61 TAHUN SULAWESI TENGAH: KADO MANIS INFRASTRUKTUR KONEKTIVITAS NASIONAL

Moh Ahlis Djirimu
85 Views

61 Tahun Sulawesi Tengah: Kado Manis Infrastruktur Konektivitas Nasional
Oleh : Moh. Ahlis Djirimu
( Guru Besar FEB-Untad dan Local Expert Sulteng-Regional Expert Sulawesi Kemenkeu R.I )

JATI CENTRE – Belanja infrastruktur konektivitas, baik darat, laut, dan udara sangat menentukan kinerja Pembangunan suatu negara. Berbagai riset menunjukkan bahwa infrastruktur konektivitas yang baik dapat menurunkan angka kemiskinan dan meningkatkan Indeks Pembangunan Manusia (IPM).

Pada daerah yang angka kemiskinannya tinggi dapat saja terjadi peningkatan kemiskinan karena konektivitas jalan darat kurang baik, sehingga memperbesar nilai yang dibeli petani lebih besar ketimbang nilai yang dijual petani. Di dataran tinggi bulan Kabupaten Tojo Una-Una, Kecamatan Ampana Tete, petani berasal dari Desa Bulan Jaya, Mertasari, Uemea misalnya pernah merupakan pembudidaya kedelai hitam.

Sayangnya, kedelai hitam sebagai bahan baku produksi kecap membusuk saat belum sampai di pasar. Akhirnya dibuang di jurang. Tentu saja petani merugi yang selanjutnya menggerus produksinya. Di Kecamatan Talatako Kepulauan Togian, akibat signal telepon genggam kurang baik, produsen cengkih mencatat harganya per kilogram mencapai Rp120,- ribu di pasar Marisa Gorontalo.

Pada hari berikutnya, ternyata surplus cengkih mendorong penurunan harga pada Rp95,- ribu, sehingga ketika produsen cengkih dari Talatako tiba dengan Ferry di Marisa, harganya telah turun dan tidak ada jalan lain, selain menjualnya dalam posisi penjual lemah.

Infrastruktur konektivitas mendorong pula kenaikan angka harapan hidup, rata-rata lama sekolah dan harapan rata-rata lama sekolah, serta mendorong peningkatan kesejahteraan masyarakat pada dimensi ekonomi.

Suatu Ketika di era 1990an, sambil mengobrol dinihari pukul 03.00 bersama almarhum om Teny driver PO. Honda Jaya sesaat memasuki wilayah Kecamatan Bunta sebelum pemekaran menjadi Kecamatan Nuhon dan Simpang Raya, para anak usia 13-15 tahun ditemani orang tuanya telah menunggu PO Honda Jaya, PO Super Motor, PO Victoria, semenjak pukul 03.00 wita sekedar menumpang gratis menuju SMPN 1 Bunta, satu-satunya SMPN saat itu.

Jarak sekitar 35 km atau akumulatif 70 km menjadi pemandangan harian selama 6 hari. Berbagai pertanyaan pada siswa tersebut mulai dari rasa ngantuk, kosong perut, dll selama bertahun-tahun hingga Proyek Perluasaan dan Peningkatan Mutu SMP ADB Loan 1810-INO membantu membangun SMPN di Sumber Mulya, Toima’a dan Tomeang memperpendek jarak anak usia 13-15 tahun tersebut pada dekade 2000an.

Keterlambatan waktu merujuk pasien di wilayah Terluar, Terdepan dan Terpencil (3T) Sulteng hingga saat ini masih menjadi pemandangan harian.

Di Sulawesi Tengah, belanja infrastruktur konektivitas semakin meningkat sejak Tahun 2021. Di Tahun 2021, pagu yang disiapkan oleh APBN mencapai Rp1,045,- triliun yang terbagi atas Rp32,64,- miliar sarana berupa bus, kapal laut, alat penerbangan. Prasarana berupa jalan, jembatan, Pelabuhan, bandara mencapai Rp154,53,- miliar.

Rehabilitasi atau perawatan sarana mencapai Rp8,97,- miliar dan perawatan/rehabilitasi prasarana mencapai Rp849,39,- miliar. Namun, realisasinya sangat rendah, hanya mencapai Rp717,95,- miliar.

Realisasi rendah pada Prasarana Jalan, Jembatan, Pelabuhan, Bandara mencapai Rp96,43,- miliar dari Rp154,53,- miliar dan Rp580,- miliar pada Perawatan/rehabilitasi Prasarana dari pagu sebesar Rp849,39,- miliar.

Di Tahun 2022, Pemerintah Pusat mengalokasikan APBN Rp1,285,62,- triliun dengan sebaran pagu sebesar Rp16,27,- miliar pada Sarana, Rp287,97,- Prasarana, Rp1,7,- miliar pada Rehabilitasi Sarana dan Rp979,69,- miliar pada Rehabilitasi Prasarana.

Dari Rp1,285,63,- triliun tersebut, serapannya hanya mencapai Rp966,13,- miliar dengan realisasi paling rendah pada Perawatan Prasarana hanya mencapai Rp744,23,- miliar. Lalu di Tahun 2023, Pada Tahun 2023, terjadi peningkatan total pagu belanja konektivitas sebesar 81,79 persen (year-on-year) dari Rp1,285,- triliun menjadi Rp2,337,- triliun. Realisasinya mencapai Rp2,15,- triliun.

Selama periode 2021-2023, capaian output yang sebagian besar disumbang oleh kinerja PUPR. Realisasi jembatan seharga Rp422,61,- miliar, diikuti oleh jalan sepanjang 57,31,- km. Sedangkan capaian output konektivitas laut terealisasi sebanyak 9 uniy fasilitas pelabuhan laut dan 1 bangunan operasional.

Lalu capaian output Konektivitas Udara sebanyak 14 unit Pembangunan Bandar Udara termasuk bandara baru di Kabupaten Banggai Laut. Selama 2021-2023, porsi belanja terbesar tercatat atas belanja untuk infrastruktur konektivitas darat.

Namun, pada Tahun 2023 Pemerintah meningkatkan alokasi konektivitas udara sebesar 231,8 persen dari pagu Tahun 2022. Realisasi belanja untuk infrastruktur seperti jalan, jembatan, dan sebagainya mengalami peningkatan signifikan dibandingkan dengan 2 tahun yang lalu.

Tingkat Kemantapan Jalan Nasional di Sulteng mencapai 98,99 poin. Panjang Jalan Nasional di Sulteng mencapai 2.373,40 km, merupakan jalan terpanjang di Sulawesi. Adapun kondisi jalan tersebut yakni 805,46 km berada dalam kondisi baik, 1.520,93 km berada pada kondisi sedang, 38,48 km berada pada kondisi rusak ringan dan 8,53 km berada pada kondisi rusak berat.

Namun, hasil riset Kemenkeu menemukan bahwa Belanja APBN bagi Konektivitas Darat, Belanja APBN Konektivitas Laut, dan Belanja APBD Teknologi Informasi dan Komunikasi memberikan dampak positif bagi perekonomian semua provinsi di Sulawesi. Sebaliknya, Belanja APBD Konektivitas Darat, Belanja APBD Konektivitas Laut dan Belanja APBN TIK, kurang memberikan dampak bagi atraktivitas perekonomian.

Temuan lain adalah, terdapat 5 pelabuhan laut, 4 pelabuhan penyebrangan dan 1 terminal belum terkoneksi dengan Jalan Nasional. Riset tersebut merekomendasikan bahwa satuan kerja wajib melakukan pembinaan atas pekerjaan yang besifat lanjutan Program yang “Memperkuat Infrastruktur untuk Mendukung Pengembangan Ekonomi dan Pelayanan Dasar” oleh KemenPUPR dan Kemenhub.

Bagi Sulteng, Tingkat Kemantapan Jalan Provinsi Sulteng mencapai angka relatif 65 poin. Setiap peningkatan 1 km jalan provinsi membutuhkan Rp3,- miliar. Tentu konstrain anggaran patut diatasi dengan kebijakan lain seperti pengalihaan status jalan provinsi menjadi jalan nasional pada ruas tertentu.

Namun, kendala right of way (ROW) yang diduduki oleh masyarakat di Sulteng menjadi tantangan untuk merealisasikannya, kecuali mengadvokasi masyarakat agar jangan mengambil hak jalan menjadi tempat niaga di masing-masing depan rumahnya.

Selama ini, terdapat Jalan Lingkar Luar Kota Palu sepanjang 56,8 km, Palu-Parigi by Pass sepanjang 48,5 km dengan titik nol koordinat pada tugu Kecamatan Sigi Biromaru, Ruas Gimpu-Gintu sepanjang 53 km, Tonusu-Pendolo sepanjang 58,2 km dan Ruas Buleleng-Matarape sepanjang 46,1 km.

Pemerintah Provinsi Sulteng dapat mereplikasi Kerjasama KemenPUPR dan Kemenhub pada ruas Lingkar Peling di Banggai Kepulauan dan Lingkar Una-Una dan Togian di Kabupaten Tojo Una-Una.

Perencanaan infrastruktur konektivitas darat yang terhubung Bangkep Bagian Utara yang lebih maju kinerja pembangunannya dan Bangkep Bagian Selatan yang lebih tertinggal dapat dilanjutkan transportasi publik bus milik Badan Usaha Transportasi Darat Milik Provinsi Sulteng yang terkoneksi dengan Pelabuhan Salakan yang merupakan wilayah kerja Dinas Perhubungan Provinsi Sulteng, Keanekaragaman Hayati Kokolomboi dan obyek wisata Danau Kaca Paisupok.

Demikian pula dengan lingkar Una-Una dan Togian dari Barat ke Timur dapat terkoneksi dengan Pelabuhan Ferry di Pusungi, Wakai, Togian. Tentu perencanaan yang layak dapat menjadi pintu masuk bagi peningkatan kualitas infrastruktur konektivitas. Last but not least, 686 desa blank spot membutuhkan penanganan, khusus penyediaan area bagi menara Base Transciever Service (BTS) di pelosok negeri.

Studi pendahuluan Palu-Parigi by Pass yang penulis bersama tim peneliti lakukan pada 2021 yang sudah dipublikasi pada Journal of Infrastructure Policy and Development (JIPD) menunjukkan bahwa ruas jalan nasional Tawaili-Toboli sepanjang 43,5 km menunjukkan kecepatan maksimal mencapai 35,1 km/jam dan kecepatan rata-rata mencapai 34,8 km/jam, serta volume rata-rata kemacetan mencapai 1.232,1 unit kenderaan.

Biaya kemacetan pada ruas Tawaili-Toboli mencapai Rp4,386,829,- atau Rp4,39,- juta per jam atau Rp9,686,117,823,- atau Rp9,69,- miliar per tahun. Pada rencana ruas Palu-Parigi by pass menunjukkan kecepatan maksimal mencapai 70 km/jam dan kecepatan rata-rata mencapai 66,1 km/jam, serta volume rata-rata kemacetan mencapai 4.900 unit kenderaan.

Biaya kemacetan pada ruas jalan baru Palu-Parigi by pass mencapai Rp2,193,414,- atau Rp2,19,- juta per jam atau Rp4,843,058,912,- atau Rp4,84,- miliar per tahun.

Semoga infrastruktur konektivitas dukungan APBN dapat diikuti pula infrastruktur konektivitas dukungan APBD, sehingga Tingkat kemantapan infrastruktur konektivitas nasional yang diikuti pula oleh kemantapan infrastuktur provinsi dan kemantapan infrastruktur kabupaten/kota. Hal inilah menjadi kado manis HUT Sulteng ke 61 tahun.***

Resensi Buku: Memaknai Hegemoni Ekonomi Tiongkok

Ahlis Djirimu
77 Views

Resensi Buku: Memaknai Hegemoni Ekonomi Tiongkok
Moh. Ahlis Djirimu
( Staf Pengajar FEB-Universitas Tadulako sekaligus penerjemah buku Memaknai Hegemoni Ekonomi Tiongkok )

JATI CENTRE – Secara garis besar, buku Memaknai Hegemoni Ekonomi Tiongkok memberikan informasi dan gambaran bahwa sejak 2007, Amerika Serikat dan Eropa berada dalam krisis besar berkepanjangan. Para pemimpinnya mengenal gravitasi ini tetapi mengabaikan asal muasalnya.

Penghapusan proteksi kepabeanan, diberlakukan berbarengan dengan dogma absolut dan dipertahankannya tanpa mengindahkan depresiasi besar secara sengaja Yuan, telah menghasilkan ketidakseimbangan ekstrim perdagangan internasional. Antara 2000 dan 2007, untuk mempertahankan pertumbuhan tanpa mengindahkan defisit besar perdagangan, Amerika Serikat, Inggris dan Eropa Selatan terlihat menolak memberlakukan kebijakan ekonomi bertualang yang hasilnya adalah krisis.

Tiongkok selalu menolak melakukan revaluasi Yuan, defisit perdagangan negara-negara Barat tidak teratasi, krisis berkelanjutan. Kekuatan besar kapitalis dan totaliter berpadu menjadikan Tiongkok memimpin strategi penjelajahan untuk menggeser hegemoni Amerika Serikat.

Strategi ini berwujud pada semua garis depan (ekonomi, keuangan, militer, diplomasi, kebudayaan, dll). Instrumen utamanya adalah moneter, Tiongkok menjalankan “imperialisme ekonomi”.

Seiring berjalannya waktu, penerbitan buku ini dalam bahasa menandai sepuluh Tahun terbitnya buku Memaknai Hegemoni Ekonomi Tiongkok dalam edisi Prancis yakni pada Januari 2011, yang saat muncul hanya empat bulan sebelum terbitnya buku Penulis Amerika PETER NAVARRO berjudul Death by China pada Mei 2011. Tanpa penulisnya saling ketemu, buku Peter Navarro dan buku Memaknai Hegemoni Ekonomi Tiongkok memberikan analisis yang sama dan kesimpulan yang sama atas kiprah Tiongkok.

Menurut Peter Navarro maupun penulis Memaknai Hegemoni Ekonomi Tiongkok, sejak Tahun 2000, Beijing membangun Strategi bertumpu pada Perdagangan Internasional, metodik, terstruktur, sistematis dan menjelajah, untuk mendapatkan hegemoni dunia.

Kami berkesimpulan bahwa instrumen proteksionisme pabean berhadapan dengan made in China mutlak diterapkan untuk mencegah strategi Beijing yang mendestabilisasi belahan dunia lain.

Tanpa ragu, Peter Navarro pada periode 2016-2020 menjadi Penasehat Dagang yang paling didengar oleh Presiden Trump. Tindakan balasan perdagangan yang menginspirasi Kebijakan Trump dikerahkan untuk membuat peka dan memobilisasi semua masyarakat Amerika melawan strategi Partai Komunis Tiongkok. Di Tahun 2020, saat Covid-19, antara 70-75 persen warga Amerika menganggap Tiongkok adalah pesaing utama Amerika Serikat.

Buku Memaknai Hegemoni Ekonomi Tiongkok menggarisbawahi bahwa Tiongkok menerapkan strategi merkantilisme, yang pada sisi sejarah tanpa ragu, mengarah pada hegemoni dunia bagi Tiongkok dan bagi Partai Komunis Tiongkok.

Strategi ini mendorong adanya penurunan perekonomian pada negara lain. Point of View saya, secara bersamaan berada pada tataran ekonomi dan geopolitik. Keduanya digambarkan atas empat hal berikut :

Pertama, Neraca Dagang berperan penting bagi setiap Negara. Negara-negara yang neraca dagangnya secara umum surplus, namun tidak selamanya, berada dalam dinamika kekuatan membangun industrinya; pertumbuhan Produk Domestik Bruto menjadi penentu utama. Negara-negara yang mengalami terus-menerus defisit, akan secara relatif mengalami dinamika deindustrialisasi.

Negara-negara ini akan mengalami peningkatan signifikan PDB, namun melemah karena solusi yang ditempuh melalui hutang luar negeri yang lebih besar dari pembentukan tabungan domestik ; pertumbuhan PDBnya tidak sehat karena dijamin oleh peningkatan hutang.

Kedua, Negara-negara yang mengalami surplus terhadap semua negara menimbulkan masalah pada negara lain. Seperti yang anda ketahui, perdagangan internasional merupakan permainan neraca seimbang. Surplus neraca dagang suatu negara menyebabkan negara lain defisit.

Jika satu atau beberapa negara membangun strategi merkantilisme untuk mencapai surplus besar neraca dagangnya, maka strategi ini merupakan strategi non-koperatif karena, secara mekanik, negara-negara lain akan mengalami defisit perdagangan dan saat yang sama mengalami deindustrialisasi dan peningkatan derajat hutang.

Ketiga, negara-negara besar yang menjadi super merkantilis menunjukkan bukti-bukti dominasi dan hegemoni. Seperti yang anda ketahui, pada abad ke17, William Petty, dalam karyanya Kebijakan Aritmetika, menjelaskan bahwa suatu negara yang berhasil menerapkan strategi merkantilis melalui surplus perdagangan sedemikian besar akan berujung pada posisi penguasaan pada negara-negara lain.

Suatu negara dapat mencapai industrialisasi secara spektakuler, sebaliknya, negara lain mengalami deindustrialisasi dan merusak tahapan industrialisasi pada negara-negara non-industrialized ; Pertumbuhan ekonominya dapat tetap tinggi sebaliknya, negara-negara lain mengalami defisit.

Selanjutnya, suatu negara super-merkantilis mengakumulasi sedemikian besar cadangan emas dan cadangan devisanya secara simetris, sementara, negara lain mengalami pertumbuhan hutang luar negeri dan menjadi subordinasinya dan berada dalam cengkraman dominasi keuangan negara lain.

Keempat, pada abad ke21, Tiongkok secara seksama merupakan negara « super-merkantilis » yang menginspirasi hegemoni. Kebijakan merkantilis telah diterapkan oleh Kerajaan Inggris pada abad ke19, lalu oleh Amerika Serikat pada abad ke 20. Tujuan utama Tiongkok dan Partai Komunis Tiongkok (PCC) adalah memimpin hegemoni di awal abad ke21.

Setelah 10 tahun terbitnya Memaknai Hegemoni Ekonomi Tiongkok, dominasi Tiongkok berada pada tataran industri dan perdagangan; Tiongkok cenderung secara bersamaan menuju pada penguasaan multidimensional.

Cobalah kita kaji peningkatan kekuatan Tiongkok selama sepuluh tahun terakhir dalam berbagai bidang : Dominasi Ekonomi sejak Tahun 2013, PDB nomor wahid dunia dalam ukuran paritas daya beli (PPP) dan Pasar terbesar dunia; Penguasaan Keuangan Dunia (negara donor nomor wahid dunia, jauh di depan Jepang dan Saudi Arabia) ; Penguasaan Teknologi Dunia (teknologi 5G, dalam kecerdasan buatan) ;  Penguasaan Diplomatik (mengontrol berbagai organisasi PBB khususnya World Trade Organization (WTO) dan Food Agriculture Organization (FAO) dan berbagai negara menggantungkan diri pada Tiongkok.

Lalu berbagi Penguasaan atas kekuatan militer dan persenjataan seperti peluru kendali bawah tanah, kapal selam dan penguasaan bawah laut dalam, berbagai pangkalan militer di berbagai belahan dunia, terutama di laut Tiongkok dan laut Natuna Utara, dan lain-lain ; Berbagi Penguasaan Ruang Angkasa (perjalanan bolak balik ke bulan) ; Berbagi Penguasaan Wilayah meliputi jalur infrastruktur dunia Silk Road mengontrol jalur transportasi di berbagai negara ; Berbagi dominasi maritim (jalur perdagangan dunia, jalur pelabuhan dan pangkalan militer laut di dunia). Pada akhirnya, yang tersisa adalah penguasaan moneter dan militer berada di tangan Amerika Serikat.

Sekali lagi, untuk menandai eksploitasi Tiongkok yang berhasil mendorong Dana Moneter Internasional (IMF) memasukkan Yuan dalam jantung Special Drawing Right (SDR) yang selanjutnya Yuan menjadi mata uang konvertibel dunia.

Ketidakseimbangan perdagangan sedemikian besar, yang dikenal oleh penduduk dunia dan yang menjadi dasar perubahan geopolitik yang patut diperhitungkan menjadi tanda adanya bahaya besar. Negara-negara yang mengalami defisit sedemikian besar, cenderung sedikit demi sedikit mengalami instabilitas, berisiko mendorong sistem politiknya sedikit demi sedikit menjadi otoriter, bahkan totaliter, sebagai jawaban atas keberatan dalam masyarakatnya, dalam petualangannya, khususnya militer.

Namun, bahaya yang paling dekat adalah unjuk kekuatan militer Tiongkok di Laut Natuna Utara yang menjadikan beberapa pulau buatan sebagai pangkalan militer, setelah pengambil alihan Hong Kong, dengan mengorbankan perjanjian internasional yang telah ditandatangani Tiongkok, serta ancaman invasi militer ke Taiwan.

Profesor Didin S. Damahuri, ketika membaca buku ini menyatakan bahwa buku ini termasuk dalam perspektif yang langka, karena bukan hanya melihat dari perspektif Akademisi Prancis-warga masyarakat Barat, yang dapat berbeda dengan perspektif warga wilayah lain misalnya dibandingkan dengan kepentingan Asia, dalam melihat Sukses Besar pembangunan ekonomi Tiongkok dengan segala pandangan akan dampaknya.

Tetapi menariknya, Profesor Antoine Brunet dan Profesor Jean-Paul Guichard (AB-JPG, kedua penulis buku ini sebagaimana dalam tradisi akademis Prancis dan Eropa umumnya, melihat secara komprehensif yang menukik ke perbandingan sejarah tentang Kisah Sukses Tiongkok ini dikaitkan dengan Kisah Sukses Jepang, dalam sejarah masa lalu, masa kontemporer dan dalam konteks inter-relasi secara global-internasional.

Juga, dalam melihat bagaimana konteks “Keajaiban Tiongkok”, menyusul “Keajaiban Jepang” dikaitkan dengan analisis peran Inggris di masa lalu dan Amerika Serikat di masa kini sebagai negara Adi Daya baik dalam perspektif Sejarah Pemikiran Ekonomi (history of economic thought) maupun sejarah perekonomian secara empiris (empirical economic history).

Buku Memaknai Hegemoni Ekonomi Tiongkok ini secara konstan mengemukakan tinjauan dalam konteks pemikiran arus tengah yang neoklasikal dan bagaimana AB-JPG merekomendasikan kebijakan bagi Amerika Serikat dan Eropa dalam menghadapi kemajuan ekonomi Tiongkok yang dalam beberapa tahun ke depan dapat menyalip Amerika Serikat dalam ranking GDP.

Dengan Uraian tersebut, terasa ada semacam “Etnocentrical bias”, yakni selalu menempatkan Barat (khususnya Amerika Serikat dan Eropa) sebagai “Pusat” yang harus, tetapi dalam posisi yang terpenting, baik secara geo-politik maupun geo-ekonomi global.

Padahal, sudah lebih dari satu dasawarsa, disadari oleh berbagai kalangan intelektual secara internasional, akan adanya fakta tentang tengah terjadinya pergeseran Pusat Ekonomi Dunia dari Atlantik ke Pasifik dan diramalkan Asia akan menjadi Pusat Pembangunan Ekonomi dan Peradaban Dunia sebagaimana dikemukakan oleh salah satu buku yang berpengaruh yang ditulis oleh Kishore Mahbubani.

Adalah Sangat menarik, pandangan Profesor Kishore Mahbubani–Intelektual dari Lee-Kuan Yew School of Public Policy Singapore–yang sangat disegani oleh kalangan intelektual Amerika Serikat maupun Eropa karena pandangannya tentang Ekonomi Pasar di Asia.

Menurut Mahbubani, negara-negara di Asia menempatkan Ekonomi Pasar sangat pragmatis dalam apa yang ia sebut March to Modernity dan meramalkan karena keadaan sekarang dan kecenderungannya ke depan. Menurutnya Asia akan menjadi “Pusat Peradaban dan Pembangunan” yang sekarang masih berpusat di negara-negara Barat.

Namun Sukses banyak negara-negara Asia (Jepang, Tiongkok, Korea-selatan, India, Malaysia, Thailand, Singapura), mekanisme pasarnya tanpa harus meninggalkan nilai-nilai Agama, nilai tradisional dan dengan peran negara dan demokrasi politik yang unik dan bervariasi.

Ia mencontohkan di Tiongkok, bagaimana rakyatnya sekarang bukan hanya menikmati kemakmuran yang jauh lebih tinggi, tetapi juga kebebasan atau demokratisasi secara riil berkat kemajuan ekonomi. Dengan demikian, Ekonomi Pasar di Asia menyempal dari arus tengahnya Ekonomi Pasar Amerika Serikat dan Eropa atau Profesor Didin S. Damanhuri menyebutnya sebagai Ekonomi Heterodoks.

Kemudian kita mengenal Ekonomi Pasarnya Jepang yang dalam waktu relatif singkat (1970-1990an) kinerja cabang-cabang industrinya (Elektronik, Telekomunikasi, otomotif) mampu men-trespasse cabang industri Amerika Serikat dan Eropa, berkat peran negara dengan apa yang disebut Japan Incorporated, yakni, peran perencanaan jangka panjang dan sinerginya dengan pelaku lain (swasta, parlemen, dunia riset, para perwakilan di luar negeri).

Sementara dalam praxisnya, menyerahkan sepenuhnya kepada pihak swasta untuk merealisasikan aksi koporasinya dalam mekanisme pasar (nasional maupun global). Menurut hasil studi, kesejahteraan buruhnya juga–bersama Swedia–yang paling tinggi di dunia, di mana serikat buruh di Jepang tidak terlalu kuat seperti di Eropa.

Ekonomi Pasar Amerika Serikat dengan peran negara yang relatif minim, yang menghasilkan kinerja sebagai Adidaya Ekonomi, Politik dan militer di dunia berkat kemajuan Iptek yang fantastis, namun kinerja sosialnya rapuh.

Dewasa ini ada sekitar 2 juta gelandangan (karena krisis 2008), penduduk tanpa rumah sekitar 12 persen, kemiskinan (dengan poverty line menurut ukuran mereka sendiri yang jauh lebih tinggi dari negara-negara berkembang) sekitar 18 persen. Problem kemiskinannya lebih menjadi urusan Yayasan-Yayasan sosial seperti Yayasan Keluarga Kennedy, Rockefeller, Ford, dan lain-lain.

Sejak Administrasi Obama dari Partai Demokrat, memang sekarang untuk urusan Kesehatan, terdapat Undang-Undang yang menjamin penduduk miskin mempunyai akses kepada pelayanan kesehatan yang gratis, meskipun saat itu lagi dicoba mau dicabut kembali oleh Partai Republik lewat penolakan Anggaran pada Tahun 2013-2014 yang kemudian menimbulkan kebijakan yang menghebohkan dunia, yakni “penghentian sementara pelayanan pemerintahan” (shutdown) oleh Presiden Obama.

Ekonomi Pasar di Eropa ceritanya lain lagi, di mana berdampingan dengan peran negara yang menjamin sistem jaminan sosial untuk seluruh penduduk, juga menjadi mediator Buruh dan Majikan, serta mendorong Gerakan Koperasi yang sangat efisien dan perform.

Dengan begitu, Ekonomi Eropa umumnya lebih merata dan relatif kecil kemiskinannya, meski sekarang lagi terserang krisis fiskal dan sosial sekaligus maupun covid19 yang belum juga berakhir hingga sekarang. Dengan krisis 2008 di AS yang hingga sekarang belum pulih benar dan juga Eropa dengan krisis fiskal yang masih jauh dari selesai.

Sebaliknya Asia terus memimpin pertumbuhan dunia dengan bermacam variasi dalam model pembangunannya seperti secara ringkas diuraikan sebelumnya. Namun, pertanyaan yang penting bukanlah apakah Tiongkok merupakan hegemoni yang baik atau tidak, melainkan bagaimana kawasan seharusnya merespon kemungkinan meningkatnya hegemoni tersebut.

Dalam jangka pendek, sedang terjadi peningkatan pengeluaran dan pembelian senjata militer di kawasan Asia, tidak terkecuali Indonesia yang diprediksi akan meningkatkan anggaran militernya. Demikian halnya Filipina dan negara-negara lain di Kawasan Asia. Hal tersebut mengindikasikan akan adanya suatu perlombaan senjata di Asia.

Namun, harus dipahami bahwa opsi internal balancing dalam merespon Tiongkok bukanlah opsi bijak. Hal ini karena sebagian besar negara-negara Asia adalah negara berkembang, di mana berbagai kendala domestik untuk merealisasikan strategi ini termasuk kepentingan ekonomi dan pembangunan, serta kapital politik untuk mengalokasikan dana militer.

Presiden Obama di awal pemerintahannya kedua mencetuskan pivot to Asia. Nyatanya, empat tahun setelahnya, « yang kuat » tersebut tidak kunjung tiba. Terlebih Pemerintahan Trump akan dijatuhkan hambatan dan beban mobilisasi militer yang sama dengan yang diampu Obama.

Namun, jika benar militer AS akan terlibat dalam rangka membantu negara-negara kawasan Asia merespon peningkatan hegemoni Tiongkok, hal ini tidak berarti Tiongkok akan berhenti dan menjaga jarak. Salah satu penyebabnya adalah Laut Natuna Utara (LNU) lebih dari sekedar kantong ekonomi, kini merupakan bagian dari diskursus identitas nasional dan historis Tiongkok.

Walaupun kemungkinan adanya konflik terbuka masih terlihat rendah, dapat dipastikan bahwa opsi keseimbangan baik internal maupun eksternal dengan bantuan AS merupakan opsi yang berujung pada ekskalasi ketegangan dan sentimen nasionalisme negara-negara kawasan. Opsi yang lebih strategis untuk diambil adalah tindakan-tindakan yang menghasilkan deeskalasi ketegangan yang ada.

Hal ini termasuk merevitalisasi kerjasama keamanan antara Tiongkok dan negara-negara kawasan Asia pada isu non-tradisional seperti terorisme dan narkoba, berpartisipasi dalam upaya Tiongkok dalam program One Belt One Road (OBOR), mempertimbangkan kerjasama bilateral dan juga multilateral dengan Tiongkok di gugusan kepulauan sengketa di LNU. Selain itu, melanjutkan upaya untuk mendirikan sebuah code of conduct yang saling bermanfaat di kawasan yang sama.

Memang kini Tiongkok terkesan sebagai hegemoni yang secara agresif memproyeksikan kekuatannya di kawasan. Namun, dari kacamata negara-negara di kawasan Asia, semua merupakan sekutu AS, semua melakukan latihan militer bersama rutin dan sebagian besar menyediakan tempat bagi pangkalan militer AS.

Namun kita tidak dapat memungkiri adanya the miracle of China yakni pertumbuhan PDB perkapita Tiongkok mencapai lima kali lipat dari pertumbuhan perkapita dunia.

Selain itu, bila Britania Raya membutuhkan 58 tahun mencapai tahap industrialisasi yakni pada periode 1880-1938, Amerika Serikat membutuhkan waktu 47 tahun untuk mencapainya pada periode 1839-1886, Jepang membutuhkan 34 tahun mencapai masa industrialisasi yakni pada periode 1885-1919, Korea Selatan membutuhkan masa 11 tahun mencapai masa industrialisasi yakni pada 1966-1977, maka Tiongkok hanya membutuhkan 8,6 tahun yakni pada periode.

Pembangunan bertumpu pada fondasi crisis less growth, pada lima hal yakni likuiditas internasional yang tinggi, sistem perbankan solid, sistem pengamanan keuangan efektif, tingkat tabungan tinggi dan stabil, serta pasar besar dan kapasitas diferensial.

Selain itu, Tiongkok sangat memperhatikan nasehat dalam Paradoks Triffin yakni tetap mengakumulasi cadangan devisanya di dalam negerinya, kontras dengan pengalaman AS yang menumpuk cadangan devisanya di luar negeri yang dapat mengancam keistimewaan dolar sebagai mata uang dunia.

Buku ini menarik bukan hanya berisi uraian sejarah dan strategi ekonomi maupun geopolitik. Salah satu pelajaran yang dapat diambil dari buku ini bagaimana kita mempelajari strategi Tiongkok supaya Indonesia tidak menjadi korban dari politik hegemoni imperialisme Tiongkok.

Buku ini merupakan buku putih yang mengajar strategi apa yang harus dilakukan sehingga kita mendapat manfaat untuk membangun ekonomi Indonesia, melalui kerjasama internasional dalam berbagai bidang dan dapat menjadi rujukan dalam pengembangan pemikiran-pemikiran ekonomi di masa datang.

Namun, selain buku ini mendapat apresiasi, buku tidak lepas dari kritik pembaca. Istilah kapitalisme demokrasi, kapitalisme totaliter, sosialisme pasar kurang mendapat analisis mendalam. Fenomena di Tiongkok seperti reformasi ekonomi di perdesaan, eksploitasi tenaga kerja, kapitalisme pasar yang menimbulkan masalah lingkungan.

Akibat industrialisasi massal menimbulkan imperialisme baru Tiongkok yang berujung pada Tiongkok menjadi eksportir modal dan eksportir tenaga kerja murah, serta adanya sentralisasi modal pada segelintir group-group besar yang dapat kita lihat bahwa 215 perusahaan multinasional di dunia ini, 112 perusahaan tersebut berasal dari Tiongkok, dan buku ini belum menjelaskan bagaimana perilaku kapitalisme negara oleh Tiongkok.

Di balik perdebatan ini, Tiongkok menghadapi dua masalah besar yakni urbanisasi dan pembangunan ekonomi wilayah barat nan miskin. Namun, pada tahap pembangunan ekonomi pasca open door policy, Tiongkok berhasil melalui 3 masa besar yakni periode 1978-1999 merupakan masa perubahan politik, periode 1992-1999 merupakan ekspansi perekonomian pasar sosialis yang ditandai oleh pertumbuhan ekonomi rata-rata 10,9 persen, serta periode Tahun 2000 hingga sekarang merupakan periode pertumbuhan ekonomi tinggi, stabil dan inovatif walaupun masih menghadapi pandemi covid19.

Tentu saja semua negara berorientasi pada inovasi bergantung pada faktor penggerak pertumbuhan ekonominya : TK, Modal, sains dan teknologi. Negara Maju dan Berkembang tunduk pada hukum « 7-3-3-7 » yakni 70 persen perekonomian Negara Maju didorong oleh ilmu pengetahuan dan teknologi, dan 30 persen oleh TK, modal dan bahan baku. Sebaliknya, 70 persen perekonomian negara berkembang didorong oleh TK dan modal, dan 30 persen oleh sains dan teknologi.

Tentu saja jalan menuju transformasi ekonomi berbasis inovasi masih panjang bagi Tiongkok. Tetapi tanda-tanda menuju ke sana telah terlihat melalui digitalisasi ekonomi. Semoga uraian ini tentu menambah khazanah mengapa pada masa jabatan kedua, Presiden Trump mengambil kebijakan tarif resiprokal pada negara lain selain Tiongkok.***

ADUH! 2 Medali Emas Sulteng Beralih Menjadi Milik Riau, Setelah Putusan PN Jakarta Pusat 2025

KONI Sulteng
99 Views

JATI CENTRE – Perjuangan KONI Provinsi Riau, untuk mempertahankan atlet renang Riau, Azzahra Permatahani, akhirnya terpenuhi. Setelah melalui beberapa persidangan yang panjang baik di bidang hukum KONI Pusat dan BAORI, akhirnya diputuskan oleh Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, yang menyatakan Azzahra, resmi dan murni milik Riau.

Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Nomor 481/Pdt.Sus-Arb/2024/PN Jkt.Pst tanggal 3 Februari 2025. Amar putusannya mengabulkan permohonan pemohon dari KONI Riau. Menyatakan putusan arbitrasi BAORI KONI pusat bertentangan dengan Undang-undang RI.

Menyatakan menolak putusan BAORI, dan atlet Azzahra adalah atlet KONI Provinsi Riau, dan bukan atlet Provinsi Sulteng.

Menyatakan tidak sah perpindahan atlet Azzahra Permatahani dari KONI Riau ke KONI Sulawesi Tengah, dikarenakan putusan BAORI belum didaftarkan ke PN Jakarta Pusat, sesuai dengan pasal 59 UU Nomor 30 tahun 1999.

Putusan PN Jakarta Pusat juga memutuskan bahwa 2 medali emas yang diraih oleh atlet renang Azzahra Permatahani, yang semula milik Sulawesi Tengah, menjadi milik KONI Riau. Kemudian, putusan terakhir yang dikeluarkan yakni menghukum termohon untuk membayar perkara sebesar Rp578.000.

Ketua umum KONI Riau, Iskandar Hoesin, bersyukur keluarnya hasil keputusan PN Jakarta Pusat. Perjuangan yang telah dilalui tim hukum KONI Riau akhirnya membuahkan hasil. Mulai saat menghadiri pertemuan KONI Pusat, bersama KONI Riau dan KONI Sulteng. Hingga pada saat entry by name dan satu hari menjelang pertandingan Cabor renang PON XXI Aceh-Sumut, KONI Pusat tetap berpegangan pada hasil BAORI.

“Alhamdulillah, perjuangan kita untuk mempertahankan Azzahra sebagai atlet renang Riau akhirnya terpenuhi. Setelah tim hukum KONI Riau menggugat hasil putusan BAORI di PN Jakarta Pusat. Hasilnya tidak sia-sia kita menang, dan Azzahra dinyatakan sebagai atlet Riau,” ujar Iskandar Hoesin sebagaimana dikutip dari laman riau.harianhaluan.com pada Rabu 26/3/2025.

“Yang paling kita sukuri, salah satu poin dari putusan PN Jakarta Pusat menyatakan perolehan medali yang diraih oleh Azzahra untuk medali emasnya menjadi milik Riau. Dua emas yang diraih Azzahaa pada PON Aceh-Sumut, sepenuhnya menjadi milik Riau,” tambah Iskandar Hoesin, didampingi Kabid Hukum KONI Riau, Syahrial.

Dijelaskan Iskansar Hoesin, dengan bertambahnya dua medali emas dari Azzahar tersebut, maka torehan medali emas Riau menjadi 23 medali emas dari 21 medali emas pada klasemen akhir PON XXI Aceh-Sumut, tahun 2024 lalu. Bahkan posisi Riau juga naik dari posisi 12, masuk ke posisi 10 besar klasemen PON XXI.

“Tambahan dua medali emas ini tentunya sangat menguntungkan kita, dan posisi kita berada di posisi 10 menggeser Lampung. Emas kita menjadi 23 emas dari 21 medali emas, setelah putusan PN Jakarta Pusat menyatakan medali emas Azzahra menjadi milik Riau. Dengan demikian target kita di 10 besar PON XXI Aceh-Sumut tercapai,” kata Iskandar Hoesin.

“Kita sudah mengajukan ke KONI Pusat untuk perubahan klasemen PON XXI Aceh-Sumut, begitu juga dengan putusan dari PN Jakarta Pusat juga sudah kita kirimkan. Sekarang kita menunggu keputusan dari KONI Pusat terkait dengan perubahan medali emas dan klasemen PON XXI,” tambahnya.

***

Untuk diketahui, pada pelaksanaan PON XXI Aceh-Sumut 2024, terjadi perselisihan antara KONI Riau dan KONI Sulteng, terkait dengan perpindahan atlet renang Riau Azzahra Permatahani ke Sulteng.

Kedua KONI ini sama-sama mendaftarkan Azzahra, namun kerena putusan BAORI KONI Pusat memenangkan Azzahar sebagai atlet Sulteng, KONI Riau pun mengajukan gugatan ke PN Jakarta Pusat.

Akhirnya setelah persidangan, PN Jakarata Pusat menyatakan Azzahra sebagai atlet resmi Riau dan membatalkan putusan BAORI, serta perolehan 2 medali yang diraih oleh Azzahra yang sebelumnya milik Sulteng menjadi milik Riau.***

Artikel pernah tayang di riau.harianhaluan.com

Identifikasi 13 Titik Tambang Ilegal di Sulteng

115 Views

JATI CENTRE – Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Sulawesi Tengah, pernah melaporkan ada 13 titik Pertambangan Tanpa Izin (PETI) di wilayah kerjanya. Titik terbanyak berada di Parigi Moutong.

Kepala ESDM Sulteng, Haris Kariming saat itu mengatakan, 13 titik itu merupakan laporan hasil investigasi oleh Tim Inspektur Tambang (TIT) Kementerian ESDM.

“13 titik tambang ilegal itu tersebar di sejumlah kabupaten/kota di Sulteng dan terbanyak berada di wilayah Parigi Moutong,” terang Haris, Kamis (18/3/2021) sebagaimana dikuti dari Media Indonesia.

Haris menjelaskan, khusus untuk wilayah Parigi Moutong, masing-masing terdapat di Desa Lobu sebanyak tiga titik, 21,6 hektare (ha) di antaranya berada di kawasan hutan lindung.

Sementara dua titik lainnya masing-masing seluas 12,8 ha dan kurang lebih satu ha. Kemudian di Desa Kayubuko seluas 72,371 ha yang telah ditertibkan beberapa kali suratnya.

Selanjutnya, lanjut Haris, PETI di Buranga, Kecamatan Ampibabo yang belum lama ini mengalami longsor dan menelan korban jiwa.

Selain itu, PETI di Tirtanagaya, Kecamatan Bolano Lambunu, kemudian di Sungai Tada, Kecamatan Tinombo Selatan, di Desa Sijoli Kecamatan Moutong, serta di Desa Kasimbar Barat dan Kasimbar.

“Kemudian di Salubanga, Kecamatan Sausu seluas 1165 hektar yang diusulkan untuk menjadi WPR (Wilayah Pertambangan Rakyat),” ungkap Haris.

Selain di Parigi Moutong, juga terdapat titik PETI di sejumlah daerah lainnya di Sulteng, seperti di wilayah Kabupaten Poso, tepatnya di Dongi-Dongi seluas 15 ha lebih dan di Kecamatan Toili Barat, Kabupaten Banggai.

“Untuk wilayah Kabupaten Buol terdapat di dua titik, tepatnya di Desa Bulubalang, Kecamatan Paleleh Barat dan di Desa Dopalak Kecamatan Paleleh kurang lebih 10 ha,” kata Haris.

Di Kota Palu sendiri juga terdapat titik peti yang sudah beroperasi cukup lama.

“Lokasi peti tersebut berada di dalam lahan kontrak karya PT. Citra Palu Minerals (CPM) di Kelurahan Poboya, Kecamatan Mantikulore,” imbuh Haris.

Kepala Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Sulteng, Sadli Lesnusa mengatakan, aktivitas PETI jelas diartikan melanggar aturan, tidak ada yang membenarkan, sehingga perlu diupayakan penertiban.

“Keberadaan PETI di Sulteng, telah berjalan cukup lama dan turun temurun, di antaranya karena faktor modal usaha kecil, lemahnya pemahaman pelaku usaha, dan pengurusan izin yang dianggap terlalu panjang birokrasinya,” tandasnya.

Data Terbaru

Aktivitas PETI tentu melanggar UU Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, serta tidak memberi pemasukan kepada negara/daerah.

Sehingga atas data tahun 2021 tersebut, hingga kini tentu ada perubahan yang bisa terjadi penambahan lokasi aktivitas PETI yang mengancam kelestarian lingkungan.

Dinas ESDM sesuai kewenangannya penting memberikan data dan informasi mutakhir tentang aktivitas PETI di daerah dalam wilayah kerjanya.

Sehingga dibutuhkan langkah penataan dari pemerintah daerah, dan penegakan hukum dari Aparat Penegak Hukum (APH).***

Artikel tayang di Media Indonesia : https://mediaindonesia.com/nusantara/391549/ada-13-titik-tambang-ilegal-di-sulteng?utm_source=chatgpt.com

Banggai dalam Kerangka Implementasi Sulteng Nambaso

Moh Ahlis Djirimu
105 Views

Oleh: Moh. Ahlis Djirimu
( Staf Pengajar FEB-Untad )

 

JATI CENTRE – Pelaksanaan Musyawarah Rencana Pembangunan Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah (Musrenbang RKPD) Kabupaten Banggai Tahun 2026 pada 24 Maret 2025 ini merupakan kegiatan perencanaan tahun pertama Pemerintahan Kabupaten Banggai periode 2025-2029, dan/atau dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Periode 2025-2029.

Walaupun pemimpin daerahnya belum ditetapkan oleh Mahkamah Konstitusi pemenangnya, namun Pembangunan terus berjalan secara alamiah dan terencana, demikian pula proses perencanaan dan penganggarannya. Para ahli Perencanaan Pembangunan menyatakan bahwa lima puluh persen keberhasilan Pembangunan ditentukan oleh kualitas perencanaan. Lima puluh persen lainnya ditentukan oleh kualitas implementasi, kualitas monitoring dan evaluasi sinkronisasi antar dokumen perencanaan, serta umpan balik dalam Pembangunan.

Keberhasilan pelaksanaan dokumen perencanaan ditentukan oleh kemampuan perangkat daerah memahami Permasalahan Pembangunan dan Isu Strategis, Visi dan Misi Kepala Daerah, Tujuan, Sasaran, Strategi dan Arah Kebijakan selama lima tahun pelaksanaan Pembangunan.

Selain itu, sebagai tambahan, keberhasilan Pembangunan ditentukan pula oleh kemampuan Organisasi Perangkat Daerah (OPD) memahami dan mampu menyusun kerangka logis Indikator Kinerja Daerah (IKD), serta menselaraskannya dengan dokumen Kebijakan Umum Anggaran (KUA) dan Prioritas Plafon Anggaran Sementara (PPAS). Hal yang terpenting adalah komitmen dan konsistensi melaksanakan dokumen perencanaan dan penganggaran, sepatutnya dilaksanakan sebagai pelayan masyarakat.

Tahun 2025 merupakan era penuh tantangan bagi Indonesia. Presiden Republik Indonesia mengeluarkan Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2025 tentang Efisiensi Belanja Dalam Pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Tahun Anggaran 2025.

Kebijakan ini jelas mengefisiensikan Anggaran Belanja Kementrian/Lembaga Tahun Anggaran 2025 sebesar Rp256,1,- triliun dan Transfer ke Daerah (TKD) sebesar Rp50,60,- triliun. Di Provinsi Sulawesi Tengah, data Kementrian keuangan menunjukkan bahwa Kebijakan Efisiensi ini menyentuh angka Rp1,52,- triliun atau sekitar 8,1 persen dari pagu awal sebesar Rp18,74,- triliun.

Pemerintah Provinsi Sulawesi Tengah terdampak efisiensi sebesar Rp257,3,- miliar, Kabupaten Banggai sebesar Rp25,5,- miliar atau 1,17 persen, Kabupaten Banggai Kepulauan sebesar Rp143,32,- miliar atau 16,31 persen, serta Kabupaten Banggai Laut sebesar Rp118,65,- miliar atau 16,95 persen. Efisiensi Transfer ke Daerah di Sulawesi Tengah berdampak pada pencadangan Dana Alokasi Khusus (DAK) Fisik bidang Konektivitas, Irigasi, Pertanian Pangan, dan Pangan Akuatik dan Dana Alokasi Umum Earmark Bidang Pekerjaan Umum, serta Kurang Bayar DBH.

Walaupun relatif kecil, namun hal tersebut akan memiliki konsekuensi dalam pencapaian target kinerja OPD terkait Dinas Pengampu yakni Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang, Dinas Ciptakarya dan Sumberdaya Air, Dinas Pengampu Urusan Pertanian, Pangan dan Perikanan. Pelajaran yang dapat kita tarik dari efisiensi ini adalah efisiensi relatif tidak mengurangi manfaat yang akan diterima masyarakat, karena hasil efisiensi akan digunakan untuk kegiatan prioritas pemerintah yang manfaatnya langsung dirasakan oleh masyarakat.

Selain itu, efisiensi ini mendorong Pemerintah Daerah melakukan perbaikan kualitas belanja yang benar-benar sesuai kebutuhan yang merupakan satu dari beberapa pilar keuangan daerah seperti diamanahkan dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah.

Adanya kebijakan Pemerintah Pusat mengandung hikmah bahwa Provinsi Sulawesi Tengah dan tiga belas kabupaten/kota sesegera mungkin melakukan transformasi paradigma Pembangunan dari Uang Mengikuti Fungsi menjadi Uang mengikuti Program, Program Mengikuti Hasil.

Adanya Paradigma Uang Mengikuti Program dilakukan secara holistik dalam arti perencanaan terstandarisasi sesuai Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan (SPPN) dan regulasi turunannya dalam makna keselarasan Perencanaan dan Penanggaran antara Pemerintah Provinsi Sulawesi dan Pemerintah Kabupaten/Kota untuk mencapai Visi dan Misi Kepala Daerah.

Untuk maksud cita-cita tersebut dan mencapai Visi Pemerintah Provinsi Sulteng Periode 2025-2029 yakni “Berani Mewujudkan Sulawesi Tengah sebagai Wilayah Pertanian dan Industri yang Maju dan berkelanjutan 2025-2029”.

Data Portal BKKBN menunjukkan, Di Kabupaten Banggai terdapat 85.745 orang atau 26,26 persen Masyarakat kita belum memiliki Kartu Jaminan Kesehatan. Ada 11.730 anak usia 7-12 tahun atau 25,79 persen tidak sekolah. Ada 1.230 anak usia 13-15 tahun atau 7,05 persen tidak sekolah.

Ada 2.747 anak usia 16-18 tahun atau 15,75 persen tidak sekolah, serta ada 24.342 anak usia 19-24 tahun atau 67,25 persen tidak duduk di bangku kuliah. Selain itu, di Kabupaten Banggai, terdapat 131.809 jiwa atau 41,18 persen belum mempunyai Akte Kelahiran. Pada sisi infrastruktur dasar, sebanyak 3.805 Keluarga mempunyai rumah beralaskan lantai yang ini menjadikan Kabupaten Banggai terbanyak di Sulteng.

Rumah Tangga tanpa Septic Tank di Kabupaten Banggai mencapai 3.577 yang menjadikan Kabupaten Banggai terbanyak di Sulteng. Data Dinas Komunikasi, Informatika, Persandian, Statistik Provinsi Sulteng menunjukkan bahwa 126 desa yakni terbanyak di Sulteng dari 686 desa atau 18,37 persen blank spot berada di Kabupaten Banggai.

DPRD dan Pemerintah Provinsi Sulteng akan mewujudkan bahwa mereka ini tertangani dengan baik sebagai implementasi hadirnya negara dan DPRD Sulteng akan mengawasi pelaksanaan Sembilan Nawacita Berani 2025-2029 pada Program Unggulan “Berani Sehat, Berani Cerdas, Berani Berdering”.

Selama periode 2021-2023, Pemerintah Pusat menggelontorkan Prasarana dan Sarana Konektivitas dengan realisasi di Tahun 2021 mencapai Rp717,95,- miliar dari pagu Rp1,04,- triliun. Di Tahun 2022, Pemerintah Pusat merealisasikan Rp986,13 miliar dari pagu Rp1,29,- triliun, dan di Tahun 2023, Pemerintah Pusat merealisasikan Sapras Konektivitas sebesar Rp2,15,- triliun dari pagu Rp2,34,- triliun.

Panjang Jalan Nasional di Sulteng mencapai 2.373,40 km yang menunjukkan panjang jalan nasional terpanjang di Sulawesi. Dari jumlah tersebut, 805,46 km berada dalam kondisi baik, 1.520,93 km berada dalam kondisi kualitas sedang, 38,48 km berada dalam kondisi rusak ringan, serta 8,53 km berada dalam kondisi rusak berat. Namun, hasil riset Badan Kebijakan Fiskal dan Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan Kemenkeu menunjukkan bahwa 5 pelabuhan penyebrangan, 4 pelabuhan laut dan 1 terminal belum terkoneksi dengan Jalan Nasional.

Selain itu, hasil riset tersebut menunjukkan bahwa hanya Dana APBN Jalan Nasional, APBN Transportasi Laut, APBN Transportasi Udara dan Dana APBD Teknologi, Informasi dan Telekomunikasi yang mendorong atraktivitas positif Perekonomian Sulteng. DPRD Sulteng akan mengawal dan mengawasi pelaksanaan implementasi program unggulan “Berani lancar”.

Badan Pusat Statistik (BPS) Sulteng menunjukkan bahwa pada Februari 2025, di saat 3 kabupaten/kota lainnya yang menjadi rujukan perhitungan Indeks Harga Konsumen (IHK) yakni Kota Palu, Kabupaten Tolitoli dan Kabupaten Morowali mengalami deflasi, sebaliknya, Kabupaten Banggai mengalami inflasi sebesar 0,48 persen. Hal ini erat kaitannya dengan permintaan kebutuhan pokok meningkat jelang Ramadhan 2025 dan dapat menjadi indikasi tergerusnya daya beli Masyarakat.

Di Tahun 2024, di Kabupaten Banggai, baik luas panen per hektar, produksi padi dalam satuan Gabah kering Giling (GKG), Produktivitas ton GKG/Ha, dan Produksi Beras per ton mengalami penurunan. Luas panen di Kabupaten Banggai mengalami penurunan dari 39.418 Ha, menjadi 38.385 Ha.

Produksi Padi dalam satuan Gabah Kering Giling (GKG) menurun dari 178.758 ton pada 2023 menjadi 159.471 ton pada 2024 atau mengalami penurunan sebesar 10,79 persen. Produktivitas padi di Kabupaten Banggai menurun dari 4,53 poin pada 2023 menjadi 4,15 poin di Tahun 2024, serta produksi beras menurun dari 105.517 ton pada 2023 menjadi 94.132 ton pada 2024 atau mengalami penurunan pula sebesar 10,79 persen. Penurunan produksi padi dalam year-on-year terjadi pula di Morowali, Poso, Donggala, Tolitoli, Buol, Sigi dan Morowali Utara.

Hal ini tentu berpengaruh pada Produksi Padi Sulteng per 2024 mengalami penurunan sebesar 7,5 persen dari 2023 yang dapat mendorong kelangkaan beras yang selanjutnya memicu kenaikan harga. Kebijakan Peraturan Penyanggah Harga dengan menciptakan kelembagaan pangan sebagai Depot Logistik Daerah dapat menjadi kebijakan yakni memenuhi kebutuhan beras di Sulteng barulah di antar daerahkan atau di antar pulaukan.

Indeks Ketahanan Pangan Kabupaten Banggai mencapai 85,72 poin dengan komponen tertinggi pada Komponen Ketersediaan Pangan mencapai 93,92 poin, Keterjangkauan Pangan mencapai 90,69 poin, Sebaliknya, Komponen terendah pada angka Pemanfaatan Pangan hanya mencapai 75,83 poin lebih rendah dari angka Pemanfaatan Pangan di Kabupaten Morowali mencapai 78,65 poin, Buol sebesar 78,81 poin dan Morowali Utara mencapai 77,07 poin.

Posisi Kabupaten Banggai ini patut diperkuat oleh Pemerintah Provinsi Sulteng melalui program “Berani Lancar” karena Kabupaten Banggai merupakan pemasok Ketersediaan Pangan ke Kabupaten Banggai Kepulauan dan Banggai Laut, bahkan hingga ke Kabupaten Kepulauan Sula dan Taliabu. Sejak 2021, Kabupaten Bangkep dan Banggai Laut terus mengalami penurunan.

Masalah hidrometeorologi yang terbukti dari hasil riset Kementrian Keuangan menunjukkan selama April 2023 sampai dengan April 2024, suhu permukaan di Kabupaten Banggai meningkat dari 27,5 derajat Celcius menjadi 28 derajat Celcius atau naik 0,5 derajat Celcius, sedangkan selama 10 tahun terakhir, suhu di permukaan di Sulteng meningkat 1,2 derajat Celcius.

Hal ini tentu akan mengganggu rantai pasok bahan pangan ke daerah kepulauan, di samping menganggu produksi pangan dan perikanan. DPRD Sulteng akan mengawasi pula implementasi program “Berani Murah” dan “Berani Panen Raya”, serta “Berani Tangkap banyak” di wilayah pengelolaan perikanan 715 Laut Sulawesi sekaligus menginisiasi Kerjasama Antar Daerah di Teluk Tolo dan Perairan Halmahera mencakup 4 provinsi di Pulau Sulawesi dan Provinsi Maluku Utara dan Maluku.

Sembilan anggota DPRD Provinsi Sulteng daerah pemilihan Banggai Raya berperan aktif juga dalam mensukseskan Sembilan Program Unggulan Pemerintah Sulteng Periode 2025-2029 melalui Program “Berani Sejahtera, Berani Berdering, Berani Harmoni, Berani Lancar, Berani Berkah, Berani Menyala, Berani Cerdas, Berani Berkah, Berani Sehat” melalui implementasi Pokok-Pokok Pikiran Tahunan di dalam RPJMD Provinsi Sulteng Periode 2025-2029 dan Renstra OPD Periode 2025-2029.

Musrenbang RKPD Kabupaten Banggai Tahun 2026 yang dilaksanakan pada Senin ini hendaknya dapat menghasilkan lima catatan penting yakni, pertama, menyepakati permasalahan Pembangunan daerah; Kedua, Menyepakati Prioritas Pembangunan Daerah di Tengah efisiensi dana Pembangunan; Ketiga, Menyepakati Program, Kegiatan, Subkegiatan, Pagu Indikatif, Indikator dan Target Kinerja, serta Lokasi;

Keempat, Melakukan penyelarasan Program, Kegiatan, Subkegiatan, Pembangunan daerah dengan sasaran dan prioritas Pembangunan Provinsi Sulteng; Kelima, Melakukan Klarifikasi Program dan Kegiatan yang merupakan kewenangan daerah Kabupaten Banggai dengan Program dan Kegiatan Desa yang diusulkan berdasarkan hasil Musrenbang Kecamatan. Inilah makna paradigma Money Follow Program, Program Follow Result dalam bingkai Pembangunan “Sulteng Nambaso” bermakna Sulteng Besar.

Sembilan anggota DPRD Sulteng Dapil Banggai Raya akan selalu bertanya, apa yang dapat mereka dukung dalam mencapai Visi dan Misi Pemerintah Provinsi Sulteng periode 2025-2029 di Kabupaten Banggai.

Targetnya, Angka Kemiskinan Ekstrim sebesar 1,15 persen di Tahun 2024 kembali menjadi Nol persen seperti Tahun 2023, lalu 26,21 ribu penduduk miskin atau 6,56 persen angka kemiskinan menurun walaupun angka 6,56 persen tersebut merupakan fenomena Kemiskinan Alamiah di Kabupaten Banggai yang tentu melandai penurunannya.

Caranya adalah fokus kebijakan tematik dan spasial yakni tematik Perlindungan Sosial dan Pemberdayaan Rumah Miskin Perempuan di Kabupaten Banggai yang memang terbanyak di Sulteng mencapai 6.274 rumah tangga, fokus tematik pada kemiskinan disabilitas 2.214 jiwa, 2.075 rumah tangga nelayan perikanan tangkap dan budidaya, tanpa melupakan rumah tangga petani, yang secara spasial tersebar di wilayah Utara Banggai, semenanjung Tompotika.***

Nizar Rahmatu diLaporkan ke Bawaslu Parigi Moutong, Terkait Syarat Pencalonan Pilkada 2024

133 Views

JATI CENTRE – Syarat pencalonan M. Nizar Rahmatu yang juga Ketua KONI Sulteng ini pada Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Parigi Moutong (Parimo) 2024 kembali dipersoalkan.

Hal itu, ditujukan dengan adanya laporan warga negara dari Kelurahan Kampal, Kecamatan Parigi, Fadli ke Bawaslu Parimo.

Fadli mendatangi kantor Bawaslu Parimo, sekitar 16.00 WITA, Jum’at, 21 Maret 2025 lalu, didampingi sebanyak 10 penasehat hukum yang tergabung dalam Tim Hukum Erwin-Sahid.

“Hari ini, kami mendampingi saudara Fadli melakukan pelaporan di Bawaslu, terkait syarat pencalonan M Nizar Rahmatu,” kata Dr Muslimin Budiman, SH MH sebagai Tim Hukum Erwin-Sahid, saat konfrensi pers di Parigi, Jum’at.

Ia mengatakan, terdapat dua item yang dijadikan laporan ke Bawaslu Parimo, yakni putusan Mahkamah Agung (MA) Nomor: 72 K/PID.SUS/2015 dan surat Kejaksaan Negeri Palu Nomor: B3010A/T.6.10.PD.I/12/2024.

Sejak Agustus 2012, kata dia, M Nizar Rahmatu sudah tidak lagi menjalani masa penahanan, karena tidak ada perpanjangan status pengalihan penahanan dari Rumah Tahanan (Rutan) ke tahanan kota.

“Sehingga, statusnya tidak jelas lagi pada 2012. Apakah dia sebagai terpidana, sementara dia dalam proses pengalihan penahanan, yang dalam KUHP perhitungannya seperlima,” ungkapnya.

Kemudian, jika dikaitkan dengan berita acara eksekusi pada 15 Oktober 2019, pada dasarnya M Nizar Rahmatu dinilai belum menjalani masa hukumannya.

Apabila dilihat dari putusan MA, M Nizar Rahmatu menjalani hukuman badan dari 1 Desember 2011 hingga 12 April 2012.

“Yang kemudian, status pengalihan tahanannya mulai dari 12 April 2012 hingga perpanjangan status pengalihan penahanan dari Pengadilan Tinggi pada 12 Oktober 2012,” ujarnya.

Olehnya, dalam rentang waktu dari 2012 hingga turunnya putusan MA pada 2015, status hukum M Nizar Rahmatu tidak jelas.

“Apakah lepas demi hukum atau apa? Karena tidak ada lagi perpanjangan status pengalihan penahanan dari Mahkama Agung (MA),” tukasnya.

Dengan demikian, jika dikaitkan dengan PKPU 8 Tahun 2024 tentang syarat pencalonan kepala daerah, masa jedah M Nizar Rahmatu belum terpenuhi.

“Selain itu, jangan salah menafsirkan masa jedah lima tahun itu. Karena harus clear dulu semuanya selama lima tahu, baru bisa maju. Jadi lima tahun satu bulan, baru kita maju di Pilkada dan harus dihitung sejak pendaftaran pasangan calon,” terangnya.

Senada, Penasehat Hukum, Muh Nuzul Thamrin Lapali menambahkan, berdasarkan putusan MA terhadap status M Nizar Rahmatu, belum mencukupi masa jedah lima tahun. Mana lagi, ada pengalihan penahanan.

Ia menuturkan, baik peraturan perundang-undangan maupun PKPU mempertegas, masa jedah bagi mantan narapidana dihitung setelah yang bersangkutan menjalani keseluruhan sampai dengan tahapan pendaftaran pasangan calon.

“Jadi jangan dihitung dalam masa penelitian administrasi, karena tahapan pencalonan dimulai dari pendaftaran sampai dengan penetapan pasangan calon,” kata dia.

Dengan proses pelaporan ini, harapannya proses demokrasi lebih baik lagi. Selain itu, dari penemuan fakta ini, kesalahan dalam penyelenggaraan Pilkada Parimo tidak lagi terulang.

“Sebaiknya KPU Parimo lebih profesional lagi dalam melakukan penelitian berkas pencalonan. Karena daerah akan mengalami banyak kerugian, jika penyelenggaran Pilkada diulang kembali,” pungkasnya.***

Artikel pernah tayang di: noteza.id

Tolitoli Dalam Bingkai “Sulteng Nambaso”

Ahlis Djirimu
122 Views

Tolitoli Dalam Bingkai “Sulteng Nambaso”

Oleh: Moh. Ahlis Djirimu
( Staf Pengajar FEB-Untad )

JATI CENTRE – Pekan ini Kabupaten Tolitoli menjadi topik hangat karena selain diguyur hujan nyaris tanpa henti menimbulkan pendangkalan teluk Tolitoli, di hulu catchment area tergerus oleh monokultur cengkih.

Saat yang sama daerah ini melaksanakan Musyawarah Rencana Pembangunan (musrenbang). Pertanyaan yang sering muncul pada Pemerintah Provinsi Sulteng adalah, apa yang dapat provinsi tangani di daerah yang inflasinya selalu paling tinggi dari empat rujukan Indeks Harga Konsumen (IHK) di Sulteng? Pelaksanaan Musrenbang Rencana Kerja Pemerintah Daerah (RKPD) Kabupaten Tolitoli Tahun 2026 pada 13 Maret 2025 merupakan kegiatan perencanaan tahun pertama Pemerintahan Kabupaten Tolitoli periode 2025-2029, dan/atau dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Periode 2025-2029.

Para ahli Perencanaan Pembangunan menyatakan bahwa lima puluh persen keberhasilan Pembangunan ditentukan oleh kualitas perencanaan. Lima puluh persen lainnya ditentukan oleh kualitas implementasi, kualitas monitoring dan evaluasi, sinkronisasi antar dokumen perencanaan, serta umpan balik dalam Pembangunan. Keberhasilan Pembangunan ditentukan oleh kualitas dokumen perencanaan.

Keberhasilan pelaksanaan dokumen perencanaan ditentukan oleh kemampuan perangkat daerah memahami Permasalahan Pembangunan dan Isu Strategis, Visi dan Misi Kepala Daerah, Tujuan, Sasaran, Strategi dan Arah Kebijakan selama lima tahun pelaksanaan Pembangunan, memahami dan mampu menyusun kerangka logis Indikator Kinerja Daerah (IKD), serta menselaraskannya dengan dokumen Kebijakan Umum Anggaran (KUA) dan Prioritas Plafon Anggaran Sementara (PPAS). Selain itu, komitmen dan konsistensi melaksanakan dokumen perencanaan dan penganggaran, sepatutnya dilaksanakan sebagai pelayan Masyarakat.

Tahun 2025 merupakan era penuh tantangan bagi Indonesia. Presiden Republik Indonesia mengeluarkan Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2025 tentang Efisiensi Belanja Dalam Pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Tahun Anggaran 2025.

Kebijakan ini jelas mengefisiensikan Anggaran Belanja Kementrian/Lembaga Tahun Anggaran 2025 sebesar Rp256,1,- triliun dan Transfer ke Daerah (TKD) sebesar Rp50,60,- triliun. Di Provinsi Sulawesi Tengah, data Kementrian Keuangan menunjukkan bahwa Kebijakan Efisiensi ini menyentuh angka Rp1,52,- triliun atau sekitar 8,1 persen dari pagu awal sebesar Rp18,74,- triliun.

Satuan Kerja Provinsi Sulawesi Tengah terkena efisiensi sebesar Rp257,3,- miliar dan Kabupaten Tolitoli sebesar Rp84,6,- miliar. Efisiensi Transfer ke Daerah di Sulawesi Tengah berdampak pada pencadangan Dana Alokasi Khusus (DAK) Fisik bidang Konektivitas, Irigasi, Pertanian Pangan, dan Pangan Akuatik dan Dana Alokasi Umum Earmark Bidang Pekerjaan Umum, serta Kurang Bayar DBH. Walaupun relatif kecil, namun hal tersebut akan memiliki konsekuensi dalam pencapaian target kinerja Organisasi Perangkat Daerah (OPD) terkait Dinas Pengampu seperti Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang, Dinas Ciptakarya dan Sumberdaya Air, Dinas Pengampu Urusan Pertanian, Pangan dan Perikanan.

Pelajaran yang dapat kita Tarik dari efisiensi ini adalah efisiensi relatif tidak mengurangi manfaat yang akan diterima masyarakat, karena hasil efisiensi akan digunakan untuk kegiatan prioritas pemerintah yang manfaatnya langsung dirasakan oleh Masyarakat.

Selain itu, efisiensi ini mendorong Pemerintah Daerah melakukan perbaikan kualitas belanja yang benar-benar sesuai kebutuhan seperti diamanahkan dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. Realisasi tahun historis Pajak Daerah Tahun 2024 mencapai 20,03 persen dan Retribusi Daerah mencapai 19,66 persen. Sedangkan realisasi end-to-end 5 tahun terakhir mencapai 7,14 persen bagi Pajak Daerah dan 8,33 persen bagi Retribusi Daerah. Apakah Pemerintah Provinsi menggunakan realisasi tahunan atau realisasi periodik, Gubernurlah yang memberikah titah pada Bapenda.

Adanya kebijakan Pemerintah Pusat mengandung hikmah bahwa Provinsi Sulawesi Tengah dan tiga belas kabupaten/kota sesegera mungkin melakukan transformasi paradigma Pembangunan dari Uang Mengikuti Fungsi menjadi Uang mengikuti Program, Program Mengikuti Hasil.

Adanya Uang Mengikuti Program dilakukan secara holistik dalam arti perencanaan terstandarisasi sesuai Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan (SPPN) dan regulasi turunannya dalam makna keselarasan Perencanaan dan Penanggaran antara Pemerintah Provinsi Sulawesi dan Pemerintah Kabupaten/Kota untuk mencapai Visi dan Misi Kepala Daerah.

Untuk maksud cita-cita tersebut dan mencapai Visi Pemerintah Provinsi Sulteng 2025-2029 yakni “Berani Mewujudkan Sulawesi Tengah sebagai Wilayah Pertanian dan Industri yang Maju dan berkelanjutan 2025-2029”,

Data Portal BKKBN menunjukkan, Di Kabupaten Tolitoli terdapat 55.241 orang atau 26,44 persen Masyarakat kita belum memiliki Kartu Jaminan Kesehatan. Ada 6.172 anak usia 7-12 tahun atau 25,79 persen tidak sekolah. Ada 1.169 anak usia 13-15 tahun atau 10,15 persen tidak sekolah. Ada 2.647 anak usia 16-18 tahun atau 23,04 persen tidak sekolah, serta ada 16.145 anak usia 19-24 tahun atau 67,33 persen tidak duduk di bangku kuliah.

Selain itu, ada 914.591 jiwa penduduk Sulteng belum mempunyai Akte kelahiran. DPRD dan Pemerintah Provinsi Sulteng akan mewujudkan bahwa mereka ini tertangani dengan baik sebagai implementasi hadirnya negara dan DPRD Sulteng akan mengawasi pelaksanaan Nawacita Berani Periode 2025-2029 pada Program Unggulan “Berani Sehat dan Berani Cerdas”;

Selama periode 2021-2023, Pemerintah Pusat menggelontorkan Prasarana dan Sarana Konektivitas dengan realisasi di Tahun 2021 mencapai Rp717,95,- miliar dari pagu Rp1,04,- triliun. Di Tahun 2022, Pemerintah Pusat merealisasikan Rp986,13 miliar dari pagu Rp1,29,- triliun, dan di Tahun 2023.

Pemerintah Pusat merealisasikan Sapras Konektivitas sebesar Rp2,15,- triliun dari pagu Rp2,34,- triliun. Panjang Jalan Nasional di Sulteng mencapai 2.373,40 km yang menunjukkan panjang jalan nasional terpanjang di Sulawesi. Dari jumlah tersebut, 805,46 km berada dalam kondisi baik, 1.520,93 km berada dalam kondisi kualitas sedang, 38,48 km berada dalam kondisi rusak ringan, serta 8,53 km berada dalam kondisi rusak berat.

Namun, demikian, hasil riset Badan Kebijakan Fiskal dan Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan Kemenkeu menunjukkan bahwa 5 pelabuhan penyebrangan, 4 pelabuhan laut dan 1 terminal belum terkoneksi dengan Jalan Nasional, serta masih ada 686 desa dari 1.482 desa atau 36 persen berada pada kategori “Blank Spot”.

Selain itu, hasil riset tersebut menunjukkan bahwa hanya Dana APBN Jalan Nasional, APBN Transportasi Laut, APBN Transportasi Udara dan Dana APBD Teknologi, Informasi dan Telekomunikasi (TIK) yang mendorong atraktivitas positif Perekonomian Sulteng. DPRD Sulteng akan mengawal dan mengawasi pelaksanaan implementasi program unggulan “Berani lancar” dan “Berani Berdering”;

Badan Pusat Statistik (BPS) Sulteng menunjukkan bahwa setiap bulan, sejak Kabupaten Tolitoli termasuk daerah rujukan penghitungan angka Indeks Harga Konsumen (IHK) bahwa Kabupaten Tolitoli merupakan daerah tertinggi di Sulteng. Pada Januari 2025, deflasi di Kabupaten Tolitoli mencapai -1,22 persen. Hal ini menunjukkan bahwa daya beli penduduk Tolitoli melemah. Di Tahun 2024, luas panen di Kabupaten Tolitoli mencapai 13.007 Ha, menurun dari 13.889 Ha.

Sebaliknya, Produksi Padi dalam satuan Gabah Kering Giling (GKG) meningkat dari 55.429 ton pada 2023 menjadi 59.017 ton pada 2024. Produktivitas padi di kabupaten Tolitoli meningkat dari 3,99 poin pada 2023 menjadi 4,54 poin di Tahun 2024, serta produksi beras meningkat dari 32.719 ton pada 2023 menjadi 34.837 ton pada 2024. Indeks Ketahanan Pangan Kabupaten Tolitoli mencapai 79,18 poin dengan titik terendah pada angka Pemanfaatan Pangan hanya mencapai 69,59 poin lebih rendah dari angka Ketersediaan Pangan mencapai 88,2 poin dan Keterjangkauan Pangan 82,93 poin.

Posisi Kabupaten Tolitoli ini patut diperkuat oleh Pemerintah Provinsi Sulteng melalui program “Berani Lancar” dengan mengusulkan pengaktifan lagi Pelabuhan Penghubung Wani dan Pelabuhan Tolitoli, serta mengusulkan pada Kementrian Perhubungan agar Pelabuhan Tolitoli direaktivasi sebagai persinggahan Kapal PT. Pelni seperti oleh KM.

Kerinci di masa lalu. DPRD Sulteng akan mengawasi pula implementasi program “Berani Murah” dan “Berani Panen Raya”, serta “Berani Tangkap” banyak di wilayah pengelolaan perikanan (WPP) 716 Laut Sulawesi sekaligus mengawal Pembangunan di 2 pulau terluar Indonesia: Lingayan dan Salando. Bila tidak, pengalaman Sipadan & Ligitan dapat terulang. Bukankah di Filipina ada perairan Lingayan? Mungkin punya cerita historis dengan Pulau Lingayan.

Musrenbang RKPD Kabupaten Tolitoli Tahun 2026 ini hendaknya dapat menghasilkan lima catatan penting yakni, pertama, menyepakati permasalahan Pembangunan daerah; Kedua, Menyepakati Prioritas Pembangunan Daerah di Tengah efisiensi dana Pembangunan; Ketiga, Menyepakati Program, Kegiatan, Subkegiatan, Pagu Indikatif, Indikator dan Target Kinerja, serta Lokasi; Keempat, Melakukan penyelarasan Program, Kegiatan, Subkegiatan, Pembangunan daerah dengan sasaran dan prioritas Pembangunan Provinsi Sulteng; Kelima, Melakukan Klarifikasi Program dan Kegiatan yang merupakan kewenangan daerah Kabupaten Tolitoli dengan Program dan Kegiatan Desa yang diusulkan berdasarkan hasil Musrenbang Kecamatan.

Inilah makna paradigma Money Follow Program, Program Follow Result dalam bingkai Pembangunan Sulteng Nambaso. Tugas utama Bappeda Provinsi Sulteng membuat logiciel Framework, Pedoman Umum, Pedoman Tehnis, Pedoman Operasional jabaran Sembilan program unggulan tersebut, karena hal ini wilayah tugas pokok dan fungsinya (Tupoksi) di bidang perencanaan. Sedangkan hal-hal tehnis menjadi tupoksi perangkat daerah tehnis.***