Mencemaskan Bahaya Politik Uang

265 Views

MENCEMASKAN BAHAYA POLITIK UANG

Oleh : Ruslan Husen, SH., MH.
(Ketua Bawaslu Provinsi Sulawesi Tengah)


Tak sengaja saya bertemu dengan Penulis buku ini Kasman Jaya Saad, di suatu kegiatan yang diselenggarakan Komisi Pemilihan Umum (KPU) Provinsi Sulawesi Tengah. Kami diundang sebagai peserta kegiatan tersebut. Singkat cerita, Penulis meminta menuliskan Prolog dari buku yang baru selesai ditulisnya. Tulisan seputar dinamika pemilu dan pemilihan yang sering menghiasi halaman opini media cetak lokal. Lantas, tanpa sempat berfikir panjang, saya pun menyanggupi, saya siap.

Sebagai pendatang baru di dunia pengawasan pemilu, khususnya di Bawaslu Provinsi Sulawesi Tengah saya berfikir tak berlebihan untuk “numpang tenar” melalui buku Penulis ini. Sebab kaderisasi sumber daya manusia Pengawas Pemilu di Sulawesi Tengah tidak bisa dipisahkan dari diri penulis. Ia telah memiliki pengalaman sebagai pengawas pemilihan, menjadi narasumber berbagai forum yang diselenggarakan Panwaslu Kabupaten/Kota di Sulawesi Tengah, serta tulisan-tulisannya menjadi inspirasi dan dasar pijak dalam pelaksanaan tugas, wewenang dan kewajiban pengawasan pemilu.

Disamping itu, rasanya kehadiran buku ini menjadi oase di tengah gurun pasir yang tandus. Kenapa tidak! Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum baru saja ditetapkan. Tentu belum banyak referensi yang ditulis dengan merujuk secara langsung kepada undang-undang ini. Lebih lagi, pengalaman beliau pernah menjadi pengawas pemilihan dan pemerhati pemilu di Sulawesi Tengah akan memotret denyut nadi Daerah secara langsung, hingga menjadikan buku ini segar dibaca, update perkembangan, dan menggambarkan dinamika sosio-politik Daerah secara langsung.


Penyelenggaraan Pemilihan Kepala Daerah baik Gubernur, Bupati maupun Walikota yang diselenggarakan secara langsung saat ini merupakan pilihan terbaik untuk pergantian top manajerial Pemerintah Daerah secara demokratis. Rakyat dapat memilih pemimpin secara langsung setelah melalui pertimbangan dan perenungan di masa tenang. Rakyat dapat melakukan evaluasi atas kegiatan pembangunan dan kepemimpinan setiap lima tahun. Bila kepemimpinan untuk membangun daerah dan masyarakat dinilai baik, maka rakyat yang dipimpin dipastikan akan memilih kembali yang bersangkutan untuk periode berikutnya. Namun, jika pemimpin hanya manis saat kampanye dan lupa ketika terpilih sebagai kepala daerah, ditambah lagi dengan perilaku korup dan manajemen pembangunan yang buruk selama memimpin, maka bisa dipastikan rakyat sebagai pemilik kedaulatan tak akan memilihnya kembali diperiode kedua.

Penyelenggaraan pemilihan secara serentak, desainnya ingin menjadikan pesta demokrasi semarak dan murah, dengan pembiayaan tahapan dan khususnya kampanye dari uang negara/daerah. Berbagai larangan dinormakan untuk menekan biaya politik tinggi, misalnya larangan akan mahar politik saat pencalonan kepala daerah, larangan politik uang (money politic) saat kampanye untuk mempengaruhi pemilih. Semua itu menjadi desain pemilihan agar pesta demokrasi bisa terlaksana secara murah-meriah, dengan memberi kesempatan yang adil bagi setiap peserta pemilihan untuk berkompetisi secara jujur dan adil.

Pelaksanaan pemilihan serentak, bisa menjadikan kerja lembaga penyelenggara pemilu khususnya KPU menjadi lebih mudah dan sederhana, tidak sebentar-sebentar laksanakan pemilihan lagi. Walaupun berbeda dengan Bawaslu/Panwaslu, yang dituntut untuk menjadi pengawas pemilihan, mediator dan Hakim Pemilihan bagi pihak yang bersengketa secara sekaligus. Demikian juga, pemilihan serentak sejatinya akan mengurangi kejenuhan masyarakat sekaligus meningkatkan angka partisipasi masyarakat. Tanpa pemilihan serentak frekuensi rakyat ke tempat pemungutan suara bisa meningkat.

Namun, hal yang tak kalah penting, dengan penyelenggaraan pemilihan secara serentak ini, adalah beban-beban dana yang bisa diminimalkan sehingga Negara/Daerah tidak terlalu banyak menggelontorkan anggaran. Selain itu pengalokasian anggaran pun lebih mudah dilakukan, termasuk menghitung, merencanakan dan mengevaluasinya, jika hajatan pesta demokrasi dilakukan secara serentak. Penghematan anggaran misalnya, bisa didapat dari pembayaran honorarium petugas ad hoc penyelenggara pemilu jajaran KPU dan Bawaslu yang bertugas di Kecamatan dan Desa/Kelurahan, Sosialisasi tahapan Pemilihan Kepala Daerah tahun 2018 yang bisa dilakukan bersamaan dengan tahapan Pemilihan Umum tahun 2019, biaya logistik bisa terpangkas dan antar daerah pun dapat melakukan sharing terkait biaya yang menjadi beban pemilihan Gubernur dan Bupati/Walikota.

Demikian pula dalam pelaksanaan kampanye, banyak pembiayaan sebelumnya menjadi beban calon pemilihan, kini dibebankan pada anggaran KPU dengan menggunakan uang negara/daerah. Pemasangan alat peraga kampanye, penyebaran bahan kampanye, iklan di media cetak dan elektronik, dan debat publik antarpasangan calon kepala daerah, semua itu harus dibiayai KPU dan dilaksanakan secara adil.

Desain ini agar peserta pemilihan walaupun dengan modal pas-pasan tetap bisa ikut kontestasi pemilihan kepala daerah. Mulai dari pencalonan ada larangan mahar politik dengan ancaman sanksi diskualifikasi calon. Kampanye ada larangan praktek money politics dengan ancaman pidana dan diskualifikasi calon jika dilakukan secara terstruktur, sistematis dan masif (TSM), pelaksanaan kampanye yang membutuhkan anggaran besar telah difasilitasi dan menjadi kewenangan KPU. Calon pemilihan tidak perlu mengeluarkan uang banyak, mereka lebih diarahkan untuk konsen adu visi, misi dan program untuk mempengaruhi pemilih.

Tapi sangat disayangkan, ruang nyata ternyata berbicara lain, pelaksanaannya tak semudah yang direncanakan. Biaya pemilihan yang didesain agar berbiaya murah ternyata menceritakan biaya politik tinggi. Penulis mengulasnya secara apik dalam narasi beberapa sub judul buku ini. Menurutnya, Pemilihan kepala daerah menjadi event mewah dan mahal. Bukan saja dari aspek penyelenggaraan yang membutuhkan biaya yang besar, tapi juga biaya politik yang harus ditanggung sang calon bila ingin berkontestasi dalam Pilkada. Pilkada memerlukan biaya tinggi (high cost), karena banyaknya tahapan dan komponen yang harus dibiayai sang calon. Termasuk komponen tak resmi, meskipun tak ada yang mau menyebut besarannya, biaya pendekatan dan “ongkos jadi” seseorang calon kepala daerah dengan partai politik, namun dapat dipastikan memerlukan biaya tinggi.

Menyambung narasi yang Penulis uraikan, sekaligus menyetujui pendapatnya. Menurut saya, pemilihan kepala daerah yang ingin melahirkan Pemimpin yang berintegritas, linear dengan pencegahan dan tindakan penegakan hukum pemilihan, dengan sub-bagian mencegah politik uang dengan berbagai bentuk sekaligus menjatuhkan sanksi yang adil dan tegas. Penindakan itu, tentu memerlukan sumber daya manusia yakni penyelenggara yang profesional dan berintegritas. Termasuk masyarakat yang menjadi pemilih juga harus berintegritas dengan menolak dan melaporkan perilaku money politics kepada Pengawas Pemilu.

Penggunaan politik uang berdampak pada besarnya biaya politik yang dikeluarkan oleh calon, baik dari sumber pribadi maupun dari para pengusaha yang telah memberi pinjaman dalam bentuk utang. Pikiran calon terpilih tentunya akan berusaha sekuat tenaga agar modal pribadi dapat dikembalikan plus keuntungannya. Termasuk membayar sejumlah utang yang telah digunakan dan memberikan balas budi nyata kepada mereka-mereka yang telah sama-sama berjuang memenangkannya, mereka ini adalah tim sukses.

Bahayanya politik uang, Pertama, APBD yang merupakan uang Rakyat berpotensi akan digunakan untuk kepentingan pengusaha yang telah membiayai pemenangan, walaupun disamarkan melalui pekerjaan proyek pembangunan, namun sarat akat kolusi. Kedua, yang terpilih sangat mungkin, adalah calon yang tidak memiliki kompetensi baik dalam bidang kepemimpinan, pengetahuan dan keterampilan untuk membangun daerah. Semata-mata hanya kecurangan dengan membeli suara Rakyat dengan sangat murah. Ketiga, mereka yang terpilih karena banyak mengeluarkan uang dalam bentuk politik uang, sangat berpotensi akan mengkorupsi APBD yang dikelolahnya. Mereka memiliki kekuasaan dan dapat saja menggunakan kekuasaan secara sepihak untuk kepentingan pribadi dan golongan. Keempat, praktik politik uang dapat menyeret masyarakat dipidana. Merujuk pada ketentuan Pasal 187A ayat (1) dan (2) UU 10 tahun 2016, praktik politik uang tersebut dapat menyebabkan masyarakat yang menerima uang dari Pasangan Calon, tim sukses, relawan dan/atau dari siapa saja yang bertujuan mempengaruhi pemilih sebagaimana disebutkan pada pasal 187A ayat (1) diancam pidana minimal 3 tahun dan paling lama 7 tahun dan dengan denda uang paling sedikit dua ratus juta dan paling banyak satu milyar rupiah. Kelima,  Pasangan calon yang melakukan politik uang secara sistematis, terstruktur dan masif dapat dibatalkan sebagai pasangan calon. Pembatalan pasangan calon tersebut berpotensi menciptakan konflik yang besar di tengah-tengah masyarakat.

Kembali Penulis mengingatkan langkah-langkah antisipasi dini dan strategi penindakan dengan mengaitkan dengan kewenangan lembaga pengawas, Bawaslu dan Panwaslu untuk mengawasi semua tahapan penyelenggaraan pemilihan kepala daerah dan menerima laporan pelanggaran terhadap pelaksanaan peraturan perundang-undangan dan meneruskan temuan dan/atau laporan yang bukan menjadi kewenangannya kepada instansi yang berwenang serta menyelesaikan sengketa yang timbul dalam penyelenggaraan pemilihan tersebut. Dan, dalam melaksanakan tugasnya Bawaslu dan Panwaslu berkewajiban bersikap tidak diskriminatif dalam menjalankan tugas dan kewenangannya.

Akhirnya, kepada Penulis Kasman Jaya Saad saya mengucapkan selamat atas penerbitan karya ini dan mudah-mudahan tetap semangat untuk menghasilkan karya-karya tulis berikut, serta senantiasa memberikan masukan-masukan konstruktif guna penguatan lembaga penyelenggara pemilu khususnya jajaran Bawaslu Provinsi Sulawesi Tengah.


Prolog dalam buku : Kasman Jaya Saad, 2018, Mahalnya Pilkada, Politik Uang dan Ajang Perjudian Elit Lokal, Yapensi, Jakarta.

Artikel File PDF downloads di sini.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.