Dosen UIN Paparkan Kewenangan Daerah Menetapkan Perda Retribusi

504 Views

Pasangkayu-Jati Centre. Retribusi daerah merupakan satu sumber pendapatan daerah yang penting guna membiayai penyelenggaraan pemerintah daerah untuk memantapkan otonomi daerah yang luas, nyata dan bertanggung jawab.

Wewenang pemerintah daerah dalam pemungutan retribusi daerah digolongkan wewenang delegasi, yaitu wewenang yang diperoleh atas pendelegasi wewenang dari pemegang wewenang atribusi, yaitu pemerintah pusat.

Hal itu disampaikan Dosen Tetap Universitas Islam Negeri (IUN) Datokarama Palu, Besse Tenriabeng Mursyid dalam Seminar Rancangan Peraturan Daerah tentang Retribusi Penjualan Hasil Produksi Usaha Daerah, di Pasangkayu pada Kamis (2/6/2022).

“Pendelegasian wewenang ini dituangkan dalam suatu undang-undang yang mengatur pajak dan retribusi yang diserahkan kepada daerah untuk pemungutannya, yakni Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022,” sebutnya.

Lebih lanjut menurut Pimpinan LKBH UIN Datokarama Palu ini, untuk melaksanakan ketentuan Pasal 88 ayat (3) huruf i dan Pasal 94 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah, perlu menetapkan Peraturan Daerah tentang Retribusi Penjualan Hasil Produksi Usaha Daerah.

Pada pokoknya ketentuan tersebut, menyebutkan di antara jenis penyediaan atau pelayanan barang dan/atau jasa yang merupakan objek retribusi jasa usaha meliputi penjualan hasil produksi usaha pemerintah daerah, yang lebih lanjut ditetapkan dengan Peraturan Daerah.

Lebih lanjut, Tenaga Ahli Jati Centre ini menjelaskan lebih lanjut, pengertian Produksi Usaha Daerah sebagai hasil produksi usaha Pemerintah Daerah yang dihasilkan oleh perangkat daerah.

“Jadi objek retribusi berupa hasil produksi perangkat daerah, bukan yang dihasilkan oleh badan usaha atau orang pribadi,” sebut Besse.

Lanjutnya, lewat mekanisme Retribusi yang menghasilkan pungutan Daerah sebagai pembayaran atas hasil produksi usaha Pemerintah Daerah yang dilakukan oleh perangkat daerah untuk kepentingan orang pribadi atau badan.

Diketahui jenis Jenis Retribusi Daerah sesuai UU Nomor 1 Tahun 2022 terdiri atas retribusi jasa umum, retribusi jasa usaha, dan retribusi perizinan tertentu.

Retribusi jasa umum memuat: 1. Pelayanan Kesehatan; 2.  Pelayanan Kebersihan; 3.  Pelayanan Parkir di tepi jalan umum; 4.  Pelayanan Pasar; dan 5.  Pengendalian lalu lintas.

Retribusi Jasa Usaha memuat: 1.  Penyediaan tempat kegiatan usaha berupa pasar grosir, pertokoan, dan tempat kegiatan usaha lainnya; 2.  Penyediaan tempat pelelangan ikan, ternak, hasil bumi, dan hasil hutan; 3.  Penyediaan tempat khusus parkir di luar badan jalan; 4.  Penyediaan tempat penginapan/villa; 5.  Penyediaan rumah potong hewan ternak; 6.  Penyediaan jasa kepelabuhanan; 7.  Pelayanan tempat rekreasi dan olahraga; 8.  Pelayanan penyeberangan di air; dan 9.  Penjualan hasil produksi usaha Pemerintah Daerah; 10.Pemanfaatan aset lainnya.

Adapun retribusi perizinan tertentu, terdiri atas: 1.  Persetujuan Bangunan Gedung; 2.  Penggunaan tenaga kerja asing; dan 3.  Pengelolaan pertambangan rakyat.

Kegiatan seminar yang diselenggarakan Bagian Hukum Sekretariat Daerah Pasangkayu ini diikuti antusias peserta yang berasal dari Pimpinan Perangkat Daerah terutama yang bersentukan dengan urusan perizinan, perikanan, pertanian, peternakan, tanaman pangan, hortikultura. Selain itu, kegiatan seminar juga diikuti oleh perwakilan badan usaha, tokoh masyarakat, dan mahasiswa.

Kewenangan Pembentukan Perda Retribusi Penjualan Hasil Produksi Usaha Daerah, Berikut Penjelasannya

527 Views

Jati Centre-Pasangkayu. Pertumbuhan ekonomi akan semakin besar apabila pemerintah daerah mampu meningkatkan basis dari pendapatan asli daerahnya. Satu komponen pendapatan asli daerah (PAD) yang dapat didorong peningkatannya adalah dari Retribusi Jasa Usaha, dalam hal ini Retribusi Penjualan Hasil Produksi Usaha Daerah.

Hal itu disampaikan Akademisi Universitas Islam Negeri (UIN) Datokarama Palu Besse Tenriabeng Muryid pada Konsultasi Publik Rancangan Peraturan Daerah, di Pasangkayu pada Selasa (22/03/2022).

“Inisiasi ini memperoleh dasar kewenangan sesuai ketentuan Pasal 88 ayat (3) huruf i dan Pasal 94 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah,” sebut Besse.

Menurut Peneliti Jati Centre ini, ketentuan yuridis tersebut menyebutkan di antara jenis penyediaan atau pelayanan barang dan/atau jasa yang merupakan objek retribusi jasa usaha meliputi penjualan hasil produksi usaha pemerintah daerah, yang lebih lanjut ditetapkan dengan Peraturan Daerah.

“Retribusi penjualan hasil produksi usaha daerah adalah pungutan daerah sebagai pembayaran atas hasil produksi usaha pemerintah daerah yang dilakukan oleh perangkat daerah untuk kepentingan orang pribadi atau badan,” pungkasnya.

Untuk diketahui, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah sebagaimana diubah terkahir kali dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja, memerintahkan adanya otonomi daerah dan memberikan kewenangan, disertai hak dan kewajiban kepada para penyelenggara pemerintahan daerah. Penerapan otonomi daerah dititikberatkan pada penyerahan sejumlah kewewenangan (urusan) pemerintahan dan pembiayaan yang dikenal dengan Pendapatan Asli Daerah (PAD).

Komponen utamanya berupa penerimaan dari komponen pajak daerah dan retribusi daerah. Semakin besar pendapatan yang dimiliki oleh daerah, maka kemampuan daerah untuk melaksanakan proyek pembangunan (misalnya infrastruktur jalan, dan rumah sakit) tentu semakin besar hingga memacu peningkatan pembangunan daerah.

Sumber pendapatan daerah yang signifikan menopang pembiayaan penyelenggaraan pemerintah daerah adalah pajak daerah dan retribusi daerah. Namun demikian, pemungutan pajak dan retribusi dearah kepada masyarakat suatu daerah dituntut untuk memperhatikan potensi dan kemampuan masyarakat. Sehingga pemungutan tidak membebani dan kontra produktif terhadap upaya mempercepat pencapaian kesejahteraan dan kemakmuran. (Rsl)

Perizinan Berusaha, Bupati Mendelegasikan Kewenangannya, Mengapa?

455 Views

Jati Centre-Pasangkayu. Pengaturan layanan perizinan berusaha dan perizinan non berusaha merupakan upaya reformasi dan deregulasi yang menyesuaikan perkembangan ekonomi dan teknologi informasi. Perubahan dalam proses perizinan dan perluasan bidang usaha untuk investasi, diyakini menjadi percepatan investasi dan pembukaan lapangan kerja baru.

Penerapan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (UU Cipta Kerja) akan memberikan kemudahan dan kepastian perizinan dan kegiatan usaha, sehingga akan meningkatkan daya saing investasi dan produktivitas, serta efisiensi kegiatan usaha.

Demikian disampaikan Ketua Jati Centre Ruslan Husen dihadapan Pimpinan Perangkat Daerah, dalam Konsultasi Publik Rancangan Peraturan Bupati, di Pasangkayu pada Selasa (22/03/2022).

“Pada pokoknya, pengaturan penyelenggaraan perizinan berusaha dan non berusaha bertujuan untuk meningkatkan ekosistem investasi dan kegiatan berusaha. Melalui pelaksanaan penerbitan perizinan berusaha secara lebih efektif, cepat, dan sederhana. Penyelenggaraan perizinan ini mengubah pendekatan kegiatan berusaha dari berbasis izin ke berbasis risiko (Risk Based Approach (RBA),” terang Ruslan Husen.

Lebih lanjut menurut Dosen Fakultas Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Datokarama Palu ini, penjabaran materi muatan kebijakan strategis tersebut, diurai dalam ketentuan perizinan berusaha, yang lebih spesifik dalam Peraturan Pemerintah Nomor 5 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Perizinan Berusaha Berbasis Risiko; dan Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Perizinan Berusaha di Daerah.

“Implementasi layanan perizinan di daerah diterjemahkan ke dalam sistem terintegrasi melalui Online Single Submission (OSS),” terang Ruslan.

Sebagai tindak lanjut atas ketentuan Pasal 5 Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Perizinan Berusaha di Daerah, maka Pemerintah Daerah dalam hal ini Bupati menyelenggarakan Perizinan Berusaha dan Perizinan Non Berusaha sesuai dengan kewenangan Daerah.

Secara teknis menurut Ruslan, Bupati mendelegasikan kewenangannya kepada Kepala Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (DPMPTSP) yang ditetapkan dengan Peraturan Kepala Daerah.

Untuk diketahui, kewenangan Bupati yang didelegasikan kepada Kepala DPMPTSP meliputi :

  1. penolakan permohonan pelayanan yang tidak memenuhi persyaratan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
  2. pelaksanaan penerbitan produk layanan Perizinan Perizinan Non Berusaha sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; dan
  3. penghentian sementara, atau pencabutan dokumen Perizinan Berusaha dan Perizinan Non Berusaha.

Demi kepastian pelaksanaan di daerah, diperlukan Peraturan Bupati guna memberikan kepastian hukum terhadap pelaksanaan tugas, hak, kewajiban dan pertanggungjawaban pelayanan perizinan berusaha dan non berusaha termasuk persetujuan atau notifikasi pada sistem OSS dan/atau penandatanganannya.

Galang Partisipasi Pihak Ketiga dalam Pembangunan Melalui Hibah

466 Views

Pasangkayu-Jati Centre. Pelaksanaan pembangunan daerah masih dipenuhi berbagai tantangan dan hambatan, di antaranya masih terbatasnya pendapat asli daerah (PAD) untuk membiayai kegiatan pembangunan daerah. Sehingga perlu terobosan yang legal untuk mencari, menggali, dan memanfaatkan potensi daerah maupun potensi yang ada di tengah masyarakat guna menunjang penyelenggaraan pemerintahan.

Hal ini beralasan, pelaksanaan pembangunan daerah bukan hanya tanggung jawab pihak pemerintah daerah semata. Pelaksanaan pembangunan sangat membutuhkan peran-serta dan partisipasi aktif semua pihak, mulai individu maupun badan usaha.

Dari itu, menjadi penting bagi pemerintah daerah untuk menyelenggarakan dan mengelola lain-lain pendapatan daerah yang sah sebagai pundi-pundi pendapatan daerah. Dalam hal ini, menggali potensi penerimaan dari sumber hibah, yang dilaksanakan berdasarkan prinsip transparansi dan tidak mengikat serta tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan.

Hal tersebut disampaikan Ketua Jati Centre Ruslan Husen dalam Seminar Rancangan Peraturan Daerah (Ranperda) Kabupaten Pasangkayu tentang Hibah kepada Pemerintah Daerah, di Pasangkayu pada Selasa (13/7/2021).

“Hibah kepada pemerintah daerah ini dimaknai penerimaan daerah yang berasal dari Pemerintah, Pemerintah Daerah lain, maupun pihak ketiga baik perorangan maupun badan hukum, dalam bentuk uang atau yang dipersamakan dengan uang, barang, dan jasa untuk menunjang peningkatan fungsi pemerintahan dan pembangunan daerah,” terang Ruslan.

Lebih lanjut menurut Alumni Pascasarjana Universitas Tadulako ini, penerimaan tersebut sejatinya dapat dimaksimalkan guna membantu peningkatan pembangunan daerah yang tentu imbasnya bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat. Selain itu, penerimaan melalui hibah ini juga dapat menambah pendapatan asli daerah (PAD), sehingga pundi-pundi pembiayaan pembangunan daerah dapat ditopang dari sumber tersebut.

“Perlu dilakukan pengaturan pelaksanaan penerimaan dan pengelolaan hibah kepada pemerintah daerah, sekaligus sebagai dasar hukum bagi pemerintah daerah untuk menggalang partisipasi pihak ketiga dalam pembangunan daerah. Pengaturan ini penting, agar memberi rambu sesuai dengan aturan hukum yang berlaku.” pungkasnya.

Namun, patut dipahami tentang rambu-rambu pelaksanaannya agar tidak menjadi masalah di kemudian hari. Yakni pemberi hibah melaksanakan secara sukarela, tidak ada batasan minimal, tidak ada paksaan, dan tidak mengikat. Demikian pula pelaksanaannya, tidak boleh berakibat menghambat laju perkembangan ekonomi daerah dan iklim investasi.

Ruslan Husen memaparkan materi. Foto : Mashur

Lebih lanjut Kepala Bagian Hukum dan HAM Kabupaten Pasangkayu, Mulyadi menyampaikan, Seminar  tentang Hibah kepada Pemerintah Daerah dimaksudkan mencari masukan, tanggapan, dan saran terhadap Ranperda sebelum dilanjutkan ke tahap pembahasan, dan penetapan.

“Seminar Ranperda ini untuk menindaklanjuti ketentutan keputusan DPRD Kabupaten Pasangkayu Nomor 16 Tahun 2020 tentang penetapan program pembentukan perda tahun 2021,” terang Mulyadi.

Mulyadi juga menjelaskan bahwa alasan Ranperda ini diinisiasi dikarenakan selama ini dasar hukum yang digunakan oleh pemerintah daerah dalam melakukan penarikan terhadap sumbangan pihak ketiga masih Keputusan Bupati Mamuju. Dengan merujuk pada dasar hukum yang sudah dibatalkan yakni Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 3 Tahun 1978 tentang Penerimaan Sumbangan Pihak Ketiga Kepada Daerah.

“Sumbangan pihak ketiga dasar hukumnya sudah dicabut. Sehingga sudah tidak diperbolehkan istilah sumbangan kepada pihak ketiga. Dengan demikian berdasarkan kajian tim penyusun maka ditawarkan judul “Hibah Kepada pemerintah Daerah” yang memiliki dasar hukum dalam UU 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah dan PP 2 tahun 2012 tentang Hibah Daerah,” paparnya.

Perda hibah kepada pemerintah daerah dibentuk selain harus bersesuaian dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, ketertiban umum, dan kesusilaan, juga harus memperhatikan lokalitas daerah terkait dengan kemudahan berusaha dan berinvestasi di daerah. Jangan sampai Perda menjadi ancaman dan beban biaya tinggi terhadap perkembangan ekonomi daerah. Jika seperti ini, Perda dimaksud dapat dievaluasi bahkan dibatalkan oleh Pemerintah Pusat dengan kewenangan yang melakat padanya.

Pada prinsipnya hasil penerimaan sumbangan pihak ketiga sama dengan penerimaan dalam pelaksanaan hibah kepada daerah, yang harus dilaksanakan dengan transparan dan tidak mengikat serta tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan. Terhadap hasil penerimaan daerah tersebut untuk selanjutnya dimanfaatkan bagi pembangunan daerah.

Selain itu, terhadap sumbangan maupun hibah tidak mengurangi kewajiban pihak ketiga kepada negara dan daerah sebagaimana ditentukan dalam peraturan perundang-undangan. Misalnya adanya kewajiban membayar pajak daerah dan retribusi daerah, atas kewajiban itu tetap dilaksanakan sebagaimana mestinya.