Oleh: Moh. Qadri
(Staf Bawaslu Provinsi Sulteng)
Memasuki September 2020, tanggal 04 sampai 06 merupakan babak baru penentu kontestasi Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) serentak tahun 2020. Yakni pendaftaran bakal pasangan calon kepala daerah, baik tingkat Kabupaten/Kota hingga Provinsi. Diibaratkan anak tangga, untuk melangkah fase selanjutnya yang menetukan nasib “bakal calon kepala daerah” menjadi “calon kepala daerah”, maka tahap penetapan merupakan pijakan memastikan kontestan dapat maju pada fase setelahnya. Hingga bermuara terpilihnya kandidat menjadi kepala daerah yang definitif dan merupakan pilihan rakyat secara demoktatis. Yakni, Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah yang dipilih dalam satu pasangan calon dan dilaksanakan secara demokratis berdasarkan azas langsung, umum bebas, rahasia, jujur, dan adil.
Selayaknya kontestasi, tentu ada pilihan yang menjadi dilema tersendiri baik untuk Penyelenggara, Peserta Pilkada (Kandidat Bakal Calon) dan utamanya rakyat pemilih akibat perintah Undang-Undang. Sebagai konsekuensi negara Civil Law serasa menelan pil pahit dengan menggugurkan bakal calon dikarenakan tidak terpenuhinya syarat maju sebagai bakal calon pada perhelatan pesta demokrasi. Sehingga terbesit sebuah tanya apa arti demokrasi? Di manakah hak warga negara untuk dipilih? Di manakah suara rakyat untuk memilih calon yang mereka sukai? serta sudahkah sejumlah kursi parlemen yang diwakili partai politik adalah murni representasi suara rakyat?
Hakikat Demokrasi
Banyak Negara mengklaim dirinya sebagai Negara yang demokrasi. Negara dimana dalam system pemerintahannya melibatkan rakyat didalam mengatur dan menjalankan pemerintahannya. Pelibatannya tersebut dapat secara langsung maupun tidak langsung. Negara-negara tersebut mengupload semua kegiatannya dengan mengatasnamakan rakyat. Bahkan Negara-negara yang sebenarnya menganut sistem kerajaanpun mengklim dirinya Negara yang demokratis. Termasuk juga Indonesia, UUD 1945 sebagai konstitusi Negara yang telah mengalami empat kali perubahan, secara nyata mengatur dan mengakui demokrasi sebagai mekanisme pemerintahan. Hal tersebut dapat dilihat dari rumusan Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 yaitu “Kedaulatan ada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang” Pasal tersebut memuat dua prinsip. Pertama prinsip kedaulatan rakyat atau demokrasi dan yang kedua adalah prinsip Negara hukum. Selain itu, wujud nyata Indonesia sebagai Negara demokrasi juga dapat dilihat pada pasal 6A yang mengatur mengenai pemilihan Presiden dan Wakil Presiden secara langsung, serta Pasal 18 ayat (3) dan (4) yang mengatur mengenai pemilihan DPRD Provinsi dan Kabupaten/Kota, dan pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota[1].
Memahami masalah demokrasi terlebih dahulu harus memahami apa definisi dari demokrasi? Tidak ada satu kesamaan dari beberapa ahli mendefinisikan apa itu demokrasi. Secara peristilahan demokrasi berasal dari dua kata yaitu demos dan kratos. Demos mengandung arti rakyat sedangkan kratos mengadung arti pemerintahan. Jadi apabila dua makna tersebut di gabungkan maka demokrasi mengandung makna pemerintahan rakyat.
Makna dari pemerintahan rakyat adalah segala kebijakan yang dibuat oleh Negara akan melibatkan partisipasi rakyat. Partisipasi rakyat tentunya dilaksanakan melalui beberapa tahapan yaitu pertama rakyat harus mengetahui. Kedua, rakyat harus ikut memikirkan. Ketiga, rakyat harus ikut memusyawarahkan. Dan yang keempat, rakyat harus ikut memutuskan. Selain hal tersebut di atas juga tidak kalah pentingnya terhadap partisipasi rakyat adalah rakyat harus ikut aktif melaksanakan. Berkaitan dengan pemerintahan rakyat, ada trademark yang sangat terkenal sampai saat ini yang dinyatakan oleh salah satu presiden Amerika Serikat Abraham Lincoln, presiden Amerika Serikat yang ke 16.
Presiden Amerika tersebut menyatakan bahwa demokrasi adalah pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Mengacu kepada pernyataan tersebut di atas demokrasi diakui banyak orang dan Negara sebagai sebuah system nilai kemanusiaan yang paling menjanjikan masa depan umat manusia yang lebih baik dari system lainnya. Sejak tahun 1998 atau sejak masa reformasi bergulir di Indonesia, demokrasi di Indonesia seperti berlari kencang. Hal ini ditandai dengan dibukanya kesempatan untuk melakukan sesuatu secara bebas. Sejak reformasi kebebasan warga Negara dijamin oleh Negara melalui perlindungan hukum terhadap warga Negara untuk mengekpresikan sesuatu yang dikehendakinya. Pada pemilu tahun 1999 contohnya, saat itu partai politik peserta pemilu sangat banyak sekali.
Negara memberi kebebasan kepada rakyat untuk mendirikan partai politik dan ikut serta di dalam kompetisi pemilihan umum. Syarat-syarat pendirian partai politik pun sangatlah mudah. Selain kebebasan pendirian partai, kebebasan warga Negara untuk berserikat dan berkumpul pun mendapat jaminan secara konkrit. Baik di dalam perlindungan hukum maupun juga di dalam praktek-prakteknya. Sejak reformasi tahun 1998 kebebasan warga untuk melaksanakan unjuk rasa demontrasi menuntut hak-hak masa begitu banyak terjadi. Apabila ada masalah sedikit masyarakat lebih memilih menggunakan jalan berunjuk rasa dari pada melalui musyawarah. Demontrasi terjadi di mana-mana, mulai dari kota besar sampai desa-desa terpencil.
Seperti uraian di atas, bahwa konsep demokrasi bukanlah konsep yang mudah dipahami. Hal ini karena ada beberapa definisi berbeda-beda yang disampaikan para ahli. Bahkan di dalam pelaksanaannya ada kata di belakang kata demokrasi untuk memberikan kejelasan demokrasi yang dianut sebuah Negara. Lihat saja perkembangan demokrasi di Indonesia.
Indonesia dari masa ke masa menganut demokrasi yang berbeda beda. Pada masa pemerintahan presiden Sukarno dikenal dengan Demokrasi terpimpin. Pada masa pemerintahan Presiden Suharto dikenal dengan Demokrasi Panca Sila, yang menggaunkan sebuah statmen melaksanakan Panca Sila dengan Murni dan konsekuansinya. Dalam pelaksanaannya sehari-hari Panca Sila menjadi Asas Tunggal dalam menjalankan kehidupan bernegara. Apabila melihat sifat dari demokrasi yang bermacam-macam itu, dikenal berbagai tipologi demokrasi. Di antaranya adalah demokrasi langsung, demokrasi konstitusional, demokrasi rakyat.[2]
“Demokrasi langsung adalah suatu kondisi ketika keseluruhan warga Negara dengan nyata ikut serta dalam permusyawaratan untuk menentukan kebijaksanaan umum atau undangundang.”[3] Pada kondisi Negara yang kecil dan memiliki jumlah penduduk yang sedikit kemungkinan demokrasi langsung dapat dilaksanakan. Namun demikian pada Negara yang luas, besar dan memiliki penduduk yang sangat banyak, penerapat demokrasi secara langsung sangatlah tidak mungkin secara murni dilaksanakan. Seperti di Indonesia makan pelaksanaan demokrasi secara langsung hanyalah terbatas terhadap pelaksanaan pemilihan umum. Baik pemilihan umum untuk memilih wakil rakyat yang duduk di DPR, DPD, DPRD Provinsi, DPRD Kabupaten/Kota dan pemilihan Presiden dan Wakil Presiden. Demikian juga dalam pelaksanaan pemilihan kepada daerah baik pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota di pilih secara langsung sebagai perwujudan Demokrasi.
Hakikat demokrasi sebagai suatu sistem bermasyarakat dan bernegara serta pemerintahan memberikan penekanan pada keberadaan kekuasaan di tangan rakyat baik dalam penyelenggaraan maupun pemerintahan. Dalam konsep demokrasi yang dimaknai bahwa pemerintahan berada di tangan rakyat, Mahfud MD membanginya menjadi 3 hal, yaitu : 1) pemerintahan dari rakyat (government of the people), 2) pemerintahan oleh rakyat (government by the people), 3) pemerintahan untuk rakyat (government for the people).
Hak Politik Warga Negara
Hak Politik Warga Negara merupakan bagian dari hak-hak yang dimiliki oleh warga negara dimana asas kenegaraannya menganut asas demokrasi. Lebih luas hak politik itu merupakan bagian dari hak turut serta dalam pemerintahan. Hak turut serta dalam pemerintahan dapat dikatakan sebagai bagian yang amat penting dari demokrasi. Hak ini bahkan dapat dikatakan sebagai pengejawantahan dari demokrasi, sehingga jika hak ini tidak ada dalam suatu negara, maka negara tersebut tidak semestinya mengakui diri sebagai negara demokratis. Negara-negara yang menganut demokrasi, pada umumnya mengakomodir hak politik warga negaranya dalam suatu penyelenggaraan pemilihan umum, baik itu bersifat langsung maupun tidak langsung.
Dalam Konvenan Internasional Sipil dan Politik, ICCPR (International Convenan on Civil and Political Rights) disebutkan bahwa keberadaan hak-hak dan kebebasan dasar manusia diklasifikasikan menjadi dua jenis: pertama, kategori neo-derogable, yaitu hak-hak yang bersifat absolut dan tidak boleh dikurangi, walaupun dalam keadaan darurat. Hak ini terdiri atas; (i) hak atas hidup (rights to life); (ii) hak bebas dari penyiksaan (right to be free from slavery); (iii) hak bebas dari penahanan karena gagal dalam perjanjian (utang); (iv) hak bebas dari pemidanaan yang bersifat surut, hak sebagai subjek hukum, dan atas kebebasan berpikir, berkeyakinan, agama.
Jenis kedua yaitu kategori derogable, yaitu hak-hak yang boleh dikurangi/ dibatasi pemenuhannya oleh negara pihak. Hak dan kebebasan yang termasuk dalam jenis ini meliputi (i) hak atas kebebasan berkumpul secara damai; (ii) hak atas kebebasan berserikat, termasuk membentuk dan menjadi anggota buruh; dan (iii) hak atas kebebasan menyatakan pendapat/ berekspresi; termasuk kebebasan mencari, menerima, dan memberi informasi dengan segala macam gagasan tanpa memperhatikan batas (baik melalui lisan/ tulisan).
Namun demikian, bagi negara-negara pihak ICCPR diperbolehkan mengurangi kewajiban dalam pemenuhan hak-hak tersebut. Tetapi penyimpangan itu hanya dapat dilakukan apabila sebanding dengan ancaman yang dihadapi dan tidak bersifat diskriminatif, yaitu demi; (i) menjaga keamanan/ moralitas umum, dan (ii) menghormati hak/ kebebasan orang lain. Dalam hal ini Rosalyn Higgins menyebutkan bahwa ketentuan ini sebagai keleluasaan yang dapat disalahgunakan oleh negara.
AS Hikam dalam pemaparannya menyebutkan adanya beberapa hak-hak dasar politik yang inti bagi warga negara diantaranya; hak mengemukakan pendapat, hak berkumpul, dan hak berserikat. Dalam UUD 1945, tercantum adanya keberadaan hak politik sipil dalam beberapa pasal. Pada pasal 27 ayat 1 mengenai persamaan kedudukan semua warga negara terhadap hukum dan pemerintahan; pasal 28 tentang kebebasan, berkumpul dan menyatakan pendapat; dan pasal 31 ayat 1 tentang hak setiap warga negara untuk mendapatkan pendidikan.
Secara ringkas dapat dikatakan bahwa hak-hak politik masyarakat Indonesia yang dijamin oleh UUD, yaitu hak membentuk dan memasuki organisasi politik ataupun organisasi lain yang dalam waktu tertentu melibatkan diri ke dalam aktivitas politik; hak untuk berkumpul, berserikat, hak untuk menyampaikan pandangan atau pemikiran tentang politik, hak untuk menduduki jabatan politik dalam pemerintahan, dan hak untuk memilih dalam pemilihan umum. Yang mana semuanya direalisasikan secara murni melalui partisipasi politik.
Adapun keseluruhan penggunaan hak politik sipil dibedakan atas dua kelompok:
- Hak politik yang dicerminkan oleh tingkah laku politik masyarakat.Biasanya penggunaannya berupa hak pilih dalam pemilihan umum, keterlibatan dalam organisasi politik dan kesertaan masyarakat dalam gerakan politik seperti demonstrasi dan huru-hara.
- Hak politik yang dicerminkan dari tingkah laku politik elit. Dalam hal ini, tingkah laku elit dipahami melalui tata cara memperlakukan kekuasaan, penggunaan kekuasaan dan bentuk hubungan kekuasaan antar elit, dan dengan masyarakat.
Moh. Kusnardi dan Hermaily Ibrahim mengungkapkan bahwa dalam paham kedaulatan rakyat (democracy) rakyatlah yang dianggap sebagai pemilik dan pemegang kekuasaan tertinggi suatu negara. Rakyatlah yang menentukan corak dan cara pemerintahan diselenggarakan. Rakyatlah pula yang menentukan tujuan yang hendak dicapai oleh negara dan pemerintahannya itu.
Dalam praktiknya, yang secara teknis menjalankan kedaulatan rakyat adalah pemerintahan eksekutif yang dipilih secara langsung oleh rakyat dan wakil-wakil rakyat di lembaga perwakilan rakyat atau parlemen. Perwakilan rakyat tersebutlah yang bertindak untuk dan atas nama rakyat, yang secara politik menentukan corak dan cara bekerjanya pemerintahan, serta tujuan yang hendak dicapai baik dalam jangka panjang maupun pendek. Agar para wakil rakyat tersebut dapat bertindak atas nama rakyat, maka wakil-wakil rakyat harus ditentukan sendiri oleh rakyat. Mekanismenya melalui pemilihan umum (general election). Dengan demikian, secara umum tujuan pemilihan umum adalah:
- memungkinkan terjadinya peralihan pemerintahan secara aman dan tertib.
- untuk melaksanakan kedaulatan rakyat.
- dalam rangka melaksanakan hak-hak azasi warga Negara.
Keikutsertaan warga dalam pemilihan umum (general elections) merupakan ekspresi dari ikhtiar melaksanakan kedaulatan rakyat serta dalam rangka melaksanakan hak-hak azasi warga negara.[4] Pemilihan umum adalah merupakan conditio sine quanon bagi suatu negara demokrasi modern, artinya rakyat memilih seseorang untuk mewakilinya dalam rangka keikutsertaan rakyat dalam penyelenggaraan pemerintahan negara, sekaligus merupakan suatu rangkaian kegiatan politik untuk menampung kepentingan atau aspirasi masyarakat. Dalam konteks manusia sebagai individu warga negara, maka pemilihan umum berarti proses penyerahan sementara hak politiknya. Hak tersebut adalah hak berdaulat untuk turut serta menjalankan penyelenggaraan negara.[5]
Pelaksanaan kedaulatan rakyat tidak dapat dilepaskan dari pemilihan umum karena pemilihan umum merupakan konsekuensi logis dianutnya prinsip kedaulatan rakyat (demokrasi) dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Prinsip dasar kehidupan kenegaraan yang demokratis adalah setiap warga negara berhak ikut aktif dalam proses politik.[6] Di Indonesia, pemilihan umum merupakan penafsiran normatif dari UUD 1945 agar pencapaian masyarakat demokratis mungkin tercipta. Masyarakat demokratis ini merupakan penafsiran dari pelaksanaan kedaulatan rakyat. Dalam hal ini kedaulatan rakyat hanya mungkin berjalan secara optimal apabila masyarakatnya mempunyai kecenderungan kuat ke arah budaya politik partisipan.[7]
Partisipasi politik merupakan inti dari demokrasi. Demokratis tidaknya suatu sistem politik, ditentukan oleh ada-tidaknya atau tinggi-rendahnya tingkat partisipasi politik warganya. Standar minimal demokrasi biasanya adalah adanya pemilu reguler yang bebas untuk menjamin terjadinya rotasi pemegang kendali negara tanpa adanya penyingkiran terhadap suatu kelompok politik manapun, adanya partisipasi aktif dari warga negara dalam pemilu itu dan dalam proses penentuan kebijakan, terjaminnya pelaksanaan hak asasi manusia yang memberikan kebebasan bagi para warga negara untuk mengorganisasi diri dalam organisasi sipil yang bebas atau dalam partai politik, dan mengekspresikan pendapat dalam forum-forum publik maupun media massa.[8]
Dalam pemilihan umum diakui adanya hak pilih secara universal (universal suffrage). Hak pilih ini merupakan salah satu prasyarat fundamental bagi negara yang menganut demokrasi konstitusional modern. Dieter Nohlen berpendapat bahwa:[9]
“The right to vote, along with freedom of expression, assembly, association, and press, is one of the fundamental requirements of modern constitutional democracy”.
Hak pilih warga negara mendapatkan jaminan dalam berbagai instrumen hukum. Pasal 21 Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) menentukan bahwa:
(1) Setiap orang berhak turut serta dalam pemerintahan negerinya sendiri, baik dengan langsung maupun dengan perantaraan wakil-wakil yang dipilih dengan bebas;
(2) Setiap orang berhak atas kesempatan yang sama untuk diangkat dalam jabatan pemerintahan negerinya;
(3) Kemauan rakyat harus menjadi dasar kekuasaan pemerintah; kemauan ini harus dinyatakan dalam pemilihan-pemilihan berkala yang jujur dan yang dilakukan menurut hak pilih yang bersifat umum dan berkesamaan, serta dengan pemungutan suara yang rahasia ataupun menurut cara-cara lain yang juga menjamin kebebasan mengeluarkan suara”.
Pasal 27 ayat (1) UUD 1945 menentukan bahwa “segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya.” Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 menentukan bahwa setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum. Kemudian, Pasal 28D ayat (3) menentukan bahwa setiap warga negara berhak memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan.”
Pada tingkat undang-undang, UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia mengatur hak pilih dalam Pasal 43 yang menentukan bahwa:
“Setiap warga negara berhak untuk dipilih dan memilih dalam pemilihan umum berdasarkan persamaan hak melalui pemungutan suara yang langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.”
Hak pilih juga tercantum dalam International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR) yang telah diratifikasi Indonesia dengan UU No. 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan International Covenant on Civil and Political Rights (Kovenan Internasional Tentang Hak-Hak Sipil Dan Politik). Pasal 25 ICCPR menentukan bahwa,
“Setiap warga negara juga harus mempunyai hak dan kebebasan, tanpa pembedaan apapun sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dan tanpa pembatasan yang tidak beralasan:
- ikut dalam pelaksanaan urusan pemerintahan, baik secara langsung maupun melalui wakil-wakil yang dipilih secara bebas;
- memilih dan dipilih pada pemilihan umum berkala yang jujur, dan dengan hak pilih yang universal dan sama, serta dilakukan melalui pemungutan suara secara rahasia untuk menjamin kebebasan dalam menyatakan kemauan dari para pemilih;
- memperoleh akses pada pelayanan umum di negaranya atas dasar persamaan.”
Sesuai prinsip kedaulatan rakyat, maka seluruh aspek penyelenggaraan pemilihan umum harus dikembalikan kepada rakyat untuk menentukannya. Tidak adanya jaminan terhadap hak warga negara dalam memilih pemimpin negaranya merupakan suatu pelanggaran terhadap hak asasi. Terlebih lagi, UUD 1945 Pasal 2 Ayat (1) menyatakan bahwa kedaulatan berada di tangan rakyat.
Hak pilih juga diatur dalam Pasal 1 Ayat (2), Pasal 6A (1), Pasal 19 Ayat (1), dan Pasal 22C (1) UUD 1945. Ketentuan-ketentuan tersebut menunjukkan adanya jaminan yuridis yang melekat bagi setiap warga negara Indonesia untuk dapat melaksanakan hak pilihnya. Ketentuan tersebut menegaskan bahwa segala bentuk produk hukum perundang-undangan yang mengatur mengenai pemilihan umum sudah seharusnya membuka ruang yang seluas-luasnya bagi setiap warga negara untuk dapat menggunakan hak pilih dan dipilih dalam dalam pemilihan umum maupun pemilihan kepala daerah.
Tergadainya Hak Demokrasi Oleh Regulasi
Dalam Undang-undang 10 Tahun 2016 Pasal 40 Ayat (1) tentang pemilihan kepala daerah, disebutkan: Partai Politik atau gabungan Partai Politik dapat mendaftarkan pasangan calon jika telah memenuhi persyaratan perolehan paling sedikit 20% (dua puluh persen) dari jumlah kursi Dewan Perwakilan Rakyat Daerah atau 25% (dua puluh lima persen) dari akumulasi perolehan suara sah dalam pemilihan umum anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah di daerah yang bersangkutan.
Kemudian merujuk pada PKPU Nomor 1 Tahun 2020 Pasal 5 Pasal (2): Persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), yaitu Partai Politik atau Gabungan Partai Politik yang memperoleh paling sedikit 20% (dua puluh persen) dari jumlah kursi Dewan Perwakilan Rakyat Daerah atau 25% (dua puluh lima persen) dari akumulasi perolehan suara sah dalam Pemilu anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah terakhir di daerah yang bersangkutan.
Melihat dari Undang-undang maupun Peraturan KPU di atas, nampak kontradiksi dengan peraturan yang lebih tinggi yaitu Undang-undang Dasar 1945 yang telah disajikan di atas, yang mana hakikatnya negara demokrasi yakni negara yang membebaskan rakyatnya untuk dipilih maupun memilih, serta rakyatlah yang memiliki kedaulatan, bukan pemerintah. Problematikanya ada pada peraturan tersebut yang membatasi hak warganya untuk menunaikan hak demokrasinya, karena “dipaksa” harus mengikuti aturan main yang ditetapkan oleh pemerintah.
Ketika seseorang yang ingin terlibat dan menjadi “pemain” dalam pesta demokrasi untuk mencalonkan diri sebagai kepala daerah, dan hal tersebut mendapat dukungan dari banyak orang, tak terhingga dari berbagai kalangan yang dengan sukarela tanpa paksaan menyatakan rasa simpati dan dukungan kepada calon kepala daerah yang mereka idolakan justru tersandung hanya karena tidak memenuhi syarat yang ditetapkan oleh aturan main dari pemerintah.
Kondisi yang demikian jika dilihat dari perspektif konsep negara demokrasi maka dapat mencederai sendi-sendi demokrasi itu sendiri, karena suara rakyat yang dikatakan berdaulat terciderai karena melanggar HAM. Dalam sejarah bangsa indonesia Pelaksanaan demokrasi pada masa pemerintahan parlementer (1949-1959) merupakan masa kejayaan demokrasi di Indonesia.
Akan tetapi kesuksesan demokrasi parlementer tidak berumur panjang. Dikutip dari situs resmi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI, demokrasi parlementer hanya bertahan selama sembilan tahun. Demokrasi parlementer berakhir saat dikeluarkannya Dekrit oleh Presiden Soekarno pada 5 Juli 1959 yang membubarkan Konstituante dan kembali pada UUD 1945. Presiden menganggap demokrasi parlementer tidak sesuai dengan kepribadian bangsa Indonesia yang dijiwai oleh semangat gotong royong. Sehingga Soekarno menganggap sistem demokrasi ini telah gagal mengadopsi nilai-nilai kepribadian bangsa Indonesia.
Sejarah kegagalan demokrasi dimasa lalu seakan-akan terulang kembali dimasa kini dengan hadirnya regulasi karya nyata partai politik yang hendak mengambil alih dominan kekuasaan rakyat atas nama demokrasi yang menciderai hak warga negara untuk mencalonkan diri dan dipilih oleh masyarakatnya. Hal ini tentu menciderai demokrasi yang seharusnya mengakomodir seluruh kepentingan warga negara untuk tidak dibatasi dan bertentangan dengan konstitusi sebagaimana yang telah diberikan oleh UUD 1945 pada pasal 28.
Penyebabnya materi muatan undang-undang bertentangan dengan UUD 1945 yaitu mengenai penentuan materi muatan yang tidak sesuai dengan pedoman yang ada, seperti yang telah diajukan oleh A. Hamid S. Attamimi. Dalam hal menemukan suatu materi muatan undang-undang menurut A. Hamid S. Attamimi digunakan 3 (tiga) pedoman yaitu:
- Dari ketentuan dalam Batang Tubuh UUD 1945.
- Berdasarkan Wawasan Negara berdasarkan atas hukum (rechtstaat).
- Berdasarkan wawasan Pemerintahan berdasarkan sistem Konstitusi.
Ketentuan materi muatan undang-undang Indonesia yang harus diatur menurut Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Pasal 10 ayat (1) sebagai berikut:
- Pengaturan lebih lanjut mengenai ketentuan Undang-Undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia Tahun 1945;
- Perintah suatu undang-undang untuk diatur dengan undang-undang;
- Tindak lanjut atas putusan Mahkamah Konstitusi; dan atau
- Pemenuhan kebutuhan hukum dalam masyarakat.
Materi muatan undang-undang haruslah berpedoman pada Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, agar tidak terjadi kesewenangan pejabat pembentuk undang-undang dalam membentuk suatu undang-undang, karena undang-undang merupakan kebutuhan masyarakat terhadap pengaturan segala aspek hidup warga negara untuk melakukan suatu tindak laku agar terciptanya kesejahteraan hidup dalam negara.[10]
Masyarakat sebagai unsur terpenting, seharusnya diberikan ruang untuk mengartikulasikan makna demokrasi dalam pilkada, sebagai ruang penyampaian mandat sebagian kehidupannya kepada calon yang akan dipilih. Sehingga anggapan bahwa Pilkada yang hanya dipenuhi perseteruan politik tanpa konsepsi yang membuang energi dapat dihindari.
Pilkada sebagai bagian dari instrumen pelaksanaan demokrasi, merupakan proses pergulatan pemikiran, tawaran program, kebijakan sekaligus proses penguatan edukasi tentang hakikat demokrasi yang tidak berhenti pada soal elektroralisme, tetapi sebagai jalan untuk pemenuhan hak dasar warga dan pengembangan daerah oleh pemerintah yang memperoleh mandat dari masyarakat[11].
Dari uraian di atas, perlu upaya telaah lebih aktual terhadap Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Kepala daerah, sebagai wujud nyata mengembalikan kedaulatan rakyat yang berpedoman pada konsep filosofi demokrasi dari, oleh dan untuk rakyat. Tidak hanya dibatasi oleh representasi kursi di parlemen, sehingga tidak ada lagi masyarakat yang terciderai hak demokrasinya untuk maju, untuk dapat dipilih sesuai dengan amanat Undang-Undang Dasar 1945.
Catatan Kaki
[1] Kebebasan Sebagai Hakekat Demokrasi, Jurnal Inovatif, Volume VIII Nomor I Januari 2015, hlm 96.
[2] Lihat Abu Bakar, Pengantar Ilmu Politik, cetakan pertama, Ar-Ruzz Media, Jogjakarta, 2010, hal 263-266.
[3] ibid.
[4] Moh. Kusnardi dan Harmaily Ibrahim, Pengantar Hukum Tata Negara Indonesia, Pusat Studi Hukum Tata Negara FHUI, cet.ke-5, Jakarta, 1983. hal.328.
[5] Miriam Budiarjo, Hak Asasi Manusia Dalam Dimensi Global, Jurnal Ilmu Politik, No. 10, 1990, Jakarta, hlm. 37.
[6] Dahlan Thaib, Implementasi Sistem Ketatanegaraan Menurut UUD 1945, Liberty, Jakarta, 1993, hlm. 94.
[7] Miriam Budiarjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, PT. Gramedia, Jakarta, 1983, hlm. 9.
[8] G. Bingham Powell, Jr., 1982, Contemporary Democracies: Participation, Stability and Violence, (Cambridge: Harvard University Press), dikutip dari Hasyim Asy’ari, “Pendaftaran Pemilih di Indonesia”, Makalah Seminar Internasional “Membangun Sistem Pendaftaran Pemilih Yang Menjamin Hak Pilih Rakyat: Pengalaman Indonesia dan Internasional”,Jakarta, 30 Maret 2011, hlm. 1.
[9] Dieter Nohlen, 1995, “Voting Rights”, dalam Seymour Martin Lipset (ed.), 1995, The Encyclopedia of Democracy, Volume IV, (Wahington D.C.: Congressional Quarterly Inc.), hlm. 1353-1354, dikutip dari Hasyim Asy’ari, Ibid, hlm. 1.
[10] Pengaturan mengenai materi muatan yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan merupakan pengadopsian dari pendapat A. Hamid S. Hatamimi.
[11].https://medanbisnisdaily.com/news/online/read/2020/07/29/114218/menemukan_hakikat_demokrasi_dalam_pilkada diunduh pada tanggal 8 September 2020.