KONSESI TAMBANG UNTUK PERGURUAN TINGGI; Menatap Dari Sudut yang Lain

121 Views

KONSESI TAMBANG UNTUK PERGURUAN TINGGI;
Menatap Dari Sudut yang Lain

Oleh: Muhd Nur SANGADJI
(Kepala Pusat Penelitian Lingkungan Hidup Universitas Tadulako)

JATI CENTRE – Saya merasa cocok dengan pikiran Dr. Abd Rauf. Pengajar senior, pakar Klimatologi di Fakultas Pertanian Universitas Tadulako. Beliau beri pikiran untuk menjembatani polemik ramai tentang konsesi tambang.

Kata beliau, inilah saatnya perguruan tinggi dengan kekayaan resources-nya untuk tampil memberikan contoh. Tidak hanya habis di teori belaka.

Saya merasa cocok karena ini tantangan, ketika melihat perguruan Tinggi dalam konteks badan hukum. Karena sudah terlanjur dikonsepkan sebagai lembaga yg mengelola bisnis. Maka jangan tanggung-tanggung.

Kongkritnya, harus diletakkan perguruan tinggi pada sisi extrimitas ujung yang satu. Murni, urusan pendidikan tanpa bisnis. Atau, extrimitas ujung yang lainnya. Yaitu, bisnis secara totalitas.

Jangan setengah setengah. Mau bilang berbisnis, tapi tidak. Alias malu-malu. Mau bilang tidak berbisnis. Tapi, semua sedang berfikir bagaimana semua aset universitas di- uang- kan.

Karena itu, agak aneh (inkonsistensi). Ketika mendiamkan salah satu model bisnis. Lalu, menolak model bisnis yang lain. Mengapa boleh kelola hutan? Perhotelan? Kebun? dan lainnya ?

Lantas, menolak tambang? Bukankah, tambang, hutan dan kebun serta perhotelan itu, sama-sama sektor pembangunan? Mengapa diskriminasi cara berfikirnya?

Mengapa saat dibolehkan konsesi hutan. Kita tidak bilang ini upaya membungkam Dosen dan Mahasiswa ? Mengapa nanti tambang baru muncul pikiran tersebut? Kemudian, apakah Dosen dan Mahasiswa selama ini (tanpa diberi konsesi tambang) kritis?

Bila, jawabannya tidak. Apakah karena mereka peroleh sesuatu dari negara ? Kalau pikiran ini dibenarkan maka secara ideal, dosen harus tidak boleh terima gaji. Faktanya, sejak dahulu dosen terima gaji. Tapi, rasanya jiwa kritis itu lebih hebat pada masa lalu. Boleh jadi, Karena mereka pikir. Gaji itu adalah pemberian negara.

Pertanyaannya, mengapa saat kita terima gaji, tidak merasa takut dibungkam oleh negara (baca ; pemerintahan). Mungkin kita bilang itu adalah hak. Bila demikian, mengapa pemberian konsesi itu, kita tidak sebut juga, adalah hak ? Sebab, diberikan atas dasar undang undang ?

Dengan begitu, saya berpandangan. Bila tambang diberikan hak konsesi kepada perguruan tinggi. Maka, ini merupakan pemberian negara, karena diatur dalam regulasi. Prinsipnya sama dengan Pasal 33 UUD 1945 tentang hak mengelola SDA oleh negara.

Kemudian, negara memberikan kepada pihak lain untuk mewakilinya. Maka, perguruan tinggi dalam hal ini, adalah wujud pengelolaan negara yang dimandatkan kepada Institusi pendidikan. Apakah dengan demikian, kita kehilangan daya kritis kepada pemerintah?

Justru daya kritis kita melemah karena berfikir mendua. Mestinya, kalau menolak salah satunya. Harusnya, menolak secara keseluruhan. Bahkan, menolak konsepsi PTNBH. Karena ini adalah biang kerok yang membuat perguruan tinggi menjadi lembaga bisnis?

Di sinilah kualitas perguruan tinggi diukur. Mereka harus bisa bedakan secara fungsional apa itu negara dan apa itu pemerintah. Mereka hanya boleh menghamba kepada negara. Bukan kepada pemerintah. Pemerintah boleh berganti secara periodik tapi negara tidak. Kecuali semua bersepakat untuk bubar.

Wallahu a’lam bi syawab.***

BANGKITNYA KAUM CENDEKIA (INTELEKTUAL); Suara Mereka Benteng Terakhir

118 Views

BANGKITNYA KAUM CENDEKIA (INTELEKTUAL); Suara Mereka Benteng Terakhir
Oleh: Muhd Nur Sangadji


JATI CENTRE – Pada satu pertemuan stakeholder di Universitas Tadulako sekira tahun 2010. Ada seorang birokrat mengungkapkan kerinduannya kepada Forum Rektor Indonesia yang sering tampil ke tengah, memberi gagasan dan teguran di era sentralistiknya Soeharto. Dia bertanya, mengapa kampus saat ini sepi dari pikiran kritis? Padahal, kalian menyandang predikat “Kebebasan Akademik ?

Di negeri mafioso Italia sekitar puluhan tahun lalu, ada satu kajadian menggemparkan. Kala itu, Italia dikuasai kaum mafia. Mereka sangat dikenal dengan semboyan omerta. Bermakna, tutup mulut dan pegang kesetiaan (lihat Laurance Peter, BBC london, 2018). Prinsip lainnya adalah, ambilah dari orang apa miliknya, sebelum mereka ambil dari kamu, apa milikmu. […]