124 Views
Kinerja Ekonomi dan Fiskal Provinsi Sulteng Di Awal 2025
Oleh: Moh. Ahlis Djirimu
( Staf Pengajar FEB-Untad, Local Expert Sulteng & Regional Expert Sulawesi Kemenkeu R.I )
JATI CENTRE – Realisasi Penerimaan Perpajakan di Provinsi Sulteng pada Januari 2025 mencapai Rp280,897,465,988,- (Rp281,- miliar). Realisasi ini, berada di bawah realisasi Januari 2024 mencapai Rp319,709,931,017,- atau lebih rendah yang pertumbuhannya mencapai minus 12,14 persen. Realisasi terbesar secara absolut terjadi pada Kantor Pelayanan Pajak (KPP) Pratama Kota Palu mencapai Rp101,482,339,168,- (Rp101,- miliar), namun proporsi pertumbuhannya mencapai minus 40,02 persen dari realisasi Januari 2024 mencapai Rp169,204,592,312. Realisasi Penerimaan Perpajakan terbesar kedua dicapai oleh KPP Pratama Poso yang mencapai Rp84,688, 909,215,- (Rp84,- miliar) atau pertumbuhannya positif mencapai 28,11 persen dari realisasi Januari 2024 sebesar Rp66,108,285,706,- (Rp66,- miliar).
Realisasi Penerimaan Perpajakan ketiga tertinggi dicapai oleh KPP Pratama Luwuk mencapai Rp49,608,986,716,- (Rp49,6,- miliar) atau pertumbuhan paling tertinggi yakni 65,68 persen terhadap realisasi Januari 2024 sebesar Rp29,942,250,604,- Realisasi paling rendah Penerimaan Perpajakan melalui KPP Pratama Kabupaten Tolitoli mencapai Rp45,117,230,889,- lebih rendah ketimbang realisasi bulan yang sama pada 2024 yang mencapai Rp54,454,802,395,- atau laju pertumbuhannya month-to-month mencapai minus 17,15 persen. Rendahnya realisasi Penerimaan Perpajakan ini patut dikaji letak masalahnya, karena jumlah penduduk bertambah, obyek pasti yang dikenai pajak dan restribusi juga bertambah, atau ada kaitannya dengan ciri khas Kabupaten Tolitoli sebagai daerah monokultur cengkih.
Tetapi, kondisi melemahnya pendapatan masyarakat dapat mempengaruhi kinerja Penerimaan Negara dari sektor perpajakan ini. Penerimaan Pajak Sulawesi Tengah secara umum, sampai dengan 31 Januari 2025 terealisasi sebesar Rp281,- miliar. Sehubungan dengan belum ditetapkannya target penerimaan pajak Tahun 2025, maka perhitungan capaian penerimaan pajak bulan Januari 2025 belum dapat dilaksanakan.
Realisasi Pajak Penghasilan (PPh) Non Migas mencapai Rp53,320,554,844,- (Rp53,20,- miliar) atau kontribusinya terhadap target mencapai 19,04 persen, namun pertumbuhannya menurun sebesar minus 1,16 persen. Realisasi ini lebih rendah dari realisasi PPh Non Migas pada Januari 2024 yang mencapai Rp53,945,309,061,- (Rp53,94,- miliar). Pada komponen PPh Non Migas, realisasi terbesar terjadi pada PPh Pasal 23 mencapai Rp14,413,695,267,- (Rp14,41,- miliar). Realisasi ini meningkat sebesar 63,68 persen dari Rp8,805,910,703,- (Rp8,80,- miliar) pada Januari 2024 yang kontribusinya mencapai 5,15 persen. Realisasi penerimaan PPh terbesar kedua terjadi pada sub komponen PPh Pasal 25/29 Badan mencapai Rp13,617,380,813,- (Rp13,62,- miliar) lebih tinggi dari realisasi komponen PPh Pasal 25/29 Badan pada Januari 2024 yakni Rp13,325,386,161,- (Rp13,32,- miliar) atau mengalami kenaikan sebesar 2,19 persen dan kontribusinya di dalam PPh Non Migas mencapai 4,86 persen.
Realisasi Sub Komponen PPh Final menempati urutan ketiga terbesar dalam PPh Non Migas pada Januari 2025 mencapai Rp12,995,124,991,- lebih rendah ketimbang realisasi PPh Final pada Januari 2024 mencapai Rp15,161,541569,- atau capaiannya mengalami penurunan sebesar minus 14,29 persen dan kontribusinyanya mencapai 4,64 persen dalam PPh Non Migas. Ada empat Sub Komponen PPh Non Migas yang mempunyai Laju Pertumbuhan positif selama Januari 2024-Januari 2025. Keempat Sub Komponen PPh tersebut adalah PPh Pasal 22 sebesar 8,11 persen, dari Rp1,61,- miliar menjadi Rp1,74,- miliar. Selanjutnya, Sub Komponen PPh Pasal Pasal 23 dari Rp8,80,- miliar menjadi Rp14,41,- miliar atau Laju Pertumbuhannya mencapai 63,68 persen. Penerimaan PPh Non Migas dari Sub Komponen Pasal 25/29 OP meningkat dari Rp1,35,- miliar menjadi Rp1,43,- miliar atau terjadi kenaikan sebesar 5,64 persen, serta PPh Pasal 29/29 Badan meningkat dari Rp13,32,- miliar meningkat menjadi Rp14,62,- miliar.
Sebaliknya, terdapat 3 Sub Komponen PPh Non Migas mengalami penurunan baik realisasi absolutnya maupun pertumbuhannya selama Januari 2024-Januari 2025. Ketiga Sub Komponen PPh Non Migas tersebut adalah PPh Pasal 21 yang penerimaannya menurun dari Rp12,88,- miliar menjadi Rp8,36,- miliar atau menurun sebesar minus 35,11 persen. Sub Komponen PPh Non Migas Pasal 26 menurun dari Rp594,41,- juta menjadi Rp551,08,- miliar atau mengalami penurunan sebesar minus 7,29 persen, serta Sub Komponen PPh Non Migas Final yang penerimaannya menurun dari Rp16,16,- miliar menjadi Rp13,- miliar atau mengalami penurunan sebesar minus 14,29 persen.
Pajak Pertambahan Nilai (PPn) mengalami penurunan dari Rp264,42,- miliar pada Januari 2024 menjadi Rp221,83,- miliar pada Januari 2025 atau mengalami penurunan sebesar minus 16,11 persen. Namun, kontribusinya tetap terbesar dalam Penerimaan Negara sektor perpajakan yakni 79,22 persen. Dua Sub Komponen penyumbang dalam PPn, walaupun kecil kontribusinya adalah PPn Barang Mewah Dalam Negeri mengalami kenaikan dari Rp52,19,- juta pada Januari 2024, menjadi Rp63,21,- juta pada Januari 2025 atau mengalami pertumbuhan sebesar 21,10 persen dan kontribusinya mencapai 0,02 persen. PPn lainnya meningkat dari Rp94,52,- pada Januari 2024 menjadi Rp162,72,- juta pada Januari 2025 atau mengalami kenaikan sebesar 72,15 persen. Sebaliknya, PPn Dalam negeri yang biasanya mendominasi tiga perempat penerimaan negara pada PPn mengalami penurunan dari Rp263,45,- miliar pada Januari 2024 menjadi Rp220,84,- miliar pada januari 2025 atau pertumbuhannya menurun minus 16,17 persen dan kontribusinya tetap besar pada 78,86 persen.
Empat Sub Komponen PPn yang belum terealisasi yakni PPn Barang Mewah Impor, PPn Barang Mewah Lainnya, PPn Barang Dalam Negeri Ditanggung Pemerintah, PPn Barang Mewah Ditanggung Pemerintah. Realisasi Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) menurun dari Rp1,34,- miliar pada Januari 2024 menjadi Rp129,87,- juta pada Januari 2025 atau mengalami penurunan drastis sebesar minus 90,32 persen. PPh Ditanggung Pemerintah (DTP) belum terealisasi pada Januari 2025.
Pajak Lainnya mengalami rekor kenaikan tertinggi dari Rp2,83,- juta pada Januari 2024 menjadi Rp4,75,- miliar pada Januari 2025 atau terjadi kenaikan sebesar 167703,26 persen dan kontribusinya dalam Penerimaan Pajak Negara mencapai 1,70 persen. Pajak Penghasilan Minyak Bumi dan Gas sampai dengan Januari 2025 belum terealisasi. Secara keseluruhan, realisasi Penerimaan Perpajakan bulanan pada Januari 2025, mengalami penurunan dari Rp319,71,- miliar pada Januari 2024 menurun menjadi Rp280,02,- miliar pada Januari 2025 atau mengalami penurunan sebesar minus 12,41 persen.
Struktur perekonomian Sulteng dari sisi 10 Sektor Penerimaan Pajak Tertinggi per Januari 2025 mengalami perubahan berarti dalam Penerimaan Perpajakan. Dominasi dan posisi Sektor Industri Pengolahan digeser oleh Sektor Perdagangan Besar dan Eceran yang walaupun menurun dari Rp182,- miliar pada Januari 2024 menjadi Rp132,- miliar pada Januari 2025. Kontribusi Sektor Perdagangan Besar dan Eceran dalam Penerimaan Pajak mencapai 47,94 persen, walaupun mengalami penurunan pertumbuhan sebesar minus 27,67 persen, lalu diikuti oleh Sektor Administrasi Pemerintahan yang kontribusinya mencapai 11,43 persen, namun mengalami penurunan pertumbuhan sebesar minus 29 persen.
Sektor ketiga mendominasi Penerimaan Perpajakan Negara adalah Sektor Jasa Persewaan yang kontribusinya mencapai 7,56 persen naik dari Rp20,- miliar menjadi Rp21,- miliar. Hal yang mengejutkan terjadi pada Sektor Pertanian, Kehutanan dan Perikanan yang naik dari posisi kesepuluh menjadi keempat yang Penerimaan Negara di sektor perpajakan meningkat dari Rp8,- miliar menjadi Rp18,- miliar atau terjadi kenaikan sebesar 116,49 persen.
Kontribusi Sektor Industri Pengolahan yang biasanya menduduki posisi pertama baik kontribusinya maupun penyumbang Penerimaan Pajak, namun pada Januari 2025 berada di posisi kesembilan yang kontribusinya menurun dari Rp7,- miliar pada Januari 2024 menjadi Rp6,- miliar pada Januari 2025 dan laju pertumbuhannya menurun sebesar minus 18,13 persen. Sedangkan Sektor Pertambangan dan Penggalian yang selama beberapa tahun menjadi andalan Sulteng berada pada posisi keenam yang kontribusinya dalam Penerimaan Negara Perpajakan mencapai 5,64 persen dalam perekonomian dan memberikan sumbangsih Penerimaan Perpajakan menurun dari Rp21,- miliar pada Januari 2024 mengalami menjadi Rp16,- miliar pada Januari 2025 atau terjadi penurunan sebesar minus 27,39 persen.
Pada sisi teoretis, hal ini merupakan fenomena biasa dalam transformasi ekonomi pada istilah proses alokasi seperti dijelaskan oleh Hollish Chenery-Moshes Syrquin dalam the Pattern of Development: 1950-1970 pada sisi Proses Alokasi dalam transformasi perekonomian. Namun, karena penduduk Sulawesi Tengah 70 persen tinggal di perdesaan dan bermata pencaharian sebagai petani dan nelayan, maka menjadi masalah dalam strategi pembangunan pada daerah yang kaya sumberdaya alam. Sumber Daya Alam menjadi kutukan ketimbang manfaat dan Provinsi Sulawesi Tengah hanya menjadi compradores atau pelayanan bagi investasi asing yang tercermin dari dampak negatif pada lingkungan dan naiknya kasus HIV-AIDS di kawasan industri.
Pada Tahun 2025, penerimaan Bea dan Cukai di Sulawesi Tengah diproyeksikan mencapai Rp1,91,- triliun, sedangkan realisasinya pada Januari 2025 mencapai Rp103,93,- miliar atau 5,42 persen dari target Rp1,91,- triliun tersebut. Realisasi tersebut lebih rendah daripada realisasi Januari 2024 yang mencapai Rp200,52,- miliar atau lebih rendah 48,17 persen. Realisasi tersebut mencakup Penerimaan Satuan Kerja Kantor Bea Cukai Pantoloan mencapai Rp13,62,- juta atau proporsinya 0,01 persen, Penerimaan pada Satuan Kerja Kantor Bea Cukai Morowali mencapai Rp103,85,- miliar atau proporsinya 99,92 persen dan pada Satuan Kerja KPPBC TMP C Luwuk mencapai Rp70,12,- juta atau proporsinya sebesar 0,07 persen.
Komoditas yang menyumbang penerimaan Bea Masuk terbesar berasal dari Barang Logam Bukan Aluminium Siap Pasang yang kontribusi sebesar 45,97 persen atau Rp36,41,- miliar, diikuti dengan Pipa dan Sambungan Pipa dari Baja dan Besi sebesar Rp12,24,- miliar atau proporsinya sebesar 15,46 persen, dan Kabel Listrik dan Elektronik Lainnya sebesar Rp8,98,- miliar atau proporsinya mencapai 11,34 persen yang pertumbuhan Penerimaan Bea Masuk meningkat dari Rp1,86,- miliar pada Januari 2024 menjadi Rp8,98,- miliar pada januari 2025 atau terjadi kenaikan sebesar 384,45 persen. Pertumbuhan terbesar kedua terdapat pada Barang dari Plastik untuk Bangunan sebesar 181,85 persen (yoy) atau dari sebesar Rp972,- juta pada Januari 2024 menjadi Rp2,74,- miliar pada Januari 2025.
Penerimaan terbesar PNBP sampai dengan Januari 2025 mencapai Rp60,2,- miliar atau pertumbuhannya mengalami penurunan 27,63 persen year-on-year atau 8,43 persen dari target PNBP Tahun 2025. Penerimaan terbesar PNBP per 31 Januari 2025 berasal dari Penerimaan Izin Keimigrasian dan Izin Masuk Kembali (20,8 persen) yang dipungut oleh Kemenimpas, disusul oleh Pendapatan Jasa Kepelabuhanan (13,3 persen) yang dipungut oleh Kemenhub, Penerimaan Belanja Modal TAYL (13,1 persen), dan Pendapatan Jasa Saranan Bantu Navigasi Pelayaran (7,0 persen). BLU Universitas Tadulako belum memperlihatkan realisasi PNBP.
Pendapatan negara per akhir Januari 2025 mencatatkan nominal sebesar Rp444,2,- miliar. Capaian belanja berada di angka Rp1,93,- triliun yang sebagian besar disumbang oleh penyaluran Transfer Ke Daerah (TKD), sebesar Rp1,74,- triliun. Perkiraan defisit regional Tahun Anggaran 2025 sekitar Rp22,69,- triliun. Hal ini dapat disimpulkan bahwa sebagian besar komponen mengalami konstraksi di awal Tahun 2025. Penghematan belanja perjalanan dinas telah terlihat dengan adanya kontraksi pada belanja barang. Dampak selanjutnya adalah terdapat potensi perlambatan pertumbuhan ekonomi pada triwulan I TA 2025 sebagai akibat atas menurunnya realisasi sebagai respon atas efisiensi anggaran. Fokus anggaran Tahun 2025 mengalami perbedaan, dari mendorong pembangunan infrastruktur pada Tahun 2024 menjadi peningkatan kualitas dan ketahanan pangan.
Per Januari 2025, fungsi pelayanan umum menjadi fungsi dengan tingkat realisasi tertinggi, sebesar 9,1 persen. Belanja Pemerintah Pusat dialokasikan sebesar Rp6,48,- triliun dengan efisiensi sebesar Rp1,26,- triliun pada TA 2025 dengan efisiensi terfokus pada belanja barang sebesar Rp536,- miliar dan Belanja Modal sebesar Rp724,- miliar. Alokasi Dekonsentrasi Tugas Pembantuan (DK-TP) di Sulawesi Tengah mencapai Rp58,2,- miliar. Namun, terdapat blokir anggaran sebesar Rp51,21,- miliar. dengan demikian sisa anggaran yang dapat dicairkan adalah Rp6,99,- miliar. Pemblokiran belanja DK-TP merupakan kebijakan mandatori. DK-TP memiliki komponen belanja barang (52) sehingga tingkat effisiensinya sangat tinggi. Total efisiensi sebesar Rp1,52.- triliun atau sekitar 8,1 persen dari pagu awal (Rp18,74,- triliun).
Efisiensi TKD di Sulawesi Tengah berdampak pada pencadangan DAK Fisik (Bidang Konektivitas, Irigasi, Pangan Pertanian, dan Pangan Akuatik) dan DAU Earmark Bidang PU, serta Kurang Bayar DBH, walaupun relatif kecil. Hal tersebut akan memiliki konsekuensi dalam pencapaian target kinerja OPD terkait seperti, Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang, Dinas Cipta Karya dan Sumber Daya Air, dan Dinas Pengampu Urusan Pangan, Pertanian, dan Perikanan.
Informasi lain yakni tidak ada pencadangan alokasi TKD DBH, Dana Desa, DAK Non Fisik, dan Infis. Sementara Pencadangan Kurang Bayar DBH masih menunggu pengaturan lebih lanjut. Efisiensi TKD tidak mengurangi manfaat yang akan diterima oleh masyarakat, karena hasil efisiensi ini akan digunakan untuk kegiatan prioritas pemerintah yang manfaatnya langsung dirasakan oleh masyarakat. Hasil ALCo realisasi sampai dengan 31 Januari 2025 ini dapat digunakan untuk mendorong Pemda untuk melakukan optimalisasi PAD melalui kebijakan Local Taxing Power karena di Tingkat Provinsi Sulteng, potensi PAD mencapai 11,6 poin, namun tax ratio baru mencapai 3,5 poin.
Hal ini berarti ada potensi terpendam sebesar 8,1 poin yang dapat dilakukan dengan cara Bapenda menetapkan target Pajak Daerah sebesar 23,30 persen dan Retribusi Daerah sebesar 19,66 persen sesuai realisasi historis Desember 2023-Desember 2024 dan perbaikan kualitas belanja yang benar-benar sesuai dengan kebutuhan yang fungsi pengawasannya ada ada Wakil Gubernur yang dapat meminta kepada Kanwil Direktorat Jenderal Perbendaharaan Negara (DJPb) Sulteng menjelaskan setiap tahun hasil spending review.
Secara total, realisasi belanja APBN pada Januari 2025 berada pada angka Rp1,93,- triliun dengan deviasi sebesar 28,9 persen (understated). Capaian ini disumbang oleh realisasi BPP yang melebihi proyeksi dan realisasi TKD yang memiliki deviasi yang signifikan yaitu -34,9 persen. Overstated BPP merupakan hasil dari adanya kebijakan efisiensi sehingga nilai realisasinya berada di bawah proyeksi sebelum adanya blokir. Understatement TKD disebabkan oleh tingginya penyaluran DAU, dan DAK Non Fisik; Pagu Pendapatan daerah sebesar Rp25,71,- triliun atau naik 3,29 persen yoy yang didorong oleh peningkatan pada semua kompenen pagu baik PAD, Pendapatan Transfer, dan Lain-lain Pendapatan Daerah yang Sah. Sampai dengan. 31 Januari 2025, dalam hal ini Direktorat Akuntansi & Pelaporan Keuangan (APK) belum memperoleh data APBD Pemda, begitu pula Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan (DJPK) belum menerima data dari Kemendagri, sehingga data konsolidasi APBD belum dapat disediakan.
Sementara data yang bisa disajikan hanya sebatas pagu APBD (tentatif), yang telah diinput oleh bidang Pembinaan Akuntansi & Pelaporan Keuangan (PAPK) Kanwil DJPb Provinsi Sulawesi Tengah. Pagu belanja daerah sebesar Rp26,65,- triliun atau naik 0,27 persen yoy yang didorong oleh peningkatan pada komponen pagu belanja operasi dan belanja transfer. Pemda masih menunggu juknis langkah-Langkah dalam efisiensi belanja APBD dari Kemendagri.
Ekonomi Sulteng pada kuartal III Tahun 2024 tumbuh sebesar 9,08 persen (yoy) menempati posisi tertinggi kedua setelah Provinsi Papua Barat. Secara quarterly to quarterly (qtq), ekonomi sulteng tumbuh 5,37 persen dari Q2 2024. Peningkatan ekonomi Sulawesi Tengah ditopang oleh Net Export dengan share-to-growth sebesar 5,13 persen. Dari sisi produksi, penopang utama ekonomi Sulteng merupakan Sektor Industri Pengolahan.
Hal yang perlu menjadi perhatian adalah pertumbuhan ekonomi Sulteng yang berada di bawah 2-digit selama dua kuartal terakhir. Ekonomi Sulteng pada kuartal IV Tahun 2024 tumbuh sebesar 10,29 persen (yoy) dengan laju tahunan sebesar 9,89 persen (yoy). Secara qtq, ekonomi sulteng tumbuh 2,72 persen dari Q3 2024. Capaian tersebut masih di bawah target RPJMD TA 2024 yakni sebesar 10,80 persen (yoy).
Pertumbuhan ekonomi Sulteng berada di bawah 10 persen pada TW II dan TWIII 2024 menjadi Pelajaran bahwa mesin industry telah berada pada kondisi stabil beroperasi, tetapi daya beli Masyarakat Sulteng melemah, setelah 3 tahun berturut-turut konsisten di atas 2-digit. Peningkatan ekonomi Sulawesi Tengah ditopang oleh Net Export dengan share-to-growth sebesar 5,9 persen dan konsumsi rumah tangga sebesar 1,46 persen. Dari sisi produksi, pertumbuhan ekonomi Sulteng masih ditopang dari Industri Pengolahan dan Sektor Penggalian dikuti sektor Jasa Keuangan dan Asuransi; dan Penyediaan Akomodasi dan Makan Minum. Perekonomian Sulteng menunjukkan kenaikan tertinggi di Kawasan Sulawesi. Pertumbuhan ekonomi Sulteng yang impresif tersebut mampu mendongkrak kontribusi perekonomian Sulteng terhadap perekonomian Nasional sebesar share 1,71 persen pada Tahun 2024, dan juga share sebesar 24,03 persen terhadap perekonomian Pulau Sulawesi.
Inflasi bulan Desember tercatat sebesar 0,32 persen (mtm) dan 1,29 persen (yoy). Inflasi terjadi di seluruh Sulteng kecuali di Kabupaten Tolitoli dengan deflasi sekitar -0,06 persen (mtm) dan -0,35 persen (yoy). Penyumbang inflasi didominasi oleh komoditas pangan, terutama ikan selar, bawang merah, dan tomat. Harga beras Sulteng tetap stabil hingga penghujung 2024, mencapai Rp14,800/kg untuk periode Desember 2024. yang sebagian besar kembali dipengaruhi oleh peningkatan harga emas perhiasan sebesar 0,38 persen, Sigaret Kretek Mesin sebesar 0,25 persen, Bawang Merah 0,20 persen.
Harga beras Sulteng tercatat menunjukkan kondisi stabil pada Desember 2024, sekitar Rp14,800/kg. Namun perlu diperhatikan terkait deflasi untuk komoditas ikan selar sebesar 0,13 persen, bawang merah sebesar 0,07 persen, tomat sebesar 0,07 persen; Deflasi bulan Januari sebesar -1,18 persen (mtm) dan 0,02 persen (yoy), serta -1,18 persen (ytd). Secara umum, penuruanan harga terjadi di seluruh kota dan kabupaten di Sulteng akibat subsidi tarif listrik dari pemerintah.
Penyumbang inflasi didominasi oleh komoditas pangan, terutama sigaret kretek mesin, minyak goreng, dan beras. Harga beras Sulteng tetap stabil hingga awal 2025, mencapai Rp14,800/kg untuk periode Januari 2025. Namun demikian, terpantau tiga komoditas yang perlu diwaspadai karena mengalami kenaikan harga menjelang HBKN dan berpotensi memicu inflasi musiman, yakni cabai, minyak goreng, dan gula pasir.
Pelaksanaan Makan Bergizi Gratis (MBG) saat ini dilaksanakan menggunakan mekanisme Bantuan Pemerintah dilatarbelakangi kondisi belum terbentuknya unit vertikal di daerah dan terbatasnya SDM (pengelola keuangan, PBJ, dll) pada Badan Gizi Nasional (BGN). Idealnya, pelaksanaan MBG dilaksanakan melalui belanja operasional atau belanja yang melekat pada BGN, sehingga BGN memiliki kontrol penuh terhadap pelaksanaan MBG, bukan diwewenangkan kepada penerima bantuan. Target operasi SPPG masih terus berjalan.
Angka kemiskinan menurun dari 13 persen pada 2021 menjadi 12,30 persen Tahun 2022, namun kembali meningkat menjadi 12,41 persen di Tahun 2023 lalu pada Maret 2024 menurun menjadi 11,77 persen dan 11,04 persen pada September 2024. Angka kemiskinan di Tahun 2023 masih di atas target 2023 yakni 10,84 persen. Target penurunan persentase penduduk miskin dalam RPJMD Sulteng Tahun 2021-2026 mencapai 10,84 persen.
Namun, justru terjadi kenaikan dari 12,30 persen pada 2022 menjadi 12,41 persen pada Maret 2023. Di Tahun 2024, semua 13 kabupaten/kota mengalami penurunan angka kemiskinan. Kemiskinan di Kota Palu menurun menjadi 5,94 persen, diikuti oleh kemiskinan di Kabupaten Banggai menurun menjadi 6,56 persen, lalu Kabupaten Morowali sebesar 11,55 persen dan Morowali Utara sebesar 11,95 persen. Tiga kabupaten berada pada angka kemiskinan sekitar 12 persen yakni Sigi sebesar 12,06 persen, Banggai Kepulauan sebesar 12,32 persen dan Tolitoli yakni 12,45 persen.
Kabupaten Buol dan Banggai Laut mempunyai angka kemiskinan masing-masing 13,08 persen dan 13,78 persen. Kabupaten Parigi Moutong dan Poso mempunyai angka kemiskinan pada kisaran 14 persen yang masing-masing mencapai 14,20 persen dan 14,23 persen. Dua kabupaten mempunyai angka kemiskinan tertinggi yakni Kabupaten Tojo Una-Una sebesar 16,36 persen dan Kabupaten Donggala sebesar 15,30 persen.
Namun, penurunan angka kemiskinan ini justru dibarengi dengan kenaikan angka kesenjangan distribusi pendapatan yang ditunjukkan oleh koefisien Gini dari 0,301 poin pada Maret 2024 menjadi 0,309 poin pada September 2024; Kemiskinan ekstrim yang turun di Sulteng dari 3,15 persen pada 2021 menjadi 3,02 persen pada Tahun 2022, lalu turun lagi menjadi 1,44 persen pada 2023 adalah kemiskinan ekstrim yang ditargetkan menjadi 0 persen pada 2024; Target penurunan kemiskinan ekstrim 0 persen belum tercapai pada 2024. Kabupaten Banggai yang pada 2023 telah mencapai 0 persen angka kemiskinan ekstrim, di Tahun 2024 mempunyai angka kemiskinan ekstrim sebesar 1,15 persen. Secara umum, angka kemiskinan esktrim di Sulteng mencapai 1,27 persen. Kota Palu mempunyai angka kemiskinan ekstrim mendekati 0 persen yakni 0,36 persen. Sebaliknya, angka kemiskinan ekstrim tertinggi di Kabupaten Tojo Una-una mencapai 2,16 persen.
Luas panen padi di Sulteng mengalami penurunan pada 2023-2024. Di Tahun 2023, luas panen mencapai 177.699 Ha menurun menjadi 171.786 Ha. Hal ini terjadi pada tujuh daerah yaitu, Banggai, Poso, Donggala, Tolitoli, Buol, Sigi dan Morowali Utara; Produksi padi dalam satuan Gabah Kering Giling (GKG) Sulteng mengalami penurunan dari 821.367 ton GKG di Tahun 2023 menjadi 759.838 ton GKG di Tahun 2024. Hal ini terjadi pada Kabupaten Banggai, Poso, Donggala, Buol, Sigi dan Morowali Utara. Produktivitas lahan tanaman pangan padi mengalami penurunan dari 4,62 ton GKG/Ha pada 2023 menjadi 4,42 ton GKG/Ha pada 2024.
Hal ini terjadi pada delapan kabupaten yakni Banggai Kepulauan, Banggai, Poso, Donggala, Parigi Moutong, Tojo Una-Una, Sigi, Morowali Utara. Produksi beras Sulteng mengalami penurunan dari 484.835 ton pada 2023 menurun menjadi 448.514 ton. Indeks Ketahanan Pangan (IKP) Sulawesi Tengah menunjukkan pertumbuhan pada Tahun 2022 namun menurun di tahun 2023. IKP mencapai 75,83 poin, menjadikan Sulteng di urutan 17 secara nasional. Ketersediaan pangan di Banggai Kepulauan dan Banggai Laut perlu diperhatikan karena terus mengalami penurunan sejak Tahun 2021. Selain itu, indeks kemanfaatan—yang diukur dari Rata Lama Sekolah, stunting, harapan hidup, rasio tenaga Kesehatan, dan akses air bersih — Donggala, Tolitoli, dan Sigi perlu diperkuat.
Kebutuhan pada Produk Domestik Regional Bruto Hijau (PDRB Hijau) mendesak yang dapat bekerjasama dengan BPS Sulteng untuk menghitung PDRB setelah melalui valuasi ekonomi diperkurangkan dengan bencana dan kerusakan lingkungan akibat bencana tahunan yang melanda Sulteng. Laju pertumbuhan ekonomi Sulteng tentu saja tidak setinggi 9,08 persen pada kuartal III 2024. Namun demikian, perhatian pada Ekonomi Hijau, dan Ekonomi Sirkuler, serta Bioekonomi dapat menjadi tradisi baru di Sulteng sebagai bagian dari implementasi pembangunan lingkungan dan menjaga lingkungan sebagai kekayaan masa depan Sulteng jauh dari gangguan industrialisasi massif.
Komoditi makanan penyumbang inflasi pada Desember 2024 adalah emas perhiasan sebesar 0,38 persen, sigaret kretek mesin 0,25 persen, bawang merah sebesar 0,20 persen; Satu dari masalah lonjakan harga di Sulteng adalah mahalnya biaya transportasi dan logistik. Solusi merangkai konektivitas Jalan Nasional dengan 10 infrastruktur lainnya yang belum terhubung yakni 5 Pelabuhan laut, 4 Pelabuhan Penyebrangan dan 1 terminal.
Selain itu, Solusi melakukan pembinaan atas pekerjaan yang bersifat lanjutan Program “Memperkuat Infrastruktur untuk Mendukung Pengembangan Ekonomi dan Pelayanan Dasar” KemenPUPR. Satu dari berbagai solusi mengurangi kemiskinan makanan di Sulteng adalah memperkuat infrastruktur jalan dan jembatan dalam distribusi pangan dan hortikultura antar 13 kabupaten/kota, selain penguatan kelembagaan ekonomi melalui Peraturan Daerah Penyanggah Harga yang menciptakan adalah Depot Logistik milik daerah atau berupa penguatan kiprah Badan Usaha Milik Daerah (BUMD).
Tantangan dan dampak kesulitan geografis juga dapat dilihat dari data Indeks Kesulitan Geografis (IKG) yang merupakan ukuran untuk menentukan tipologi desa berdasarkan tingkat kesulitan untuk akses pada suatu desa, serta dapat menggunakan Data Desa Presisi oleh IPB University. Akses yang dimaksud adalah akses terhadap pelayanan dasar, kondisi infrastruktur, serta aksesibilitas jalan atau sarana transportasi, dan komunikasi. Nilai IKG yang rendah menunjukkan bahwa aksesibilitas di wilayah tersebut baik, dan begitupun sebaliknya. Pada Tahun 2021 IKG Sulteng berkisar antara 12,56 poin sampai dengan 77,30 poin dari total 1.842 desa. Jika dikelompokkan, maka sebanyak 12,65 persen desa di Sulteng nilai IKGnya rendah, 58,15 persen cukup rendah, 25,24 persen sedang, dan 3,96 persen tinggi.
Mayoritas desa-desa yang memiliki nilai IKG tinggi adalah desa-desa yang ketersediaan fasilitas/infrastrukturnya sangat rendah, baik karena akses jalan yang buruk ataupun letak geografis desa yang berada jauh di pedalaman, ataupun di lereng/puncak gunung. Selain itu, 686 desa dari 1.842 desa atau proporsinya 37,24 persen masih blank-spot dengan jumlah terbanyak yakni 126 desa berada di Kabupaten Banggai. Belanja mitigasi dan/atau penanganan perubahan iklim telah tersalurkan sekitar Rp2,95,- miliar selama Januari-Mei 2024. Hal ini dilakukan karena selama satu dekade, suhu di Sulteng mengalami kenaikan sebesar 1,2 derajat Celcius.
Pemerintah melakukan re-focussing anggaran pada 2024 sehingga berdampak terhadap menurunnya pagu belanja terkait perubahan iklim.
Belanja tematik Mitigasi Perubahan Iklim mengalami penurunan pagu sebesar 83,8 persen pada 2024 namun kecepatan penyerapannya tercatat lebih baik. Belanja Adaptasi Perubahan Iklim mengalami kenaikan pagu yang cukup signifikan sekitar 7 kali lipat dari Tahun 2023. Alokasi Transfer ke Daerah (TKD) di Tahun 2024 atas bidang terkait adaptasi perubahan iklim menunjukkan adanya penurunan terlepas dari peningkatan pagu DAK Fisik. Selain DAK Fisik, alokasi anggaran TA 2024 DAK Non Fisik terkait Dana Ketahanan Pangan dan Pertanian menunjukkan penurunan sebesar 15,9 persen (yoy).
Dalam rangka mitigasi dampak perubahan iklim atas sektor perekonomian di Sulteng, khususnya agrikultur, dapat dilaksanakan beberapa hal sebagai berikut:, pertama, Penggeseran pagu belanja APBN terkait menjadi TKD sehingga pemda dapat memanfaatkannya sesuai dengan kondisi di lapangan; Kedua, Penguatan belanja untuk rehabilitasi kerusakan akibat industri ekstraksi; Ketiga, Penguatan kualitas belanja modal penunjang sektor pertanian termasuk dalam kepastian capaian outcome atas belanja yang terealisasikan.
Penambahan daerah kepulauan yakni Banggai Laut, Banggai Kepulauan, Tojo Una-Una sebagai acuan perhitungan harga sebagai Indeks Harga Konsumen (IHK) dan Nilai Tukar Petani (NTP), serta Nilai Tukar Nelayan (NTN) dapat memperkaya realitas harga-harga kebutuhan pokok makanan dan non-makanan, sehingga strategi spasial dan tematik dalam pembangunan ekonomi dapat tercipta khususnya pada Pemerintahan baru di 13 kabupaten/kota dan Provinsi Sulteng.
Pemerintah Provinsi dapat menginisiasi perhitungan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Hijau baik di tingkat Provinsi Sulteng maupun pada 13 kabupaten/kota yang tentu saja memperhitungkan kerusakan ekosistem hutan dan perairan. Namun, dalam jangka pendek di era efisiensi, optimalisasi PAD menjadi tugas mendesak pada Bapenda dan perangkat daerah pengumpul PAD di Provinsi Sulteng.***