Mati Lampu

404 Views

“Aah, lampu padam lagi!” Keluh Iwan yang sedang nonton TV. “Padahal lagi asyik-asyiknya menonton ini”.
Ardi masuk rumah dari teras depan, “Apa, lampu padam? Padahal saya harus menyelesaikan tugas kampusku, dan tugas itu besok harus dikumpul. Aduh bagaimana ini!?”
“Yaa, sudah kalau sudah lampu padam, mau apa lagi. Paling besok baru nyala”. Kata Kartini, Ibu mereka.
“Tapi Ibu, tugas kampusku itu sangat penting dan mau dikumpulkan besok, apa kata Dosen nantinya saat saya tidak mengerjakan tugas yang diberikan !”
“Siapa suruh tidak diketik memang, saat menyala lampu tadi”.
“Iya saya kira lampu padam nanti sore, ini-kan masih pagi, lampu sudah padam.
Lampu yang dimaksud di sini adalah aliran energi listrik dari PLN. Lampu yang sangat dibutuhkan oleh masyarakat. Kejadian dalam cerita ini hanya merupakan gambaran cerita yang menimpah sebuah keluarga kecil ketika mengalami lampu padam.
* * *

Listrik dalam era sekarang, sudah menjadi kebutuhan utama masyarakat. Bukan saja di perkotaan tetapi kebutuhan akan listrik juga dibutuhkan di daerah pedesaan. Kebutuhan masyarakat dalam meningkatkan pendapatan dan memudahkan pekerjaan banyak yang menggunakan tenaga listrik. Kini kebutuhan listrik telah melintasi batas strata sosial masyarakat.

Perkembangan teknologi telah melahirkan alat-alat produksi yang membantu manusia yang sebahagian besar menggunakan energi listrik. Realitas tersebut menuntut dipenuhinya listrik dalam setiap waktu dan wilayah masyarakat. Mulai dari alat-alat rumah tangga, sampai alat-alat produksi di perusahaan semuanya membutuhkan energi listrik.

Pemadaman listrik pada hakikatnya mematikan potensi kreatifitas masyarakat, yang nantinya akan berpengaruh pada pendapatan masyarakat. Dari padamnya listrik, berbagai kegiatan menjadi terhambat bahkan tidak berfungsi. Pihak yang paling bertanggung jawab dengan ketersediaan energi listrik adalah Perusahaan Listrik Negara (PLN) bersama Pemerintah Daerah (Pemda). PLN sebagai pemegang monopoli ketersediaan energi listik dan Pemda yang bekerja dan bertanggungjawab untuk mengatasi persoalan sosial masyarakatnya.

Pemadaman listrik di daerah-daerah hampir terjadi setiap saat. Kenyataan itu bukan tidak memperoleh protes dari masyarakat, tetapi karena kejenuhan dan kesibukan mengurus pekerjaan lain, sehingga protes masyarakat hanya berlangsung secara sporadis dan tidak sistematis.

Kalau ingin melihat potensi daerah-daerah, sangat luar biasa besarnya. Pendapatan asli daerah selalu mengalami peningkatan, dan celakanya alokasi hasil pendapatan itu hanya digunakan untuk proyek-proyek yang tidak bersentuhan langsung pada kepentingan masyarakat. Belum lagi masalah korupsi yang menjamur di birokrasi Pemda ini, semakin menambah suram upaya mensejahterakan masyarakat.

Masyarakat selalu di tuntut untuk membayar pajak tepat waktu, baik pajak PBB, pajak kendaraan bermotor, dan pajak pertambahan nilai barang. Jumlah pendapatan dari pajak itu bukan tidak sedikit, lalu ditambah lagi dengan sumber-sumber pendapatan asli daerah yang lain. Maka semakin menambah tinggi jumlah pendapatan daerah. Katanya pajak dan pendapatan daerah yang lain itu akan digunakan untuk kepentingan umum. Tetapi kenyataannya, kepentingan umum yang mana di maksud?. Apakah kepentingan para pejabat itu dengan keluarganya?

Masyarakat ketika lambat membayar pajak harus rela menerima denda. Kedisiplinan rakyat selalu dituntut, namun disisi lain kebobrokan dan budaya korupsi meraja lela di kalangan birokrasi. Semakin hari, semakin terlihat kesenjangan sosial antara pejabat dengan masyarakat. Pejabat tidak lagi menyatu, terjadi batas pemisah serta kecemburuan sosial yang bisa memancing perpecahan.

Hal ini bukannya tidak percaya lagi kepada elit politik di daerah, tetapi minimal ini bisa membudayakan sikap “malu” dengan mau memperhatikan nasib rakyat dengan mengupayakan kesejahteraan. Setidaknya tersedia energi listrik yang memadai. Kalau alokasi dana untuk penyediaan energi listrik saja tidak bisa, lalu mengapa proyek-proyek besar lain itu bisa dilakukan.

Apakah Pemda menutup mata atas hal ini? Atau pura-pura dan tidak mau tahu, asal buat program dan kegiatan yang bisa menguntungkan secara pragmatis?

Setidaknya ini menjadi kenyataan pahit di daerah ini, yang sudah lama berdiri dengan limpahan sumber daya alam berlimpah tetapi dalam menyiapkan energi listrik saja tidak mampu. Sungguh sangat ironis sekali. Lagi-lagi rakyat kecil yang harus menjadi korban dan mendapat keuntungan adalah pejabat elit yang kehilangan empati dan kepekaan sosial.
* * *

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *