Pelanggaran Pasal 71 UU Pilkada; Kumulatif atau Alternatif
PELANGGARAN PASAL 71 UU PILKADA; KUMULATIF ATAU ALTERNATIF
Oleh: Dr. Aminuddin Kasim, SH, MH.
(Dosen Tetap Universitas Tadulako Palu)
Undang-Undang Pilkada telah menetapkan beberapa larangan bagi kepala daerah atau wakil kepala daerah dalam penyelenggaraan Pilkada serentak. Dalam Pasal 71 UU Pilkada terdapat dua larangan yang menarik untuk dikritisi, yaitu pada ayat (2) dan ayat (3).
Adapun rumusan normanya adalah: Kesatu, Gubernur atau Wakil Gubernur, Bupati atau Wakil Bupati, dan Walikota atau Wakil Walikota dilarang melakukan penggantian pejabat 6 (enam) bulan sebelum tanggal penetapan pasangan calon sampai dengan akhir masa jabatan kecuali mendapat persetujuan dari Menteri (ayat 2), dan Kedua, Gubernur atau Wakil Gubernur, Bupati atau Wakil Bupati, dan Walikota atau Wakil Walikota dilarang menggunakan kewenangan, program, dan kegiatan yang menguntungkan atau merugikan salah satu pasangan calon baik di daerah sendiri maupun di daerah lain dalam waktu 6 (enam) bulan sebelum tanggal penetapan pasangan calon sampai dengan penetapan calon terpilih (ayat 3).
Pelanggaran terhadap dua larangan itu diancam dengan sanksi administratif sebagaimana tersebut dalam Pasal 71 ayat (5) UU Pilkada, yaitu: Dalam hal Gubernur atau Wakil Gubernur, Bupati atau Wakil Bupati, dan Walikota atau Wakil Walikota selaku petahana melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3), petahana tersebut dikenai sanksi pembatalan sebagai calon oleh KPU Provinsi atau KPU Kabupaten/Kota.
Terkait dengan adanya diksi dan dalam Pasal 71 ayat (5) UU Pilkada di atas, muncul pertanyaan: apakah sanksi pembatalan sebagai calon baru dikatakan terpenuhi jika pelanggaran terhadap Pasal 71 ayat (2) berbarengan dengan Pasal 71 ayat (3)? Apakah pelanggaran terhadap Pasal 71 ayat (2) dan Pasal 71 ayat (3) bersifat kumulatif atau alternatif?
Jawaban atas pertanyaan di atas ditemukan dalam risalah Putusan Mahkamah Agung No. 570 K/TUN/PILKADA/2016, tertanggal 4 Januari 2017. Dalam risalah putusan MA tersebut terurai fakta-fakta hukum tentang tindakan Bupati (Petahana) Drs. H. Rum Pagau yang melanggar larangan dalam Pasal 71 ayat (2), yakni 3 (tiga) kali melakukan penggantian pejabat dan sekali melakukan pembatalan keputusan penggantian pejabat (18 Oktober 2016). Semua itu dilakukan dalam kurun waktu 6 (enam) bulan sebelum tanggal penetapan pasangan calon sampai dengan akhir masa jabatan tanpa mendapat persetujuan dari Menteri.
Mengingat karena terbukti pelanggaran Pasal 71 ayat (2) yang dilakukan oleh Bupati Petahana serta kekeliruan penerapan hukum majelis judex factie PT-TUN Makassar dalam Putusan Nomor: 16/G/PILKADA/2016/PT.TUN. MKS, tertanggal tanggal 1 Desember 2016, sehingga Majelis Hakim Kasasi MA membatalkan Keputusaan KPU Kabupaten Boalemo No. 24/Kpts/KPU Kab. Boalemo/Pilbup/027.436540/X/2016. Akibat pembatalan itu, Paslon Petahana (Rum Pagau – Lahmudin Hambali) gagal ikut Pilkada Serentak 201
Dari putusan MA di atas terbaca tafsir bahwa keputusan tentang pembatalan calon hanya mendasarkan pada satu jenis pelanggaran, yakni pelanggaran Pasal 71 ayat (2), bukan dua jenis pelanggaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71 ayat (5). Dengan demikian, makna diksi “dan” dalam Pasal 71 ayat (5) tidak lagi bermakna kumulatif – pelanggaran yang berbarengan (pelanggaran Pasal 71 aya (2) dan Pasal 71 ayat (3)).
Putusan MA No. 570 K/TUN/PILKADA/2016 terkait dengan pembatalan Keputusan KPU Boalemo tentang Penetapan Paslon Pilkada Serentak 2017 (24 Oktober 2016), sesungguhnya telah mengubah makna teks (original intent) Pasal 71 ayat (5) UU Pilkada. Meski putusan MA itu masih bisa diperdebatkan dalam atmosfir akademik, karena bukan MA yang berwenang menguji UU Pilkada. Namun fakta empiriknya, putusan MA sudah terimplementasi di kabupaten Boalemo, dimana Bupati Petahana (Drs. H. Rum Pagau) kehilangan hak konstitusionalnya karena gagal ikut Pilkada 2017.
Bertolak dari fakta empirik itu, maka Pasal 71 ayat (5) tidak bisa lagi dipahami secara reading text, tetapi harus ditafsir secara kontekstual. Bunyi teks Pasal 71 ayat (5) tidak berubah (tetap), tapi maknanya sudah berubah. Diksi “dan” dalam Pasal 71 (5) sudah berubah menjadi makna “atau” – atau diksi bermakna alternatif (pilihan).
Perubahan diksi “dan” (bermakna kumulatif) menjadi diksi “atau” (alternatif) sudah diimplementasikan oleh KPU setelah mengubah PKPU tentang Pencalonan, dari PKPU No. 3 Tahun 2017 menjadi PKPU No. 1 Tahun 2020. Dalam Pasal 89 PKPU yang baru (PKPU No 1/2020) hanya terdiri 2 (dua) ayat.
Lebih jelasnya: Petahana dinyatakan tidak memenuhi syarat jika: (a) melakukan penggantian pejabat 6 (enam) bulan sebelum tanggal penetapan Pasangan Calon sampai dengan akhir masa jabatan kecuali mendapat persetujuan tertulis dari menteri yang menyelenggarakan urusan dalam negeri; atau (b) menggunakan kewenangan, program, dan kegiatan yang menguntungkan atau merugikan salah satu Pasangan Calon baik di daerah sendiri maupun di daerah lain dalam waktu 6 (enam) bulan sebelum tanggal penetapan Pasangan Calon sampai dengan penetapan Pasangan Calon terpilih.
Jadi, tampak dengan jelas bahwa Pasal 89 PKPU No. 1 Tahun 2020 sudah menggunakan diksi “atau” – diksi yang bermakna alternatif (pilihan). Bagi penulis, tentu ada reasoning yang mendasari KPU mengubah Pasal 89 PKPU tentang Pencalonan. Apakah perubahan ketentuan PKPU itu diilhami Putusan MA No. 570 K/TUN/PILKADA/2016. Wallaha a’lam.
Pastinya, Pasal 89 PKPU No. 1 Tahun 2020, selain menambah syarat tambahan bagi bakal calon Petahana, juga memilih diksi “atau” untuk menetapkan TMS jika ada bakal calon Petahana yang terbukti melanggar salah satu dari dua larangan dalam Pasal 71 ayat (5) UU Pilkada.