Nasana Community Berbagi Makan Siang untuk “Pahlawan Lingkungan”

541 Views

Palu-Jati Centre.  Nasana Community ikut semarakkan Hari Pahlawan dengan berbagi makan siang untuk “Pahlawan Lingkungan” di Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Kawatuna Palu, Rabu (18/11/2020).

Aksi dan apresiasi ini menurut Ketua Nasana Community Rani Astriani Mointi, merupakan upaya Nasana Community memberi apresiasi bagi masyarakat pemulung di area TPA Kawatuna Palu.

“Bagi sebagian orang, aktivitas pemulung di Kawatuna tak lebih dari aktivitas memenuhi kebutuhan ekonomi keluarga. Tapi bagi kami, aktivitas mereka merupakan bagian dari upaya konkrit penyelamatan lingkungan,” sebutnya.

Menurut Rani, mereka mengumpulkan sampah-sampah yang bisa didaur ulang, artinya ada pengurangan tumpukan sampah di TPA. Sehingga berkontribusi membantu agar TPA tidak cepat penuh.

“Kami merasa perlu memberi apresiasi kepada mereka meski dengan sederhana membagi makan siang, sebab mereka adalah salah satu yang layak dianggap pahlawan,” ucap Rani.

Berdasarkan data hasil observasi, sebanyak kurang lebih 100 paket makan siang disalurkan langsung tim relawan dari Nasana Community di TPA tersebut.

Rani juga menyampaikan apresiasi bagi semua pihak yang ikut terlibat dan berkontribusi untuk suksesi agenda kegiatan yang mereka lakukan.

“Saya menyampaikan terima kasih bagi semua yang telah membantu terlaksananya agenda ini. Semoga kita semua bisa terus mengasah kepedulian bagi sesama dan hidup untuk terus memberi manfaat,” harapnya.*

Relawan Nasana Community berbagi makan siang untuk Pahlawan Lingkungan di Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Kawatuna Palu, Rabu (18/11/2020). FOTO: IST

Ketua Bapemperda: Berikut Alasan Perubahan Nama Mamuju Utara Menjadi Pasangkayu

376 Views

Pasangkayu-Jati Centre.  Beberapa faktor alasan perubahan nama Kabupaten Mamuju Utara menjadi Kabupaten Pasangkayu, dapat ditinjau dari  aspek politik, historis, dan sosial budaya.

Hal itu disampaikan Ketua Badan Pembentukan Peraturan Daerah (Bapemperda) Syaifuddin Andi Baso, di Pasangkayu, Sabtu (14/11/2020).

“Pertama, aspek politik, penetapan Kabupaten Mamuju Utara pada dasarnya didasarkan strategi dan kepentingan politik untuk membentuk daerah otonomi baru,” sebutnya.

Menurut Anggota DPRD Pasangkayu selama empat periode ini, ketika keadaan politik dan pemerintahan sudah stabil, baiknya dilakukan perubahan nama menjadi Kabupaten Pasangkayu berdasarkan aspirasi masyarakat dan kebutuhan daerah.

“Beberapa kali sasaran anggaran untuk Pasangkayu diberikan ke Kabupaten Mamuju, karena Pemerintah Pusat menilainya sama, padahal beda. Bahkan waktu kunjungan Wakil Presiden RI selesai Pemilu di Mamuju, dikiranya yang dituju adalah Mamuju Utara padahal bukan,” jelasnya.

Kedua, aspek historis. Nama Pasangkayu pada dasarnya sudah dikenal sejak lama oleh masyarakat setempat, termasuk warga sekitar.

“Nama Pasangkayu sudah sejak lama dikenal dengan nama Vova dan Sanggayu,” jelas Syaifuddin.

Sekretaris Dewan Pimpinan Cabang (DPC) Partai Golgar Pasangkayu ini menjelaskan, menurut bahasa Kaili kata “Vova” berarti sejenis kayu bakau yang tumbuh di tepi pantai atau laut. Adapun kata “Sanggayu” berarti satu batang atau satu pohon. Sehingga kedua kata itu jika digabungkan memiliki arti sebatang kayu atau sebatang pohon bakau. Pada tahap selanjutnya, disebut dengan Pasanggayu hingga menjadi Pasangkayu.

Demikian pula pada masa kolonial Belanda abad ke-20, dikenal dengan Distrik Pasangkayu. Hingga tahun 2003, menjadi daerah otonomi baru dengan nama Kabupaten Mamuju Utara. Dimekarkan dari  iduk Kabupaten Mamuju yang terletak di sebelah utara.

“Ketiga, aspek budaya. Pilihan nama Pasangkayu lekat dengan nilai-nilai kesejahteraan, memperkukuhkan jati diri, mempertinggi harkat, dan martabat yang sarat dengan kearifan lokal,” terangnya.

Terhadap ketiga alasan tersebut, menurutnya, penting bagi dirinya selaku anggota DPRD Pasangkayu untuk melakukan tindak lanjut aspirasi masyarakat yang menginginkan perubahan nama Kabupaten Mamuju Utara menjadi Kabupaten Pasangkayu.

Untuk diketahui, proses mengusulkan perubahan nama Kabupaten Mamuju Utara menjadi Kabupaten Pasangkayu, diawali aspirasi masyarakat dan kepentingan daerah yang terkait dengan aspek politik, sejarah, dan budaya.

Lalu, dikuatkan dengan Keputusan DPRD Mamuju Utara dan Surat Bupati Mamuju Utara kepada Gubernur Provinsi Sulawesi Barat untuk diteruskan ke Menteri Dalam Negeri.

Hingga lahir persetujuan Pemerintah Pusat dengan ditetapkannya Peraturan Pemerintah Nomor 61 Tahun 2017 Tentang Perubahan Nama Kabupaten Mamuju Utara Menjadi Kabupaten Pasangkayu.

Agar lebih memberi kepastian hukum dalam pelaksanaan serta keterpenuhan syarat formil dan materil, maka perubahan nama dimaksud dituangkan dalam Peraturan Daerah.

Diplomacy, Humanitarian Action and Development

843 Views

Oleh : Noorwahid Sofyan, MA
(Akademisi IAIN Palu)

Secara sederhana aksi kemanusiaan dimaknai sebagai kegiatan yang bertujuan mengurangi penderitaan sesama manusia -termasuk membantu, menolong, mengadvokasi- yang disebabkan oleh bencana alam atau konflik dan peperangan. Aksi ini berlandaskan pada prinsip kemanusiaan (humanity), independensi, kesukarelawanan, imparsialitas dan netralitas juga didasarkan pada rasa empati, keikhlasan serta solidaritas sebagai mahluk Tuhan yang menghuni muka bumi.

Namun dalam kenyataannya, aksi kemanusiaan tidak cukup hanya dengan niat tulus tanpa pamrih untuk membantu mereka yang membutuhkan (Anderson, 1999). Diperlukan lebih dari sekedar keikhlasan agar bantuan yang diberikan sebagai bagian dari respon kemanusiaan itu bisa tepat sasaran. Dalam beberapa kasus, ditemukan ada indikasi bahwa bantuan yang diberikan oleh para donor melalui organisasi kemanusiaan tidak menyentuh basic need mereka yang dibantu. Kalau pun kebutuhan mendasar itu dapat dipenuhi, tidak bertahan begitu lama alias hanya bersifat temporer atau tidak berkelanjutan. Sebatas memberi “ikan” bukan “kail”.

Tentu tidak mudah bagi aksi kemanusiaan untuk memberikan sumbangsih yang berkelanjutan kepada para korban. Diperlukan pendekatan yang sistematis dan komprehensif untuk melakukan itu. Dalam tulisan Nell Gabiam yang mengutip Ferguson mengungkapkan “development relies on two meanings that are often conflated: on the one hand, development means a process of transition “toward a modern, capitalist, industrial economy modernization, capitalist development, the development of the forces of production, etc. On the other hand, it can be understood as any form of intervention aiming to improve quality of life and alleviate poverty”.

Hal ini menjadi perhatian Koddenbrock dan Büttner yang melihat ada peluang untuk menghubungkan dan mengsinergikan aksi kemanusiaan yang diidentikkan  dengan  independensi, netralitas  dan  bebas  dari  politik  dengan developmentaslism sebagai sebuah metode perubahan sosial yang menyeluruh untuk menghantarkan pada kehidupan yang lebih baik secara ekonomi, sosial dan politik.

Developmentalism  memang  menjadi kemestian dalam sudut  pandang  ideal kemanusiaan bahkan dalam salah satu kesepakatan global, kata development telah dituangkan dalam Sidang Umum PBB pada tahun 1986 dalam Declaration of the Right to Development (Deklarasi tentang Hak terhadap Pembangunan). Dan PBB mendefenisikannya sebagai “a comprehensive economic, social, cultural and political process, which aims at the constant

improvement of the wellbeing of the entire population and of all individuals … in which all human   rights  and   fundamental   freedoms   can   be   fully   realized”.   Dalam   pada   itu pembangunan (development) menjadi sarana perbaikan kesejahteraan seluruh penduduk dan individu yang memungkinkan terwujudnya semua hak dan kemerdekaan dasar manusia yang dipandang sejalan dengan tujuan dasar dalam kegiatan kemanusiaan di seluruh dunia.

Lantas bagaimana mengsinergikannya? Bukankah usaha-usaha pembangunan adalah langkah politik sedangkan aksi humanitarian adalah kegiatan yang seringkali sensitif dengan hal yang berbau politis. Koddenbrock dan Büttner mencoba menjawab keraguan itu dengan nada optimis bahwa kemungkinan itu terbuka lebar apabila dibangun pondasi konseptual, institusional dan operasional  yang  dapat  mengsinergikan relief,  rehabilitasi dan pembangunan.

Pada level konseptual, pembangunan dan kegiatan kemanusiaan harus dipahami sebagai kategori yang tidak selamanya bertentangan dan tidak mungkin disatukan. Pada level institusional harus ada jaminan pertanggungjawaban agar tidak terjadi penyalahgunaan wewenang yang dapat menghancurkan semangat dan prinsip utama kemanusiaan dalam upaya pembangunan sedangkan pada tingkatan operasional adalah kepastian berjalannya program jangka panjang yang dilakukan dengan melibatkan pihak- pihak yang mendukung pembangunan (Koddenbrock dan Büttner).

Dilihat dari sudut pandang diplomasi kemanusiaan, aktivitas kemanusiaan seperti yang digambarkan  di atas  bukanlah  hal  yang  sederhana  dan  aktor  kemanusiaan  yang  bekerja sebagai relawan maupun profesional dalam bidang kemanusiaan merupakan diplomat yang tidak terlepas dari kehidupan diplomasi. Tantangan yang dihadapi adalah bagaimana menghadapi,  membangun dan  memanfaatkan ragam aktor  yang  ada  di lapangan.  Dalam multitrack diplomacy  secara jelas ditekankan arti pentingnya pelibatan setiap elemen -baik pemerintah,  profesional,  bisnis,  private  citizen,  penelitian, training  dan  edukasi,  aktivis, agama,  funding,  dan  media dalam  membantu  dan  memperlancar serta  mensukseskan aktivitas kemanusiaan (McDonald and Diamond, 1996).

Untuk itu dibutuhkan kemampuan negosiasi dan diplomasi yang handal menentukan kesuksesan aktivitas kemanusiaan yang dilakukan. Seperti yang diutarakan Larry Minear bahwa setiap aktor kemanusiaan harus memahami fungsi, trik, dan keahlian diplomasi. “Those functions include negotiation of humanitarian access to vulnerable populations, promoting respect for international law and norms, combating a culture in which violations occur with impunity, supporting indigenous counterpart individuals and institutions, and engaging in advocacy with political authorities at the local, national and international levels” (Minear, 2000).

Jika aktivitas kemanusiaan dan pembangunan (development) ini diterima sebagai sesuatu yang dapat bersinergi maka menjadi keharusan bagi aktor kemanusiaan untuk memahami sekaligus mempraktekkan aktivitas diplomasi dalam menjalankannya.

**

Bahan Bacaan

Anderson, Mary B, Do No Harm: How Aid Can Support Peace-or War, London: Lyenne Rienner Publisher Inc. 1999.
Diamond, Dr. Louise and Ambassador John McDonald, Multitrack Diplomacy: A System Approach to Peace, West Harford USA: Kumarian Press. 1996.
Gabiam, Nell, When “Humanitarianism” Becomes “Development”: The Politics of International Aid in Syria’s Palestinian Refugee Camps, American Anthropologist, vol. 114,  American Anthropological Association,                , 2012.
Koddenbrock, Kai and Martin Büttner, The Will to Bridge? European Commission and U.S. Approaches to Linking Relief, Rehabilitation and Development, Chapter 8,
                                    ,                  :                  . Smith, Hazel, Humanitarian Diplomacy : Practitioners and Their Craft, New York : United Nations University Press. 2007.

Jelang Pilkada Sulteng, Jati Centre Gandeng Panwascam Tomini Sosialisasikan Pendidikan Politik Pada Pemilih Pemula

442 Views

Tomini-Jati Centre, Pemilih Pemula yang biasa didominasi para pelajar biasanya apatis terhadap perkembangan politik, tak jarang terjadinya golpot pada tataran pelajar, sehingga pendidikan politik bagi para generasi muda dan para pelajar sangat penting untuk diberikan pemahamannya sejak dini.

Demikian pernyataan Direktur Jaringan Advokasi Untuk Keadilan (Jati Centre), Mashur Alhabsyi, saat menyampaikan materi dalam kegiatan Sekolah Pemilu dengan tema “Pendidikan Politik di masa Pandemik Untuk Pemilih Pemula” dilaksanakan di sekolah Aliyah Alkhairaat Tomini,  Kecamatan Tomini kabupaten Parigi Moutong, Sabtu 07 November 2020.

Dia juga menyampaikan, Kegiatan yang diselenggrakan atas kerjasama Jati Centre dan Panwascam Tomini ini sengaja dilaksanakan untuk pemilih pemula dalam menjelang pilkada Sulawesi Tengah, agar para siswa paham tentang politik dan tidak akan golpot saat tiba pemilihan nanti, dan yang terpenting menurutnya mereka dapat memilih secara jujur dan adil.

Disamping itu ia menambahkan, sangat dibutuhkan partisipasi dari para pemilih pemula untuk terlibat langsung dalam pemantauan pilkada sebagai masyarakat Indonesia.

“Pada dasarnya Jati Centre memang sebagai lembaga yang terakreditasi dalam pemantauan pilkada, namun untuk mewujudkan pilkada yang jujur dan adil maka sangat dibutuhkan partisipasi masyarakat utamanya para pemuda dalam memantau jalannya pilkada, dengan status sebagai masyarakat Indonesia” Jelas Mashur

 Disamping itu Direktur Jati Centre ini, menjelaskan bahwa dalam menentukan pemimpin yang jujur dan adil serta amanah pada dasarnya harus dimulai dari masyarakat yang bersifat itu juga, dan salah satu bentuk penerapan sifat-sifat tersebut maka dibutuhkan partisipasi masyarakat dalam memantau pelanggaran yang terjadi di lapangan.

Sesi tanya jawab dari siswa Aliyah Alkhairaat Tomini. FOTO : FIRMAN NAZWAR

Searah dengan penjelasan Direktur Jati Centre, Koordinator Devisi Organisasi Jati Centre, Irvan juga menyampaikan bahwa peran pemuda saat ini sangat dibutuhkan, sebab untuk menciptakan pilkada jujur dan adil, bukan hanya para penyelenggara dan pengawas saja yang berperan besar dalam pilkada 9 Desember nanti, anak muda pun khususnya untuk pemilih pemula yang merupakan garda terdepan, juga punya peran yang besar dalam menciptakan pilkada yang jujur dan adil.

“Tentu ini sebuah harapan yang besar, agar terciptanya regenerasi penyelenggara dan pengawas baik di pilkada maupun pemilu yang akan datang. Seandainya anak muda yang masih duduk di bangku sekolah, jika ingin berkontribusi di Pilkada tahun ini, cukup dengan dua tindakan saja yaitu berani dan jujur, itu sudah sangat membantu para penyelenggara dan pengawas dalam mensukseskan Pilkada nanti yang bersih dan damai. Bersih dari money politic, ketidak adilan, penyimpangan paham politik dan lain sebagainya”. Tegas Irvan

Pada waktu yang sama, ketua Panwascam Tomini, Mizwar menyampaikan dalam sosialisasinya bahwa pilkada tahun ini berbeda dengan tahun sebelumnya, untuk tahun ini pilkada bersamaan dengan Covid-19 sehingga semua pihak diharapkan menyelenggarakan pilkada dengan protocol kesehatan.

“ Sesuai Peraturan Komisi Pemilihan Umum Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2020 pasal 58 Ayat 2 Huruf e telah ditegaskan Wajib mematuhi ketentuan mengenai status penanganan Covid-19 pada daerah pemilihan serentak lanjutan setempat yang ditetapkan oleh pemerintah daerah atau gugus tugas setempat sehingga semua penyelenggaraan pilkada harus sesuai protocol kesehatan” Ujar Mizwar.

Disamping itu ia menambahkan sesuai UU No 10 Tahun 2016 pasal 71 ayat 1 tentang netralisir Pejabat Negara, Pejabat Daerah, Pejabat Aparatur Sipil Negara (ASN) , TNI-Polri, kepala Desa dan Lurah bahwa mereka semua tidak diperbolehkan terlibat langsung dalam politik praktis.

“ Harus kalian ketahui bahwa  Aparatur Sipil Negara (ASN) dan TNI-Polri, kepala Desa dan Lurah itu tidak boleh ikut serta dalam politik praktis dan jika ada dari kalangan keluarga kalian tolong diingatkan dan disosialisakan bersama sehingga kita saling membantu dan jika kalian temukan hal itu di kecamatan ini segera laporkan ke kami  guna untuk mencegah sebelum terjadinya pelanggaran” Himbau Mizwar.

Jati Centre Laporkan Empat Anggota Bawaslu Sulteng ke DKPP

1.646 Views

Palu-Jati Centre. Jaringan Advokasi untuk Keadilan (Jati Centre) yang tercatat sebagai lembaga pemantau pemilihan kepada daerah terakreditasi di Komisi Pemilihan Umum (KPU) Provinsi Sulawesi Tengah (Sulteng) telah mengadukan empat orang Anggota Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) Provinsi Sulteng ke pihak Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP), Jumat 16/10/2020.

Keempat yang dilaporkan yaitu Jamrin Koordinator Divisi Penindakan Pelanggaran, Sutarmin D. Hi Ahmad Koordinator Divisi Pengawasan, Zatriawati Koordinator Divisi Sumber Daya Manusia dan Organisasi, Darmiati Koordinator Divisi Penyelesaian Sengketa Bawaslu Sulteng serta satu anggota Bawaslu Kabupaten  Banggai Moh Saiful Saide.

Direktur Jati Centre, Mashur Alhabsyi menyampaikan bahwa pihaknya konsen melakukan pemantauan proses pemilihan, hingga mendapatkan data dan bukti atas empat orang Anggota Bawaslu Sulteng tersebut diduga melanggar kode etik selaku penyelenggara pemilihan.

“Berdasarkan hasil pemantauan dari berjalannya sidang DKPP pada Rabu (14/10/2020) lalu yang digelar di Aula KPU Sulteng, kami amati ada dugaan pelanggaran kode etik penyelenggara pemilihan yang mereka lakukan,” sebutnya di Palu, Jumat (16/10/2020).

Menurutnya, ada beberapa pasal terkait dengan aduannya, misalkan pasal 2, pasal 5, pasal 6 ayat 1 dan ayat 2 pasal 6 ayat 3 huruf a, huruf c dan huruf f dan pasal 7 ayat 3 Peraturan DKPP Nomor 2 Tahun 2017 Tentang Kode Etik Penyelenggara Pemilu.

Dia juga menambahkan, menjadi kewajiban lembaga pemantau untuk mengadukan dugaan pelanggaran yang didapatkan, baik dari tindakan peserta pemilihan maupun penyelenggara pemilihan.

Di samping itu Mahasiswa Pascasarjana IAIN Palu ini,  menjelaskan atas jawaban dan pembelaan Teradu enam Ruslan Husen, yang disampaikan di muka persidangan DKPP, khususnya ada upaya perubahan hasil berita acara pleno penyelesaian sengketa pemilihan di Bawaslu Banggai oleh Anggota Bawaslu Sulteng yang menurutnya telah menyimpang dari ketentuan Peraturan Bawaslu.

“Jelas ketentuan pasal 5 huruf a Peraturan Bawaslu Nomor 2 Tahun 2020, terhadap objek sengketa yang lahir dari hasil penanganan pelanggaran administrasi menjadi dikecualikan hingga permohonan tidak dapat diterima, sudah tepat,” jelasnya.

Lanjut dia, semua itu menjadi landasan kuat pihaknya untuk mengadukan tindakan tersebut, sebab ini akan menjadi racun bagi penyelenggaraan pemilu dan dapat merusak kualitas demokrasi yang terus dibangun.

Bersamaan dengan itu, Koordinator Tim Pemantau ini menyampaikan pengaduan sempat disampaikan ke Kantor Bawaslu Sulteng. Namun, sesuai prosedur, karena Teradu merupakan anggota Bawaslu Sulteng, maka pengaduan langsung disampaikan ke DKPP di Jakarta.

“Kami tadi sudah memasukkan pengaduan ke Bawaslu Sulteng, namun karena terkait kedudukan empat anggota Bawaslu Sulteng maka pengaduan langsung ke Jakarta, dengan Via Email dan mengirimkan berkas fisik secara langsung,” jelas Mashur.

Di samping itu, pihak Bawaslu Sulteng (DKPP) Abdul Salim mengatakan dia sudah periksa formulir aduan dan dokumen terkait, serta telah melakukan verifikasi awal atas kelengkapan dokumennya.

“Dokumen ini secara prosedural sudah terpenuhi syaratanya, tinggal di kirim langsung ke Jakarta,” sebut Salim.

Salim juga menyampaikan, terkait info pengiriman sudah diterima pihak DKPP di Jakarta, dan nanti akan dikabari perkembangan lanjutannya.

Saksi Ahli Sidang DKPP; Saya Temukan Intervensi dan Catatan Pelanggaran Etik Bawaslu

1.940 Views

Palu-Jati Centre. Ternyata terdapat jajaran anggota Bawaslu tidak taat dan tertib menyelenggarakan kontestasi pemilihan umum. Hal ini terungkap sebagai fakta yang dipaparkan teradu enam dalam persidangan terbuka Dewan Kehormatan Penyelenggara  Pemilu (DKPP) yang dilaporkan Bakal Pasangan Calon Kabupaten Banggai Herwin Yatim.

Hal ini diungkapkan Saksi Ahli dari Teradu Aminudin Kasim, saat memberikan keterangan pada persidangan DKPP di aula kantor KPU Provinsi Sulawesi Tengah, Rabu (14/10/2020).

Menurutnya, ada tujuan dan maksud intervensi atas perintah untuk merubah berita acara pleno penyelesaian sengketa di Bawaslu Banggai, menyimpang dari ketentuan Peraturan Bawaslu Penyelesaian Sengketa Pemilihan.

“Padahal kewenangan menyampaikan rekomendasi hasil penanganan pelanggaran, dan menetapkan status permohonan sengketa merupakan kewenangan atribusi Bawaslu Kabupaten,” sebutnya.

Kalau ada perintah menyimpang dari aturan, menurutnya, ini yang harus dilaporkan karena sudah mengganggu ketertiban penyelenggaraan pemilu, dan sudah tidak profesional.

Dosen tetap Fakultas Hukum Universitas Tadulako ini menyampaikan, bahwa kasus Bawaslu Kabupaten Banggai tidak mau melanggar Pasal 5 huruf a Peraturan Bawaslu Nomor 2 Tahun 2020, terhadap objek sengketa yang dikecualikan hingga permohonan pemohon tidak dapat diterima, sudah tepat.

”Peraturan dibuat untuk ditaati bukan sebaliknya, dilanggar. Ini aneh, untuk apa peraturan di buat Bawaslu kemudian dilanggar,” sebutnya.

Ia menyebutkan, Bawaslu Banggai sudah mau mandiri, dan bersikap profesional. Justru tindakan mau merubah berita acara hasil pleno sebagai tindakan yang melanggar etika dan ini catatan berat dan ini termasuk intervensi,” tegasnya.

Ternyata, berdasarkan data bahwa intervensi tersebut bukan dari partai politik, melainkan dari dalam lembaga, dan ini mengganggu ketertiban pemilu hingga harus dilaporkan.

“Sudah melanggar kode etik dan standar etik penyelenggara pemilu,” sebutnya.

Ia juga menyebutkan, ada pengalaman di Bawaslu Sulteng kaitan dengan putusan DKPP Nomor 38 Tahun 2017, waktu itu anggota Bawaslu Sulteng mengalami peristiwa terkait dengan pelanggaran administrasi yang bersifat TMS, kasusnya di Kabupaten Buol.

Lanjutnya, dalam putusan DKPP, disebutkan UU tidak mengatur batas waktu, tapi ada aturan Bawaslu No 13 Tahun 2016 mengatur tata cara penanganan pelanggran selama 60 hari sebelum pendaftaran. Namun, aturan ini dilanggar. Maka setelah di laporkan di DKPP, putusan menyatakan mereka kenai sanksi.

“Ini harus menjadi pembelajaran penyelenggara pemilu, jangan menyimpang dari aturan yang jelas,” ungkap mantan koordinator regulasi Bawaslu RI.

Bagaimana Menyikapi Omnibus Law?

786 Views

Oleh : Randy Atma R Massi,S.H.,M.H. (Akademisi IAIN Palu)

Omnibus Law merupakan teknik perancangan aturan yang menggabungkan beberapa perundang-undangan dalam satu paket, dengan tujuan meningkatkan aksesibilitas peraturan perundang-undangan. Produk hukum tersebut memiliki bentuk sama dengan Undang-Undang lainnya.

Omnibus merupakan hal baru karena di luar dari kebiasaan negara dengan sistem Civil Law, sebagaimana yang diterapkan di Indonesia. Ciri pembuatan produk undang-undang di Indonesia pada umumnya fokus pada nama judul dan konten Undang-undang. Contoh pada Undang-undang tentang pemerintahan daerah, maka isi Undang-undang tersebut akan fokus membahas mengenai Pemerintahan daerah saja. Adapun aspek di luar pemerintahan daerah tidak akan disinggung, namun akan dibuat aturan yang lain, baik itu sejajar maupun aturan di bawahnya yang merinci secara teknis yang berhubungan dengan pemerintahan daerah di luar undang-undang pokoknya.

Inisiatif dan ide Omnibus Law akan melahirkan suatu undang-undang yang universal, karena dengan satu undang-undang tentunya mampu mengatur banyak hal dan  sudah pasti memberikan keuntungan diantaranya memudahkan harmonisasi antara aturan yang satu dengan aturan lainnya.

Catatan sejarah Omnibus Law lahir dari praktek negara Common Law yang mulai diterapkan di Amerika Serikat sekitar tahun 1850, 1860, 1890 kemudian di negara Kanada dan merupakan praktek  yang timbul di kemudian hari akibat tradisi Common law yang telah mengalami perkembangan setelah meniru dan mempelajari banyak hal dari kelebihan-kelebihan negara dengan sistem Civil law.

Sistem Common Law sendiri adalah sistem yang mengenal bahwasanya hukum adalah buatan hakim sehingga negara-negara dengan sistem ini, dahulunya dikenal tidak banyak memproduksi undang-undang karena yang menjadi andalan adalah keputusan hakim di pengadilan. Namun seiring perkembangan Hukum Negara-negara di dunia maka , Negara dengan Sistem Common law sudah mulai memproduksi aturan dalam bentuk undang-undang tertulis, tentu saja hal ini dipelajari  dari negara Civil Law sembari mengkritiki dan memperbaiki praktek pembuatan undang-undang dinegara Civil Law yang terkesan monoton dan sempit makna.

Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, S.H., M.H  menceritakan sebuah kisah terkait suatu hal yang agak ekstrim dalam penerapan undang-undang di negara Common Law yaitu undang-undang Perkapalan yang dipakai menjadi rujukan untuk mengubah undang-undang perkawinan, undang-undang kekeluargaan, dan undang-undang kewarisan. Tentu yang menjadi pertanyaan adalah apa hubungan undang-undang perkapalan ini dengan undang-undang keluarga?  Hal tersebut berangkat dari sebuah kasus yang menjadi isu nasional di Kanada dimana para pelaut mempunyai banyak problem keluarga karena kebiasaan gemar menikah.

Kebiasaan ini dilakukan oleh pelaut Kanada, di mana setiap berlabuh di berbagai Pelabuhan yang disinggahinya maka pasti akan mencari istri untuk dinikahi padahal pelaut tersebut masih dalam status pernikahan atau belum bercerai dengan istrinya di kota lain, maka setelah disahkannya undang-undang sipil mengenai perkapalan sejak saat itu undang-undang mengenai hukum keluarga di Kanada yang berhubungan dengan pelaut dan nelayan ikut berubah. Tentu Tindakan ini menimbukkan gejolak namun seiring dengan berjalannya waktu masyarakat mulai menerimanya karena mendatangkan kemanfaatan yang cukup besar utamanya dalam membentuk keluarga yang harmonis di kanada.

Omnibus Law sendiri pada hakikatnya adalah persepsi, soal METODE, cara yang tentu harus diposisikan berbeda dengan konten isi undang-undang sebagaimana undang-undang  yang digagas saat ini sebut saja mengenai Cipta Lapangan Kerja yang banyak ditolak oleh  serikat buruh dan mahasiswa.  Di sini dibutuhkan sifat kehati-hatian kita karena bukan Omnibus Law nya yang menjadi masalah namun muatan MATERI yang dibawakan untuk diubah dengan menggunakan Undang-undang Omnibus Law tentu dibidang cipta lapangan kerja.

Kita tidaklah harus anti dengan Omnibus Law karena bukan Omnibus Law nya yang dikritik namun yang dikritisi sekali lagi adalah isi, muatan dan kontennya sebab Omnibus Law hanyalah sebuah metode penyederhanaan dengan cara harmonisasi antar undang-undang bahkan dapat melakukan harmonisasi antara peraturan perundang-undangan yang harapannya bisa dipraktekkan pada pembuatan peraturan pemerintah, pembuatan peraturan daerah agar peraturan pemerintah dapat diimplementasikan secara menyeluruh yang menyangkut pertentangan-pertentangan antar pasal-pasal yang normatif dari aturan-aturan lain yang bertentangan sehingga menjadi sinkron dan pada hakikatnya merupakan pola-pola kerja dari Omnibus Law juga secara luas.

Badan Legislasi DPR RI telah menyepakati empat dari Lima Puluh Rancangan Undang-undang,  empat undang-undang tadi kemudian disebut dengan Omnibus Law antara lain Undang-undang Cipta Lapangan Kerja, Perpajakan, Farmasi, dan mengenai Ibu Kota Negara. Prof Jimly mengatakan ke empat undang-undang tersebut tidak perlu disebut sebagai Omnibus law namun seharusnya seluruh rancangan undang-undang menggunakan prospektif Omnibus Law  karena Omnibus adalah sebuah metode maka alangkah lebih baik lagi untuk tidak disebutkan dengan Nama undang-undang Omnibus.  Setiap undang-undang hakikatnya mempunyai Omnibusnya masing-masing karena sudah pasti saling berkaitan dengan undang-undang lain.

Seorang Legal Drafter (Perancang Undang-undang) mempunyai tanggung jawab moral untuk membaca setiap undang-undang  yang memiliki kaitan langsung ataupun tidak langsung dalam hal melakukan telaah saat undang-undang itu akan dibahas, dirancang untuk direvisi, atau diubah jangankan undang-undang yang memiliki kaitan langsung, yang tidak berkaitan langsungpun harus diperhatiakan karena bisa jadi hal-hal yang dianggap tidak ada kaitannya ternyata kenyataan di lapangan mempunyai kaitan sebagaimana contoh kasus diatas mengenai undang-undang sipil tentang perkapalan di Kanada yang berdampak langsung pada undang-undang keluarga padahal jika dilihat dari segi judul sangat jauh bahkan tidak ada hubungannya.

Sistem omnibus telah lama di usulkan Prof Jimly Assidiqi saat beliau menjabat sebagai Ketua Mahkamah Konstitusi. Ia menganggap penting mengadopsi metode Omnibus dalam pembuatan undang-undang di Indonesia dalam rangka harmonisasi peraturan perundang-undangan yang kini kembali marak.

Istilah Omnibus Law pertama kali didengar saat pidato Presiden pada tanggal 20 Oktober 2019 saat pelantikan Presiden didepan sidang paripurna MPR dimana Presiden hanya menyebutkan dua RUU yaitu RUU mengenai cipta lapangan kerja dan RUU mengenai pemberdayaan UMKM sehingga dianggap dua RUU inilah yang penting karena  konsen saat ini presiden adalah perbaikan ekonomi dan bagaimana mempercepat pertumbuhan ekonomi.

Dari hal ini terlihat bahwa Hukum di mata Politis adalah Alat, Ketika alat yang dianggap penting adalah ekonomi maka ekonomilah yang diutamakan, Ketika Politik yang dianggap penting maka politiklah yang diutamakan sehingga sekali lagi Hukum menjadi legitimasi atas Tindakan Politik dan Ekonomi inilah hal yang keliru.

Omnibus Law ke depan diharapkan dapat kita adobsi dengan maksud menata sistem hukum Negara Terutama sistem peraturan Perundang-undangan negara agar harmonis, dan merepresentasekan Tujuan Hukum yaitu keadilan, kemanfaantan dan kepastian hukum. Omnibus sebagai prespektif Hukum harus ditetapkan di semua bidang hukum bukan hanya pada bidang Hukum Investasi sehingga negara seakan-akan tidak membangun gambaran sebagai negara yang berorientasi pada investasi sebagai tujuan dengan mengedepankan kepentingan investor.

Hakikat bernegara bukan hanya untuk berinvestasi. Kita sepakat bahwa investasi adalah hal yang penting namun itu hanyalah salah satu dari sekian banyak hal yang penting dalam kegiatan bernegara. Adapun pidato presiden mengenai Omnibus Law dibidang investasi  janganlah pula disikapi sebagai sebuah instruksi, lalu karena feodalnya pemahaman politik kita, maka yang terbangun adalah Presiden hanya mengutamakan dua undang-undang saja yaitu Cipta Lapangan Kerja dan UMKM yang saat ini BALEG DPRI RI fokus pada Cipta lapangan Kerja padahal Pidato Presiden hanya menjadikan Undang-undang Cipta lapangan kerja sebagai contoh saja.

Diakhir tulisan ini maka kita perlu memahami bahwa Indonesia adalah  Rechtsstaat (Negara Hukum) Bukan Machtstaat (Negara Politik) apalagi negara Ekonomi. Olehnya siapapun yang mempunyai niat merawat NKRI tidak melihat dia pejabat ataupun rakyat biasa haruslah memahami bagaimana hakikat kita bernegara. Janganlah semua diabdikan untuk kepentingan pembangunan ekonomi walaupun itu perlu namun bukan itu semata-mata tujuan bernegara, jangan pula dikendalikan oleh hawa nafsu politik kekuasaan saja dan hawa nafsu kekuasaan Ekonomi semata. Biarlah ekonomi kita anggap sangat penting agar kita diperhitungkan, biarlah politik yang memutuskan namun biarlah Hukum yang menentukan karena inilah hakikat dari Rechtsstaat the Rule Of Law.