843 Views
Oleh : Noorwahid Sofyan, MA
(Akademisi IAIN Palu)
Secara sederhana aksi kemanusiaan dimaknai sebagai kegiatan yang bertujuan mengurangi penderitaan sesama manusia -termasuk membantu, menolong, mengadvokasi- yang disebabkan oleh bencana alam atau konflik dan peperangan. Aksi ini berlandaskan pada prinsip kemanusiaan (humanity), independensi, kesukarelawanan, imparsialitas dan netralitas juga didasarkan pada rasa empati, keikhlasan serta solidaritas sebagai mahluk Tuhan yang menghuni muka bumi.
Namun dalam kenyataannya, aksi kemanusiaan tidak cukup hanya dengan niat tulus tanpa pamrih untuk membantu mereka yang membutuhkan (Anderson, 1999). Diperlukan lebih dari sekedar keikhlasan agar bantuan yang diberikan sebagai bagian dari respon kemanusiaan itu bisa tepat sasaran. Dalam beberapa kasus, ditemukan ada indikasi bahwa bantuan yang diberikan oleh para donor melalui organisasi kemanusiaan tidak menyentuh basic need mereka yang dibantu. Kalau pun kebutuhan mendasar itu dapat dipenuhi, tidak bertahan begitu lama alias hanya bersifat temporer atau tidak berkelanjutan. Sebatas memberi “ikan” bukan “kail”.
Tentu tidak mudah bagi aksi kemanusiaan untuk memberikan sumbangsih yang berkelanjutan kepada para korban. Diperlukan pendekatan yang sistematis dan komprehensif untuk melakukan itu. Dalam tulisan Nell Gabiam yang mengutip Ferguson mengungkapkan “development relies on two meanings that are often conflated: on the one hand, development means a process of transition “toward a modern, capitalist, industrial economy modernization, capitalist development, the development of the forces of production, etc. On the other hand, it can be understood as any form of intervention aiming to improve quality of life and alleviate poverty”.
Hal ini menjadi perhatian Koddenbrock dan Büttner yang melihat ada peluang untuk menghubungkan dan mengsinergikan aksi kemanusiaan yang diidentikkan dengan independensi, netralitas dan bebas dari politik dengan developmentaslism sebagai sebuah metode perubahan sosial yang menyeluruh untuk menghantarkan pada kehidupan yang lebih baik secara ekonomi, sosial dan politik.
Developmentalism memang menjadi kemestian dalam sudut pandang ideal kemanusiaan bahkan dalam salah satu kesepakatan global, kata development telah dituangkan dalam Sidang Umum PBB pada tahun 1986 dalam Declaration of the Right to Development (Deklarasi tentang Hak terhadap Pembangunan). Dan PBB mendefenisikannya sebagai “a comprehensive economic, social, cultural and political process, which aims at the constant
improvement of the wellbeing of the entire population and of all individuals … in which all human rights and fundamental freedoms can be fully realized”. Dalam pada itu pembangunan (development) menjadi sarana perbaikan kesejahteraan seluruh penduduk dan individu yang memungkinkan terwujudnya semua hak dan kemerdekaan dasar manusia yang dipandang sejalan dengan tujuan dasar dalam kegiatan kemanusiaan di seluruh dunia.
Lantas bagaimana mengsinergikannya? Bukankah usaha-usaha pembangunan adalah langkah politik sedangkan aksi humanitarian adalah kegiatan yang seringkali sensitif dengan hal yang berbau politis. Koddenbrock dan Büttner mencoba menjawab keraguan itu dengan nada optimis bahwa kemungkinan itu terbuka lebar apabila dibangun pondasi konseptual, institusional dan operasional yang dapat mengsinergikan relief, rehabilitasi dan pembangunan.
Pada level konseptual, pembangunan dan kegiatan kemanusiaan harus dipahami sebagai kategori yang tidak selamanya bertentangan dan tidak mungkin disatukan. Pada level institusional harus ada jaminan pertanggungjawaban agar tidak terjadi penyalahgunaan wewenang yang dapat menghancurkan semangat dan prinsip utama kemanusiaan dalam upaya pembangunan sedangkan pada tingkatan operasional adalah kepastian berjalannya program jangka panjang yang dilakukan dengan melibatkan pihak- pihak yang mendukung pembangunan (Koddenbrock dan Büttner).
Dilihat dari sudut pandang diplomasi kemanusiaan, aktivitas kemanusiaan seperti yang digambarkan di atas bukanlah hal yang sederhana dan aktor kemanusiaan yang bekerja sebagai relawan maupun profesional dalam bidang kemanusiaan merupakan diplomat yang tidak terlepas dari kehidupan diplomasi. Tantangan yang dihadapi adalah bagaimana menghadapi, membangun dan memanfaatkan ragam aktor yang ada di lapangan. Dalam multitrack diplomacy secara jelas ditekankan arti pentingnya pelibatan setiap elemen -baik pemerintah, profesional, bisnis, private citizen, penelitian, training dan edukasi, aktivis, agama, funding, dan media dalam membantu dan memperlancar serta mensukseskan aktivitas kemanusiaan (McDonald and Diamond, 1996).
Untuk itu dibutuhkan kemampuan negosiasi dan diplomasi yang handal menentukan kesuksesan aktivitas kemanusiaan yang dilakukan. Seperti yang diutarakan Larry Minear bahwa setiap aktor kemanusiaan harus memahami fungsi, trik, dan keahlian diplomasi. “Those functions include negotiation of humanitarian access to vulnerable populations, promoting respect for international law and norms, combating a culture in which violations occur with impunity, supporting indigenous counterpart individuals and institutions, and engaging in advocacy with political authorities at the local, national and international levels” (Minear, 2000).
Jika aktivitas kemanusiaan dan pembangunan (development) ini diterima sebagai sesuatu yang dapat bersinergi maka menjadi keharusan bagi aktor kemanusiaan untuk memahami sekaligus mempraktekkan aktivitas diplomasi dalam menjalankannya.
**
Bahan Bacaan
Anderson, Mary B, Do No Harm: How Aid Can Support Peace-or War, London: Lyenne Rienner Publisher Inc. 1999.
Diamond, Dr. Louise and Ambassador John McDonald, Multitrack Diplomacy: A System Approach to Peace, West Harford USA: Kumarian Press. 1996.
Gabiam, Nell, When “Humanitarianism” Becomes “Development”: The Politics of International Aid in Syria’s Palestinian Refugee Camps, American Anthropologist, vol. 114, American Anthropological Association, , 2012.
Koddenbrock, Kai and Martin Büttner, The Will to Bridge? European Commission and U.S. Approaches to Linking Relief, Rehabilitation and Development, Chapter 8,
, : . Smith, Hazel, Humanitarian Diplomacy : Practitioners and Their Craft, New York : United Nations University Press. 2007.