Oleh: Dr. Ir. Muhd. Nur Sangadji, DEA
(Dosen Tetap Universitas Tadulako Palu)
Pada kuliah bahasa Inggris dan bonus bahasa Perancis sore tadi. Saya terpaksa harus menegur dua mahasiswa yang sibuk berbisik berkali kali. Ini salah satu tabiat buruknya anak-anak kita. Berbisik-bisik cenderung berisik. Itu terjadi pada ruang kuliah, ruang publik, bahkan ruang ibadah.
Dalam masa kerja sebagai dosen lebih tiga puluh tahun ini. Persoalan begini terus-menerus berulang hingga kini. Itu bermakna, perilaku tersebut, masih terus diproduksi oleh pendidikan di bawahnya.
Pendidikan tingkat TK, SD, SMP dan SMA masih mengirim generasi sekolah bertipe ini ke perguruan tinggi. Jenjang yang sudah agak terlambat untuk membentuk perilaku karena terlanjur mengakar membentuk kebiasaan alamiah.
Abraham Lincoln yang bilang “your action can be modified by another action, but your nature is difficult to be changed”.
Kebiasaan buruk ini, sesungguhnya tidak sekedar soal etika terkait sopan santun. Tapi juga, soal kesungguhan mengikuti sebuah majelis. Begitu seriusnya soal yang satu ini, sampai-sampai agama memberi perhatian khusus.
Hadis Rasulullah memandunya. “Barang siapa yang bercakap saat khatib Jum’at naik ke mimbar. Maka, batallah ibadah shalat Jum’at pada saat itu.”
Perhatikan, sang Muazin tampil memberikan peringatan itu dalam bahasa Arab mengacu pada hadis. Setelah itu, baru beliau persilahkan khatib naik ke mimbar. Saya yakin, di agama lain pun, ada cara dengan tujuan yang sama. Sekarang, malah ada peringatan tambahan, matikan HP.
Itu artinya, kita dituntut untuk memberikan konsentrasi terbaik pada saat mendengar orang sedang bicara. Itu juga wujud penghargaan dan tata Krama dalam komunikasi publik. Saya merasa anak-anak mahasiswa dan murid murid kita di sekolah kurang diajari etika ini. Karena itu, terbawa bawa sampai tua.
Ingat peristiwa presiden SBY di Istana? Dari podium, beliau menegur peserta rapat yang asyik berbisik yang cenderung berisik mengganggu. Dan, tahu siapa peserta rapat itu? Para gubernur se Indonesia.
Jadi, manusia Indonesia se level gubernur saja masih begitu buruk perilakunya di ruang komunikasi publik. Lalu, apa yang kita harapkan sebagai teladan untuk soal ini?
Teringat satu waktu bersama kawan-kawan Indonesia. Kami menyeberang dari Paris ke Belanda melewati Belgia, menggunakan kereta cepat (Train grand vitase).
Di ruang penyejuk udara yang sangat nyaman, kami mengalami teguran berkali-kali lantaran berisik. Pastilah mengganggu penumpang yang lain. Perilaku kurang terpuji ini terjadi berulang-ulang.
Sementara di sebelah menyebelah, penumpang lain tenang dan tertib. Saya merasa, kita seperti kurang punya adab.
Saya juga pernah mendapat teguran dari seorang gadis di perpustakaan kampus di kota Lyon. Kala itu, saya membaca buku sambil mendengar radio. Di ruang yang tenang itu, suara radio ku mengganggu. Padahal saya telah gunakan “headset“. Gadis itu datang dan menegurku dengan sangat sopan. Saya mohon maaf dengan perasaan malu sambil menunduk hormat.
Mungkin, satu hal yang patut disoal sebagai sebab. Sekaligus, hal yang sama sebagai harapan perbaikan adalah pendidikan. Boleh jadi, pendidikan kita kurang membiasakan anak anak untuk menghargai orang lain yang sedang bicara.
Juga, tidak mengajarkan mereka diam menyimak saat guru memberikan pelajaran. Pada ramadhan kali ini, patut mendapat perhatian sebagai pendidikan karakter. Sekarang kita puasa berbisik-bisik. Setelahnya, kita tidak berbisik-bisik lagi. Walaupun saat itu, kita tidak sedang berpuasa.
Semoga.***