Sanksi Administrasi dalam Penegakan Keadilan Pemilu

324 Views

SANKSI ADMINISTRASI DALAM PENEGAKAN KEADILAN PEMILU
Oleh: Ruslan Husen

Proses Pemilu di Indonesia masih diwarnai bermacam pelanggaran, terjadi karena kesengajaan maupun kelalaian. Meski banyak ketentuan hukum harus ditaati, dipedomani, dan dilaksanakan para pihak, nyatanya pelanggaran Pemilu terus terjadi terutama dilakukan oleh peserta Pemilu. 

Pelanggaran didefinisikan sebagai perbuatan (perkara) yang melanggar peraturan yang ditetapkan. Pelanggaran dapat dilakukan banyak pihak bahkan dapat dikatakan semua orang memiliki potensi melakukan pelanggaran.[1] Pelanggaran Pemilu terdiri atas pelanggaran administratif, pidana, etika penyelenggara Pemilu, dan pelanggaran peraturan hukum lainnya. Dari bentuk sanksi terhadap peserta Pemilu yang melanggar, ternyata paling ditakuti peserta Pemilu bentuk sanksi administratif.

Pelanggaran administratif Pemilu adalah perbuatan atau tindakan yang melanggar tata cara, prosedur, atau mekanisme yang berkaitan dengan administrasi pelaksanaan Pemilu dalam setiap tahapan penyelenggaraan Pemilu. Bawaslu menerima, memeriksa, mengkaji, dan memutus dugaan pelanggaran administratif Pemilu melalui acara biasa sesuai dengan tempat terjadinya pelanggaran, dalam waktu paling lama 14 hari kerja setelah temuan dan laporan diterima dan di registrasi.

Pemeriksaan dugaan pelanggaran administrasi Pemilu dilakukan secara terbuka oleh Majelis Pemeriksa yang terdiri dari Ketua dan Anggota Bawaslu, dengan dibantu oleh pejabat struktural dan staf pendukung Bawaslu. Produk penyelesaian pelanggaran administratif Pemilu dalam bentuk putusan, yang wajib ditindaklanjuti oleh KPU paling lama 3 hari kerja sejak tanggal putusan dibacakan.

Lalu apa bentuk sanksi administratif itu? Pasal 461 ayat (6) Undang-Undang Nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu) memuat beberapa jenis sanksi administratif Pemilu, yakni :

  • perbaikan administrasi terhadap tata cara, prosedur, atau mekanisme sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
  • teguran tertulis;
  • tidak diikutkan pada tahapan tertentu penyelenggaraan Pemilu; dan 
  • sanksi administratif lainnya sesuai dengan ketentuan dalam UU Pemilu.

Pertimbangan putusan Bawaslu memperhatikan pokok laporan terlapor, jawaban terlapor, hasil pembuktian berupa pemeriksaan alat bukti yang diajukan para pihak, dan kesimpulan para pihak. Putusan dibuat dalam sebuah format baku layaknya putusan pengadilan. Putusan akhir memuat kepala putusan, dengan irah-irah “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”, identitas para pihak, jawaban/kesimpulan para pihak, pertimbangan hukum, dan amar putusan.

Atas putusan Bawaslu Provinsi atau Bawaslu Kabupaten/Kota, pihak yang merasa dirugikan baik Pelapor atau Terlapor dapat mengajukan permintaan koreksi secara langsung kepada Bawaslu RI di Jakarta. Dalam masa waktu 3 hari kerja sejak putusan Bawaslu setempat dibacakan.

Penjatuhan putusan Bawaslu harus dimaknai sebagai upaya penegakan keadilan Pemilu. Keadilan Pemilu merupakan instrumen menegakkan hukum dan menjamin penerapan prinsip demokrasi melalui Pemilu yang jujur dan adil. Keadilan Pemilu dikembangkan untuk mencegah pelanggaran pelaksanaan Pemilu, sekaligus sebagai sarana dan mekanisme untuk membenahi pelanggaran tersebut dan memberikan sanksi kepada pelaku pelanggaran.[2]

Norma dan nilai keadilan Pemilu tidak hanya terbatas pada proses penegakan hukum Pemilu, tetapi merupakan salah satu faktor dalam merancang dan menjalankan seluruh proses Pemilu. Norma dan nilai ini dapat bersumber dari budaya dan kerangka hukum yang hidup berkembang dalam kehidupan sosial masyarakat ataupun dari instrumen hukum nasional dan internasional.

Belum Dimengerti

Pada perhelatan Pemilu sebelumnya tidak dikenal adanya sanksi administratif, nanti pada pelaksanaan Pemilu tahun 2019 sanksi administratif mulai dikenal di samping sanksi pidana Pemilu, dan sanksi lainnya. Sanksi administratif hakikatnya menekankan pada upaya korektif atas perbuatan dan tindakan yang terkait dengan proses administrasi tahapan Pemilu, baik dilakukan Penyelenggara Pemilu (khususnya KPU) maupun peserta Pemilu. Secara faktual terdapat kondisi tahapan Pemilu yang tidak semestinya dari sisi tata cara, prosedur, dan mekanisme tahapan Pemilu sesuai ketentuan UU Pemilu. Dan, Bawaslu bersama jajarannya berwenang memulihkan kondisi yang tidak semestinya itu lewat mekanisme penyelesaian pelanggaran administratif Pemilu, baik dengan acara cepat maupun dengan acara biasa.

Penanganan pelanggaran administratif Pemilu merupakan penindakan pelanggaran Pemilu, ini dimaknai upaya itu bukan lagi pelaksanaan fungsi pencegahan. Serangkaian kegiatan penindakan pelanggaran dengan berpedoman pada UU Pemilu dan Peraturan Bawaslu Nomor 8 tahun 2018 tentang Penyelesaian Pelanggaran Administratif Pemilu. Regulasi ini memberi pedoman tentang wewenang, majelis pemeriksa, objek pelanggaran, mekanisme temuan dan laporan pelanggaran, bukti, sanksi, pemeriksaan pendahuluan, sidang pemeriksaan, dan putusan. Dalam bagian akhir Peraturan Bawaslu, diatur tentang mekanisme pemeriksaan dengan acara cepat, dan koreksi.

Memahami konstruksi regulasi secara holistic apalagi dalam waktu singkat, tersimpan tantangan berat, termasuk giat Penyelenggara Pemilu memahami dan menerapkan regulasi dimaksud. Pada posisi demikian, Penyelenggara Pemilu dapat kesulitan memahami mendetail regulasinya terutama saat belum dibekali, apalagi posisi peserta Pemilu yang tidak pernah diberi materi khusus tentang regulasi teknis tersebut. Mereka harus memahami dan melaksanakan ketentuannya, dalam upaya mempertahankan atau memulihkan hak politiknya.

Posisi ini menempatkan Pengawas Pemilu-lah yang paling mengetahui makna dan maksud dari regulasi teknis itu. Olehnya, kiprah Pengawas Pemilu harus berlaku jujur dan adil dalam memberikan pelayanan kepada semua pihak, terutama peserta Pemilu. Pelayanan maksimal yang menerapkan prinsip keadilan, kemanfaatan, dan kepastian hukum. Pelayanan kepada peserta Pemilu secara transparan dan profesional.

Sanksi Administrasi Lebih Ditakuti

Fungsi sanksi hukuman memberi efek jera kepada pelaku yang melanggar, sekaligus memberi peringatan kepada mereka yang ingin mencoba-coba melanggar. Dalam UU Pemilu terdapat berbagai bentuk sanksi, ada sanksi pidana Pemilu, sanksi administratif, dan sanksi etika bagi Penyelenggara Pemilu, serta sanksi yang dijatuhkan berdasarkan peraturan perundang-undangan lainnya.

Bagi peserta Pemilu, sanksi yang paling ditakuti adalah sanksi administratif, karena berhubungan langsung dengan tujuan dan kepentingan eksistensi sebagai peserta Pemilu dan pemegang daulat rakyat-sebagai calon terpilih. Sanksi yang diputuskan oleh Bawaslu dapat memuat : pencoretan dari Daftar Calon tetap (DCT) peserta Pemilu, Pembatalan sebagai calon terpilih ketika selesai tahapan perhitungan suara, Tidak diikutkan dalam tahapan tertentu dalam tahapan Pemilu, Tidak mengikuti tahapan Pemilu berikutnya.

Menurut Didik Supriyanto, sanksi administratif lebih mudah dilakukan dan lebih mudah dijatuhkan, tapi dengan efek lebih ditakuti khususnya bagi pemilih, calon, dan Partai Politik.[3] Berangkat dari kenyataan ini, UU Pemilu perlu memperkuat penjatuhan sanksi pidana yang diikuti dengan penjatuhan sanksi administratif. Setidaknya itu nampak ketika putusan pengadilan telah berkekuatan hukum tetap, yang ditindaklanjuti KPU dengan memberikan sanksi administratif. Misalnya sanksi pidana politik uang (money politics) yang diikuti dengan sanksi diskualifikasi sebagai peserta Pemilu, atau pembatalan sebagai calon terpilih jika selesai tahapan perhitungan suara.

Konsekwensi sanksi administratif bagi peserta Pemilu perlu ketahui, agar maksimal menjadi peringatan pihak yang mencoba melanggar. Sekaligus memberi efek jera kepada pelaku pelanggaran tata cara, mekanisme, dan prosedur administratif tahapan Pemilu atau pihak yang melanggar ketentuan pidana Pemilu.

Apalagi permintaan koreksi atas putusan, yang diajukan pihak Pelapor atau Terlapor akan cenderung ditolak oleh Bawaslu RI. Bawaslu RI percaya dengan jajarannya dalam menerapkan aturan hukum memutus pelanggaran administratif Pemilu. Pada sisi lain, kelembagaan Bawaslu didesain secara hierarkis, dalam konteks ini penyampaian laporan, monitoring, dan konsultasi terus dilakukan sehingga putusan Bawaslu setempat sangat dipengaruhi oleh arahan dan hasil koordinasi dengan Bawaslu RI. Ini juga nampak saat pengajuan koreksi putusan sengketa proses Pemilu, Bawaslu RI senantiasa menolak permintaan koreksi dan menguatkan putusan Bawaslu Provinsi atau Bawaslu Kabupaten/Kota.

Bawaslu menjatuhkan putusan atas pelanggaran administratif Pemilu setelah melalui proses pemeriksaan laporan atau temuan melalui sidang pemeriksaan. Saat objek kasus/perkara merupakan temuan Pengawas Pemilu, maka Bawaslu tidak serta merta menganggap terpenuhi unsur pelanggaran. Tetapi terlebih dahulu melakukan serangkaian proses pemeriksaan sebagai bagian menegakkan keadilan Pemilu. Saat memeriksa, mengadili, dan memutus objek perkara, posisi majelis pemeriksa Bawaslu harus objektif dan adil selayaknya “Hakim” yang memutus sesuai dengan hati nurani dengan memperhatikan fakta hukum, bukti dan keterangan yang disampaikan di muka sidang pemeriksaan.

Dengan posisi Bawaslu seperti itu, banyak pihak mengkritik fungsi Bawaslu, di satu sisi sebagai penemu dugaan pelanggaran adminitratif Pemilu. Kemudian di sisi yang lain, bertindak sebagai pengadil atas temuan Pengawas Pemilu. Ada kecenderungan sikap dan pendapat Bawaslu sama, saat melaksanakan fungsi pengawasan lewat hasil temuan dengan sikap dan pendapat saat menjatuhkan putusan. Idealnya dua fungsi berbeda itu juga dilaksanakan oleh lembaga yang berbeda.

Demikianlah, norma dan ketentuan dalam UU Pemilu dan peraturan teknisnya. Ketentuan itu menjadi pedoman, acuan, dan rambu-rambu dalam pelaksanaan Pemilu serentak tahun 2019, yang harus ditaati oleh Penyelenggara Pemilu, peserta Pemilu, dan semua pihak stakeholders Pemilu. Jika ketentuan tersebut ingin diubah dalam perhelatan pesta demokrasi berikutnya, maka itu sah diinisiasi oleh pembentuk undang-undang.

Pemeriksaan Acara Cepat

Tidak semua pelanggaran administratif Pemilu harus diselesaikan lewat mekanisme pemeriksaan acara biasa (sidang pemeriksaan) dalam waktu 14 hari kerja. Terdapat mekanisme pemeriksaan “acara cepat” yang dapat ditempuh oleh Pengawas Pemilu sebagai bentuk penindakan alternatif yang efektif dan efesien, tapi dengan out put putusan sanksi yang sama dengan sanksi dari mekanisme pemeriksaan acara biasa.

Penyelesaian pelanggaran administratif Pemilu melalui acara cepat dapat diselesaikan di tempat kejadian dengan mempertimbangkan kelayakan dan keamanan setempat, dilaksanakan paling lama 2 (dua) hari sejak laporan diterima oleh Pengawas Pemilu sesuai dengan kewenangan masing-masing.

Pertama, objek kejadian masih berlangsung. Misalnya dalam pelaksanaan kampanye Pemilu melalui iklan di media massa cetak atau pemasangan APK di tempat yang merupakan fasilitas pemerintah, Pengawas Pemilu lebih dahulu menggunakan langka fungsi pencegahan pelanggaran. Jika terjadi pelanggaran, maka diselesaikan lewat acara cepat yang secara faktual objek pelanggaran masih berlangsung. Dalam kasus tersebut : iklan masih tayang/terbit, dan APK masih terpasang.

Kedua, jelas ketentuan norma yang mengatur. Ketentuan norma dalam UU Pemilu dan peraturan teknisnya ada yang bersifat terang dan sederhana, karena merupakan norma turunan sepanjang pelaksanaan pesta demokrasi (Pemilihan dan Pemilu), dan ada norma hasil politik hukum pembentuk undang-undang berdasarkan konteks kebutuhan, ruang, dan waktu. Atau secara tekstual dan praktek dapat dipahami dengan mudah tanpa potensi pemahaman multi tafsir. Untuk ketentuan norma yang jelas, ketika ada kejadian/temuan dapat diambil kesimpulan/putusan berupa melanggar atau tidak melanggar ketentuan administratif Pemilu.

Selanjutnya, putusan Pengawas Pemilu dengan mekanisme pemeriksaan acara cepat dibacakan secara terbuka dan dapat dihadiri oleh para pihak. Selanjutnya salinan putusan disampaikan kepada para pihak pada hari yang sama setelah putusan dibacakan.


[1] Uu Nurul Huda, 2018, Hukum Partai Politik dan Pemilu di Indonesia, Fokusmedia, Jakarta, hlm. 272.
[2] Cetro (Penyunting), 2010, Keadilan Pemilu: Ringkasan Buku Acuan International IDEA, International IDEA, Bawaslu RI, dan CETRO, Jakarta, hlm. 5.
[3] Didik Supriyanto dalam Luky Sandra Amalia dkk, 2016, Evaluasi Pemilu Legislatif 2014; Analisis Proses dan Hasil, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, hlm. 131.

Pencalonan Mantan Terpidana Korupsi Dalam Perspektif Pengawas Pemilu

201 Views

Perdebatan pencalonan mantan terpidana korupsi dalam Pemilu pernah mencuat, pasca KPU tidak meloloskan bakal calon anggota legislatif mantan narapida korupsi, bandar narkoba dan pelaku kekerasan seksual terhadap anak. KPU mencoret dan menyatakan bakal calon yang diajukan Partai Politik itu, dengan status tidak memenuhi syarat (TMS). Pelarangan ini dinilai agar ke depan terwujud penyelenggaraan pemerintahan bersih yang bebas dari korupsi, kolusi dan nepotisme.

Keputusan KPU beranjak dari dasar hukum, PKPU Nomor 20 tahun 2018 tentang Pencalonan Anggota Legislatif, bahwa Partai Politik (Parpol) dalam seleksi internal untuk pengusulan bakal calon anggota legislatif dilarang menyertakan narapidana korupsi, bandar narkoba dan kekerasan seksual terhadap anak. Regulasi ini telah ditetapkan dan telah disosialisasikan, Parpol diharapkan menaati dan melaksanakan. Dan, KPU menilai ketaatan Parpol saat pengajuan calon anggota legislatif turut menyertakan dan menandatangani pakta integritas, dengan muatan di atas. Tetapi ternyata, tetap memuat calon-calon yang bermasalah tadi.

Sementara, pandangan Bawaslu ternyata berbeda. Pasca Bawaslu mengabulkan permohonan sengketa proses Pemilu atas pokok perkara yang diajukan Parpol. Sebelumnya KPU menetapkan calon anggota legislatif mantan narapidana korupsi, bandar narkoba dan kekerasan seksual terhadap anak, tidak memenuhi syarat. Namun, lewat putusan Bawaslu mengabulkan permohonan sengketa yang diajukan Parpol, berupa meloloskan calon yang sebelumnya dinyatakan TMS oleh KPU sebagai calon anggota legislatif, sekaligus memerintahkan KPU untuk menetapkan yang bersangkutan dalam Daftar Calon Tetap (DCT) agar memiliki hak politik ikut kontestasi sebagai Peserta Pemilu.

Upaya Pencegahan

Bukan hanya KPU dan masyarakat yang mengharap lahir pemimpin yang bersih, pemimpin yang tidak memiliki beban masa lalu sebagai pelaku ekstra ordinary crime, Bawaslu juga mengharapkan agar Parpol lewat seleksi internal dapat pengajuan calon anggota legislatif yang memiliki kapasitas handal, memiliki kualitas spiritual-moral yang mapan, serta terjaga dari hal-hal tercela.

Bahkan lewat kerja-kerja pencegahan, Bawaslu telah menghimbau Parpol untuk tidak mengajukan calon yang pernah dipidana korupsi, bandar narkoba dan kekerasan seksual terhadap anak. Tetapi ternyata Parpol tetap mengajukan calon yang dinilai bermasalah tadi, hingga KPU menyatakan tidak memenuhi syarat bakal calon yang diajukan itu. Dasar KPU adalah PKPU pencalonan anggota legislatif.

Lewat kerja-kerja pencegahan Bawaslu berupa penyampaian himbauan kepada Parpol. Ada parpol yang lantas mengikuti himbauan Bawaslu, dengan membatalkan pengajuan bakal calon terpidana korupsi. Langkah itu diikuti dengan informasi dan pembangunan opini bahwa Ia adalah Parpol yang pro terhadap penegakan hukum dan pemberantasan korupsi, buktinya Parpol itu tidak mengajukan bakal calon mantan terpidana korupsi.

Mengatakan Bawaslu sebagai Lembaga yang pro terhadap koruptor, dari kenyataan ini adalah salah. Bawaslu telah mengambil kebijakan strategis, langkah pencegahan agar Parpol dapat mengajukan bakal calon yang memiliki kapasitas dan bukan terpidana korupsi. Semua menyetujui korupsi adalah masalah besar di Indonesia. Juga disetujui bahwa dana rakyat harus dilindungi dari pihak-pihak yang korup, namun ada hak individu, ada hak orang yang dilindungi UUD dan UU Pemilu.

Jika dalam proses adjudikasi, sikap Bawaslu ternyata berubah, itu soal lain. Proses adjudikasi adalah proses penegakan keadilan Pemilu dengan dasar keyakinan hakim memutus permohonan sesuai dengan fakta persidangan. Dasar argumentasi Bawaslu menjatuhkan vonis dengan menggunakan prinsip hukum dan teori norma, yang umum digunakan Hakim dalam memutus perkara atau permohonan di persidangan.

Penegakan Keadilan Pemilu

Kerangka hukum Pemilu didesain mengatur mekanisme dan penyelesaian permasalahan hukum penyelenggaraan Pemilu. Tujuannya memberikan kepastian hukum dan solusi dalam pelaksanaan tahapan Pemilu, sehingga keadilan bagi seluruh pihak dapat terpenuhi. Kerangka penegakan hukum Pemilu juga mengatur proses penyelesaian sengketa proses Pemilu, yang timbul dari ditetapkannya Keputusan KPU, dan keputusan itu dinilai melanggar hak politik dari peserta Pemilu. Hingga mengajukan permohonan sengketa untuk diputus oleh Bawaslu lewat mekanisme sidang adjudikasi.

Dalam pertimbangan hukum Bawaslu yang dituangkan dalam putusan sengketa proses Pemilu untuk kasus pencalonan mantan terpidana korupsi, setidaknya dapat ditemui beberapa hal yang menjadi dasar argumentasi. Pertama, hak konstitusional warga negara. Setiap orang memiliki hak dan kewajiban konstitusional yang dijamin dalam peraturan perundang-undangan, termasuk hak warga negara Indonesia. Hak itu merupakan hak dasar yang diberikan oleh negara melalui Undang-Undang, termasuk hak memilih dan dipilih sepanjang memenuhi persyaratan sebagaimana disebutkan dalam Undang-Undang.

Saat ada pembatasan hak, terhalanginya hak seseorang untuk dipilih dalam kontestasi Pemilu, tentu merupakan pelanggaran Undang-Undang. UU Pemilu tidak memuat larangan atas mantan terpidana korupsi, bandar narkoba dan kekerasan seksual terhadap anak untuk dicalonkan sebagai peserta Pemilu. Olehnya, Para pihak termasuk lembaga negara secara ketat harus memberikan perlindungan atas hak konstitusional warga negara. Menjadi masalah, ketika malah lembaga negara yang membatasi pelaksanaan hak konstitusional warga negara.

Kedua, Melaksanakan ketentuan dalam Undang-Undang. Dasar hukum yang diakui dan menjadi rujukan pihak KPU dan Bawaslu adalah Undang-Undang Nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilu. Bawaslu menilai, Undang-Undang Pemilu tidak menggariskan larangan bagi narapidana korupsi, bandar narkoba dan kekerasan seksual terhadap anak untuk mencalonkan diri, termasuk tidak ada larangan bagi Partai Politik untuk mencalonkannya.

Undang-Undang Pemilu sudah menyatakan, bahwa seorang mantan narapidana yang telah menyelesaikan masa hukumannya, dapat mencalonkan diri sebagai calon anggota legislatif selama yang bersangkutan sudah mengumumkan kepada publik bahwa pernah berstatus sebagai narapidana dan sudah menjalani hukuman. Dalam hal ini, mantan narapidana kasus korupsi mempunyai hak politik, sama dengan warga negara yang lain, suatu hak yang dijamin oleh konstitusi.

Ketiga, PKPU sebagai penjabaran teknis dari Undang-Undang, bukan sebaliknya yang membatasi hak konstitusional. Undang-Undang Pemilu menjadi dasar penyelenggaraan tahapan pemilihan legislatif dan pemilihan Presiden-Wakil Presiden tahun 2019. Lembaga penyelenggara pemilu, baik Bawaslu, KPU dan DKPP lantas menjabarkan pengaturan lebih lanjut ke dalam peraturan yang lebih teknis. Peraturan teknis ini, idealnya sinkron dan menjabarkan peraturan yang lebih tinggi. Akan fatal jadinya, jika peraturan teknis malah memunculkan norma baru yang secara subtansi bertentangan dengan peraturan diatasnya.

Keempat, Hak konstitusional hanya bisa dibatasi oleh Undang-Undang dan Putusan Pengadilan. Indonesia adalah negara hukum. Penyelesaian masalah dan pengaturan kehidupan berbangsa didasarkan pada norma hukum, yang diwujudkan dengan peraturan tertulis. Hak dan kewajiban warga negara banyak ditemukan dalam UUD dan UU, termasuk hak politik, hak untuk dicalonkan sebagai peserta Pemilu.

Selain UU, yang dapat membatasi pelaksanaan hak seseorang adalah putusan pengadilan. Hukum positif hingga kini tidak melarang mantan narapidana mencalonkan diri dalam pemilihan legislatif dan hanya pengadilanlah yang mempunyai kewenangan untuk mencabut hak politik seseorang.

Beberapa putusan hakim yang ditangani KPK atas kasus ekstra ordinary crime, turut menjatuhkan pidana tambahan, berupa pencabutan hak politik sebagai Pemilih dan hak untuk dipilih. Tetapi pencabutan hak politik itu, selain sangat selektif juga ada pembatasan masa waktu berlaku. Suatu saat jika masa berlaku pencabutan hak politik berakhir, yang bersangkutan dapat ikut menggunakan hak politiknya kembali sebagai hak yang dijamin dalam konstitusi.

File PDF dapat didownload di bawah ini :

[sdm_download id=”711″ fancy=”0″]
[sdm_download_counter id=”711″]