Demokrasi Tidak Akan Benar-Benar Mati

582 Views

Demokrasi Tidak Akan Benar-Benar Mati
Oleh : Saeful Ihsan, S.Pd., M.Pd.
(Penulis Muda Sulteng)

Ketika Anies Baswedan menampilkan fotonya memegang buku bersampul hitam, “How Democracies Die”, dan dimaksudkan sebagai sebuah pernyataan sikap: Indonesia menghadapi ancaman kematian demokrasi. Lalu, itu lebih tepatnya ditujukan kepada siapa?

Kepada pemerintah (pusat) kah? Yang selama ini terkesan antikritik, tidak mendengar suara rakyat, lalu berupaya membatasi kebebasan? Ataukah pihak yang aktif mengkritik pemerintah? Utamanya, PA 212 atau para simpatisan Habib Rizieq Shihab (HRS), serta FPI. Di mana, mereka kerapkali dinilai melakukan aksi-aksi yang mengguncang demokrasi.

Dari sudut pandang kita sebagai penonton, sudah pasti yang dituju adalah yang pertama disebutkan. Soalnya Anies terlihat lebih dekat kepada kelompok yang disebut “Umat Islam” itu. Sebaliknya, terkesan berhadap-hadapan dengan pihak pemerintah pusat, salah satu bentuknya, kebijakan lokal DKI sering tidak mendapat respek dari pusat.

Matinya demokrasi menurut buku yang dipegang Anies itu “How Democracies Die” karya Steven Levitsky dan Daniel Ziblatt, didasarkan pada empat indikator:

“1) rejects, in words or action, the democratic rules of the game, 2) denies the legitimacy of opponents, 3) tolerates or encourages violence, or 4) indicates a willingness to curtail the civil liberties of opponents, including the media.” (Levitsky and Ziblatt, 2018: 18)

Indikator itu sendiri adalah pengembangan dari karya Juan Linz, ‘The Breakdown of Democratic Regimes’, tentang tokoh otoriter, yang kalau mereka berkuasa, cenderung akan mematikan demokrasi. Hal itu dibuktikan oleh sejarah terjadi pada Italia dengan berdirinya rezim fasis Benito Mussolini; Adolf Hitler di Jerman; Hugo Chavez di Venezuela, dan beberapa lainnya.

Mereka, para tokoh otoriter itu memang naik ke tampuk kekuasaan bukan dengan jalan kudeta militer–meski sebagiannya mencoba jalan kudeta di awal hingga akhirnya memilih jalan konstitusional setelah percobaannya gagal, dan setelah mereka berkuasa, cenderung melakukan keempat indikator di atas.

Untuk konteks Indonesia saat ini, setidaknya rezim cenderung menggunakan cara keempat–membatasi kebebasan lawan, dan pers. Walau tidak begitu keras. Rezim menjadikan Anies sebagai lawan, dan kelihatan berupaya membatasi pergerakannya lewat apresiasi yang minim terhadap program pemprov DKI. Juga narasi-narasi miring yang diembuskan oleh para simpatisan istana.

Juga bagaimana istana memandang HRS beserta simpatisannya sebagai lawan. Terlihat dari bagaimana istana menyoroti kumpul-kumpul di bandara dalam penyambutan HRS. Sementara pilkada di Solo yang juga kumpul-kumpul tak disoal. Padahal, kata kunci dari pencegahan penularan wabah korona adalah ‘jangan berkumpul!’

Namun, jika kita mengikuti logika buku “How Democracies Die”, yang berpeluang untuk menjadi tokoh otoriter dan mematikan demokrasi adalah HRS beserta kroni-kroninya. Secara, HRS adalah tokoh populer, tetapi seruan-seruannya juga lebih kepada memilih jalan kekerasan untuk menegakkan keadilan.

Juga bagaimana cara HRS merespons kritikan arau protes terhadap dirinya. Frase ‘Lonte’ dalam ceramah di maulid nabi beberapa waktu lalu, membuat kita bisa berkesimpulan singkat, bahwa HRS akan bersikap frontal terhadap lawan-lawannya, seandainya saja kekuasaan itu sudah dipegangi.

Sejak tahun 2016, HRS sudah mengampanyekan konsep NKRI Bersyariah. Ide itu direspons oleh Denny JA dengan narasi tandingan, ‘NKRI Bersyariah, atau Ruang Publik yang Manusiawi?’ Denny JA menuliskannya dalam sebuah esai. Lalu tulisan itu ditanggapi oleh 16 orang (yang dinilai sebagai) pakar–salah seorang di antaranya adalah pakar hukum tata negara Yusril Ihza Mahendra–menjadi sebuah buku.

Buku itu memang tidak menyinggung demokratis atau tidaknya, tetapi bagi Denny JA, ruang publik manusiawi itu sudah sesuai dengan Islam, tak perlu NKRI Bersyariah. Agaknya, penggunaan istilah Bersyariah kurang demokratis, sebab syariah selalu dimaknai dengan rigid, berdasarkan tafsir yang tekstual.

Lagipula menurut Denny JA, indikator NKRI Bersyariah harus jelas. Kalau standar keadilan dan ketentraman suatu negara mengambil indikator sesuai Alquran dan Sunnah, negara-negara paling mempraktikkan standar-standar Islami menurut survei justru adalah negara-negara yang di dalamnya sedikit umat islamnya: Selandia Baru, Belanda, Swedia, Irlandia, Swiss, Denmark, Kanada, dan Australia.

Tetapi memang wajar, jika ada tawaran sistem lain untuk suatu negara. Termasuk di Indonesia. Soalnya, Dr. Satrio Arismunandar dalam memberikan pengantar buku kompilasi 16 pakar menanggapi Denny JA, menampilkan data tingkat pro-Pancasila, yang berarti juga pro demokrasi–soalnya Pancasilais berarti juga demokratis, dari tahun ke tahun terus menurun. Dalam kurun 13 tahun, pro-Pancasila turun 10%.

Penurunan tersebut disebabkan oleh tiga hal: kesenjangan ekonomi, paham alternatif,
dan sosialisasi. Jadi, kegagalan-kegagalan yang terdapat dalam praktik pemerintahan sangat berpengaruh terhadap menurunnya kepercayaan publik terhadap (demokrasi) Pancasila, dan akhirnya mencari alternaif yang dianggap lebih bisa memperbaiki nasib bangsa daripada sistem demokrasi itu sendiri.

Namun, betapapun misalnya rezim saat ini dianggap mewarisi watak otoriter Orde Baru, ataukah HRS dianggap sebagai tokoh demagog, demokrasi hanya akan menurun menjadi kurang demokratis, tidak sepenuhnya akan mati. Dari beberapa indikator negara demokrasi Abraham Lincoln dalam pidatonya di Pettysburg tahun 1863, “peran media yang bebas” sebagai aktualisasi kebebasan berpikir dan mengemukakan pendapat menjadi, dominan dalam tafsiran kita.

Sementara, manusia secara individual adalah satu-satunya makhluk yang dianugerahkan demokrasi di dalam kepalanya. Yaitu, bebas berpikir, memilih jalan, dan menentukan nasibnya sendiri. Anugerah itu tidak akan benar-benar hilang, tetapi bisa dibatasi, sampai tak terbatas, oleh pemerintahan yang berusaha membunuh demokrasi, lewat watak otoritariannya.
____

Referensi:

Levitsky, Steven & Daniel Ziblatt. 2018. “How Democracies Die”, New York: Crown Publishing. Edisi bahasa Indonesia, Steven Levitsky dan Daniel Ziblatt. 2019. “Bagaimana Demokrasi Mati”, Alih Bahasa oleh Zia Anshor, Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.
Arismunandar, Satrio (Ed.). 2019. “NKRI Bersyariah atau Ruang Publik yang Manusiawi, Cerah Budaya Indonesia

DPT Kabupaten Donggala Meningkat, ini Harapan Ketua KPU Donggala

586 Views

Palu-Jati Centre. Daftar Pemilih Tetap (DPT) Kabupaten Donggala pada 2018 hingga tahun  2020 mengalami peningkatan, tercatat  pilkada tahun 2018, 198.840 DPT, Pemilu 2019,  205.048 DPT dan Pilkada 2020, 205.662 DPT.

Hal ini diungkapkan oleh ketua KPU Donggala, Muhammad Unggul saat dimintai keterangan, Senin, 19 Oktober 2020

Menurutnya, antara DPT pemilu di tahun 2019 dan DPT Pilkada tahun 2020 mengalami kenaikkan sebesar 614 DPT dan hal ini sudah mengalami perjalanan yang panjang.

“Data DPT yang meningkat ini sudah melalui tahapan yang panjang, dan pastinya kami mengolahnya melalui prinsip-prinsip kerja pemutahiran data yaitu prinsip Komprensif, akurat dan Prinsip Akuntabel” Ungkap Unggul.

Disamping itu DPT terbanyak berdasarkan data yang diterima, terdapat di kecamatan Banawa yaitu mencapai 23,863 dan terendah di kecamatan Pinembani 3,882

“Harapannya dengan meningkat DPT ini, kiranya partisipasi masyarakat dalam pilkada ini  meningkat hingga 80%” harapnya.

Bagaimana Menyikapi Omnibus Law?

784 Views

Oleh : Randy Atma R Massi,S.H.,M.H. (Akademisi IAIN Palu)

Omnibus Law merupakan teknik perancangan aturan yang menggabungkan beberapa perundang-undangan dalam satu paket, dengan tujuan meningkatkan aksesibilitas peraturan perundang-undangan. Produk hukum tersebut memiliki bentuk sama dengan Undang-Undang lainnya.

Omnibus merupakan hal baru karena di luar dari kebiasaan negara dengan sistem Civil Law, sebagaimana yang diterapkan di Indonesia. Ciri pembuatan produk undang-undang di Indonesia pada umumnya fokus pada nama judul dan konten Undang-undang. Contoh pada Undang-undang tentang pemerintahan daerah, maka isi Undang-undang tersebut akan fokus membahas mengenai Pemerintahan daerah saja. Adapun aspek di luar pemerintahan daerah tidak akan disinggung, namun akan dibuat aturan yang lain, baik itu sejajar maupun aturan di bawahnya yang merinci secara teknis yang berhubungan dengan pemerintahan daerah di luar undang-undang pokoknya.

Inisiatif dan ide Omnibus Law akan melahirkan suatu undang-undang yang universal, karena dengan satu undang-undang tentunya mampu mengatur banyak hal dan  sudah pasti memberikan keuntungan diantaranya memudahkan harmonisasi antara aturan yang satu dengan aturan lainnya.

Catatan sejarah Omnibus Law lahir dari praktek negara Common Law yang mulai diterapkan di Amerika Serikat sekitar tahun 1850, 1860, 1890 kemudian di negara Kanada dan merupakan praktek  yang timbul di kemudian hari akibat tradisi Common law yang telah mengalami perkembangan setelah meniru dan mempelajari banyak hal dari kelebihan-kelebihan negara dengan sistem Civil law.

Sistem Common Law sendiri adalah sistem yang mengenal bahwasanya hukum adalah buatan hakim sehingga negara-negara dengan sistem ini, dahulunya dikenal tidak banyak memproduksi undang-undang karena yang menjadi andalan adalah keputusan hakim di pengadilan. Namun seiring perkembangan Hukum Negara-negara di dunia maka , Negara dengan Sistem Common law sudah mulai memproduksi aturan dalam bentuk undang-undang tertulis, tentu saja hal ini dipelajari  dari negara Civil Law sembari mengkritiki dan memperbaiki praktek pembuatan undang-undang dinegara Civil Law yang terkesan monoton dan sempit makna.

Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, S.H., M.H  menceritakan sebuah kisah terkait suatu hal yang agak ekstrim dalam penerapan undang-undang di negara Common Law yaitu undang-undang Perkapalan yang dipakai menjadi rujukan untuk mengubah undang-undang perkawinan, undang-undang kekeluargaan, dan undang-undang kewarisan. Tentu yang menjadi pertanyaan adalah apa hubungan undang-undang perkapalan ini dengan undang-undang keluarga?  Hal tersebut berangkat dari sebuah kasus yang menjadi isu nasional di Kanada dimana para pelaut mempunyai banyak problem keluarga karena kebiasaan gemar menikah.

Kebiasaan ini dilakukan oleh pelaut Kanada, di mana setiap berlabuh di berbagai Pelabuhan yang disinggahinya maka pasti akan mencari istri untuk dinikahi padahal pelaut tersebut masih dalam status pernikahan atau belum bercerai dengan istrinya di kota lain, maka setelah disahkannya undang-undang sipil mengenai perkapalan sejak saat itu undang-undang mengenai hukum keluarga di Kanada yang berhubungan dengan pelaut dan nelayan ikut berubah. Tentu Tindakan ini menimbukkan gejolak namun seiring dengan berjalannya waktu masyarakat mulai menerimanya karena mendatangkan kemanfaatan yang cukup besar utamanya dalam membentuk keluarga yang harmonis di kanada.

Omnibus Law sendiri pada hakikatnya adalah persepsi, soal METODE, cara yang tentu harus diposisikan berbeda dengan konten isi undang-undang sebagaimana undang-undang  yang digagas saat ini sebut saja mengenai Cipta Lapangan Kerja yang banyak ditolak oleh  serikat buruh dan mahasiswa.  Di sini dibutuhkan sifat kehati-hatian kita karena bukan Omnibus Law nya yang menjadi masalah namun muatan MATERI yang dibawakan untuk diubah dengan menggunakan Undang-undang Omnibus Law tentu dibidang cipta lapangan kerja.

Kita tidaklah harus anti dengan Omnibus Law karena bukan Omnibus Law nya yang dikritik namun yang dikritisi sekali lagi adalah isi, muatan dan kontennya sebab Omnibus Law hanyalah sebuah metode penyederhanaan dengan cara harmonisasi antar undang-undang bahkan dapat melakukan harmonisasi antara peraturan perundang-undangan yang harapannya bisa dipraktekkan pada pembuatan peraturan pemerintah, pembuatan peraturan daerah agar peraturan pemerintah dapat diimplementasikan secara menyeluruh yang menyangkut pertentangan-pertentangan antar pasal-pasal yang normatif dari aturan-aturan lain yang bertentangan sehingga menjadi sinkron dan pada hakikatnya merupakan pola-pola kerja dari Omnibus Law juga secara luas.

Badan Legislasi DPR RI telah menyepakati empat dari Lima Puluh Rancangan Undang-undang,  empat undang-undang tadi kemudian disebut dengan Omnibus Law antara lain Undang-undang Cipta Lapangan Kerja, Perpajakan, Farmasi, dan mengenai Ibu Kota Negara. Prof Jimly mengatakan ke empat undang-undang tersebut tidak perlu disebut sebagai Omnibus law namun seharusnya seluruh rancangan undang-undang menggunakan prospektif Omnibus Law  karena Omnibus adalah sebuah metode maka alangkah lebih baik lagi untuk tidak disebutkan dengan Nama undang-undang Omnibus.  Setiap undang-undang hakikatnya mempunyai Omnibusnya masing-masing karena sudah pasti saling berkaitan dengan undang-undang lain.

Seorang Legal Drafter (Perancang Undang-undang) mempunyai tanggung jawab moral untuk membaca setiap undang-undang  yang memiliki kaitan langsung ataupun tidak langsung dalam hal melakukan telaah saat undang-undang itu akan dibahas, dirancang untuk direvisi, atau diubah jangankan undang-undang yang memiliki kaitan langsung, yang tidak berkaitan langsungpun harus diperhatiakan karena bisa jadi hal-hal yang dianggap tidak ada kaitannya ternyata kenyataan di lapangan mempunyai kaitan sebagaimana contoh kasus diatas mengenai undang-undang sipil tentang perkapalan di Kanada yang berdampak langsung pada undang-undang keluarga padahal jika dilihat dari segi judul sangat jauh bahkan tidak ada hubungannya.

Sistem omnibus telah lama di usulkan Prof Jimly Assidiqi saat beliau menjabat sebagai Ketua Mahkamah Konstitusi. Ia menganggap penting mengadopsi metode Omnibus dalam pembuatan undang-undang di Indonesia dalam rangka harmonisasi peraturan perundang-undangan yang kini kembali marak.

Istilah Omnibus Law pertama kali didengar saat pidato Presiden pada tanggal 20 Oktober 2019 saat pelantikan Presiden didepan sidang paripurna MPR dimana Presiden hanya menyebutkan dua RUU yaitu RUU mengenai cipta lapangan kerja dan RUU mengenai pemberdayaan UMKM sehingga dianggap dua RUU inilah yang penting karena  konsen saat ini presiden adalah perbaikan ekonomi dan bagaimana mempercepat pertumbuhan ekonomi.

Dari hal ini terlihat bahwa Hukum di mata Politis adalah Alat, Ketika alat yang dianggap penting adalah ekonomi maka ekonomilah yang diutamakan, Ketika Politik yang dianggap penting maka politiklah yang diutamakan sehingga sekali lagi Hukum menjadi legitimasi atas Tindakan Politik dan Ekonomi inilah hal yang keliru.

Omnibus Law ke depan diharapkan dapat kita adobsi dengan maksud menata sistem hukum Negara Terutama sistem peraturan Perundang-undangan negara agar harmonis, dan merepresentasekan Tujuan Hukum yaitu keadilan, kemanfaantan dan kepastian hukum. Omnibus sebagai prespektif Hukum harus ditetapkan di semua bidang hukum bukan hanya pada bidang Hukum Investasi sehingga negara seakan-akan tidak membangun gambaran sebagai negara yang berorientasi pada investasi sebagai tujuan dengan mengedepankan kepentingan investor.

Hakikat bernegara bukan hanya untuk berinvestasi. Kita sepakat bahwa investasi adalah hal yang penting namun itu hanyalah salah satu dari sekian banyak hal yang penting dalam kegiatan bernegara. Adapun pidato presiden mengenai Omnibus Law dibidang investasi  janganlah pula disikapi sebagai sebuah instruksi, lalu karena feodalnya pemahaman politik kita, maka yang terbangun adalah Presiden hanya mengutamakan dua undang-undang saja yaitu Cipta Lapangan Kerja dan UMKM yang saat ini BALEG DPRI RI fokus pada Cipta lapangan Kerja padahal Pidato Presiden hanya menjadikan Undang-undang Cipta lapangan kerja sebagai contoh saja.

Diakhir tulisan ini maka kita perlu memahami bahwa Indonesia adalah  Rechtsstaat (Negara Hukum) Bukan Machtstaat (Negara Politik) apalagi negara Ekonomi. Olehnya siapapun yang mempunyai niat merawat NKRI tidak melihat dia pejabat ataupun rakyat biasa haruslah memahami bagaimana hakikat kita bernegara. Janganlah semua diabdikan untuk kepentingan pembangunan ekonomi walaupun itu perlu namun bukan itu semata-mata tujuan bernegara, jangan pula dikendalikan oleh hawa nafsu politik kekuasaan saja dan hawa nafsu kekuasaan Ekonomi semata. Biarlah ekonomi kita anggap sangat penting agar kita diperhitungkan, biarlah politik yang memutuskan namun biarlah Hukum yang menentukan karena inilah hakikat dari Rechtsstaat the Rule Of Law.

INTEGRITAS YANG TERGADAIKAN DENGAN KESOMBONGAN

1.038 Views

Oleh : Randy Atma R Massi,S.H.,M.H (Akademisi IAIN Palu)

Pertengkaran serta perdebatan yang ada di Indonesia saat ini pada dasarnya disebabkan oleh kelompok-kelompok yang saling menyombongkan kebenarannya masing-masing. Jangan sombong dengan kebenaranm karena Alhaqqu Min robika, kebenaran itu hanya dari Allah SWT dan kita hanya berposisi menafsirkannya. Orang tidak butuh kebenaranmu, orang hanya butuh kasih sayangmu dan keseimbangan hidup bersama.,”

Seseorang dari mempunyai hal yang kecil seperti sepeda, kemudian punya motor, mulai muncul kesombongannya. Dari punya motor selanjutnya mempunya mobil, bertambah lagi kesombongannya, sehingga orang-orang seperi ini sebenarnya terancam oleh kelemahan jiwa. Setiap naik potensi dirinya, naik dan berkembang aksesnya maka akan beresiko menjadi potensi kesombongan karena sifat sombong ini membutuhkan wadah yaitu jiwa manusia yang lemah. Jika telah mendapatkan akses maka jelas akan meningkat lagi menjadi sifat keangkuhan, tidak menghargai orang lain, menyalahkan orang lain, menganggap rendah orang lain, hanya mendengar siapa diatasnya tanpa melihat orang dibawahnya hingga yang parah mengenyampingkan norma-norma hukum untuk menyelamatkan kepentingan diri dan jabatannya, nampak berintegritas namun telah menggadaikan harga dirinya dengan menyembunyikan kebenaran hati Nurani pada rakyat dan keadilan.

وَلاَ تُصَعِّرْ خَدَّكَ لِلنَّاسِ وَلاَ تَمْشِ فِي اللأَرْضِ مَرَحاً إِنَّ اللهَ لاَ يُحِبُّ كُلَّ مُخْتَالٍ فَجُوْرٍ {18}

Dan janganlah kamu memalingkan mukamu dari manusia (karena sombong) dan janganlah kamu berjalan di muka bumi dengan angkuh. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong lagi membanggakan diri.” (QS. Luqman:18)

Singkatnya adalah makin kita kaya, makin terancam untuk hancur oleh kesombongan. Tidak hanya sebatas itu, makin Pintar juga berpotensi makin sombong, sebagaimana Iblis terkutuk bukan karena ia menyekutukan Allah SWT Namun karena sifat sombong dan angkuh merasa paling benar.

وَإِذْ قُلْنَا لِلْمَلاَئِكَةِ اسْجُدُوا لأَدَمَ فَسَجَدُوا إِلاَّ إِبْلِيسَ أَبَى وَاسْتَكْبَرَ وَكَانَ مِنَ الكَافِرِينَ {34}

Dan (ingatlah) ketika Kami berfirman kepada para malaikat: “Sujudlah kalian kepada Adam,” maka sujudlah mereka kecuali Iblis; ia enggan dan takabur (sombong) dan ia termasuk golongan orang-orang yang kafir“ (QS. Al Baqarah:34)

Qotadah berkata tentang ayat ini, “Iblis hasad kepada Adam ‘alaihis salaam dengan kemuliaan yang Allah berikan kepada Adam. Iblis mengatakan, “Saya diciptakan dari api sementara Adam diciptakan dari tanah”. Kesombongan inilah dosa yang pertama kali terjadi. Iblis sombong dengan tidak mau sujud kepada Adam” (Tafsir Ibnu Katsir, 1/114, cet al Maktabah at Tauqifiyah)

Dalam dimensi kesombonganpun dikenal dengan bebera jenis kesombongan, ada yang dinamakan kesombongan Feodal, dimana kesombongan ini digunakan untuk menyebut kesombongan pada orang  kaya, ada pula kesombongan Kuasa yaitu kesombongan bagi orang yang memiliki Kuasa, harta, jabatan semakin naik volume kekuasaannya makin sombong dan makin tidak mengetahui bagaimana berdiri sejajar dengan Orang lain. Sehingga kekuasaan menciptakan kesombongan, kekayaan menciptakan kesombongan.

أَلَا أُخْبِرُكُمْ بِأَهْلِ النَّارِ قَالُوا بَلَى قَالَ كُلُّ عُتُلٍّ جَوَّاظٍ مُسْتَكْبِرٍ

“Maukah kamu aku beritahu tentang penduduk neraka? Mereka semua adalah orang-orang keras lagi kasar, tamak lagi rakus, dan takabbur(sombong).“ (HR. Bukhari no. 4918 dan Muslim no. 2853).

Kepandaian juga sangat berbahaya untuk memunculkan kesombongan. Dalam Bahasa Populer kesombonga itu dikenal dengan dengan keangkuhan intelektual tetapi yang lebih berbahaya lagi adalah  menjadi orang sholeh, orang alim, karena hal itu juga sangat dan dapat menimbulkan ujian kesombongan denga volume yang amat besar.

Bahwa suatu hari seorang sahabat bertanya kepada Rasulullah, “Wahai Rasulullah, siapakah orang yang paling berat cobaannya?” Beliau menjawab: “Para nabi, kemudian orang-orang saleh, kemudian yang sesudah mereka secara berurutan berdasarkan tingkat kesalehannya. Seseorang akan diberikan ujian sesuai dengan kadar agamanya. Bila ia kuat, ditambah cobaan baginya. Kalau ia lemah dalam agamanya, akan diringankan cobaan baginya. Seorang mukmin akan tetap diberi cobaan, sampai ia berjalan di muka bumi ini tanpa dosa sedikit pun” (HR Bukhari).

Kenyataan yang kita lihat tidak sedikit orang-orang yang beragama dengan tekun salah satu hasilnya adalah dia sombong atas orang lain. Diam-diam selalu merasa lebih hebat dari orang lain, lebih masuk surga dari orang lain, lebih diteria Alllah SWT amalan kebaikannya dari orang lain.

Sungguh, ajaran yang paling dahsyat keindahannya adalah ajaran mengenai Tawadhu, ajaran mengenai kerendahan hati. Jika melihat dan memperhatikan bagaimana orang-orang yang sholat dan beribadah itu adalah Latihan untuk mencampakkan diri, bukan untuk mengunggul dan menegakkan diri.  Kita cammpakkan diri kita di hadapan Allah SWT, kita bersujud tersungkur-sungkur agak kita  siap berlaku berlendah hati kepada siapa pun.

Dizaman saat ini sangat nyata terlihat bukan hanya orang kaya, bukan hanya orang kuasa, bukan hanya orang pintar namun orang Alim juga sombong yang dikatakan oleh merupakan kesombongan kealiman.

Namun dari penjabaran semua itu bukan lah sebuah pelarangan kemudian kita tidak boleh menjadi Alim agar kita tidak sombong, atau tidak boleh menjadi kaya agar tidak sombong bukan demikian. Olehnya kaya lah tapi tidak usah sombong, kuasalah dengan jabatan anda namun tetap rendah hati, pandailah karena itu menjadi jalan  menjadi arif dan menjadi alim, serta solehlah agar kita mampu merendahkan diri kita dibawah orang lain yang paling rendahpun, dikampung-kampung yang kumuh, rendahlah walaupun berhadapan dengan bawahan, serta merasa rendahlah kita walau pada tempat-tempat yang kita lewati dengan kaki kita[1].

[1] Terinspirasi dari nasehat KH.Muhammad Ainun Nadjib (Cak Nun)

 

Anggota Baru PIM Diminta Jaga Idealisme, Karakter dan Independensi

290 Views

Palu-Jati Centre. Direktur Perkumpulan Indonesia Memilih (PIM), Rusli Attaqi mengukuhan anggota baru PIM yang dinyatakan lulus pendidikan dan pelatihan tingkat dasar, di Sekretariat Jati Center Palu, Senin (21/9/2020).

Dalam sambutannya, Rusli menekankan tiga hal yang harus dijaga oleh anggota baru PIM di masa-masa tahapan Pilkada saat ini yakni idealisme, karakter dan independensi.

“Kepada teman-teman yang baru saja dikukuhkan menjadi anggota baru di PIM agar tetap menjaga idealisme, memiliki karakter yang kuat dan tetap independen. Kita Minta anggota PIM tidak terlibat dengan hal-hal yang bertentangan dengan aturan-aturan organisasi, seperti terlibat dalam dukung mendukung calon dalam Pilkada,” ujar Rusli.

Rusli Attaqi mengatakan, PIM melakukan rekrutmen anggota baru untuk menjalankan program setiap divisi yang dibentuk.

“Anggota baru yang kita rekrut, akan terus diasah kecakapannya soal organisasi agar bisa menjalankan program kerja sesuai dengan divisinya masing-masing,” katanya.

Lulusan Magister Hukum Untad ini menambahkan, dengan bergabung di PIM, anggota akan dibekali dengan pengetahuaan soal isu-isu Pemilu dan Demokrasi.

“Semoga adanya anggota baru yang terdiri dari anak-nak muda potensial ini, bisa memberi spirit baru, sehingga PIM dapat lebih maju dan jaya di masa mendatang,” tutur Rusli.

Untuk diketahui, anggota PIM baru ini telah mengikuti serangkaian pelatihan dan pendidikan yang menyangkut materi demokrasi dan pemilu, potensi pelanggaran pemilihan kepala daerah, dan mekanisme pelaporan pelanggaran.

Dalam penerimaan materi tersebut, hadir sebagai narasumber dari Akademisi Fakultas Hukum Untad Supriadi, Ketua Bawaslu Sulteng Ruslan Husen, dan Peneliti-Peneliti Jati Centre, untuk memberi pemahaman dan penguatan akan peran serta masyarakat dalam perhelatan kontestasi pemilihan kepala daerah guna meningkatkan kualitas demokrasi lokal.

Dilanjutkan pada sesi terakhir pendidikan, berupa paparan presentasi makalah dari masing-masing peserta terkait dengan karya ilmiah tentang pemilihan kepala daerah. Untuk memperoleh penguatan dan pembobotan penulisan atas isu yang mereka bahas.

Direktur Perkumpulan Indonesia Memilih (PIM), Rusli Attaqi saat mengukuhkan anggota baru PIM di Sekretariat Jati Center Palu, Senin (21/9/2020). Foto: Irwan

Meneguhkan (Pembubaran) Sentra Gakkumdu

243 Views

MENEGUHKAN (PEMBUBARAN) SENTRA GAKKUMDU
Oleh: Ruslan Husen, SH., MH.

 

Pendahuluan

Mewujudkan kontestasi pemilihan kepala daerah serentak yang jujur dan adil, menjadi harapan sekaligus tanggung jawab semua pihak. Pemilihan jujur dan adil harus didukung dengan sistem penegakan hukum yang ditujukan mengatasi masalah hukum seputar pemilihan. Masalah hukum pemilihan menurut Syamsudin Haris didefinisikan segala perbuatan hukum yang menyimpang, bertentangan, atau melanggar peraturan perundang-undangan dalam pelaksanaan pemilihan, termasuk adanya pihak yang merasa dirugikan dalam pelaksanaan kontestasi tersebut.[1]

Masalah hukum dikategorikan menjadi pelanggaran dan sengketa proses pemilihan. Jenis pelanggaran terdiri dari atas pelanggaran administrasi, tindak pidana, pelanggaran hukum lainnya, dan pelanggaran kode etik penyelenggara pemilihan. Sedangkan jenis sengketa terdiri dari atas sengketa proses antarpeserta dan/atau sengketa peserta dengan penyelenggara pemilihan, sengketa tata usaha negara, dan perselisihan hasil pemilihan. Mengatasi masalah hukum itu, menuntut eksistensi perangkat sistem hukum menyangkut regulasi yang progresif, pelaksana yang profesional dan berintegritas, peran aktif masyarakat, serta dukungan sarana prasarana.

Terhadap penindakan pelanggaran pidana pemilihan kepala daerah, peran strategis Sentra Penegakan Hukum Terpadu (Gakkumdu) sangat strategis selaku pelaksana kewenangan atribusi UU Pemilihan. Sentra Gakkumdu harus diapresiasi ketika menindak pelanggaran pidana terhadap pelaku yang melakukan kejahatan demokrasi, misalnya penggunaan dokumen palsu pencalonan, kampanye di luar jadwal, praktek politik uang, dan penyalahgunaan kewenangan petahana.

Namun pada sisi lain, Gakkumdu harus dikritisi ketika urung melakukan penindakan terhadap fakta yang terang terjadi sebagai pelanggaran pidana. Sudah berulang kali kontestasi pemilihan dilakukan, sejatinya penegakan hukum pemilihan sudah semakin matang. Lewat kerja-kerja dan dukungan sekretariat yang mapan. Tetapi capaian harapan tersebut masih jauh, hingga sering terdengar kritikan “bubarkan Gakkumdu”.

Pertama, apa yang menjadi permasalahan penindakan pelanggaran pidana pemilihan tidak efektif di Gakkumdu? Tidak efektif, ditandai banyak temuan atau laporan dugaan pelanggaran pidana pemilihan yang urung ditingkatkan ke proses penyidikan hingga ke persidangan. Kinerja Gakkumdu belum bisa menggapai harapan pembentuk undang-undang akan penindakan pelanggaran pidana yang tegas dan adil.

Kedua, bagaimana strategi mengatasi permasalahan tersebut, hingga menjadi solusi mewujudkan penegakan hukum pemilihan yang adil. Terutama memberi efek jera kepada pelaku, dan memberi tanda peringatan terhadap mereka yang mencoba melanggar.

Kajian Teoritik

Penegakan hukum sebagai proses untuk tegak dan berfungsinya norma hukum yang secara nyata sebagai pedoman perilaku hubungan hukum kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Lawrence Meir Friedman[2] mengungkapkan bahwa penegakan hukum ditentukan dan dipengaruhi oleh unsur-unsur dalam sistem hukum (elements of legal system) yakni: struktur hukum meliputi institusi dan aparat penegak hukum; substansi hukum meliputi aturan, norma dan perilaku nyata manusia; budaya hukum meliputi kepercayaan, nilai, pemikiran serta harapannya. Selanjutnya Soerjono Soekamto mengembangkan teori tersebut dengan menyebutkan masalah pokok penegakan hukum terletak pada faktor-faktor yang mempengaruhi, yakni hukumnya sendiri, penegak hukum, sarana dan fasilitas, masyarakat dan kebudayaan. Kelima faktor tersebut saling berkaitan erat sebagai kesatuan sistem, dan merupakan esensi dari penegakan hukum yang juga merupakan tolok ukur dari pada efektivitas penegakan hukum.[3]

Mengacu pada teori sistem hukum tersebut, menjadikan penegakan hukum pemilihan harus mendapatkan dukungan sumber daya profesional dan berintegritas, regulasi yang progresif, peran serta masyarakat, dan sarana-prasarana yang lengkap.

Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 juncto Perppu Nomor 2 Tahun 2020 tentang Perubahan Ketiga atas UU Nomor 1 Tahun 2015, telah mengatur keberadaan Sentra Gakkumdu dalam penanganan tindak pidana pada pemilihan. Ketentuan dalam Pasal 152 Ayat (1) Undang-Undang ini menyebutkan, “Untuk menyamakan pemahaman dan pola penanganan tindak pidana pemilihan, Bawaslu provinsi, dan/atau Panwas kabupaten/kota, kepolisian daerah dan/atau kepolisian resor, dan kejaksaan tinggi dan/atau kejaksaan negeri membentuk penegakan hukum terpadu.”

Sentra Gakkumdu merupakan kelompok kerja yang terdiri dari 3 (tiga) lembaga, yaitu lembaga pengawas, kepolisian, dan kejaksaan. Ketiga lembaga tersebut nantinya menyatu menindaklanjuti dugaan tindak pidana. Berupa tindaklanjut atas laporan atau temuan yang mengandung unsur pelanggaran tindak pidana pemilihan. Langkah ini menempatkan Gakkumdu memiliki peran signifikan dalam menindak pelaku dan aktor intelektual terjadi pelanggaran tindak pidana.

Meskipun pada dasarnya ketiga lembaga memiliki fungsi dan tugas yang berbeda, yaitu lembaga pengawasan berfungsi melakukan pengawasan dalam penyelenggaraan dan menindaklanjuti dugaan pelanggaran, kepolisian berfungsi untuk melakukan penyelidikan dan penyidikan, serta kejaksaan berfungsi untuk melakukan penuntutan, sebagaimana diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).

Pembahasan

Keberadaan Gakkumdu seharusnya mempermudah kerja-kerja penanganan tindak pidana pemilihan, namun kenyataan sering mengalami hambatan proses penanganan. Bawaslu sering kali tidak sependapat dengan unsur kepolisian dan unsur kejaksaan dalam tubuh Gakkumdu, hingga laporan atau temuan dugaan pelanggaran tidak dapat ditindaklanjuti. Kenyataan seperti ini sering terjadi, jika dilihat dari banyak tidaknya pelanggaran yang urung dilimpahkan ke pengadilan dengan alasan unsur pelanggaran tidak terpenuhi.

Sepanjang pengalaman pelaksanaan kontestasi perebutan suara rakyat, ditemukan permasalahan dalam penegakan hukum pemilihan yang turut menyita perhatian. Masalah ini dapat menjadi sandungan dalam penanganan pelanggaran pidana pemilihan, sehingga perlu antisipasi dengan menyiapkan strategi krisis penyelesaian masalah.

Pertama, perbedaan pemahaman unsur pelanggaran. Proses penegakan hukum pemilihan sering kali tidak tuntas karena persoalan perbedaan pemahaman masing-masing unsur Gakkumdu. Masih sering penanganan pelanggaran pidana dihentikan (dismiss) karena unsur dari Bawaslu, Kejaksaan, dan Kepolisian tidak sepaham dengan keterpenuhan unsur pelanggaran pidana pemilihan.

Senada Luky Sandra Amalia menyebutkan, sering terjadi dalam kajian Bawaslu kasus ditemukan atau dilaporkan merupakan pelanggaran pidana, tetapi ketika dilakukan gelar perkara pihak kepolisian atau pihak kejaksaan menyatakan unsur pelanggaran tindak pidana tidak terpenuhi. Implikasinya, temuan atau laporan pelanggaran berhenti di dalam kajian Bawaslu sesuai tingkatan.[4] Terutama terhadap ketentuan norma yang kabur dan multitafsir untuk disandarkan kepada dugaan pelanggaran hingga disimpulkan terbukti atau tidak terbukti.

Perbedaan pemahaman dapat dipicu lewat kebijakan atasan institusi masing-masing Gakkumdu yang menaruh kepentingan pragmatis terhadap kasus yang ditangani. Tidak jarang kasus yang telah dibahas, ketika dilaporkan ke atasan lantas mengubah peta penanganan kasus berupa keterpenuhan unsur pelanggaran. Misalnya, dalam pembahasan pertama dan/atau kedua terpenuhi unsur pelanggaran pidana, namun setelah dilaporkan dan dibahas di tingkatan atasan menjadi berubah tidak terpenuhi unsur pelanggaran. Faktor independensi terutama penyidik, dan penuntut rawan dipengaruhi oleh atasannya dalam menentukan keterpenuhan unsur pelanggaran pidana.

Atas keadaan ini dapat diminimalisir lewat perubahan regulasi, dengan sumber daya manusia penyidik dan penuntut dibebas tugaskan dari institusi asal untuk bekerja penuh waktu di Bawaslu (Gakkumdu). Atau alternatif lain dengan membuka peluang masuknya penyidik dan penuntut independen di luar institusi kepolisian dan kejaksaan. Sebab, sepanjang bentuk kelembagaan Gakkumdu masih terdiri dari tiga institusi, maka perbedaan pemahaman akan terus dialami hingga meneguhkan opini “bubarkan Gakkumdu”.

Kedua, waktu penanganan singkat. Sentra Gakkumdu harus mempergunakan waktu penanganan pidana selama lima hari kalender dengan efesien. Melihat desain jangka waktu, dapat dikatakan aturan penyelesaian hukum yang cepat (fast track) karena jangka waktu yang diberikan memproses juga singkat.

Penanganan pelanggaran pemilihan memang perlu dibatasi waktunya, mengingat pelanggaran terjadi dalam pelaksanaan tahapan yang sudah terjadwal. Jika tidak terselesaikan dikhawatirkan mempengaruhi tahapan berikutnya. Namun demikian, tidak semua jenis pelanggaran perlu dibatasi waktunya, selain karena sifat pelanggaran yang membutuhkan waktu lama untuk membuktikan, juga terhadap pelanggaran yang tidak mempengaruhi pelaksanaan tahapan pemilihan.

Terutama terhadap ada tidaknya pelanggaran pidana yang perlu dilakukan penyelidikan dan penyidikan karena hukum acara pidana pemilihan membutuhkan bukti dan saksi kuat agar keterpenuhan unsur tindak pidana bisa dibuktikan. Selain itu, sanksi tindak pidana biasanya jatuh ke perorangan, sehingga tidak perlu dikhawatirkan jatuhnya sanksi akan mengganggu pelaksanaan tahapan pemilihan.

Misalnya, dalam tahapan pencalonan terdapat perkara pidana yang menjerat seorang calon, maka biarkan saja kepolisian, kejaksaan, dan pengadilan memproses perkara tersebut, tanpa terpengaruh oleh jadwal tahapan. Katakanlah pelaksanaan terus berlanjut hingga sampai tahapan penetapan hasil, yang mana calon tersebut ditetapkan sebagai pasangan calon terpilih. Kemudian datang putusan pengadilan yang menyatakan calon terbukti melanggar ketentuan pidana sehingga dijatuhi sanksi. Dengan dinyatakan bersalah atas perkara yang muncul pada tahapan pencalonan, maka pasangan calon bersangkutan tidak bisa dilantik. Statusnya sebagai pasangan calon terpilih otomatis gugur dan diganti oleh pasangan calon lain berikutnya yang memperoleh suara terbanyak.

Ketiga, masalah koordinasi. Terhadap wilayah kepulauan dan wilayah pemekaran daerah otonomi baru yang keberadaan kejaksaan negeri dan kepolisian resort masih menyatu di daerah induk, akan menyulitkan koordinasi penanganan pidana pemilihan di daerah pemekaran. Dalam penanganan pidana atas temuan atau laporan yang diterima Bawaslu sudah harus didampingi oleh penyidik dan penuntut umum sejak awal. Atas masalah jarak di atas, menyulitkan kehadiran langsung unsur Gakkumdu dalam penanganan awal kasus di Bawaslu.

Melengkapi masalah koordinasi dimaksud, ditambah alokasi ketersediaan anggaran di Bawaslu yang tidak mengakomodir anggaran perjalanan rutin penyidik dan penuntut menuju kantor Bawaslu ketika penanganan kasus. Serta ketersediaan sumber daya manusia penyidik dan penuntut di kantor masing-masing yang masih membutuhkan, sehingga sulit untuk dibebas-tugaskan pada instansi asal untuk rutin masuk piket di kantor Bawaslu setempat.

Alternatif Solusi

Secara historis, masalah Bawaslu pada fungsi terbatas dan sempat diwacanakan dibubarkan karena hanya menjadi “lembaga pelengkap.” Saat itu, keberadaan lembaga pengawas ini dianggap membebani keuangan negara, dan ketika lembaga ini tidak ada maka dipastikan proses pemilu tetap berjalan. Sejak pemilu 1982 hingga pemilu 2014, fungsi Bawaslu tidak banyak berubah, yakni: (1) mengawasi tahapan pelaksanaan pemilu; (2) menerima laporan pelanggaran; (3) meneruskan laporan pelanggaran ke instansi berwenang, ke KPU bila terjadi pelanggaran administrasi, dan ke kepolisian bila terjadi pelanggaran pidana pemilu; serta (4) menyelesaikan sengketa proses pemilu.

Sekaitan dengan fungsi Bawaslu tersebut, Didik Supriyanto menyebutkan fungsi pertama tidak ubah fungsi pemantauan sebagaimana dijalankan lembaga pemantau pemilu, karena lembaga pengawas hanya mengeluarkan pernyataan tentang ada tidaknya masalah dalam pelaksanaan tahapan. Fungsi kedua dan ketiga, memposisikan lembaga pengawas sebagai petugas kantor pos, karena hanya mengantarkan hasil kajian tentang adanya pelanggaran ke KPU atau kepolisian. Sedang fungsi keempat, disayangkan keputusan lembaga pengawas tidak mempunyai kekuatan mengikat. [5]

Seiring dengan dinamika ketatanegaraan dan urgensi kontestasi demokrasi yang jujur dan adil mengharuskan penguatan fungsi Bawaslu. Harapan itu terwujud lewat pembentukan UU Nomor 7 Tahun 2017 Tentang Pemilihan Umum, yang menempatkan kelembagaan Bawaslu menemukan performa kinerja pengawas dan penegak keadilan pemilu. Khususnya dalam penanganan pelanggaran administrasi, dan penyelesaian sengketa proses pemilu. Termasuk berhasil menekan jumlah sengketa hasil di Mahkamah Konstitusi lewat penyelesaian masalah selama tahapan proses pemilu berlangsung.

Lalu dalam kontestasi pemilihan kepala daerah tahun 2020, kembali keberhasilan Bawaslu diuji apakah mampu mempertahankan kinerja seperti dalam pelaksanaan pemilu 2019 lalu, atau malah terpuruk hingga menggiring opini pembubaran. Sebab ada bentuk kewenangan yang berbeda dalam tahapan pemilu dengan kewenangan dalam tahapan pemilihan kepala daerah.

Sekaitan kinerja penindakan pelanggaran pidana baik pada tahapan pemilu maupun pemilihan sering terdengar opini “bubarkan” Gakkumdu karena dinilai kinerja tidak efektif. Hubungan dengan fokus tulisan ini, atas permasalahan sering terjadi perbedaan pemahaman, tantangan waktu penanganan yang singkat, dan koordinasi yang tidak maksimal di Gakkumdu sehingga dugaan pelanggaran urung ditindaklanjuti ke proses penyidikan hingga pengadilan.

Atas permasalahan dimaksud penting dirumuskan strategi penanganan minimal alternatif solusi atas permasalahan yang telah diidentifikasi sebelumnya. Agar memperlihatkan kinerja meneguhkan eksistensi Gakkumdu dalam penegakan keadilan pemilihan. Namun jika ini tidak diatasi atau gagal diterapkan, maka hakikatnya turut berkontribusi membuarkan Gakkumdu.

Pertama, penegasan rumusan delik formil atau delik materil. Memastikan penanganan secara cepat, norma pidana dalam UU Pemilihan telah ditancapkan sebagai “delik formil” yang dihasilkan lewat pembahasan dan kesepakatan Sentra Gakkumdu Pusat. Mengapa ini perlu? Masih sering ditemui perbedaan pemahaman atas pasal-pasal pidana, dalam kategori delik formil atau delik materil. Atas pembahasan dan kesepakatan Gakkumdu Pusat tersebut, sejatinya mengurangi perbedaan tajam dalam menilai keterpenuhan unsur pelanggaran pidana yang sementara ditangani.

Masalah lain, sering terjadi perbedaan pemahaman, multitafsir dan adanya norma kabur di dalam peraturan perundang-undangan. Ini menjadi batu sandungan proses penanganan, membuat pelaku (aktor) intelektual masih bebas melakukan aksi pelanggaran berikutnya. Gakkumdu perlu dievaluasi sekaligus dikuatkan dalam penindakan pelanggaran. Jangan lagi ada pelaku dengan bebas melakukan politik uang (money politic) untuk mempengaruhi pemilih, manipulasi suara, ujaran kebencian, merusak alat peraga kampanye milik kontestan lain, dan melakukan kecurangan lain yang mengurangi kualitas demokrasi.

Kedua, peningkatan kapasitas personil. Harapan atas kinerja Gakkumdu dalam menindak pelanggaran pidana secara tegas dan adil terus diupayakan. Mulai dari rapat koordinasi dan teknis secara berjenjang yang digalakkan guna membangun sinergi dan kesamaan pola penanganan pelanggaran tindak pidana, dengan tidak lupa menegaskan arti penting integritas dan profesional.

Komitmen personel Gakkumdu yang diharapkan sudah terbangun, dalam semangat menegakkan keadilan pemilihan bisa menjadi modal awal. Kepada pelaku dan aktor intelektual pembuat pelanggaran dapat dikenai sanksi dan menjadi peringatan bagi pihak yang ingin mencoba melanggar. Kesatuan personel Gakkumdu bisa saling bahu-membahu menjawab tuntutan publik terhadap kelemahan penanganan kasus selama ini. Kesatuan melahirkan upaya memberi kepastian hukum yang berperan dalam pembangunan demokrasi bermartabat dan berintegritas.

Ketiga, dukungan teknis kelembagaan Gakkumdu. Secara teknis, sekretariat harus resposif memberi dukungan teknis dan operasional dalam pelaksanaan tugas dan kewenangan penindakan pelanggaran pidana. Dukungan staf yang handal dan cekatan dalam menindaklanjuti setiap laporan dan temuan pelanggaran akan sangat membantu. Serta fasilitasi kegiatan berupa rapat koordinasi, rapat kerja teknis, dan supervisi secara berkala untuk membahas dan menyatukan pemahaman atas dinamika isu hukum yang dihadapi.

Dukungan teknis sangat terkait dengan ketersediaan anggaran yang cukup dan mencukupi membiayai penyelenggaraan teknis. Anggaran lekat dengan kebijakan politik anggaran yang dibahas bersama tim anggaran pemerintah daerah untuk hibah penyelenggaraan pemilihan kepala daerah. Dalam pembahasan tidak jarang mengalami masalah berupa ketidak sepahaman penyelenggara dengan tim pemerintah daerah, hingga harus difasilitasi penyelesaiannya oleh pemerintah pusat. Ke depan, sejatinya anggaran penyelenggaraan pemilihan kepala daerah ditetapkan dari pemerintah pusat agar lebih menegaskan independensi penyelenggara. Agar tidak ada kesan, penyelenggara meminta-minta anggaran kepada pemerintah daerah.

Keempat, penguatan fungsi Bawaslu. Penguatan sekaligus dimaknai sebagai perubahan struktur kewenangan Bawaslu sebagaimana disebutkan undang-undang. Penguatan fungsi Bawaslu lebih sebagai norma yang dicita-citakan (ius constituendum), berupa perubahan kewenangan yang dilengkapi fungsi kehakiman. Berupa putusan Bawaslu bersifat eksekutorial dalam pelanggaran tindak pidana pemilu dengan kewenangan menerima, memeriksa, dan memutus pelanggaran tindak pidana dengan karakter putusan final dan mengikat. Sehingga otomatis tidak dibutuhkan lagi wadah bersama tiga institusi bernama Gakkumdu.

Penguatan fungsi Bawaslu tersebut dalam penegakan hukum pemilu dapat dikatakan sebagai embrio peradilan khusus pemilu dengan merubah struktur dan kewenangan pengawasan dan penindakan pelanggaran. Secara khusus peradilan khusus pemilu terwujud lewat desain perubahan regulasi penegakan hukum pemilu. Disadari upaya itu tidaklah mudah, butuh kajian mendalam dan politik hukum yang kuat mewujudkan.

Penutup

Permasalahan penindakan pelanggaran pidana pemilihan tidak efektif ditandai banyak temuan atau laporan yang urung ditingkatkan ke proses penyidikan hingga ke persidangan disebabkan beberapa faktor. Faktor tersebut di antaranya, perbedaan pemahaman dalam Gakkumdu akan keterpenuhan unsur pelanggaran. Ditambah lagi waktu penanganan lima hari yang singkat, serta masalah koordinasi yang tidak efektif antar sesama tim Gakkumdu karena jarak dan anggaran yang terbatas.

Mengatasi masalah tersebut perlu strategi tepat, agar penindakan pelanggaran pidana dapat mewujudkan keadilan pemilihan, terutama soal perbedaan pemahaman yang sering muncul. Sehingga perlu penegasan rumusan delik formil atau delik materil dari ketentuan pidana pemilihan, yang pada prinsipnya berhubungan dengan upaya peningkatan kapasitas personil. Selain itu, dibutuhkan strategi dalam bentuk memaksimalkan dukungan teknis kelembagaan Gakkumdu terutama dari sekretariat.

Daftar Pustaka

Achmad Ali. 2005. Keterpurukan Hukum di Indonesia; Penyebab dan Solusi, Bogor: Ghalia Indonesia.
Didik Supriyanto, Veri Junaidi, Devi Darmawan. 2012. Penguatan Bawaslu; Optimalisasi Posisi, Organisasi, dan Fungsi dalam Pemilu 2014, Jakarta: Perludem.
Luky Sandra Amalia dkk. 2016. Evaluasi Pemilu Legislatif 2014; Analisis, Proses, dan Hasil, Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Soerjono Soekanto. 2011. Faktor-Faktor yang Memengaruhi Penegakan Hukum. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Syamsudin Haris (Editor). 2016. Pemilu Nasional Serentak 2019, Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Catatan Kaki

[1] Syamsudin Haris (Editor). 2016. Pemilu Nasional Serentak 2019, Yogyakarta: Pustaka Pelajar. hlm. 145.
[2] Lawrence Friedmann dalam Achmad Ali. 2005. Keterpurukan Hukum di Indonesia; Penyebab dan Solusi, Bogor: Ghalia Indonesia, hlm 1.
[3] Soerjono Soekanto. 2011. Faktor-Faktor yang Memengaruhi Penegakan Hukum. Jakarta: Raja Grafindo Persada. hlm 5.
[4] Luky Sandra Amalia dkk. 2016. Evaluasi Pemilu Legislatif 2014; Analisis, Proses, dan Hasil, Yogyakarta: Pustaka Pelajar. hlm. 116.
[5]Didik Supriyanto, Veri Junaidi, Devi Darmawan. 2012. Penguatan Bawaslu; Optimalisasi Posisi, Organisasi, dan Fungsi dalam Pemilu 2014, Jakarta: Perludem. hlm. 54-55.