Sejauh Mana Website Dipandang Penting bagi Kebutuhan Informasi Publik di Lembaga Penyelenggara Pemilu?

167 Views

Oleh :  Ferdiansyah JD
(Koordinator Divisi Teknologi Informasi LSIP)

Pentingnya Website Bagi Badan Publik: Transparansi dan pelayanan

Fungsi website semakin nampak dalam era digitalisasi informasi yang semakin masif, terkhusus terhadap badan publik. Peranan website dalam proses massifikasi informasi terjadi ketika media website membantu mengubah pola kebutuhan informasi yang dibatasi oleh ruang dan waktu menjadi pola informasi tanpa dibatasi dua dimensi tersebut. Karena website tidak terbatas pada tempat dimana saja dan kapan saja selama dapat diakses.

[…]

Menuju Pilkada Serentak Tahun 2020

278 Views

MENUJU PILKADA SERENTAK TAHUN 2020
(Eksistensi Pengawas Pemilu  pada Pilkada Serentak Episode ke-4 dan
Ancaman “Romantisme Publik”)

Oleh : Ahmad S. Mahmud, S.Ip., M.AP.
( Tenaga Pendukung Bawaslu Prov. Sulawesi Tengah )

Komisi Pemilihan Umum (KPU) telah menyusun Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) Tentang Tahapan, Program dan Jadwal Penyelenggaraan Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan wakil Bupati, Walikota dan wakil Walikota Tahun 2020 serta telah ditetapkan dan diundangkan, yaitu PKPU Nomor 15 Tahun 2019. Dengan begitu artinya tahapan Pilkada Serentak Gelombang ke-4 akan segera dimulai. Selain itu, sebagai tanda akan segera dimulainya Pilkada dapat kita lihat dengan mulai bertebarannya Bahan Sosialisasi diri bakal calon yang akan mencoba peruntungan dalam kontestasi Pilkada di pada ruang-ruang publik saat ini.

Pada Pilkada serantak Tahun 2020 akan diselenggarakan Pemilihan Kepada Daerah (Pilkada) di 270 Daerah, Meliputi 9 Provinsi, 224 Kabupaten dan 37 Kota di Indonesia. Pilkada Tahun 2020 merupakan Pilkada serentak Gelombang ke 4 atau bisa dikatakan Pilkada Serentak Episode Ke-4, Pilkada serentak Pertama kali dilaksanakan Tahun 2015, Gelombang kedua dilaksanakan Tahun 2017 dan Gelombang ketiga dilaksanakan pada Tahun 2018.

Berdasarkan PKPU 15 Tahun 2019 tahapan Pilkada Serentak Episode Ke-4 dimulai dari Persiapan meliputi Perencanaan  Program yang akan dimulai 30 September 2019, sedangkan untuk Pelaksanaan Pemungutan Suara dan Penghitungan Suara di TPS untuk Pilkada Serentak Tahun 2020 akan Serentak  dilaksanakan pada 23 September 2020.

Terkait eksistensi Pengawas Pemilu  dalam menghadapi Pilkada tentunya tidak perlu diragukan lagi.! Ya,sudah 3 kali pengalaman dalam mengawal Pilkada Serentak mulai Pilkada serentak Tahun 2015, Pilkada serentak Tahun 2017 dan Pilkada serentak 2018. Apalagi Pengawas Pemilu  baru saja sukses mengawasi Pemilu  serentak Pertama kali di republik ini yang menggabungkan Pemilu Legislatif dan Pemilu Presiden dan Wakil Presiden atau Pemilu “Lima Kotak”, dan jaraknya hanya kurang lebih dua Bulan dengan dimulainnya tahapan penyelenggaraan  Pilkada Serentak Tahun 2020 dan Pengawas Pemilu  berhasil menjaga trust publik dan sukses merebut “hati” publik termasuk peserta Pemilu melalui eksistensinya dalam melakukan Pengawasan Pemilu serentak Tahun 2019.

Catatan kesuksesan dalam mengawasi Pemilu Serentak Pertama yang berdampak pada kepercayaan publik tersebut bukan pernyataan sepihak, berdasakan Penelilian Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesi (LIPI) kepercayaan publik terhadap integritas Bawaslu dan Jajarannya sangat baik. Dalam rilis hasil Riset LIPI tersebut 83,8% responden percaya bahwa Bawaslu dan jajarannya melaksanakan tugasnya dengan baik, ada 9,3% responden tidak percaya dan terdapat 6,9% responden tidak menjawab, Kepercayaan terhadap Pengawas Pemilu dalam hal ini Bawaslu dan jajarannya berada satu digit diatas KPU dan jajarannya, yang memperoleh angka 82,5%.

Namun tunggu dulu, hal itu selain menjadi nilai positif juga bisa saja memiliki dampak negatif terhadap eksistensi Pengawas Pemilu serta trust publik, sehingga dapat menjadi paradoks bagi Pengawas Pemilu dalam menjaga eksistensinya dalam mengawal Pilkada Serentak Tahun 2020.

Berdasarkan Undang-Undang Pilkada, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015, sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 Pengawas Pemilu  khususnya di tingkat Provinsi dan Kabupaten/Kota, sebagaimana diatur dalam Pasal 28 dan Pasal 30 Undang-Undang tersebut memiliki kewenangan di antaranya : Pertama, mengawasi tahapan penyelenggaraan Pemilihan; Kedua, mengelola, memelihara, dan merawat arsip/dokumen; Ketiga, menerima laporan dugaan pelanggaran terhadap pelaksanaan peraturan perundang-undangan mengenai Pemilihan; Keempat, menyampaikan temuan dan laporan kepada KPU Provinsi untuk ditindaklanjuti; Kelima, meneruskan temuan dan laporan yang bukan menjadi kewenangannya kepada instansi  yang berwenang; Keenam, mengawasi pelaksanaan tindak lanjut rekomendasi Bawaslu tentang pengenaan sanksi kepada anggota KPU Provinsi, sekretaris dan pegawai sekretariat KPU Provinsi yang terbukti melakukan tindakan yang mengakibatkan terganggunya tahapan penyelenggaraan Pemilihan yang sedang berlangsung; Ketujuh, mengawasi pelaksanaan sosialisasi penyelenggaraan Pemilihan; dan melaksanakan kewenangan lainnya yang diberikan oleh peraturan perundang-undangan.

Terdapat beberapa kewenangan yang notabene sebagai “mahkota” dalam melakukan penindakan yang hanya dimiliki dalam rezim Pemilu. Selain penguatan kelembagaan Pengawas Pemilu dalam Undang-Undang Pemilu memiliki kewenangan Yaitu Memutus Pelanggaran Administratif Pemilu dan Sengketa Pemilu; Memutus Pelanggaran Administratif Pemilu yang bersifat Terstruktur, Sistematis dan Masif (TSM) dan dapat memberikan sanksi diskualifikasi, dalam Pilkada kewenangan tersebut juga ada, namun terbatas pada pelanggaraan administratif Politik Uang; serta beberapa kewenagan besar lainnya dan juga memiliki porsi waktu yang lebih longgar dalam melakukan penanganan dugaan pelanggaran.

Singkatnya, dalam rezim Pemilu Pengawas Pemilu tidak hanya bertindak sebagai pengawas, namun juga memiliki wewenang eksekutorial terhadap pelanggaran administartif dan sengketa Pemilu, sehingga prodak dari hasil penanganan pelanggaran adalah putusan yang jika dalam Pilkada hanya berupa rekomendasi. Dan tidak dapat dipungkiri kewenangan-kewenangan tersebut menjadi daya tarik dan “pemikat hati” publik sehingga dapat membangun trust public terhadap eksistensi Pengawas Pemilu.

Paling tidak, berdasarkan kewenangan baru dalam Undang-Undang Pemilu Pengawas Pemilu bukan lagi “macan ompong” seperti Stereotipe yang berkembang di Publik dimasa lalu yang dialamatkan kepada Pengawas Pemilu karena lemahnya kewenagan yang dimiliki, atau katakan saja “tukang pos” yang menjadi istilah yang sering dialamatkan kepada lembaga Pengawas Pemilu dikarenakan tidak memiliki wewenang eksekutorial terhadap laporan maupun temuan hasil pengawasannya khususnya pelanggaran administratif, Pengawas Pemilu cukup meneruskan laporan/temuan hasil pengawasannya ke instansi berwenang. Dalam mengarungi Pemilu 2019, Bawaslu hadir dengan “wajah baru” memiliki kelembagaan yang kuat dengan kewenangan yang besar, Pengawas Pemilu berhasil mendapat bargaining position dalam penyelenggaraan Pemilu Tahun 2019.

Perlu dicatat, Publik terlanjur terbiasa dengan eksistensi Pengawas Pemilu  pada Penyelenggaraan Pemilu Tahun 2019 dengan kuatnya kewenangan yang diberikan melalui Undang-Undang 7 Tahun 2019. Sehingga, romantisme Publik terhadap pelaksanaan tugas fungsi dan kewenangan dalam Pemilu menjadikan banyak harapan besar publik dititipkan pada Pengawas Pemilu. Publik tidak cukup memahami bahwa ada kewenanganan berbeda pada rezim Pemilu dan rezim Pemilihan/Pilkada dimana Pengawas Pemilu memiliki kewenangan yang cenderung terbatas. Maka perlu disadari, dengan begitu keadaan ini bisa saja berdampak pada kekecewaan publik, karena begitu besar ekspektasi yang dititipkan kepada Pengawas Pemilu.

Tidak hanya Publik, Pengawas Pemilu  juga jangan sampai terjebak dalam romantisme tersebut, apalagi terlalu nyaman dengan ueforia, walapun saat ini Bawaslu RI telah mengajukan usulan perubahan terbatas Undang-Undang Pilkada, Jika memang akan ada revisi tentunya itu merupakan kabar gembira, namun demikian jika memang akan dilakukan revisi maka tidak bisa dalam waktu singkat, sementara Tahapan Pilkada sudah di depan mata.

Selain itu, tidak ada jaminan Undang-Undang Pilkada akan disetujui untuk dilakukan Revisi saat ini, seandainnya memang tidak ada revisi saat ini terhadap Undang-Undang Pilkada maka kondisi perbedaan kewenangan yang cenderung terbatas pada Pilkada sudah tentu sedikit banyak berdampak pada performance Pengawas Pemilu, dalam keadaan demikian dalam mengarungi Pilkada serentak Episode Ke-4 ini, Pengawas Pemilu setidaknya harus mempersiapakan diri sebaik mungkin untuk menjaga eksistensinya agar tetap mendapat trust publik.

Melakukan persiapan yang matang, melakukan Mapping, Mitigasi dan ekseskusi kebijakan Pengawasan dengan baik. Selain itu, penting untuk tetap intens memberikan pemahaman keadaan “keterbatasan” yang dimiliki kepada publik dalam konteks pengawasan dan penindakan. tetap menjaga  trust publik melalui kerja-kerja dengan performa terbaik, agar tidak ada lagi “macan ompong”, agar tidak ada lagi “tukang pos”, agar romanstisme tersbut bisa terjaga dan tetap berlanjut, Dan akhirnya Pilkada Episode Ke-4 “masih” berakhir dengan Happy Ending dan Ceria, Not Sad Ending. Semoga.!

Pernah terbit di Harian Radar Sulteng, edisi 2 September 2019.

Bertaruh Nyawa Menuju TPS 1 Bolobia

263 Views

Palu. Mobil terhenti ditanjakan dan tukungan tajam. Penumpang panik. Sontak dua orang yang duduk di belakang kabin mobil cekatan melompat dan mencari batu ganjalan. Mobil berhasil terhenti. Driver kembali mengambil ancang-ancang dan melaju kencang mendaki jalanan menanjak.

Demikian jalur yang dilalui Tim Bawaslu menuju lokasi pemungutan suara ulang (PSU) di TPS 1 Desa Bolobia, Kec Kinovaro Kab Sigi. Driver harus ekstra hati-hati melewati tanjakan terjal, yang disisi jalan terdapat jurang yang curam. Lalainya driver dapat menjadi ancaman keselamatan mobil dan penumpang. Bertaruh nyawa menuju lokasi pelaksanaan PSU.

PSU dilaksanakan untuk menindaklanjuti putusan Mahkamah Konstitusi (MK) atas permohonan sengketa hasil pemilu di Dapil 5 Sigi yang diajukan pemohon PDI-Perjuangan. PSU ini menjadi cerita satu-satunya di Indonesia setelah putusan MK. Sebab permohonan yang dikabulkan MK hanya memerintahkan untuk melakukan penghitungan ulang surat suara. PSU berhasil dilaksanakan pada Minggu, (18/8/2019) bertempat di halaman SD Bala Keselamatan Bolobia.

Pengguna hak pilih saat PSU sejumlah 154 orang. Sebelumnya tercatat DPT setelah verifikasi faktual sejumlah 169 orang ditambah DPK 4 orang, hingga total pemilih terdaftar menjadi 173 orang. Dari angka-angka ini dapat diukur tingkat partisipasi pemilih yang cukup tinggi, berkisar 90%.

Kampanye Di Luar Jadwal

293 Views

Partai Politik peserta Pemilu tahun 2019 telah ditetapkan Komisi Pemilihan Umum (KPU) pada tanggal 17 Februari 2018. Lalu hari berikutnya, tanggal 18 Februari 2018 Partai Politik (Parpol) mendapatkan nomor urut lewat pengundian oleh KPU dengan disaksikan Bawaslu. Parpol tersebut sesuai nomor urut, 1.PKB, 2.Gerindra, 3.PDI Perjuangan, 4.Golkar, 5.NasDem, 6.Partai Garuda, 7.Partai Berkarya, 8.PKS, 9.Perindo, 10.PPP, 11.PSI, 12.PAN, 13.Hanura, 14.Partai Demokrat. Ditambah dengan Partai lokal Aceh dengan nomor urut, 15.Partai Aceh, 16.Partai Sira (Aceh), 17.Partai Daerah Aceh, dan 18.Partai Nanggroe Aceh.

Jumlah Parpol peserta Pemilu kemudian bertambah atas dasar Putusan penyelesaian sengketa Bawaslu RI. Sebelumnya Partai Bulan Bintang (PBB) dan Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia (PKPI) dinyatakan oleh KPU tidak lolos verifikasi. Lalu PBB mengajukan sengketa ke Bawaslu, dan diputus PBB memenuhi syarat dan memerintahkan kepada KPU untuk menetapkan PBB sebagai peserta pemilu tahun 2019. KPU lalu menggelar Pleno dan menetapkan PBB sebagai peserta pemilu dengan nomor urut 19.

Namun berbeda dengan PKPI, Bawaslu memutuskan menolak permohonan PKPI karena dinilai PKPI gagal memenuhi persyaratan jumlah keanggotaan dan kepengurusan pada 73 kabupaten dan kota yang tersebar di empat provinsi, yakni Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Papua.

Permohonan ditolak Bawaslu, lantas PKPI mengajukan gugatan ke PTUN DKI Jakarta. PTUN mengabulkan gugatan PKPI pada sidang yang dibacakan tanggal 11 April 2018. Atas dasar Putusan PTUN ini, KPU akhirnya menetapkan PKPI menjadi peserta Pemilu tahun 2019 dengan nomor urut 20. Sehingga total peserta Pemilu tahun 2019 sejumlah 20 (dua puluh) Parpol yang terdiri atas 16 (enam belas) Parpol nasional dan 4 (empat) Partai lokal aceh.

Mencermati praktek Pemilu di tahun 2014 sebelumnya, tiga hari setelah Parpol ditetapkan KPU sebagai peserta pemilu, Parpol langsung melaksanakan kampanye untuk memperkenalkan dan mempengaruhi pemilih dengan menawarkan visi, misi, program dan kegiatan Parpol agar memilihnya saat pemungutan suara.

Namun, hal serupa tidak dapat dilakukan Parpol untuk pelaksanaan Pemilu tahun 2019. Terdapat perbedaan jangka waktu setelah Parpol ditetapkan dan waktu yang diperbolehkan untuk Parpol melaksanakan kampanye. Jedah waktu yang cukup lama sejak Parpol ditetapkan sebagai peserta Pemilu dengan waktu pelaksanaan kampanye. Dalam pelaksanaan Pemilu 2014, tiga hari setelah ditetapkan KPU Parpol langsung melaksanakan kampanye. Berbeda dengan pelaksanaan Pemilu tahun 2019, Parpol melangsungkan kampanye setelah 7 bulan sejak ditetapkan yakni pada tanggal 23 September 2018 sampai dengan 13 April 2019.

Urain lebih lanjut, dapat di download dalam file PDF berikut ini :

[sdm_download id=”695″ fancy=”0″]
[sdm_download_counter id=”695″]

Peningkatan Partisipasi Pemilih Di Daerah Bencana

224 Views

Belum usai duka bencana gempa bumi di Lombok-NTB, menyusul lagi bencana alam di Provinsi Sulteng, berupa gempa bumi, tsunami dan liquifaksi yang terjadi di Kota Palu, Kabupaten Sigi, Donggala dan Parigi Moutong. Bahkan di penghujung tahun 2018, kembali kita dikejutkan dengan bencana tsunami di wilayah Selat Sunda. Korban jiwa berjatuhan, kehilangan keluarga dan harta benda terus saja kita alami.

Gerak cepat penanggulangan bencana para pihak terus mengalir, terutama Pemerintah, Lembaga kemanusian, dan Perusahaan dalam memberikan dukungan dan bantuan kepada korban bencana. Paling tidak, pertolongan pertama di masa-masa krisis pasca bencana. Kehadiran dan empati sosial terus mengalir, seraya memaknai kejadian tersebut sebagai cobaan sekaligus azab kepada makhluk di muka bumi.

Dari rentetan kejadian bencana alam ini, telah mendorong rasa kesetia-kawanan sosial dan empati masyarakat, untuk turut-serta membantu. Sekat-sekat golongan tidak nampak, menjadi rasa persaudaraan sesama umat manusia. Dan, itu terlihat jelas di masa tanggap darurat dan rehabilitasi wilayah bencana. Banyak pihak dengan keinginan sendiri, memberikan bantuan tenaga dan materi untuk meringankan derita korban, terpatri dalam hati keperihan dan duka korban, yang berusaha diringankan.

Itulah sekilas catatan di penghujung tahun 2018 yang tidak akan pernah terlupakan, terkhusus mereka yang menjadi korban dan relawan di wilayah bencana. Selanjutnya, menjalani kehidupan di tahun baru, tahun 2019, lekat diingatan kita adalah tahun politik untuk pelaksanaan Pemilihan Umum (Pemilu) serentak untuk memilih calon Presiden dan Wakil Presiden beserta calon anggota legislatif (DPR RI, DPD RI, DPRD Provinsi dan DPRD Kab/Kota).

Penyelenggara Pemilu dan Pemerintah telah menetapkan pelaksanaan hari pemungutan suara pada tanggal 17 April 2019. Termasuk di wilayah yang terdampak bencana tidak ada perubahan hari pemungutan suara, tetap pada hari tersebut. Walaupun beberapa kebijakan strategis lantas ditetapkan untuk mengantisipasi kondisi-kondisi yang tidak normal ini. Misalnya dalam penetapan Daftar Pemilih Tetap (DPT), sebagai akibat banyak warga yang meninggal dunia atau status hilang. Ditambah lagi dengan eksodus pengungsi ke luar daerah bencana sampai mengungsi ke wilayah Provinsi sekitar.

Masalah lain, relokasi pengungsi pada hunian-hunian sementara/tetap yang dapat mempengaruhi kebijakan penetapan Daerah Pemilihan (Dapil) dan penempatan Tempat Pemungutan Suara (TPS). Jika relokasi pada wilayah Dapil yang sama tentu besar-kemungkinan tidak ada permasalahan, tinggal penempatan TPS di wilayah relokasi tersebut. Namun yang perlu diantisipasi adalah, jika relokasi masyarakat ditempatkan pada wilayah yang berada di luar Dapil alamat Pemilih sebelumnya, bercampur baur dengan Pemilih yang lebih dahulu bermukim disitu. Mereka terancam tidak dapat menggunakan hak suaranya.

Perlindungan Hak Konstitusional Pemilih

Warga negara Indonesia yang telah memenuhi syarat dan tercatat sebagai Pemilih, memiliki hak konstitusional untuk menyalurkan hak suaranya dalam Pemilu 2019. Pemerintah dan Penyelenggara Pemilu harus memberikan dukungan dan perlindungan agar hak konstitusional Pemilih tadi dapat tersalurkan dengan baik dan dilaksanakan tanpa diskriminatif. Termasuk Pemilih yang menjadi korban bencana alam, yang mereka saat ini di relokasi dan menempati hunian-hunian sementara bantuan para pihak.

Bencana adalah ketetapan sang Pencipta, tidak ada kekuatan yang dapat mencegah dan mengetahui kapan kedatangannya. Yang bisa dilakukan manusia hanyalah prediksi dan berdoa agar terhindar dari mala-petaka bencana yang selalu mengintai. Dan, Pemilu sebagai kontestasi dalam kehidupan bernegara juga harus terlaksana, dan dilaksanakan di seluruh wilayah Indonesia termasuk di NTB, Sulteng, dan wilayah sekitar Selat Sunda yang mengalami bencana.

Secara praktis tidak mudah menghilangkan trauma masyarakat yang menjadi korban bencana. Awalnya mereka memiliki keluarga, lantas kehilangan anggota keluarga. Awalnya mereka memiliki tempat tinggal yang nyaman, lantas menempati hunian-hunian sederhana. Awalnya mereka memiliki pekerjaan, lantas habis terlibas bencana.

Tetapi dengan pendekatan dan metode yang tepat, pemulihan psikologi dan semangat untuk bangkit perlu terus digelorakan dan diupayakan oleh semua pihak. Termasuk dalam hal ini, disela-sela pemulihan sosial agar dititipkan informasi Pemilu, bahwa kita akan menyelenggarakan pesta demokrasi yang hanya dilaksanakan setiap 5 (lima) tahun sekali yakni Pemilu serentak tahun 2019. Dengan pendekatan dan metode yang tepat, disela-sela aktifitas pemulihan dan semangat untuk bangkit, akan muncul kesadaran untuk bersama-sama menyukseskan dan berpartisipasi dalam pelaksanaan pesta demokrasi ini.

Perlu kesadaran dan semangat terus-menerus, bahwa suara milik Pemilih sangat berharga dan menentukan tampuk kepemimpinan nasional dan daerah mendatang. Kita menginginkan lahir Pemimpin yang berintegritas dan berlaku adil dalam memimpin, Pemimpin yang berjuang untuk keadilan dan kesejahteraan masyarakat. Dan, semua itu dapat tercapai dengan partisipasi masyarakat datang ke TPS untuk menyalurkan hak suaranya, memilih calon terbaik yang telah ditetapkan sebagai peserta Pemilu. Dengan diikuti kesadaran mendukung proses Pemilu yang jujur dan adil, mencegah segala bentuk pelanggaran, dan melaporkan kepada pihak berwenang untuk penindakan atas pelanggaran Pemilu.

Upaya ini terkait dengan perlindungan hak konstitusional Pemilih sebagai bagian dari Hak Asasi Manusia (HAM), yakni hak yang mutlak dimiliki oleh setiap manusia semata-mata karena Ia manusia yang bermartabat, sekalipun setiap orang terlahir dengan warna kulit, jenis kelamin, budaya, dan bahasa yang berbeda-beda. Hak ini tidak boleh dilanggar, dicabut, atau dikurangi. Hak ini adalah hak-hak yang diberikan langsung oleh Tuhan sebagai hak kodrati kepada setiap manusia.

Negara dalam menjalankan tugasnya harus melindungi hak asasi dari setiap warga negara. Produk hukum yang dibuat oleh negara dalam menjalankan tugasnya juga harus melindungi dan menjamin penegakannya. Dengan demikian, setiap warga negara Indonesia yang telah memenuhi syarat sebagai Pemilih harus terfasilitasi dengan baik untuk menyalurkan hak pilihnya. Dan, Penyelenggara Pemilu bersama Pemerintah harus memberikan jaminan perlindungan agar hak pilih warga negara itu dapat tersalurkan dengan adil tanpa diskriminasi.

Strategi Perlindungan

Esensi Pemilu di negara demokrasi adalah mendorong dan melindungi partisipasi seluruh lapisan masyarakat, dimulai dengan jaminan kebebasan dalam menggunakan hak pilih secara demokratis. Maka dari itu, Pemerintah dan Penyelenggara Pemilu baik KPU maupun Bawaslu dituntut untuk pro-aktif dalam mengidentifikasi dan memantau hambatan masyarakat untuk menggunakan hak pilihnya.

Dengan kompleksitas masalah yang dihadapi oleh masyarakat di wilayah bencana, terkhusus di lokasi hunian-hunian sementara/tetap, Penyelenggara Pemilu perlu merumuskan kebijakan untuk mengatasi masalah ini dalam jangka waktu yang tidak terlalu lama, khususnya memudahkan Pemilih untuk menggunakan hak politiknya dalam Pemilu tahun 2019.

Bentuk kebijakan tersebut, Pertama, sinkronisasi data kependudukan. Pasca bencana, banyak masyarakat yang tidak ingin lagi bermukim di daerah rawan bencana utamanya rawan liquifaksi berdasarkan data Pemerintah. Mereka lantas mencari tempat hunian baru yang lebih aman dari bencana, misalnya aman dari bencana tsunami dan liquifaksi tentunya. Perpindahan masyarakat ini, dapat mengubah data kependudukan, selanjutnya dapat mempengaruhi akurasi DPT yang telah ditetapkan sebelumnya.

Di samping itu, ada juga masyarakat yang ingin menjadi penduduk di wilayah bencana yang secara faktual wilayah tersebut menjadi tempat terjadinya bencana, liquifaksi. Motivasinya pragmatis, mengejar bantuan kemanusian yang diperuntukkan bagi masyarakat korban bencana liquifaksi, misalnya di Petobo (Palu), dan Jono Oge (Sigi). Ini perlu dicegah.

Sehingga, Pemerintah yang mengelola data kependudukan perlu selektif mengambil langkah dan kebijakan. Perlu dipertimbangkan, agar elemen data kependudukan masyarakat di wilayah terdampak langsung bencana agar tidak diubah data alamatnya (Misal, dari atau ke alamat Petobo). Elemen data lainnya dapat saja berubah, tetapi elemen data alamat untuk dipertimbangkan, tidak diubah sampai dengan selesai tahapan Pemilu tahun 2019. Sebab jika banyak penduduk yang elemen data kependudukan yakni alamat berubah dapat mengubah kebijakan penetapan Dapil dan penempatan TPS nantinya.

Kedua, penempatan TPS di sekitar wilayah hunian. Pemerintah Daerah telah menetapkan kebijakan untuk masyarakat terdampak langsung bencana di relokasi ke wilayah-wilayah yang relatif aman. Tujuannya, untuk memudahkan kontrol, koordinasi dan penyaluran bantuan kemanusian.

Penyelenggara Pemilu dalam penempatan TPS di wilayah bencana tentu harus memperhatikan domisili sesuai identitas kependuduk masyarakat yang bermukim di hunian-hunian sementara/tetap itu. Artinya, sangat memungkinkan kebijakan khusus berdasarkan data yang akurat untuk diambil langkah penambahan TPS-TPS di wilayah relokasi pengungsi tadi. Yang perlu diperhatikan adalah kesesuaian Dapil dengan penempatan jumlah TPS yang akan dibangun.

Sekali lagi, semua berawal dari ketersediaan data akurat. Masyarakat yang menempati wilayah-wilayah pengungsi (relokasi) harus dipastikan keberadaannya, Ia sebelumnya tercatat di alamat mana atau TPS mana ?, untuk diambil langkah kebijakan penempatan TPS baru. Termasuk, antisipasi bagaimana penempatan TPS di sekitar hunian sementara/tetap pengungsi yang lokasinya berada di luar dari wilayah Dapil.

Ketiga, maksimalisasi kegiatan sosialisasi urgensi Pemilu. Secara psikologis, masyarakat di wilayah bencana tidak mudah menghilangkan trauma dan ketakutan. Tetapi penyelenggaraan Pemilu juga tidak bisa menunggu, Pemilu tetap dilaksanakan sesuai tahapan. Sehingga stekeholders Pemilu perlu mengambil peran strategis dalam sosialisasi kepada masyarakat di wilayah hunian-hunian sementara/tetap pengungsi.

Metode yang digunakan tidak serta merta radikal, langsung masuk menjelaskan urgensi Pemilu. Perlu ada pendekatan emosional-kultural, yang dapat diterima oleh masyarakat pengungsi tadi. Ketika sudah tersentuh kesadarannya, Penyelenggara Pemilu dan/atau Pemerintah sudah diterima dengan baik, selanjutnya pendataan dan sosialisasi urgensi Pemilu dapat dilakukan dengan berbagai macam pola-metode. Upaya-upaya konkrit senantiasa perlu dilakukan oleh Penyelenggara Pemilu, sebab tidak ada jaminan hasil Pemilu ini tidak ada yang mempersoalkan, apalagi jika selisih perolehan suara tipis, maka cenderung akan di gugat di Mahkamah Konstitusi. Oleh karena itu, Penyelenggara Pemilu dan Pemerintah perlu terus mengagendakan program dan kegiatan yang dikhususkan melindungi hak konstitusional Pemilih di wilayah bencana, yang dapat beriringan dengan upaya meningkatkan partisipasi Pemilih sebagai ukuran proses keberhasilan Pemilu.


Catatan : Opini, pernah dimuat di Harian Sulteng Raya, Edisi 3 Januari 2019

[sdm_download id=”671″ fancy=”0″] [sdm_download_counter id=”671″]

Tidak Berlaku Lagi: Larangan Ketua RT dan RW Jadi Tim Sukses

4.120 Views

Pertanyaan :

Apakah bisa Ketua Rukun Tetangga (RT) dan/atau Rukun Warga (RW) terlibat dalam politik praktis dukung-mendukung peserta Pemilu tahun 2019. Misalnya menjadi tim sukses partai politik atau menjadi tim sukses dari calon anggota legislatif ?

Jawab :

Secara normatif, bagian unsur penyelenggara urusan pemerintahan yang mengurusi aspek pelayanan dasar masyarakat harus dapat bekerja secara profesional dan netral-tidak terlibat dalam politik praktis dukung-mendukung peserta Pemilu. Hakikat Instansi penyelenggara urusan pemerintahan memperoleh biaya/uang operasional yang bersumber dari keuangan negara (baik APBN maupun APBD) untuk peruntukan memberi pelayanan publik secara adil dan merata, tanpa tersekat oleh kepentingan sektoral dan golongan.

Ketua Rukun Tetangga (RT) dan/atau Rukun Warga (RW) sebagai bagian dari unsur penyelenggara urusan kemasyarakatan yang mendapatkan uang honor/operasional dari keuangan negara juga harus netral dan tidak terjebak dalam kegiatan politik praktis.

Secara konkrit jawaban atas pertanyaan di atas adalah, Ketua RT dan/atau RW dilarang menjadi tim sukses dalam pelaksanaan Pemilu Legislatif dan Presiden tahun 2019. Jika tetap ingin menjadi tim sukses, maka yang bersangkutan harus mengundurkan diri dari jabatannya.

Selanjutnya ketentuan dalam Pasal 6 ayat (2) Perbawaslu Nomor 28 tahun 2018 tentang Pengawasan Kampanye Pemilu juga mengatur, bahwa Tim Pelaksana dalam kampanye dilarang mengikut-sertakan rukun tetangga dan rukun warga atau sebutan lain. Pelanggaran atas ketentuan ini dapat dikenai sanksi pidana Pemilu.

Secara umum, dapat dimaknai bahwa Ketua RT dan/atau RW dilarang terlibat dalam kegiatan politik praktis yakni menjadi Tim Pelaksana, Tim Kampanye, dan Peserta Kampanye.

Adapun penindakan atas pelanggaran larangan ini, secara teknis akan dilakukan oleh jajaran Pengawas Pemilu (Bawaslu) sesuai dengan ketentuan dalam Perbawaslu Nomor 7 Tahun 2018 tentang Laporan dan Temuan Pelanggaran Pemilu.

Catatan Disclaimer :
Peraturan Pemilu sangat dinamis, diantaranya larangan Ketua RT dan RW sebagai Tim Sukses, saat ini tidak berlaku lagi, sesuai dengan Perbawaslu Nomor 33 tahun 2018.

Penghapusan ketentuan larangan Ketua RT dan RW jadi Tim Sukses

Panwascam Berstatus Anggota BPD, Pelanggaran UU Desa

872 Views

Apakah bisa anggota BPD masuk dan ditetapkan sebagai Pengawas Pemilu yakni sebagai Anggota Panwaslu Kecamatan dan Panwaslu Kelurahan/Desa, sebagai penyelenggara Pemilu ad hoc tanpa harus menyerahkan surat pengunduran diri dari anggota BPD?

Secara normatif syarat menjadi anggota Panwaslu Kecamatan dan Panwaslu Kelurahan/Desa (ad hoc) sama dengan syarat menjadi anggota Bawaslu (permanen), tidak ada perbedaan norma dan dirumuskan dalam satu tarikan ketentuan, sebagaimana disebutkan dalam Pasal 117 ayat (1) UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, sebagai berikut :


Selengkapnya dapat dibaca dan downloads pada FILE PDF di sini.