Kader Pengawasan Partisipatif Pemilihan

199 Views

Oleh : Ruslan Husen, SH, MH.
(Peneliti Jati Centre)


JATI CENTRE – Proses dan hasil pemilihan kepala daerah (pemilihan atau pilkada) berintegritas dan bermartabat merupakan tujuan ideal dari pembentukan UU Nomor 1 Tahun 2015 sebagaimana diubah terakhir kali dengan UU Nomor 6 Tahun 2020 (UU Pemilihan).

Yakni proses pelibatan semua pihak dalam penyelenggaraan pemilihan, termasuk aktif mencegah dan menindaklanjuti setiap pelanggaran secara jujur dan adil, hingga lahir pemimpin pilihan rakyat (pemilih) untuk realisasi janji-janji politik saat kampanye lalu.

Dikatakan sebagai pemilihan berintegritas dan bermartabat jika pelaksanaan pemilihan memenuhi standar prinsip transparansi proses, prinsip akuntabilitas, dan akses publik menguji kebenaran proses dan hasil, serta prinsip partisipasi masyarakat. Prinsip-prinsip ini menjadi satu-kesatuan sistem yang berkolaborasi dalam pencapaian tujuan dari pelaksanaan pemilihan.

Kedudukan dari prinsip partisipasi masyarakat dalam negara yang menggunakan demokrasi sebagai sistem politiknya, adalah mutlak. Dikatakan demokratis jika secara langsung maupun tidak langsung masyarakat terlibat dalam pengambilan kebijakan politik termasuk mengawal pelaksanaan kebijakan.

Dalam penyelenggaran pemilihan, bentuk partisipasi masyarakat dapat diidentifikasi lewat giat sebagai pemilih menggunakan hak memilihnya di tempat pemungutan suara, menyatakan sikap atau dukungan, mencegah terjadinya kecurangan, dan melaporkan kecurangan kepada instansi berwenang, dan menjadi pemantau pemilihan.

Bentuk-bentuk partisipasi masyarakat dimaksud sejatinya dipupuk, dibina dan diberdayakan hingga menjadi kekuatan sosial yang turut mendukung pencapaian tujuan pemilihan berintegritas dan bermartabat. Partisipasi masyarakat akan berkolaborasi dengan kegiatan penyelenggara pemilihan dan pemerintah, sekaligus menjadi kontrol sosial penyelenggaraan yang efektif hingga turut menjadi sebab legitimasi proses dan hasil pemilihan.


SELENGKAPNYA: Baca di file PDF berikut ini.

UU Pemilu tidak Melarang Politik Identitas, yang Dilarang Berupa Tindakan Menghina, Menghasut, dan Ancaman Kekerasan

526 Views

JATI CENTRE – Bangsa Indonesia memiliki identitas suku, agama, ras, dan antar golongan yang berbeda-beda. Namun, semuanya disatukan oleh semangat bhinneka tunggal ika.

Dalam politik, masing-masing peserta pemilu memiliki identitas politik berbeda-beda. Semuanya berjuang mewujudkan tujuan kelompoknya sepanjang sesuai dengan Pancasila dalam kerangka NKRI.

[…]

LKBH UIN Paparkan Langkah Advokasi Kasus dan Advokasi Kebijakan

1.340 Views

Palu-Jati Centre. Advokasi merupakan serangkaian tindakan yang terencana/terarah untuk mempengaruhi orang lain, yang hasil akhirnya untuk mencapai keadilan dan merubah kebijakan publik. Dalam praktik, advokasi terdiri atas advokasi kasus dan advokasi kebijakan.

Materi itu disampaikan Konsultan Hukum Lembaga Konsultasi dan Bantuan Hukum Universitas Islam Negeri Datokarama Palu (LKBH UIN), Ruslan Husen pada Pelatihan Advokasi Dewan Mahasiswa Fakultas Syariah (DEMA FASYA) UIN Datokarama Palu, pada Ahad (12/6/2022).

[…]

“Dalam Usia Bayi”, Jati Centre untuk Keadilan, Konstitusi, dan Pembangunan

686 Views

Palu-Jati Centre. Perkumpulan Jati Centre genap berusia 2 (dua) tahun dan berulang tahun pada tanggal 4 Juni 2022. Dua tahun silam, tanggal ini merupakan merupakan penanda pembentukan dan pendirian perkumpulan dengan penegasan visi dan misinya.

Usia yang relatif belia, bahkan jika disandingkan dengan bentuk manusia, umur tersebut masih berbentuk bayi, belum bisa mandiri dan masih tergantung dengan orang lain.

[…]

Bayang-Bayang Radikalisme di Tengah Pandemi Keberagaman

416 Views

Bayang-Bayang Radikalisme di Tengah Pandemi Keberagaman
Oleh : Ruslan Husen


Sepanjang sejarah peradaban umat manusia yang berlangsung berabad-abad lamanya, pemikiran dan aliran radikal muncul dengan berbagai bentuk yang tidak terbatas pada kelompok dan wilayah tertentu. Misalnya dalam tubuh umat Islam, terdapat pemikiran dan aliran radikal yang tidak menerima kemajemukan sebagai kenyataan perbedaan pandangan sesama umat Islam, apalagi perbedaan antar umat beragama. Hingga memaksakan pandangan dan kehendak menjurus pada tindakan kekerasan dan menumpahkan darah.

Bentuk pemikiran dan aliran radikal seperti itu, dalam sejarah tidak hanya terjadi di tubuh umat Islam, tetapi di tubuh umat Kristen, Hindu, dan Budha juga pernah terjadi. Hanya saja pola kekerasan di internal penganut agama itu telah selesai, mereka cepat merefleksi dan mengatur posisi mencegah konflik berkepanjangan yang merugikan.

Persoalannya, saat keradikalan pemikiran seseorang atau kelompok diikuti tindakan ekstrim berujung kekerasan dan intimidasi hingga memantik konflik sosial. Mereka cenderung menjadikan lawan terhadap orang atau kelompok yang memiliki pemahaman dan aliran keyakinan berbeda. Sebab menganggap pemikiran yang dipahaminya paling benar, sementara pemikiran berbeda tidak benar dan sesat, sehingga harus diluruskan dengan berbagai cara, kendati dengan cara kekerasan, intimidasi, bahkan menumpahkan darah.

Jika potensi pemikiran dan aliran radikal tidak dibendung secara tepat, maka kekerasan dan konflik terbuka dapat terjadi. Konflik antar agama atau konflik sesama internal umat beragama, konflik suku, dan konflik aliran kepercayaan dapat terbawa apalagi beriringan dengan situasi ekonomi dan politik. Ketika konflik, maka semua pihak akan dirugikan, kehidupan ekonomi macet, kehidupan sosial terganggu, sarana dan prasarana publik rusak, bahkan konflik berkepanjangan akan mengganggu stabilitas nasional hingga negara berpotensi terpecah bahkan hancur.

Sehingga perlu antisipasi semua pihak mencegah penyebaran pemahaman radikal yang menjurus pada tindakan kekerasan. Dalam tulisan ini akan diurai singkat, bagaimana cikal bakal sumber radikalisme? Bagaimana tuntunan sikap dan perilaku toleransi dalam negara bangsa? Terakhir, langkah strategis yang perlu dilakukan dalam penanganan potensi dan tindakan radikalisme?

Kekerasan; Buah Radikalisme

Radikalisme berasal dari istilah bahasa Latin, radix yang berarti akar, pangkal, bagian bawah, atau bisa juga berarti menyeluruh, habis-habisan dan amat keras menuntut perubahan.[1] Dalam Kamus Bahasa Indonesia[2] radikalisme diartikan sebagai paham atau aliran yang radikal dalam politik; paham atau aliran yang menginginkan perubahan dan pembaharuan sosial dengan cara drastis bahkan kekerasan.

Beranjak dari defenisi tersebut maka dipastikan Nabi Musa disebut radikalis oleh penguasa Fir’aun dan Nabi Muhammad dituduh radikalis oleh kaum Qurais. Dalam perkembangan saat ini, radikalisme cenderung berkonotasi negatif dan dipahami sebagai suatu pandangan, paham, dan gerakan menolak secara menyeluruh tatanan, tertib sosial, dan paham yang berbeda dengan cara perubahan atau perombakan secara besar-besaran melalui jalan kekerasan. Motifnya beragam baik sosial, politik, budaya maupun agama, yang ditandai tindakan-tindakan keras, ekstrim, dan anarkis sebagai wujud penolakan terhadap gejala yang dihadapi.

Fenomena kekerasan sebagai buah perbedaan pemahaman dari aliran keyakinan radikalisme dapat ditemui dari konflik berkepanjangan yang hingga hari ini terus terjadi, terutama di belahan dunia timur tengah. Banyak motif dan kepentingan negara besar terlibat turut menambah runyam peta konflik timur tengah. Rembesan konflik itu, dihubungkan dengan fenomena kekerasan yang terjadi di tanah air, dapat dikatakan memiliki korelasi erat. Ketika timur tengah bergejolak perang, maka imbas pada ikutan perbedaan pemahaman yang tajam pada kalangan penganut aliran keyakinan di tanah air menjadi terbawa-bawa, bahkan ikut memancing potensi konflik lewat tuduhan menyesatkan.

Atas dasar kesamaan ideologi dan empati sesama manusia lantas memunculkan gerakan balas-dendam atau tindakan pembalasan, dengan sasaran kelompok yang mendukung atau sealiran dengan tertuduh pelaku ketidakadilan di wilayah perang timur tengah tadi. Dengan melakukan kekerasan pada rumah ibadah atau pada komunitas tertentu penganut agama dan keyakinan berbeda, hingga tindakan kekerasan dilabeli oleh pemerintah sebagai tindakan “teroris”. Selanjutnya, akibat tindakan aparat pengamanan terutama dari kepolisian yang mereka nilai represif, memunculkan sikap balik menyerang dan menganggap aparat kepolisian sebagai musuh. Hingga turut menjadi sasaran kekerasan berupa bom bunuh diri atau pembunuhan, tanpa melihat lagi apa agama dianut.

Bahkan belakangan aparat pemerintah juga menjadi sasaran tindakan kekerasan dan target pembunuhan, karena dianggap sebagai pihak bertanggungjawab atas penanganan kelompoknya yang mereka nilai refresif dan tidak adil. Pemerintah dengan segala sumber daya lantas melakukan tindakan menghambat laju perkembangan sel-sel kelompok radikal ini. Memetakan pola jaringan, dan mengambil tindakan yang perlu guna mengatasi perkembangan pemikiran dan dampaknya. Menggunakan sarana penegak hukum maupun sarana pencegahan dengan pelibatan kelompok masyarakat secara luas.

Pada posisi ini, pola sasaran balasan atau target sasaran kekerasan dari kelompok radikal mengalami perubahan. Jika sebelumnya, sasaran merupakan komunitas agama tertentu (sebutlah penganut Kristen), lantas berubah ke aset-aset dan kepentingan Pemerintah Amerika Serikat-karena dianggap sebagai pelaku pembunuhan massa masyarakat sipil di Palestina, Afganistan, dan Irak. Selanjutnya berbalik menyasar aparat kepolisian-karena dianggap melakukan pembelaan terhadap musuh-musuh mereka dan melakukan tindakan represif yang tidak adil melalui penangkapan dan proses hukum. Hingga terakhir sasaran mengarah kepada pejabat negara yang dituduh bertanggungjawab mengkoordinir tindakan represif terhadap golongan dan aktivitas mereka.

Demikian gambaran singkat fenomena kekerasan yang pernah terjadi di tanah air. Walaupun disadari, masih banyak perspektif argumentasi penyebab, pola tindakan, dan penanganan tindakan kekerasan. Paling tidak, ada pemikiran dan aliran keyakinan yang menjadi penyebab sekaligus sebagai legitimasi kekerasan dan pembunuhan akibat perbedaan. Pola ajaran dan rutinitas spiritual bisa saja mereka tampak lebih dari penganut agama lain, tampak sholeh (ahli ibadah) dengan rutinitas keagamaan yang ketat. Namun menyimpan ajaran sekaligus ajakan menentang pemikiran berbeda dari yang mereka anut dan yakini.

Kenyataan ini bukan baru dalam pergolakan sejarah Islam, memegang predikat ahli ibadah namun berani menumpahkan darah sesama muslim. Contoh, Imam Ali bin Abi Thalib harus meninggal dunia karena tubuhnya ditebas pedang beracun saat bangkit dari sujud shalat shubuh oleh seorang Khawarij bernama Abdurrahman bin Muljam. Apakah Ibnu Muljam seorang preman dan tidak mengenal agama? Tidak, Ia merupakan ahli ibadah dan dikenal shalat wajib tepat waktu, melakukan rutinitas puasa, shalat malam dan ibadah sunnah lainnya. Bahkan merupakan guru mengaji, yang pernah dikirim Khalifah Umar bin Khattab ke Mesir untuk melakukan pengajaran Alquran di sana. Sangat ironis, pembunuhan ini menurut kaum Khawarij anggap sebagai tangga untuk mendekatkan diri kepada Allah Swt melalui tetesan darah dari orang yang tertuduh menyimpang.

Padahal siapa Ali Bin Abi Thalib, orang yang telah terbunuh. Apakah Khawarij Ibnu Muljam mengetahuinya? Ali merupakan sepupu Rasulullah Saw dan juga mantunya, Ali menikah dengan Fathimah az-zahra (Anak Nabi Saw) yang melahirkan cucu kesayangan Nabi Saw-imam Al-Hasan  dan imam Husein. Ali juga merupakan sahabat sejati Nabi dalam mengarungi medan dakwah Islam yang penuh tantangan, halangan, dan rintangan.

Akibat pandangan ideologi sempit sekaligus dangkal, hanya menganggap pemikiran dan aliran pemikiran yang dianut benar, sehingga pemikiran berbeda dicap tidak benar, alias ”sesat”. Khawarij berani mengkafirkan Ali, menganggap sesat dan menyesatkan karena dianggap tindak berhukum dengan cara Allah Swt, hingga halal darahnya ditumpahkan, dan membunuhnya merupakan jihad menegakkan ajaran agama. Klaim kebenaran sepihak dengan ikutan tindakan kekerasan dan pembunuhan letak masalah pemikiran dan aliran ini. Penghormatan dan toleransi antar sesama umat manusia menjadi hilang akibat doktrin sempit dan memaksanakan kehendak.

Radikalisme ternyata memiliki akar ideologi di kalangan pengikutnya. Aksi kekerasan bahkan pembunuhan didasari pada pandangan dan keyakinan keagamaan yaitu tafsir teks Alquran dan Hadits maupun pendapat para tokoh yang menjadi panutan. Para pelaku radikalime selalu mengklaim bahwa upaya mereka merupakan aktualisasi ajaran jihad yang dikehendaki Islam. Menurut Wahid Institut dan Ma’arif Institut[3] bahwa beberapa karakteristik radikalisme Islam yaitu:

  1. Menghakimi orang yang tidak sepaham dengan pemikirannya;
  2. Mengatasnamakan agama bahkan Tuhan untuk menghukum kelompok yang memiliki keyakinan berbeda;
  3. Gerakan mengubah negara bangsa menjadi negara agama;
  4. Mengganti NKRI menjadi khilafah;
  5. Klaim memahami kitab suci, karenanya berhak menjadi wakil Allah untuk menghukum siapapun;
  6. Agama diubah menjadi ideologi, menjadi senjata politik untuk menyerang pandangan politik yang berbeda.

Perlu antisipasi atas lahirnya generasi baru radikalisme yang bergerak terstruktur, sistematis, dan massif. Mereka bisa berwujud ahli ibadah yang menyuarakan pembebasan umat dari kezaliman, dan menawarkan jalan menuju surga dengan cara mengkafirkan sesama umat Islam yang kadang diikuti dengan justifikasi kebenaran akan tindakan kekerasan. Regenerasi radikalisme ini lahir dan bergerak meracuni generasi muda melalui pengajian-pengajian keagamaan dan pemberian bea-siswa lembaga pendidikan. Dalam proses transformasi pemikiran itu diidentifikasi ajarannya yang dengan mudah mengkafirkan sesama muslim.

Sumber Radikalisme

Gerakan radikal pada pokoknya menghambat kemajuan dan peradaban dunia Islam. Sebab mereka memiliki pandangan menyatukan berbagai aliran, pemikiran dan pandangan umat Islam ke dalam satu tubuh-aliran menurut pemahamannya. Ini jelas mustahil, perbedaan pandangan merupakan fakta sejarah dan merupakan ketetapan penciptaan yang beriringan dengan perkembangan umat manusia. Mengelola perbedaan pemikiran pada porsi yang tepat, mengakui perbedaan dan menerapkan toleransi. Misalnya, semua pemikiran benar dalam porsi masing-masing, yakni diyakini benar tapi menyimpan potensi salah, atau menganggap pemikiran lainnya salah tetapi memiliki potensi benar.

Menetapkan salah dan benar adalah hak preogatif pengadilan Tuhan, dan tidak diserahkan ke manusia, apalagi sering mengklaim hanya kelompoknya benar. Lalu siapa benar dari semua aliran pemikiran dimaksud? yakni siapa paling besar manfaatnya bagi kehidupan, dengan mengatasi keterpurukan kehidupan manusia. Dengan pemahaman ini, memupuk sikap dan tindakan berlomba-lomba melakukan kebaikan, mendahulukan kemuliaan akhlak pergaulan harmonisasi manusia.

Sekali lagi, perbedaan pemikiran dan aliran pemikiran merupakan fakta sejarah yang sudah berlangsung berabad-abad lalu. Bahkan sejak generasi awal manusia, sudah ada klaim merasa diri paling benar, dan menganggap pihak berbeda pandangan adalah tidak benar. Ini dicontohkan sisi peristiwa pembunuhan pertama kali manusia, oleh Qabil membunuh Habil. Keduanya bersaudara, anak-anak dari pasangan Nabi Adam AS dan Siti Hawa ketika sudah diturunkan ke muka bumi setelah diusir dari surga karena makan buah khuldi. Akibat merasa paling benar dan tidak membuka pintu toleransi, akhirnya pembunuhan terjadi-darah tertumpah.

Tidak dipungkiri bahwa dalam agama, secara tekstual ditemukan teks-teks yang bisa memberikan nuansa tindakan radikalisme. Persoalan penafsiran atas teks-teks keagamaan kadang menimbulkan justifikasi radikalisme atas nama agama, yang beririsan dengan pemahaman keagamaan sempit ditambah dengan frustasi menghadapi masalah kebuntuan kehidupan sosial-ekonomi berkepanjangan. Padahal tafsir teks keagamaan juga beragam, tergantung dari sudut pandang, jika dari sudut aliran radikal akan dianggap sebagai perintah agama. Namun dari sisi moderat, mendahulukan akhlak dan toleransi yang dapat diikuti dengan perang jika warga negara telah dibunuh dan terusir dari negaranya.

Lalu apa yang menyebabkan sumber radikalisme di kalangan masyarakat? Radikalisme tidak jalan sendiri, dan bebas nilai. Ada ideologi yang tertanam kuat di kalangan penganutnya, hingga penganut mati-matian membela dan berkorban, demi menegakkan keyakinan pemikiran dan mempertahankan eksistensi. Sumber radikalisme perlu dicari tahu, guna diketahui pola-pola hubungan dengan tindakan kekerasan, hingga ditemukan langkah tepat untuk mengantisipasi perkembangannya.

Menurut Moh. Tholhah Hasan[4], ada dua pandangan yang menjadi sumber gerakan radikal terutama dalam lingkup kehidupan beragama. Pertama, gerakan takfir. Pandangan berbeda lantas dianggap telah menyimpang sehingga menjadi kafir. Saat ada dua pilihan muslim atau kafir, walaupun orang lain beragama Islam namun karena memiliki pandangan berbeda dengan dirinya, maka dikelompokkan sebagai golongan kafir. Demikian pula dengan pejabat, politisi, dan aparat penegak hukum mereka anggap kafir karena tidak menerapkan hukum Islam sesuai dengan pandangannya, bahkan karena penyelenggara negara melakukan tindakan kebijakan yang merugikan dan menghambat dakwah Islam, menurut yang berpandangan ekstrim dapat dibunuh dan halal darahnya untuk ditumpahkan.

Kedua, heroisme bayang-bayang negara Islam. Berpendapat bahwa masyarakat sekarang sejatinya sama dengan masyarakat awal Islam saat Nabi Muhammad Saw menetap di Mekkah dan Madinah selanjutnya di bawah kepemimpinan khilafah Islamiyah. Apa yang dilakukan dan dipraktekkan oleh Nabi hendak menjadi panutan dan tuntutan, kendati dengan batasan pemahaman klaim kebenaran sepihak. Mereka menganggap praktek kehidupan masa Nabi dan kepemimpinan khilafah bisa dipraktekkan dan diwujudkan dalam kehidupan kenegaraan saat ini. Adapun keterpurukan kehidupan masyarakat bernegara, dianggap karena tidak menerapkan sistem Islam, makanya harus diubah menjadi negara Islam.

Sebenarnya mereka memahami ajaran agama dalam kadar pemahaman sempit, karena hanya mendalami pemikiran dan aliran dari golongan pihaknya. Tidak membuka diri akan kemajemukan dan memahami pemikiran dunia Islam, sehingga dapat memetik hikmah dari semua pemikiran paling benar. Termonopoli ajaran agama bahkan kebenaran yang seharusnya milik bersama. Ditambah lagi dengan mengambil peran Tuhan untuk menghakimi manusia, dengan berani mengatakan ini sesat dan itu sesat, ini bid’ah dan itu bid’ah. Mereka berusaha menunjukkan eksistensi dan otoritas pemikiran dengan mengambil peluang keterbatasan kehidupan sosial dan kelemahan otoritas dalam negara.

Apalagi soal toleransi, lagi-lagi dinafikkan. Berbeda pendapat, lalu menganggap “lawan” pihak berbeda pendapat dengannya. Susah mengakui keberagaman dan perbedaan pendapat dari pihak lain. Sikap toleransi tidak pernah, terutama dengan sesama umat Islam yang berbeda pendapat, demikian pula dengan pemeluk agama lain yang mempersoalkan eksistensi mereka akan dianggap sebagai lawan. Parahnya lagi jika diikuti dengan tindakan kekerasan dan pembunuhan.

Selain dua faktor tersebut, faktor ketiga, yakni faktor ketidakadilan ekonomi dan politik, juga menjadi penyumbang sumber radikalisme. Adanya keterpinggiran akses terhadap hasil-hasil pembangunan, dan ketidakpuasan hasil kontestasi politik menjadi alasan pemicu lahir gerakan radikal. Agama pada tahap awal bukan pemicu, namun ketika kelompok sudah terbentuk dan menghadapi masalah ekonomi dan politik, maka agama menjadi faktor legitimasi perekat untuk melakukan tindakan radikal kendati dengan cara kekerasan.

Isu lokal karena ketidakadilan ekonomi dan politik menjadi masalah awal keterpurukan soal, jika masalah tersebut beriringan dengan ajaran agama maka jadi penguat sekaligus pemicu tindakan radikalis. Tujuan tindakan mereka untuk memulihkan keterpurukan sosial dengan menunjuk aktor pemerintah sebagai pihak bertanggungjawab yang menyebabkan keterpurukan kendati dengan cara kekerasan.

Terakhir faktor keempat, yakni ketidakadilan penegakan hukum. Penanganan pelanggaran dan proses penegakan hukum dinilai timpang. Dengan tindakan tajam, dan tegas terhadap kelompok Islam, tetapi atas pelanggaran serupa yang dilakukan oleh kelompok non Islam malah diperlakukan berbeda. Saat kelompok Islam melakukan kekerasan disebut sebagai aksi terorisme, tetapi kelompok di luar itu disebutkan krimimal biasa atau kelompok sipil bersenjata. Parahnya lagi, sebagian media massa ikut-ikutan memperkeruh suasana dengan terus menyebarkan isu terorisme yang dipastikan selalu dilekatkan dengan Islam, tetapi selain itu dianggap tindakan kriminal biasa.

Toleransi

Setiap negara memiliki tantangan masing-masing dalam mengelola perbedaan, namun terdapat negara yang berhasil mengelola perbedaan warga negaranya hingga lahir persatuan dan kesatuan memperkokoh kehidupan berbangsa dan bernegara. Adanya toleransi masyarakat dalam suatu negara, memiliki hubungan erat antara fakta keberagaman dan kebijakan pengelolaan perbedaan. Banyak faktor berpengaruh mewujudkan kehidupan toleran, diantaranya warisan perjalanan peradaban umat manusia seperti karakteristik, kultur, dan keagamaan yang menjadi penyumbang terwujud atau tidaknya kehidupan toleran serta ketegasan negara mengayomi warganya.

Selain itu, salah satu penghambat mewujudkan kehidupan sesama yang toleran, yakni paham atau aliran radikal di tengah-tengah masyarakat. Paham ini pada kondisi tertentu menganggap lawan dari pihak berseberangan pendapat dengan dirinya, hingga beririsan dengan situasi geo-politik terutama di wilayah timur tengah yang memicu tindakan kekerasan atau pembunuhan kepada penganut berbeda atau pihak tertentu. Mereka menganggap pendapat dan aliran dianutnya paling benar, hingga belakangan mereka disebut pemerintah sebagai “teroris”.

Ragam pendapat, perbedaan pemikiran, serta ragam ijtihad merupakan hal yang bersifat naluriah dan tidak dapat disangkal. Secara realistis diakui terjadi karena adanya perbedaan tingkat pengetahuan, kemampuan akal, dalil-dalil yang saling berlawanan serta tidak diketahuinya sebagian dalil oleh yang lain. Tetapi, perbedaan pendapat ini sejatinya tidak menjadi sebab permusuhan, perpecahan, kekerasan dan pembunuhan, lalu menilai pihak yang berlawanan pendapat sebagai orang yang tidak punya ilmu dan tidak adil.[5]

Padahal menurut Ismatillah A Nu’ad, semua ajaran monoteisme (Yahudi, Kristen, dan Islam) yang selama ini diyakini sebagai rahmat dan keberkahan bagi seluruh alam akan hancur ditelan fenomena radikalisme yang ditakuti tatanan humanis, akibat memaksanakan kehendak dengan cara-cara kekerasan. Seruan-seruan yang mengajarkan kesetaraan, keadilan, dan toleransi yang diyakini ajaran monoteisme dimentahkan dengan logika kekerasan yang diperbuat umat-umatnya.[6]

Padahal agama Islam memberikan petunjuk toleransi kehidupan bernegara, mengakui perbedaan demi keutuhan persatuan sebagai sebuah bangsa. Bahkan bukan hanya Islam, ajaran agama lain juga menekankan penting nilai dan prinsip toleransi. Ajaran Islam, menurut Alwi Shihab[7] Alquran berkali-kali menganjurkan saling menjaga persatuan dan hubungan baik bahkan mengingatkan sesama muslim adalah bersaudara. Sebagai saudara, sudah selayaknya saling bekerja sama, bahu-membahu dalam mencapai kebaikan. Sesama muslim diingatkan untuk tidak menghujat hanya karena perbedaan mazhab dan aliran keyakinan, apalagi jika perbedaan tersebut tidak melanggar prinsip dasar keimanan. Untuk itu hendaknya mereka saling menjaga hubungan baik serta tidak saling mencurigai dan berprasangka negatif apalagi saling cemooh dan menghina serta mencari-cari kesalahan sesama.

Demikian pula dengan penganut agama lain, non-muslim. Alquran menganjurkan berbuat baik dan berlaku adil karena merupakan dasar pergaulan. Bukan berseteru, memaki, mencerca apalagi membunuh, dengan catatan selama pihak non-muslim tidak memerangi agama Islam dan selama tidak mengusir umat Islam dari negeri asal. Dengan kata lain, syarat memerangi pihak non-muslim ketika mengusir muslim dari negerinya. Alquran memerintahkan mempertahankan diri, dan membunuh lawan apabila mereka telah memulai membunuh. Selanjutnya Alquran juga memerintahkan berhenti berperang apabila musuh telah menghentikan agresi. Sebagai contoh warga Palestina dibenarkan untuk memerangi Israel untuk mempertahankan diri karena orang-orang Palestina telah diusur dari negerinya. Namun dalam situasi damai seperti Indonesia, maka perlakuan dituntut dari umat Islam merupakan perlakukan baik dan adil kepada non-muslim sesama manusia.

Penanganan Radikalisme

Agama prinsipnya tidak mengajarkan tindakan radikalisme, agama senantiasa mendahulukan kedamaian, ketenangan, dan kesejahteraan terwujud. Radikalisme terjadi akibat pemahaman ideologi sempit dan keterbatasan pengetahuan keagamaan, kendati pelaku ditemui dengan motif menjalankan ajaran agama. Nampak tidak menerima perbedaan pendapat dengan yang mereka anut. Seolah-olah pendapatnya paling benar, seolah-olah Tuhan berpihak di mereka hingga menghakimi pendapat benar dan sesat.

Paham radikalime perlu dibendung pemerintah dengan pelibatan pemuka agama dan lembaga pendidikan melalui cara yang dikenal dengan deredikalisasi. Deradikalisasi adalah suatu upaya mereduksi kegiatan radikal dan menetralisir pemikiran radikal melalui proses meyakinkan untuk meninggalkan penggunaan kekerasan. Program ini bisa berkenaan dengan proses menciptakan lingkungan mencegah tumbuhnya gerakan radikal dengan cara menanggapi akar-akar penyebab tumbuhnya gerakan ini.

Pertama, sosialisasi pemahaman arti penting toleransi. Internalisasi toleransi dalam diri setiap individu akan memantik masyarakat saling menghormati dan menghargai sesama, menumbuhkan nasionalisme, serta menyejahterakan kehidupan sosial. Hadirnya organisasi keagamaan dan organisasi lembaga lintas agama merupakan aset penting bagi terbangun perdamaian agama dan perdamaian lintas agama.

Demikian pula dengan peran strategis Majelis Ulama Indonesia menyosialisasikan toleransi dan memprakarsasi dialog antar umat beragama dengan menghimpun seluruh organisasi masyarakat. Dialog tidak boleh inklusif membatasi pada anggota tertentu dan organisasi yang terbatas. Lembaga ini harus benar-benar menjadi representasi lembaga Islam yang ada di Indonesia.

Kedua, pemberdayaan lembaga pendidikan, guna menanamkan pendidikan menyangkut semua aspek Alquran dan pembangunan akhlak setiap peserta didik. Pemikiran menyimpang dilawan dengan pemikiran Islam yang benar, dengan terus menanamkan ke dasar pemikiran peserta didik. Agar sasaran generasi mendatang dan masyarakat dapat memilah dan menetapkan pemikiran Islam yang benar untuk menjamin kehidupan adil dan damai.

Selain itu, program penelitian untuk mendapatkan gambaran motif dan pola gerakan juga penting dilakukan dengan memanfaatkan pihak perguruan tinggi. Untuk selanjutnya hasil penelitian menjadi bahan dalam penetapan kebijakan program dan kegiatan pemerintah menangkal gerakan radikal.

Ketiga, pendekatan kewirausahaan, dengan memberikan pelatihan dan modal usaha agar dapat mandiri dan tidak mengembangkan paham radikalisme. Kewirausahaan memiliki peran besar dalam pelaksanaan deradikalisasi dari sisi sosial ekonomi. Dunia usaha mampu menciptakan lapangan kerja, mengurangi pengangguran, meningkatkan pendapatan, dan meningkatkan produktivitas. Selain itu, dunia usaha juga memiliki peranan penting menjadikan masyarakat lebih inovatif, kreatif dan mandiri.

Keempat, penegakan hukum. Hukum sejatinya mampu mendinamisasi tata kehidupan masyarakat lewat instrumen penegakan hukum yang tegas dan adil. Pelaku kekerasan dan intoleransi dihukum secara adil dan tegas agar memberi efek jera sekaligus memberi tanda peringatan kepada mereka yang berniat-mencoba melanggar hukum. Tapi, dalam kasus radikalisme ini, penegakan hukum merupakan langkah terakhir dari langkah-langkah penanganan radikalisme dengan pelibatan lembaga masyarakat, yakni setelah dilakukan sosialisasi dan deradikalisasi ideologi.

Penutup

Radikalisme berasal dari paham radikal yang menganggap pemikiran dan aliran mereka saja yang benar, selain pemikiran itu tidak benar dan sesat. Pemikiran radikal, kadang diikuti sikap dan tindak radikal membid’ahkan, mengkafirkan, bahkan diiringi kekerasan bahkan pembunuhan. Padahal kehidupan berbangsa dan bernegara yang beragam, agama Islam menekankan perilaku toleransi mengakui perbedaan dan menjamin tata kelola kehidupan adil dan damai.

Sehingga perlu penangaan radikalisme, yang dapat mengancam stabilitas daerah bahkan nasional untuk dilakukan pemerintah dengan pelibatan stakeholders terkait terutama pemuka agama dan lembaga pendidikan. Melalui sosialisasi, pendekatan kewirausahaan, pemberdayaan lembaga pendidikan sebagai benteng utama membendung pemikiran radikal, yang beriringan dengan penegakan hukum kepada “siapa saja” pelaku intoleran, kekerasan, dan pembunuhan.


Catatan Kaki

[1] Muslih. 2015. Melacak Akar Radikalisme Beragama di Sekolah. Semarang: UIN Walisongo Semarang. hlm. 9.
[2] Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa. 2008. Kamus Bahasa Indonesia. Jakarta: Pusat Bahasa, hlm. 1246.
[3] Wahid Institut dan Ma’arif Institut dalam Abdul Jamil Wahab. 2004. Manajemen Konflik Keagamaan; Analisis Latar Belakang Konflik Keagamaan Aktual. Jakarta: Elex Media Komputindo. hlm. 108.
[4] Moh. Tholhah Hasan, dalam Alwi Shihab dkk. 2019. Islam dan Kebhinekaan. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama hlm. 228-229.
[5] Muhammad Thalib (Penerjemah). 2001. Membangun Kekuatan Islam Di Tengah Perselisihan Ummat. Yogyakarta: Wahdah Press. hlm. 62.
[6] Ismatillah A Nu’ad. 2005. Fundamentalisme Progresif Era Baru Dunia Islam. Jakarta: Panta Rei. hlm. 11.
[7] Alwi Shihab dkk, Ibid, hlm. 14 dan 34.


File pdf dapat didownload : Bayang-Bayang Radikalisme di Tengah Pandemi Keberagaman

Menyoal Negara Islam

301 Views

MENYOAL NEGARA ISLAM
Oleh : Ruslan Husen, SH., MH.


Bulan Mei 2017 lalu, organisasi kemasyarakat Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) dibubarkan oleh Pemerintah berdasarkan Perppu Nomor 2 Tahun 2017 tentang Organisasi Kemasyarakatan. HTI juga dilarang oleh Pemerintah melakukan kegiatan atas nama organisasi ini. HTI dianggap sebagai organisasi terlarang, karena dinilai ingin mengganti ideologi Pancasila, UUD 1945, dan mengancam eksistensi Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dengan tujuan mendirikan sistem negara yang bernama khilafah. Tidak sampai pada pembubaran saja, para pengurus dan simpatisan HTI yang terus mengkampanyekan sistem negara khilafah turut diancam dengan sanksi pidana. Mereka dianggap melakukan tindakan makar yang membahayakan eksistensi dan kedaulatan NKRI. Sudah organisasi dibubarkan, para personil-pun terancam sanksi pidana penjara.

Berkaca dari pengalaman itu, begitu kuat otoritas kekuasaan negara. Massa HTI bisa saja protes selama berbulan-bulan, melakukan aksi-aksi yang tidak putus. Terus menjastifikasi bahwa HTI sebagai organisasi yang didirikan atas dasar Konstitusi, dalam negara hukum yang menjunjung tinggi hak asasi manusia dengan jaminan dan kemerdekaan berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pikiran dan pendapat, dan membuat justifikasi rasional bahwa HTI tidak seburuk seperti yang dituduhkan oknum Pemerintah. Tetapi Pemerintah mengenyampingkan semua pembelaan itu dan hanya bermodal surat penetapan pembubaran, langsung bubar organisasi masyarakat ini, tidak lagi bisa melakukan kegiatan atas namanya. Pro-kontra-pun terjadi, antara yang membela HTI dan menganggap langkah pemerintah keliru, demikian pula sebaliknya.

Penulis menguraikan dinamika pembubaran HTI di atas, bukan bermaksud mengurai perdebatan pro-kontra legalitas dan argumentasi pembubaran organisasi massa ini. Masing-masing pihak pasti memiliki dasar dan argumentasi logis. Penulis lebih menitik-beratkan pada eksistensi kekuasaan negara yang strategis bagi berkembang atau tidak berkembang suatu organisasi massa bahkan ideologi. Kekuasaan negara memiliki kekuaatan untuk membubarkan organisasi massa dan mencegah berkembang ideologi tertentu, bahkan Pemerintah sendiri bisa menjadi pihak pendukung berkembang dan majunya suatu gerakan massa dengan ideologinya.

Negara yang disebut, Indonesia ini menempatkan kekuasaan negara dilaksanakan oleh kekuasaan Pemerintahan yang dibagi ke dalam cabang-cabang kekuasaan, yakni kekuasaan eksekutif, legislatif dan yudikatif. Tiga cabang kekuasaan ini saling kontrol dan saling sinergi di antara satu dengan lain. Walaupun dalam sistem pemerintahan Indonesia, kekuasaan eksekutif yang di jabat kekuasaan tertinggi “Presiden” lebih menonjol superior. Tidak jarang Presiden bersama para partai politik pendukung menentukan arah kebijakan tatanan kehidupan bermasyarakat-bernegara. Kekuasaan negara menjadi alat rekayasa tatanan sosial-politik, dengan memunculkan nilai dan pesan baru demi kepentingan penguasa.

Demikian pula kinerja cabang kekuasaan legislatif dan yudikatif secara langsung maupun tidak langsung dapat dipengaruhi oleh kekuasaan eksekutif-Presiden. Walau ada norma tekstual, kekuasaan legislatif dan yudikatif sebagai kekuasaan mandiri, independen dan profesional. Tetapi, kenyataan tidak se-ideal teks norma terbaca. Loyalitas, balas budi dan aroma desain memuluskan kebijakan politik tertinggi tidak bisa ditepis. Jadilah cabang kekuasaan lain sebagai perpanjangan tangan kepentingan pragmatis eksekutif-Presiden.

Kenyataan ini berangkat dari desain regulasi yang mengatur tata kehidupan bernegara, regulasi yang dirumuskan oleh anggota legislatif (DPR) bersama Pemerintah. Sebagai tokoh partai politik yang berhasil duduk di gedung Senayan lewat sistem pemilihan umum, produk regulasi bisa dipastikan tidak lepas dari arahan internal partai politik asalnya. Regulasi sebagai hasil kompromi politik dan lobi-lobi pragmatis antar partai.

Hampir tidak ada alias minim keberanian-idealisme anggota legislatif untuk keluar dari bingkai kebijakan partai dengan ekspektasi keadilan dan kepentingan subtantif masyarakat, untuk mengambil sikap politik yang berbeda dengan kebijakan internal partai. Kalaupun ada yang nekat-berani maka siap-siap bernasib tragis, dicari kesalahan-kesalahan walau kadang sangat politis terus diganti dengan status pengganti antar waktu (PAW) karena tidak memenuhi syarat lagi sebagai anggota partai politik.

Ada lingkaran kekuasaan. partai politik sebagai pengusung Presiden dan Wakil Presiden dalam pemilihan umum, dan peran mengusung calon legislatif, hingga terpilih menjadi anggota legislatif dan duduk di Senayan. Dengan kenyataan ini, “pimpinan partai politik” menjadi pihak yang potensial mengarahkan dan menentukan kebijakan kekuasaan negara yang dijalankan oleh Presiden, demikian juga dengan produk regulasi yang dihasilkan Parlemen.

 

Universalitas Ajaran Islam

Islam, agama Ilahiyah yang holistik. Segala sisi kehidupan manusia telah ada tuntunan dalam ajaran Islam, yang ditemukan dalam Alquran, Hadits Nabi maupun Ijtihad para Ulama. Memahami, mengamalkan dan menyebarkan kepada masyarakat menjadi tanggung-jawab setiap muslim sebagai pemimpin (khalifah) di muka bumi. Refleksi tuntunan beragama yang disarikan dari nilai-nilai ajaran Islam menjadi sikap-perilaku seorang muslim yang terinternalisasi menjadi ajaran agama Islam. Ajaran yang yang memberi arah dalam menjawab dinamika seputar Tuhan, manusia dan alam semesta.

Sisi kehidupan dari terkecil sampai yang terbesar telah diatur dalam Islam. Prinsip-prinsip ajaran Islam menjadi dasar pijak sikap-tingkah laku seorang muslim. Dari masuk toilet sampai pada kehidupan bernegara, ada tuntunannya. Sehingga kurang tepat, menganggap ciri seorang muslim sejati adalah mereka yang senantiasa memakai sorban dan baju gamis, dengan rutinitas ibadah yang lekat. Tetapi, malah minim perhatian pada kehidupan sosial-politik bernegara, bahkan mengharamkan politik dibahas di masjid. Kegiatan politik di masjid sejak zaman Rasulullah Muhammad SAW biasa dilakukan, masjid merupakan pusat kegiatan umat Islam, termasuk dalam melakukan konsolidasi politik.

Membolehkan masjid sebagai sarana membahas seputar politik sepanjang dilakukan secara objektif, berperspektif kemanusiaan universal, dan tidak untuk kepentingan pragmatis dukung-mendukung peserta pemilu tertentu (kepentingan kekuasaan jangka pendek).

Agama akan tegak, ideologi Islam akan diterima secara masif atas dukungan kekuasaan negara. Agama menjadi pondasi, sementara kekuasaan negara menjadi pengawal. Negara tanpa agama akan hancur, sementara kekuasaan negara tanpa tuntunan agama menjadi sia-sia. Agama memerlukan agama agar dapat berkembang, sebaliknya negara memerlukan agama untuk mendapatkan bimbingan moral dan etika. Dengan kekuasaan politik, aspek kehidupan dapat diarahkan. Sebab kekuasaan negara memiliki sumber daya, fasilitas dan dukungan rakyat. Walaupun tidak jarang kekuasaan negara juga represif terhadap rakyatnya sendiri.

Menjadi pertanyaan, apa sistem pemerintahan ideal dalam konteks Indonesia untuk diterapkan, sistem yang bisa diterima oleh semua komponen anak bangsa ini. Apakah sistem pemerintahan yang dijalankan, sudah menjamin tegak ajaran Islam, atau malah perlu dipertimbangkan wacana penggantian sistem pemerintahan, dengan menawarkan konsep pemerintahan khilafah, seperti ditawarkan oleh HTI, atau malah menawarkan sistem kepemimpinan imamah seperti yang dijalankan oleh Republik Islam Iran. Atau malah menekankan, prinsip-prinsip substansi ajaran Islam harus terinternalisasi ke sistem pemerintahan, dengan tidak terbatas pada penamaan sektoral wilayah dan sejarah tertentu.

Pemerintahan khilafah

Khilafah secara etimologis, adalah kedudukan pengganti yang menggantikan orang sebelumnya. Menurut terminologi, khilafah diartikan sebagai kepimpinan umum, yang menjadi hak seluruh kaum muslimin di dunia untuk menegakkan hukum syariat Islam (hukum Allah) dan mengemban dakwah Islam ke seluruh dunia.

Sistem pemerintahan khilafah adalah sistem pemerintahan Islam global yang tidak dibatasi oleh teritorial dengan tujuan menerapkan hukum Allah-Tuhan yang diperuntukkan bagi manusia, sehingga khilafah Islam meliputi berbagai suku dan bangsa di dunia. Pada intinya khilafah merupakan kepemimpinan umum yang mengurusi agama dan kenegaraan untuk menegakkan hukum-hukum syariat Islam dan memikul misi “rahmat  bagi semesta alam” ke seluruh dunia.

Ketika Nabi Muhammad saw meninggal dunia, beliau tidak mewasiatkan penunjukkan pengganti kepemimpinan secara spesifik. Para sahabat kemudian berdiskusi yang kemudian menghasilkan keputusan untuk mengangkat Abu Bakar sebagai pengganti Nabi Muhammad Saw dalam urusan kepemimpinan. Masa kepemimpinan selanjutnya dipegang oleh Umar bin Khatthab saat Ia ditunjuk langsung oleh Abu Bakar. Selanjutnya, kepemimpinan dipegang oleh Usman bin Affan yang terpilih melalui diskusi dewan khusus yang dibentuk oleh Umar bin Khatthab sebagai bagian dari proses pergantian kepemimpinan berikutnya. Kepemimpinan kemudian beralih ke Ali bin Abi Thalib yang dipilih secara aklamasi oleh para sahabat.

Ciri yang menonjol dari sistem pemerintah yang mereka jalankan terletak pada mekanisme musyawarah, bukan dengan sistem warisan pemerintah kepada keturunan. Tidak ada satupun dari keempat khalifah tersebut yang menurunkan kekuasaannya kepada sanak-kerabaanya. Musyawarah menjadi cara yang ditempuh dalam menjalankan kekuasaan.[1] Prinsip musyawarah mampu mendialogkan perbedaan-perbedaan pandangan dan sikap yang dibangun diatas toleransi, guna mencari alternatif terbaik.

Kepemimpinan Imamah

Imamah secara etimologi, yaitu kepemimpinan. Setiap orang yang menduduki kursi kepemimpinan suatu kelompok manusia disebut sebagai imam. Menurut terminologi, Imamah ialah kepemimpinan umum atas segenap umat Islam dalam berbagai aspek kehidupan, baik yang bersifat spiritual maupun duniawi. Dicantumkan kata “duniawi” untuk mempertegas betapa luasnya cakupan Imamah, bahwa pengaturan masalah-masalah dunia bagi umat Islam merupakan bagian dari agama Islam.

Mazhab Syi’ah meyakini bahwa persoalan Imamah ini merupakan urusan Allah. Dialah yang berhak memilih dan mengangkat hamba-hamba-Nya yang saleh untuk menduduki jabatan imamah. Peristiwa pengangkatan imam ini telah terjadi pada masa hidup Nabi, yaitu tatkala Allah Swt memilih dan mengangkat Ali bin Abi Thalib sebagai imam dan khalifah muslimin sepeninggal beliau. Pemilihan dan pengangkatan Ali tersebut dilakukan oleh Rasul Muhammad SAW secara langsung dan di hadapan umat Islam. Beliau pun memilih dan menentukan 11 orang lainnya dari keturunan Ali sebagai imam kaum muslimin setelah wafatnya.

Konsep politik Syi’ah yang berpusat pada imam, dikontekstualisasi dalam bentuk wilayah al-faqih yang dalam periode modern dipraktekkan di Republik Islam Iran. Iran menjadi penjelmaan konsep ini setelah Revolusi Islam Iran tahun 1979 yang dipimpin oleh Imam Khomeini. Ada lima lembaga penting yang ditafsir oleh Dewan Ahli dan disetujui oleh Imam Khomeini, yakni faqih, presiden, perdana menteri, parlemen dan dewan pelindung konstitusi. Kekuasaan terbesar dipegang oleh faqih yang dipilih oleh dewan ahli dengan syarat-syarat tertentu.[2]

 

Sistem Pemerintahan Indonesia

Sistem pemerintahan khilafah dan imamah merupakan sebagian dari khazanah kekayaan identitas dan sistem politik yang dipraktekkan oleh umat Islam dalam konteks negara bangsa (nation state). Masing-masing khazanah itu sampai saat ini terus berkembang melewati batas sekat wilayah negara. Tetapi selain sistem tersebut, sistem politik demokratis juga banyak dipraktekkan oleh sejumlah negara-negara muslim di dunia, atau setidaknya dipraktekkan di negara yang mayoritas berpenduduk agama Islam. Walaupun diakui sistem politik demokratis ini tidak menjamin negara akan mencapai kemakmuran, sebab banyak juga negara yang tidak menerapkan sistem demokrasi berhasil mencapai tingkat kemakmuran.

Kembali ke topik utama, bahwa Khilafah dan Imamah menjadi bagian referensi sistem politik Islam untuk diterapkan di negara bangsa. Pilihan untuk menentukan sistem pemerintahan masing-masing menjadi kedaulatan pendiri negara dan kedaulatan rakyat. Islam tidak menggariskan secara tegas bentuk sistem pemerintahan, tetapi menekankan pada aspek subtansi, prinsip dan nilai yang harus ada dalam setiap sistem pemerintahan. Jadi sekali lagi, setiap bangsa bebas menentukan bentuk sistem pemerintahan yang ingin dianut dengan catatan dibangun di atas pondasi agama Islam yang kokoh.

Indonesia sebagai negara yang berpenduduk muslim terbesar lebih memilih dan menjadikan demokrasi sebagai alternatif sistem politik pemerintahan. Pergulatan pemikiran, idealisme, toleransi dan orentasi dari para pendiri bangsa (the founding fathers) lantas menjatuhkan pilihan pada sistem demokrasi yang menempatkan rakyat berdaulat atas menempatkan wakil-wakilnya di pemerintahan melalui mekanisme pemilihan umum.

Demokrasi menempatkan kedaulatan tertinggi pada tangan rakyat, rakyat yang berdaulat memilih wakil-wakilnya yang akan duduk di pemerintahan. Demokrasi dilaksanakan melalui mekanisme pemilihan umum untuk periode tertentu masa pemerintahan. Pemilu dijalankan oleh Lembaga independen yang memperlakukan semua peserta pemilu secara jujur dan adil serta mendorong partisipasi masyarakat secara aktif.

Pembukaan alinea IV UUD 1945 berbunyi, “bahwa kemerdekaan kebangsaan Indonesia itu disusun dalam suatu Undang-Undang Dasar Negara Indonesia yang terbentuk dalam suatu susunan negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat”. Selanjutnya berdasarkan Pasal 1 ayat (1) UUD 1945 berbunyi, “Negara Indonesia adalah negara kesatuan yang berbentuk republik”. Bentuk negara Indonesia ialah Negara Kesatuan, sedangkan bentuk pemerintahannya ialah Republik. Selain bentuk pemerintahan republik dan bentuk negara kesatuan, Presiden Republik Indonesia memegang kekuasaan sebagai kepala negara dan sekaligus kepala pemerintahan. Pemerintahan adalah kekuasaan negara yang dilakukan oleh badan-badan legislatif, eksekutif, dan yudikatif dalam rangka mencapai tujuan penyelenggaraan negara.  

Fungsi Pemerintahan dalam suatu negara yang meminjam ajaran Montesqieu, dibedakan menjadi tiga fungsi, yakni Eksekutif sebagai kekuasaan untuk menjalankan undang undang, Legislatif sebagai kekuasaan untuk membentuk undang undang, dan Yudikatif sebagai kuasaan mengadili terhadap pelanggaran atas undang undang. Dari sistem Pemerintahan Indonesia mulai tahun 1945 hingga saat ini, telah terjadi banyak perubahan. Perubahan yang menjadi sejarah perjalanan ketatanegaraan negara Indonesia. Perubahan itu antara lain, adanya pemilihan umum secara langsung serentak-nasional, sistem bikameral, mekanisme cheks and balance, dan pemberian kekuasaan yang lebih besar kepada parlemen untuk melakukan pengawasan, pembahasan undang-undang dan fungsi anggaran.

Walaupun diakui proses demokratisasi dalam kerangka penyelenggaraan kekuasaan negara masih menemui sejumlah masalah, hambatan, dan tantangan. Terutama akibat perbedaan pandangan ideologi, aliran dan kepercayaan yang tajam, kadang turut mempengaruhi stabilitas negara, yang pada satu kesempatan berujung pada terjadinya konflik sosial yang membawa malapetaka bagi kehidupan masyarakat, berupa kerugian harta-benda hingga hilangnya nyawa. Mengatasi hal semacam ini, maka semangat dan bangun toleransi antar umat beragama maupun dalam sesama umata beragama sangat penting digalakkan kembali, guna merawat dan merajuk persatuan dan kesatuan bangsa yang berbudaya dan religius.

 

Penutup

Islam merupakan agama yang sempurna dan lengkap (holistik) mengatur semua sisi sendi kehidupan manusia, meliputi tuntuan moral dan peribadatan, serta petunjuk-petunjuk mengenai segala aspek kehidupan, termasuk kehidupan politik, ekonomi dan sosial. Islam meliputi aspek materi dan non material menyangkut Tuhan, manusia dan alam semesta.

Termasuk soal politik dan tatanan pemerintahan juga tidak lepas dari tuntunan ajaran Islam. Adapun aspek sejarah dan wilayah penerapan sistem pemerintahan Islam menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari perjalanan gemilang, suka-duka umat Islam. Dalam konteks ke-Indonesiaan, para pendiri bangsa dan rakyat Indonesia yang mayoritas adalah umat Islam berkewajiban menjalankan ajaran agama Islam secara penuh dan konsekwen, dengan memperhatikan lokalitas-kearifan setempat. Islam juga tidak menegaskan, bahwa sistem pemerintahan negara-bangsa harus berbentuk khilafah atau imamah. Penting untuk dilaksanakan dan menjiwai sistem pemerintahan manapun dalam konteks negara-bangsa adalah penerapan ajaran, prinsip dan norma ajaran Islam ke dalam regulasi dan praktek kehidupan berbangsa dan bernegara.

Oleh karena itu, Konstitusi dan UUD 1945 disusun oleh para pendiri bangsa dan dilanjutkan oleh pemerintah dan wakil-wakil rakyat, idealnya sebagai orentasi dan cita-cita menjalankan ajaran Islam sebagai ajaran rahmatan bagi semesta alam. Dalam kehidupan demokrasi dan pengejawantahan sistem pemilu dengan menempatkan rakyat berdaulat, jika ingin mempertahankan atau ingin melakukan perubahan atas Konstitusi dengan memasukkan nilai dan prinsip universalitas ajaran Islam ke dalam Konstitusi, maka kekuasaan atas pembentukan undang-undangan dalam negara harus diisi oleh orang-orang yang paham akan agama Islam dan bersedia berjuang dalam menyampaikan dan menyebarkan ajaran Islam, dan tidak terjebak pada heroisme sistem pemerintahan yang pernah diterapkan dalam catatan sejarah umat Islam.

Wallahu a’lam bi shawwab.


Catatan Kaki:

[1] Mujar Ibnu Syarif dan Khamami Zada, 2008, Fiqih Siyasah, Doktrin dan Pemikiran Politik Islam, Penerbit Erlangga, Jakarta, hlm. 208.
[2] Mujar Ibnu Syarif dan Khamami Zada, Ibid, hlm. 213-214.


File pdf silahkan download di sini:
Menyoal Negara Islam