Program Deradikalisasi Tidak Berarti, Bila Keadilan Timpang

339 Views

PaluJati Centre. Upaya program deradikalisasi tidak akan berarti apa-apa dalam suasana keadilan yang timpang, jadi salah satu variabel yang melahirkan radikalisme itu ketidakadilan. Kalau ada ketidakadilan, radikalisme itu akan muncul. Dia akan bertemu spirit agama yakni spirit Jihad, sebagai motivasi awal ketidakadilan.

Demikian pendapat Humas Forum Umat Islam (FUI) Sulteng, Ari Fahry dalam diskusi keilmuan dengan tema, “Bayang-bayang Radikalisme di Tengah Pandemi Keberagaman” dilaksanakan Lembaga Studi dan Informasi Pendidikan (LSIP) bertempat di Kantor LSIP, Kota Palu, Sabtu (4/7).

Dia mengatakan, radikalisme tidak bisa lewat penetrasi ideologi, bantuan usaha, lapangan kerja kalau ada ketidakadilan yang timpang.

“Maka bereskan dulu ketidakadilan dalam masyarakat, maka radikalisme tersebut akan hilang,” paparnya.

Ia menyebutkan, menyoal radikalisme kerap bersisian dengan pembahasan terorisme. Baiknya melihat definisi radikal, untuk memberikan batasan dan gambaran lengkap tentang radikalisme.

Namun kata dia, UU Tindak Pidana Terorisme sendiri sebenarnya tidak memberikan definisi jelas tentang radikalisme. Maka dari itulah Menkopolhukam Mahfud MD memberikan batasan tentang  definisi radikalisme, mengacu pada UU Terorisme, bahwa definisi radikalisme adalah tindakan melawan hukum untuk mengubah sistim. Bukan secara gradual melainkan secara radikal dengan cara kekerasan.

“Terminalogi radikal cenderung bersifat sangat politis ketika diucapkan penguasa,” ujarnya.

Ia mengatakan, Umat Islam merupakan korban telak dari narasi radikalisme di Indonesia. Label  teroris, radikal, kerap juga digunakan secara tidak adil. Padahal aksi-aksi serupa juga dilakukan kelompok-kelompok di luar Islam.

Untuk itu kata dia, perlu mendudukkan narasi radikalisme ini pada tempat yang netral, agar umat Islam tidak selalu menjadi yang tertuduh soal radikalisme.

“Memutus mata rantai radikalisme perlu dilakukan dengan tegas jujur dan berkeadilan,” imbuhnya.

Ari mengakui, bahwa dalam tubuh umat Islam masih kerap terdapat sikap saling curiga, maka perlu digalakkan diskusi lintas ormas dan gerakan untuk saling mengenal.

Moderasi antar ormas ini dapat diambil alih oleh Majelis Ulama Indonesia, sebagai wadah berhimpun seluruh Ormas.

“Maka dengan begitu juga harus terbuka. Dia tidak boleh eksklusif membatasi anggotanya hanya berputar pada satu dua ormas saja. Lembaga tersebut harus benar-benar representative dari lembaga-lembaga Islam yang ada di Indonesia,” imbuhnya lagi.

Umat Islam dapat memberikan energi yang besar pada bangsa ini. Bila tidak berputar pada hal-hal yang remeh temeh. Kaum muslimin bisa memikirkan hal-hal strategis dalam pemberdayaan umat. Kita punya potensi dana zakat luar biasa bila dikelola dengan baik.

Sementara Direktur LSIP 2009-2012, Ruslan Husen, dalam paparannya mengatakan, radikalisme ada di setiap agama dan kelompok yang melintasi batas-batas negara.

“Problemnya ketika radikalisme selalu disematkan pada pihak atau kelompok Islam saja, padahal radikalisme ada di dalam umat non Islam juga,” kata Ketua Bawaslu Sulteng tersebut.

Ia mengatakan, bahwa tatanan kehidupan berbangsa dan bernegara sejatinya menerapkan prinsip negara Islam. Tapi tafsiran Negara Islam yang disebut patut itu, yang mana. Ini masih menjadi perdebatan, apakah zaman Khalifah, atau kepemimpinan sesudahnya.

“Dari sisi historisnya terdapat praktiknya berbeda yang disesuaikan dengan lokalitas wilayah masing-masing negara,” ujarnya.

Ia menyebutkan, penerapan prinsip dan nilai ajaran Islam serta pengakuan keberagaman dalam kehidupan bernegara, disesuaikan dengan konteks lokal dan wilayah.

Itulah kemudian kata dia, nilai kearifan dan toleransi menganulir, mengakomodir keberagaman tersebut yang dituangkan dalam peraturan hukum dasar. Konstitusi mengakomodir hal tersebut, dari sisi hakiki aslinya maka lahir negara Indonesia.

Jika ada yang tidak disetujui, silahkan menempuh cara konstitusional dalam bentuk pengujian peraturan undang-undang atau peraturan teknisnya.

“Terhadap hukum dasar konstitusi, silahkan rebut kekuasaan eksekutif, legislatif lewat cara-cara konstitusional untuk merubah peraturan, lewat cara yang sah melalui kontestasi pemilihan umum.

Sebab otoritas untuk melakukan perubahan terhadap aturan yang menjadi pegangan dalam bernegara dengan cara legal, dilakukan pihak eksekutif dan legislatif,” katanya.

Sementara Ketua ICMI Muda Sulteng Itho Murtadha, mengatakan, ada tiga hal besar yang melingkup umat Islam sekarang, yakni pertama problem Islam di hadapan modernisme (sains dan teknologi), Islam nampak tak ada aktif dengan kemajuan teknologi.

Kemudian kedua kata dia, Relasi Islam dengan negara dan dan relasi Islam dengan penganut agama lain. (Multikulturalisme) dan ketiga Islam sebagai basis pembebasan sosial.

Dia mengatakan, pasca orde baru kehadiran kelompok-kelompok radikal merupakan konsekuensi logis dari terbukanya kran demokrasi.

Beberapa faktor yang mendorong lahirnya radikalisme berbasis agama, tekstualisme, agama tak mendapat pemaknaan ruang sosial, agama adalah masa lampau.

Sebagai akibat dari bergelanyutnya cara pandang tekstualis, itu juga membentuk atas hidup. Hidup di dunia dimaknai sebagai kesia-siaan belaka.

Selanjutnya identifikasi musuh, selama ini yang diidentifikasi sebagai musuh adalah penganut agama di luar Islam.

Mimpi negara Islam, sebagian besar gerakan muncul sebagai sebuah ikhtiar untuk memperjuangkan berdirinya negara Islam atau pemerintah Islam. Baik itu dalam skala negara/teritori tertentu ataupun Internasional.

Sumber: diolah dari media.alkhairaat.id/ (Ikram)

Gelar Diskusi Keilmuan, LSIP Cantol Tema Radikalisme

309 Views

Palu-Jati Centre.  Lembaga Studi dan Informasi Pendidikan (LSIP) menggelar seri diskusi keilmuan secara terbatas pada Senin,  04 Juli 2020 di jalan Jati kelurahan Nunu Palu.

Kegiatan yang bertema Bayang-Bayang Radikalisme di Tengah Pandemik Keberagaman itu berjalan khidmad. Turut hadir sebagai narasumber Ketua ICMI Muda Sulteng Itho Murthada,  Mantan Direktur LSIP Ruslan Husen, dan Perwakilan dari Forum Umat Islam (FUI) Ari Fahri.

Bersamaan dengan itu, hadir sebagai peserta berbagai perwakilan pimpinan ormas, akademisi, wartawan, dan aktivisi muslim.

Menurut Direktur LSIP Bambang Rinaldi yang menghantar diskusi selaku moderator, bahwa tema radikalisme dipilih  beranjak dari kegelisihan dalam menyikapi isu radikalisme ini di masyarakat. Dipadukan dengan inisiatif melahirkan karya tulis sebagai program lembaga.

“Kami sengaja mengundang peserta khusus sebagai pembanding dan bertujuan memperkaya khazanah tulisan yang akan dibedah,” ungkap Bambang.

Kegiatan yang sengaja diadakan secara terbatas tersebut,  bertujuan untuk membedah pemikiran narasumber untuk memperoleh penguatan dan masukan.

“Kegiatan ini sengaja kami buat secara terbatas yang bertujuan membedah tulisan radikalisme yang ditulis oleh Mantan Ketua LSIP yang kini duduk Ketua Bawaslu Provinsi Sulawesi Tengah Ruslan Husen,” terang Bambang.

Bambang menyampaikan bahwa atas antusias masyarakat, sehingga ke depan kegiatan diskusi keilmuan akan kami pikirkan untuk menyiapkan perangkat daring. Agar masyarakat juga dapat mengetahui dan memberikan sumbangsih pemikiran atas topik yang dibahas.

“Kami mohon maaf, atas keterbatasan panitia kali ini, yang belum bisa mengakomodir harapan untuk diskusi dibuka secara daring. Tetapi dalam seri diskusi berikutnya akan kami pikirkan untuk membuka sarana daring,”  tutupnya.

FUI; Umat Islam Terpukul dengan Sematan Radikalisme

379 Views

Palu-Jati Centre.  Kegiatan Diskusi seri pertama keilmuan yang diselenggarakan Lembaga Studi dan Informasi Pendidikan (LSIP) pada Sabtu, 04 Juli 2020 di jalan Jati kelurahan Nunu. Humas Forum Umat Islam Sulteng Ari Fahri salah satu narasumber menyampaikan bahwa umat Islam sangat terpukul dengan sematan radikalisme.

“Umat Islam sangat terpukul dengan sematan radikalisme, karena istilah teroris, radikal, kerap juga digunakan secara tidak adil. Padahal, aksi-aksi serupa juga dilakukan oleh kelompok-kelompok di luar Islam. Perlu untuk mendudukan narasi radikalisme ini pada tempat yang netral, agar umat Islam tidak selalu menjadi tertuduh soal radikalisme,”  ungkap Ari.

Lebih lanjut Ari menyampaikan  bahwa sangat disayangkan bahwa narasi radikalisme di Indonesia selalu disematkan dengan umat Islam, padahal menurutnya masih ada contoh radikalisme yang pernah terjadi di agama dan kelompok lain.

“Kita seperti malu-malu untuk menyampaikan bahwa ada contoh radikalisme Kristen, atau radikalisme Budha yang perlu diwaspadai. Kita khawatir, menyampaikan contoh-contoh itu karena nanti disebut sebagai kelompok intoleran,” tegas Ari.

Di samping itu, Ia menyampaikan bahwa umat Islam sudah seharusnya memberikan energi yang besar pada bangsa ini, tidak perlu berputar-putar pada hal-hal yang remeh-temeh.

“Kaum muslimin bisa memikirkan hal-hal strategis dalam pemberdayaan umat, kita punya dana zakat yang potensinya luar biasa bila dikelola dengan baik. Dari syariat zakat saja, betapa masyarakat Indonesia dapat merasakan rahmatan lil alaminnya Islam,” tuturnya.

Hadir juga sebagai narasumber mantan direktur LSIP Ruslan Husen, dan Ketua ICMI Muda Sulteng Itho Murtadha.

Bayang-Bayang Radikalisme di Tengah Pandemi Keberagaman

418 Views

Bayang-Bayang Radikalisme di Tengah Pandemi Keberagaman
Oleh : Ruslan Husen


Sepanjang sejarah peradaban umat manusia yang berlangsung berabad-abad lamanya, pemikiran dan aliran radikal muncul dengan berbagai bentuk yang tidak terbatas pada kelompok dan wilayah tertentu. Misalnya dalam tubuh umat Islam, terdapat pemikiran dan aliran radikal yang tidak menerima kemajemukan sebagai kenyataan perbedaan pandangan sesama umat Islam, apalagi perbedaan antar umat beragama. Hingga memaksakan pandangan dan kehendak menjurus pada tindakan kekerasan dan menumpahkan darah.

Bentuk pemikiran dan aliran radikal seperti itu, dalam sejarah tidak hanya terjadi di tubuh umat Islam, tetapi di tubuh umat Kristen, Hindu, dan Budha juga pernah terjadi. Hanya saja pola kekerasan di internal penganut agama itu telah selesai, mereka cepat merefleksi dan mengatur posisi mencegah konflik berkepanjangan yang merugikan.

Persoalannya, saat keradikalan pemikiran seseorang atau kelompok diikuti tindakan ekstrim berujung kekerasan dan intimidasi hingga memantik konflik sosial. Mereka cenderung menjadikan lawan terhadap orang atau kelompok yang memiliki pemahaman dan aliran keyakinan berbeda. Sebab menganggap pemikiran yang dipahaminya paling benar, sementara pemikiran berbeda tidak benar dan sesat, sehingga harus diluruskan dengan berbagai cara, kendati dengan cara kekerasan, intimidasi, bahkan menumpahkan darah.

Jika potensi pemikiran dan aliran radikal tidak dibendung secara tepat, maka kekerasan dan konflik terbuka dapat terjadi. Konflik antar agama atau konflik sesama internal umat beragama, konflik suku, dan konflik aliran kepercayaan dapat terbawa apalagi beriringan dengan situasi ekonomi dan politik. Ketika konflik, maka semua pihak akan dirugikan, kehidupan ekonomi macet, kehidupan sosial terganggu, sarana dan prasarana publik rusak, bahkan konflik berkepanjangan akan mengganggu stabilitas nasional hingga negara berpotensi terpecah bahkan hancur.

Sehingga perlu antisipasi semua pihak mencegah penyebaran pemahaman radikal yang menjurus pada tindakan kekerasan. Dalam tulisan ini akan diurai singkat, bagaimana cikal bakal sumber radikalisme? Bagaimana tuntunan sikap dan perilaku toleransi dalam negara bangsa? Terakhir, langkah strategis yang perlu dilakukan dalam penanganan potensi dan tindakan radikalisme?

Kekerasan; Buah Radikalisme

Radikalisme berasal dari istilah bahasa Latin, radix yang berarti akar, pangkal, bagian bawah, atau bisa juga berarti menyeluruh, habis-habisan dan amat keras menuntut perubahan.[1] Dalam Kamus Bahasa Indonesia[2] radikalisme diartikan sebagai paham atau aliran yang radikal dalam politik; paham atau aliran yang menginginkan perubahan dan pembaharuan sosial dengan cara drastis bahkan kekerasan.

Beranjak dari defenisi tersebut maka dipastikan Nabi Musa disebut radikalis oleh penguasa Fir’aun dan Nabi Muhammad dituduh radikalis oleh kaum Qurais. Dalam perkembangan saat ini, radikalisme cenderung berkonotasi negatif dan dipahami sebagai suatu pandangan, paham, dan gerakan menolak secara menyeluruh tatanan, tertib sosial, dan paham yang berbeda dengan cara perubahan atau perombakan secara besar-besaran melalui jalan kekerasan. Motifnya beragam baik sosial, politik, budaya maupun agama, yang ditandai tindakan-tindakan keras, ekstrim, dan anarkis sebagai wujud penolakan terhadap gejala yang dihadapi.

Fenomena kekerasan sebagai buah perbedaan pemahaman dari aliran keyakinan radikalisme dapat ditemui dari konflik berkepanjangan yang hingga hari ini terus terjadi, terutama di belahan dunia timur tengah. Banyak motif dan kepentingan negara besar terlibat turut menambah runyam peta konflik timur tengah. Rembesan konflik itu, dihubungkan dengan fenomena kekerasan yang terjadi di tanah air, dapat dikatakan memiliki korelasi erat. Ketika timur tengah bergejolak perang, maka imbas pada ikutan perbedaan pemahaman yang tajam pada kalangan penganut aliran keyakinan di tanah air menjadi terbawa-bawa, bahkan ikut memancing potensi konflik lewat tuduhan menyesatkan.

Atas dasar kesamaan ideologi dan empati sesama manusia lantas memunculkan gerakan balas-dendam atau tindakan pembalasan, dengan sasaran kelompok yang mendukung atau sealiran dengan tertuduh pelaku ketidakadilan di wilayah perang timur tengah tadi. Dengan melakukan kekerasan pada rumah ibadah atau pada komunitas tertentu penganut agama dan keyakinan berbeda, hingga tindakan kekerasan dilabeli oleh pemerintah sebagai tindakan “teroris”. Selanjutnya, akibat tindakan aparat pengamanan terutama dari kepolisian yang mereka nilai represif, memunculkan sikap balik menyerang dan menganggap aparat kepolisian sebagai musuh. Hingga turut menjadi sasaran kekerasan berupa bom bunuh diri atau pembunuhan, tanpa melihat lagi apa agama dianut.

Bahkan belakangan aparat pemerintah juga menjadi sasaran tindakan kekerasan dan target pembunuhan, karena dianggap sebagai pihak bertanggungjawab atas penanganan kelompoknya yang mereka nilai refresif dan tidak adil. Pemerintah dengan segala sumber daya lantas melakukan tindakan menghambat laju perkembangan sel-sel kelompok radikal ini. Memetakan pola jaringan, dan mengambil tindakan yang perlu guna mengatasi perkembangan pemikiran dan dampaknya. Menggunakan sarana penegak hukum maupun sarana pencegahan dengan pelibatan kelompok masyarakat secara luas.

Pada posisi ini, pola sasaran balasan atau target sasaran kekerasan dari kelompok radikal mengalami perubahan. Jika sebelumnya, sasaran merupakan komunitas agama tertentu (sebutlah penganut Kristen), lantas berubah ke aset-aset dan kepentingan Pemerintah Amerika Serikat-karena dianggap sebagai pelaku pembunuhan massa masyarakat sipil di Palestina, Afganistan, dan Irak. Selanjutnya berbalik menyasar aparat kepolisian-karena dianggap melakukan pembelaan terhadap musuh-musuh mereka dan melakukan tindakan represif yang tidak adil melalui penangkapan dan proses hukum. Hingga terakhir sasaran mengarah kepada pejabat negara yang dituduh bertanggungjawab mengkoordinir tindakan represif terhadap golongan dan aktivitas mereka.

Demikian gambaran singkat fenomena kekerasan yang pernah terjadi di tanah air. Walaupun disadari, masih banyak perspektif argumentasi penyebab, pola tindakan, dan penanganan tindakan kekerasan. Paling tidak, ada pemikiran dan aliran keyakinan yang menjadi penyebab sekaligus sebagai legitimasi kekerasan dan pembunuhan akibat perbedaan. Pola ajaran dan rutinitas spiritual bisa saja mereka tampak lebih dari penganut agama lain, tampak sholeh (ahli ibadah) dengan rutinitas keagamaan yang ketat. Namun menyimpan ajaran sekaligus ajakan menentang pemikiran berbeda dari yang mereka anut dan yakini.

Kenyataan ini bukan baru dalam pergolakan sejarah Islam, memegang predikat ahli ibadah namun berani menumpahkan darah sesama muslim. Contoh, Imam Ali bin Abi Thalib harus meninggal dunia karena tubuhnya ditebas pedang beracun saat bangkit dari sujud shalat shubuh oleh seorang Khawarij bernama Abdurrahman bin Muljam. Apakah Ibnu Muljam seorang preman dan tidak mengenal agama? Tidak, Ia merupakan ahli ibadah dan dikenal shalat wajib tepat waktu, melakukan rutinitas puasa, shalat malam dan ibadah sunnah lainnya. Bahkan merupakan guru mengaji, yang pernah dikirim Khalifah Umar bin Khattab ke Mesir untuk melakukan pengajaran Alquran di sana. Sangat ironis, pembunuhan ini menurut kaum Khawarij anggap sebagai tangga untuk mendekatkan diri kepada Allah Swt melalui tetesan darah dari orang yang tertuduh menyimpang.

Padahal siapa Ali Bin Abi Thalib, orang yang telah terbunuh. Apakah Khawarij Ibnu Muljam mengetahuinya? Ali merupakan sepupu Rasulullah Saw dan juga mantunya, Ali menikah dengan Fathimah az-zahra (Anak Nabi Saw) yang melahirkan cucu kesayangan Nabi Saw-imam Al-Hasan  dan imam Husein. Ali juga merupakan sahabat sejati Nabi dalam mengarungi medan dakwah Islam yang penuh tantangan, halangan, dan rintangan.

Akibat pandangan ideologi sempit sekaligus dangkal, hanya menganggap pemikiran dan aliran pemikiran yang dianut benar, sehingga pemikiran berbeda dicap tidak benar, alias ”sesat”. Khawarij berani mengkafirkan Ali, menganggap sesat dan menyesatkan karena dianggap tindak berhukum dengan cara Allah Swt, hingga halal darahnya ditumpahkan, dan membunuhnya merupakan jihad menegakkan ajaran agama. Klaim kebenaran sepihak dengan ikutan tindakan kekerasan dan pembunuhan letak masalah pemikiran dan aliran ini. Penghormatan dan toleransi antar sesama umat manusia menjadi hilang akibat doktrin sempit dan memaksanakan kehendak.

Radikalisme ternyata memiliki akar ideologi di kalangan pengikutnya. Aksi kekerasan bahkan pembunuhan didasari pada pandangan dan keyakinan keagamaan yaitu tafsir teks Alquran dan Hadits maupun pendapat para tokoh yang menjadi panutan. Para pelaku radikalime selalu mengklaim bahwa upaya mereka merupakan aktualisasi ajaran jihad yang dikehendaki Islam. Menurut Wahid Institut dan Ma’arif Institut[3] bahwa beberapa karakteristik radikalisme Islam yaitu:

  1. Menghakimi orang yang tidak sepaham dengan pemikirannya;
  2. Mengatasnamakan agama bahkan Tuhan untuk menghukum kelompok yang memiliki keyakinan berbeda;
  3. Gerakan mengubah negara bangsa menjadi negara agama;
  4. Mengganti NKRI menjadi khilafah;
  5. Klaim memahami kitab suci, karenanya berhak menjadi wakil Allah untuk menghukum siapapun;
  6. Agama diubah menjadi ideologi, menjadi senjata politik untuk menyerang pandangan politik yang berbeda.

Perlu antisipasi atas lahirnya generasi baru radikalisme yang bergerak terstruktur, sistematis, dan massif. Mereka bisa berwujud ahli ibadah yang menyuarakan pembebasan umat dari kezaliman, dan menawarkan jalan menuju surga dengan cara mengkafirkan sesama umat Islam yang kadang diikuti dengan justifikasi kebenaran akan tindakan kekerasan. Regenerasi radikalisme ini lahir dan bergerak meracuni generasi muda melalui pengajian-pengajian keagamaan dan pemberian bea-siswa lembaga pendidikan. Dalam proses transformasi pemikiran itu diidentifikasi ajarannya yang dengan mudah mengkafirkan sesama muslim.

Sumber Radikalisme

Gerakan radikal pada pokoknya menghambat kemajuan dan peradaban dunia Islam. Sebab mereka memiliki pandangan menyatukan berbagai aliran, pemikiran dan pandangan umat Islam ke dalam satu tubuh-aliran menurut pemahamannya. Ini jelas mustahil, perbedaan pandangan merupakan fakta sejarah dan merupakan ketetapan penciptaan yang beriringan dengan perkembangan umat manusia. Mengelola perbedaan pemikiran pada porsi yang tepat, mengakui perbedaan dan menerapkan toleransi. Misalnya, semua pemikiran benar dalam porsi masing-masing, yakni diyakini benar tapi menyimpan potensi salah, atau menganggap pemikiran lainnya salah tetapi memiliki potensi benar.

Menetapkan salah dan benar adalah hak preogatif pengadilan Tuhan, dan tidak diserahkan ke manusia, apalagi sering mengklaim hanya kelompoknya benar. Lalu siapa benar dari semua aliran pemikiran dimaksud? yakni siapa paling besar manfaatnya bagi kehidupan, dengan mengatasi keterpurukan kehidupan manusia. Dengan pemahaman ini, memupuk sikap dan tindakan berlomba-lomba melakukan kebaikan, mendahulukan kemuliaan akhlak pergaulan harmonisasi manusia.

Sekali lagi, perbedaan pemikiran dan aliran pemikiran merupakan fakta sejarah yang sudah berlangsung berabad-abad lalu. Bahkan sejak generasi awal manusia, sudah ada klaim merasa diri paling benar, dan menganggap pihak berbeda pandangan adalah tidak benar. Ini dicontohkan sisi peristiwa pembunuhan pertama kali manusia, oleh Qabil membunuh Habil. Keduanya bersaudara, anak-anak dari pasangan Nabi Adam AS dan Siti Hawa ketika sudah diturunkan ke muka bumi setelah diusir dari surga karena makan buah khuldi. Akibat merasa paling benar dan tidak membuka pintu toleransi, akhirnya pembunuhan terjadi-darah tertumpah.

Tidak dipungkiri bahwa dalam agama, secara tekstual ditemukan teks-teks yang bisa memberikan nuansa tindakan radikalisme. Persoalan penafsiran atas teks-teks keagamaan kadang menimbulkan justifikasi radikalisme atas nama agama, yang beririsan dengan pemahaman keagamaan sempit ditambah dengan frustasi menghadapi masalah kebuntuan kehidupan sosial-ekonomi berkepanjangan. Padahal tafsir teks keagamaan juga beragam, tergantung dari sudut pandang, jika dari sudut aliran radikal akan dianggap sebagai perintah agama. Namun dari sisi moderat, mendahulukan akhlak dan toleransi yang dapat diikuti dengan perang jika warga negara telah dibunuh dan terusir dari negaranya.

Lalu apa yang menyebabkan sumber radikalisme di kalangan masyarakat? Radikalisme tidak jalan sendiri, dan bebas nilai. Ada ideologi yang tertanam kuat di kalangan penganutnya, hingga penganut mati-matian membela dan berkorban, demi menegakkan keyakinan pemikiran dan mempertahankan eksistensi. Sumber radikalisme perlu dicari tahu, guna diketahui pola-pola hubungan dengan tindakan kekerasan, hingga ditemukan langkah tepat untuk mengantisipasi perkembangannya.

Menurut Moh. Tholhah Hasan[4], ada dua pandangan yang menjadi sumber gerakan radikal terutama dalam lingkup kehidupan beragama. Pertama, gerakan takfir. Pandangan berbeda lantas dianggap telah menyimpang sehingga menjadi kafir. Saat ada dua pilihan muslim atau kafir, walaupun orang lain beragama Islam namun karena memiliki pandangan berbeda dengan dirinya, maka dikelompokkan sebagai golongan kafir. Demikian pula dengan pejabat, politisi, dan aparat penegak hukum mereka anggap kafir karena tidak menerapkan hukum Islam sesuai dengan pandangannya, bahkan karena penyelenggara negara melakukan tindakan kebijakan yang merugikan dan menghambat dakwah Islam, menurut yang berpandangan ekstrim dapat dibunuh dan halal darahnya untuk ditumpahkan.

Kedua, heroisme bayang-bayang negara Islam. Berpendapat bahwa masyarakat sekarang sejatinya sama dengan masyarakat awal Islam saat Nabi Muhammad Saw menetap di Mekkah dan Madinah selanjutnya di bawah kepemimpinan khilafah Islamiyah. Apa yang dilakukan dan dipraktekkan oleh Nabi hendak menjadi panutan dan tuntutan, kendati dengan batasan pemahaman klaim kebenaran sepihak. Mereka menganggap praktek kehidupan masa Nabi dan kepemimpinan khilafah bisa dipraktekkan dan diwujudkan dalam kehidupan kenegaraan saat ini. Adapun keterpurukan kehidupan masyarakat bernegara, dianggap karena tidak menerapkan sistem Islam, makanya harus diubah menjadi negara Islam.

Sebenarnya mereka memahami ajaran agama dalam kadar pemahaman sempit, karena hanya mendalami pemikiran dan aliran dari golongan pihaknya. Tidak membuka diri akan kemajemukan dan memahami pemikiran dunia Islam, sehingga dapat memetik hikmah dari semua pemikiran paling benar. Termonopoli ajaran agama bahkan kebenaran yang seharusnya milik bersama. Ditambah lagi dengan mengambil peran Tuhan untuk menghakimi manusia, dengan berani mengatakan ini sesat dan itu sesat, ini bid’ah dan itu bid’ah. Mereka berusaha menunjukkan eksistensi dan otoritas pemikiran dengan mengambil peluang keterbatasan kehidupan sosial dan kelemahan otoritas dalam negara.

Apalagi soal toleransi, lagi-lagi dinafikkan. Berbeda pendapat, lalu menganggap “lawan” pihak berbeda pendapat dengannya. Susah mengakui keberagaman dan perbedaan pendapat dari pihak lain. Sikap toleransi tidak pernah, terutama dengan sesama umat Islam yang berbeda pendapat, demikian pula dengan pemeluk agama lain yang mempersoalkan eksistensi mereka akan dianggap sebagai lawan. Parahnya lagi jika diikuti dengan tindakan kekerasan dan pembunuhan.

Selain dua faktor tersebut, faktor ketiga, yakni faktor ketidakadilan ekonomi dan politik, juga menjadi penyumbang sumber radikalisme. Adanya keterpinggiran akses terhadap hasil-hasil pembangunan, dan ketidakpuasan hasil kontestasi politik menjadi alasan pemicu lahir gerakan radikal. Agama pada tahap awal bukan pemicu, namun ketika kelompok sudah terbentuk dan menghadapi masalah ekonomi dan politik, maka agama menjadi faktor legitimasi perekat untuk melakukan tindakan radikal kendati dengan cara kekerasan.

Isu lokal karena ketidakadilan ekonomi dan politik menjadi masalah awal keterpurukan soal, jika masalah tersebut beriringan dengan ajaran agama maka jadi penguat sekaligus pemicu tindakan radikalis. Tujuan tindakan mereka untuk memulihkan keterpurukan sosial dengan menunjuk aktor pemerintah sebagai pihak bertanggungjawab yang menyebabkan keterpurukan kendati dengan cara kekerasan.

Terakhir faktor keempat, yakni ketidakadilan penegakan hukum. Penanganan pelanggaran dan proses penegakan hukum dinilai timpang. Dengan tindakan tajam, dan tegas terhadap kelompok Islam, tetapi atas pelanggaran serupa yang dilakukan oleh kelompok non Islam malah diperlakukan berbeda. Saat kelompok Islam melakukan kekerasan disebut sebagai aksi terorisme, tetapi kelompok di luar itu disebutkan krimimal biasa atau kelompok sipil bersenjata. Parahnya lagi, sebagian media massa ikut-ikutan memperkeruh suasana dengan terus menyebarkan isu terorisme yang dipastikan selalu dilekatkan dengan Islam, tetapi selain itu dianggap tindakan kriminal biasa.

Toleransi

Setiap negara memiliki tantangan masing-masing dalam mengelola perbedaan, namun terdapat negara yang berhasil mengelola perbedaan warga negaranya hingga lahir persatuan dan kesatuan memperkokoh kehidupan berbangsa dan bernegara. Adanya toleransi masyarakat dalam suatu negara, memiliki hubungan erat antara fakta keberagaman dan kebijakan pengelolaan perbedaan. Banyak faktor berpengaruh mewujudkan kehidupan toleran, diantaranya warisan perjalanan peradaban umat manusia seperti karakteristik, kultur, dan keagamaan yang menjadi penyumbang terwujud atau tidaknya kehidupan toleran serta ketegasan negara mengayomi warganya.

Selain itu, salah satu penghambat mewujudkan kehidupan sesama yang toleran, yakni paham atau aliran radikal di tengah-tengah masyarakat. Paham ini pada kondisi tertentu menganggap lawan dari pihak berseberangan pendapat dengan dirinya, hingga beririsan dengan situasi geo-politik terutama di wilayah timur tengah yang memicu tindakan kekerasan atau pembunuhan kepada penganut berbeda atau pihak tertentu. Mereka menganggap pendapat dan aliran dianutnya paling benar, hingga belakangan mereka disebut pemerintah sebagai “teroris”.

Ragam pendapat, perbedaan pemikiran, serta ragam ijtihad merupakan hal yang bersifat naluriah dan tidak dapat disangkal. Secara realistis diakui terjadi karena adanya perbedaan tingkat pengetahuan, kemampuan akal, dalil-dalil yang saling berlawanan serta tidak diketahuinya sebagian dalil oleh yang lain. Tetapi, perbedaan pendapat ini sejatinya tidak menjadi sebab permusuhan, perpecahan, kekerasan dan pembunuhan, lalu menilai pihak yang berlawanan pendapat sebagai orang yang tidak punya ilmu dan tidak adil.[5]

Padahal menurut Ismatillah A Nu’ad, semua ajaran monoteisme (Yahudi, Kristen, dan Islam) yang selama ini diyakini sebagai rahmat dan keberkahan bagi seluruh alam akan hancur ditelan fenomena radikalisme yang ditakuti tatanan humanis, akibat memaksanakan kehendak dengan cara-cara kekerasan. Seruan-seruan yang mengajarkan kesetaraan, keadilan, dan toleransi yang diyakini ajaran monoteisme dimentahkan dengan logika kekerasan yang diperbuat umat-umatnya.[6]

Padahal agama Islam memberikan petunjuk toleransi kehidupan bernegara, mengakui perbedaan demi keutuhan persatuan sebagai sebuah bangsa. Bahkan bukan hanya Islam, ajaran agama lain juga menekankan penting nilai dan prinsip toleransi. Ajaran Islam, menurut Alwi Shihab[7] Alquran berkali-kali menganjurkan saling menjaga persatuan dan hubungan baik bahkan mengingatkan sesama muslim adalah bersaudara. Sebagai saudara, sudah selayaknya saling bekerja sama, bahu-membahu dalam mencapai kebaikan. Sesama muslim diingatkan untuk tidak menghujat hanya karena perbedaan mazhab dan aliran keyakinan, apalagi jika perbedaan tersebut tidak melanggar prinsip dasar keimanan. Untuk itu hendaknya mereka saling menjaga hubungan baik serta tidak saling mencurigai dan berprasangka negatif apalagi saling cemooh dan menghina serta mencari-cari kesalahan sesama.

Demikian pula dengan penganut agama lain, non-muslim. Alquran menganjurkan berbuat baik dan berlaku adil karena merupakan dasar pergaulan. Bukan berseteru, memaki, mencerca apalagi membunuh, dengan catatan selama pihak non-muslim tidak memerangi agama Islam dan selama tidak mengusir umat Islam dari negeri asal. Dengan kata lain, syarat memerangi pihak non-muslim ketika mengusir muslim dari negerinya. Alquran memerintahkan mempertahankan diri, dan membunuh lawan apabila mereka telah memulai membunuh. Selanjutnya Alquran juga memerintahkan berhenti berperang apabila musuh telah menghentikan agresi. Sebagai contoh warga Palestina dibenarkan untuk memerangi Israel untuk mempertahankan diri karena orang-orang Palestina telah diusur dari negerinya. Namun dalam situasi damai seperti Indonesia, maka perlakuan dituntut dari umat Islam merupakan perlakukan baik dan adil kepada non-muslim sesama manusia.

Penanganan Radikalisme

Agama prinsipnya tidak mengajarkan tindakan radikalisme, agama senantiasa mendahulukan kedamaian, ketenangan, dan kesejahteraan terwujud. Radikalisme terjadi akibat pemahaman ideologi sempit dan keterbatasan pengetahuan keagamaan, kendati pelaku ditemui dengan motif menjalankan ajaran agama. Nampak tidak menerima perbedaan pendapat dengan yang mereka anut. Seolah-olah pendapatnya paling benar, seolah-olah Tuhan berpihak di mereka hingga menghakimi pendapat benar dan sesat.

Paham radikalime perlu dibendung pemerintah dengan pelibatan pemuka agama dan lembaga pendidikan melalui cara yang dikenal dengan deredikalisasi. Deradikalisasi adalah suatu upaya mereduksi kegiatan radikal dan menetralisir pemikiran radikal melalui proses meyakinkan untuk meninggalkan penggunaan kekerasan. Program ini bisa berkenaan dengan proses menciptakan lingkungan mencegah tumbuhnya gerakan radikal dengan cara menanggapi akar-akar penyebab tumbuhnya gerakan ini.

Pertama, sosialisasi pemahaman arti penting toleransi. Internalisasi toleransi dalam diri setiap individu akan memantik masyarakat saling menghormati dan menghargai sesama, menumbuhkan nasionalisme, serta menyejahterakan kehidupan sosial. Hadirnya organisasi keagamaan dan organisasi lembaga lintas agama merupakan aset penting bagi terbangun perdamaian agama dan perdamaian lintas agama.

Demikian pula dengan peran strategis Majelis Ulama Indonesia menyosialisasikan toleransi dan memprakarsasi dialog antar umat beragama dengan menghimpun seluruh organisasi masyarakat. Dialog tidak boleh inklusif membatasi pada anggota tertentu dan organisasi yang terbatas. Lembaga ini harus benar-benar menjadi representasi lembaga Islam yang ada di Indonesia.

Kedua, pemberdayaan lembaga pendidikan, guna menanamkan pendidikan menyangkut semua aspek Alquran dan pembangunan akhlak setiap peserta didik. Pemikiran menyimpang dilawan dengan pemikiran Islam yang benar, dengan terus menanamkan ke dasar pemikiran peserta didik. Agar sasaran generasi mendatang dan masyarakat dapat memilah dan menetapkan pemikiran Islam yang benar untuk menjamin kehidupan adil dan damai.

Selain itu, program penelitian untuk mendapatkan gambaran motif dan pola gerakan juga penting dilakukan dengan memanfaatkan pihak perguruan tinggi. Untuk selanjutnya hasil penelitian menjadi bahan dalam penetapan kebijakan program dan kegiatan pemerintah menangkal gerakan radikal.

Ketiga, pendekatan kewirausahaan, dengan memberikan pelatihan dan modal usaha agar dapat mandiri dan tidak mengembangkan paham radikalisme. Kewirausahaan memiliki peran besar dalam pelaksanaan deradikalisasi dari sisi sosial ekonomi. Dunia usaha mampu menciptakan lapangan kerja, mengurangi pengangguran, meningkatkan pendapatan, dan meningkatkan produktivitas. Selain itu, dunia usaha juga memiliki peranan penting menjadikan masyarakat lebih inovatif, kreatif dan mandiri.

Keempat, penegakan hukum. Hukum sejatinya mampu mendinamisasi tata kehidupan masyarakat lewat instrumen penegakan hukum yang tegas dan adil. Pelaku kekerasan dan intoleransi dihukum secara adil dan tegas agar memberi efek jera sekaligus memberi tanda peringatan kepada mereka yang berniat-mencoba melanggar hukum. Tapi, dalam kasus radikalisme ini, penegakan hukum merupakan langkah terakhir dari langkah-langkah penanganan radikalisme dengan pelibatan lembaga masyarakat, yakni setelah dilakukan sosialisasi dan deradikalisasi ideologi.

Penutup

Radikalisme berasal dari paham radikal yang menganggap pemikiran dan aliran mereka saja yang benar, selain pemikiran itu tidak benar dan sesat. Pemikiran radikal, kadang diikuti sikap dan tindak radikal membid’ahkan, mengkafirkan, bahkan diiringi kekerasan bahkan pembunuhan. Padahal kehidupan berbangsa dan bernegara yang beragam, agama Islam menekankan perilaku toleransi mengakui perbedaan dan menjamin tata kelola kehidupan adil dan damai.

Sehingga perlu penangaan radikalisme, yang dapat mengancam stabilitas daerah bahkan nasional untuk dilakukan pemerintah dengan pelibatan stakeholders terkait terutama pemuka agama dan lembaga pendidikan. Melalui sosialisasi, pendekatan kewirausahaan, pemberdayaan lembaga pendidikan sebagai benteng utama membendung pemikiran radikal, yang beriringan dengan penegakan hukum kepada “siapa saja” pelaku intoleran, kekerasan, dan pembunuhan.


Catatan Kaki

[1] Muslih. 2015. Melacak Akar Radikalisme Beragama di Sekolah. Semarang: UIN Walisongo Semarang. hlm. 9.
[2] Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa. 2008. Kamus Bahasa Indonesia. Jakarta: Pusat Bahasa, hlm. 1246.
[3] Wahid Institut dan Ma’arif Institut dalam Abdul Jamil Wahab. 2004. Manajemen Konflik Keagamaan; Analisis Latar Belakang Konflik Keagamaan Aktual. Jakarta: Elex Media Komputindo. hlm. 108.
[4] Moh. Tholhah Hasan, dalam Alwi Shihab dkk. 2019. Islam dan Kebhinekaan. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama hlm. 228-229.
[5] Muhammad Thalib (Penerjemah). 2001. Membangun Kekuatan Islam Di Tengah Perselisihan Ummat. Yogyakarta: Wahdah Press. hlm. 62.
[6] Ismatillah A Nu’ad. 2005. Fundamentalisme Progresif Era Baru Dunia Islam. Jakarta: Panta Rei. hlm. 11.
[7] Alwi Shihab dkk, Ibid, hlm. 14 dan 34.


File pdf dapat didownload : Bayang-Bayang Radikalisme di Tengah Pandemi Keberagaman

Pemimpin Hebat

329 Views

PEMIMPIN HEBAT
Oleh: Ruslan Husen

Tulisan-tulisan seputar pemimpin sudah banyak diulas, baik yang dibukukan maupun tersebar luas di media on line. Terasa norma, konsepsi dan cita pemimpin ideal senatiasa up date dibahas. Keadaan ini berangkat dari kenyataan, bahwa pemimpin dibutuhkan dalam mengatur setiap dimensi kehidupan manusia. Apalagi dalam kehidupan bernegara, pemimpin menjadi orang pilihan yang lahir dari suksesi politik yang panjang, banyak orang ingin menjadi pemimpin tetapi mereka yang memenuhi syarat dan mampu mendapatkan simpati dan dukungan rakyat yang akan terpilih menjadi pemimpin.

Pemimpin banyak jenisnya, mereka dapat ditemui dalam badan usaha, lembaga dan perkumpulan. Bahkan ajaran Islam mengkategorikan dari setiap individu adalah pemimpin, dari itu setiap pemimpin akan dimintai pertanggungjawan dari apa yang dipimpinnya. Kebutuhan akan pemimpin adalah mutlak, pemimpin adalah pihak yang paling bertanggungjawab berhasil dan tidaknya pencapaian dari suatu komunitas-organisasi. Disinilah dibutuhkan seni memimpin, yakni pemimpin harus mampu menggerakkan potensi orang banyak dengan kesadaran bersama, bergerak dan mengambil peran masing-masing untuk mencapai tujuan bersama. Pemimpin seperti ini disebut itu, pemimpin hebat.

Pemimpin hebat memiliki karakter tertentu. Perjalanan hidupnya telah panjang, pengalamannya telah banyak, hingga sampai pada level, kapasitas dan kondisi tertentu yakni mampu menggerakkan orang banyak untuk mencapai tujuan bersama. Tetapi setiap individu siapa saja, dapat berproses menjadi pemimpin hebat, jika tidak kesampaian minimal menjadi pribadi-pribadi yang hebat dengan substansi diri pemimpin hebat.

Pemimpin hebat memiliki nilai yang sangat dibutuhkan dalam mengatasi keterpurukan dalam segala dimensi kehidupan manusia. Nilai itu dijabarkan dalam lima hal, yakni : spiritualitas yang tinggi, integritas-moral panutan, kapasitas yang handal, empati dengan sesama dan percaya diri.

Spiritualitas
Spiritualitas terkait dengan kemampuan rasionalitas membaca, memahami dan melaksanakan nilai-nilai Ilahiyah (Ketuhanan) yang tersebar di muka bumi. Spiritualitas lahir sebagai kesadaran holistik  mengetahui fungsi dan hakikat kedirian sebagai makhluk dan mengakui kebesaran Tuhan agar bermanfaat bagi manusia dan alam semesta.

Kemampuan manusia sebagai makhluk yang diberi kapasitas alat epistemologi berupa panca indera, akal (rasio) dan intuisi (hati) oleh Sang Pencipta, Allah SWT harus diasah dan dilatih melalui berbagai proses keterlibatan diri terhadap lingkungan alam dan sosial kemasyarakatan. Dari sanalah manusia hendak belajar dan berkolaborasi memaknai kehidupan, mempelajari tanda-tanda kebesaran Sang Pencipta hingga menghasilkan karya dan prestasi nyata. Hal yang tidak boleh terlupakan bagi seorang muslim adalah konsistensi berpegang teguh pada ajaran Ilahiyah yang bersumber dari Al-quran dan Al-hadits sebagai pedoman hidup.

Dengan demikian, spiritualitas adalah karakter utama yang harus dimiliki oleh pemimpin hebat dan pribadi hebat. Ia merupakan dasar yang akan menjadi pondasi karakter diri untuk menghasilkan karya dan prestasi nyata. Ia merupakan ciri kasih sayang Pencipta yang diberi atas potensi setiap manusia, keberadaannya senantiasa dirindukan atas adanya nilai dan manfaat yang diterima.

Pemimpin berkarakter spiritualitas akan menempatkan Sang Pencipta sebagai tempat memohon, mengadu, meminta pertolongan dan mengharap petunjuk. Baginya tidak ada lagi rasa takut kepada semua makhluk-Nya, Ia tidak takut dicaci dan dibenci serta tidak pula takut kehilangan jabatan. Ada hakikat kesadaran, semua yang dimiliki semua adalah titipan Ilahi dan sifatnya sementara saat hidup di dunia. Dari sifat kesementaraan itu, menjadikan karakter spiritualitas tercermin lewat kasalehan sosial dan kesalehan ritual yang konsisten.

Integritas
Turunan dari hakikat spiritualitas pada setiap diri individu adalah sikap dan perilaku yang berintegritas. Sikap dan perilaku itu memiliki landasan teologis sebagai manifestasi pelaksanaan norma universal ajaran agama yang hakiki, sekaligus tercermin lewat pandangan atas segala aspek kehidupan manusia. Paling bernilai adalah saat aktualisasi bernilai manfaat dalam kehidupan sosial dan spiritual.

Integritas menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah mutu, sifat atau keadaan yang menunjukkan kesatuan yang utuh sehingga memiliki potensi dan kemampuan yang memancarkan kewibawaan. Integritas dapat diterjemahkan sebagai “kejujuran”. Kejujuran merupakan nilai yang berlaku dimana saja, dibutuhkan dalam segala aspek kehidupan masyarakat.

Nilai kejujuran dan karakter integritas ini menjadi kewajiban sekaligus harapan yang harus dimiliki setiap pemimpin. Perjalanan kehidupan berbangsa kita, sudah lelah disuguhi dengan tampilan penyelewengan, kejahatan dan korupsi, serta sikap intoleransi yang gagap-resisten menghadapi perubahan zaman dengan merasa diri dan golongan paling benar.

Pemimpin harus mampu membangunan integritas yang kokoh, dan cerminan moral pada diri sebagai panutan sosial. Keberadaan pemimpin yang selalu menjadi sorotan perhatian publik menjadikan potensi sosok pemimpin banyak pengikut dan penggemar. Bentuk proteksi diri seorang pemimpin, saat Ia menyadari hakikatnya di tengah kehidupan bermasyarakat, hingga ada kesadaran untuk mencegah diri dari perbuatan tercela atau penyalahgunaan wewenang.

Kedirian pemimpin sebagai panutan masyarakat, harus menjadikan sikap dan perilakunya sebagai cerminan intergitas moral yang handal. Ia menjadi solusi dari keterpurukan moral masyarakat, dan bukan malah menjadi sumber masalah keterpurukan moral itu. Ketika menempatkan diri sebagai panutan, maka pemimpin akan terjaga dari perbuatan tercela. Berbagai kesempatan dalam aktifitasnya digunakan dengan menyampaikan atau menyisipkan pesan-pesan moral. Inilah yang menjaganya, ada keselarasan antara yang diucapkan dengan yang dikerjakan. Dengan berlaku jujur akan dengan mudah mendapatkan kepercayaan, dan diandalkan oleh orang-orang sekitar.

Kapasitas
Sering kita mendengar ajaran, bahwa berikan penyelesaian urusan kepada ahlinya, sebaliknya jika menyerahkan pengurusan sesuatu kepada yang bukan ahlinya maka tunggulah kehancuran. Ajaran yang terkandung di dalamnya sangat menekankan pentingnya kapasitas dan pengalaman dalam penyelesaian tugas dan kewenangan.

Kapasitas menekankan pada kemampuan dan keahlian seseorang yang telah ditempah dalam waktu yang cukup lama, jenjang pendidikan hingga ahli dalam bidang tertentu. Urusan yang diserahkan padanya, Ia kerjakan dengan perasaan cinta, dedikasi dan loyalitas tinggi. Maksimalisasi proses-usaha intinya, adapun hasilnya diserahkan kepada yang menguasai segala sesuai, Sang Pencipta. Tugasnya adalah berbuat yang terbaik.

Ketika ada keraguan dan kebuntuan atas permasalahan, maka jajarannya lantas meminta arahan darinya, pemimpin hebat ini. Pemimpin hebat memiliki kapasitas yang handal, Ia tempat konsultasi atas permasalahan yang dihadapi. Pemikiran dan analisisnya memberi arah berfikir dan landasan pijak dalam mengambil keputusan.

Pemimpin hebat juga memiliki kemampuan dalam mendamaikan perbedaan pendapat, Ia mampu melahirkan titik temu yang dapat diterima oleh masing-masing pihak. Ada solusi alternatif yang menyejukkan. Hasil pemikirannya menjadi solusi dari kebuntuan pendapat, dan kesuraman langkah lembaga.

Empati
Empati berhubungan dengan keterpanggilan untuk membantu dan berbuat terbaik dengan sesama umat manusia. Ketika ada manusia yang menderita dan butuh pertolongan, maka pemimpin hebat menjadi orang yang sukarela membantu. Membantu bisa dalam bentuk materi, ilmu, pengalaman, gagasan dan ide. Ia mampu menginspirasi dan menggerakkan orang lain membantu menolong dan berbuat bersama. Bukan hanya menyampaikan dalam kata-kata dan anjuran, tetapi aktualisasi dalam sikap dan perbuatan yang nyata.

Pemimpin hebat yang memimpin banyak orang memerlukan usaha yang lebih besar. Ia harus sudah selesai dengan urusan pribadinya. Sebab menjadi pemimpin berarti merelakan sebagian hidupnya untuk orang lain. Sehingga dengan itu, memimpin berarti melayani. Melayani sesama dan tolong-menolong. Pribadi ini merupakan sosok yang berdiri tegak, tidak gentar untuk menyisihkan sebagian waktunya bagi orang lain. Ia adalah harapan yang nyata bagi masyarakat. Ia adalah penabur benih kebaikan dan penghapus egoisme dan intoleransi.

Perlakukan terbaik kepada orang lain mencerminkan kualitas pribadi yang baik. Orang-orang yang melayani dan memperlakukan sesamanya dengan kualitas terbaik tidak lagi berfikir mendapatkan sesuatu hal yang bersifat pragmatis. Titik tekan disini adalah keikhlasan. Keikhlasan membentuk diri menjadi pribadi yang bebas, tidak lagi mengeluh apalagi berputus-asa.

Secara aktual, permasalahan sosial hadir dengan berbagai macam ragam dan bentuk, hadir dan menjadi alur perjalanan kehidupan sosial bernegara. Demikian pula dalam kerja-kerja organisasi, masalah menjadi hal yang wajar dalam pencapaian tujuan. Pemimpin hebat mampu dan hadir untuk terlibat mengatasi permasalahan sosial tersebut. Ia tidak duduk di belakang meja saja, keterpanggilan dan empati menggerakkan dirinya bersama-sama, berkolaborasi dalam tim kerja. Ia memiliki kemampuan dari sisi teknis dan manajemen organisasi. Jajarannya menjadi terbiasa untuk datang dan meminta pandangan alternatif solusi, dan dengan kerendahan hati pemimpin hebat memberi solusi dan pemecahan masalah. Bukan hanya berbicara, tetapi bertindak bersama-sama.

Penutup
Pemimpin hebat memiliki karakter tertentu yang jarang dimiliki oleh setiap manusia, tetapi dapat diusahakan dan diubah dengan keinginan kuat setiap individu. Karakter pemimpin hebat menjadi penyejuk batin yang menyalah-nyalah karena amarah. Kemampuannya menjadi solusi atas masalah yang membingungkan. Dan, semuanya dilakukan dan disampaikan dengan rasa rendah hati. Dalam pergulatan kediriannya, pemimpin hebat memiliki antusias dan rasa percaya diri yang tinggi. Tetapi bukan sikap sombong. Kepercayaan diri, dilandasi oleh nilai spiritualitas yang terinternalisasi dalam diri, dukungan kapasitas yang handal, serta keyakinan diri sebagai makhluk yang berkedudukan untuk mengabdi kepada Sang Pencipta.

FGD Penyusunan Naskah Akademik BUMDes

668 Views

Palu-Fakultas Hukum Untad. Desa sebagai sebuah wilayah pemerintahan yang bersifat otonom yang diberikan hak-hak istimewa. Dalam ketentuan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa menegaskan:

“Desa atau yang disebut dengan nama lain, selanjutnya disebut desa, adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat, berdasarkan asal-asul dan adat istiadat setempat yang diakui dan dihormati dalam sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia”.

Frasa yang menyebutkan bahwa Desa atau yang disebut dengan nama lain adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas-batas wilayah, yang berwenang untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat, sesungguhnya mengandung makna bahwa Desa adalah suatu organisasi pemerintahan yang bersifat otonom.

Kedudukan Desa sebagai suatu organisasi pemerintahan yang bersifat otonom mengalami perkembangan seiring dengan dinamika perkembangan masyarakat Indonesia dalam bidang politik, hukum, sosial-budaya, dan dalam ekonomi. Dinamika perkembangan Desa dari aspek politik tampak ketika warga masyarakat Desa memiliki kematangan dalam berdemokrasi, khususnya dalam hal menentukan Kepala Desa sebagai pemimpin pemerintahan, pembangunan, dan kemasyarakat di Desa. Jika pada masa lampau, Kepala Desa disepakati oleh warga masyarakat Desa dari tokoh masyarakat yang terkemuka, kini penentuan jabatan Kepala Desa didasarkan pada hasil pemilihan langsung warga masyarakat desa. Kepala Desa yang terpilih adalah calon kepala Desa yang memiliki perolehan suara terbanyak dari calon kepala Desa yang lainnya dalam suatu proses pemilihan kepala Desa.

Seiring dengan perkembangan politik pemerintahan desa, juga terjadi perubahan peraturan perundang-undangan yang mendasari tata kelola pemerintahan desa. Sejak Negara Indonesia merdeka hingga sampai sekarang ini, sudah silih berganti Undang-Undang yang mengatur tata kelola pemerintahan desa. Pada masa pemerintahan orde lama, regulasi tata kelola pemerintahan Desa didasarkan pada Undang-undang Nomor 19 Tahun 1965 tentang Desa praja. Lalu, pada masa pemerintahan orde baru, tata kelola pemerintahan desa berpijak pada Undang-Undang No. 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa. Selanjutnya, pada awal Tahun 2014 ini, Presiden telah mengesahkan undang-undang baru yang menjadi dasar tata kelola pemerintahan Desa, yakni Undang-Undang No. 6 Tahun 2014 tentang Desa.

Selain adanya dinamika politik dan perubahan peraturan perundang-undangan yang mengatur tata kelola pemerintahan Desa, eksistensi pemerintahan Desa juga mengalami pertumbuhan yang sangat pesat. Untuk mencapai tujuan pembangunan nasional, Desa merupakan agen pemerintah terdepan yang dapat menjangkau kelompok sasaran riil yang hendak disejahterakan, yaitu dengan membentuk suatu badan usaha yaitu Badan Usaha Milik Desa yang sesuai dengan Permendagri Nomor 39 tahun 2010 tentang Badan Usaha Milik Desa, yang menyebutkan bahwa:
“Untuk meningkatkan kemampuan keuangan pemerintah desa dalam penyelenggaraan pemerintahan dan meningkatkan pendapatan masyarakat melalui berbagai kegiatan usaha ekonomi masyarakat pedesaan, didirikan badan usaha milik desa sesuai dengan kebutuhan dan potensi desa”.

Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) ini usaha desa yang dibentuk/didirikan oleh pemerintah desa yang kepemilikan modal dan pengelolaannya dilakukan oleh pemerintah desa dan masyarakat. Pembentukan badan usaha milik desa ini juga berdasarkan pada Permendagri nomor 39 tahun 2010 pada bab II tentang pembentukan badan usaha milik desa. Pembentukan ini berasal dari pemerintah kabupaten/kota dengan menetapkan peraturan daerah tentang pedoman tata cara pembentukan dan pengelolaan bumdes. Selanjutnya pemerintah desa membentuk BUMDes dengan peraturan desa yang berpedoman pada peraturan daerah.

BUMDes ini diharapkan juga mampu menstimulasi dan menggerakkan roda perekonomian di pedesaan. Aset ekonomi yang ada di desa harus dikelola sepenuhnya oleh masyarakat desa. Substansi dan filosofi BUMDes harus dijiwai dengan semangat kebersamaan sebagai upaya memperkuat aspek ekonomi kelembagaannya. Pada tahap ini, BUMDes akan bergerak seirama dengan upaya meningkatkan sumber-sumber pendapatan asli desa, menggerakkan kegiatan ekonomi masyarakat di mana peran BUMDes sebagai institusi payung.

Demikian intisari pengantar Tim penyusun Naskah Akademik Rancangan Perda Kabupaten Mamuju Utara tentang BUMDes yang disampaikan dalam FGD Ranperda BUMDes di Restroran Kampung Nelayan-Palu. Tim penyusun diketuai oleh Aminuddin Kasim dengan anggota Leli Tibaka, Ruslan Husen dan Nur Achsan Syam.

Simulasi Penanggulangan Bencana

277 Views

Palu-YMKM. Tiga warga menjadi korban bencana banjir bandang yang menerjang dua kelurahan di Kota Palu yakni Besusu Barat dan Ujuna. Lokasi kelurahan ini berada di sekitar bantaran Sungai Palu. Sementara tiga orang warga lainnya berhasil diselamatkan, dua diantaranya mengalami luka dan trauma berat.

Demikian skenario penanggulangan banjir yang digelar YMKM bekerja sama dengan dinas terkait yakni Dinas Kesehatan, Dinas Sosial, BPBD Kota Palu, Badan Sar dan Pemadam Kebakaran serta warga setempat, yang digelar pada minggu (8/8/2010).

Simulasi dimulai, dengan skenario bahwa pada pukul 08.00 pagi, petugas pemantau melihat air sungai sudah meluap sekitar 15 cm dari dinding bantaran sungai, sementara gelombang laut masih tinggi dan belum ada tanda-tanda akan surut. Tidak lama kemudian, air meluap sehingga masyarakat segera dievakuasi. Setelah warga dievakuasi, Komando Pengendali Lapangan Bencana Banjir (KPLBB) langsung melaporkan kejadian tersebut ke kecamatan dan Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kota Palu.

Setelah melakukan rapat koordinasi, KPLBB kelurahan dan kecamatan, tiba-tiba ada informasi bahwa ada beberapa warga yang hanyut terbawa arus. Tidak menunggu lama, tim pencari korban bergerak ke muara sungai untuk menolong korban. Setelah berhasil ditemukan korban diangkut dari pantai menggunakan tandu. Korban langsung diangkut ke mobil Ambulans dan dibawa menuju rumah sakit terdekat.

Pada tempat lain, terlihat asap mengepul bertanda telah terjadi kebakaran. Tidak berselang lama, terdengar suara sirine meraung-raung, nampak mobil pemadam kebakaran mendekati lokasi kebakaran. Tim pemadam kebakaran bergerak setelah mendapat informasi langsung dari masyarakat yang berada di sekitar lokasi kebakaran rumah.

Pada wilayah yang dinyatakan aman, Petugas dan Relawan mendirikan tempat/posko pengungsian. Tidak berlangsung lama, bantuan dari Pemerintah dan pihak-pihak yang empati terus masuk dan disalurkan kepada pihak korban dan terdampak bencana.

Zulkifly Machmud (Direktur YMKM) bersama Petugas Pemadam Kebakaran Kota Palu