Menuju Peradilan Khusus Pemilu

308 Views

MENUJU PERADILAN KHUSUS PEMILU
Oleh: Ruslan Husen, SH., MH.

Bawaslu sebagai penyelenggara pemilu memiliki kewenangan pengawasan, penindakan pelanggaran, dan penyelesaian sengketa proses pemilu/pemilihan. Kewenangan Bawaslu ini saling beriringan satu dengan lainnya, artinya kewenangan harus dilaksanakan Bawaslu dengan sekaligus tidak boleh pilih-pilih.

Terkadang, satu kesempatan sosok Bawaslu hadir sebagai “pengawas” yang hadir di lapangan untuk mengawasi para pihak agar tidak melakukan pelanggaran. Namun jika terjadi pelanggaran, maka Bawaslu tampil sebagai “penindak” pelanggaran. Bahkan jika kasus bernilai sengketa, Bawaslu akan tampil sebagai “mediator” yang mempertemukan para pihak lewat forum mediasi. Jika tidak tercapai kesepakatan dilanjutkan dengan sidang adjudikasi, dengan kedudukan Bawaslu sebagai “hakim”.

Kewenangan Bawaslu berdasarkan UU Pemilu, menempatkan pimpinan Bawaslu menjadi sosok yang serba-bisa. Bisa menjadi pengawas di lapangan, bisa menjadi aparat penegak hukum penindakan pelanggaran, bisa menjadi mediator, dan hakim. Dalam posisi ini, Bawaslu memiliki fungsi ganda yang idelanya dilaksanakan oleh fungsi lembaga berbeda. Walhasil, sikap dan pendapat akhirnya cenderung terbaca sama. Contohnya ketika ada isu larangan mantan narapidana menjadi calon anggota legislatif, Bawaslu sudah mempunyai sikap dan pendapat tersendiri bahwa hak seorang warga negara tidak bisa dibatasi kecuali oleh undang-undang dan putusan pengadilan. Jika ada pihak yang mengajukan sengketa proses, keputusan akhir Bawaslu cenderung sama dengan sikap dan pendapat awal yang disampaikan saat proses pengawasan berlangsung.

Menurut Didik Supriyanto, Bawaslu dalam menjalankan fungsi-fungsi peradilan, juga menjalankan fungsi pengawasan. Ini fungsi ganda yang bisa menimbulkan konflik kepentingan. Sebagai pengawas, Bawaslu sudah memiliki penilaian tertentu atas suatu kasus pelanggaran atau sengketa proses. Padahal Bawaslu harus menyidangkan dan mengadili kasus tersebut. Jelas, penilaian ketika menjalankan fungsi pengawasan akan memengaruhi putusannya saat menjalankan fungsi peradilan.[1]

Berangkat dari kenyataan itu, Ida Budiarti menganggap fungsi pengawasan Bawaslu bisa dialihkan ke masyarakat sipil, agar Bawaslu ditransformasi menjadi lembaga peradilan pemilu.[2] Dengan demikian fungsi Bawaslu menjadi berubah, dan ketika berubah maka dengan sendirinya dapat dikatakan “bubar” dan bertransformasi menjadi pelaksana fungsi peradilan.

Menurut penulis, Bawaslu didesain sebagai kekuatan masyarakat sipil dengan sumber daya manusia yang tidak memihak (imparsial) dan diberi anggaran negara untuk mengawasi tahapan kontestasi pemilihan. Dalam perjalanan melaksanakan fungsi utama yakni pengawasan, Bawaslu diberi tambahan wewenang penindakan pelanggaran dan penyelesaian sengketa proses pemilu. Oleh karena itu, sebagai cikal dan kekuatan pengawasan masyarakat maka eksistensi Bawaslu dianggap tetap relevan. Adapun fungsi penindakan pelanggaran dan penyelesaian sengketa, sejatinya dikerjakan oleh organ negara lain yang mandiri dan terpisah dengan fungsi pengawasan Bawaslu.

Berdasarkan hal itu ditarik isu hukum yang akan dibahas. Pertama, bagaimana desain eksistensi baru Bawaslu sebagai lembaga pengawas pemilu bersama dengan masyarakat? Kedua, Bagaimana bentuk desain kelembagaan peradilan khusus pemilu, yang merupakan transformasi dari fungsi penindakan pelanggaran dan penyelesaian sengketa Bawaslu? Terhadap kedua isu hukum ini dengan sendirinya menentukan eksistensi Sentra Gakkumdu, yakni dibubarkan.

Prawacana

Berkaca dari pengalaman, setiap kali pergantian pemimpin nasional (presiden dan wakil presiden), pembentuk undang-undang selalu melakukan perubahan regulasi, dan akhirnya melahirkan UU Pemilu yang baru. Sehingga dimaknai Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 Tentang Pemilihan Umum hanya dikhususkan untuk pelaksanaan kontestasi pemilu tahun 2019, walaupun tidak ada norma yang menyebutkan hal itu.

Pada penyelenggaraan pemilu tahun 2019, kewenangan Bawaslu masih berkutat pada fungsi pengawasan, penindakan pelanggaran, dan penyelesaian sengketa proses pemilu. Atas kewenangan ini, seiring dengan usulan perubahan UU Pemilu bahwa tidak ada jaminan kewenangan itu sama dengan kewenangan Bawaslu pada pelaksanaan pemilu mendatang. Terutama soal usulan transformasi kelembagaan Bawaslu dalam pelaksanaan setiap kontestasi pemilihan kepala daerah dan pelaksanaan pemilu mendatang menjadi pemegang fungsi pengawas, dan fungsi peradilan.

Secara faktual Bawaslu dalam pelaksanan fungsi pengawasan, terkadang konflik kepentingan saat melaksanakan fungsi quasi peradilan baik dalam sidang pelanggaran administrasi pemilu maupun dalam sidang adjudikasi―sengketa proses pemilu. Bawaslu melakukan pengawasan dalam bentuk kegiatan-kegiatan pencegahan, yang terkadang menyampaikan rekomendasi untuk ditindaklanjuti pihak terkait (misalnya ke KPU dan instansi pemerintah). Namun jika tetap terjadi pelanggaran atas kasus tersebut, lantas Bawaslu menyelesaikan lewat sidang pelanggaran adminsitrasi. Hasil akhir putusan Bawaslu dapat diterka dan terbaca, bahwa putusan tidak jauh berbeda dengan pendapat dan sikap di awal saat melakukan fungsi pengawasan.

Demikian pula saat Bawaslu melaksanakan fungsi penyelesaian sengketa proses pemilu, putusan Bawaslu dalam sidang adjudikasi cenderung terbaca. Bahwa sikap dan pendapat terkait dengan objek sengketa, keputusan dan/atau berita acara KPU adalah cenderung sama saat melakukan fungsi pengawasan, dengan putusan akhir sengketa proses pemilu di sidang adjudikasi.

Hasil pengawasan pengawas pemilu terkait dengan objek masalah/kasus juga dapat disampaikan ke muka persidangan yang menerima, memeriksa, dan mengadili. Dalam praktik, Bawaslu tidak dapat menafikkan hasil pengawasannya, apalagi telah ada pencegahan atau rekomendasi. Sehingga putusan Bawaslu akan cenderung sama dengan pelaksanaan fungsi pengawasan.

Pada pelaksanaan kewenangan Bawaslu dalam pengawasan dan pengadil, baik dalam sidang pelanggaran administrasi dan sidang adjudikasi, ada usulan akan perubahan desain kelembagaan Bawaslu ke depan. Agar Bawaslu bertransformasi menjadi, pertama, Bawaslu bersama masyarakat menjadi pengawas pemilu, yang bertugas mencegah terjadinya pelanggaran, dan melaporkan pelanggaran pemilu kepada instansi berwenang. Dan kedua, peradilan khusus pemilu, yang mengadili pelanggaran administrasi pemilu dan sengketa proses pemilu.

Bawaslu tetap Pengawas Pemilu

Menghapus Bawaslu! Lalu siapa yang melaksanakan fungsi pengawasan, pencegahan, dan penindakan pelanggaran dalam suatu kontestasi pemilu? Menyerahkan fungsi tersebut kepada masyarakat, memunculkan pertanyaan apakah masyarakat siap melaksanakan fungsi pengawasan seperti di negara-negara Eropa? Siapa masyarakat yang dimaksud melaksanakan fungsi pengawasan? Inilah beberapa pertanyaan prinsip yang menentukan eksistensi Bawaslu masih diperlukan atau tidak diperlukan lagi sehingga perlu dibubarkan.

Sepanjang pelaksanaan kontestasi pemilu yang memperebutkan suara rakyat sebagai legalitas mencapai kekuasaan, masih selalu diwarnai berbagai pelanggaran, baik dilakukan oleh peserta yang berkontestasi, penyelenggara pemilu, birokrasi dan ASN, Kades, perangkat desa, dan anggota BPD, bahkan pelanggaran dari masyarakat sendiri. Dengan jenis pelanggaran berkategori pidana, administrasi, kode etik, dan pelanggaran hukum lainnya. Pelanggaran terus bertransformasi dengan berbagai modus, subjek, dan karakter.

Atas pelanggaran dimaksud, tentu membutuhkan organ negara melakukan proses penindakan pelanggaran demi menjamin keadilan dan kepastian hukum. Kebutuhan ini, ditunjang oleh kultur dan kesiapan berdemokrasi warga negara Indonesia yang belum maju seperti masyarakat Eropa. Di Eropa dalam kontestasi tidak ada lembaga pengawas seperti Bawaslu, pengawasan di sana dilakukan oleh kelompok masyarakat, yang beriringan dengan budaya internalisasi hukum di kehidupan bermasyarakat.

Tetapi di negara ini, lembaga Bawaslu masih dibutuhkan dalam pengawasan kontestasi pemilu. Sebab belum bisa mengandalkan kekuatan sipil yang imparsial melakukan pengawasan. Dalam hal ini, kelembagaan Bawaslu hakikatnya dimaknai hasil transformasi fungsi masyarakat dalam pengawasan yang terlembagakan. Pelembagaan masyarakat melalui Bawaslu, yang terdiri dari personil terpilih dan memenuhi syarat, lalu diserahi tugas dan kewenangan melakukan pengawasan kontestasi, dengan diberi dukungan pembiayaan operasional.

Maka fungsi pengawasan dari Bawaslu dalam kehidupan bermasyarakat yang rutin melaksanakan kontestasi pemilu untuk memilih pemimpin ternyata masih dibutuhkan. Walaupun, fungsi quasi peradilan dalam bentuk adjudikasi penanganan pelanggaran dan sengketa proses pemilu dapat saja dialihkan ke organ yang akan melaksanakan fungsi peradilan khusus pemilu.

Fungsi Bawaslu akan fokus pada pengawasan/pencegahan dan penindakan pelanggaran berupa mengawasi tahapan pemilu untuk memastikan ketepatan tata cara, prosedur, dan mekanisme. Serta memberikan rekomendasi tindak lanjut dugaan pelanggaran kepada instansi berwenang untuk diadili agar memperoleh keadilan dan kepastian hukum.

***

Pada pelaksanaan Pemilihan Kepala Daerah Serentak tahun 2020 (Pilkada 2020), tugas dan wewenang Bawaslu masih merujuk pada Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota (UU 10/2016). Uraian tugas dan kewenangan Bawaslu yang dituangkan pada UU 10/2016 banyak memiliki kesamaan pada perspektif fungsi pengawasan yang diatur di  UU 7/2017, namun pada fungsi penindakan pelanggaran dan penyelesaian sengketa ditemukan beberapa dimensi perbedaan yang berdampak pada posisi Bawaslu dalam proses peradilan di badan peradilan khusus pemilu yang meliputi :

  • Pelanggaran pidana pemilu maupun pelanggaran pidana pemilihan, kedudukan Bawaslu yakni sebagai pelapor atas temuan dugaan pelanggaran tindak pidana kepada pihak kepolisian untuk ditindaklanjuti sebagaimana hukum acara hukum pidana (KUHAP). Hal ini sejalan dengan pembubaran Sentra Penegakan Hukum Terpadu (Gakkumdu) bersamaan dengan transformasi Bawaslu. Nantinya pihak kepolisian menindak dugaan tindak pidana yang berkaitan dengan pemilu dan pemilihan dapat bersumber dari laporan masyarakat dan Bawaslu, maupun hasil temuan (investigasi) yang dilaksanakan kelembagaan Polri sendiri. Sedangkan proses pemeriksaan, mengadili, serta penetapan putusan akan dilaksanakan oleh peradilan khusus pemilu dengan menggunakan sumber daya manusia berupa majelis hakim pidana kepemiluan.
  • Pelanggaran administrasi pemilu, Bawaslu yang sebelumnya berwenang memeriksa dan mengadili akan berkedudukan sebagai pelapor. Begitu juga halnya jika ditemukan pelanggaran adminsitrasi pemilihan, Bawaslu tidak lagi meneruskan rekomendasi kepada KPU melainkan berkedudukan juga sebagai pelapor. Pelaporan Bawaslu nantinya ditujukan kepada badan peradilan khusus pemilu untuk diperiksa, diadili, dan diputus lewat mekanisme sidang pelanggaran administrasi baik untuk pemilu maupun pemilihan.
  • Pelanggaran peraturan perundang-undangan lainnya, Bawaslu menyampaikan rekomendasi dengan memuat data, informasi dan bukti kepada instansi berwenang untuk memberikan sanksi sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Ketentuan ini masih sama dengan ketentuan yang dimuat dalam UU Pemilu maupun UU Pilkada.
  • Pelanggaran etika penyelenggara pemilu atau pemilihan, Bawaslu memberikan aduan kepada DKPP untuk diperiksa dan diadili sesuai dengan Hukum Acara DKPP. Ketentuan ini juga masih sama dengan ketentuan sebagaimana diatur dalam UU Pemilu maupun UU Pilkada. Namun untuk penyelenggara pemilu atau pemilihan yang bersifat adhoc, proses peradilannya tidak diberikan kepada KPU maupun Bawaslu ditingkatan Kabupaten/Kota dengan tujuan untuk menghindari konflik kepentingan. Pemeriksaan serta penetapan putusan diserahkan kepada badan peradilan khusus pemilu dengan kedudukan Bawaslu sebagai pelapor.
  • Penyelesaian sengketa proses pemilu yang sebelumnya Bawaslu berkedudukan sebagai mediator dan majelis hakim, nantinya akan bergeser sebagai pihak lembaga pemberi keterangan yang wajib didengar keterangan dan hasil pengawasannya dalam sidang yang digelar oleh peradilan khusus pemilu. Hal yang sama juga berlaku bagi penyelesaian sengketa proses pemilihan. Proses penyelesaian sengketa proses pemilu maupun pemilihan di badan peradilan khusus pemilu, majelis hakim yang bertugas memeriksa dan mengadili merupakan majelis hakim dibidang sengketa tata usaha negara.

Adapun untuk perselisihan hasil pemilihan umum, khusus untuk pemilu tetap merujuk pada Pasal 24C UUD NRI Tahun 1945 yang menunjuk Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga yang berwenang untuk memeriksa dan mengadili. Sedangkan untuk perselisihan hasil pemilihan kepala daerah, berdasarkan UU 10/2016 diamanatkan untuk diperiksa dan diadili oleh badan peradilan khusus yang dibentuk sebelum pelaksanaan pemilihan serentak nasional. Namun hingga menjelang pelaksanaan Pilkada tahun 2020, belum ada perwujudannya sehingga kewenangan tersebut masih melekat di Mahkamah Konstitusi. Pada proses perselisihan hasil pemilu maupun pemilihan, Bawaslu berkedudukan sebagai pihak terkait yang didengar keterangan dan hasil pengawasannya sekaitan dengan pokok perkara yang diadukan.

Desain Peradilan Khusus Pemilu

Inisiasi pembentukan peradilan khusus Pemilihan sebenarnya telah diatur pada Pasal 157 ayat (1) UU 10 Tahun 2016, menyebutkan “Perkara perselisihan hasil pemilihan diperiksa dan diadili oleh badan peradilan khusus, kemudian ayat (2) menyebutkan “Badan peradilan khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibentuk sebelum pelaksanaan pemilihan serentak nasional”.

Rumusan pasal tersebut, tidak menyebutkan rumusan pasti bagaimana kedudukan dan kewenangan yang dimiliki oleh peradilan khusus pemilihan tersebut, selain itu apakah desain kelembagaannya akan diletakkan di salah satu badan peradilan dibawah Mahkamah Agung atau dibentuk lembaga lain diluar lingkungan peradilan tersebut sebagai quasi peradilan. Ketidakjelasan lainnya dalam rumusan pasal a quo yakni yurisdiksi peradilannya berada di tingkatan mana, apakah berada di pusat, provinsi, atau kabupaten/kota.

Meninjau pelaksanaan sebelumnya, bahwa dinamika pelaksanaan fungsi Bawaslu yang menimbulkan konflik kepentingan serta dinamika putusan lembaga peradilan yang tumpang tindih dan bertentang satu dengan lainnya sehingga berdampak pada tidak ada eksekusi yang memadai dari KPU, menjadi landasan inisiasi lahirnya badan peradilan khusus pemilu. Inisiasi ini sebagai suatu ius constituendum, sehingga menurut Ispan Diar Fauzi ada 2 aspek yang harus diperhatikan dan dikaji secara komprehensif dalam mendesain peradilan khusus pemilu, yakni Desain Pengaturan dan Kelembagaan, serta Desain Kewenangan dan Yurisdiksi Pengadilan.[3]

Rancangan desain kewenangan peradilan khusus pemilu ini menurut penulis idealnya akan menerima, memeriksa, mengadili, dan memutus seluruh pelanggaran, kasus, atau sengketa yang menjadi kompetensi absolutnya, dengan ruang lingkup pelaksanaan pemilu serentak dan pemilihan kepala daerah serentak. Pertama, pelanggaran administrasi pemilu maupun pemilihan yang berpotensi diskualifikasi bagi peserta pemilu atau pasangan calon kepala daerah yang melanggar. Kedua, mengadili sengketa proses pemilu maupun pemilihan yang terjadi antarpeserta pemilu atau pasangan calon, dan sengketa peserta pemilu/pasangan calon dengan penyelenggara pemilu/pemilihan sebagai akibat ditetapkannya keputusan dan/atau berita acara KPU. Ketiga, mengadili dugaan tindak pidana pemilu maupun pemilihan, dan keempat, mengadili sengketa hasil pemilu atau pemilihan.

Pengadilan khusus pemilu didesain memiliki empat majelis khusus, di antaranya majelis khusus pelanggaran administrasi pemilu/pemilihan, majelis khusus sengketa proses pemilu/pemilihan, majelis pidana pemilu/pemilihan, dan majelis sengketa hasil pemilu/pemilihan.

Terkait komposisi hakim pada peradilan khusus pemilu, akan terdiri dari tiga orang hakim yang masing-masing berasal dari jalur hakim karier dan dua orang hakim ad hoc yang berasal dari akademisi atau praktisi hukum yang menguasai hukum kepemiluan. Ini untuk memberikan perspektif yang memperkaya kualitas putusan dalam mengadili perkara atau sengketa pemilu.

Pengadilan khusus pemilu nantinya didesain sebagai pengadilan pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final dan mengikat (final and binding). Putusan akhir yang inkracht dan tidak dapat dilakukan upaya hukum lagi. Putusan final and binding dimaksudkan agar putusan tersebut dapat langsung dilaksanakan (self executing).

Bentuk Peradilan Khusus Pemilu

Beberapa bentuk desain peradilan khusus pemilu telah diuraikan oleh berbagai pegiat pemilu. Dari beberapa uraian itu, Fritz Edward Siregar[4] dalam bukunya  Bawaslu Menuju Peradilan Pemilu, menguraikan model-model peradilan khusus pemilu yang dapat diterapkan di Indonesia. Model ini masih bersifat dinamis dengan penyesuaian struktur dan konten.

Pertama, badan peradilan khusus pemilu yang berada di bawah Mahkamah Agung. Ketentuan yuridis terkait pembentukan pengadilan khusus dapat dijumpai dalam Pasal 1 angka 8 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, yang menjelaskan, “Pengadilan khusus adalah pengadilan yang mempunyai kewenangan untuk memeriksa, mengadili, dan memutus perkara tertentu yang hanya dapat dibentuk dalam salah satu lingkungan badan peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung yang diatur dalam undang-undang.”

Pengadilan khusus yang sudah terbentuk saat ini yang juga diatur dalam undang-undang tersendiri, sebut saja pengadilan tindak pidana korupsi dengan dasar Undang-Undang Nomor 46 Tahun 2009 tentang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, pengadilan HAM dengan dasar Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia, dan pengadilan pajak dengan dasar Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak.[5]

Pengaturan peradilan khusus ini merupakan peradilan yang bersifat ad hoc dengan kewenangan memeriksa, mengadili, dan memutus perkara pemilu yang dibentuk dalam lingkungan peradilan di bawah Mahkamah Agung. Dengan memperhatikan kompleksitas tahapan pilkada dan pemilu serentak, maka lingkungan peradilan umum merupakan lingkungan yang paling relevan sebagai induk dari pengadilan khusus pemilu ini.

Agar dapat dilaksanakan inisiasi ini, maka peradilan khusus pemilu harus dibentuk dengan dasar undang-undang. Alternatifnya dengan melakukan perubahan atau pembentukan UU Pemilu maupun UU Pilkada yang baru, yang di dalamnya dapat disisipkan ketentuan peradilan pemilu ini. Dalam konteks UU Kekuasaan Kehakiman, karena peradilan yang dibentuk bersifat ad hoc, maka hakimnya juga bersifat ad hoc. Dari itu, pengadilan khusus pemilu dapat dimaknai sebagai pengadilan khusus yang bersifat sementara untuk menerima, memeriksa, mengadili, dan memutus perkara pemilu yang diajukan sesuai dengan kewenangannya.

Jika alternatif ini yang diadopsi, maka pembentukan peradilan khusus pemilu akan dibentuk saat menjelang proses tahapan pemilu, yaitu paling lambat 6 (enam) bulan sebelum tahapan pemilu dimulai, dan berakhir paling lambat 1 (satu) tahun setelah seluruh tahapan penyelenggaraan pemilu selesai.

Adapun kedudukan peradilan khusus pemilu, berada sesuai dengan kompetensi dan tingkatan daerah. Peradilan khusus pemilu untuk mengadili objek sengketa yang ditetapkan lembaga penyelenggara pemilu di pusat, akan melekat di Mahkamah Agung. Sedangkan objek sengketa yang ditetapkan oleh lembaga penyelenggara pemilu di tingkat provinsi, maka melekat pada peradilan tinggi pada level provinsi. Demikian pula objek sengketa yang ditetapkan oleh penyelenggara pemilu tingkat kabupaten/kota, maka peradilan khusus pemilu melekat di pengadilan negeri setempat.

Kedua, badan peradilan khusus pemilu sebagai badan otonom. Inisiasi ini muncul saat Mahkamah Konstitusi dan Mahkamah Agung menolak diberi tugas dan kewenangan tambahan, sehingga pilihan paling realistis adalah membentuk peradilan yang berdiri sendiri, dengan posisi sejajar dengan kedua lembaga yudisial tersebut, yang disebut dengan mahkamah pemilu.

Dalam uraian Fritz Edward Siregar, bahwa di Brazil dan Meksiko sudah lebih dulu membentuk peradilan khusus pemilu yang bersifat otonom di luar badan peradilan yang sudah ada. Brazil membentuk Tribunal Superior Electoral (TES), dan Meksiko mebentuk Tribunal Electoral del Poder Judicial de la Federacion (TEPJF). Secara umum pembentukan lembaga peradilan khusus pemilu di dua negara tersebut dipandang menghasilkan kombinasi yang baik antara pelaksanaan tugas administrasi dan penanganan sengketa pemilu.

Namun, langkah ini memperoleh hambatan dengan terlebih dahulu melakukan amandemen konstitusi, UUD 1945. Sementara perubahan konstitusi merupakan perkara yang tidak gampang, dibutuhkan momentum tepat melakukannya.

Selain dua model yang disebutkan di atas, penulis juga mengusulkan alternatif model peradilan khusus pemilu yang dapat diterapkan di Indonesia. Ketiga, peradilan khusus pemilu yang bersifat semi peradilan. Langkah ini ditempuh dengan melakukan perubahan atas UU Pemilu dan UU Pilkada, dengan menyisipkan ketentuan yang menjadi dasar pembentukan dan pelaksanaan tugas (wewenang) peradilan khusus pemilu yang bersifat semi peradilan, quasi peradilan. Langkah ini terbilang lebih realistis karena cukup melakukan perubahan atas undang-undang terkait, dan telah ada perbandingan di berbagai lembaga semi peradilan lainnya di Indonesia.

Lebih lanjut Jimly Asshiddiqie menjabarkan lembaga yang bersifat semi peradilan merupakan lembaga yang diberi wewenang mengadili tetapi tidak disebut pengadilan, beberapa di antaranya berbentuk komisi, dewan maupun badan.[6] Lembaga semi peradilan pada umumnya bersifat campuran dalam arti memiliki kewenangan campur-sari antara fungsi administrasi atau eksekutif, fungsi regulasi atau legislatif, dan fungsi mengadili atau yudikatif. Kadang-kadang campuran dua fungsi dan kadang-kadang ada juga yang campuran tiga fungsi.

Salah satu contoh lembaga semi peradilan adalah Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) yang dibentuk berdasarkan Undang-undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2002 Tentang Penyiaran. KPI memiliki fungsi sebagai regulator (pembentuk peraturan) penyelenggaraan penyiaran di Indonesia sekaligus menjatuhkan sanksi apabila terjadi pelanggaran terhadap peraturan perundang-undangan oleh lembaga penyiaran publik. Contoh lainnya adalah Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) yang dibentuk untuk mengawasi pelaksanaan Undang-Undang Nomor 5 tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.

KPPU memiliki kewenangan untuk membuat regulasi dalam rangka menjabarkan ketentuan undang-undang dan pada saat yang bersamaan, KPPU juga memiliki kewenangan untuk melaksanakan sendiri semua ketentuan undang-undang dan termasuk peraturan-peraturan yang dibuatnya sendiri dalam rangka pengawasan persaingan usaha yang sehat. Tetapi, KPPU juga ditentukan oleh UU merupakan lembaga yang harus berdiri sebagai pengadilan untuk memeriksa sengketa persaingan usaha dan memberi kesempatan para pihak untuk membuktikan atau pun membela diri dengan kontra bukti, serta menjatuhkan sanksi yang mengikat bagi pihak yang terbukti bersalah. Dengan demikian, lembaga ini jelas memiliki fungsi campuran, mulai dari sebagai regulator, administrator, dan bahkan adjudikator yang bersifat quasi-yudisial.

Daftar Pustaka

Fritz Edward Siregar. 2018. Bawaslu Menuju Peradilan Pemilu, Jakarta: Themis Publishing.
Jimly Asshiddiqie. 2013. Pengadilan Khusus. Jakarta: Komisi Yudisial.
Ispan Diar Fauzi. 2018. Desain Badan Peradilan Khusus Pemilihan Kepala Daerah Dalam Rangka Menghadapi Pemilihan Kepala Daerah Serentak Nasional Tahun 2024. Jurnal Adhyasta Pemilu Vol.4 No.1. Jakarta: Bawaslu.
Ida Budiarti. 2018. Bawaslu Diusulkan untuk Diganti Menjadi Pengadilan Pemilu, Sumber: https://regional.kompas.com/read/2018/07/21/08221281/bawaslu-diusulkan-untuk-diganti-menjadi-pengadilan-pemilu, diakses tanggal 2 Agustus 2020.

Catatan Kaki

[1]Didik Supriyanto dalam Fritz Edward Siregar. 2018. Bawaslu Menuju Peradilan Pemilu, Jakarta: Themis Publishing. hlm. 75.
[2]Ida Budiarti, 2018, Bawaslu Diusulkan untuk Diganti Menjadi Pengadilan Pemilu, Sumber: https://regional.kompas.com/read/2018/07/21/08221281/bawaslu-diusulkan-untuk-diganti-menjadi-pengadilan-pemilu, diakses tanggal 2 Agustus 2020.
[3] Ispan Diar Fauzi, 2018, Desain Badan Peradilan Khusus Pemilihan Kepala Daerah Dalam Rangka Menghadapi Pemilihan Kepala Daerah Serentak Nasional Tahun 2024, Jurnal Adhyasta Pemilu Vol.4 No.1. Jakarta.
[4] Fritz Edward Siregar, Bawaslu … Op Cit, hlm. 78-84.
[5] Ispan Diar Fauzi, 2018, Desain … Op Cit, hlm. 35.
[6] Jimly Asshiddiqie, 2013, Pengadilan Khusus, Jakarta: Komisi Yudisial.