Banyak kejutan terjadi dalam proses dan hasil Pemilu, bahkan ada yang irasional. Kontestasi dalam perhelatan Pemilu senantiasa dinamis, menyulut emosi dan empati yang kadang berujung pada sengketa dan konflik. Perhelatan demokrasi lewat kontestasi Pemilu bukanlah akhir dari segala usaha kehidupan berbangsa dan bernegara. Demokrasi hanya menjadi sarana penunjang pencapaian tujuan berbangsa dan bernegara, demokrasi yang mewujud melalui Pemilu yang dilaksanakan secara periodik masa tertentu. Jadi sejatinya sengketa dan konflik disalurkan pada jalur yang legal. Terlalu sederhana jika akibat rutinitas kontestasi yang periodik lantas mencabik-cabik kesatuan dan stablitas kehidupan sosial yang sudah lama kita bangun.
Intinya kontestasi dalam proses Pemilu adalah keniscayaan, semua berjalan pada koridor yang legal dan biasa saja sebagai rutinitas politik. Betul, secara normatif ada norma dan ketentuan yang harus dipatuhi para pihak, dan mengancam sanksi bagi pelaku yang melakukan pelanggaran. Sejatinya kontestasi dalam Pemilu yang bersifat rutinistas tidak mendistorsi identitas budaya bangsa yang ramah, toleran dan beradat ketimuran. Terlalu sederhana hanya persoalan ketidakpuasan atas proses dan hasil Pemilu lantas mengancam stabilitas kehidupan sosial dan tatanan masyarakat menjadi terganggu.
Pada posisi ini, publik menyadari bahwa kontestasi dalam Pemilu adalah rutinitas politik secara periodik untuk menghasilkan pemimpin nasional dan wakil rakyat di parlemen. Kadang yang memperkeruh suasana stabilitas sosial adalah kontestasi dari peserta Pemilu sendiri yang membangun opini pragmatis yang bermuatan konflik (ujaran kebencian atau berita bohong), dan mengikut-ikutkan emosi massa terutama yang berdiminesi Suku, Agama, Ras, dan Antargolongan.
Kontestasi para peserta Pemilu yang tajam dan dinamis adalah wajar, sebab mereka memang berkontestasi menjadi pemenang dan mustahil semuanya adalah pemenang. Demikian pula dengan integritas dan profesionalitas Penyelenggara Pemilu sangat ditekankan, dan diancam sanksi bagi yang melanggarnya. Mereka sebagai wasit di antara para peserta Pemilu, wasit tidak boleh ikut bermain. Demikian pula dengan peran Pemerintah yang wajib memfasilitasi sarana dan prasarana teknis bahkan kebijakan untuk memberikan dukungan dalam berjalannya pesta demokrasi secara damai. Serta pihak keamanan baik TNI dan Polri yang bertugas menjaga ketertiban dan keamanan dalam pelaksanaan kontestasi politik ini.
Sekali lagi, atas ketidak-puasanan, kekecewaan, merasa dicurangi atau diperlakukan tidak adil telah ada saluran penyelesaiannya. Struktur kelembagaan Penyelenggara Pemilu dan Kelembagaan Negara telah menyediakan sistem penyelesaian, dan SDM mumpuni siap memberikan kontribusi dalam penyelesaian konflik dan permasalahan dalam proses dan hasil Pemilu tadi. Sejatinya para pihak yang merasa dirugikan, menggunakan sarana-sarana kelembagaan yang sah dan legal tersebut. Tidak sebaliknya, membuat pengadilan sendiri dan membuat opini publik yang menyesatkan, sehingga berpotensi menggangu stabilitas dan legitimasi pemimpin yang dihasilkan. Sekali lagi ada saluran (kanalisasi emosi) dalam struktur kelembagaan yang telah disiapkan, dan hasil harus diyakini hasilnya akan adil dan berkepastian hukum.
Kontestasi Ekstrim dan Tajam
Ditetapkannya dua pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden pada Pemilu tahun 2019, membuat kutub kontestasi semakin ekstrim dan tajam. Kedua belah kubu tim pemenangan saling unjuk kekuatan bahkan saling serang, dengan pengerahan massa kampanye dan branding isu aktual untuk mengangkat elektabilitas sang kandidat atau menyampaikan pesan agar tidak memilih calon pesaing dengan berbagai kelemahannya. Nampak setiap hari publik disuguhi dengan sajian-sajian pemberitaan dan publikasi kontestasi politik, yang tidak jarang menimbulkan kebosanan dan apatis masyarakat.
Kampanye Pemilu sejatinya mencerahkan dan mencerdaskan publik, dengan sajian konten-konten bernuasa pendidikan. Pada posisi ini, kampanye tidak akan diisi dengan pesan-pesan ujaran kebencian dan fitnah. Kampanye akan lebih mengedepankan adu visi, misi dan program-kegiatan sehingga memberi preferensi kepada pemilih untuk menentukan pilihan, bagi yang sudah memiliki pilihan menjadi semakin yakin atas pilihan politiknya.
Idealitas-harapan ternyata berkata lain dari realitas yang dipertontonkan. Nampak proses kampanye masih dijumpai banyak pelanggaran, demikian pula dengan konten pesan kampanye terkadang berujung ke penegak hukum Pemilu (Gakkumdu). Tidak jarang Penyelenggara Pemilu harus kerja ekstra dengan intensitas jenis pelanggaran yang meningkat, bahkan pelanggaran-pelanggaran itu cenderung berulang.
Terutama salah satu kubu pasangan calon melaporkan pelanggaran kubu lain kepada Pengawas Pemilu, demikian pula sebaliknya. Saling lapor, saling memata-matai dan saling curiga menjadikan kontestasi semakin tajam dan ekstrim. Hari-hari kampanye saat mendekati hari tenang, serasa tidak tenang. Seolah masing-masing peserta Pemilu bersiap melakukan gerakan besar untuk menyambut kemenangan. Dalam waktu menjelang hari tenang bahkan di hari tenang itulah, dikhawatirkan entitas jumlah pelanggaran akan meningkat.
Saat penindakan pelanggaran oleh Pengawas Pemilu atas laporan salah satu kubu dilakukan, tidak jarang tuduhan miring dialamatkan, misalnya tidak netral atau berpihak pada salah satu peserta pemilu. Saat salah satu laporan ditangani maka cenderung membatasi gerak pihak calon lainnya, demikian pula sebaliknya. Walhasil terjadilah saling lapor. Pada posisi ini, eksistensi dari Penyelenggara Pemilu dengan kinerja yang berintegritas dan profesionalitas harus diutamakan. Tuduhan-tuduhan miring terkadang diterima, tetapi ketika capaian kinerja maksimal maka publik juga akan mengetahui mana yang benar dan salah. Dalam kontestasi politik, semua menjadi relatif, yang pasti adalah Penyelenggara Pemilu bersama dengan Pemerintah dan TNI-Polri harus tunduk dan patuh pada peraturan yang menjadi konsesus bersama dalam pelaksanaan Pemilu.
Memang tidak mudah bertahan dalam kontestasi Pemilu yang tajam dan ekstrim, tetapi bukan berarti tidak bisa. Banyak individu yang memilih konsisten berjalan di jalur kebenaran dan mereka mampu bertahan di masa-masa sulit, menjadikan namanya tercatat dalam sejarah emas peradaban. Amanah telah diambil dan ditetapkan, maka Penyelenggara Pemilu harus memastikan diri dan seluruh jajarannya sanggup melalui dan menyelenggarakan perhelatan kontestasi yang ekstrim dan tajam ini, hingga lahir pemimpin pilihan rakyat-pemilik kedaulatan.
Delegitimasi Hasil Pemilu; Respon Kecewa
Sisi gelap demokrasi ketika peserta Pemilu menggunakan segala cara dan upaya (termasuk perilaku curang) untuk memperoleh kemenangan, yang beririsan dengan sikap dan tindakan Penyelenggara Pemilu yang tidak melakukan pencegahan dan penindakan atas pelanggaran tersebut. Progresif dan militansi peserta, tim pelaksana dan tim kampanye untuk kampanye mempengaruhi pemilih sah-sah saja dilakukan. Tetapi saat pemilih ternyata tidak menjatuhkan pilihan kepada peserta Pemilu yang bersangkutan, maka kenyataan itu harus diterima walaupun pahit. Publik sebagai pemilih memiliki hak politik untuk menentukan pilihannya, sekaligus hak untuk tidak memilih. Dan, negara harus memfasilitasi dan menghormati jaminan hak konstitusional warga negara tersebut.
Masalahnya, jika terdapat peserta Pemilu yang tidak menerima kenyataan saat KPU menetapkan calon terpilih dan itu bukan diri atau pihaknya. Lantas melakukan perlawanan atas penetapan KPU itu melalui jalur-jalur yang tidak formal yakni tidak memilih jalur penyelesaian lewat sengketa hasil Pemilu di Mahkamah Konstitusi. Bisa saja ada kekhawatir akan MK menolak untuk memeriksa pokok perkara saat selisih perolah suara pemohon dan pemenang Pemilu menunjukkan angka selisih yang besar. Sehingga lebih memilih jalur di luar mekanisme hukum tersebut, yakni membangun opini publik dalam rangka delegitimasi hasil Pemilu. Perlawanan atas sistem Pemilu yang sudah berjalan.
Jikalau ini terjadi dan tidak ada pencegahan dan penanganan yang tepat, maka potensi konflik berikutnya menjadi terbuka. Setelah proses kontestasi dalam tahapan Pemilu sudah berlangsung secara ekstrim dan tajam, kembali pertarungan terjadi di luar tahapan Pemilu sebagaimana ditetapkan dalam UU Pemilu. Emosi dan perhatian publik dikhawatirkan kembali tumpah-ruah dalam pergulatan pasca penetapan hasil Pemilu. Sejatinya tokoh-tokoh bangsa harus tampil memberi solusi dan penyejuk atas potensi konflik terganggunya stablitas nasional ini.
Saluran permasalahan baik dalam proses Pemilu dan setelah penetapan hasil Pemilu telah ditetapkan UU Pemilu. Ada pihak Bawaslu dan jajarannya yang bertugas dan berwenang melakukan penanganan pelanggaran atas laporan atau temuan pelanggaran Pemilu. Ada jalur penyelesaian sengketa proses Pemilu yang disediakan saat hak peserta Pemilu dirugikan ketika KPU menetapkan keputusan dan/atau berita acara. Semua itu jelas tata cara, prosedur dan mekanismenya dalam UU Pemilu dan perangkat teknisnya.
Dengan demikian, jika ada hasil Pemilu yang diperselisihkan maka jalurnya hanya melalui sengketa hasil di Mahkamah Konstitusi. Para pihak yang merasa dirugikan dapat mengajukan permohonan dengan melampirkan bukti dan data pendukung. KPU pun akan bersikukuh bahwa penetapan yang dilakukan sudah benar dan tepat. Demikian pula dengan Bawaslu, juga akan menguraikan hasil pengawasan dan penindakan pelanggaran yang telah dilakukan. Sehingga Hakim MK memiliki informasi, data dan bahan yang cukup untuk mengambil kebijakan atau Putusan yang adil. Inilah jalan yang legal dalam negara hukum seperti halnya negara Indonesia.
Khittah Penyelenggara Pemilu
Ancaman delegitimasi hasil Pemilu dilakukan dengan mendiskreditkan kerja-kerja Penyelenggara Pemilu bahkan Pemerintah dan aparat keamanan. Seolah tidak netral (berpihak pada salah satu peserta Pemilu) dan memobilisasi dukungan dengan menggunakan sarana prasarana negara. Ingin dibangun opini akan proses Pemilu berlangsung tidak secara jujur dan adil. Tetapi tuduhan itu tidak memiliki dasar kuat berupa bukti dan data, tuduhan cenderung pada asumsi dengan motif pragmatis dan kekecewaan akan hasil Pemilu.
Ancaman seperti ini harus dimaknai sebagai pemacu peningkatan integritas dan profesionalitas dari Penyelenggara Pemilu pada khususnya, dan sebagai peringatan dan sikap kehati-hatian agar Pemerintah dan aparat keamanan tidak menggunakan fasilitas yang melekat pada lembaganya untuk kepentingan kampanye yang menguntungkan salah satu peserta Pemilu. Terutama saat proses tahapan Pemilu masih berlangsung. Tutup ruang dan bahan yang meragukan proses Pemilu berlangsung jujur dan adil. Caranya, berpegang teguh pada khittah ketentuan perundang-undangan, walaupun tekanan dan intimidasi bahkan godaan sering menghampiri. Menghadapi semua itu, kekuatan tekad dan kapasitas handal menjadi syarat melalui masa-masa sulit tersebut.
Penyelenggara Pemilu harus berpegang pada khittahnya, yakni tugas, wewenang dan kewajiban sebagaimana digariskan dalam UU Pemilu. KPU melaksanakan tahapan, dan Bawaslu mengawasi pelaksanaan tahapan Pemilu, sementara DKPP mengadili jika ada aduan pelanggaran kode etik yang dilakukan oleh KPU-Bawaslu beserta jajarannya. Banyak pihak menggantungkan asa dan kepentingan mereka pada integritas dan profesionalitas Penyelenggara Pemilu. Pada akhirnya, amanat suara rakyat hasil pemungutan suara harus dikawal ketat hingga lahir pemimpin pilihan rakyat. Pemimpin yang memiliki integritas dan kapasitas handal yang sanggup berbuat lebih mewujudkan cita-cita bangsa dan negara.