Pelanggaran Pasal 71 UU Pilkada; Kumulatif atau Alternatif

378 Views

PELANGGARAN PASAL 71 UU PILKADA; KUMULATIF ATAU ALTERNATIF
Oleh: Dr. Aminuddin Kasim, SH, MH.
(Dosen Tetap Universitas Tadulako Palu)

Undang-Undang Pilkada telah menetapkan beberapa larangan bagi kepala daerah atau wakil kepala daerah dalam penyelenggaraan Pilkada serentak. Dalam Pasal 71 UU Pilkada terdapat dua larangan yang menarik untuk dikritisi, yaitu pada ayat (2) dan ayat (3).

Adapun rumusan normanya adalah: Kesatu,  Gubernur atau Wakil Gubernur, Bupati atau Wakil Bupati, dan Walikota atau Wakil Walikota dilarang melakukan penggantian pejabat 6 (enam) bulan sebelum tanggal penetapan pasangan calon sampai dengan akhir masa jabatan kecuali mendapat persetujuan dari Menteri  (ayat 2), dan Kedua, Gubernur atau Wakil Gubernur, Bupati atau Wakil Bupati, dan Walikota atau Wakil Walikota dilarang menggunakan kewenangan, program, dan kegiatan yang menguntungkan atau merugikan salah satu pasangan calon baik di daerah sendiri maupun di daerah lain dalam waktu 6 (enam) bulan sebelum tanggal penetapan pasangan calon sampai dengan penetapan calon terpilih (ayat 3).

Pelanggaran terhadap dua larangan itu diancam dengan sanksi administratif sebagaimana tersebut dalam Pasal 71 ayat (5) UU Pilkada, yaitu: Dalam hal Gubernur atau Wakil Gubernur, Bupati atau Wakil Bupati, dan Walikota atau Wakil Walikota selaku petahana melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3), petahana tersebut dikenai sanksi pembatalan sebagai calon oleh KPU Provinsi atau KPU Kabupaten/Kota.

Terkait dengan adanya diksi dan dalam Pasal 71 ayat (5) UU Pilkada di atas, muncul pertanyaan: apakah sanksi pembatalan sebagai calon baru dikatakan terpenuhi jika pelanggaran terhadap Pasal 71 ayat (2) berbarengan dengan Pasal 71 ayat (3)? Apakah pelanggaran terhadap Pasal 71 ayat (2) dan Pasal 71 ayat (3) bersifat kumulatif atau alternatif?

Jawaban atas pertanyaan di atas ditemukan dalam risalah Putusan Mahkamah Agung No. 570 K/TUN/PILKADA/2016, tertanggal 4 Januari 2017. Dalam risalah putusan MA tersebut terurai fakta-fakta hukum tentang tindakan Bupati (Petahana) Drs. H. Rum Pagau yang melanggar larangan dalam Pasal 71 ayat (2), yakni 3 (tiga) kali melakukan penggantian pejabat dan sekali melakukan pembatalan keputusan penggantian pejabat (18 Oktober 2016). Semua itu dilakukan dalam kurun waktu 6 (enam) bulan sebelum tanggal penetapan pasangan calon sampai dengan akhir masa jabatan tanpa mendapat persetujuan dari Menteri.

Mengingat karena terbukti pelanggaran Pasal 71 ayat (2) yang dilakukan oleh Bupati Petahana serta kekeliruan penerapan hukum majelis judex factie PT-TUN Makassar dalam Putusan Nomor:  16/G/PILKADA/2016/PT.TUN. MKS, tertanggal tanggal 1 Desember 2016, sehingga Majelis Hakim Kasasi MA membatalkan Keputusaan KPU Kabupaten Boalemo No. 24/Kpts/KPU Kab. Boalemo/Pilbup/027.436540/X/2016. Akibat pembatalan itu, Paslon Petahana (Rum Pagau – Lahmudin Hambali) gagal ikut Pilkada Serentak 201

Dari putusan MA di atas terbaca tafsir bahwa keputusan tentang pembatalan calon hanya mendasarkan pada satu jenis pelanggaran, yakni pelanggaran Pasal 71 ayat (2), bukan dua jenis pelanggaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71 ayat (5). Dengan demikian,  makna diksi “dan” dalam Pasal 71 ayat (5) tidak lagi bermakna kumulatif – pelanggaran yang berbarengan (pelanggaran Pasal 71 aya (2) dan Pasal 71 ayat (3)).

Putusan MA No. 570 K/TUN/PILKADA/2016 terkait dengan pembatalan Keputusan KPU Boalemo tentang Penetapan Paslon Pilkada Serentak 2017 (24 Oktober 2016), sesungguhnya telah mengubah makna teks (original intent) Pasal 71 ayat (5) UU Pilkada. Meski putusan MA itu masih bisa diperdebatkan dalam atmosfir akademik, karena bukan MA yang berwenang menguji UU Pilkada. Namun fakta empiriknya, putusan MA sudah terimplementasi  di kabupaten Boalemo, dimana Bupati Petahana (Drs. H. Rum Pagau) kehilangan hak konstitusionalnya karena gagal ikut Pilkada 2017.

Bertolak dari fakta empirik itu, maka Pasal 71 ayat (5) tidak bisa lagi dipahami secara reading text, tetapi harus ditafsir secara kontekstual. Bunyi teks Pasal 71 ayat (5) tidak berubah (tetap), tapi maknanya sudah berubah.  Diksi “dan dalam Pasal 71 (5) sudah berubah menjadi makna “atau” – atau diksi bermakna alternatif (pilihan).

Perubahan diksi “dan” (bermakna kumulatif) menjadi diksi “atau” (alternatif) sudah diimplementasikan oleh KPU setelah mengubah PKPU tentang Pencalonan, dari PKPU No. 3 Tahun 2017 menjadi PKPU No. 1 Tahun 2020. Dalam Pasal 89 PKPU yang baru (PKPU No 1/2020) hanya terdiri 2 (dua) ayat.

Lebih jelasnya: Petahana dinyatakan tidak memenuhi syarat jika: (a) melakukan penggantian pejabat 6 (enam) bulan sebelum tanggal penetapan Pasangan Calon sampai dengan akhir masa jabatan kecuali mendapat persetujuan tertulis dari menteri yang menyelenggarakan urusan dalam negeri; atau (b) menggunakan kewenangan, program, dan kegiatan yang menguntungkan atau merugikan salah satu Pasangan Calon baik di daerah sendiri maupun di daerah lain dalam waktu 6 (enam) bulan sebelum tanggal penetapan Pasangan Calon sampai dengan penetapan Pasangan Calon terpilih.

Jadi, tampak dengan jelas bahwa Pasal 89 PKPU No. 1 Tahun 2020 sudah menggunakan diksi “atau” – diksi yang bermakna alternatif (pilihan).  Bagi penulis, tentu ada reasoning yang mendasari KPU mengubah Pasal 89 PKPU tentang Pencalonan. Apakah perubahan ketentuan PKPU itu diilhami Putusan MA No. 570 K/TUN/PILKADA/2016. Wallaha a’lam.

Pastinya, Pasal 89 PKPU No. 1 Tahun 2020, selain menambah syarat tambahan bagi bakal calon Petahana, juga memilih diksi “atau” untuk menetapkan TMS jika ada bakal calon Petahana yang terbukti melanggar salah satu dari dua larangan dalam Pasal 71 ayat (5) UU Pilkada.

Petahana yang Terancam Diskualifikasi

757 Views

PETAHANA YANG TERANCAM DISKUALIFIKASI
Oleh: Dr Aminuddin Kasim SH MH
(Dosen Fakultas Hukum Universitas Tadulako)

Undang-Undang Pilkada telah menetapkan beberapa larangan bagi Gubernur atau Wakil Gubernur, Bupati atau Wakil Bupati, dan Walikota atau Wakil Walikota. Salah satu diantaranya adalah larangan melakukan pergantian pejabat 6 (enam) bulan sebelum tanggal penetapan pasangan calon sampai dengan akhir masa jabatan kecuali jika mendapat persetujuan tertulis dari Menteri. Hal itu secara tegas diatur dalam Pasal 71 ayat (2) UU Pilkada.

Larangan dalam Pasal 71 ayat (2) UU Pilkada tidak hanya ditujukan kepada Gubernur atau Wakil Gubernur, Bupati atau Wakil Bupati, dan Walikota atau Wakil Walikota yang mencalonkan atau dicalonkan dalam Pilkada (Petahana), tetapi juga ditujukan kepada Gubernur atau Wakil Gubernur, Bupati atau Wakil Bupati, dan Walikota atau Wakil Walikota yang bukan Petahana. Pasal 71 ayat (2) ini termasuk kategori norma imperatif – wajib ditaati oleh Petahana dan Gubernur atau Wakil Gubernur, Bupati atau Wakil Bupati, dan Walikota atau Wakil Walikota yang bukan Petahana.

Konsekuensi hukum atas pelanggaran Pasal 71 ayat (2) adalah ancaman pidana penjara dan denda (Pasal 190 UU Pilkada). Ketentuan Pasal 190 ini dilekatkan fungsi hukum (a tool of social control) – agar tercegah pelanggaran Pasal 71 ayat (2). Pasal 71 ayat (2) lebih kental daya imperatifnya jika dibandingkan Pasal 71 ayat (3). Sebab, Pasal 71 ayat (3) tidak tersebut dalam Pasal 190 atau luput dari ancaman pidana penjara dan denda.

Khusus bagi Petahana yang melanggar Pasal 71 ayat (2), selain diancam dengan pidana penjara dan denda (Pasal 190), juga dikenakan sanksi administratif berupa pembatalan sebagai calon oleh KPU di daerah (Pasal 71 ayat (5) UU Pilkada). Jadi, bagi Petahana yang melanggar Pasal 71 ayat (2) terkena konsekuensi hukum ganda, yakni  ancaman sanksi pidana dan sanksi administratif.

Mengingat pentingnya norma imperatif dilekatkan dalam Pasal 71 ayat (2) sehingga Bawaslu RI serta Bawaslu di daerah gencar melakukan sosialisasi sejak Januari hingga Pebruari 2020. Sosialisasi yang dilakukan Bawaslu RI melibatkan para Bupati/Walikota yang menyelenggarakan Pilkada Serentak 2020. Sosialisasi Gelombang I berlangsung di Padang (28/1-2020), Gelombang II di Manado (4/2-2020), dan Gelombang III di Banjarmasin (11/2-2020). Lebih dari itu, Kemendagri juga menyosialisasikan SE Mendagri No. 273/487/SJ, tertanggal 21 Januari 2020, antara lain di Bali (27/2-2020) dan menghadirkan Sekda se-Indonesia.. Jadi, upaya pencegahan terhadap pelanggaran Pasal 71 ayat (2) sudah dilakukan secara masif.

TMS Dulu, Menyusul Pembatalan

Jika dicermati substansi Pasal 71 ayat (5) UU Pilkada, maka tertangkap kesan bahwa Petahana yang melanggar larangan dalam Pasal 71 ayat (2) ditetapkan dulu sebagai calon, lalu menyusul pembatalan. Tafsir ini tidak bisa lagi dipertahankan setelah adanya Putusan Mahkamah Agung Nomor 570 K/TUN/PILKADA/2016, tertanggal 4 Januari 2017. Putusan MA ini membatalkan Keputusaan KPU Boalemo No. 24/Kpts/KPU Kab. Boalemo/Pilbup/ 027.436540/X/2016. Akibat pembatalan itu, Paslon Petahana (Rum Pagau – Lahmudin Hambali) gagal ikut Pilkada Serentak 2017. Inilah akibat dari pelanggaran Pasal 71 ayat (2) yang pernah dilakukan oleh Bupati Drs H. Rum Pagau (Petahana) dalam kurun waktu 6 bulan sebelum penetapan Paslon (24 Oktober 2016).

Dalam ratio decidendi putusan MA No. 570 K/TUN/PILKADA/2016, Majelis Hakim Kasasi (MA) tidak dapat membenarkan pertimbangan Majelis Hakim (Judex Facti) PT-TUN Makassar yang berpendapat bahwa calon Petahana hanya dapat diberikan sanksi pembatalan sebagai calon ketika calon Petahana apabila melakukan pelanggaran setelah ditetapkan sebagai Paslon oleh KPU. Bagi Majelis Hakim MA, ketentuan Pasal 71 ayat (2) UU No. 10 Tahun 2016 sudah cukup jelas mengatur mengenai larangan melakukan mutasi berlaku 6 bulan sebelum ditetapkan Paslon sampai masa jabatan berakhir. Pertimbangan hukum MA di atas, idealnya menjadi referensi tambahan bagi KPU di daerah ketika menindak-lanjuti rekomendasi Bawaslu di daerah (Pasal 139) terkait dengan pelanggaran Pasal 71 ayat (2) yang pernah dilakukan oleh Petahana.

Bukan hanya Putusan MA di atas, KPU di daerah juga terikat dengan Pasal 89 huruf a PKPU No. 1 Tahun 2020 (Perubahan PKPU No. 3 Tahun 2017). Pasal 89 huruf a dengan tegas menyebutkan bahwa Petahana dinyatakan tidak memenuhi syarat jika melakukan penggantian pejabat 6 (enam) bulan sebelum tanggal penetapan Pasangan Calon sampai dengan akhir masa jabatan kecuali mendapat persetujuan tertulis dari menteri yang menyelenggarakan urusan dalam negeri. Jadi, Pasal 89 huruf a menetapkan syarat tambahan bagi Petahana. JIka Petahana terbukti melanggar Pasal 71 ayat (2) berdasarkan kajian dan rekomendasi Bawaslu di daerah, maka KPU di daerah harus mendiskualifikasi atau menyatakan Tidak Memenuhi Syarat (TMS) Petahana.

Komisioner KPU di daerah pasti memahami makna diksi syarat. Diksi syarat selalu berada di depan atau mendahului tindakan penetapan (keputusan). Keabsahan setiap tindakan hukum berupa penetapan (keputusan) ditentukan oleh keterpenuhan dan keabsahan syarat. Saat proses verifikasi syarat calon dan pencalonan berlangsung (tentu saja sebelum tanggal penetapan Paslon), dapat dipastikan bahwa komisioner KPU di daerah tidak mungkin menegasikan syarat tambahan dalam Pasal 89 huruf a PKPU No. 1 Tahun 2020 sepanjang ada Petahana yang pernah melanggar Pasal 71 ayat (2).  Alasannya sederhana, PKPU tersebut adalah aturan (hukum) yang bermakna perintah. Meminjam pendapat Hart (1994), bahwa hukum adalah perintah (law is command) dari pejabat berwenang. Jadi, PKPU No. 1 Tahun 2020 adalah law is command – perintah dari komisioner KPU di pusat kepada komisioner KPU di daerah ketika berlangsung tahapan pencalonan dalam Pilkada Serentak.

Lalu, kapan pembatalan Paslon dilakukan KPU di daerah jika ada Paslon terbukti melanggar UU Pilkada? Khusus bagi Paslon Petahana yang terbukti melanggar Pasal 71 ayat (2), aturannya merujuk pada ketentuan Pasal 90 ayat (1) huruf e PKPU No. 1 Tahun 2020. Keputusan pembatalan khusus bagi calon Petahana tentu saja didahului dengan adanya tindakan penetapan Paslon – notabene calon Petahana (MS) – atau Petahana yang tidak terjaring dengan ketentuan Pasal 89 huruf a PKPU No. 1 Tahun 2020.

Bagi penulis, substansi Pasal 90 ayat (1) huruf e sesungguhnya beroperasi setelah tanggal penetapan Paslon. Sebab, larangan dalam Pasal 71 ayat (2) masih berpotensi dilanggar oleh Calon Petahana sehari setelah dia ditetapkan sebagai Paslon Pilkada, menjelang berakhir masa kamapnye, pada masa minggu tenang atau sebelum berakhir masa jabatan.  Dalam ruang ini berlaku Pasal 90 ayat (1) huruf e (pembatalan calon). Jadi, tampak jelas garis pembatas antara Pasal 89 huruf a dengan Pasal 90 ayat (1) huruf e PKPU No. 1 Tahun 2020.

Aminuddin Kasim; Emergency Pandemi Covid-19 Bukan Alasan Pembenar Penggantian Pejabat

Aminuddin Kasim
679 Views

Palu-Jati Centre.  Terhadap kondisi emergency (keadaan darurat) pandemi Covid-19, tidak dapat dijadikan alasan pembenar bagi kepala daerah untuk melakukan penggantian pejabat. Sebab jelas pada Pasal 71 ayat (2) UU Pemilihan Kepala Daerah bahwa penggantian pejabat hanya dapat dilaksanakan apabila mendapat izin tertulis dari Menteri atau terjadi kekosongan jabatan.

Demikian penegasan yang disampaikan Akademisi Fakultas Hukum Universitas Tadulako Aminuddin Kasim, pada rapat koordinasi (rakor) konsolidasi penanganan pelanggaran Pilkada yang dilaksanakan Bawaslu Sulawesi Tengah (Sulteng), di salah satu hotel di Palu, Rabu (19/8/2020).

Rakor menghadirkan peserta Komisioner Bawaslu kabupaten/kota dengan penerapan protokol kesehatan Covid-19. Seluruh peserta wajib menggunakan masker, mencuci tangan sebelum masuk ruangan, dan menjaga jarak.

Aminuddin Kasim menjelaskan, Pasal 71 ayat (2) UU Pemilihan ditujukan kepada Kepala Daerah (termasuk wakil kepala daerah) yang dimaknai sebagai ketentuan memaksa dengan memuat larangan penggantian pejabat, dan konsekuensi hukum jika ketentuan dilanggar.

“Pasal 71 ayat (2)  UU Pemilihan sudah secara tegas menyatakan bahwa Gubernur atau Wakil Gubernur, Bupati atau Wakil Bupati, Wali Kota atau Wakil Wali Kota dilarang melakukan pergantian pejabat selama enam bulan sebelum tanggal penetapan pasangan calon sampai dengan akhir masa jabatan kecuali memperoleh izin tertulis dari Mendagri atau terdapat kekosongan jabatan,” jelasnya.

Dengan dasar tersebut menurut Aminuddin, jika terjadi dan terbukti ada kepala daerah melakukan hal itu, konsekuensi hukum Pasal 71 ayat (2) Undang-Undang Pemilihan yaitu sanksi pidana sebagaimana diatur Pasal 190 Undang-Undang Pemilihan, dan sanksi pelanggaran hukum lainnya yang diatur di luar Undang-Undang Pemilihan.

Serta sanksi administratif bagi kepala daerah yang akan maju dalam suksesi pemilihan sebagai petahana untuk dinyatakan Tidak Memenuhi Syarat (TMS) sebagai pasangan calon sesuai ketentuan 89 huruf a PKPU Nomor 1 Tahun 2020, atau dibatalkan sebagai pasangan calon sesuai dengan ketentuan Pasal 71 ayat (5) UU Pemilihan juncto Pasal 90 ayat (1) huruf e PKPU Nomor 1 Tahun 2020.

Saat ditanya, apakah pelanggaran Pasal 71 ayat (2) harus berbarengan dengan Pasal 71 ayat (3) UU Pemilihan, karena adanya diksi “dan” dalam kandungan Pasal 71 ayat (5) UU Pemilihan.

Aminuddin menjelaskan, Pasal 71 ayat (5) UU Pemilihan telah diubah maknanya sesuai putusan Mahkamah Agung Nomor 570/TUN/PILKADA/2016 yang diputuskan pada 4 Januari 2017 terkait pelanggaran Pasal 71 ayat (2) di Pilkada Kabupaten Boalemo tahun 2017.

Berdasarkan teori perubahan konstitusi, dengan putusan pengadilan atas pengujian Undang-Undang sehingga merubah makna dari peraturan walaupun belum dilakukan perubahan diksi dalam peraturan tersebut.

“Terhadap Pasal 71 ayat (5) UU Pemilihan walaupun masih tertulis diksi “dan”, tapi makna sebenarnya adalah “atau,” jelasnya.

Artinya, walaupun diksi “dan” (komulatif) dalam Undang-Undang, tetapi makna sebenarnya adalah “atau” (alternatif). Pemahaman ini satu tarikan dengan ketentuan Pasal 89 PKPU tentang Pencalonan, yang telah mengubah menjadi diksi “atau” bukan lagi diksi “dan” seperti halnya diksi dalam UU Pemilihan. Mashur

Kepala Daerah Melakukan Penggantian Pejabat, Terancam Tidak Memenuhi Syarat Ikut Pilkada

276 Views

Palu-Jati Centre. Kepala daerah yang melanggar ketentuan Pasal 71 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 sebagaimana diubah terakhir kali dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2020 tentang Pilkada terancam tidak dapat ditetapkan sebagai pasangan calon pada perhelatan Pilkada serentak tahun 2020.

Hal itu ditegaskan Akademisi Faktultas Hukum Universitas Tadulako, Aminuddin Kasim pada rapat koordinasi (rakor) konsolidasi penanganan pelanggaran pilkada yang dilaksanakan Bawaslu Sulawesi Tengah (Sulteng) di salah satu hotel Kota Palu, Rabu (19/8/2020).

Rakor yang dihadiri seluruh Komisioner Bawaslu kabupaten/kota se-Sulawesi Tengah tersebut dilaksanakan dengan standar kesehatan Covid-19. Seluruh peserta diwajibkan menggunakan masker, mencuci tangan sebelum memasuki ruangan acara, dan menjaga jarak.

“Pasal 71 ayat (2) Undang-Undang Pilkada secara tegas menyatakan bahwa gubernur atau wakil gubernur, bupati atau wakil bupati, walikota atau wakil walikota dilarang melakukan penggantian pejabat enam bulan sebelum tanggal penetapan pasangan calon sampai dengan akhir masa jabatan kecuali mendapat persetujuan tertulis dari Mendagri,” katanya.

Dengan dasar tersebut kata Aminuddin Kasim, jika ada petahana yang terbukti melakukan penggantian pejabat di masa larangan tanpa persetujuan Kemendagri, maka Bawaslu harus melakukan proses penindakan pelanggaran hingga menghasilkan rekomendasi pelanggaran kepada KPU untuk petahana dinyatakan tidak memenuhi syarat (TMS) atau tidak bisa ditetapkan sebagai calon untuk ikut dalam pilkada serentak 2020.

Dia mengatakan, konsekuensi petahana saat mendaftar sebagai pasangan calon di KPU terikat dengan ketentuan Pasal 89 Peraturan KPU Nomor 1 Tahun 2020 Tentang Pencalonan Pemilihan Kepala Daerah.

Dalam Peraturan KPU pencalonan tersebut semakin mempertegas bahwa petahana dinyatakan TMS jika terbukti melakukan pelanggaran penggantian pejabat enam bulan sebelum tanggal penetapan pasangan calon sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71 ayat (2) UU Pilkada.

“Itu syarat tambahan yang khusus ditujukan kepada petahana. Diksi petahana harus merujuk pada ketentuan Pasal 1 angka 20 PKPU tentang Pencalonan,” ucapnya.

Menjadi kewajiban bagi KPU atas rekomendasi tersebut untuk melakukan validasi, apakah ada penggantian pejabat atau tidak di masa waktu yang dilarang terkecuali penggantian pejabat mendapatkan izin tertulis dari Menteri.

Munculnya pendapat bahwa ditetapkan dulu baru dibatalkan, menurutnya tafsir tersebut tidak berlaku. Hal itu merujuk pertimbangan hukum putusan Mahkamah Agung Nomor 570/TUN/PILKADA/2016 yang diputuskan pada 4 Januari 2017 terkait pelanggaran Pasal 71 ayat (2) di Pilkada Kabupaten Boalemo tahun 2017.

Sesuai Putusan Mahkamah Agung Nomor 570, dianggap keliru putusan Majelis Hakim judex fakti Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PTTUN) yang menyebutkan ditetapkan dulu pasangan calon baru dibatalkan.

“Jadi tidak berlaku tafsir bahwa ditetapkan dulu pasangan calon lalu dibatalkan. Sehingga KPU tidak harus menetapkan dulu, baru membatalkan karena itu pemahaman dan langkah yang keliru,” ucapnya.

Ketika dimintai tanggapan terkait rekomendasi Bawaslu terkait kasus pelanggaran administrasi pemilihan yang dilakukan Bupati Banggai dan Morowali Utara, pihaknya enggan banyak memberikan komentar.

Dia hanya meminta agar hal tersebut dikonfirmasi kepada Bawaslu. “Silakan nilai sendiri. Untuk lebih jelasnya konfirmasi ke Bawaslu,” pungkasnya.

Sumber: Diolah dari www.sultengterkini.com

Langkah Strategis Bawaslu dalam Penanganan Pelanggaran

295 Views

Palu-Jati Centre. Misi utama penyelenggara pemilihan adalah mewujudkan Pilkada berkualitas baik kualitas dari sisi proses maupun kualitas hasil kontestasi. Proses berkualitas berupa jaminan kontestasi dilaksanakan sesuai aturan dan asas pemilihan sehingga tidak ada pelanggaran, dan hasil pemilihan yang diterima semua pihak terutama pihak yang berkontestasi.

Selain itu, misi kedua berupa Pilkada harus menjamin keselamatan masyarakat dan semua pihak, terutama di masa pandemi covid-19, melalui kepatuhan penerapan protokol kesehatan. Hal ini disampaikan Komisioner Bawaslu Ratna Dewi Pettalolo saat menjadi narasumber dalam Rapat Koordinasi Konsolidasi Penanganan Pelanggaran Bawaslu Kabupaten/Kota Se-Sulawesi Tengah, di Palu pada Selasa (18/8/2020).

“Pilkada berkualitas harus menjamin keselamatan, agar masyarakat menjadi sehat dan aman apalagi di tengah pandemi covid-19,” jelasnya.

Lebih lanjut, mantan Ketua Bawaslu Provinsi Sulteng ini menguraikan poin-poin langkah strategis Bawaslu dalam penindakan pelanggaran pemilihan kepala daerah tahun 2020. Yakni, Bawaslu telah melaksanakan Workshop dengan kepala daerah seluruh Indonesia terhadap potensi pelanggaran Pasal 71 UU Pemilihan.

“Selanjutnya, membentuk kelompok kerja Bawaslu dan KASN, terkait tindak lanjut rekomendasi pelanggaran hukum lainnya, dan kelompok kerja dengan KPU terkait tindaklanjut rekomendasi pelanggaran administrasi,” ujarnya.

Lebih lanjut Dosen Tetap Universitas Tadulako ini menyebutkan, mengganti Peraturan Bersama tentang Sentra Gakkumdu, melalui proses revisi Perbawaslu Penanganan Pelanggaran, dan Penanganan Pelanggaran administrasi yang terjadi secara TSM.

Lalu, meminta fatwa Mahkamah Agung terkait dengan penanganan perkara tindak pidana yang in absensia.

“Agar penerapan ketentuan in absensia dapat diterapkan dalam Pilkada seperti halnya dalam ketentuan Pemilu,” urai Ratna Dewi.

Mengoptimalkan koordinasi penanganan pelanggaran dengan jajaran melalui Rakornas dan Rakernis Penanganan Pelanggaran.

“Membangun sistem pelaporan dugaan pelanggaran berbasis informasi teknologi,” ujarnya.

Selanjutnya, penguatan dan peningkatan kapasitas sekretariat pengawas pemilihan melalui fasilitasi penanganan pelanggaran dan validasi data pelanggaran. Terakhir, sosialisasi penanganan pelanggaran kepada masyarakat, pengawas pemilihan dan stakeholders terkait melalui video tutorial.

Anayanthy : Sewa Alat dan Mebel Perkantoran Kewenangan Sekretariat Bawaslu Kabupaten/Kota

344 Views

Palu-Jati Centre. Kepala Sekretariat Bawaslu Sulteng, Anayanthy Sovianita mengungkapkan bahwa seluruh tahapan proses penyediaan sewa alat perkantoran dan mebel berada penuh pada Sekretariat Bawaslu Kabupaten/Kota, bukan di Sekretariat Bawaslu Provinsi.

“Sebab di Bawaslu Kabupaten/Kota terdapat Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) yang masing-masing mengurusi sewa alat dan mebel Panwascam di maksud,” jelas Anayanty pada Rabu (12/8/2020).

Lebih lanjut Anayanthy menjelaskan, anggaran itu ada di Bawaslu Provinsi, kemudian diserahkan ke PPK untuk dibahas dengan ULP (Unit Layanan Pengadaan) setempat.

Dia menjelaskan, sejatinya jika terjadi kerusakan pada barang sewa yang diterima Panwascam maka segera dilaporkan ke Bawaslu Kabupaten/Kota, untuk diteruskan ke pihak penyedia.

“Panwascam sebaiknya datang melapor ke Bawaslu Kabupaten/Kota jika ada alat rusak, nanti Bawaslu Kabupaten/Kota yang mediasi ke pihak penyedia. Dengan minta alat pengganti, agar alat yang rusak tadi diperbaiki,” ungkapnya.

Perlu diketahui, Bawaslu Sulteng melakukan penyusunan penganggaran belanja pada tahapan Pemilihan Kepala Daerah yang dituangkan dalam Rancangan Anggaran Biaya (RAB) dan Petunjuk Operasional Kegiatan (POK), untuk diserahkan kepada Bawaslu Kabupaten/Kota. Pelaksanaannya memperhatikan ketentuan dalam Peraturan Presiden Tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah.

Lebih lanjut, Anayanthy mengungkapkan di dalam POK Bawaslu Provinsi tidak memuat spesifikasi alat atau barang elektronik yang akan disewa.

“Bawaslu Kabupaten/Kota dipersilahkan mencari dan menentukan sendiri siapa pihak penyedia untuk kerja sama penyewaan barang, yang disesuaikan dengan kemampuan anggaran,” kata Anayanthy.

Berbeda jika pengadaan dengan cara membeli maka ada ketentuan spesifikasi barang dari Bawaslu Provinsi, tapi karena ini sewa sifatnya maka spesifikasi teknis ditentukan oleh PPK Bawaslu Kabupaten/kota.

“Kalau kita tetapkan dari sini spesifikasi barangnya, kemudian tidak tersedia di Kabupaten/Kota, maka akan lama proses pengadaanya,” jelasnya.

Dalam RAB Bawaslu Sulteng, sudah dibagi kepada lima Kabupaten yang akan melaksanakan pengawasan tahapan pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, yakni Parigi Moutong, Morowali, Donggala, Buol, dan Banggai Kepulauan. Anggaran tersebut terdiri dari biaya operasional, honor, dan sewa.

Bawaslu Sulteng tidak mengintervensi terkait sewa barang/jasa di Sekretariat Bawaslu Kabupaten/Kota.

“Kebutuhan kecamatan yang lebih mengetahui Sekretariat Bawaslu Kabupaten/Kota, Bawaslu Provinsi tidak melakukan intervensi soal sewa itu,” tutupnya.

Kasek Bawaslu Sulteng Anayanthy Sovianita, dalam sebuah kegiatan internal.