehidupan paling baik (the best life possible) yang dapat dicapai dengan supremasi hukum.[27]

Sanksi bagi Ormas dalam UU Nomor 17 Tahun 2013 diatur dalam Pasal 60 sampai Pasal 82, diantaranya adalah pembubaran. Pemerintah daerah dalam undang-undang ini bisa menghentikan kegiatan ormas. Undang-Undang ini menyebutkan dapat membubarkan suatu ormas berbadan hukum melalui beberapa tahapan, yaitu pemberian sanksi administratif yang terdiri atas peringatan tertulis, penghentian bantuan, penghentian sementara kegiatan, dan pencabutan surat keterangan terdaftar atau pencabutan status badan hukum.[28]

Peringatan tertulis dilakukan sebanyak tiga kali. Dalam Pasal 64 disebutkan jika surat peringatan ketiga tidak digubris, pemerintah bisa menghentikan bantuan dana dan melarang sementara kegiatan mereka selama enam bulan. Dengan catatan, jika ormas tersebut berskala nasional, harus ada pertimbangan Mahkamah Agung. Namun, jika sampai 14 hari tidak ada balasan dari Mahkamah, pemerintah punya wewenang menghentikan sementara kegiatan mereka.[29] Dalam Pasal 68, jika ormas masih berkegiatan padahal sudah dihentikan sementara, pemerintah bisa mencabut status badan hukum mereka, asal mendapat persetujuan dari pengadilan.[30]

Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor: 2 Tahun 2017 tentang Perubahan Atas Undang-Undang (UU) Nomor 17 Tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan (Perppu Pembubaran Ormas), diteken Presiden Joko Widodo pada 10 Juli 2017. Dalam pertimbangan UU tersebut dinyatakan bahwa ada kekosongan hukum karena Undang-Undang (UU) berumur 4 tahun tersebut belum mengatur secara komprehensif mengenai keormasan yang bertentangan dengan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.33 Dalam Perppu Nomor 2 Tahun 2017, terdapat 5 pasal dalam UU Ormas sebelumnya yang diubah dan terdapat 18 pasal yang dihapus. 5 pasal dalam UU Nomor 17 Tahun 2013 tentang Ormas yang diubah oleh Perppu ini yaitu Pasal 1, 59, 60, 61, dan 62.  Pasal 1 Perppu ini antara mengubah pengertian ormas menjadi lebihtegas dari sebelumnya. Menurut Perppu ini, ormas memiliki pengertian:

Organisasi Kemasyarakatan yang selanjutnya disebut Ormas adalah organisasi yang didirikan dan dibentuk oleh masyarakat secara sukarela berdasarkan kesamaan aspirasi, kehendak, kebutuhan, kepentingan, kegiatan, dan tujuan untuk berpartisipasi dalam pembangunan demi tercapainya tujuan Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.[31]

Definisi dari ormas dalam Perppu menjadi lebih tegas jika sebelumnya pada Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013 berbunyi Ormas adalah organisasi yang didirikan dan dibentuk oleh masyarakat secara sukarela berdasarkan kesamaan aspirasi, kehendak, kebutuhan, kepentingan, kegiatan, dan tujuan untuk berpartisipasi dalam pembangunan demi tercapainya tujuan Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila. Kini dipertegas dengan “dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.” Artinya Ormas harus patuh pada UUD 1945. Tidak boleh undangundang lain atau piagam Jakarta.

Menurut Moh. Mahfud MD hukum haruslah responsif dan tidak sentralistik hanya dikuasai oleh eksekutif semata. Produk hukum yang bersifat sentralistik dan lebih didominasi oleh eksekutif akan menghasilkan hukum yang berkarakter ortodoks.[32]

Ikhwal Kegentingan Yang Memaksa.

Pembubaran HTI adalah hal yang dianggap mendesak dan tidak normal, maka dalam menjamin agar negara selalu dalam keadaan normal adalah salah satu tugas pokok pemerintahan guna tercapainya tujuan negara. Akan tetapi dalam keadaan normal, proses pemerintahan hanya dapat diselenggarakan menurut cara cara yang ditentukan dalam undang undang dasar, sebagai mana dikenal dengan prinsip constitutional government. Dan hal tersebut tercantum dalam Pasal 4 ayat (1) UUD 1945 yang menentukan “Presiden Republik Indonesia memegang kekuasaan pemerintahan menurut konstitusi.[33]

Kegentingan yang memaksa harus memenuhi 3 (tiga) syarat yaitu adanya keadaan yaitu kebutuhan mendesak untuk menyelesaikan masalah hukum secara cepat berdasarkan undang-undang, undang-undang yang dibutuhkan tersebut belum ada sehingga terjadi kekosongan hukum atau ada undang-undang tetapi tidak memadai dan kekosongan hukum tersebut tidak dapat diatasi dengan cara membuat undang-undang secara prosedur biasa karena akan memerlukan waktu yang cukup lama sedangkan kendala yang mendesak tersebut perlu kepastian untuk diselesaikan.

Selain kondisi negara dalam keadaan biasa (ordinary condition) atau (normal condition), kadang-kadang timbul atau terjadi keadaan yang tidak normal. Keadaan yang menimpa suatu negara yang bersifat tidak biasa atau tidak normal itu memerlukan pengaturan yang bersifat khusus sehingga fungsi-fungsi negara dapat bekerja secara efektif dalam keadaan yang tidak normal.[34] Dalam keadaan yang demikian, bagaimanapun juga, sistem norma hukum yang diperuntukkan bagi keadaan yang normal tidak dapat diharapkan efektif untuk dipakai guna mencapai tujuan hukum yang menjamin keadilan, kepastian, dan kemanfaatannya. Oleh karena itu, sejak semula keadaan tidak normal itu sudah seharusnya diantisipasi dan dirumuskan pokok-pokok garis besar pengaturannya dalam Undang-Undang Dasar.

Dengan beberapa kasus di atas, pemerintah bergegas untuk segera membubarkan. Bukan berarti pemerintah anti Ormas Islam, tetapi demi perdamaian dan persatuan anak bangsa. Bahkan alasan ini telah disampaikan secara tegas dalam konferensi press. Keputusan ini justru dianggap terlambat jika dibandingkan 20 negara di dunia lain.[35]Selanjutnya, keputusan pemerintah ini diamini oleh beberapa pimpinan pemerintah dan DPR, serta beberapa tokoh masyarakat yang sangat yakin dengan ideologi HTI yang ingin mengubah ideologi dan dasar negara.

Dalam kerangka hukum, pembubaran HTI berpedoman pada UUD 1945 Pasal 22 ayat (1) yang tertulis, “dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa, Presiden berhak menetapkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang.” Sebagai kewenangan subjektif, Penerbitan Perppu harus memenuhi syarat konstitusional yaitu adanya frasa “dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa.” Artinya, Perppu harus dilandasi dengan kebutuhan yang benar-benar mendesak dengan berbagai prosedur, bukan atas kepentingan politik belaka. Akan tetapi, Noodverordeningsrecht” atau “hak presiden untuk menentukan kegentingan yang memaksa” tidak harus relevan dengan keadaan yang membahayakan, tetapi apabila presiden meyakini adanya keadaan mendesak dan perlunya peraturan yang mempunyai kedudukan sama dengan undang-undang maka diperkenankan.[36]

Sampai DPR melakukan pembicaraan pengaturan keadaan tersebut. Selanjutnya Perppu ditunjukkan kepada DPR melalui sidang sehingga diberikan keputusan untuk dapat diterima atau ditolak Perppu tersebut sesuai dengan keadaan yang dibutuhkan. Namun, untuk kasus pembubaran ini, secara bersamaan DPR tengah mengesahkan. Dalam hal ini, memang ada yang terlewatkan yakni fungsi MK.

Pembubaran HTI dilakukan oleh pemerintah dengan mencabut status badan hukum yang dilakukan oleh Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia yang memiliki hak legal administrative, setelah itu pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No 2 Tahun 2017 tentang Organisasi Masyarakat yang mengubah atas Undang-Undang No 17 Tahun 2013 tentang Organisasi Masyarakat yang didalam Peraturan Pemerintah ini Pasal 80 A “Pencabutan status badan hukum Ormas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 61 ayat (1) huruf c dan ayat (3) huruf b sekaligus dinyatakan bubar berdasarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang.

Sanksi dan Pembubaran Ormas UU Nomor 17 Tahun 2013 menganut sistem sanksi berjenjang. Adapun kewenangan membubarkan Ormas berdasarkan keputusan Pengadilan. Pemerintah tidak dapat membubarkan sebuah Ormas tanpa adanya putusan Pengadilan. Mekanisme ini sebagai instrumen penting yang berperan dalam demokrasi sebagai wujud dari kebebasan berserikat. Pembekuan dan pembubaran memang seharusnya perlu diputuskan melalui mekanisme due process of law oleh pengadilan yang merdeka. Proses ini menjadi sangat penting, artinya, jangan sampai wewenang dan pembubaran ormas dilakukan karena akan menimbulkan kesewenang-wenangan sebagaimana yang terjadi dalam Orde Baru. Kewenangan pembekuan dan pembubaran yang hanya diberikan kepada eksekutif memberi peran yang besar dan sentralistik, sebab pemerintah dapat membekukan dan membubarkan suatu organisasi yang merupakan manifestasi dari hak asasi manusia untuk berserikat, berkumpul, dan berorganisasi tanpa ada forum peradilan yang menyatakan bahwa Ormas tersebut memang bersalah.

Terkait frasa “Dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa”, Mahkamah Konstitusi dalam Putusan nomor 138/PUU-VII/2009 telah menentukan beberapa indikator yang dapat dikategorikan sebagai keadaan yang mendesak. Pertama, adanya keadaan atau situasi yang mengharuskan untuk segera diselesaikan atau mendesak. Oleh karena itu, diperlukannya tindakan hukum yang cepat tetapi tetap mengacu pada undang-undang. Kedua, belum adanya hukum atau undang-undang yang mengatur sehingga terjadi kekosongan hukum, atau sudah ada tetapi belum memadai. Ketiga, adanya kekosongan hukum yang tidak dapat diatasi dengan membuat undang-undang secara prosedur biasa dikarenakan membutuhkan waktu yang cukup lama, sedang di lain pihak, keadaan mendesak untuk segera dicarikan solusinya.[37] Beberapa indikator inilah, kondisi genting adalah argumen yang dijadikan alasan pemerintah dalam memutuskan kebijakan pembubaran HTI.

Catatan Kaki

[1] Siti Muzaroh, Justicia Islamica: Jurnal Kajian Hukum dan Sosial, Vol. 16, No.1, Juni 2019.
[2] Sri Yunanto, Negara Khilafah Versus Negara Kesatuan Republik Indonesia, (Jakarta:IPSS, 2017), 126.
[3] ibid.
[4] Sumber: https://nasional.kompas.com/read/2017/07/21/13321381/mengukur-kegentingan-pembubaran-hti-dan-penerbitan-perppu-ormas?page=all. Diunduh tangga 27-8-2020.
[5] Dengan Perppu, Pembubaran Ormas Tak Perlu Proses Pengadilan”, https://tirto.id/csyw, diunduh tanggal 27-8-2020.
[6] Muhammad Syarif Nuh, (2011). Hakekat Keadaan Darurat Negara (State Of Emergency) sebagai Dasar Pembentukan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang, Jurnal Ius Quia Iustum, 18(2), 229-246:230.
[7] Aidul Fitriciada Azhari, (2012). Negara Hukum Indonesia: Dekolonisasi dan Rekonstruksi Tradisi, Jurnal Ius Quia Iustum, 4(2), 489-505:492.
[8] Muhammad Jeffry Rananda, (2015). Politik Hukum Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, Dan Walikota, Fiat Justisia Jurnal Ilmu Hukum, 534-542:536.
[9] Hamzah Halim dan Kemal Redindo Syahrul Putera, Cara Praktis Menyusun & Merancang Peraturan Daerah; Suatu Kajian Teoretis & Praktis Disertai Manual, Kencana, Jakarta, 2013, hal. 61-64.
[10] Ali Marwan Hsb  KEGENTINGAN YANG MEMAKSA DALAM PEMBENTUKAN PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG ( COMPELLING CIRCUMSTANCES OF THE ENACTMENT GOVERNMENT REGULATION IN LIEU OF LAW) hal 11.
[11] Sjahran Basah, Perlindungan Hukum terhadap Sikap Tindak Administrasi Negara, Alumni, Bandung, 1992, hlm. 13 – 14.
[12] Haposan Siallagan dan Efik Yusdiansyah, Ilmu Perundang-undangan di Indonesia, UHN Press, Medan, 2008, hlm. 38.
[13] Maria Farida Indrati, Ilmu Perundang-undangan; Jenis, Fungsi dan Materi Muatan, Kanisius, Yogyakarta, 2008, hlm. 215.
[14] ibid.
[15] ibid.
[16] A. Hamid S. Attamimi, Peranan Keputusan Presiden Republik Indonesia dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Negara, Disertasi, Pascasarjana Universitas Indonesia, Jakarta, 1990, hlm. 193 – 194.
[17] Maria Farida Indrati, Ilmu Perundang-undangan………, Op. Cit., hlm. 131.
[18] Bagir Manan, Dasar-Dasar Perundang-undangan Indonesia, Ind-Hill.Co, Jakarta, 1992, hlm. 50.
[19] Bagir Manan, Teori dan Politik Konstitusi, Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Jakarta, 2000, hlm. 217.
[20] Jimly Asshiddiqie, Perihal Undang-Undang, Rajawali Pers, Jakarta, 2010, hlm. 55.
[21] Ibid., hlm. 55 – 62.
[22] Kajian RUU Perubahan Atas UU Nomor 8 Tahun 1985 tentang Organisasi Kemasyarakatan, Jakarta: Bagian PUU Bidang Politik, Hukum, dan HAM Sekretariat Jenderal DPR-RI, 2010, h. 5.
[23] Jimly Asshiddiqie, Kemerdekaan Berserikat, Pembubaran Partai Politik, dan Mahkamah Konstitusi, Jakarta Konstitusi Press, 2006, h. 7-8.
[24] Konstitusionalitas Perppu Nomor 2 Tahun 2017 tentang Ormas Ditinjau dari UUD 1945. Hlm 463.
[25] Lihat Pasal 56 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013 tentang Organisasi Masyarakat.
[26] Ibid.
[27]  George H. Sabine, A History of Political Theory, Third Edition New York: Holt, Rinehart and Winston, 1961, hlm. 35.
[28] Pasal 61 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan.
[29] Ibid Pasal 64.
[30] Ibid Pasal 68
[31] Pasal 1 Perppu Nomor 2 Tahun 2017 tentang Organisasi Kemasyarakatan.
[32] Moh. Mahfud MD., Politik Hukum di Indonesia, hlm. 26
[33] Dedy Nursamsi, (2014). Kerangka Cita Hukum (Recht Idee) Bangsa Sebagai Dasar Kewenangan Mahkamah Konstitusi Menguji Peraturan Pemerintah Pengganti Undang Undang, Jurnal Cita Hukum, 2(1), 89-100:96.
[34] Osgar S. Matompo, (2014). Pembatasan Terhadap Hak Asasi Manusia Dalam Prespektif Keadaan Darurat, Jurnal Media Hukum, 21(1), 57-72:59.
[35] ibid.
[36] http://www.detiknewsocean.com/fungsi-peraturan-pemerintah-pengganti, diakses pada 27 Agustus 2020.
[37] http/news.beritaharian.com.ihwalkegentinganmemaksa. akses 27 Agustus 2020.

[…]

Negara Islam dalam Praktek Negara Bangsa

728 Views

Oleh : Ruslan Husen, SH, MH.

Bulan Mei 2017 lalu, organisasi kemasyarakat Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) dibubarkan Pemerintah berdasarkan Perppu Nomor 2 Tahun 2017 Tentang Organisasi Kemasyarakatan. HTI dianggap sebagai organisasi terlarang dan dilarang Pemerintah melakukan kegiatan atas nama organisasi ini. Penyebabnya, HTI dituduh ingin mengganti ideologi Pancasila, UUD 1945, dan mengancam eksistensi Negara Kesatuan Republik Indonesia dengan tujuan mendirikan sistem negara bernama khilafah. Tidak sampai pada pembubaran saja, para pengurus dan simpatisan HTI yang mengkampanyekan sistem khilafah turut diancam dengan sanksi pidana. Mereka bisa dianggap melakukan tindakan makar membahayakan eksistensi dan kedaulatan NKRI.

Berkaca dari pengalaman itu, otoritas kekuasaan negara begitu kuat. Massa HTI bisa saja protes selama berbulan-bulan, melakukan aksi protes yang tidak putus. Terus menjastifikasi bahwa HTI sebagai organisasi yang didirikan atas dasar Konstitusi, dalam negara hukum yang menjunjung tinggi hak asasi manusia dengan jaminan dan kemerdekaan berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pikiran dan pendapat, dan membuat justifikasi rasional bahwa organisasi tidak seburuk seperti dituduhkan oknum Pemerintah. Tetapi Pemerintah mengenyampingkan semua pembelaan itu dan bermodal surat penetapan pembubaran, langsung bubar organisasi masyarakat ini, tidak lagi bisa melakukan kegiatan atas namanya.

Penulis menguraikan dinamika pembubaran HTI, tidak bermaksud larut dalam perdebatan pro-kontra legalitas dan argumentasi pembubaran organisasi massa ini. Masing-masing pihak pasti memiliki dasar dan argumentasi logis. Penulis lebih menitik-beratkan pada eksistensi kekuasaan negara yang strategis bagi berkembang atau tidak berkembang suatu organisasi massa bahkan ideologi tertentu. Kekuasaan negara memiliki kekuatan membubarkan organisasi massa dan mencegah berkembang ideologi, bahkan Pemerintah sendiri bisa menjadi pihak pendukung berkembang dan maju suatu gerakan massa dengan ideologinya.

Demikian pula dengan agama akan tegak, ideologi Islam akan diterima secara masif atas dukungan kekuasaan negara. Agama menjadi pondasi, sementara kekuasaan negara menjadi pengawal. Negara tanpa agama akan hancur, sementara kekuasaan negara tanpa tuntunan agama menjadi sia-sia. Agama memerlukan agama agar dapat berkembang, sebaliknya negara memerlukan agama untuk mendapatkan bimbingan moral dan etika. Dengan kekuasaan politik, aspek kehidupan dapat diarahkan. Sebab kekuasaan negara memiliki sumber daya, fasilitas dan dukungan rakyat. Walaupun tidak jarang kekuasaan negara juga represif terhadap rakyatnya sendiri.

Menjadi pertanyaan, apa sistem pemerintahan ideal dalam konteks Indonesia? Sistem yang bisa diterima oleh semua komponen anak bangsa ini. Apakah sistem pemerintahan yang dijalankan, sudah menjamin tegak ajaran Islam, atau malah perlu dipertimbangkan wacana penggantian sistem pemerintahan. Dengan menawarkan konsep pemerintahan khilafah, seperti ditawarkan HTI, menawarkan sistem kepemimpinan imamah seperti yang dijalankan oleh Republik Islam Iran, atau aktualisasi sistem pemerintahan demokrasi lewat penerapan prinsip ajaran agama di negara bangsa. Atau jangan-jangan lebih memilih sistem pemerintahan berbentuk kerajaan (monarki) yang kekuasaan raja diganti oleh keturunannya secara turun-temurun. Semua sistem pemerintahan tersebut pernah dipraktikkan dan menjadi kekayaan khasanah intektual pemerintah Islam.

Pemerintahan Islam

Segala sisi kehidupan manusia telah ada tuntunan dalam dasar-dasar ajaran Islam, yang ditemukan dalam Alquran, Hadits Nabi maupun Ijtihad ulama. Memahami, mengamalkan dan menyebarkan ajaran Islam kepada masyarakat menjadi tanggung-jawab setiap muslim sebagai pemimpin (khalifah) di muka bumi. Refleksi tuntunan beragama disarikan dari dasar-dasar ajaran Islam menjadi sikap-perilaku muslim. Ajaran yang memberi arah dan pedoman mengarungi kehidupan sekaligus menjawab dinamika seputar Tuhan, manusia dan alam semesta.

Dasar-dasar ajaran Islam menjadi norma pijak sikap-tingkah laku seorang muslim. Sisi kehidupan terkecil sampai yang terbesar telah diatur prinsipnya dalam Islam. Dari urusan masuk toilet sampai pada kehidupan bernegara, ada tuntunannya. Apalagi persoalan pemerintahan yang menguasai dan mengatur hajat hidup orang banyak, pasti memperoleh prioritas bahasan dalam ajaran tauhid ini.

Sehingga kurang tepat, menganggap ciri seorang muslim sejati adalah mereka yang senantiasa memakai sorban dan baju gamis, dengan rutinitas ibadah yang lekat. Tetapi, malah minim perhatian pada kehidupan sosial-politik bernegara, bahkan mengharamkan politik dibahas di masjid. Kegiatan politik di masjid sejak zaman Rasulullah Muhammad SAW biasa dilakukan, masjid merupakan pusat kegiatan umat Islam, termasuk dalam melakukan konsolidasi politik. Membolehkan masjid sebagai sarana membahas seputar politik sepanjang dilakukan secara objektif, berperspektif kemanusiaan universal, dan tidak untuk kepentingan pragmatis dukung-mendukung peserta kontestasi pemilu tertentu (kepentingan kekuasaan jangka pendek).

Walaupun untuk urusan kehidupan bernegara menurut M. Natsir, Islam tidak mengatur karena hal-hal yang tidak diatur tersebut memang tidak bersifat kekal dan berkenaan dengan keduniawian yang berubah menurut tempat, waktu, dan keadaan.[1] Islam lebih mengatur dasar-dasar kehidupan yang tidak akan berubah, dalam bentuk hukum untuk mencegah penyakit masyarakat misalnya aturan tentang larangan minuman keras, perjudian, perzinahan, riba, serta aturan tentang pernikahan, perceraian, waris, dan zakat.

Berkaca dari pengalaman sejarah soal sistem pemerintahan yang pernah dipraktikkan dunia Islam terkait dengan kondisi kontekstual masing-masing umat. Dalam rentang waktu yang sangat panjang sejak abag ke-7 masehi hingga sekarang, umat Islam pernah mempraktikkan beberapa sistem pemerintahan, meliputi pemerintahan khilafah, imamah, monarki, dan demokrasi.

a. Pemerintahan khilafah dan Monarki

Khilafah secara etimologis, artinya kedudukan pengganti yang menggantikan orang sebelumnya. Menurut terminologi, khilafah diartikan sebagai kepimpinan umum, yang menjadi hak seluruh kaum muslimin di dunia untuk menegakkan hukum syariat Islam (hukum Allah) dan mengemban dakwah Islam ke seluruh dunia. Khilafah ditempatkan sebagai pemerintahan islam yang tidak dibatasi oleh teritorial, sehingga meliputi berbagai suku dan bangsa. Ikatan yang mempersatukan kekhalifahan adalah Islam sebagai agama.

Sistem pemerintahan khilafah adalah sistem pemerintahan Islam global yang tidak dibatasi oleh teritorial dengan tujuan menerapkan hukum Allah yang diperuntukkan bagi manusia, sehingga khilafah Islam meliputi berbagai suku dan bangsa di dunia. Pada intinya khilafah merupakan kepemimpinan umum yang mengurusi agama dan kenegaraan untuk menegakkan hukum-hukum syariat Islam dan memikul misi “rahmat  bagi semesta alam” ke seluruh dunia.

Ketika Nabi Muhammad saw meninggal dunia, beliau tidak mewasiatkan penunjukkan pengganti kepemimpinan secara spesifik. Para sahabat kemudian berdiskusi yang kemudian menghasilkan keputusan untuk mengangkat Abu Bakar sebagai pengganti Nabi Muhammad Saw dalam urusan kepemimpinan. Masa kepemimpinan selanjutnya dipegang oleh Umar bin Khatthab saat Ia ditunjuk langsung oleh Abu Bakar. Selanjutnya, kepemimpinan dipegang oleh Usman bin Affan yang terpilih melalui diskusi dewan khusus yang dibentuk oleh Umar bin Khatthab sebagai bagian dari proses pergantian kepemimpinan berikutnya. Kepemimpinan kemudian beralih ke Ali bin Abi Thalib yang dipilih secara aklamasi oleh para sahabat.

Ciri yang menonjol dari sistem pemerintah yang mereka jalankan (khulafa al-rasyidun) terletak pada mekanisme musyawarah sebagai paradigma dasar kekuasaan, bukan dengan sistem warisan pemerintah kepada keturunan. Tidak ada satupun dari keempat khalifah tersebut yang menurunkan kekuasaannya kepada sanak-kerabaanya. Musyawarah menjadi cara yang ditempuh dalam menjalankan kekuasaan.[2] Prinsip musyawarah mampu mendialogkan perbedaan-perbedaan pandangan dan sikap yang dibangun di atas toleransi, guna mencari alternatif terbaik.

Namun pada fase berikutnya setelah masa khulafa al-rasyidun kekhalifahan dilanjutkan oleh Dinasti Bani Umayah dengan Muawiyah bin Abi Sofyan sebagai khalifah pertama. Lalu melantik puteranya, Yazid sebagai khalifah. Sejak saat itu khilafah Islamiyah berdasarkan syura diganti dengan sistem keturunan, menjadi negara kerajaan (monarki) mengikuti sistem yang diberlakukan di Persia dan Romawi.

Mujar Ibnu Syarif dan Khamami Zada[3] menjelaskan, sistem monarki memberikan hak kepada pemimpin untuk menganggap negara sebagai miliknya dan bisa diwariskan kepada keluarga (turun-temurun) sementara rakyat dipandang sebagai bawahan yang berada di bawah perlindungan dan dukungannya. Dalam sistem ini, singgasana kerajaan akan diwarisi oleh seorang putra mahkota dari orang tuanya. Raja diposisikan sebagai sentral kekuasaan, dan raja berhak menetapkan aturan bagi rakyatnya. Perkataan raja adalah undang-undang tertinggi yang harus ditaati. Raja memiliki hak khusus yang tidak dimiliki rakyatnya. Raja memiliki kekebalan hukum dan kekuasaan kenegaraan yang tidak terbatas.

Berakhirnya Dinasti Bani Umayah yang digantikan oleh Bani Abbasiyah, menempatkan sistem pemerintahan yang dianut tidak jauh berbeda, yakni masih mempertahkan khilafah monarki. Demikian pula saat kekuasaan Islam dipegang oleh Turki Usmani di Istambul (Dinasti Utsmaniyah), khilafah monarki yang dipertahankan.

Praktis pemerintahan Islam selepas khulafa al-rasyidun, telah menempatkan musyawarah tidak dijadikan sistem pergantian kekuasaan, sirkulasi kekuasaan diserahkan kepada keluarga raja, akibatnya suri tauladan yang diwariskan khulafa al-rasyidun hilang begitu saja.

b. Kepemimpinan Imamah

Imamah secara etimologi artinya kepemimpinan. Setiap orang yang menduduki kursi kepemimpinan suatu kelompok manusia disebut sebagai imam. Menurut terminologi, imamah ialah kepemimpinan umum atas segenap umat Islam dalam berbagai aspek kehidupan, baik yang bersifat spiritual maupun duniawi. Dicantumkan kata “duniawi” untuk mempertegas betapa luas cakupan imamah, bahwa pengaturan masalah-masalah dunia bagi umat Islam merupakan bagian dari agama Islam.

Mazhab Syi’ah imamiyah berpandangan bahwa persoalan imamah ini merupakan otoritas Allah. Dialah yang berhak memilih dan mengangkat hamba-Nya yang saleh untuk menduduki jabatan imamah. Peristiwa pengangkatan imam ini telah terjadi pada masa hidup Nabi, yaitu tatkala Allah Swt memilih dan mengangkat Ali bin Abi Thalib sebagai imam dan khalifah muslimin sepeninggal beliau. Pemilihan dan pengangkatan Ali tersebut dilakukan oleh Rasul Muhammad SAW secara langsung dan di hadapan umat Islam. Beliau pun memilih dan menentukan 11 orang lainnya dari keturunan Ali sebagai imam kaum muslimin setelah wafatnya.

Doktrin politik Syi’ah muncul dari konsep kepemimpinan imamiyah selama masa periode gaib besar, di mana imam yang kedua belas gaib. Selama masa kegaiban itu, otoritas (wilayat) dikuasakan kepada seorang faqih yang adil dan bertindak sebagai deputi dari iman yang gaib. Penguasaan tersebut menurut Ahmad Vaezi tidak ditunjuk melalui pemilihan bebas, mereka berkuasa karena kualifikasi dan kemampuan tertentu, tidak karena pendelagasian otoritas dalam model proses demokrasi, tapi karena kualitas sebagai wali.[4] Dengan demikian perwalian dari seorang ahli faqih disahkan otoritas yang asli dan mutlak dari Allah, untuk menegakkan pemerintahan Islam dan mengatur masyarakat.

Konsep politik Syi’ah dikontekstualisasi dalam bentuk wilayah al-faqih, yang dalam periode modern dipraktekkan di Republik Islam Iran. Iran menjadi penjelmaan konsep ini setelah Revolusi Islam Iran tahun 1979 yang dipimpin oleh Imam Khomeini. Ada lima lembaga penting yang ditafsir oleh Dewan Ahli dan disetujui oleh Imam Khomeini, yakni faqih, presiden, perdana menteri, parlemen dan dewan pelindung konstitusi. Kekuasaan terbesar dipegang oleh faqih yang dipilih oleh dewan ahli dengan syarat-syarat tertentu.[5]

Wewenang faqih di Iran menurut Imam Khomaeni[6] antara lain, (1) mengangkat Ketua Pengadilan Tertinggi; (2) mengangkat seluruh pimpinan angkatan bersenjata; (3) mengangkat pimpinan pengawal revolusi; mengangkat anggota Dewan Perlindungan Konstitusi, dan (5) membentuk Dewan Pertahanan Nasional yang anggotanya terdiri dari presiden, perdana menteri, menteri pertahanan, KSAB, kepala pasdaran, dan dua orang penasihat. Kewenangan mengangkat tentu diikuti juga dengan kewenangan pemberhentian pejabat tersebut.

Pemegang kekuasaan terbesar kedua adalah presiden yang dipilih setiap empat tahun sekali. Tugas pokok presiden menjalankan konstitusi negara, menjadi kepala pemerintahan, serta mengkoordinasikan ketiga lembaga negara: ekskutif, legislatif, dan yudikatif. Presiden merupakan pejabat tertinggi pemerintahan Iran dalam hubungan internasional yang berwenang menandatangani perjanjian dan berhak mengangkat perdana menteri setelah parlemen menyetujui.

Kekuasaan legislatif dipegang oleh parlemen yang beranggotakan 270 orang dan dipilih secara bebas dan rahasia oleh rakyat. Parlemen bertugas mengawasi, mengontrol dan membahas seluruh kebijakan pemerintahan. Seluruh keputusan dan perjanjian yang dibuat pemerintah harus mendapat persetujuan parlemen.

Adapun Dewan Pelindung Konstitusi Iran beranggotakan dua belas orang, enam orang anggotanya adalah ahli hukum Islam yang diangkat faqih, sedangkan enam orang lainnya terdiri dari ahli hukum umum yang diusulkan Pengadilan Tinggi Iran dan disetujui parlemen. Tanpa persetujuan Dewan, seluruh kegiatan parlemen tidak sah. Tugas utama Dewan ini melindungi Islam dan Konstitusi Negara Islam Iran. Dewan ini memiliki kekuasaan menafsirkan konstitusi dan bertugas melaksanakan referendum, pemilihan presiden dan pemilihan anggota parlemen.

 

c. Demokrasi

Asal kata demokrasi berasal dari bahasa Yunani yakni demokratia, yang berarti pemerintahan rakyat. Demokratia berasal dari demos yang artinya manusia (rakyat), dan kratos yang artinya pemerintahan. Makna demokrasi lekat dengan pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Demokrasi merupakan bentuk pemerintahan politik yang memperoleh kekuasaan pemerintahan berasal dari rakyat, baik secara langsung (demokrasi langsung) atau secara tidak langsung melalui perwakilan (demokrasi perwakilan).

Demokrasi dalam pandangan Syamsuddin Haris, sebagai sistem politik dan cara pengaturan kehidupan terbaik setiap masyarakat yang menyebut diri modern, sehingga pemerintah di manapun termasuk rezim totaliter, berusaha menyakinkan masyarakat dunia bahwa mereka menganut sistem politik demokratis, atau tengah berproses ke arah sistem politik demokratis.[7] Dalam praktik, demokrasi ditemui dalam bentuk formal, yakni ada proses pemilihan umum yang dilaksanakan oleh lembaga independen dan mandiri, serta adanya kebebasan pemilih untuk menentukan pilihannya dari semua peserta kontestan. Demokrasi formal ini dilekatkan ada aturan dan ketentuan sebagai aturan main yang wajib ditaati semua pihak.

Demokrasi dalam praktik dapat melahirkan pemimpin berintegritas yang berjuang dan bertanggungjawab atas pelaksanaan pemerintahan adil dan melindungi segenap warga negara. Namun wajah demokrasi juga kadang tercorong dengan lahirnya pemimpin otoriter yang membunuh demokrasi, melalui kontrol kekuasaan dan melahirnya undang-undang untuk kepentingan diri dan golongannya.

Padahal sejatinya, demokrasi bersifat substantif yakni tidak sekedar pelaksanaan proses aturan main pemilihan umum, tetapi ada pendidikan politik yang terinternalisasi lewat kesadaran sikap tingkah laku stakeholders. Nilai keadilan, kebebasan, kesetaraan, dan hak asasi manusia diperhatikan dan dilaksanakan. Hingga minim pelanggaran yang menciderai proses demokratisasi serta penanganan pelanggaran yang tegas kepada pelaku. Demikian pula dari sisi hasil pemilihan yang dapat diterima oleh semua pihak, hingga lahir pemimpin berintegritas pilihan rakyat pemilik kedaulatan.

Sistem pemerintahan demokrasi, menjadi di antara sistem yang banyak diterapkan negara-negara yang mayoritas penduduknya beragama Islam, seperti halnya Indonesia. Demokrasi tidak dijalankan secara sekuler seperti di negara barat, melainkan demokrasi mendapatkan pengaruh dari agama. Hal ini dapat diidentifikasi lewat materi muatan peraturan perundang-undangan yang dipengaruhi oleh ajaran agama Islam.

 

Desain Sistem Pemerintahan Indonesia

a. Fenomena Dominasi Presiden

Negara Indonesia, telah menempatkan kekuasaan dilaksanakan oleh kekuasaan pemerintahan negara yang dibagi ke dalam cabang-cabang kekuasaan, yakni kekuasaan eksekutif, legislatif dan yudikatif. Tiga cabang kekuasaan ini saling kontrol dan sinergi sebagai satu kesatuan fungsi penyelenggaraan kekuasaan negara. Walaupun dalam sistem pemerintahan Indonesia, kekuasaan eksekutif yang di jabat kekuasaan tertinggi “Presiden” lebih menonjol superior dibandingkan dengan cabang kekuasaan lainnya. Tidak jarang Presiden bersama para pimpinan partai politik pengusung, menentukan arah kebijakan tatanan kehidupan bermasyarakat-bernegara.

Demikian pula kinerja cabang kekuasaan legislatif dan yudikatif secara langsung maupun tidak langsung dapat dipengaruhi oleh kekuasaan eksekutif-presiden. Walau ada norma tekstual, kekuasaan legislatif dan yudikatif sebagai kekuasaan mandiri dan independen. Tetapi, kenyataan praktik tidak seideal teks norma terbaca. Loyalitas, balas budi dan aroma desain memuluskan kebijakan politik tertinggi tidak bisa ditepis. Jadilah cabang kekuasaan negara lainnya sebagai perpanjangan tangan kepentingan pragmatis eksekutif-Presiden dan kelompoknya.

Kenyataan ini berangkat dari desain regulasi yang mengatur tata kehidupan bernegara, regulasi yang dirumuskan oleh anggota legislatif (DPR) bersama pemerintah. Sebagai tokoh partai politik yang berhasil duduk di gedung Senayan lewat sistem pemilihan umum, produk regulasi bisa dipastikan tidak lepas dari arahan internal partai politik asalnya. Regulasi sebagai hasil kompromi politik dan lobi pragmatis antar partai. Hampir tidak ada alias minim keberanian-idealisme anggota legislatif untuk keluar dari bingkai kebijakan partai dengan ekspektasi keadilan subtantif, mengambil sikap politik berbeda dengan kebijakan internal partai. Kalaupun ada yang nekat-berani maka siap bernasib tragis, dicari kesalahan walau kadang politis terus diganti dengan status pengganti antar waktu, karena tidak memenuhi syarat lagi sebagai anggota partai politik.

Ada lingkaran kekuasaan. partai politik sebagai pengusung calon presiden dan wakil presiden dalam pemilihan umum, dan peran mengusung calon legislatif, hingga terpilih menjadi anggota legislatif dan duduk di Senayan. Dengan kenyataan ini, “pimpinan partai politik” menjadi pihak yang mempengaruhi kebijakan kekuasaan negara yang dijalankan oleh presiden, demikian juga dengan undang-undang produk regulasi hasil parlemen.

Demikian pula dengan cabang kekuasaan yudikatif sebagai pelaksana peraturan perundang-undangan di bidang penegakan hukum yang mandiri dan imparsial, juga tidak lepas dari pengaruh eksekutif-presiden. Kenyataan ini tidak lepas dari kewenangan presiden mengangkat dan memberhentikan pimpinan lembaga dalam kekuasaan yudikatif, baik kepolisian, kejaksaan, mahkamah agung, dan mahkamah konstitusi. Walaupun dalam proses rekrutmen ada persetujuan dari parlemen, tapi sekali lagi dominasi kekuasaan presiden dan pimpinan partai politik pengusung sangat menentukan sosok masing-masing pimpinan lembaga dalam kekuasaan yudikatif.

****

Sejatinya demokrasi hanya dapat dijalankan oleh para pemimpin negara yang amanah. Label amanah terlihat dan dirasakan oleh rakyat dari sikap, tindakan dan kebijakan pengelolaan negara. Sebab seorang pemimpin politik yang picik, akan menganggap musuh orang-orang yang kritis yang kebetulan berseberangan pendapat dengannya. Lebih fatal lagi, musuh tadi harus dikuasai kalau perlu dimusnahkan dengan berbahai cara, kendati dengan cara membunuh (menghilangkan nyawa), menculik atau membunuh karakter musuh. Tindakan irrasional dalam sudut demokrasi, seperti itu bisa saja terjadi, apalagi dikuasainya mayoritas struktur lembaga-lembaga negara dan kekuatan civil society potensial.

Pada keadaan ini, demokrasi yang diagungkan dibajak beberapa kalangan elit politik, tentunya untuk kepentingan pribadi. Hakikat suara rakyat hasil pemilu berkembang untuk melindungi dan mencapai tujuan elit politik. Inilah yang dikhawatirkan dari pemimpin hasil pemilu bertransformasi menjadi pemimpin otoriter. Demokrasi perlahan-lahan mati dan dikalahkan oleh sistem pemerintahan yang dibangun dengan mengarah ke ciri diktator. Padahal pemimpin tersebut lahir dari proses demokratisasi. Steven Levistsky dan Daniel Ziblatt profesor Universitas Harvard Amerika, dalam bukunya “Bagaimana Demokrasi Mati (How Democracies Die), menyebut empat ciri-ciri kunci yang menunjukkan bahwa demokrasi telah berubah menjadi sistem pemerintahan berprilaku otoriter.  Pertama, komitemen lemah atas aturan hukum. Kedua, menyangkal legitimasi lawan politik. Ketiga, intoleransi atau anjuran kekerasan. Keempat, membatasi kebebasan sipil lawan, termasuk media.[8] Matinya demokrasi ditandai dari keadaan-peristiwa kehidupan bernegara, yang erat kaitan dengan tindakan pemilik kekuasaan (pemerintah) mencerabut nilai dan prinsip demokrasi.

Pemerintah ciri diktator ini bisa saja lahir lewat proses pemilu, di mana tokoh politik menghimpun dukungan dengan menggunakan isu-isu populer dan argumen yang penuh prasangka terhadap lawan-lawan politik. Lalu terpilih dan naik ke puncak kekuasaan lewat proses pemilu, saat itulah Ia mulai menjalankan kekuasaan pemerintahan dengan langkah menghancurkan lembaga-lembaga politik yang demokratis. Berupa lembaga politik dijadikan senjata politik untuk mengendalikan dan menghantam mereka yang berseberangan secara politik. Membeli media dan sektor swasta agar diam atau memihak kepadanya, serta mengubah aturan politik agar keseimbangan politik berubah menjadi merugikan lawan. Jadi inilah paradoks gawat yang harus dihadapi oleh sistem demokrasi.

Banyak upaya pemerintah berkuasa membajak demokrasi sehingga tampak “legal” dengan persetujuan lembaga legislatif dan diterima lembaga yudikatif. Boleh jadi desain pencitraan, melalui upaya-upaya perbaikan demokrasi dengan membuat pengadilan lebih efesien, memerangi kejahatan dan korupsi, atau mendorong pemilu jujur dan adil.  Media massa terbit setiap saat, tapi sudah dibeli atau ditekan pihak pemerintah sehingga menyensor diri sendiri. Rakyat terus mengkritik pemerintah tapi lantas menghadapi kriminalisasi. Jadilah masyarakat sebagian besar memilih jalan aman yakni apatis.

Pemerintahan dijalankan dalam sebuah skenario besar mempertahankan kekuasaan. Kritikan-kritikan berpotensi mengancam eksistensi kekuasaan lantas ditekan, dikriminalisasi dan diberangus dengan terlebih dahulu diajak masuk dalam lingkaran kekuasaan saling menguntungkan. Struktur kekuasaan lembaga negara dikuasai dengan cara mempergunakan otoritas mengisi dengan orang-orang loyal terhadap elit pemerintah. Pada sisi lain, jargon dan branding tentang pemerintahan demokratis, penegakan hukum dan perlindungan HAM terus disampaikan. Walau senyatanya berbeda, antara disampaikan dengan dilakukan pemerintah.

b. Pijakan Demokrasi Indonesia

Sistem pemerintahan khilafah dan imamah merupakan sebagian dari khazanah kekayaan identitas dan sistem politik yang dipraktekkan oleh umat Islam dalam konteks negara bangsa (nation state). Masing-masing khazanah berkembang melewati batas sekat wilayah negara. Tetapi selain sistem tersebut, sistem politik demokratis juga banyak dipraktekkan oleh sejumlah negara-negara muslim di dunia, atau setidaknya dipraktekkan di negara yang mayoritas berpenduduk agama Islam. Walaupun sistem politik demokratis tidak menjamin negara akan mencapai kemakmuran, sebab banyak juga negara yang tidak menerapkan sistem demokrasi berhasil mencapai tingkat kemakmuran. Tetapi sistem demokrasi lebih menjamin pergantian pemerintah secara damai, dan ada jaminan perlindungan hak asasi manusia.

Kembali ke topik utama, bahwa khilafah, imamah, dan monarki menjadi referensi sistem politik Islam untuk diterapkan di negara bangsa. Pilihan menentukan sistem pemerintahan menjadi hak pendiri negara dan kedaulatan rakyat. Islam tidak menggariskan secara tegas bentuk sistem pemerintahan, tetapi menekankan pada aspek substansi, prinsip, dan nilai Islam dalam setiap pelaksanaan sistem pemerintahan. Jadi sekali lagi, setiap bangsa bebas menentukan bentuk sistem pemerintahan yang dianut dengan catatan mengandung unsur-unsur keadilan, persamaan, dan permusyawaratan serta tidak mengubah dasar-dasar ajaran Islam yang fundamental.

Unsur-unsur tersebut menurut Dahlan Thaib dkk menunjukkan konsepsi Islam tentang negara memegang peranan penting bagi pembentukan negara modern yang demokratis. Sebagai contoh Islam dan ketatanegaraan modern memperlihatkan formulasi konstitusi Madina sebagai konstitusi pertama di dunia, yang di dalamnya terkadunung muatan materi layaknya konstitusi modern. Konstitusi ini memuat dasar-dasar masyarakat partisipatif dan egaliter, yang dicirikan dengan pengakuan hak asasi manusia tanpa diskriminasi baik muslim maupun yahudi.[9]

Indonesia sebagai negara yang berpenduduk muslim terbesar, lebih memilih dan menjadikan demokrasi sebagai sistem politik pemerintahan. Pergulatan pemikiran, idealisme, toleransi, dan orentasi dari para pendiri bangsa (the founding fathers) lantas menjatuhkan pilihan pada sistem demokrasi yang menempatkan rakyat berdaulat menempatkan wakil-wakilnya di pemerintahan melalui mekanisme pemilihan umum. Pemilihan dilaksanakan dalam periode lima tahun sekali untuk memilih presiden dan wakil presiden, anggota legislatif, dan kepala daerah oleh lembaga indepen dan mandiri yakni KPU, Bawaslu, dan DKPP.

Sebagaimana demokrasi menempatkan kedaulatan tertinggi pada tangan rakyat, rakyat yang berdaulat memilih wakil-wakilnya duduk di kursi pemerintah dan legislatif. Demokrasi dilaksanakan melalui mekanisme pemilihan umum untuk periode masa pemerintahan. Pemilu dijalankan oleh lembaga independen yang memperlakukan semua peserta pemilu secara jujur dan adil serta menjamin hak-hak politik masyarakat.

Konsepsi Islam mengenai hak-hak politik merupakan hak-hak yang dinikmati oleh setiap rakyat sebagai anggota dalam suatu lembaga politik seperti hak memilih, hak dipilih, hak mencalonkan diri untuk menduduki jabatan politik, hak memegang jabatan umum dalam negara, dan hak yang menjadikan seseorang ikut serta mengatur kepentingan negara dan pemerintahan.[10]

Pembukaan alinea IV UUD 1945 berbunyi, “bahwa kemerdekaan kebangsaan Indonesia itu disusun dalam suatu Undang-Undang Dasar Negara Indonesia yang terbentuk dalam suatu susunan negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat”. Selanjutnya berdasarkan ketentuan Pasal 1 ayat (1) UUD 1945, “Negara Indonesia adalah negara kesatuan yang berbentuk republik”. Dimaknai negara Indonesia berbentuk negara kesatuan, sedangkan sistem pemerintahan yang dijalankan ialah Republik. Selain sistem pemerintahan republik dan bentuk negara kesatuan, Presiden ditempatkan sebagai pemegang kekuasaan kepala negara dan sekaligus kepala pemerintahan. Pemerintahan merupakan kekuasaan negara yang dijalankan badan-badan legislatif, eksekutif, dan yudikatif dalam rangka mencapai tujuan penyelenggaraan bernegara.

Fungsi pemerintahan suatu negara, meminjam ajaran trias politica Montesqieu dibedakan menjadi tiga fungsi, yakni eksekutif sebagai kekuasaan untuk menjalankan undang undang, legislatif sebagai kekuasaan untuk membentuk undang undang, dan yudikatif sebagai kuasaan mengadili terhadap pelanggaran atas undang undang. Dari sistem pemerintahan Indonesia mulai tahun 1945 hingga saat ini, telah terjadi banyak perubahan. Perubahan yang menjadi sejarah perjalanan ketatanegaraan negara Indonesia. Perubahan itu, lewat penyelenggaraan pemilihan umum secara serentak, mekanisme cheks and balance lembaga negara, dan pemberian kekuasaan yang besar kepada parlemen untuk melaksanakan fungsi pengawasan, pembahasan undang-undang dan fungsi anggaran.

Walaupun diakui proses demokratisasi dalam kerangka penyelenggaraan kekuasaan negara masih menemui sejumlah masalah, hambatan, dan tantangan. Terutama akibat perbedaan ideologi, aliran dan kepercayaan yang tajam, kadang turut mempengaruhi stabilitas negara, yang pada satu kesempatan berujung pada terjadinya konflik sosial pembawa malapetaka kehidupan masyarakat, berupa kerugian harta-benda hingga hilangnya nyawa. Mengatasi hal semacam ini, maka semangat dan bangun toleransi antar umat beragama maupun dalam sesama umat beragama menjadi penting selalu digalakkan, guna merawat dan merajuk persatuan dan kesatuan bangsa.

Berdasarkan ideologi Pancasila menurut Muchamad Ali Safa’at, Indonesia bukan negara agama karena negara agama hanya mendasarkan diri pada satu agama saja. Pada sisi lain, juga bukan negara sekuler karena negara sekuler tidak terlibat dalam urusan agama. Negara Indonesia yang berideologi Pancasila menempatkan negara kebangsaan yang religius untuk melindungi dan memfasilitasi perkembangan semua agama yang dipeluk oleh rakyat tanpa pembedaan besarnya dan jumlah pemeluk.[11]

Artinya hubungan negara dan agama di Indonesia tidak ditempatkan dalam konteks dikotomi, melainkan ditempatkan pada posisi yang harmonis dalam bingkai nilai-nilai kemanusiaan dan ketuhanan. Indonesia tidak menolak modernisasi sejauh tidak meninggalkan nilai-nilai kemanusiaan dan ketuhanan. Hal ini menjadi wahana bagi kelompok muslim terdidik untuk signifikan terhadap pertumbuhan gerakan demokrasi.

 

Penutup

Islam merupakan agama monoteisme yang sempurna mengatur dasar-dasar sisi sendi kehidupan manusia, meliputi tuntuan moral dan peribadatan, serta petunjuk-petunjuk mengenai segala aspek kehidupan, termasuk sistem politik dan pemerintahan negara. Islam dan politik tidak terpisahkan, agama dan negara merupakan dua objek penting dalam Islam, yang keduanya memiliki hubungan fungsional yakni kekuasaan politik melindungi agama dan agama mengawal kekuasaan politik.

Soal sistem politik dan pemerintahan tidak lepas dari bahasan ajaran Islam. Dalam catatan sejarah, sistem pemerintahan yang pernah diterapkan dengan pengaruh ajaran Islam meliputi sistem pemerintahan khilafah yang dijalankan khulafa al-rasyidun hingga bermetamorfosis menjadi kekuasaan monarki di masa Dinasti Umayah, lalu berganti Dinasti Abbasiyah, dan dilanjutkan Dinasti Turki Utsmaniyah di Istanbul Turki. Demikian pula dengan sistem pemerintahan imamah dijalankan hingga kini oleh Republik Islam Iran dengan konsep wilayatul al-faqih. Serta sistem demokrasi hingga kini banyak dipraktikkan negara muslim.

Konteks ke-Indonesiaan, para pendiri bangsa dan rakyat yang mayoritas umat Islam berkewajiban menjalankan ajaran agama Islam secara penuh dan konsekwen, dengan memperhatikan lokalitas-kearifan setempat. Islam juga tidak menegaskan, bahwa sistem pemerintahan negara-bangsa harus berbentuk khilafah, imamah, atau monarki. Asal sistem pemerintahan manapun yang dipilih dalam konteks negara-bangsa, penerapan prinsip dan norma ajaran Islam dalam dan praktek kehidupan mutlak dilaksanakan. Di antaranya pengakuan dan perlindungan hak asasi manusia, unsur-unsur keadilan, persamaan, dan permusyawaratan.

Oleh karena itu, Konstitusi dan UUD 1945 disusun oleh para pendiri bangsa dan dilanjutkan oleh pemerintah dan wakil-wakil rakyat, idealnya sebagai orientasi dan cita-cita menjalankan ajaran Islam sebagai ajaran rahmatan semesta alam. Dalam kehidupan demokrasi dan pengejawantahan sistem pemilu dengan menempatkan rakyat berdaulat, jika ingin mempertahankan atau ingin melakukan perubahan atas Konstitusi dengan memasukkan nilai dan prinsip universalitas ajaran Islam ke dalam Konstitusi, maka kekuasaan atas pembentukan undang-undangan dalam negara harus diisi oleh orang-orang yang paham dan bersedia berjuang dalam menyampaikan dan menyebarkan ajaran Islam, dan tidak terjebak pada heroisme sistem pemerintahan dalam catatan sejarah umat Islam.

Catatan Kaki:

[1] M. Natsir dalam Muchamad Ali Safa’at. 2018. Dinamika Negara dan Islam, Dalam Perkembangan Hukum dan Politik di Indonesia. Jakarta: Konstitusi Press. hlm. 77.
[2] Mujar Ibnu Syarif dan Khamami Zada, 2008, Fiqih Siyasah, Doktrin dan Pemikiran Politik Islam, Penerbit Erlangga, Jakarta, hlm. 208.
[3] Ibid, hlm. 209.
[4] Ahmad Vaezi, 2006, Agama Politik, Nalar Politik Islam, Citra, Jakarta, hlm. 169-170.
[5] Mujar Ibnu Syarif dan Khamami Zada, Op Cit, hlm. 213-214.
[6] Imam khomaeni dalam Mujar Ibnu Syarif dan Khamami Zada, Loc Cit, hlm. 214.
[7] Syamsuddin Haris dalam Topo Santoso dan Ida Budhiarti, 2019, Pemilu Di Indonesia; Kelembagaan, Pelaksanaan dan Pengawasan, Sinar Grafika, Jakarta, hal. 10-11.
[8] Steven Levistsky dan Daniel Ziblatt, 2018, Bagaimana Demokrasi Mati (How Democracies Die), Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, hlm. 11-12.
[9] Dahlan Thaib dkk, 2004, Teori dan Hukum Konstitusi, Raja Grafindo Persada, Jakarta, hlm. 30.
[10] Ibid, hlm. 51.
[11]Muchamad Ali Safa’at, 2018, Dinamika Negara dan Islam, Dalam Perkembangan Hukum dan Politik di Indonesia, Konstitusi Press, Jakarta, hlm. 100.

[…]

Kader Pengawasan Partisipatif

313 Views

Oleh : Ruslan Husen, SH, MH.
(Ketua Bawaslu Provinsi Sulteng)

Proses dan hasil pemilihan kepala daerah (pemilihan) berintegritas dan bermartabat merupakan tujuan ideal dari pembentukan UU Nomor 1 Tahun 2015 sebagaimana diubah terakhir kali dengan UU Nomor 6 Tahun 2020 (UU Pemilihan). Yakni proses pelibatan semua pihak dalam penyelenggaraan pemilihan, termasuk aktif mencegah dan menindaklanjuti setiap pelanggaran secara jujur dan adil, hingga lahir pemimpin pilihan rakyat (pemilih) untuk realisasi janji-janji politik saat kampanye lalu. Dikatakan sebagai pemilihan berintegritas dan bermartabat jika pelaksanaan pemilihan memenuhi standar prinsip transparansi proses, prinsip akuntabilitas, dan akses publik menguji kebenaran proses dan hasil, serta prinsip partisipasi masyarakat. Prinsip-prinsip ini menjadi satu-kesatuan sistem yang berkolaborasi dalam pencapaian tujuan dari pelaksanaan pemilihan.

Kedudukan dari prinsip partisipasi masyarakat dalam negara yang menggunakan demokrasi sebagai sistem politiknya, adalah mutlak. Dikatakan demokratis jika secara langsung maupun tidak langsung masyarakat terlibat dalam pengambilan kebijakan politik termasuk mengawal pelaksanaan kebijakan. Dalam penyelenggaran pemilihan, bentuk partisipasi masyarakat dapat diidentifikasi lewat giat sebagai pemilih menggunakan hak memilihnya di tempat pemungutan suara, menyatakan sikap atau dukungan, mencegah terjadinya kecurangan, dan melaporkan kecurangan kepada instansi berwenang, dan menjadi pemantau pemilihan.

Bentuk-bentuk partisipasi masyarakat dimaksud sejatinya dipupuk, dibina dan diberdayakan hingga menjadi kekuatan sosial yang turut mendukung pencapaian tujuan pemilihan berintegritas dan bermartabat. Partisipasi masyarakat akan berkolaborasi dengan kegiatan penyelenggara pemilihan dan pemerintah, sekaligus menjadi kontrol sosial penyelenggaraan yang efektif hingga turut menjadi sebab legitimasi proses dan hasil pemilihan.

Khusus di lembaga pengawas, Bawaslu melaksanakan program pusat pengawasan partisipatif. Program ini terdiri: Pengawasan Berbasis Teknologi Informasi (Gowaslu), Pojok Pengawasan, Forum Warga, Satuan Karya Pramuka (Saka) Adhyasta Pemilu, Pengabdian Masyarakat dalam Pengawasan Pemilu, Pengawasan Media Sosial, Gerakan Pengawas Partisipatif Pemilu (GEMBAR), dan Sekolah Kader Pengawasan Partisipatif.

Khusus sekolah kader pengawasan partisipatif, Bawaslu merekrut, mendidik dan memberdayakan individu potensial yang tidak berafiliasi dengan kepentingan politik praktis, dalam wadah “sekolah”. Peserta terlebih dahulu diberi pendidikan khusus dalam waktu tertentu, dalam sebuah forum sekolah hingga berdaya dan dapat kembali ke tengah masyarakat menerapkan ilmu dan pengetahuan pengawasan, berkolaborasi dengan stakeholders pemilihan. Ini menjadi bagian upaya mendorong partisipasi pemilih terlibat dalam penyelenggaraan pemilihan.

Sekolah kader digagas untuk mengajak dan memberdayakan potensi partisipasi masyarakat dalam mencegah dan menindak pelanggaran pemilihan. Sekaligus mereka kader-kader pengawasan, akan bertindak sebagai perpanjangan tangan memberikan pendidikan politik, menjadi tangan dan telinga dari pengawas dalam pelaksanaan tahapan pemilihan. Serta dipersiapkan sebagai kader-kader potensial melanjutkan estafet penyelenggara pemilihan di masa mendatang, terutama di tingkatan daerah.

Beranjak dari semangat dan tujuan sekolah kader pengawasan partisipatif, lantas memunculkan pertanyaan sebagai fokus bahasan tulisan ini. Bagaimana cita idealitas kader pengawasan partisipatif di tengah kelompok masyarakat? Mereka telah memberoleh pendidikan khusus, penajaman ilmu dan pengetahuan sebagai bekal menunjang kerja-kerja pengawas dan berkolaborasi dengan stakeholders pemilihan. Sehingga  eksistensi kader pengawasan partisipatif di tengah kontestasi pemilihan dapat terlihat.

Konsep Partisipasi Masyarakat

Partisipasi secara harfiah berarti keikutsertaan. Keikutsertaan dimaknai sebagai ikut serta dalam suatu kegiatan yang bersifat formal maupun informal. Dalam konteks politik, keikutsertaan warga negara dalam politik tidak hanya mendukung keputusan atau kebijakan yang telah digariskan, melainkan juga ikut memilih dalam penentuan calon pimpinan melalui proses pemilihan secara demokratis.

Konsep partisipasi politik, menurut Miriam Budiardjo adalah kegiatan seseorang atau sekelompok orang ikut serta secara aktif dalam kehidupan politik, dengan jalan memilih pimpinan dan secara langsung atau tidak langsung mempengaruhi kebijakan pemerintahan. Kegiatan ini mencakup tindakan memberikan suara dalam pemilihan, menghadiri rapat umum, mengadakan hubungan dengan pejabat pemerintah atau anggota parlemen, menjadi anggota partai atau salah satu gerakan sosial dengan aksi nyata dan sebagainya.[1]

Lebih lanjut, pandangan Huntington dan Nelson memberi tafsiran yang lebih luas dengan memasukkan secara eksplisit tidakan ilegal dan kekerasan. Menurut mereka, partisipasi politik adalah kegiatan warga negara yang bertindak sebagai pribadi-pribadi, yang dimaksud untuk mempengaruhi pembuatan keputusan oleh pemerintah. Partisipasi bisa bersifat individual atau kolektif, terorganisir maupun spontan, mantap atau sporadis, secara damai maupun dengan kekerasan, legal atau ilegal, efektif atau tidak efektif.[2]

Atas pengertian partisipasi yang dikemukakan di atas, dapat diambil batasan soal partisipasi masyarakat yang lekat dengan kegiatan politik. Partisipasi masyarakat dimaknai tindakan nyata bersifat fisik seperti menyalurkan suara di TPS, dan partisipasi masyarakat bersifat non-fisik seperti buah pikiran, ide, keterampilan serta keterlibatan individu dalam kegiatan demokrasi dan proses bernegara.

Proses demokratisasi telah menggiring pandangan akan adanya keterlibatan masyarakat secara partisipatif. Sehingga penyelenggaraan pemilihan dimaknai sebagai rutinitas politik yang bukan hanya menjadi tanggung jawab penyelenggara saja, tetapi juga menegaskan partisipasi masyarakat agar ambil bagian mewujudkan tujuan dan keadilan pemilihan. Pada posisi ini, masyarakat sebagai pemilih, bukan hanya sebagai pihak yang selalu diperebutkan suaranya menjelang hari pemungutan suara, tetapi masyarakat juga berperan dalam pelaksanaan penyelenggaraan sesuai porsi kedudukan masing-masing. Misalnya melakukan pengawasan pemilihan, menyatakan sikap, menyampaikan himbauan, mencegah terjadinya pelanggaran, dan melaporkan jika terjadi pelanggaran kepada pihak berwenang.

Partisipasi masyarakat dalam pengawasan pemilihan menurut Gunawan Suswantoro bertujuan agar masyarakat tidak hanya menjadi objek pemilihan yang suaranya diperebutkan oleh kontestan peserta pemilihan, tetapi masyarakat juga berperan aktif sebagai subjek dengan terlibat dalam menjaga integritas penyelenggaraan pemilihan.[3] Dalam posisi ini, masyarakat memahami arti hak pilih yang disalurkan secara rasional, termasuk menjaga kontestasi pemilihan agar tidak ternodai-terciderai dengan kecurangan. Mereka memiliki sikap dan tindakan menolak kecurangan dan siap menjadi pihak yang aktif memberikan laporan atau informasi awal terjadinya pelanggaran pemilihan kepada pihak berwenang.

Partisipasi masyarakat dalam pengawasan akan melintasi batas-batas pihak, artinya masyarakat dapat mengawasi tahapan penyelenggaraan yang dilaksanakan KPU dan Bawaslu beserta jajarannya, dan dapat juga mengawasi kontestasi dari peserta pemilihan, mengawasi netralitas ASN dan aparat birokrasi, termasuk kontrol pencegahan dengan sesama pemilih untuk senantiasa taat pada koridor norma/ketentuan hukum. Pengawasan masyarakat ini lahir dari rasionalitas-kolektif dengan cara mencegah, melaporkan atau memberikan informasi awal terjadinya pelanggaran kepada pihak berwenang.[4]

Menurut Gunawasan Suswantoro[5] terdapat tiga model partisipatif masyarakat dalam pemilihan. Model-model ini dapat dikolaborasikan dengan kondisi dan nilai-nilai kearifan lokal, yang pada intinya masyarakat dengan rasionalitas terlibat aktif dalam menyukseskan penyelenggaraan proses dan hasil dari pemilihan.

Model Pengawasan Partisipasi Terbatas, melibatkan kelompok atau organisasi masyarakat yang telah memiliki rekam jejak dan pengalaman dalam melakukan pemantauan, juga jaringan Perguruan Tinggi yang memiliki Fakultas Ilmu Politik dan Fakultas Ilmu Hukum. Sinergi terbangun karena masing-masing pihak saling membutuhkan, pengawas membutuhkan keterlibatan masyarakat secara luas guna mencegah dan penindakan segala bentuk pelanggaran. Demikian pula dengan organisasi dan Perguruan Tinggi, membutuhkan brand image dan penunjang akreditasi institusi yang ditujukan untuk peningkatan kapasistas SDM. Lingkup kerjasama model ini diformalkan dalam bentuk Nota Kesepahaman (MoU) antar Instansi yang dapat ditindaklanjuti dengan perjanjian kerjasama dengan rinci memuat bagian-bagian yang disepakati.

Model Pengawasan Partisipasi Meluas, mensyaratkan pelibatan masyarakat dalam pengawasan secara luas. Model ini tidak memperhitungkan latar belakang dan status kelompok yang terlibat dalam pengawasan. Mereka difasilitasi pengawas pemilihan dengan diberi pembekalan untuk mengetahui tujuan pengawasan, cara kerja pencegahan dan pelaporan pelanggaran. Sehingga yang dilibatkan bukan saja organisasi masyarakat, tetapi bisa juga komunitas siswa-mahasiswa, kelompok ibu-ibu, kalangan profesi dan masyarakat umum lainnya.

Model Pengawasan Partisipasi Berbasis Isu. Model ini mensyaratkan pelibatan organisasi masyarakat yang memiliki perhatian terhadap isu-isu demokrasi, konstitusi dan pemilu yang disinergikan dengan kerja-kerja pengawas pemilihan. Selama mereka dapat berpartisipasi sesuai dengan keahlian dengan isu strategis yang terus mereka kampanyekan, maka selama itu sinergi-kolaborasi dengan pengawas dapat terus dibangun. Organisasi yang dilibatkan dalam model pengawasan ini, akan sinergi dengan kerja-kerja pengawasan, karena mereka memiliki sumber daya manusia dengan keahlian-spesifikasi linear dengan regulasi. Tentu pola jaringan dan komunikasi yang positif sehingga mampu menggerakkan organisasi dalam model ini akan menjadi indikator keberhasilan pengawasan pemilihan.

Jika dicermati, inisiasi melahirkan kader pengawasan partisipatif lebih cenderung dengan model pengawasan partisipasi meluas. Berupa mengajak kelompok-kelompok potensial yang ada di tengah masyarakat untuk bersama-sama berdaya dalam isu pengawasan pemilu yakni mencegah potensi pelanggaran dan menindak pelanggaran. Bahkan pada tataran tertentu, dapat memantik lahirnya bibit-bibit potensi penyelenggara, atau mereka yang konsen dalam isu demokrasi, dan pemilihan.

Secara praktek, partisipasi masyarakat dalam pemilihan dapat berupa kolaborasi dalam kegiatan penyelenggaraan yakni sosialisasi, diskusi, pernyataan dukungan, dan himbauan. Kegiatan semacam ini, cepat atau lambat akan disambut, yang pada giliran akan melahirkan individu dan komunitas yang memiliki visi searah dengan kerja-kerja penyelenggara pemilihan. Dengan kesadaran kolektif mereka ikut berkontribusi menyukseskan tahapan pemilihan, mendorong lahirnya pemimpin berintegritas dan memiliki kapasitas handal lewat proses penyelenggaraan pemilihan yang jujur dan adil.

Cita Kader Pengawasan Partisipatif

Bagi masyarakat, keterlibatan dalam penyelenggaraan pemilihan berdimensi mengikuti dinamika politik, dan secara langsung belajar dari proses penyelenggaraan hingga menjadi kontrol sosial. Oleh karena itu, dibutuhkan kolaborasi antara penyelenggara dengan masyarakat pemilih. Kelompok masyarakat yang memberikan perhatikan terhadap pelaksanaan pemilihan yang jujur dan adil, sangat penting berkolaborasi dengan penyelenggara. Peningkatan kolaborasi inilah menjadi kunci partisipasi masyarakat.

Sementara bagi penyelenggara, partisipasi masyarakat secara psikologis akan mengawal dan mengingatkan mereka untuk senantiasa berhati-hati, jujur dan adil dalam menyelenggarakan event pemilihan. Ada mata publik yang senantiasa mengamati gerak-gerik dan kebijakan, serta keputusan yang diambil. Pada posisi ini, sejatinya baik penyelenggara, peserta, dan pihak terkait dalam pemilihan dapat berperan dan berkontribusi positif sesuai latar belakang masing-masing.

Pada posisi inilah, pengawasan partisipatif melalui kegiatan sekolah kader yang digagas Bawaslu atas masukan Badan Perencanaan Nasional (Bappenas) akan berdimensi ganda manfaat, yakni mendorong gerak masyarakat terlibat dalam mengawal proses penyelenggaraan dan hasil pemilihan, dan peningkatan kapasitas sumber daya masyarakat sendiri. Peran masyarakat ini tidak lagi sebatas memberikan hak pilih di TPS semata, tetapi cakupan lebih luas yakni ingin menjamin pelaksanaan taat asas dan hasilnya berupa pemimpin yang memperoleh legitimasi rakyat daerah. Ketika pengawasan partisipatif di kampanyekan, terlebih dahulu belajar, menguasai materi muatan lalu menyampaikan ke sesama masyarakat. Dalam konteks ini, pengetahuan seputar pemilihan bukan hanya menjadi konsumsi penyelenggara saja, tetapi telah menjadi pengetahuan para pihak (masyarakat) yang akhirnya ikut membantu pembangunan demokrasi.

Bahwa potensi kecurangan dalam proses kontestasi bisa saja terjadi di segala titik wilayah, sementara jumlah sumber daya manusia penyelenggara masih sangat terbatas dengan wilayah kerja yang luas. Cita kader dari individu dan komunitas yang lahir dari sekolah kader pengawasan partisipatif, untuk berkolaborasi dengan kerja-kerja pengawas melakukan pencegahan pelanggaran, dan melaporkan jika ditemukan pelanggaran pemilihan kepada Bawaslu atau jajarannya di daerah.

Pertama, mendekatkan pengawasan pemilihan dalam kehidupan sosial. Berupa menciptakan kantong atau simpul pengawasan potensial di lapisan masyarakat, yakni menjadi mata dan telinga pengawas pemilihan. Pasalnya pengawas merupakan potensi kekuatan masyarakat yang dilembagakan dan dibiayai negara, sehingga pengawas tidak boleh lupa dari mana berasal dan bekerja untuk apa. Hingga pengawas pemilihan merupakan satu kesatuan entitas yang menyatu dengan kekuatan masyarakat, yang menjamin proses pergantian pemimpin berlangsung secara jujur dan adil.

Individu dan komunitas sosial jika dikonsolidasikan secara tepat akan menjadi kekuatan besar membantu kerja-kerja penyelenggaraan, khususnya Bawaslu sebagai bagian penyelenggara. Sebab, pengawas pemilihan memiliki jumlah sumber daya terbatas, ditambah waktu penanganan pelanggaran yang singkat, serta wilayah pengawasan yang luas, tentu menyulitkan kegiatan pengawasan langsung dan melekat. Tetapi ketika kehadiran stakeholders yang terdiri dari individu dan komunitas potensial tadi, menjadi kekuatan besar yang sinergi dengan kerja-kerja pengawasan pemilihan.

Kedua, mempertahankan integritas dan kapasitas pemilih. Melalui pola materi pendidikan yang diberikan kepada peserta, sekolah kader pengawasan partisipatif menghasilkan lulusan yang memiliki potensi menjadi kader pengawas pemilihan di daerah masing-masing. Dengan spesifik, memiliki integritas dan kapasitas memadai dalam pelaksanaan kerja-kerja penyelenggaraan pemilihan, khususnya berkolaborasi dengan pengawasan pemilu mewujudkan keadilan pemilu. Atas integritas dan kapasitas individu yang telah dibina, diharapkan menjadi bibit kristal untuk menyebar hingga membentuk kekuatan sosial masyarakat. Minimal sosialisasi dilakukan pada keluarga terdekat, lalu menggelinding ke komunitas, dan masyarakat.

Ketiga, perluasan jaringan sosialisasi. Peserta sekolah kader mengutamakan pegiat dan aktivis sosial yang bergelut pada komunitas tertentu, sehingga ilmu dan pengetahuan yang mereka dapatkan dapat terdistribusi langsung ke tengah komunitas mereka. Secara teknis kerja kader pengawasan partisipatif bisa dilakukan melalui media-media yang akrab dan digemari khalayak ramai. Bentuknya bisa di media elektronik maupun media cetak termasuk media sosial. Pesan dapat disampaikan langsung, misalnya lewat selebaran, stiker, dan brosur saat pelaksanaan momen kegiatan. Jaringan (networking) personal dan kelembagaan yang selama ini sudah terbangun, sangat potensial digunakan. Kerjasama saling menguntungkan titik temunya. Pesan pengawasan pemilihan ini perlu akomodatif sesuai dengan segmen sasaran. Kreatifitas guna merangkai materi dan substansi pesan sangat menentukan keberhasilan, agar pesan diterima secara baik. Selain itu, pesan perlu memperhatikan kultur masyarakat setempat, agar pesan diterima dan tidak menimbulkan bumerang yang kontra produktif dengan kerja-kerja pengawasan.

Keempat, estafet penyelenggara pemilihan. Para kader pengawasan dalam jangka panjang dilatih menjadi pemimpin di masa depan, baik di jajaran penyelenggara sendiri maupun di dalam komunitas struktur sosial masyarakat. Dengan jaringan kader yang sudah terbentuk, apalagi dengan jaringan komunitas yang telah mereka bangun sebelumnya, akan menjadi modal sosial calon pemimpin. Tinggal saat ini, terus mengasah dan menempah diri meningkatkan integritas dan kapasitas hingga layak menjadi pemimpin dan layak menjadi tumpuan koordinator penyelesaian masalah sosial.

***

Pengawasan partisipatif digerakkan jajaran pengawas pemilihan yang berkolaborasi dengan masyarakat, yakni individu dan komunitas yang ambil bagian dalam pencegahan pelanggaran dan melaporkan jika ada pelanggaran kepada instansi berwenang. Individu dan komunitas ini bekerja dengan semangat kerelawanan, sehingga disebut dengan “relawan”. Menjadi relawan bisa lahir dari kesadaran internal maupun campur tangan pihak tertentu pembentuk jiwa kerelawanan.

Bawaslu lewat kegiatan sekolah kader pengawasan, berobsesi melahirkan relawan yang merupakan kader-kader pengawasan partisipatif. Relawan atau kader ini memiliki pengetahuan memadai menyangkut urgensi dan tujuan pengawasan guna suksesi penyelenggaraan pemilihan, secara teknis mampu mengisi alat kerja pengawasan. Relawan ini bergerak dengan rasionalitas mencegah potensi pelanggaran, memberikan informasi awal dan melaporkan jika ada pelanggaran pemilihan. Relawan perlu diberi porsi nyata melalui sikap dan tindakan ambil bagian dalam penyelenggaran rutinitas kontestasi pemilihan.

Akhirnya, peran masyarakat secara partisipatif melalui gerak kader bersama pengawas untuk memerangi praktik politik pragmatis-transaksional dapat dilakukan. Melalui kekuatan dan potensi tersebut, diharapkan perilaku pelanggaran seperti politik uang, manipulasi, pencurian suara, ujaran kebencian dan pelanggaran pemilihan lainnya dapat dicegah. Termasuk  ditindak agar memiliki efek jera pada pelaku dan sekaligus sebagai peringatan yang coba melanggar.

Eksistensi Kader Pengawasan

Eksistensi merujuk makna “hal berada; keberadaan.” Artinya eksistensi kader pengawasan dilekatkan pada keberadaan mereka di tengah-tengah masyarakat yang secara langsung dirasakan manfaatnya. Dalam bingkai idealitas, kader pengawasan sejatinya menjadi mata dan telinga pengawas pemilihan dengan cara memberikan informasi awal dan melaporkan dugaan pelanggaran, serta mampu berkolaborasi meningkatkan kualitas proses dan hasil pemilihan.

Selain itu, pada level tertentu kader pengawasan menjadi kekuatan sosial di tengah masyarakat untuk kontrol penyelenggaraan demokrasi melalui pemilihan. Tidak semata memberikan kritikan atas tahapan, tetapi memberikan solusi konstruktif penyelesaian masalah sosial. Mereka pada posisi ini aktif dan kritis memberikan sumbangsih ide dan gagasan kepada berbagai stakeholders hingga berkontribusi meningkatkan partisipasi masyarakat.

Tidak semata memberikan kritik dalam menjaga integritas proses tahapan pemilihan, kader pengawasan juga menjadi kekuatan sosial menjaga kualitas demokrasi saat ada pihak-pihak merongrong dan melakukan kecurangan merebut kekuasaan. Idealisme kekuatan sosial yang terkoneksi dan menyatu dalam barisan kekuasan sosial yang besar. Sehingga efektif memberi kontrol dan peringatan kepada penyelenggara kekuasaan negara dan peringatan kepada mereka yang ingin mencoba membajak demokrasi melalui kecurangan dan pelanggaran.

Penutup

Cita idealitas kader pengawasan partisipatif sejatinya turut memberi kontribusi peningkatan partisipatif masyarakat dalam penyelenggaraan pemilihan, yakni menjaga dan meningkatkan kualitas demokrasi lewat aksi nyata mencegah pelanggaran, dan jika terjadi pelanggaran maka memberikan laporan kepada instansi berwenang dalam hal ini pengawas pemilihan untuk ditindaklanjuti sesuai ketentuan hukum. Selain itu, kader pengawasan dapat menjadi unsur kekuatan sosial melakukan kontrol (pengawasan) atas penyelenggaraan demokratisasi yakni memberi kritikan atau dukungan kepada instansi penyelenggara pemilihan.

Kader pengawasan partisipatif bergerak dengan semangat kerelawanan, tanpa dukungan anggaran dari negara. Semata-mata semangat dan idealisme menjaga kualitas demokrasi. Olehnya, komunikasi dan pemberdayaan untuk menjaga integritas dan meningkatkan kapasitas kader pengawasan perlu terus dilakukan baik oleh pemerintah maupun penyelenggara pemilihan sendiri. Dengan memberikan kepercayaan sebagai perpanjangan tangan pengawas pemilihan di dalam komunitas sosial, dan pelibatan kader dalam setiap kegiatan sosialisasi peningkatan partisipasi pemilih.

Catatan Kaki

[1]Miriam Budiardjo dalam Rio Sholihin dkk. 2014. Partisipasi Politik Masyarakat Dalam Pemilihan. Samarinda: Jurnal Administrative Reform, Vol.2 No.4, Desember 2014, hlm. 499.
[2] Ibid, 499.
[3]Gunawan Suswantoro. 2016. Mengawal Penegak Demokrasi di Balik Tata Kelola Bawaslu & DKPP. Jakarta: Penerbit Erlangga. hlm. 115.
[4]Ruslan Husen. 2019. Dinamika Pengawasan Pemilu. Bandung: Ellunar. hlm. 64.
[5]Ibid, hlm. 115-117.

Pergeseran Konsep Kedaulatan Rakyat dalam Kontestasi Pilkada

341 Views

Oleh: Moh. Qadri
(Staf Bawaslu Provinsi Sulteng)

Memasuki September 2020, tanggal 04 sampai 06 merupakan babak baru penentu kontestasi Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) serentak tahun 2020. Yakni pendaftaran bakal pasangan calon kepala daerah, baik tingkat Kabupaten/Kota hingga Provinsi. Diibaratkan anak tangga, untuk melangkah fase selanjutnya yang menetukan nasib “bakal calon kepala daerah” menjadi “calon kepala daerah”, maka tahap penetapan merupakan pijakan memastikan kontestan dapat maju pada fase setelahnya. Hingga bermuara terpilihnya kandidat menjadi kepala daerah yang definitif dan merupakan pilihan rakyat secara demoktatis. Yakni, Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah yang dipilih dalam satu pasangan calon dan dilaksanakan secara demokratis berdasarkan azas langsung, umum bebas, rahasia, jujur, dan adil.

Selayaknya kontestasi, tentu ada pilihan yang menjadi dilema tersendiri baik untuk Penyelenggara, Peserta Pilkada (Kandidat Bakal Calon) dan utamanya rakyat pemilih akibat perintah Undang-Undang. Sebagai konsekuensi negara Civil Law serasa menelan pil pahit dengan menggugurkan bakal calon dikarenakan tidak terpenuhinya syarat maju sebagai bakal calon pada perhelatan pesta demokrasi. Sehingga terbesit sebuah tanya apa arti demokrasi? Di manakah hak warga negara untuk dipilih? Di manakah suara rakyat untuk memilih calon yang mereka sukai? serta sudahkah sejumlah kursi parlemen yang diwakili partai politik adalah murni representasi suara rakyat?

Hakikat Demokrasi

Banyak Negara mengklaim dirinya sebagai Negara yang demokrasi. Negara dimana dalam system pemerintahannya melibatkan rakyat didalam mengatur dan menjalankan pemerintahannya. Pelibatannya tersebut dapat secara langsung maupun tidak langsung. Negara-negara tersebut mengupload semua kegiatannya dengan mengatasnamakan rakyat. Bahkan Negara-negara yang sebenarnya menganut sistem kerajaanpun mengklim dirinya Negara yang demokratis. Termasuk juga Indonesia, UUD 1945 sebagai konstitusi Negara yang telah mengalami empat kali perubahan, secara nyata mengatur dan mengakui demokrasi sebagai mekanisme pemerintahan. Hal tersebut dapat dilihat dari rumusan Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 yaitu “Kedaulatan ada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang” Pasal tersebut memuat dua prinsip. Pertama prinsip kedaulatan rakyat atau demokrasi dan yang kedua adalah prinsip Negara hukum. Selain itu, wujud nyata Indonesia sebagai Negara demokrasi juga dapat dilihat pada pasal 6A yang mengatur mengenai pemilihan Presiden dan Wakil Presiden secara langsung, serta Pasal 18 ayat (3) dan (4) yang mengatur mengenai pemilihan DPRD Provinsi dan Kabupaten/Kota, dan pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota[1].

Memahami masalah demokrasi terlebih dahulu harus memahami apa definisi dari demokrasi? Tidak ada satu kesamaan dari beberapa ahli mendefinisikan apa itu demokrasi. Secara peristilahan demokrasi berasal dari dua kata yaitu demos dan kratos. Demos mengandung arti rakyat sedangkan kratos mengadung arti pemerintahan. Jadi apabila dua makna tersebut di gabungkan maka demokrasi mengandung makna pemerintahan rakyat.

Makna dari pemerintahan rakyat adalah segala kebijakan yang dibuat oleh Negara akan melibatkan partisipasi rakyat. Partisipasi rakyat tentunya dilaksanakan melalui beberapa tahapan yaitu pertama rakyat harus mengetahui. Kedua, rakyat harus ikut memikirkan. Ketiga, rakyat harus ikut memusyawarahkan. Dan yang keempat, rakyat harus ikut memutuskan. Selain hal tersebut di atas juga tidak kalah pentingnya terhadap partisipasi rakyat adalah rakyat harus ikut aktif melaksanakan. Berkaitan dengan pemerintahan rakyat, ada trademark yang sangat terkenal sampai saat ini yang dinyatakan oleh salah satu presiden Amerika Serikat Abraham Lincoln, presiden Amerika Serikat yang ke 16.

Presiden Amerika tersebut menyatakan bahwa demokrasi adalah pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Mengacu kepada pernyataan tersebut di atas demokrasi diakui banyak orang dan Negara sebagai sebuah system nilai kemanusiaan yang paling menjanjikan masa depan umat manusia yang lebih baik dari system lainnya. Sejak tahun 1998 atau sejak masa reformasi bergulir di Indonesia, demokrasi di Indonesia seperti berlari kencang. Hal ini ditandai dengan dibukanya kesempatan untuk melakukan sesuatu secara bebas. Sejak reformasi kebebasan warga Negara dijamin oleh Negara melalui perlindungan hukum terhadap warga Negara untuk mengekpresikan sesuatu yang dikehendakinya. Pada pemilu tahun 1999 contohnya, saat itu partai politik peserta pemilu sangat banyak sekali.

Negara memberi kebebasan kepada rakyat untuk mendirikan partai politik dan ikut serta di dalam kompetisi pemilihan umum. Syarat-syarat pendirian partai politik pun sangatlah mudah. Selain kebebasan pendirian partai, kebebasan warga Negara untuk berserikat dan berkumpul pun mendapat jaminan secara konkrit. Baik di dalam perlindungan hukum maupun juga di dalam praktek-prakteknya. Sejak reformasi tahun 1998 kebebasan warga untuk melaksanakan unjuk rasa demontrasi menuntut hak-hak masa begitu banyak terjadi. Apabila ada masalah sedikit masyarakat lebih memilih menggunakan jalan berunjuk rasa dari pada melalui musyawarah. Demontrasi terjadi di mana-mana, mulai dari kota besar sampai desa-desa terpencil.

Seperti uraian di atas, bahwa konsep demokrasi bukanlah konsep yang mudah dipahami. Hal ini karena ada beberapa definisi berbeda-beda yang disampaikan para ahli. Bahkan di dalam pelaksanaannya ada kata di belakang kata demokrasi untuk memberikan kejelasan demokrasi yang dianut sebuah Negara. Lihat saja perkembangan demokrasi di Indonesia.

Indonesia dari masa ke masa menganut demokrasi yang berbeda beda. Pada masa pemerintahan presiden Sukarno dikenal dengan Demokrasi terpimpin. Pada masa pemerintahan Presiden Suharto dikenal dengan Demokrasi Panca Sila, yang menggaunkan sebuah statmen melaksanakan Panca Sila dengan Murni dan konsekuansinya. Dalam pelaksanaannya sehari-hari Panca Sila menjadi Asas Tunggal dalam menjalankan kehidupan bernegara. Apabila melihat sifat dari demokrasi yang bermacam-macam itu, dikenal berbagai tipologi demokrasi. Di antaranya adalah demokrasi langsung, demokrasi konstitusional, demokrasi rakyat.[2]

“Demokrasi langsung adalah suatu kondisi ketika keseluruhan warga Negara dengan nyata ikut serta dalam permusyawaratan untuk menentukan kebijaksanaan umum atau undangundang.”[3] Pada kondisi Negara yang kecil dan memiliki jumlah penduduk yang sedikit kemungkinan demokrasi langsung dapat dilaksanakan. Namun demikian pada Negara yang luas, besar dan memiliki penduduk yang sangat banyak, penerapat demokrasi secara langsung sangatlah tidak mungkin secara murni dilaksanakan. Seperti di Indonesia makan pelaksanaan demokrasi secara langsung hanyalah terbatas terhadap pelaksanaan pemilihan umum. Baik pemilihan umum untuk memilih wakil rakyat yang duduk di DPR, DPD, DPRD Provinsi, DPRD Kabupaten/Kota dan pemilihan Presiden dan Wakil Presiden. Demikian juga dalam pelaksanaan pemilihan kepada daerah baik pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota di pilih secara langsung sebagai perwujudan Demokrasi.

Hakikat demokrasi sebagai suatu sistem bermasyarakat dan bernegara serta pemerintahan memberikan penekanan pada keberadaan kekuasaan di tangan rakyat baik dalam penyelenggaraan maupun pemerintahan. Dalam konsep demokrasi yang dimaknai bahwa pemerintahan berada di tangan rakyat, Mahfud MD membanginya menjadi 3 hal, yaitu : 1) pemerintahan dari rakyat (government of the people), 2) pemerintahan oleh rakyat (government by the people), 3) pemerintahan untuk rakyat (government for the people).

Hak Politik Warga Negara

Hak Politik Warga Negara merupakan bagian dari hak-hak yang dimiliki oleh warga negara dimana asas kenegaraannya menganut asas demokrasi. Lebih luas hak politik itu merupakan bagian dari hak turut serta dalam pemerintahan. Hak turut serta dalam pemerintahan dapat dikatakan sebagai bagian yang amat penting dari demokrasi. Hak ini bahkan dapat dikatakan sebagai pengejawantahan dari demokrasi, sehingga jika hak ini tidak ada dalam suatu negara, maka negara tersebut tidak semestinya mengakui diri sebagai negara demokratis. Negara-negara yang menganut demokrasi, pada umumnya mengakomodir hak politik warga negaranya dalam suatu penyelenggaraan pemilihan umum, baik itu bersifat langsung maupun tidak langsung.

Dalam Konvenan Internasional Sipil dan Politik, ICCPR (International Convenan on Civil and Political Rights) disebutkan bahwa keberadaan hak-hak dan kebebasan dasar manusia diklasifikasikan menjadi dua jenis: pertama, kategori neo-derogable, yaitu hak-hak yang bersifat absolut dan tidak boleh dikurangi, walaupun dalam keadaan darurat. Hak ini terdiri atas; (i) hak atas hidup (rights to life); (ii) hak bebas dari penyiksaan (right to be free from slavery); (iii) hak bebas dari penahanan karena gagal dalam perjanjian (utang); (iv) hak bebas dari pemidanaan yang bersifat surut, hak sebagai subjek hukum, dan atas kebebasan berpikir, berkeyakinan, agama.

Jenis kedua yaitu kategori derogable, yaitu hak-hak yang boleh dikurangi/ dibatasi pemenuhannya oleh negara pihak. Hak dan kebebasan yang termasuk dalam jenis ini meliputi (i) hak atas kebebasan berkumpul secara damai; (ii) hak atas kebebasan berserikat, termasuk membentuk dan menjadi anggota buruh; dan (iii) hak atas kebebasan menyatakan pendapat/ berekspresi; termasuk kebebasan mencari, menerima, dan memberi informasi dengan segala macam gagasan tanpa memperhatikan batas (baik melalui lisan/ tulisan).

Namun demikian, bagi negara-negara pihak ICCPR diperbolehkan mengurangi kewajiban dalam pemenuhan hak-hak tersebut. Tetapi penyimpangan itu hanya dapat dilakukan apabila sebanding dengan ancaman yang dihadapi dan tidak bersifat diskriminatif, yaitu demi; (i) menjaga keamanan/ moralitas umum, dan (ii) menghormati hak/ kebebasan orang lain. Dalam hal ini Rosalyn Higgins menyebutkan bahwa ketentuan ini sebagai keleluasaan yang dapat disalahgunakan oleh negara.

AS Hikam dalam pemaparannya menyebutkan adanya beberapa hak-hak dasar politik yang inti bagi warga negara diantaranya; hak mengemukakan pendapat, hak berkumpul, dan hak berserikat. Dalam UUD 1945, tercantum adanya keberadaan hak politik sipil dalam beberapa pasal. Pada pasal 27 ayat 1 mengenai persamaan kedudukan semua warga negara terhadap hukum dan pemerintahan; pasal 28 tentang kebebasan, berkumpul dan menyatakan pendapat; dan pasal 31 ayat 1 tentang hak setiap warga negara untuk mendapatkan pendidikan.

Secara ringkas dapat dikatakan bahwa hak-hak politik masyarakat Indonesia yang dijamin oleh UUD, yaitu hak membentuk dan memasuki organisasi politik ataupun organisasi lain yang dalam waktu tertentu melibatkan diri ke dalam aktivitas politik; hak untuk berkumpul, berserikat, hak untuk menyampaikan pandangan atau pemikiran tentang politik, hak untuk menduduki jabatan politik dalam pemerintahan, dan hak untuk memilih dalam pemilihan umum. Yang mana semuanya direalisasikan secara murni melalui partisipasi politik.

Adapun keseluruhan penggunaan hak politik sipil dibedakan atas dua kelompok:

  1. Hak politik yang dicerminkan oleh tingkah laku politik masyarakat.Biasanya penggunaannya berupa hak pilih dalam pemilihan umum, keterlibatan dalam organisasi politik dan kesertaan masyarakat dalam gerakan politik seperti demonstrasi dan huru-hara.
  2. Hak politik yang dicerminkan dari tingkah laku politik elit. Dalam hal ini, tingkah laku elit dipahami melalui tata cara memperlakukan kekuasaan, penggunaan kekuasaan dan bentuk hubungan kekuasaan antar elit, dan dengan masyarakat.

Moh. Kusnardi dan Hermaily Ibrahim mengungkapkan bahwa dalam paham kedaulatan rakyat (democracy) rakyatlah yang dianggap sebagai pemilik dan pemegang kekuasaan tertinggi suatu negara. Rakyatlah yang menentukan corak dan cara pemerintahan diselenggarakan. Rakyatlah pula yang menentukan tujuan yang hendak dicapai oleh negara dan pemerintahannya itu.

Dalam praktiknya, yang secara teknis menjalankan kedaulatan rakyat adalah pemerintahan eksekutif yang dipilih secara langsung oleh rakyat dan wakil-wakil rakyat di lembaga perwakilan rakyat atau parlemen. Perwakilan rakyat tersebutlah yang bertindak untuk dan atas nama rakyat, yang secara politik menentukan corak dan cara bekerjanya pemerintahan, serta tujuan yang hendak dicapai baik dalam jangka panjang maupun pendek. Agar para wakil rakyat tersebut dapat bertindak atas nama rakyat, maka wakil-wakil rakyat harus ditentukan sendiri oleh rakyat. Mekanismenya melalui pemilihan umum (general election). Dengan demikian, secara umum tujuan pemilihan umum adalah:

  1. memungkinkan terjadinya peralihan pemerintahan secara aman dan tertib.
  2. untuk melaksanakan kedaulatan rakyat.
  3. dalam rangka melaksanakan hak-hak azasi warga Negara.

Keikutsertaan warga dalam pemilihan umum (general elections) merupakan ekspresi dari ikhtiar melaksanakan kedaulatan rakyat serta dalam rangka melaksanakan hak-hak azasi warga negara.[4] Pemilihan umum adalah merupakan conditio sine quanon bagi suatu negara demokrasi modern, artinya rakyat memilih seseorang untuk mewakilinya dalam rangka keikutsertaan rakyat dalam penyelenggaraan pemerintahan negara, sekaligus merupakan suatu rangkaian kegiatan politik untuk menampung kepentingan atau aspirasi masyarakat. Dalam konteks manusia sebagai individu warga negara, maka pemilihan umum berarti proses penyerahan sementara hak politiknya. Hak tersebut adalah hak berdaulat untuk turut serta menjalankan penyelenggaraan negara.[5]

Pelaksanaan kedaulatan rakyat tidak dapat dilepaskan dari pemilihan umum karena pemilihan umum merupakan konsekuensi logis dianutnya prinsip kedaulatan rakyat (demokrasi) dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Prinsip dasar kehidupan kenegaraan yang demokratis adalah setiap warga negara berhak ikut aktif dalam proses politik.[6] Di Indonesia, pemilihan umum merupakan penafsiran normatif dari UUD 1945 agar pencapaian masyarakat demokratis mungkin tercipta. Masyarakat demokratis ini merupakan penafsiran dari pelaksanaan kedaulatan rakyat. Dalam hal ini kedaulatan rakyat hanya mungkin berjalan secara optimal apabila masyarakatnya mempunyai kecenderungan kuat ke arah budaya politik partisipan.[7]

Partisipasi politik merupakan inti dari demokrasi. Demokratis tidaknya suatu sistem politik, ditentukan oleh ada-tidaknya atau tinggi-rendahnya tingkat partisipasi politik warganya. Standar minimal demokrasi biasanya adalah adanya pemilu reguler yang bebas untuk menjamin terjadinya rotasi pemegang kendali negara tanpa adanya penyingkiran terhadap suatu kelompok politik manapun, adanya partisipasi aktif dari warga negara dalam pemilu itu dan dalam proses penentuan kebijakan, terjaminnya pelaksanaan hak asasi manusia yang memberikan kebebasan bagi para warga negara untuk mengorganisasi diri dalam organisasi sipil yang bebas atau dalam partai politik, dan mengekspresikan pendapat dalam forum-forum publik maupun media massa.[8]

Dalam pemilihan umum diakui adanya hak pilih secara universal (universal suffrage). Hak pilih ini merupakan salah satu prasyarat fundamental bagi negara yang menganut demokrasi konstitusional modern. Dieter Nohlen berpendapat bahwa:[9]

“The right to vote, along with freedom of expression, assembly, association, and press, is one of the fundamental requirements of modern constitutional democracy”.

Hak pilih warga negara mendapatkan jaminan dalam berbagai instrumen hukum. Pasal 21 Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) menentukan bahwa:

(1) Setiap orang berhak turut serta dalam pemerintahan negerinya sendiri, baik dengan langsung maupun dengan perantaraan wakil-wakil yang dipilih dengan bebas;
(2) Setiap orang berhak atas kesempatan yang sama untuk diangkat dalam jabatan pemerintahan negerinya;
(3) Kemauan rakyat harus menjadi dasar kekuasaan pemerintah; kemauan ini harus dinyatakan dalam pemilihan-pemilihan berkala yang jujur dan yang dilakukan menurut hak pilih yang bersifat umum dan berkesamaan, serta dengan pemungutan suara yang rahasia ataupun menurut cara-cara lain yang juga menjamin kebebasan mengeluarkan suara”.

Pasal 27 ayat (1) UUD 1945 menentukan bahwa “segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya.” Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 menentukan bahwa setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum. Kemudian, Pasal 28D ayat (3) menentukan bahwa setiap warga negara berhak memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan.”

Pada tingkat undang-undang, UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia mengatur hak pilih dalam Pasal 43 yang menentukan bahwa:

“Setiap warga negara berhak untuk dipilih dan memilih dalam pemilihan umum berdasarkan persamaan hak melalui pemungutan suara yang langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.”

Hak pilih juga tercantum dalam International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR) yang telah diratifikasi Indonesia dengan UU No. 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan International Covenant on Civil and Political Rights (Kovenan Internasional Tentang Hak-Hak Sipil Dan Politik). Pasal 25 ICCPR menentukan bahwa,

“Setiap warga negara juga harus mempunyai hak dan kebebasan, tanpa pembedaan apapun sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dan tanpa pembatasan yang tidak beralasan:

  1. ikut dalam pelaksanaan urusan pemerintahan, baik secara langsung maupun melalui wakil-wakil yang dipilih secara bebas;
  2. memilih dan dipilih pada pemilihan umum berkala yang jujur, dan dengan hak pilih yang universal dan sama, serta dilakukan melalui pemungutan suara secara rahasia untuk menjamin kebebasan dalam menyatakan kemauan dari para pemilih;
  3. memperoleh akses pada pelayanan umum di negaranya atas dasar persamaan.”

Sesuai prinsip kedaulatan rakyat, maka seluruh aspek penyelenggaraan pemilihan umum harus dikembalikan kepada rakyat untuk menentukannya. Tidak adanya jaminan terhadap hak warga negara dalam memilih pemimpin negaranya merupakan suatu pelanggaran terhadap hak asasi. Terlebih lagi, UUD 1945 Pasal 2 Ayat (1) menyatakan bahwa kedaulatan berada di tangan rakyat.

Hak pilih juga diatur dalam Pasal 1 Ayat (2), Pasal 6A (1), Pasal 19 Ayat (1), dan Pasal 22C (1) UUD 1945. Ketentuan-ketentuan tersebut menunjukkan adanya jaminan yuridis yang melekat bagi setiap warga negara Indonesia untuk dapat melaksanakan hak pilihnya. Ketentuan tersebut menegaskan bahwa segala bentuk produk hukum perundang-undangan yang mengatur mengenai pemilihan umum sudah seharusnya membuka ruang yang seluas-luasnya bagi setiap warga negara untuk dapat menggunakan hak pilih dan dipilih dalam dalam pemilihan umum maupun pemilihan kepala daerah.

Tergadainya Hak Demokrasi Oleh Regulasi

Dalam Undang-undang 10 Tahun 2016 Pasal 40 Ayat (1) tentang pemilihan kepala daerah, disebutkan: Partai Politik atau gabungan Partai Politik dapat mendaftarkan pasangan calon jika telah memenuhi persyaratan perolehan paling sedikit 20% (dua puluh persen) dari jumlah kursi Dewan Perwakilan Rakyat Daerah atau 25% (dua puluh lima persen) dari akumulasi perolehan suara sah dalam pemilihan umum anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah di daerah yang bersangkutan.

Kemudian merujuk pada PKPU Nomor 1 Tahun 2020 Pasal 5 Pasal (2): Persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), yaitu Partai Politik atau Gabungan Partai Politik yang memperoleh paling sedikit 20% (dua puluh persen) dari jumlah kursi Dewan Perwakilan Rakyat Daerah atau 25% (dua puluh lima persen) dari akumulasi perolehan suara sah dalam Pemilu anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah terakhir di daerah yang bersangkutan.

Melihat dari Undang-undang maupun Peraturan KPU di atas, nampak kontradiksi dengan peraturan yang lebih tinggi yaitu Undang-undang Dasar 1945 yang telah disajikan di atas, yang mana hakikatnya negara demokrasi yakni negara yang membebaskan rakyatnya untuk dipilih maupun memilih, serta rakyatlah yang memiliki kedaulatan, bukan pemerintah. Problematikanya ada pada peraturan tersebut yang membatasi hak warganya untuk menunaikan hak demokrasinya, karena “dipaksa” harus mengikuti aturan main yang ditetapkan oleh pemerintah.

Ketika seseorang yang ingin terlibat dan menjadi “pemain” dalam pesta demokrasi untuk mencalonkan diri sebagai kepala daerah, dan hal tersebut mendapat dukungan dari banyak orang, tak terhingga dari berbagai kalangan yang dengan sukarela tanpa paksaan menyatakan rasa simpati dan dukungan kepada calon kepala daerah yang mereka idolakan justru tersandung hanya karena tidak memenuhi syarat yang ditetapkan oleh aturan main dari pemerintah.

Kondisi yang demikian jika dilihat dari perspektif konsep negara demokrasi maka dapat mencederai sendi-sendi demokrasi itu sendiri, karena suara rakyat yang dikatakan berdaulat terciderai karena melanggar HAM. Dalam sejarah bangsa indonesia Pelaksanaan demokrasi pada masa pemerintahan parlementer (1949-1959) merupakan masa kejayaan demokrasi di Indonesia.

Akan tetapi kesuksesan demokrasi parlementer tidak berumur panjang. Dikutip dari situs resmi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI, demokrasi parlementer hanya bertahan selama sembilan tahun. Demokrasi parlementer berakhir saat dikeluarkannya Dekrit oleh Presiden Soekarno pada 5 Juli 1959 yang membubarkan Konstituante dan kembali pada UUD 1945. Presiden menganggap demokrasi parlementer tidak sesuai dengan kepribadian bangsa Indonesia yang dijiwai oleh semangat gotong royong. Sehingga Soekarno menganggap sistem demokrasi ini telah gagal mengadopsi nilai-nilai kepribadian bangsa Indonesia.

Sejarah kegagalan demokrasi dimasa lalu seakan-akan terulang kembali dimasa kini dengan hadirnya regulasi karya nyata partai politik yang hendak mengambil alih dominan kekuasaan rakyat atas nama demokrasi yang menciderai hak warga negara untuk mencalonkan diri dan dipilih oleh masyarakatnya. Hal ini tentu menciderai demokrasi yang seharusnya mengakomodir seluruh kepentingan warga negara untuk tidak dibatasi dan bertentangan dengan konstitusi sebagaimana yang telah diberikan oleh UUD 1945 pada pasal 28.

Penyebabnya materi muatan undang-undang bertentangan dengan UUD 1945 yaitu mengenai penentuan materi muatan yang tidak sesuai dengan pedoman yang ada, seperti yang telah diajukan oleh A. Hamid S. Attamimi. Dalam hal menemukan suatu materi muatan undang-undang menurut A. Hamid S. Attamimi digunakan 3 (tiga) pedoman yaitu:

  1. Dari ketentuan dalam Batang Tubuh UUD 1945.
  2. Berdasarkan Wawasan Negara berdasarkan atas hukum (rechtstaat).
  3. Berdasarkan wawasan Pemerintahan berdasarkan sistem Konstitusi.

Ketentuan materi muatan undang-undang Indonesia yang harus diatur menurut Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Pasal 10 ayat (1) sebagai berikut:

  1. Pengaturan lebih lanjut mengenai ketentuan Undang-Undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia Tahun 1945;
  2. Perintah suatu undang-undang untuk diatur dengan undang-undang;
  3. Tindak lanjut atas putusan Mahkamah Konstitusi; dan atau
  4. Pemenuhan kebutuhan hukum dalam masyarakat.

Materi muatan undang-undang haruslah berpedoman pada Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, agar tidak terjadi kesewenangan pejabat pembentuk undang-undang dalam membentuk suatu undang-undang, karena undang-undang merupakan kebutuhan masyarakat terhadap pengaturan segala aspek hidup warga negara untuk melakukan suatu tindak laku agar terciptanya kesejahteraan hidup dalam negara.[10]

Masyarakat sebagai unsur terpenting, seharusnya diberikan ruang untuk mengartikulasikan makna demokrasi dalam pilkada, sebagai ruang penyampaian mandat sebagian kehidupannya kepada calon yang akan dipilih. Sehingga anggapan bahwa Pilkada yang hanya dipenuhi perseteruan politik tanpa konsepsi yang membuang energi dapat dihindari.

Pilkada sebagai bagian dari instrumen pelaksanaan demokrasi, merupakan proses pergulatan pemikiran, tawaran program, kebijakan sekaligus proses penguatan edukasi tentang hakikat demokrasi yang tidak berhenti pada soal elektroralisme, tetapi sebagai jalan untuk pemenuhan hak dasar warga dan pengembangan daerah oleh pemerintah yang memperoleh mandat dari masyarakat[11].

Dari uraian di atas, perlu upaya telaah lebih aktual terhadap Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Kepala daerah, sebagai wujud nyata mengembalikan kedaulatan rakyat yang berpedoman pada konsep filosofi demokrasi dari, oleh dan untuk rakyat. Tidak hanya dibatasi oleh representasi kursi di parlemen, sehingga tidak ada lagi masyarakat yang terciderai hak demokrasinya untuk maju, untuk dapat dipilih sesuai dengan amanat Undang-Undang Dasar 1945.

Catatan Kaki

[1] Kebebasan  Sebagai  Hakekat  Demokrasi,  Jurnal  Inovatif, Volume VIII Nomor I Januari  2015,  hlm 96.
[2] Lihat Abu Bakar, Pengantar Ilmu Politik, cetakan pertama, Ar-Ruzz Media, Jogjakarta, 2010, hal 263-266.
[3] ibid.
[4] Moh. Kusnardi dan Harmaily Ibrahim, Pengantar Hukum Tata Negara Indonesia, Pusat Studi Hukum Tata Negara FHUI, cet.ke-5, Jakarta, 1983. hal.328.
[5] Miriam Budiarjo, Hak Asasi Manusia Dalam Dimensi Global, Jurnal Ilmu Politik, No. 10, 1990, Jakarta, hlm. 37.
[6] Dahlan Thaib, Implementasi Sistem Ketatanegaraan Menurut UUD 1945, Liberty, Jakarta, 1993, hlm. 94.
[7] Miriam Budiarjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, PT. Gramedia, Jakarta, 1983, hlm. 9.
[8] G. Bingham Powell, Jr., 1982, Contemporary Democracies: Participation, Stability and Violence, (Cambridge: Harvard University Press), dikutip dari Hasyim Asy’ari, “Pendaftaran Pemilih di Indonesia”, Makalah Seminar Internasional “Membangun Sistem Pendaftaran Pemilih Yang Menjamin Hak Pilih Rakyat: Pengalaman Indonesia dan Internasional”,Jakarta, 30 Maret 2011, hlm. 1.
[9] Dieter Nohlen, 1995, “Voting Rights”, dalam Seymour Martin Lipset (ed.), 1995, The Encyclopedia of Democracy, Volume IV, (Wahington D.C.: Congressional Quarterly Inc.), hlm. 1353-1354, dikutip dari Hasyim Asy’ari, Ibid, hlm. 1.
[10] Pengaturan mengenai materi muatan yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan merupakan pengadopsian dari pendapat A. Hamid S. Hatamimi.
[11].https://medanbisnisdaily.com/news/online/read/2020/07/29/114218/menemukan_hakikat_demokrasi_dalam_pilkada diunduh pada tanggal  8 September 2020.

Menuju Peradilan Khusus Pemilu

307 Views

MENUJU PERADILAN KHUSUS PEMILU
Oleh: Ruslan Husen, SH., MH.

Bawaslu sebagai penyelenggara pemilu memiliki kewenangan pengawasan, penindakan pelanggaran, dan penyelesaian sengketa proses pemilu/pemilihan. Kewenangan Bawaslu ini saling beriringan satu dengan lainnya, artinya kewenangan harus dilaksanakan Bawaslu dengan sekaligus tidak boleh pilih-pilih.

Terkadang, satu kesempatan sosok Bawaslu hadir sebagai “pengawas” yang hadir di lapangan untuk mengawasi para pihak agar tidak melakukan pelanggaran. Namun jika terjadi pelanggaran, maka Bawaslu tampil sebagai “penindak” pelanggaran. Bahkan jika kasus bernilai sengketa, Bawaslu akan tampil sebagai “mediator” yang mempertemukan para pihak lewat forum mediasi. Jika tidak tercapai kesepakatan dilanjutkan dengan sidang adjudikasi, dengan kedudukan Bawaslu sebagai “hakim”.

Kewenangan Bawaslu berdasarkan UU Pemilu, menempatkan pimpinan Bawaslu menjadi sosok yang serba-bisa. Bisa menjadi pengawas di lapangan, bisa menjadi aparat penegak hukum penindakan pelanggaran, bisa menjadi mediator, dan hakim. Dalam posisi ini, Bawaslu memiliki fungsi ganda yang idelanya dilaksanakan oleh fungsi lembaga berbeda. Walhasil, sikap dan pendapat akhirnya cenderung terbaca sama. Contohnya ketika ada isu larangan mantan narapidana menjadi calon anggota legislatif, Bawaslu sudah mempunyai sikap dan pendapat tersendiri bahwa hak seorang warga negara tidak bisa dibatasi kecuali oleh undang-undang dan putusan pengadilan. Jika ada pihak yang mengajukan sengketa proses, keputusan akhir Bawaslu cenderung sama dengan sikap dan pendapat awal yang disampaikan saat proses pengawasan berlangsung.

Menurut Didik Supriyanto, Bawaslu dalam menjalankan fungsi-fungsi peradilan, juga menjalankan fungsi pengawasan. Ini fungsi ganda yang bisa menimbulkan konflik kepentingan. Sebagai pengawas, Bawaslu sudah memiliki penilaian tertentu atas suatu kasus pelanggaran atau sengketa proses. Padahal Bawaslu harus menyidangkan dan mengadili kasus tersebut. Jelas, penilaian ketika menjalankan fungsi pengawasan akan memengaruhi putusannya saat menjalankan fungsi peradilan.[1]

Berangkat dari kenyataan itu, Ida Budiarti menganggap fungsi pengawasan Bawaslu bisa dialihkan ke masyarakat sipil, agar Bawaslu ditransformasi menjadi lembaga peradilan pemilu.[2] Dengan demikian fungsi Bawaslu menjadi berubah, dan ketika berubah maka dengan sendirinya dapat dikatakan “bubar” dan bertransformasi menjadi pelaksana fungsi peradilan.

Menurut penulis, Bawaslu didesain sebagai kekuatan masyarakat sipil dengan sumber daya manusia yang tidak memihak (imparsial) dan diberi anggaran negara untuk mengawasi tahapan kontestasi pemilihan. Dalam perjalanan melaksanakan fungsi utama yakni pengawasan, Bawaslu diberi tambahan wewenang penindakan pelanggaran dan penyelesaian sengketa proses pemilu. Oleh karena itu, sebagai cikal dan kekuatan pengawasan masyarakat maka eksistensi Bawaslu dianggap tetap relevan. Adapun fungsi penindakan pelanggaran dan penyelesaian sengketa, sejatinya dikerjakan oleh organ negara lain yang mandiri dan terpisah dengan fungsi pengawasan Bawaslu.

Berdasarkan hal itu ditarik isu hukum yang akan dibahas. Pertama, bagaimana desain eksistensi baru Bawaslu sebagai lembaga pengawas pemilu bersama dengan masyarakat? Kedua, Bagaimana bentuk desain kelembagaan peradilan khusus pemilu, yang merupakan transformasi dari fungsi penindakan pelanggaran dan penyelesaian sengketa Bawaslu? Terhadap kedua isu hukum ini dengan sendirinya menentukan eksistensi Sentra Gakkumdu, yakni dibubarkan.

Prawacana

Berkaca dari pengalaman, setiap kali pergantian pemimpin nasional (presiden dan wakil presiden), pembentuk undang-undang selalu melakukan perubahan regulasi, dan akhirnya melahirkan UU Pemilu yang baru. Sehingga dimaknai Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 Tentang Pemilihan Umum hanya dikhususkan untuk pelaksanaan kontestasi pemilu tahun 2019, walaupun tidak ada norma yang menyebutkan hal itu.

Pada penyelenggaraan pemilu tahun 2019, kewenangan Bawaslu masih berkutat pada fungsi pengawasan, penindakan pelanggaran, dan penyelesaian sengketa proses pemilu. Atas kewenangan ini, seiring dengan usulan perubahan UU Pemilu bahwa tidak ada jaminan kewenangan itu sama dengan kewenangan Bawaslu pada pelaksanaan pemilu mendatang. Terutama soal usulan transformasi kelembagaan Bawaslu dalam pelaksanaan setiap kontestasi pemilihan kepala daerah dan pelaksanaan pemilu mendatang menjadi pemegang fungsi pengawas, dan fungsi peradilan.

Secara faktual Bawaslu dalam pelaksanan fungsi pengawasan, terkadang konflik kepentingan saat melaksanakan fungsi quasi peradilan baik dalam sidang pelanggaran administrasi pemilu maupun dalam sidang adjudikasi―sengketa proses pemilu. Bawaslu melakukan pengawasan dalam bentuk kegiatan-kegiatan pencegahan, yang terkadang menyampaikan rekomendasi untuk ditindaklanjuti pihak terkait (misalnya ke KPU dan instansi pemerintah). Namun jika tetap terjadi pelanggaran atas kasus tersebut, lantas Bawaslu menyelesaikan lewat sidang pelanggaran adminsitrasi. Hasil akhir putusan Bawaslu dapat diterka dan terbaca, bahwa putusan tidak jauh berbeda dengan pendapat dan sikap di awal saat melakukan fungsi pengawasan.

Demikian pula saat Bawaslu melaksanakan fungsi penyelesaian sengketa proses pemilu, putusan Bawaslu dalam sidang adjudikasi cenderung terbaca. Bahwa sikap dan pendapat terkait dengan objek sengketa, keputusan dan/atau berita acara KPU adalah cenderung sama saat melakukan fungsi pengawasan, dengan putusan akhir sengketa proses pemilu di sidang adjudikasi.

Hasil pengawasan pengawas pemilu terkait dengan objek masalah/kasus juga dapat disampaikan ke muka persidangan yang menerima, memeriksa, dan mengadili. Dalam praktik, Bawaslu tidak dapat menafikkan hasil pengawasannya, apalagi telah ada pencegahan atau rekomendasi. Sehingga putusan Bawaslu akan cenderung sama dengan pelaksanaan fungsi pengawasan.

Pada pelaksanaan kewenangan Bawaslu dalam pengawasan dan pengadil, baik dalam sidang pelanggaran administrasi dan sidang adjudikasi, ada usulan akan perubahan desain kelembagaan Bawaslu ke depan. Agar Bawaslu bertransformasi menjadi, pertama, Bawaslu bersama masyarakat menjadi pengawas pemilu, yang bertugas mencegah terjadinya pelanggaran, dan melaporkan pelanggaran pemilu kepada instansi berwenang. Dan kedua, peradilan khusus pemilu, yang mengadili pelanggaran administrasi pemilu dan sengketa proses pemilu.

Bawaslu tetap Pengawas Pemilu

Menghapus Bawaslu! Lalu siapa yang melaksanakan fungsi pengawasan, pencegahan, dan penindakan pelanggaran dalam suatu kontestasi pemilu? Menyerahkan fungsi tersebut kepada masyarakat, memunculkan pertanyaan apakah masyarakat siap melaksanakan fungsi pengawasan seperti di negara-negara Eropa? Siapa masyarakat yang dimaksud melaksanakan fungsi pengawasan? Inilah beberapa pertanyaan prinsip yang menentukan eksistensi Bawaslu masih diperlukan atau tidak diperlukan lagi sehingga perlu dibubarkan.

Sepanjang pelaksanaan kontestasi pemilu yang memperebutkan suara rakyat sebagai legalitas mencapai kekuasaan, masih selalu diwarnai berbagai pelanggaran, baik dilakukan oleh peserta yang berkontestasi, penyelenggara pemilu, birokrasi dan ASN, Kades, perangkat desa, dan anggota BPD, bahkan pelanggaran dari masyarakat sendiri. Dengan jenis pelanggaran berkategori pidana, administrasi, kode etik, dan pelanggaran hukum lainnya. Pelanggaran terus bertransformasi dengan berbagai modus, subjek, dan karakter.

Atas pelanggaran dimaksud, tentu membutuhkan organ negara melakukan proses penindakan pelanggaran demi menjamin keadilan dan kepastian hukum. Kebutuhan ini, ditunjang oleh kultur dan kesiapan berdemokrasi warga negara Indonesia yang belum maju seperti masyarakat Eropa. Di Eropa dalam kontestasi tidak ada lembaga pengawas seperti Bawaslu, pengawasan di sana dilakukan oleh kelompok masyarakat, yang beriringan dengan budaya internalisasi hukum di kehidupan bermasyarakat.

Tetapi di negara ini, lembaga Bawaslu masih dibutuhkan dalam pengawasan kontestasi pemilu. Sebab belum bisa mengandalkan kekuatan sipil yang imparsial melakukan pengawasan. Dalam hal ini, kelembagaan Bawaslu hakikatnya dimaknai hasil transformasi fungsi masyarakat dalam pengawasan yang terlembagakan. Pelembagaan masyarakat melalui Bawaslu, yang terdiri dari personil terpilih dan memenuhi syarat, lalu diserahi tugas dan kewenangan melakukan pengawasan kontestasi, dengan diberi dukungan pembiayaan operasional.

Maka fungsi pengawasan dari Bawaslu dalam kehidupan bermasyarakat yang rutin melaksanakan kontestasi pemilu untuk memilih pemimpin ternyata masih dibutuhkan. Walaupun, fungsi quasi peradilan dalam bentuk adjudikasi penanganan pelanggaran dan sengketa proses pemilu dapat saja dialihkan ke organ yang akan melaksanakan fungsi peradilan khusus pemilu.

Fungsi Bawaslu akan fokus pada pengawasan/pencegahan dan penindakan pelanggaran berupa mengawasi tahapan pemilu untuk memastikan ketepatan tata cara, prosedur, dan mekanisme. Serta memberikan rekomendasi tindak lanjut dugaan pelanggaran kepada instansi berwenang untuk diadili agar memperoleh keadilan dan kepastian hukum.

***

Pada pelaksanaan Pemilihan Kepala Daerah Serentak tahun 2020 (Pilkada 2020), tugas dan wewenang Bawaslu masih merujuk pada Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota (UU 10/2016). Uraian tugas dan kewenangan Bawaslu yang dituangkan pada UU 10/2016 banyak memiliki kesamaan pada perspektif fungsi pengawasan yang diatur di  UU 7/2017, namun pada fungsi penindakan pelanggaran dan penyelesaian sengketa ditemukan beberapa dimensi perbedaan yang berdampak pada posisi Bawaslu dalam proses peradilan di badan peradilan khusus pemilu yang meliputi :

  • Pelanggaran pidana pemilu maupun pelanggaran pidana pemilihan, kedudukan Bawaslu yakni sebagai pelapor atas temuan dugaan pelanggaran tindak pidana kepada pihak kepolisian untuk ditindaklanjuti sebagaimana hukum acara hukum pidana (KUHAP). Hal ini sejalan dengan pembubaran Sentra Penegakan Hukum Terpadu (Gakkumdu) bersamaan dengan transformasi Bawaslu. Nantinya pihak kepolisian menindak dugaan tindak pidana yang berkaitan dengan pemilu dan pemilihan dapat bersumber dari laporan masyarakat dan Bawaslu, maupun hasil temuan (investigasi) yang dilaksanakan kelembagaan Polri sendiri. Sedangkan proses pemeriksaan, mengadili, serta penetapan putusan akan dilaksanakan oleh peradilan khusus pemilu dengan menggunakan sumber daya manusia berupa majelis hakim pidana kepemiluan.
  • Pelanggaran administrasi pemilu, Bawaslu yang sebelumnya berwenang memeriksa dan mengadili akan berkedudukan sebagai pelapor. Begitu juga halnya jika ditemukan pelanggaran adminsitrasi pemilihan, Bawaslu tidak lagi meneruskan rekomendasi kepada KPU melainkan berkedudukan juga sebagai pelapor. Pelaporan Bawaslu nantinya ditujukan kepada badan peradilan khusus pemilu untuk diperiksa, diadili, dan diputus lewat mekanisme sidang pelanggaran administrasi baik untuk pemilu maupun pemilihan.
  • Pelanggaran peraturan perundang-undangan lainnya, Bawaslu menyampaikan rekomendasi dengan memuat data, informasi dan bukti kepada instansi berwenang untuk memberikan sanksi sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Ketentuan ini masih sama dengan ketentuan yang dimuat dalam UU Pemilu maupun UU Pilkada.
  • Pelanggaran etika penyelenggara pemilu atau pemilihan, Bawaslu memberikan aduan kepada DKPP untuk diperiksa dan diadili sesuai dengan Hukum Acara DKPP. Ketentuan ini juga masih sama dengan ketentuan sebagaimana diatur dalam UU Pemilu maupun UU Pilkada. Namun untuk penyelenggara pemilu atau pemilihan yang bersifat adhoc, proses peradilannya tidak diberikan kepada KPU maupun Bawaslu ditingkatan Kabupaten/Kota dengan tujuan untuk menghindari konflik kepentingan. Pemeriksaan serta penetapan putusan diserahkan kepada badan peradilan khusus pemilu dengan kedudukan Bawaslu sebagai pelapor.
  • Penyelesaian sengketa proses pemilu yang sebelumnya Bawaslu berkedudukan sebagai mediator dan majelis hakim, nantinya akan bergeser sebagai pihak lembaga pemberi keterangan yang wajib didengar keterangan dan hasil pengawasannya dalam sidang yang digelar oleh peradilan khusus pemilu. Hal yang sama juga berlaku bagi penyelesaian sengketa proses pemilihan. Proses penyelesaian sengketa proses pemilu maupun pemilihan di badan peradilan khusus pemilu, majelis hakim yang bertugas memeriksa dan mengadili merupakan majelis hakim dibidang sengketa tata usaha negara.

Adapun untuk perselisihan hasil pemilihan umum, khusus untuk pemilu tetap merujuk pada Pasal 24C UUD NRI Tahun 1945 yang menunjuk Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga yang berwenang untuk memeriksa dan mengadili. Sedangkan untuk perselisihan hasil pemilihan kepala daerah, berdasarkan UU 10/2016 diamanatkan untuk diperiksa dan diadili oleh badan peradilan khusus yang dibentuk sebelum pelaksanaan pemilihan serentak nasional. Namun hingga menjelang pelaksanaan Pilkada tahun 2020, belum ada perwujudannya sehingga kewenangan tersebut masih melekat di Mahkamah Konstitusi. Pada proses perselisihan hasil pemilu maupun pemilihan, Bawaslu berkedudukan sebagai pihak terkait yang didengar keterangan dan hasil pengawasannya sekaitan dengan pokok perkara yang diadukan.

Desain Peradilan Khusus Pemilu

Inisiasi pembentukan peradilan khusus Pemilihan sebenarnya telah diatur pada Pasal 157 ayat (1) UU 10 Tahun 2016, menyebutkan “Perkara perselisihan hasil pemilihan diperiksa dan diadili oleh badan peradilan khusus, kemudian ayat (2) menyebutkan “Badan peradilan khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibentuk sebelum pelaksanaan pemilihan serentak nasional”.

Rumusan pasal tersebut, tidak menyebutkan rumusan pasti bagaimana kedudukan dan kewenangan yang dimiliki oleh peradilan khusus pemilihan tersebut, selain itu apakah desain kelembagaannya akan diletakkan di salah satu badan peradilan dibawah Mahkamah Agung atau dibentuk lembaga lain diluar lingkungan peradilan tersebut sebagai quasi peradilan. Ketidakjelasan lainnya dalam rumusan pasal a quo yakni yurisdiksi peradilannya berada di tingkatan mana, apakah berada di pusat, provinsi, atau kabupaten/kota.

Meninjau pelaksanaan sebelumnya, bahwa dinamika pelaksanaan fungsi Bawaslu yang menimbulkan konflik kepentingan serta dinamika putusan lembaga peradilan yang tumpang tindih dan bertentang satu dengan lainnya sehingga berdampak pada tidak ada eksekusi yang memadai dari KPU, menjadi landasan inisiasi lahirnya badan peradilan khusus pemilu. Inisiasi ini sebagai suatu ius constituendum, sehingga menurut Ispan Diar Fauzi ada 2 aspek yang harus diperhatikan dan dikaji secara komprehensif dalam mendesain peradilan khusus pemilu, yakni Desain Pengaturan dan Kelembagaan, serta Desain Kewenangan dan Yurisdiksi Pengadilan.[3]

Rancangan desain kewenangan peradilan khusus pemilu ini menurut penulis idealnya akan menerima, memeriksa, mengadili, dan memutus seluruh pelanggaran, kasus, atau sengketa yang menjadi kompetensi absolutnya, dengan ruang lingkup pelaksanaan pemilu serentak dan pemilihan kepala daerah serentak. Pertama, pelanggaran administrasi pemilu maupun pemilihan yang berpotensi diskualifikasi bagi peserta pemilu atau pasangan calon kepala daerah yang melanggar. Kedua, mengadili sengketa proses pemilu maupun pemilihan yang terjadi antarpeserta pemilu atau pasangan calon, dan sengketa peserta pemilu/pasangan calon dengan penyelenggara pemilu/pemilihan sebagai akibat ditetapkannya keputusan dan/atau berita acara KPU. Ketiga, mengadili dugaan tindak pidana pemilu maupun pemilihan, dan keempat, mengadili sengketa hasil pemilu atau pemilihan.

Pengadilan khusus pemilu didesain memiliki empat majelis khusus, di antaranya majelis khusus pelanggaran administrasi pemilu/pemilihan, majelis khusus sengketa proses pemilu/pemilihan, majelis pidana pemilu/pemilihan, dan majelis sengketa hasil pemilu/pemilihan.

Terkait komposisi hakim pada peradilan khusus pemilu, akan terdiri dari tiga orang hakim yang masing-masing berasal dari jalur hakim karier dan dua orang hakim ad hoc yang berasal dari akademisi atau praktisi hukum yang menguasai hukum kepemiluan. Ini untuk memberikan perspektif yang memperkaya kualitas putusan dalam mengadili perkara atau sengketa pemilu.

Pengadilan khusus pemilu nantinya didesain sebagai pengadilan pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final dan mengikat (final and binding). Putusan akhir yang inkracht dan tidak dapat dilakukan upaya hukum lagi. Putusan final and binding dimaksudkan agar putusan tersebut dapat langsung dilaksanakan (self executing).

Bentuk Peradilan Khusus Pemilu

Beberapa bentuk desain peradilan khusus pemilu telah diuraikan oleh berbagai pegiat pemilu. Dari beberapa uraian itu, Fritz Edward Siregar[4] dalam bukunya  Bawaslu Menuju Peradilan Pemilu, menguraikan model-model peradilan khusus pemilu yang dapat diterapkan di Indonesia. Model ini masih bersifat dinamis dengan penyesuaian struktur dan konten.

Pertama, badan peradilan khusus pemilu yang berada di bawah Mahkamah Agung. Ketentuan yuridis terkait pembentukan pengadilan khusus dapat dijumpai dalam Pasal 1 angka 8 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, yang menjelaskan, “Pengadilan khusus adalah pengadilan yang mempunyai kewenangan untuk memeriksa, mengadili, dan memutus perkara tertentu yang hanya dapat dibentuk dalam salah satu lingkungan badan peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung yang diatur dalam undang-undang.”

Pengadilan khusus yang sudah terbentuk saat ini yang juga diatur dalam undang-undang tersendiri, sebut saja pengadilan tindak pidana korupsi dengan dasar Undang-Undang Nomor 46 Tahun 2009 tentang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, pengadilan HAM dengan dasar Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia, dan pengadilan pajak dengan dasar Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak.[5]

Pengaturan peradilan khusus ini merupakan peradilan yang bersifat ad hoc dengan kewenangan memeriksa, mengadili, dan memutus perkara pemilu yang dibentuk dalam lingkungan peradilan di bawah Mahkamah Agung. Dengan memperhatikan kompleksitas tahapan pilkada dan pemilu serentak, maka lingkungan peradilan umum merupakan lingkungan yang paling relevan sebagai induk dari pengadilan khusus pemilu ini.

Agar dapat dilaksanakan inisiasi ini, maka peradilan khusus pemilu harus dibentuk dengan dasar undang-undang. Alternatifnya dengan melakukan perubahan atau pembentukan UU Pemilu maupun UU Pilkada yang baru, yang di dalamnya dapat disisipkan ketentuan peradilan pemilu ini. Dalam konteks UU Kekuasaan Kehakiman, karena peradilan yang dibentuk bersifat ad hoc, maka hakimnya juga bersifat ad hoc. Dari itu, pengadilan khusus pemilu dapat dimaknai sebagai pengadilan khusus yang bersifat sementara untuk menerima, memeriksa, mengadili, dan memutus perkara pemilu yang diajukan sesuai dengan kewenangannya.

Jika alternatif ini yang diadopsi, maka pembentukan peradilan khusus pemilu akan dibentuk saat menjelang proses tahapan pemilu, yaitu paling lambat 6 (enam) bulan sebelum tahapan pemilu dimulai, dan berakhir paling lambat 1 (satu) tahun setelah seluruh tahapan penyelenggaraan pemilu selesai.

Adapun kedudukan peradilan khusus pemilu, berada sesuai dengan kompetensi dan tingkatan daerah. Peradilan khusus pemilu untuk mengadili objek sengketa yang ditetapkan lembaga penyelenggara pemilu di pusat, akan melekat di Mahkamah Agung. Sedangkan objek sengketa yang ditetapkan oleh lembaga penyelenggara pemilu di tingkat provinsi, maka melekat pada peradilan tinggi pada level provinsi. Demikian pula objek sengketa yang ditetapkan oleh penyelenggara pemilu tingkat kabupaten/kota, maka peradilan khusus pemilu melekat di pengadilan negeri setempat.

Kedua, badan peradilan khusus pemilu sebagai badan otonom. Inisiasi ini muncul saat Mahkamah Konstitusi dan Mahkamah Agung menolak diberi tugas dan kewenangan tambahan, sehingga pilihan paling realistis adalah membentuk peradilan yang berdiri sendiri, dengan posisi sejajar dengan kedua lembaga yudisial tersebut, yang disebut dengan mahkamah pemilu.

Dalam uraian Fritz Edward Siregar, bahwa di Brazil dan Meksiko sudah lebih dulu membentuk peradilan khusus pemilu yang bersifat otonom di luar badan peradilan yang sudah ada. Brazil membentuk Tribunal Superior Electoral (TES), dan Meksiko mebentuk Tribunal Electoral del Poder Judicial de la Federacion (TEPJF). Secara umum pembentukan lembaga peradilan khusus pemilu di dua negara tersebut dipandang menghasilkan kombinasi yang baik antara pelaksanaan tugas administrasi dan penanganan sengketa pemilu.

Namun, langkah ini memperoleh hambatan dengan terlebih dahulu melakukan amandemen konstitusi, UUD 1945. Sementara perubahan konstitusi merupakan perkara yang tidak gampang, dibutuhkan momentum tepat melakukannya.

Selain dua model yang disebutkan di atas, penulis juga mengusulkan alternatif model peradilan khusus pemilu yang dapat diterapkan di Indonesia. Ketiga, peradilan khusus pemilu yang bersifat semi peradilan. Langkah ini ditempuh dengan melakukan perubahan atas UU Pemilu dan UU Pilkada, dengan menyisipkan ketentuan yang menjadi dasar pembentukan dan pelaksanaan tugas (wewenang) peradilan khusus pemilu yang bersifat semi peradilan, quasi peradilan. Langkah ini terbilang lebih realistis karena cukup melakukan perubahan atas undang-undang terkait, dan telah ada perbandingan di berbagai lembaga semi peradilan lainnya di Indonesia.

Lebih lanjut Jimly Asshiddiqie menjabarkan lembaga yang bersifat semi peradilan merupakan lembaga yang diberi wewenang mengadili tetapi tidak disebut pengadilan, beberapa di antaranya berbentuk komisi, dewan maupun badan.[6] Lembaga semi peradilan pada umumnya bersifat campuran dalam arti memiliki kewenangan campur-sari antara fungsi administrasi atau eksekutif, fungsi regulasi atau legislatif, dan fungsi mengadili atau yudikatif. Kadang-kadang campuran dua fungsi dan kadang-kadang ada juga yang campuran tiga fungsi.

Salah satu contoh lembaga semi peradilan adalah Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) yang dibentuk berdasarkan Undang-undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2002 Tentang Penyiaran. KPI memiliki fungsi sebagai regulator (pembentuk peraturan) penyelenggaraan penyiaran di Indonesia sekaligus menjatuhkan sanksi apabila terjadi pelanggaran terhadap peraturan perundang-undangan oleh lembaga penyiaran publik. Contoh lainnya adalah Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) yang dibentuk untuk mengawasi pelaksanaan Undang-Undang Nomor 5 tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.

KPPU memiliki kewenangan untuk membuat regulasi dalam rangka menjabarkan ketentuan undang-undang dan pada saat yang bersamaan, KPPU juga memiliki kewenangan untuk melaksanakan sendiri semua ketentuan undang-undang dan termasuk peraturan-peraturan yang dibuatnya sendiri dalam rangka pengawasan persaingan usaha yang sehat. Tetapi, KPPU juga ditentukan oleh UU merupakan lembaga yang harus berdiri sebagai pengadilan untuk memeriksa sengketa persaingan usaha dan memberi kesempatan para pihak untuk membuktikan atau pun membela diri dengan kontra bukti, serta menjatuhkan sanksi yang mengikat bagi pihak yang terbukti bersalah. Dengan demikian, lembaga ini jelas memiliki fungsi campuran, mulai dari sebagai regulator, administrator, dan bahkan adjudikator yang bersifat quasi-yudisial.

Daftar Pustaka

Fritz Edward Siregar. 2018. Bawaslu Menuju Peradilan Pemilu, Jakarta: Themis Publishing.
Jimly Asshiddiqie. 2013. Pengadilan Khusus. Jakarta: Komisi Yudisial.
Ispan Diar Fauzi. 2018. Desain Badan Peradilan Khusus Pemilihan Kepala Daerah Dalam Rangka Menghadapi Pemilihan Kepala Daerah Serentak Nasional Tahun 2024. Jurnal Adhyasta Pemilu Vol.4 No.1. Jakarta: Bawaslu.
Ida Budiarti. 2018. Bawaslu Diusulkan untuk Diganti Menjadi Pengadilan Pemilu, Sumber: https://regional.kompas.com/read/2018/07/21/08221281/bawaslu-diusulkan-untuk-diganti-menjadi-pengadilan-pemilu, diakses tanggal 2 Agustus 2020.

Catatan Kaki

[1]Didik Supriyanto dalam Fritz Edward Siregar. 2018. Bawaslu Menuju Peradilan Pemilu, Jakarta: Themis Publishing. hlm. 75.
[2]Ida Budiarti, 2018, Bawaslu Diusulkan untuk Diganti Menjadi Pengadilan Pemilu, Sumber: https://regional.kompas.com/read/2018/07/21/08221281/bawaslu-diusulkan-untuk-diganti-menjadi-pengadilan-pemilu, diakses tanggal 2 Agustus 2020.
[3] Ispan Diar Fauzi, 2018, Desain Badan Peradilan Khusus Pemilihan Kepala Daerah Dalam Rangka Menghadapi Pemilihan Kepala Daerah Serentak Nasional Tahun 2024, Jurnal Adhyasta Pemilu Vol.4 No.1. Jakarta.
[4] Fritz Edward Siregar, Bawaslu … Op Cit, hlm. 78-84.
[5] Ispan Diar Fauzi, 2018, Desain … Op Cit, hlm. 35.
[6] Jimly Asshiddiqie, 2013, Pengadilan Khusus, Jakarta: Komisi Yudisial.