Ketua JSC Terpilih, Berikut Program Kegiatan Unggulannya

542 Views

Palu-Jati Centre. Hasil Musyawarah I Jati Study Club (JSC) yang digelar di Palu pada Rabu (18/5/2022) telah memilih dan menetapkan Ilyas Zulfan sebagai Ketua JSC tahun 2022. Mahasiswa Universitas Islam Negeri (UIN) Datokarama Palu ini, sebelumnya dipercaya sebagai Ketua Panitia Musyawarah.

Selanjutnya, Ketua JSC terpilih diharuskan melaksanakan amanah Musyawarah, yakni segera membentuk struktur pengurus, dan merumuskan program dan kegiatan. Hal itu disampaikan Pembina JSC Ruslan Husen di Palu, Kamis (19/5/2022).

Menurut Akademisi UIN Datokarama Palu ini, konsolidasi pengurus segera dilaksanakan oleh ketua terpilih melalui pembentukan struktur pengurus. Dilanjutkan, pelaksanaan rapat kerja untuk mematangkan pelaksanaan program dan kegiatan yang telah dihasilkan dalam forum Musyawarah.

“Sekali lagi, segera laksanakan rapat kerja, yang diawali dengan pembentukan pengurus. Agar komunitas belajar ini dapat segera berjalan, dan ada manfaatnya,” tekan Ruslan.

Untuk diketahui, JSC sebagai komunitas belajar diarahkan untuk mengembangan potensi kemanusiaan melalui pemberdayaan dan jaringan kerjasama serta pemanfaatan potensi lokal. Sehingga diharapkan menghasilkan intelektual muda yang siap menghadapi persaingan akademik dan dunia kerja kedepannya.

Kompetensi yang dihasilkan akan fokus pada tiga aspek. Pertama, aspek keterampilan. Berupa kemampuan berbicara di depan umum (forum), mendengar efektif, dan membaca cepat. Kedua, aspek peningkatan intelektual. Berupa penguasaan materi muatan keilmuan sesuai kecenderungan atau bidang yang digeluti. Ketiga, menghasilkan karya tulis ilmiah, berupa opini, artikel, dan jurnal yang dapat dibaca khalayak ramai.

Beberapa program dan kegiatan yang menjadi fokus, yakni Pertama, Program Manajemen Organisasi, dengan kegiatan: Penyusunan Profil JSC; Rapat kerja dan evaluasi; Pelatihan kepemimpinan dan organisasi, dan bedah film. Kedua, Program Pendidikan dan Pelatihan, dengan kegiatan: Pelatihan jurnalistik; Pelatihan penulisan karya ilmiah; dan Pelatihan motivasi.

Ketiga, Program Publikasi dan Kerjasama, dengan fokus kegiatan: Diskusi publik; Audensi instansi/lembaga; Dialog tematik potcasd; dan Penyuluhan hukum. Keempat, Pendanaan, dengan kegiatan: Iuran anggota, dan Donatur.

Dinamika Baru, Peningkatan Kapasitas Mahasiswa

772 Views

Palu-Jati Centre. Meningkatkan kapasitas dan daya kritis insan intelektual muda (mahasiswa), menjadi tujuan dari lahirnya komunitas Jati Study Club (JSC). Sebuah komunitas belajar yang menghimpun insan untuk memiliki keterampilan komunikasi presentasi, penguasaan materi tematik, hingga mampu menuangkan dalam tulisan ilmiah. Demikian disampaikan Inisiator JSC Ruslan Husen di Palu pada Kamis (12/5/2022).

“Ilmu yang diperoleh mahasiswa di bangku kuliah, perlu dipadukan dengan pengetahuan praktik lapangan, hingga penguasaan materi lebih holistik dan kapasitas intelektualnya meningkat,” terang Ruslan.

Dosen Universitas Islam Negeri (UIN) Datokarama Palu ini juga menyampaikan, bahwa ilmu pengetahuan yang diperoleh mahasiswa dalam bangku kuliah bersifat idealitas (seharusnya), dan perlu dibandingkan dan melihat realitas penerapannya. Pada posisi ini, akan melahirkan daya kritis, dan argumentasi logis ilmiah hingga menemukan penyebab dan solusinya.

Mencapai tujuan dimaksud, pengurus JSC dapat menginisiasi program dan kegiatan inovatif. Misalnya melaksanakan kegiatan yang diarahkan meningkatkan kemampuan manajemen organisasi dan kepemimpinan, melaksanakan diskusi dan pelatihan tematik, serta menjalin kerjasama dengan instansi/lembaga guna pencapaian tujuan komunitas.

Sebelumnya, bertempat di kampus UIN Datokarama Palu telah dilakukan deklarasi dan pembentukan panitia Musyawarah JSC. Disepakati sebagai ketua panitia pelaksana Musyawarah, Ilyas Zulfan.

Aktivis mahasiswa UIN ini menyampaikan, Musyawarah JSC akan dilaksanakan Rabu (18/5/2020) mendatang di kampus UIN Datokarama Palu.

“Selain memilih calon ketua Jati Study Club, juga diagendakan perumusan program dan kegiatan serta kebijakan strategis komunitas,” terang Ilyas.

Lebih lanjut menurut Ilyas, mahasiswa yang ingin bergabung dalam JSC dipersilahkan untuk hadir dan mengikuti agenda musyawarah. Tentu akan banyak pengetahuan baru yang akan diperoleh, selain jaringan.

JSC atas dukungan semua pihak akan menjadi harapan dan dinamika baru dalam memperkaya khasanah pemikiran dan peningkatan kapasitas mahasiswa.

“Mari belajar bersama dan saling dukung dalam kebaikan,”tutup Ilyas.

Kewenangan Pembentukan Perda Retribusi Penjualan Hasil Produksi Usaha Daerah, Berikut Penjelasannya

530 Views

Jati Centre-Pasangkayu. Pertumbuhan ekonomi akan semakin besar apabila pemerintah daerah mampu meningkatkan basis dari pendapatan asli daerahnya. Satu komponen pendapatan asli daerah (PAD) yang dapat didorong peningkatannya adalah dari Retribusi Jasa Usaha, dalam hal ini Retribusi Penjualan Hasil Produksi Usaha Daerah.

Hal itu disampaikan Akademisi Universitas Islam Negeri (UIN) Datokarama Palu Besse Tenriabeng Muryid pada Konsultasi Publik Rancangan Peraturan Daerah, di Pasangkayu pada Selasa (22/03/2022).

“Inisiasi ini memperoleh dasar kewenangan sesuai ketentuan Pasal 88 ayat (3) huruf i dan Pasal 94 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah,” sebut Besse.

Menurut Peneliti Jati Centre ini, ketentuan yuridis tersebut menyebutkan di antara jenis penyediaan atau pelayanan barang dan/atau jasa yang merupakan objek retribusi jasa usaha meliputi penjualan hasil produksi usaha pemerintah daerah, yang lebih lanjut ditetapkan dengan Peraturan Daerah.

“Retribusi penjualan hasil produksi usaha daerah adalah pungutan daerah sebagai pembayaran atas hasil produksi usaha pemerintah daerah yang dilakukan oleh perangkat daerah untuk kepentingan orang pribadi atau badan,” pungkasnya.

Untuk diketahui, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah sebagaimana diubah terkahir kali dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja, memerintahkan adanya otonomi daerah dan memberikan kewenangan, disertai hak dan kewajiban kepada para penyelenggara pemerintahan daerah. Penerapan otonomi daerah dititikberatkan pada penyerahan sejumlah kewewenangan (urusan) pemerintahan dan pembiayaan yang dikenal dengan Pendapatan Asli Daerah (PAD).

Komponen utamanya berupa penerimaan dari komponen pajak daerah dan retribusi daerah. Semakin besar pendapatan yang dimiliki oleh daerah, maka kemampuan daerah untuk melaksanakan proyek pembangunan (misalnya infrastruktur jalan, dan rumah sakit) tentu semakin besar hingga memacu peningkatan pembangunan daerah.

Sumber pendapatan daerah yang signifikan menopang pembiayaan penyelenggaraan pemerintah daerah adalah pajak daerah dan retribusi daerah. Namun demikian, pemungutan pajak dan retribusi dearah kepada masyarakat suatu daerah dituntut untuk memperhatikan potensi dan kemampuan masyarakat. Sehingga pemungutan tidak membebani dan kontra produktif terhadap upaya mempercepat pencapaian kesejahteraan dan kemakmuran. (Rsl)

HMI MPO Palu Akan Tempati Sekretariat Permanen

568 Views

Jati Centre-Palu. Setelah proses panjang pengadaan sekretariat permanen, akhirnya dalam waktu tidak terlalu lama, Pengurus Himpunan Mahasiswa Islam Majelis Penyelamat Organisasi (HMI MPO) Cabang Palu akan menempati sekretariat permanen beralamat di Jl. Basuki Rahmat Palu.

Sekretariat permanen diperoleh dari hasil pembelian tanah dan bangunan dengan harga Rp.300 juta.

Telah terkumpul dana awal pembelian tanah dan bangunan, sejumlah Rp.255 juta, hasil lelang amal dari Temu Alumni dan Kader HMI-MPO Sulawesi Tengah di Siuri Tentena Poso, pada Sabtu (5/2/2022).

Sisa kebutuhan dana hingga mencapai Rp.300 juta, sejumlah Rp.45 juta, akan diperoleh lewat penggalangan partisipasi semua pihak terutama Alumni dan kader HMI. Hingga serah terima jual beli tanah dan bangunan dapat terlaksana dalam waktu paling lama Agustus 2022 mendatang.

Untuk diketahui, Panitia Pengadaan Sekretariat Permanen hasil kesepakatan forum telah ditunjuk Ketua Itho Murtadha, Sekretaris Ruslan Husen, dan Bendahara Erie Harbing.

Demi kepastian hukumnya, Ketua HMI Cabang Palu akan menuangkan dalam Surat Keputusan, sekaligus menyampaikan terimakasih atas kerja dan dedikasi Panitia Pengadaan sekretariat sebelumnya, yang dijabat Koordinator Syamsudin dan Bendahara Indra Kusuma. (Rsl).

KAI Sulteng Tidak Lindungi Advokat Langgar Kode Etik

647 Views

Jati Centre-Palu. Kongres Advokat Indonesia (KAI) Provinsi Sulawesi Tengah (Sulteng) tidak akan lindungi Advokat yang melanggar ketentuan dalam Undang-Undang Advokat dan Kode Etik Advokat Indonesia.

Pernyataan itu disampaikan Ketua Dewan Pimpinan Daerah KAI Provinsi Sulawesi Tengah Riswanto Lasdin, usai Rapat Pengurus KAI Sulteng pada Kamis (27/1/2022) di Palu.

“DPD KAI tidak melindungi Advokat yang melanggar kode etik dan merendahkan martabat dan kehormatan profesi Advokat,” tegasnya.

Menurut Riswanto, siapapun yang merasa dirugikan oleh Advokat KAI dalam menjalankan profesinya, diharap memberikan pengaduan tertulis ke KAI Sulteng untuk ditindaklanjuti sesuai ketentuan.

Pengaduan dapat diajukan oleh pihak yang berkepentingan dan merasa dirugikan yakni Klien; Teman sejawat advokat; Pejabat pemerintah; Anggota masyarakat; atau Pengurus Advokat di mana teradu menjadi anggota.

Atas pengaduan, ditindaklanjuti dengan fasilitasi mediasi pihak KAI dengan menghadirkan pihak pengadu dan teradu. Jika ternyata fasilitasi mediasi tidak menghasilkan penyelesaian, maka kasus dugaan pelanggaran kode etik advokat akan direkomendasikan penyelesaian ke Dewan Kehormatan KAI.

Dewan Kehormatan KAI yang memeriksa dan mengadili dugaan pelanggaran kode etik Advokat beranggotakan 3 orang Advokat, namun jika ada konflik kepentingan dengan teradu, maka anggota dapat ditambah 2 orang lagi dari unsur Akademisi.

“Semua pengaduan akan diproses DPD KAI secara transparan dan profesional dengan mengacu pada ketentuan Anggaran Dasar, Anggaran Rumah Tangga KAI, dan kode etik advokat Indonesia,” tegas Riswanto.

Lebih lanjut menurut Riswanto yang juga menjabat Direktur Lembaga Bantuan Hukum DPP KAI, selama ini para Advokat KAI telah diberikan pembinaan agar senantiasa menjaga martabat dan kehormatan profesi Advokat.

“Selama ini jajaran DPD KAI terus melakukan pembinaan, motivasi dan saran dalam menjaga marwah dan martabat Advokat, terutama disampaikan dalam forum rapat, dan pelantikan pengurus maupun pelantikan Advokat.” pungkasnya.

Rapat DPD KAI Sulteng, Kamis (27/1/2022)
Rapat Pengurus DPD KAI Provinsi Sulteng, di Palu pada Kamis (27/1/2022)

Untuk diketahui, merujuk Undang-Undang Advokat, seorang advokat yang berbuat bertentangan dengan kewajiban, kehormatan, atau harkat dan martabat profesinya, melakukan pelanggaran terhadap peraturan perundang-undangan, dapat dikenakan sanksi berupa teguran lisan; teguran tertulis; pemberhentian sementara dari profesinya selama 3 sampai 12 bulan; dan pemberhentian tetap dari profesinya.

Untuk pemberian sanksi pemberhentian sementara untuk waktu tertentu, harus diikuti larangan menjalankan profesi advokat di luar maupun di muka pengadilan.

Terhadap mereka yang dijatuhi sanksi pemberhentian sementara untuk waktu tertentu dan/atau pemecatan dari keanggotaan organisasi profesi disampaikan kepada Mahkamah Agung untuk diketahui dan dicatat dalam daftar advokat. (Rsl)

Digitalisasi Pembangunan Desa

513 Views

Jati Centre-Palu. Digitalisasi pembangunan desa menjadi di antara program prioritas upaya memajukan desa. Apalagi di masa pandemi Covid-19, digitalisasi dapat membantu memasarkan berbagai potensi lokal desa dan produk yang dihasilkan masyarakat desa dengan lebih praktis dan jangkauan luas.

Hal itu disampaikan Ketua Jurusan Ilmu Ekonomi dan Studi Pembangunan (IESP) Fakultas Ekonomi Universitas Tadulako, Yunus Sading, saat memberikan sambutan dalam Seminar Nasional Digitalisasi Pembangunan Desa untuk Akselerasi Pertumbuhan Ekonomi Berkelanjutan, pada Selasa (7/12/2021) di Palu.

“Digitalisasi pembangunan desa dapat menjadi jawaban atas permasalahan dan beban desa selama ini, dalam mempublikasikan potensi desa dan memasarkan hasil produk masyarakat desa,” ujarnya.

Lebih lanjut Tim Asistensi Pemerintah Sulawesi Tengah ini menyampaikan, kepedulian membangun dan menata desa, dapat dilakukan dengan kolaborasi semua pihak terutama dalam pelaksanaan program dan kegiatan Kementerian Desa.

“Digitalisasi pembangunan menjadi keniscayaan pada era digital saat ini, termasuk bagi masyarakat desa. Digitalisasi bisa digunakan oleh Badan Usaha Milik Desa (BumDes), dengan memasarkan produk desa dan potensi desa secara luas”, sebutnya.

Menurutnya, digitalisasi pembangunan desa ini memiliki nilai positif bagi masyarakat desa. Pertama, jangkauan jaringan masyarakat desa lebih luas dan variatif sehingga lebih banyak pilihan.

Kedua, mendekatkan pihak terkait terutama pembeli dan penjual yang menaruh minat terhadap potensi desa. Ketiga, memacu kreatifitas dan inovasi masyarakat desa.

Seminar Nasional menghadirkan Narasumber utama, Kepala Badan Pengembangan dan Informasi Desa, Kementerian Desa Republik Indonesia, Dr. Suprapedi, M.Eng.

Menurut Suprapedi, kebijakan Kemendes-PDTT telah berhasil menekan jumlah penduduk miskin dari 17,1 juta orang maret 2017 turun menjadi 14, 93 juta orang pada September 2019. Namun adanya pandemi Covid-19 membuatnya naik kembali menjadi 15,51 juta orang pada September 2020.

“Mengatasi penduduk miskin, butuh dukungan kolaborasi berbagai pihak, termasuk digitalisasi pembangunan desa.” sebut Alumni Pendidikan Doktoral di Jepang ini.

Lebih lanjut menurut Suprapedi, banyak alumni perguruan tinggi saat ini kembali ke desa, karena melihat potensi dan peluang sumber daya di desa, untuk dikembangkan dan dipasarkan hingga menunjang pertumbuhan ekonomi desa.

Dinamika Penerapan Sistem Pemerintahan Presidensial dan Parlementer di Indonesia

2.043 Views

Oleh :  Muhammad Taufik,S.Sy., M.Sos
(Dosen Universitas Islam Negeri (UIN) Datokarama Palu)

Setiap negara dalam menjalankan pemerintahannya, memiliki sistem yang berbeda-beda meskipun dengan nama yang sama seperti sistem presidensial atau sistem parlementer. Baik sistem presidensial maupun sistem parlementer, sesungguhnya berakar dari nilai-nilai yang sama yaitu ”demokrasi”.[1] Penerapan demokrasi dalam setiap negara mengambil bentuk yang berbeda-beda antara negara yang satu maupun negara lain, terkadang dalam sebuah negara dalam menjalankan demokrasi mengambil bentuk sistem parlementer, demikian pula terkadang suatu negara menjalankan sistem presidensial demi untuk mewujudkan demokrasi.

Terkadang muncul anggapan bahwa sistem pemerintahan presidensial lebih unggul dan cenderung lebih stabil daripada parlementer. Anggapan ini merupakan anggapan yang tidak sepenuhnya benar, persoalan sebenarnya adalah tergantung bagaimana demokasi dijalankankan dalam sebuah negara. Tarik- menarik antara dua teori sistem pemerintahan tersebut mempunyai implikasi apakah suatu negara lebih dominan menyelenggarakan sistem presidensial atau parlementer.

Setiap negara dalam menjalankan demokrasi memiliki cara yang berbeda-beda. Dua model alternatif utama yaitu sistem pemerintahan presidensial dan pemerintahan parlementer menjadi hal yang selalu diperdebatkan. Kelebihan dan kekurangan dari kedua bentuk pelaksanaan demokrasi (presidensial dan parlementer) telah lama diperdebatkan. Bahkan lebih lama dari pelaksanaan demokrasi modern itu sendiri, yang belum dijalankan sepenuhnya di seluruh penjuru dunia hingga awal abad ke-20. Sehingga tidaklah mengherankan perhatian yang besar terhadap sistem pemerintahan presidensial dan pemerintahan parlementer muncul bersamaan dengan gelombang demokratisasi, yang tentunya tidak pernah semarak atau seluas seperti sekarang ini. Perdebatan yang muncul terkait persoalan ini, umumnya dipelopori dua negara yaitu Inggris raya dan Amerika serikat, yang menjadi model utama pemerintahan parlementer dan presidensial yang kemudian menyebar ke negara-negara lainnya termasuk Indonesia.[1]

Sementara untuk Indonesia sendiri, menjadi suatu perdebatan sampai sekarang dikalangan para pakar hukum tata negara dan politik bahwa sistem pemerintahan Indonesia menganut sistem pemerintahan yang berbentuk apa. Hanta yuda, mengemukakan bahwa ketika UUD 1945 belum diamandemen, corak pemerintahan Indonesia sering dikatakan sebagai sistem semipresidensial. Namun dalam prakteknya sistem pemerintahan Indonesia justru lebih mendekati corak parlementer seperti halnya dalam masa konstitusi Republik Indonesia Serikat (RIS) dan UUDS tahun 1950. Dan setelah amandemen UUD 1945 sistem pemerintahan Indonesia menjadi sistem presidnesial murni. Sedangkan Bagir manan menyebutkan bahwa sistem pemerintahan Indonesia menganut sistem pemerintahan presidensial karena berpendapat pertanggungjawaban presiden kepada MPR bukan merupakan pertanggungjawaban kepada badan legeslatif. dalam hal ini menambahkan, petanggungjawaban Presiden kepada MPR tidak boleh disamakan dengan pertanggungjawaban kabinet  kepada parlemen (dalam sistem parlementer).[2]

Dari permasalahan ini, sehingga menjadi hal sangat penting untuk menelusuri pelaksanaan sistem pemerintahan di Indonesia hingga sekarang ini, apakah menganut sistem presidensial murni atau campuran sistem presidensial dan parlementer.

PEMBAHASAN

1.  Pengertian Sistem Pemerintahan Presidensial dan Parlementer

Sebelum menjelaskan dan memaparkan secara lebih luas terkait persoalan sistem pemerintahan presidensial dan parlementer dari sisi perbedaan, kelemahan dan kelebihan, terlebih dahulu akan dijelaskan secara singkat mengenai pengertian dari sistem pemerintahan presidensial dan sistem parlementer.

Sistem pemerintahan presidensial atau disebut juga dengan sistem kongresional adalah sistem pemerintahan dimana badan eksekutif dan legislatif memiliki kedudukan yang independen. Kedua badan tersebut tidak berhubungan secara langsung seperti dalam sistem pemerintahan parlementer. Mereka dipilih oleh rakyat secara terpisah. Sistem presidensial tidak mengenal adanya lembaga pemegang supremasi tertinggi. Kedaulatan negara dipisahkan (separation of power) menjadi tiga cabang kekuasaan, yakni legislatif, eksekutif, dan yudikatif, yang secara ideal diformulasikan sebagai ”Trias Politica” oleh Montesquieu. Presiden dan wakil presiden dipilih langsung oleh rakyat untuk masa kerja yang lamanya ditentukan konstitusi. Konsentrasi kekuasaan ada pada presiden sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan. Dalam sistem presidensial para menteri adalah pembantu presiden yang diangkat dan bertanggung jawab kepada presiden.[3]

Sistem pemerintahan presidensial merupakan bagian dari sistem pemerintahan negara republik di mana kekuasan eksekutif atau Presiden dipilih melalui pemilu dan terpisah dengan kekuasan legislatif atau anggota DPR. Menurut Rod Hague sebagaimana yang dikutip Anita Rahmawati, pemerintahan presidensial terdiri dari 2 unsur yaitu:

  1. Presiden yang dipilih rakyat memimpin pemerintahan dan mengangkat pejabat-pejabat pemerintahan yang terkait.
  2. Presiden dengan dewan perwakilan memiliki masa jabatan yang tetap, tidak bisa saling menjatuhkan.[4]

Sistem pemerintahan parlementer adalah sebuah sistem pemerintahan dimana parlemen memiliki peranan penting dalam pemerintahan. Dalam hal ini parlemen memiliki wewenang dalam mengangkat perdana menteri dan parlemen pun dapat menjatuhkan pemerintahan, yaitu dengan cara mengeluarkan semacam mosi tidak percaya. Berbeda dengan sistem pemerintahan presidensial, di mana sistem pemerintahan parlemen dapat memiliki seorang presiden dan seorang perdana menteri, yang berwenang terhadap jalannya pemerintahan. Dalam sistem pemerintahan presidensial, presiden berwenang terhadap jalannya pemerintahan, namun dalam sistem pemerintahan parlementer presiden hanya menjadi simbol kepala negara saja. Sistem parlementer dibedakan oleh cabang eksekutif pemerintah tergantung dari dukungan secara langsung atau tidak langsung cabang legislatif, atau parlemen, sering dikemukakan melalui sebuah veto keyakinan. Oleh karena itu, tidak ada pemisahan kekuasaan yang jelas antara cabang eksekutif dan cabang legislatif.[5]

Secara sederhana perbedaan anatara sistem pemerintahan presidensial dan parlementer adalah persoalan wewenang dan kekuasaan kepala negara. Dalam sistem pemerintahan presidensial kekuasaan kepala negara relatif kuat dan tidak dapat dijatuhkan oleh lembaga legislatif, kekuasaan kepala negara sekaligus kekuasaan pemerintahan terpusat kepada presiden. Sedangkan dalam sistem pemerintahan parlementer Presiden hanya berfungsi sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan dipegang oleh perdana menteri. Kekuasaan Presiden atau kepala negara dapat dijatuhkan oleh lembaga legislatif dengan memunculkan mosi tidak percaya yang dikemukakan melalui sebuah veto keyakinan.

2.  Perbedaan Sistem Pemerintahan Presidensial dan Parlementer

Sistem pemerintahan presidensial dan parlementer memiliki ciri-ciri khusus dan terdapat diantara keduanya. Secara umum dan lebih luas antara Sistem pemerintahan presidensial dan parlementer menurut Arend Lijphart terdapat perbedaan setidakya dalam tiga hal: pertama, dalam sistem pemerintahan parlementer, kepala pemerintahan bisa dijabat oleh perdana menteri sedangkan kepala negara dijabat oleh presiden. Keduanya bergantung pada mosi atau kepercayaan badan legislatif dan dapat diturunkan dan dilengserkan dari jabatan melalui mosi tak percaya dari legislatif. Sedangkan dalam sistem pemerintahan presidensial, kepala pemerintahan juga merangkap sebagai kepala negara yang dipegang oleh presiden, dan dipilih untuk masa jabatan tertentu sesuai dengan UUD dan dalam keadaan normal tidak dapat diturunkan oleh anggota legislatif.

Kedua, dalam sistem parlementer kepala pemerintahan dan kepala negara dipilih oleh badan legislatif. Sementara dalam sistem presidensial kepala pemerintahan atau kepala negara dalam hal ini adalah presiden dipilih oleh rakyat, baik secara langsung atau melalui badan pemilihan.

Ketiga, dalam sistem pemerintahan parlementer memiliki pemerintah atau eksekutif kolektif atau kolegial, posisi perdana menteri dalam kabinet bisa berubah-ubah, yaitu lebih tinggi hingga sama dengan menteri-menteri yang lain, tetapi selalu ada tingkat kolegalitas yang relatif tinggi dalam pembuatan keputusan. Sedangkan dalam sistem pemerintahan presidensial memiliki eksekutif non kolegial atau satu oang yang berpusat pada presiden, dimana para anggota kabinet presidensial hanya merupakan penasihat dan bawahan presiden.[6]

Saldi Isra mengatakan bahwa sistem parlementer berbeda dengan sistem presidensial, karena dalam sistem presidensial presiden tidak hanya sebagai kepala eksekutif tetapi sekaligus sebagai kepala negara. Artinya presiden tidak hanya sebagai kepala pemerintahan tetapi juga sebagai kepala negara. Dengan rentang kekuasaan presiden yang begitu luas, maka perbedaan lain yang dari sistem pemerintahan presidensial dan parlementer adalah terletak pada objek utama yang diperebutkan. Dalam sistem parlementer objek utama yang yang diperebutkan adalah parlemen, sedangkan dalam sistem presindesial objek utama yang diperebutkan adalah presiden. Karena itu dalam sistem presidensial posisi presiden sebagai kepala ekesuktif dan lembaga legislatif cenderung berhadap-hadapan (vis a vis).[7]

Dari penjelasan ini, secara umum kita telah memiliki gambaran terkait perbedaan antara sistem presidensial dan parelementer. Namun, untuk lebih memperjelas perbedaan terkait dua sistem tersebut, penulis akan menjelasakan secara spesifik dari sistem presidensial dan parlementer baik dari ciri-cirinya, maupun terkait dengan kelemahan dan kelebihannya.

a.  Sistem Presidensial

Sistem pemerintahan presidensil ini bertitik tolak dari konsep pemisahan sebagaimana dianjurkan oleh teori Trias Politika. Sistem ini menghendaki pemisahan secara tegas, khususnya antara badan pemegang kekuasaan eksekutif dan badan legislatif.[8] Contoh negara yang menggunakan sistem pemerintahan presidensial antara lain: Amerika Serikat, Myanmar, Filipina, Indonesia.

a) Ciri-ciri dari sistem pemerintahan presidensial

  1. Kedudukan Presiden di samping sebagai Kepala Negara juga sebagai Kepala Eksekutif (pemerintahan).
  2. Presiden dan Parlemen masing-masing dipilih langsung oleh Rakyat melalui Pemilihan Umum. Jadi tidaklah mengherankan jikalau ada kemungkinan terjadi komposisi Presiden berasal dari partai politik yang berbeda dengan komposisi meyoritas anggota partai politik yang menduduki kursi di parlemen.
  3. Karena Presiden dan Parlemen dipilih langsung oleh Rakyat melalui pemilihan umu, maka kedudukan antara kedua lembaga ini tidak bisa saling mempengaruhi (menjatuhkan seperti halnya di sistem parlementer.
  4. Kendati Presiden tidak dapat diberhentikan oleh parlemen di tengah-tengah masa jabatannya berlangsung, namun jika Presiden malakukan perbuatan yang melanggar hukum, maka presiden dapat dijatuhi Impeachment (Pengadilan DPR).
  5. Dalam rangka menyusun Kabinet (Menteri), Presiden wajib minta persetujuan Parlemen. Di sini Presiden hanya menyampaikan nominasi anggota kabinet, sedangkan parlemen memberi persetujuan personil yang telah diajukan oleh Presiden.
  6. Menteri-menteri yang diangkat oleh Presiden tersebut tunduk dan bertanggung jawab kepada Presiden.[9]

b) Kelebihan Sistem Pemerintahan Presidensial

  1. Badan eksekutif lebih stabil kedudukannya karena tidak tergantung pada parlemen.
  2. Masa jabatan badan eksekutif lebih jelas dengan jangka waktu tertentu. Misalnya, masa jabatan Presiden Amerika Serikat adalah empat tahun, Presiden Indonesia adalah lima tahun.
  3. Penyusun program kerja kabinet mudah disesuaikan dengan jangka waktu masa jabatannya.
  4. Legislatif bukan tempat kaderisasi untuk jabatan-jabatan eksekutif karena dapat diisi oleh orang luar termasuk anggota parlemen sendiri.[10]

c)Kekurangan Sistem Pemerintahan Presidensial

  1. Kekuasaan eksekutif diluar pengawasan langsung legislatif sehingga dapat menciptakan kekuasaan mutlak.
  2. Sistem pertanggungjawaban kurang jelas.
  3. Pembuatan keputusan atau kebijakan publik umumnya hasil tawar-menawar antara eksekutif dan legislatif sehingga dapat terjadi keputusan tidak tegas dan memakan waktu yang lama.[11]

b.  Sistem Pemerintahan Parlementer

Pada prinsipnya sistem pemerintahan parlementer menitik beratkan pada hubungan antara organ negara pemegang kekuasaan eksekutif dan legislatif. Sistem ini merupakan sisa-sisa peninggalan sistem Monarkhi. Dikatakan demikian karena kepala negara apapun sebutannya, mempunyai kedudukan yang tidak dapat diganggu gugat. Sedangkakan penyelenggaraan pemerintahan sehari-hari diserahkan kepada Perdana Menteri.[12] Contoh negara yang menggunakan sistem pemerintahan parlementer: Inggris, India, Malaysia, Jepang, dan Australia.

a)Ciri-ciri dari sistem pemerintahan parlementer

  1. Terdapat hubungan yang erat antara eksekutif dan legislatif (parlemen), bahkan antara keduanya saling ketergantungansatu sama lain.
  2. Eksekutif yang dipimpin oleh Perdana Menteri dibnetuk oleh parlemen dari partai politik atau organisasi peserta pemilu yang menduduki kursi mayoritas diparlemen.
  3. Kepala Negara (apapun sebutannya) hanya berfungsi ataupun berkedudukan sebagai Kepala Negara. Tidak sebagai kepala eksekutif atau pemerintahan.
  4. Dikenal adanya mekanisme pertanggungjawaban Menteri kepada Parlemen yang mengakibatkan parlemen dapat membubarkan ataupun menjatuhkan mosi tidak percaya kepada Kabinet, jika pertanggungjawaban atas pelaksanaan pemerintahan yang dilakukan oleh Menteri baik dibidangnya masing-masing ataupun atas dasar kolektifitas tidak dapat diterima oleh parlemen.[13]

b)Kelebihan sistem pemerintahan parlementer

  1. Pembuat kebijakan dapat ditangani secara cepat karena mudah terjadi penyesuaian pendapat antara eksekutif dan legislatif. Hal ini karena kekuasaan eksekutif dan legislatif berada pada satu partai atau koalisi partai.
  2. Garis tanggung jawab dalam pembuatan dan pelaksanaan kebijakan public jelas.
  3. Adanya pengawasan yang kuat dari parlemen terhadap kabinet sehingga kabinet menjadi barhati-hati dalam menjalankan pemerintahan.[14]

c)Kekurangan sistem pemerintahan parlementer

  1. Kedudukan badan eksekutif/kabinet sangat tergantung pada mayoritas dukungan parlemen sehingga sewaktu-waktu kabinet dapat dijatuhkan oleh parlemen.
  2. Kelangsungan kedudukan badan eksekutif atau kabinet tidak bias ditentukan berakhir sesuai dengan masa jabatannya karena sewaktu-waktu kabinet dapat bubar.
  3. kabinet adalah anggota parlemen dan berasal dari partai mayoritas. Karena pengaruh mereka yang besar diparlemen dan partai, anggota kabinet dapat mengusai parlemen.
  4. Parlemen menjadi tempat kaderisasi bagi jabatan-jabatan eksekutif. Pengalaman mereka menjadi anggota parlemen dimanfaatkan dan manjadi bekal penting untuk menjadi menteri atau jabatan eksekutif lainnya.[15]

 

3.  Dinamika Penerapan Sistem Pemerintahan Presidensial dan Parlementer Di Indonesia

Sejarah ketatanegaraan Indonesia, negara Indonesia pernah menggunakan konstitusi tertulis selain UUD 1945, dan masing-masing mengatur sistem pemerintahan Indonesia berbeda-beda. Bahkan menurut UUD 1945 sebelum amandemen maupun setelah amandemen pun mengalami perbedaan. Sehubungan dengan hal tersebut, maka pada bagian ini akan disampaikan sistem pemerintahan Indonesian menurut konstitusi yang pernah dan sedang berlaku.

  1. Sistem Pemerintahan Indonesia Menurut Konstitusi RIS.

Secara singkat Sistem Pemerintahan Indonesia menurut Konstitusi RIS adalah Sistem Pemerintahan Indonesia Parlementer yang tidak murni. Karena pada pasal 118 Konstitusi RIS  antara lain menegaskan:

  1. Presiden tidak dapat diganggu gugat.
  2. Menteri-menteri bertanggung jawab atas seluruh kebijaksanaan pemerintahan baik bersama-sama untuk seluruhnya, maupun masing-masing untuk bagiannya sendiri-sendiri.

Ketentuan pasal ini menunjukkan bahwa RIS mempergunakan sistem pertanggungjawaban Menteri. Kendatipun demikian dalam pasal 122 Konstitusi RIS juga dinyatakan bahwa DPR tidak dapat memaksa kabinet atau masing-masing Menteri untuk meletakkan jabatannya.[16]

  1. Sistem Pemerintahan Indonesia Menurut UUDS 1950

Sistem pemerintahan Indonesia menurut UUDS 1950 masih malanjutkan Konstitusi RIS. Hal ini disebabkan UUDS 1950 pada hakikatnya merupakan hasil amandemen dari konstitusi RIS dengan menghilangkan pasal-pasal yang bersifat federalis. Di dalam pasal 83 UUDS 1950 dinyatakan:

  1. Presiden dan wakil presiden tidak dapat diganggu gugat.
  2. Menteri-menteri bertanggung jawab atas seluruh kebijaksanaan pemerintahan baik bersama-sama untuk seluruhnya, maupun masing-masing untuk bagiannya

sendiri-sendiri.

Berkaitan dengan pasal di atas, pasal 84 UUDS 1950 menyatakan bahwa Presiden berhak membubarkan DPR. Keputusan Presiden yang menyataka pembubaran itu memerintah pula untuk mengadakan pemilihan Presiden baru dalam 30 hari. Konstruksi pasal semacam ini mengingatkan pada sistem parlementer yang tidak murni.[17]

  1. Sistem Pemerintahan Indonesia Menurut UUD 1945 Sebelum Amandemen

Pokok-pokok sistem pemerintahan negara Indonesia berdasarkan UUD 1945 sebelum diamandemen tertuang dalam Penjelasan UUD 1945 tentang tujuh kunci pokok sistem pemerintahan negara tersebut sebagai berikut:

  1. Indonesia adalah negara yang berdasarkan atas hukum (rechtsstaat).
  2. Sistem Konstitusional.
  3. Kekuasaan negara yang tertinggi di tangan Majelis Permusyawaratan Rakyat.
  4. Presiden adalah penyelenggara pemerintah negara yang tertinggi dibawah Majelis Permusyawaratan Rakyat.
  5. Presiden tidak bertanggung jawab kepada Dewan Perwakilan Rakyat.
  6. Menteri negara ialah pembantu presiden, menteri negara tidak bertanggungjawab kepada Dewan Perwakilan Rakyat.
  7. Kekuasaan kepala negara tidak terbatas.[18]

Berdasarkan tujuh kunci pokok sistem pemerintahan, sistem pemerintahan Indonesia menurut UUD 1945 menganut sistem pemerintahan presidensial. Sistem pemerintahan ini dijalankan semasa pemerintahan Orde Baru di bawah kepemimpinan Presiden Suharto. Ciri dari sistem pemerintahan masa itu adalah adanya kekuasaan yang amat besar pada lembaga kepresidenan.[19]

Mekipun adanya kelemahan, kekuasaan yang besar pada presiden juga ada dampak positifnya yaitu presiden dapat mengendalikan seluruh penyelenggaraan pemerintahan sehingga mampu menciptakan pemerintahan yang kompak dan solid. Sistem pemerintahan lebih stabil, tidak mudah jatuh atau berganti. Konflik dan pertentangan antarpejabat negara dapat dihindari. Namun, dalam praktik perjalanan sistem pemerintahan di Indonesia ternyata kekuasaan yang besar dalam diri presiden lebih banyak merugikan bangsa dan negara daripada keuntungan yang didapatkanya.[20]

Memasuki masa Reformasi ini, bangsa Indonesia bertekad untuk menciptakan sistem pemerintahan yang demokratis. Untuk itu, perlu disusun pemerintahan yang konstitusional atau pemerintahan yang berdasarkan pada konstitusi. Pemerintah konstitusional bercirikan bahwa konstitusi negara itu berisi:

  1. Adanya pembatasan kekuasaan pemerintahan atau eksekutif
  2. Jaminan atas hak asasi manusia dan hak-hak warga negara.[21]

Berdasarkan hal itu, Reformasi yang harus dilakukan adalah melakukan perubahan atau amandemen atas UUD 1945. dengan mengamandemen UUD 1945 menjadi konstitusi yang bersifat konstitusional, diharapkan dapat terbentuk sistem pemerintahan yang lebih baik dari yang sebelumnya. Amandemen atas UUD 1945 telah dilakukan oleh MPR sebanyak empat kali, yaitu pada tahun 1999, 2000, 2001, dan 2002. berdasarkan UUD 1945 yang telah diamandemen itulah menjadi pedoman bagi sistem pemerintaha Indonesia sekarang ini.

  1. Sistem Pemerintahan Indonesia Menurut UUD 1945 Sesudah Amandemen

Sekarang ini sistem pemerintahan di Indonesia masih dalam masa transisi. Sebelum diberlakukannya sistem pemerintahan baru berdasarkan UUD 1945 hasil amandemen keempat tahun 2002, sistem pemerintahan Indonesia masih mendasarkan pada UUD 1945 dengan beberapa perubahan seiring dengan adanya transisi menuju sistem pemerintahan yang baru. Sistem pemerintahan baru diharapkan dapat berjalan dengan baik setelah dilakukannya Pemilu 2004.

Pokok-pokok sistem pemerintahan Indonesia setelah amandemen UUD 1945 adalah sebagai berikut:

  1. Bentuk negara kesatuan dengan prinsip otonomi daerah yang luas. Wilayah negara terbagi dalam beberapa provinsi.
  1. Bentuk pemerintahan adalah republik, sedangkan sistem pemerintahan presidensial.
  2. Presiden adalah kepala negara dan sekaligus kepala pemerintahan. Presiden dan wakil presiden dipilih dan diangkat oleh MPR untuk masa jabatan lima tahun. Untuk masa jabatan 2004-2009, presiden dan wakil presiden akan dipilih secara langsung oleh rakyat dalam satu paket.
  3. Kabinet atau menteri diangkat oleh presiden dan bertanggung jawab kepada presiden.
  4. Parlemen terdiri atas dua bagian (bikameral), Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Dewan Perwakilan Daerah (DPD). Para anggota dewan merupakan anggota MPR. DPR memiliki kekuasaan legislatif dan kekuasaan mengawasi jalannya pemerintahan.
  5. Kekuasaan yudikatif dijalankan oleh Makamah Agung dan badan peradilan dibawahnya.[22]

Sistem pemerintahan ini juga mengambil unsur-unsur dari sistem pemerintahan parlementer dan melakukan pembaharuan untuk menghilangkan kelemahan-kelemahan yang ada dalam sistem presidensial. Beberapa variasi dari sistem pemerintahan presidensial di Indonesia adalah sebagai berikut.

  1. Presiden sewaktu-waktu dapat diberhentikan oleh MPR atas usul dari DPR. Jadi, DPR tetap memiliki kekuasaan mengawasi presiden meskipun secara tidak langsung.
  2. Presiden dalam mengangkat penjabat negara perlu pertimbangan atau persetujuan dari DPR.
  3. Presiden dalam mengeluarkan kebijakan tertentu perlu pertimbangan atau persetujuan dari DPR.
  4. Parlemen diberi kekuasaan yang lebih besar dalam hal membentuk undang-undang dan hak budget (anggaran).

Dengan demikian, ada perubahan-perubahan baru dalam sistem pemerintahan Indonesia. Hal itu diperuntukan dalam memperbaiki sistem presidensial yang lama. Perubahan baru tersebut, antara lain adanya pemilihan secara langsung, sistem bikameral atau adanya dua kekuatan dalam legislatif (DPR dan DPD), lembaga-lembaga negara yaitu eksekutif dan legislatif yang mempunyai fungsi sama dan saling mengendalikan dan mengawasi melalui mekanisme cheks and balance, dan pemberian kekuasaan yang lebih besar kepada parlemen untuk melakukan pengawasan dan fungsi anggaran.[23]

KESIMPULAN

Mengacu pada penjelasan dalam pembahasan tulisan ini, maka penulis menarik beberapa kesimpulan sebagai berikut:

  1. Secara umum perbedaan antara sistem pemerintahan Parlementer dan presidensial dalam tiga hal: pertama, dalam sistem pemerintahan parlementer, kepala pemerintahan bisa dijabat oleh perdana menteri sedangkan kepala negara dijabat oleh presiden. Keduanya bergantung pada mosi atau kepercayaan badan legislatif dan dapat diturunkan dan dilengserkan dari jabatan melalui mosi tak percaya dari legislatif. Sedangkan dalam sistem pemerintahan presidensial, kepala pemerintahan juga merangkap sebagai kepala negara yang dipegang oleh presiden, dan dipilih untuk masa jabatan tertentu sesuai dengan UUD dan dalam keadaan normal tidak dapat diturunkan oleh anggota legislatif. Kedua, dalam sistem parlementer kepala pemerintahan dan kepala negara dipilih oleh badan legislatif. Sementara dalam sistem presidensial kepala pemerintahan atau kepala negara dalam hal ini adalah presiden dipilih oleh rakyat, baik secara langsung atau melalui badan pemilihan. Ketiga, dalam sistem pemerintahan parlementer memiliki pemerintah atau eksekutif kolektif atau kolegial, posisi perdana menteri dalam kabinet bisa berubah-ubah, yaitu lebih tinggi hingga sama dengan menteri-menteri yang lain, tetapi selalu ada tingkat kolegalitas yang relatif tinggi dalam pembuatan keputusan. Sedangkan dalam sistem pemerintahan presidensial memiliki eksekutif non kolegial atau satu oang yang berpusat pada presiden, dimana para anggota kabinet presidensial hanya merupakan penasihat dan bawahan presiden.
  2. Dalam proses pelaksanaan sistem pemerintahan di Indonesia, baik dalam masa konstitusi RIS tahun 1949 dan UUDS tahun 1950 Indonesia menjalankan sistem parlementer tidak murni hal ini mengacu pada pasal 118 konstitusi RIS dan pasal 83 dan 84 UUDS. Sementara pelaksanaan pemerintahan di Indonesia sebelum amandemen UUD 1945 menggunakan sistem presidensial, dan sesudah amandemen UUD 1945 dari tahun 1999,2000, 2001 dan 2002 dapat dikatakan bahwa Indonesia menganut sistem campuran antara presidensial dan parlementer sebagai upaya untuk memperbaiki kelemahan-kelemahan dari sistem presidensial. Ini dapat dilihat dalam pokok-pokok pemerintahan Indonesia diantaranya: bahwa presiden dipilih oleh rakyat dalam pemilihan langsung, dan menteri-menteri diangkat oleh presiden dan bertanggung jawab terhadap presiden hal ini menegaskan bahwa Indonesia menganut sistem presidensial. Dalam hal lain disebutkan bahwa: Presiden sewaktu-waktu dapat diberhentikan oleh MPR atas usul dari DPR. Jadi, DPR tetap memiliki kekuasaan mengawasi presiden meskipun secara tidak langsung dan Presiden dalam mengangkat penjabat negara perlu pertimbangan atau persetujuan dari DPR, dua hal inipula merupakan penegasan bahwa Indonesia menggunakan sistem pemerintahan parlementer.

Catatan Kaki

[1]Arend Lijphart, “Sistem Pemerintahan Parlementer dan Presidensial” saduran Ibrahim dkk, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1995), hlm 3-4

[2]Resa Indrawan Samir, “Tinjauan Terhadap Sistem Presidensial Indonesia”,  dalam https://resaindrawansamir.wordpress.com/2012/01/13/tinjauan-terhadap-sistem-pemerintahan-presidensial-indonesia/, diakses tanggal 19 April 2020

[3]Anita Rahmawati, “Makalah Sistem Pemerintahan Presidensial…..,

[4]Ibid.,

[5]WikiPedia Ensiklopedi Bebas, “Sistem Parlementer”, dalam http://id.wikipedia.org/wiki/Sistem_presidensial, diakses tanggal 19 April 2020

[6]Arend Lijphart, “Sistem Pemerintahan Parlementer dan….., hlm. 5-6

[7]Saldi Isra, “Pergeseran Fungsi Legislasi: Menguatnya Model Legislasi Parlementer dalam Sistem Presidensial Indonesia”, (Jakarta: Rajawali Press, 2010), hlm. 38

[8]B. Hestu Cipto Handoyo, “Hukum Tata Negara Indonesia”, (Yogyakarta: Universitas Atma Jaya, 2009), hal. 134

[9]Ibid., hlm. 134-137

[10]Azan Sumarwan dan Dianah, “Sistem Pemerintahan”, dalam http://witantra.wordpress.com/2008/05/30/sistem-pemerintahan, diakses tanggal 19 April 2020.

[11]Ibid.,

[12]B. Hestu Cipto Handoyo, “Hukum Tata Negara…., hal. 132.

[13]Ibid., hlm. 133

[14]Azan Sumarwan dan Dianah, “Sistem Pemerintahan…,

[15]Ibid.,

[16]B. Hestu Cipto Handoyo, “Hukum Tata Negara…., hal. 153

[17]Ibid., hlm. 152

[18]Ema Sundari, Sistem Pemerintahan Indonesia Sebelum Dan Sesudah  Amandemen, dalam http://community.gunadarma.ac.id/blog/view/id_11893/title_sistem-pemerintahan-indonesia-sesudah-dan-sebelum/, diakses tanggal 19 April 2020

[19]Ibid.,

[20]Ibid.,

[21]Ibid.,

[22]Ibid.,

[23]Ibid.,


DAFTAR PUSTAKA

Cipto Handoyo, B. Hestu, “Hukum Tata Negara Indonesia”, Yogyakarta: Universitas Atma Jaya, 2009

Indrawan Samir, Resa, “Tinjauan Terhadap Sistem Presidensial Indonesia”,  dalam https://resaindrawansamir.wordpress.com/2012/01/13/tinjauan-terhadap-sistem-pemerintahan-presidensial-indonesia/, diakses tanggal 19 April 2020

Isra, Saldi, “Pergeseran Fungsi Legislasi: Menguatnya Model Legislasi Parlementer dalam Sistem Presidensial Indonesia”, Jakarta: Rajawali Press, 2010

Lijphart , Arend Lijphart, “Sistem Pemerintahan Parlementer dan Presidensial” Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1995

Rahmawati, Anita, “Sistem Pemerintahan Presidensial”, dalam http://anitaunty.blogspot.com/2013/07/makalah-sistem-pemerintahan-presidensial.html, diakses tanggal 19 April 2020

Sumarwan, Azan dan Dianah, “Sistem Pemerintahan”, dalam http://witantra.wordpress.com/2008/05/30/sistem-pemerintahan, diakses tanggal 19 April 2020.

Sundari, Ema, Sistem Pemerintahan Indonesia Sebelum dan Sesudah  Amandemen, dalam http://community.gunadarma.ac.id/blog/view/id_11893/title_sistem-pemerintahan-indonesia-sesudah-dan-sebelum/, diakses tanggal 19 April 2020

WikiPedia Ensiklopedi Bebas, “Sistem Parlementer”, dalam http://id.wikipedia.org/wiki/Sistem_presidensial, diakses tanggal 19 April 2020.