Oleh : Ruslan Husen
Jika diamati secara seksama judul tulisan ini merupakan harapan dan cita-cita untuk konteks ke Indonesiaan, karena Pemilu kadang berlangsung tidak damai dan tertib, itulah antara idealiatas dengan realitas (harapan dengan kenyataan) kadang berbeda. Tapi, dengantidak mengurangi semangat, tulisan ini mencoba meramaikan pemikiran-diskursus demokrasi melalui pelaksanaan Pemilu sebagai aktualisasi kedaulatan rakyat.
Dalam Pemilu, terdapat kegiatan kampanye untuk meyakinkan pemilih agar menggunakan haknya dengan cara tertentu dengan menawarkan visi, misi dan/atau citra diri dari peserta Pemilu. Kampanye konstestan Pemilu berlangsung gencarnya seakan tidak kenal lelah guna mencari simpatik publik secara luas, walaupun pengumuman resmi mulai kampanye dari KPU belum dilakukan. Kampanye disini boleh dikata melakukan curi star kampanye, yang kegiatan telah di bungkus sedemikian rupa sesuai dengan kebutuhan sosial masyarakat seperti, halal bihalal, pertandingan sepak bola, peresmian gedung, pelantikan pengurus, sumbangan pembangunan fasilitas umum dan berbagai macam agenda lainnya yang tujuannya adalah mencari dan mendapatkan simpati dari masyarakat.
Fedomena tersebut, jika di lihat dari sisi peserta kontestan Pemilu, sudah menjadi kebiasaan yang dianggap sesuatu yang normal dan semua konstenstan telah melakukannya, walaupun kampanye secara resmi belum diumumkan dan diperbolehkan oleh KPU, sehingga masing-masing konstestan saling berlomba-lomba mencari simpati publik. Pembiasaan politik ini-pun dianggap oleh masyarakat sebagai sesuatu yang wajar untuk mencari simpati. Bahkan masyarakat pun dengan sangat antusias mengikuti kegiatan-kegiatan seperti ini, yang jelas mereka beranggapan ada keuntungan pragmatisyang di dapatkan.
Begitu pula ketika kampanye secara resmi boleh dilakukan, simak saja kejadiaan-kejadian yang terjadi dari akibat kampanye konstestan tersebut, seperti pelemparan sekretariat pemenangan konstestan tertentu, perkelahian massa pendukung sampai pembunuhan. Disini mulai berlaku hukum rimba dimana yang kuat akan memangsa yang lemah demi kepentingan dan kelompoknya. Semangat emosional tentang ras, agama, daerah, golongan, satu tempat kerja menjadi pertimbangan utama untuk melakukan dukungan, tanpa melihat isi konstestan memiliki kapasitas atau tidak untuk memimpin.
Peristiwa berdarah-darah dan pengrusakan fasilitas tertentu terus saja terjadi sampai pengumuman pemenang hasil Pemilu dilakukan secara resmi oleh KPU. Motif bisa macam-macam, ada karena dipicu kekalahan, ketidak-puasan atau kecurangan salah satu pihak konstestan Pemilu terhadap yang lain. Tentu yang lagi-lagi menjadi korban utama adalah masyarakat secara umum.
Persoalan yang paling mendasar kenapa tindak kekerasan dalam setiap Pemilu maupun dalam kehidupan sehari-hari terus saja terjadi adalah karena keahlian dalam berdemokrasi kita belum melembaga sampai ditingkatan paling bawah lapisan masyarakat (akar rumput). Pengetahuan, pemahaman dan perilaku demokrasi cenderung masih hanya dimiliki oleh sebagaian kecil warga saja. Meskipun dalam penyelenggaraan bernegara kita berdasar asas demokrasi, namun masih sebatas pada formalisme, yaitu dengan tersedianya institusi demokrasi politik seperti partai politik, lembaga legislatif, yudikatif, eksekutif dan lain-lain. Begitu pula demokrasi dalam kehidupan sehari-hari warga masyarakat belum melekat dengan baik dan masih mementingkan diri sendiri.
Persyaratan-persyaratan baik yang bersifat normatif maupun empiris harus terpenuhi dalam rangka mewujudkan Pemilu yang damai. Demokrasi yang hanya di pahami oleh elit politik cenderung akan mewujudkan anarki massa, sedangkan demokrasi yang hanya dipahami di kalangan bawah tidak akan mewujudkan ruang artikulasi luas di kalangan publik.
Ada empat persyaratan untuk mewujudkan harapan tentang Pemilu yang damai. Pertama, nilai-nilai demokrasi yang menjadi acuan utama. Harus kita akui bahwa paham demokrasi sesungguhnya tidak berasal dari Indonesia, demokrasi ini berasal dari pencerahan politik yang menjelma dalam revolusi Prancis yang kemudian menjadi nilai universal dan mengglobal. Dalam demokrasi pemerintahan yang dikehendaki oleh rakyat dihasilkan melalui mekanisme kebebasan berpendapat baik oleh individu, kelompok maupun partai. Pembentukan kekuasaan tersebut melalui pertandingan dan yang memperoleh suara yang terbanyak akan lahir sebagai pemenang dan mendapat legitimasi dai publik secara luas. Sementara yang kalah bersedia bekerja sama atau menjadi oposisi untuk mengentrol jalannya pemerintahan.
Kedua, kesadaran berdemokrasi yang ada disetiap benak individu. Nilai-nilai demokrasi sudah lama berkembang secara baik, tetapi kesadaran berdemokrasi perindividu belum merata di masyarakat, kalau-pun ada hanya dimiliki oleh sebagaian kecil saja. Ini dapat dilihat dari kampanye dan pengumuman hasil Pemilu yang cenderung menimbulkan ketidakpuasan salah satu pihak dan menempuh jalan anarkis sebagai akibat politik yang identik dengan pertumpahan darah. Kalau tindak kekerasan dan mematikan potensi lawan masih tetap ada, maka kesadaran berdemokrasi hanya kesadaran semu dan lahirlah secara terus-menerus yang namanya kemunafikan politik, mengaku demokratis tetapi otoriter.
Ketiga, perilaku obyektif individual dan sosial. Nilai-nilai dan wacana demokrasi sudah ada di masyarakat, tetapi belum dapat diaktualkan secara baik dan konkret. Demokrasi masih dipahami sebagai sarana untuk menyalurkan pendapat dan aspirasi, tetapi tidak pernah dipahami mendengar aspirasi dan pendapat lawan politik. Sehingga yang terjadi adalah melembaganya sifat egosime untuk menang tanpa perduli dengan keadaan pihak lawan. Kalau paradigma ini masih tetap ada, maka kebencian antar kelompok yang berbeda akan terus ada, dan pendidikan politik tidak akan berjalan dengan baik.
Keempat, keberadaan institusi-institusi sosial-politik yang mendorong demokrasi. Pendidikan politik untuk demokrasi harus tetap dilakukan lewat partai politik, lembaga swadaya masyarakat, organisasi kepemudaan dan kemahasiswaan maupun lembaga-lembaga formal lainnya, tetapi juga harus dipraktekkan oleh elit politik secara langsung. Sebab perilaku para elit politik akan cenderung ditiru oleh masyarakat luas terutama oleh pendukungnya. Di samping itu perilaku untuk siap kalah juga harus dimiliki, dengan bersedia bekerja sama atau melakukan oposisi terhadap pemerintahan yang akan berkuasa. Dari berbagai kasus yang telah terjadi utamanya di daerah, yang menang akan mengejek yang kalah, sehingga yang kalah akan berusaha semaksimal mungkin untuk juga bisa menang, maka tidak heran jika sering terjadi perkelahian massa pendukung.
Berbagai tindak kekerasan yang terjadi dalam Pemilu, mulai dari saat kampanye, pengumuman pemenang dan pasca pengumuman akan terus mewarnai hari-hari kita, apabila kemampuan dan keahlian berdemokrasi kita masih rendah. Untuk dapat mewujudkan Pemilu yang damai ke depan, maka setiap individu, kelompok dan institusi-institusi politik harus memiliki kesadaran dan keahlian politik yang handal dan terpuji. Kalau ini tidak ada, maka jangan bermimpi bahwa Pemilu yang dilaksanakan akan damai dan yang terjadi pasti akan berujung pada kerusakan dan kekacauan.