61 TAHUN SULAWESI TENGAH: KADO MANIS INFRASTRUKTUR KONEKTIVITAS NASIONAL

Moh Ahlis Djirimu
85 Views

61 Tahun Sulawesi Tengah: Kado Manis Infrastruktur Konektivitas Nasional
Oleh : Moh. Ahlis Djirimu
( Guru Besar FEB-Untad dan Local Expert Sulteng-Regional Expert Sulawesi Kemenkeu R.I )

JATI CENTRE – Belanja infrastruktur konektivitas, baik darat, laut, dan udara sangat menentukan kinerja Pembangunan suatu negara. Berbagai riset menunjukkan bahwa infrastruktur konektivitas yang baik dapat menurunkan angka kemiskinan dan meningkatkan Indeks Pembangunan Manusia (IPM).

Pada daerah yang angka kemiskinannya tinggi dapat saja terjadi peningkatan kemiskinan karena konektivitas jalan darat kurang baik, sehingga memperbesar nilai yang dibeli petani lebih besar ketimbang nilai yang dijual petani. Di dataran tinggi bulan Kabupaten Tojo Una-Una, Kecamatan Ampana Tete, petani berasal dari Desa Bulan Jaya, Mertasari, Uemea misalnya pernah merupakan pembudidaya kedelai hitam.

Sayangnya, kedelai hitam sebagai bahan baku produksi kecap membusuk saat belum sampai di pasar. Akhirnya dibuang di jurang. Tentu saja petani merugi yang selanjutnya menggerus produksinya. Di Kecamatan Talatako Kepulauan Togian, akibat signal telepon genggam kurang baik, produsen cengkih mencatat harganya per kilogram mencapai Rp120,- ribu di pasar Marisa Gorontalo.

Pada hari berikutnya, ternyata surplus cengkih mendorong penurunan harga pada Rp95,- ribu, sehingga ketika produsen cengkih dari Talatako tiba dengan Ferry di Marisa, harganya telah turun dan tidak ada jalan lain, selain menjualnya dalam posisi penjual lemah.

Infrastruktur konektivitas mendorong pula kenaikan angka harapan hidup, rata-rata lama sekolah dan harapan rata-rata lama sekolah, serta mendorong peningkatan kesejahteraan masyarakat pada dimensi ekonomi.

Suatu Ketika di era 1990an, sambil mengobrol dinihari pukul 03.00 bersama almarhum om Teny driver PO. Honda Jaya sesaat memasuki wilayah Kecamatan Bunta sebelum pemekaran menjadi Kecamatan Nuhon dan Simpang Raya, para anak usia 13-15 tahun ditemani orang tuanya telah menunggu PO Honda Jaya, PO Super Motor, PO Victoria, semenjak pukul 03.00 wita sekedar menumpang gratis menuju SMPN 1 Bunta, satu-satunya SMPN saat itu.

Jarak sekitar 35 km atau akumulatif 70 km menjadi pemandangan harian selama 6 hari. Berbagai pertanyaan pada siswa tersebut mulai dari rasa ngantuk, kosong perut, dll selama bertahun-tahun hingga Proyek Perluasaan dan Peningkatan Mutu SMP ADB Loan 1810-INO membantu membangun SMPN di Sumber Mulya, Toima’a dan Tomeang memperpendek jarak anak usia 13-15 tahun tersebut pada dekade 2000an.

Keterlambatan waktu merujuk pasien di wilayah Terluar, Terdepan dan Terpencil (3T) Sulteng hingga saat ini masih menjadi pemandangan harian.

Di Sulawesi Tengah, belanja infrastruktur konektivitas semakin meningkat sejak Tahun 2021. Di Tahun 2021, pagu yang disiapkan oleh APBN mencapai Rp1,045,- triliun yang terbagi atas Rp32,64,- miliar sarana berupa bus, kapal laut, alat penerbangan. Prasarana berupa jalan, jembatan, Pelabuhan, bandara mencapai Rp154,53,- miliar.

Rehabilitasi atau perawatan sarana mencapai Rp8,97,- miliar dan perawatan/rehabilitasi prasarana mencapai Rp849,39,- miliar. Namun, realisasinya sangat rendah, hanya mencapai Rp717,95,- miliar.

Realisasi rendah pada Prasarana Jalan, Jembatan, Pelabuhan, Bandara mencapai Rp96,43,- miliar dari Rp154,53,- miliar dan Rp580,- miliar pada Perawatan/rehabilitasi Prasarana dari pagu sebesar Rp849,39,- miliar.

Di Tahun 2022, Pemerintah Pusat mengalokasikan APBN Rp1,285,62,- triliun dengan sebaran pagu sebesar Rp16,27,- miliar pada Sarana, Rp287,97,- Prasarana, Rp1,7,- miliar pada Rehabilitasi Sarana dan Rp979,69,- miliar pada Rehabilitasi Prasarana.

Dari Rp1,285,63,- triliun tersebut, serapannya hanya mencapai Rp966,13,- miliar dengan realisasi paling rendah pada Perawatan Prasarana hanya mencapai Rp744,23,- miliar. Lalu di Tahun 2023, Pada Tahun 2023, terjadi peningkatan total pagu belanja konektivitas sebesar 81,79 persen (year-on-year) dari Rp1,285,- triliun menjadi Rp2,337,- triliun. Realisasinya mencapai Rp2,15,- triliun.

Selama periode 2021-2023, capaian output yang sebagian besar disumbang oleh kinerja PUPR. Realisasi jembatan seharga Rp422,61,- miliar, diikuti oleh jalan sepanjang 57,31,- km. Sedangkan capaian output konektivitas laut terealisasi sebanyak 9 uniy fasilitas pelabuhan laut dan 1 bangunan operasional.

Lalu capaian output Konektivitas Udara sebanyak 14 unit Pembangunan Bandar Udara termasuk bandara baru di Kabupaten Banggai Laut. Selama 2021-2023, porsi belanja terbesar tercatat atas belanja untuk infrastruktur konektivitas darat.

Namun, pada Tahun 2023 Pemerintah meningkatkan alokasi konektivitas udara sebesar 231,8 persen dari pagu Tahun 2022. Realisasi belanja untuk infrastruktur seperti jalan, jembatan, dan sebagainya mengalami peningkatan signifikan dibandingkan dengan 2 tahun yang lalu.

Tingkat Kemantapan Jalan Nasional di Sulteng mencapai 98,99 poin. Panjang Jalan Nasional di Sulteng mencapai 2.373,40 km, merupakan jalan terpanjang di Sulawesi. Adapun kondisi jalan tersebut yakni 805,46 km berada dalam kondisi baik, 1.520,93 km berada pada kondisi sedang, 38,48 km berada pada kondisi rusak ringan dan 8,53 km berada pada kondisi rusak berat.

Namun, hasil riset Kemenkeu menemukan bahwa Belanja APBN bagi Konektivitas Darat, Belanja APBN Konektivitas Laut, dan Belanja APBD Teknologi Informasi dan Komunikasi memberikan dampak positif bagi perekonomian semua provinsi di Sulawesi. Sebaliknya, Belanja APBD Konektivitas Darat, Belanja APBD Konektivitas Laut dan Belanja APBN TIK, kurang memberikan dampak bagi atraktivitas perekonomian.

Temuan lain adalah, terdapat 5 pelabuhan laut, 4 pelabuhan penyebrangan dan 1 terminal belum terkoneksi dengan Jalan Nasional. Riset tersebut merekomendasikan bahwa satuan kerja wajib melakukan pembinaan atas pekerjaan yang besifat lanjutan Program yang “Memperkuat Infrastruktur untuk Mendukung Pengembangan Ekonomi dan Pelayanan Dasar” oleh KemenPUPR dan Kemenhub.

Bagi Sulteng, Tingkat Kemantapan Jalan Provinsi Sulteng mencapai angka relatif 65 poin. Setiap peningkatan 1 km jalan provinsi membutuhkan Rp3,- miliar. Tentu konstrain anggaran patut diatasi dengan kebijakan lain seperti pengalihaan status jalan provinsi menjadi jalan nasional pada ruas tertentu.

Namun, kendala right of way (ROW) yang diduduki oleh masyarakat di Sulteng menjadi tantangan untuk merealisasikannya, kecuali mengadvokasi masyarakat agar jangan mengambil hak jalan menjadi tempat niaga di masing-masing depan rumahnya.

Selama ini, terdapat Jalan Lingkar Luar Kota Palu sepanjang 56,8 km, Palu-Parigi by Pass sepanjang 48,5 km dengan titik nol koordinat pada tugu Kecamatan Sigi Biromaru, Ruas Gimpu-Gintu sepanjang 53 km, Tonusu-Pendolo sepanjang 58,2 km dan Ruas Buleleng-Matarape sepanjang 46,1 km.

Pemerintah Provinsi Sulteng dapat mereplikasi Kerjasama KemenPUPR dan Kemenhub pada ruas Lingkar Peling di Banggai Kepulauan dan Lingkar Una-Una dan Togian di Kabupaten Tojo Una-Una.

Perencanaan infrastruktur konektivitas darat yang terhubung Bangkep Bagian Utara yang lebih maju kinerja pembangunannya dan Bangkep Bagian Selatan yang lebih tertinggal dapat dilanjutkan transportasi publik bus milik Badan Usaha Transportasi Darat Milik Provinsi Sulteng yang terkoneksi dengan Pelabuhan Salakan yang merupakan wilayah kerja Dinas Perhubungan Provinsi Sulteng, Keanekaragaman Hayati Kokolomboi dan obyek wisata Danau Kaca Paisupok.

Demikian pula dengan lingkar Una-Una dan Togian dari Barat ke Timur dapat terkoneksi dengan Pelabuhan Ferry di Pusungi, Wakai, Togian. Tentu perencanaan yang layak dapat menjadi pintu masuk bagi peningkatan kualitas infrastruktur konektivitas. Last but not least, 686 desa blank spot membutuhkan penanganan, khusus penyediaan area bagi menara Base Transciever Service (BTS) di pelosok negeri.

Studi pendahuluan Palu-Parigi by Pass yang penulis bersama tim peneliti lakukan pada 2021 yang sudah dipublikasi pada Journal of Infrastructure Policy and Development (JIPD) menunjukkan bahwa ruas jalan nasional Tawaili-Toboli sepanjang 43,5 km menunjukkan kecepatan maksimal mencapai 35,1 km/jam dan kecepatan rata-rata mencapai 34,8 km/jam, serta volume rata-rata kemacetan mencapai 1.232,1 unit kenderaan.

Biaya kemacetan pada ruas Tawaili-Toboli mencapai Rp4,386,829,- atau Rp4,39,- juta per jam atau Rp9,686,117,823,- atau Rp9,69,- miliar per tahun. Pada rencana ruas Palu-Parigi by pass menunjukkan kecepatan maksimal mencapai 70 km/jam dan kecepatan rata-rata mencapai 66,1 km/jam, serta volume rata-rata kemacetan mencapai 4.900 unit kenderaan.

Biaya kemacetan pada ruas jalan baru Palu-Parigi by pass mencapai Rp2,193,414,- atau Rp2,19,- juta per jam atau Rp4,843,058,912,- atau Rp4,84,- miliar per tahun.

Semoga infrastruktur konektivitas dukungan APBN dapat diikuti pula infrastruktur konektivitas dukungan APBD, sehingga Tingkat kemantapan infrastruktur konektivitas nasional yang diikuti pula oleh kemantapan infrastuktur provinsi dan kemantapan infrastruktur kabupaten/kota. Hal inilah menjadi kado manis HUT Sulteng ke 61 tahun.***

Ancaman Kehilangan Manusia Berkualitas di Sulteng

Moh Ahlis Djirimu
157 Views

Ancaman Kehilangan Manusia Berkualitas di Sulteng

Oleh : Moh. Ahlis Djirimu
( Staf Pengajar FEB-Untad )

JATI CENTRE – Satu dari enam Indikator Kinerja Utama (IKU) atau indikator kinerja Visi Pemerintah Daerah adalah dimensi kesehatan dan Pendidikan yang tercermin pada Indeks Pembangunan Manusia (IPM) yang saat ini menjadi Indeks Mutu Modal Manusia. Betapa tidak, portal BKKBN menunjukkan bahwa di Tahun 2023, terdapat 712,223 jiwa atau 26,78 persen penduduk Sulteng belum mempunyai Jaminan Kesehatan. Sebaliknya, penduduk Sulteng yang mempunyai Jaminan Kesehatan berjumlah 1,947,416 jiwa atau proporsinya mencapai 73,22 persen.

Konteks spasial menyajikan data bahwa secara absolut penduduk Sulteng yang belum mempunyai jaminan kesehatan paling banyak terdapat di Kabupaten Parigi Moutong sebanyak 141,922 jiwa atau proporsinya mencapai 34,17 persen, lalu diikuti oleh Kabupaten Donggala mencapai 115,791 jiwa atau proporsinya sebesar 40,87 persen dan Kabupaten Banggai berjumlah 85,745 jiwa atau proporsinya mencapai 26,26 persen.

Sebaliknya, Kabupaten Morowali Utara mempunyai penduduk terendah yang belum terjamin kesehatannya yakni 18,674 jiwa atau proporsinya sebesar 15,59 persen. Usia Harapan Hidup penduduk Sulteng di Tahun 2024 mencapai 70,84 tahun, meningkat dari tahun sebelumnya sebesar 70,66 tahun.

Di Sulteng, terdapat 1,407,524 jiwa penduduk yang dijamin kesehatannya oleh Badan Penyelenggara Jaminan Kesehatan (BPJS) Kesehatan baik Pemberian Bantuan Iuran (PBI)/Jaminan Kesehatan Masyarakat maupun Jaminan Kesehatan Daerah (JAMKESDA).

Selain itu, ada 506,141 jiwa yang mempunyai jaminan kesehatan Non PBI atau proporsinya mencapai 25,99 persen. Dampak berikutnya adalah, ada di antara 712,223 jiwa ini akan bermasalah dalam layanan kesehatan seperti umumnya terjadi penolakan pada Puskesmas dan Rumah Sakit Umum yang menjadi pemandangan biasa. Bila sering terjadi demikian, maka negara belum hadir melayani kesehatan penduduknya.

Pada dimensi Pendidikan, penduduk usia 7-12 tahun bersekolah berjumlah 197,244 jiwa atau proporsinya mencapai 68,80 persen. Sebaliknya, penduduk usia 7-12 yang tidak bersekolah mencapai 89,446 jiwa atau proporsinya sebesar 31,20 persen yang 46,550 orang merupakan penduduk usia 7-12 tahun berjenis kelamin laki-laki atau proporsinya 31,40 persen. Jumlah terbanyak penduduk usia 7-12 tahun tidak sekolah berada di Kabupaten Parigi Moutong sebanyak 15,475 jiwa, diikuti 11,730 jiwa di Kabupaten Banggai dan 10,402 jiwa di Kabupaten Donggala.

Penduduk Usia 13-15 tahun yang bersekolah berjumlah 134,261 jiwa atau proporsinya mencapai 90,90 persen. Sebaliknya, penduduk usia 13-15 tahun tidak bersekolah berjumlah 13,447 jiwa atau proporsinya mencapai 9,10 persen. Penduduk usia ini yang tidak sekolah terbanyak lagi-lagi di Kabupaten Parigi Moutong berjumlah 3,047 jiwa atau proporsinya 12,71 persen, diikuti oleh Kabupaten Donggala sebanyak 1,595 jiwa dan Kabupaten Sigi sebanyak 1,256 jiwa, serta Kabupaten Banggai yakni 1,230 jiwa.

Dari jumlah tersebut, sebanyak 5.978 jiwa anak usia 13-15 tahun perempuan yang tidak bersekolah. Selanjutnya, sebanyak 115,402 jiwa anak usia 16-18 tahun bersekolah atau proporsinya mencapai 79,88 persen. Sebaliknya, 29,064 jiwa anak usia 16-18 tahun atau proporsinya 20,12 persen tidak bersekolah.

Jumlah terbanyak penduduk usia 16-18 tahun yang tidak bersekolah lagi-lagi di Kabupaten Parigi Moutong mencapai 6,093 jiwa diikuti oleh Kabupaten Donggala berjumlah 3,699 jiwa, Kabupaten Sigi berjumlah 2,775 jiwa dan Kabupaten Banggai mencapai 2,747 jiwa.

Anak perempuan berusia 16-18 tahun yang tidak bersekolah di Sulteng mencapai 12,488 jiwa. Penduduk usia 19-24 tahun di Sulteng berjumlah 307,304 jiwa. Dari jumlah tersebut, 98,374 jiwa duduk di bangku kuliah atau proporsinya mencapai 32,01 persen.

Sebaliknya, penduduk usia tersebut yang tidak melanjutnya kuliah mencapai 208,930 jiwa atau proporsinya mencapai 67,99 persen. Dari jumlah tersebut, 94,894 jiwa merupakan anak perempuan yang tidak kuliah.

Jumlah terbanyak usia 19-24 tahun yang tidak kuliah berada di Kabupaten Parigi Moutong berjumlah 34,105 jiwa, diikuti oleh Kabupaten Banggai sebanyak 24,342 jiwa, Kabupaten Donggala sebanyak 24,014 jiwa dan Kabupaten Sigi berjumlah 19,355 jiwa dan Kota Palu sebanyak 18,645 jiwa.

Pemerintah Provinsi Sulteng periode 2025-2029 baru berjalan sebelas hari. Impiannya adalah “Sulteng Nambaso” atau Sulteng Besar yang berkeinginan mewujudkan bahwa “semua anak miskin dapat sekolah tanpa biaya apapun”. “Semua anak miskin dan berprestasi dapat kuliah”. “Semua pasien miskin mendapatkan pelayanan yang terbaik di rumah sakit”. “Semua kebutuhan pokok dapat dibeli dengan harga terjangkau”.

Misi pertama yakni “Mewujudkan Masyarakat Sehat, Cerdas dan Sejahtera melalui pemenuhan kebutuhan dasar dan penyediaan lapangan kerja”. Misi inilah pada sisi hulu berusaha mengatasi ancaman Loss Quality Generation di Sulteng selama lima tahun ke depan dalam Nawacita pertama ‘Berani Cerdas dengan program unggulan “Sulteng Nambaso” dan Nawacita kedua “Berani Sehat “Sulteng Naseha”, tanpa menyalahkan “budget constraint”.

Satu diskursus yang sering diungkapkan oleh pemerintahan baru ini adalah “1 dokter 1 desa” yang bermakna pada 1.842 desa, terdapat 1 dokter. Masyarakatlah yang menilai apakah cita-cita ini realistis, dalam kondisi adanya kabupaten yang tidak dapat memenuhi janjinya membayarkan secara professional insentif daerah pada tenaga dokter.

Bila Pemerintah Sulteng ingin mewujudkan janji politik 1 dokter, 1 desa, maka baik bersama-sama maupun tunggal mesti menyediakan anggaran Rp3,84,- triliun selama lima tahun ke depan mendidik calon dokter yang saat ini hanya sampai pada lipservice semata.

Walaupun sumber pembiayaan tidak semata-mata berasal dari APBN, APBD Provinsi dan APBD kabupaten/kota, tetapi sumber pembiayaan berasal pula dari dana Corporate Social Responsibility (CSR) seperti Pemerintah Kabupaten Morowali. Ketertarikan tenaga dokter mengabdi di Provinsi Sulbar sangat besar dibandingkan Sulteng karena memenuhi janji profesionalisme.

Pada Nawacita Berani Cerdas, walaupun anak tidak sekolah usia 7-12 tahun di tingkat SD/MI sebanyak 89.446 jiwa atau 31,20 persen, dan anak usia 13-15 tahun tidak sekolah di tingkat SMP/MTs 13.447 jiwa atau 9,10 persen bukan menjadi kewenangan Pemerintah Provinsi Sulteng, Pemerintah Provinsi Sulteng tidak dapat menutup mata atas kenyataan gagalnya Pendidikan Dasar di pada program wajib belajar sembilan tahun khususnya pada tingkat SD/MI.

Sedangkan wajib belajar di tingkat SMP/MTs, yang dominan dilaksanakan sejak adanya Proyek Perluasan dan Peningkatan Mutu SMP di Tahun 2000, dianggap sebagai investasi sumberdaya manusia di masa depan yang keberhasilannya nanti dinikmati 25 tahun kemudian yang tercermin dari rendahnya anak tidak sekolah usia 13-15 tahun sebagai keberhasilan “manajemen peningkatan mutu berbasis sekolah” dan mengedepankan uji kompetensi guru, pengawas, kepala sekolah dan siswa.

Usia 16-18 tahun yang tidak sekolah sebanyak 29.064 jiwa atau proporsinya 20,12 persen. Sedangkan penduduk usia 19-24 tahun yang tidak kuliah mencapai 208.930 jiwa atau proporsinya mencapai 67,99 persen. Perluasan dan Peningkatan Mutu SMA/SMK/MA mencakup peningkatan kompetensi guru, pengawas, kepala sekolah, siswa, peningkatan sapras, akreditasi sekolah dan perpustakaan SMA/SMK/MA maupun pemberian beasiswa selain Kartu Indonesia Pintar (KIP).

Satu di antaranya adalah pemberian beasiswa pada 29.064 jiwa tidak tidak sekolah karena alasan ekonomi. Bila hal ini dijalankan, maka Pemerintah Provinsi Sulteng membutuhkan Rp261,58,- miliar selama 5 tahun atau Rp52,32,- miliar per tahun dengan jumlah penerima terbesar berada di Kabupaten Parigi Moutong yakni 6.093 jiwa usia 16-18 tahun dan penerima tersedikit sebanyak 830 jiwa di Kabupaten Banggai Laut.

Bila Pemerintah ingin menjalankan pemberian beasiswa pada 208.930 jiwa usia 19-24 tahun yang tidak kuliah, maka Pemerintah Sulteng patut menyediakan Rp2,09,- triliun selama 5 tahun atau Rp417,86,- miliar per tahun.

Kedua, Pemerintah Sulteng dapat menginisiasi pembangunan politeknik atau mengintegrasikan politeknik pada Perguruan Tinggi Negeri (PTN) dan Perguruan Tinggi Swasta (PTS) di Kabupaten Poso yakni Politeknik Pariwisata di dataran tinggi Napu, Politeknik Pangan dan Hortikultura di Kecamatan Gumbasa Kabupaten Sigi, Politeknik Perikanan & Kelautan di Taopa, Politeknik Pertambangan Migas di Kabupaten Banggai, serta Politeknik Perikanan & Kelautan di wilayah selatan Banggai Kepulauan.

Ketiga, insentif professional pada tenaga kesehatan, pendidik dan tenaga kependidikan, penyuluh maupun tenaga fungsional penunjang lainnya di wilayah Terluar, Terdepan dan Terpencil (3T).

Pada bidang Pendidikan, Pemerintah Provinsi Sulteng sepatutnya tidak mengulangi kekeliruan karena pembangunan berbasis keinginan ketimbang berbasis kebutuhan.

Pada Tahun Anggaran 2023 yakni melakukan kegiatan di luar kewenangannya yakni kegiatan Bantuan Sekolah Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) milik Lembaga Vertikal yang realisasi sebesar Rp868.970.000,- karena ketidaktepatan sasaran, karena PAUD bukan kewenangan Dinas Pendidikan Provinsi Sulteng, melainkan kewenangan Dinas Kota Palu dan 12 kabupaten.

Selain itu, pelaksanaan program/kegiatan seharusnya memprioritaskan daerah yang data anak tidak sekolah tertinggi hingga terendah. Di Tahun 2023, adanya Program Pengelolaan Kegiatan Pendidikan/Subkegiatan Sapras Utilitas DAK SMA terdapat Penunjukkan Langsung (PL) dominan ke Kabupaten Banggai mencakup 29 sub kegiatan Pengadaan Peralatan Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) di SMAN 1 Balantak, Pembangunan Ruang Bimbingan Konseling SMAN 1 Toili sampai dengan Rehabilitasi Ruang Perpustakaan dengan Tingkat Kerusakan Minimal.

Keseluruhan sub kegiatan tersebut mencapai Rp10.756.640.559,- lalu diikuti oleh, Kabupaten Poso mencapai 10 sub kegiatan Pembangunan dan Rehabilitasi baik Asrama Siswa, Lab Kimia, Ruang Bimbingan Konseling mencapai total general Rp4.584.076.508,- dengan porsi terbesar pada Rehabilitasi Ruang Kelas dengan Tingkat Minimal Sedang SMAN 1 Lore Utara realisasi sebesar Rp1.190.000.000,-.

Demikian pula adanya 8 sub kegiatan Pembangunan Asrama Siswa, Ruang Guru, Ruang Kepsek, Lab Biologi, Lab Fisika, Rang OSIS , Ruang UKS, Rumah Dinas Guru di di SMAN Totikum Kabupaten Banggai Kepulauan yang juga penunjukkan Langsung (PL) total general sebesar Rp3.649.004.504,-, kontras dengan Pembangunan Gedung SMAN berupa Lab Fisika, Lab Kimia, Asrama Siswa, Rumdis Guru di SMAN 1 Banggai Kabupaten Banggai Laut mencapai keseluruhan Rp2.058.640.874,- yang semua Penunjukkan langsung.

Kenyataan ini kontras dengan data anak tidak sekolah terbanyak pada semua jenjang di Kabupaten Parigi Moutong maupun di Kabupaten Donggala. Kabupaten Donggala yang merupakan jumlah usia sekolah semua jenjang terbanyak kedua, hanya mendapatkan 3 sub kegiatan Pembangunan Asrama Siswa, Rehabilitasi Ruang kelas di SMAN 1 Balaesang dan SMAN 1 Banawa mencapai keseluruhan Rp1.359.340.610,-

Pembangunan di Kabupaten Parigi Moutong yang jumlah usia sekolah semua jenjang pendidikan terbanyak nomor wahid di Sulteng, hanya menyasar SMAN 1 Parigi Utara mencakup 6 sub kegiatan Asrama Siswa, Bimbingan Konseling, Lab Fisika, Ruang OSIS, UKS, Rumdis Guru, keseluruhannya mencapai Rp2.044.223.666,-

Tentu hal ini patut dijelaskan oleh Dinas Dikbud dari sisi azas pemerataan berkeadilan sesuai realitas data usia jenjang pendidikan yang tidak sekolah.***

Lapor Pak Jaksa dan Polisi; Ada Koruptor dan Teroris Di Kampus Tadulako!

696 Views

LAPOR PAK JAKSA DAN POLISI; ADA KORUPTOR DAN TERORIS DI KAMPUS TADULAKO!
Oleh: Dr. Ir. Muhd Nur Sangadji, DEA
(Associate Profesor bidang Ekologi Manusia, Pengajar Pendidikan Karakter dan Anti Korupsi, Anggota Senat Universitas Tadulako dan Ketua Forum Koordinasi Pencegahan Terorisme Sulawesi Tengah)

Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), Komjen Polisi, Dr. Boy Rafli Amar pernah membuat sinyalemen menarik tentang empat masalah pokok yang dihadapi Indonesia kontemporer. Pertama, Korupsi. Kedua, Terorisme. Ketiga, Narkoba. Keempat, Bencana (alam dan sosial).

Keempat masalah ini, hampir semuanya telah melanda Sulawesi Tengah. Namun, sangat patut diduga, dua diantaranya yakni ; korupsi dan terorisme telah menyatu di Universitas Tadulako. Keduanya menjadi penyebab kekisruhan yang tidak bisa di bendung di kampus saat ini.

Kami mengangkat persoalan ini jadi judul artikel. Itu, karena hal ini sudah dilaporkan secara resmi ke jajaran aparat hukum berkali-kali. Tapi, minim respon dan relatif lambat tindak lanjut. Apakah kita harus menunggu viral, heboh, atau jatuh korban dahulu baharu aparat hukum kita tergerak untuk bertindak serius?

Saya menaruh harapan optimis saat melihat baliho Kejati kita terpampang di ruang publik. Gagah perkasa. Isinya sangat keren “Selama saya bertugas di Sulawesi Tengah, tidak ada sejengkal pun ruang untuk para Koruptor. Siapa pun dia maupun backing-backingannya. Hukum tidak boleh tajam ke bawah tumpul ke atas”.

Sementara, dugaan korupsi di Universitas Tadulako ini terbiarkan sekian tahun lamanya. Seolah pelakunya orang sakti. Para pihak di kampus sendiri sering salah berfikir. Mereka bilang untuk menjaga nama baiknya universitas. Sampai sekarang pun masih ada yang berpikir begitu. Seolah, membuka aib sendiri. Padahal, inilah kesempatan untuk membersihkan Universitas Tadulako dari mereka yang ingin meruntuhkannya. Koruptor dan Teroris merupakan musuh negara. Karena itu, melawanya adalah kewajiban setiap warga negara.

Menurut Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2018 (UU Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme), terorisme adalah perbuatan yang menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan yang menimbulkan suasana teror atau rasa takut secara meluas, yang dapat menimbulkan korban yang bersifat massal, dan/atau menimbulkan kerusakan atau kehancuran terhadap objek vital yang strategis, lingkungan hidup, fasilitas publik.

Motifnya bermacam-macam. Mulai dari aspek ideologi, politik, ekonomi, sosial budaya dan agama. Sering bermula dari hal kecil sebagai pemicu. Konflik Poso dan Ambon sudah cukup menjadi pelajaran. Sengketa kecil menjadi penyebab. Anak muda yang mabuk-mabukan. Atau, pertikaian antar kelompok serta, benturan sesama dan antar masyarakat. Itu semua, sudah cukup menjadi sumbu pemantik. Itulah sebabnya, mengapa kita harus peka sejak dini. Kepada upaya memprovokasi atau membenturkan mereka. Dan, faktanya ada di Universitas Tadulako.

Sekali lagi, mengapa kita harus peka? Sebab, itu adalah salah satu dari dua amanahnya pembangunan untuk keselamatan manusia. Kewajiban Pembangunan itu adalah pertama ; harus menjawab kebutuhan masyarakat (should respon to community need). Kedua, harus peka kepada bencana alam dan sosial (on sensitive of disaster and conflic). Kalau tidak menyentuh kedua hal ini. Kita tidak sedang membangun.

Sudah bertahun-tahun warga kampus Tadulako diteror oleh orang yang harusnya dapat diduga (bukan tidak dikenal). Selama ini kita menyebut OTK (orang tidak dikenal), karena makhluk peneror ini selalu menyembunyikan identitasnya. Mereka menggunakan akun tertentu via media sosial. Biasanya memfitnah dan menyebarkan kebencian dan rasa permusuhan. Bahkan lewat ancaman fisik. Akhir-akhir ini, ancaman fisik itu kian gencar, da mengarah pada ancaman pembunuhan.

Banyak dosen dan mahasiswa Universitas Tadulako mengalami ancaman tersebut. Kalau semua mau bersaksi dan tunjukkan bukti-buktinya, diduga mencapai angka ratusan. Umumnya, mereka yang diteror adalah yang dianggap mengganggu praktek oligarki dan dugaan korupsi, kolusi, dan nepotisme di kampus Tadulako. Sedikit hari lagi, insya Allah dugaan ini akan terbukti masif.

Kejadian paling terakhir menimpa sejumlah dosen Universitas Tadulako. Prof. Nurmala, mobilnya di lempari dengan kampak besar. Sebelumnya, Prof. Marhawati untuk kasus yang sama. Rumah saya juga dilempari batu. Lalu, ada tulisan “MATI” di dinding Pagar. Prof Jayani, Djamaludin Mariajang, Lutfi, Marjuki, Nasrum, Masyahoro, Angga dan masih banyak yang lain, adalah yang paling sering diteror. Bahkan, ketua Dewan Pengawas BLU Untad, Dr. Irfa pun tidak luput dari teror ini. Di bulan Ramadhan ini pun, rumah Nasrum, dosen Fisip Untad dilempar dua kali dalam waktu dua malam berturut-turut. Tanggal 6 dan 7 April 2022.

Ancaman pembunuhan juga sering dilayangkan via media sosial. Narasi tertulis maupun lewat vidio. Kata-kata ancaman pembunuhan yang paling sering diungkap adalah “dikeluarkan usus”.

Atas semua kejadian ini, sudah bolak-balik kami lapor ke Polda Sulteng. Tapi, tindakan kongkrit belum terwujud. Rasa frustasi menghinggapi para pelapor. Terkadang muncul pertanyaan, masih bisakah kita berharap kepada Polisi?

Kuatir perasaan begini berujung pada rasa tidak percaya (unbelived), dan rasa tidak percaya yang mengarah pada pembangkangan civil (civil disobeidiences) hingga menjadi racun dalam bernegara. Maka, mari kita rawat negeri bersama-sama.