LOYALITAS DAN ETIK
Oleh: Ruslan Husen
“Segera kirimkan laporan hasil pengawasan atas kegiatan kampanye Pemilu di daerah saudara agar jelas langkah/kebijakan yang akan diambil dengan peran kita sebagai Pengawas Pemilu. Informasi awal, ada kegiatan kampanye salah satu Parpol dilaksanakan di lapangan, dan ini potensi pelanggaran kampanye rapat umum karena belum saatnya dilaksanakan,” Instruksi Najib pada Selvy.
Najib merupakan Ketua Bawaslu Provinsi yang menginstruksikan kepada Selvy yang merupakan Ketua Bawaslu Kabupaten. Telah menjadi standar operasional prosedur pengawasan, yakni setelah melakukan pengawasan akan ditindaklanjuti dengan menyusun Laporan Hasil Pengawasan (LHP) sebagai bahan rapat pleno pimpinan. Dalam rapat pleno akan dibahas informasi, fakta dan data untuk menentukan apakah ada pelanggaran atau tidak. Sekaligus menentukan langkah pencegahan dan penindakan yang akan perlu dilakukan.
“Siap Pak, segera kami kirimkan,” tanggap Selvy.
Seketika Selvy memerintahkan staf dan jajarannya di Kabupaten untuk membuat dan menyerahkan LHP, terutama yang bertugas melakukan pengawasan di kecamatan tempat pelaksanaan kampanye untuk dikompilasi dan dikirimkan kepada Najib, Ketua Bawaslu Provinsi.
Tergambar dari LHP yang dikirimkan Selvy, memuat salah satu Parpol peserta Pemilu telah melaksanakan kampanye di lapangan terbuka menggunakan tenda terowongan dengan penggunaan pembatas kain mengelilingi peserta kampanye di dalam tenda. Kampanye berlangsung dengan ijin dari kepolisian dalam bentuk Surat Tanda Terima Pemberitahuan (STTP) yang memuat keterangan kegiatan “kampanye tatap muka”.
“Dari uraian LHP, tergambar kampanye dilaksanakan menyerupai bentuk kampanye rapat umum, jika demikian halnya maka ini perlu ditindak sesuai ketentuan yakni penindakan pelanggaran melalui sidang pelanggaran administrasi.” Jelas Najib. “Bagaimana pandangan teman-teman di Kabupaten?” Kembali tanya Najib.
“Mohon ijin Pak, tapi menurut saya itu kampanye pertemuan tatap muka, bukan kampanye rapat umum.” Kelit Selvy.
“Pertimbangannya apa Bu?” Tanya Najib menguji.
“Mohon maaf Pak, kampanye pertemuan tatap muka, saya pahami dapat dilaksanakan di dalam gedung, gedung tertutup, gedung terbuka, dan luar ruangan. Sehingga jika kampanye dilaksanakan di lapangan dengan memakai tenda yang dibatasi-dikelilingi kain dapat dimaknai sebagai pengganti gedung terbuka, karena di kecamatan/desa tidak ada ruangan yang mampu menampung peserta kisaran 1.000 orang. Makanya dimaknai sebagai kampanye pertemuan tatap muka dan tidak ada pelanggaran atas jadwal rapat umum,” Jelas Selvy.
Kampanye dalam metode rapat umum hanya dapat dilaksanakan oleh peserta Pemilu tahun 2019 selama 21 (dua puluh satu) hari sampai dengan hari tenang, yakni mulai tanggal 24 Maret s/d 13 April 2019. Pelanggaran atas jadwal kampanye rapat umum tersebut, dapat berpotensi sanksi pelanggaran Pemilu berupa sanksi administratif, dan sanksi Pidana.
“Ini hanya masukan sebagai bahan kalian menyelenggarakan rapat pleno, bahwa dari LHP yang dikirim dan data/bahan yang telah didapatkan oleh Bawaslu Provinsi, ada indikasi bahwa kampanye yang dilaksanakan tersebut merupakan kampanye dalam bentuk rapat umum, sehingga dapat ditindaklanjuti dengan mekanisme penindakan pelanggaran,” Terang Najib. “Semoga keputusan/kebijakan yang diambil tidak keliru. Adapun hasil rapat pleno kalian, agar dikirimkan ke Provinsi untuk kami evaluasi lebih lanjut.” Tutup Najib.
“Siap Pak. Terima kasih.” Jawab Selvy yakin.
Ketentuan Norma
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu) yang dijabarkan lebih lanjut dengan peraturan teknis utamanya Peraturan KPU dan Peraturan Bawaslu, menggariskan metode kampanye yang dapat dilakukan oleh peserta Pemilu atau pelaksana yang ditunjuk untuk meyakinkan pemilih agar memilihnya di hari pemungutan suara. Metode kampanye tersebut antara lain: pertemuan terbatas, pertemuan tatap muka, dan rapat umum. Untuk ketiga metode kampanye ini, wajib Surat Tanda Terima Pemberitahuan (STTP) dari kepolisian. Walaupun dalam PKPU 23/2018 tentang Kampanye Pemilu hanya disebutkan peserta atau pelaksana kampanye wajib memberitahukan secara tertulis kepada kepolisian dengan tembusan pada Penyelenggara Pemilu (KPU-Bawaslu) akan rencana pelaksanaan kampanye. Tapi, bagi Pengawas Pemilu selain melaksanakan PKPU juga melaksanakan peraturan lain yang relevan, dalam hal ini Peraturan Kapolri Nomor 6 tahun 2012 tentang Tata Cara Pemberitahuan dan Penerbitan STTP Kampanye Pemilu, sehingga dalam pelaksanaan kampanye Pemilu, khusus ketiga metode kampanye tersebut wajib memiliki STTP.
Jika dalam pelaksanaan kampanye ternyata peserta Pemilu (Parpol, Pasangan calon Presiden atau calon anggota legislatif) tidak mengantongi STTP, maka Pengawas Pemilu akan mengambil langkah sebagai berikut. Pertama, menghimbau agar pelaksanaan kampanye ditunda sampai terbit STTP dari kepolisian. Himbauan ini bersifat pencegahan pelanggaran (persuasif) agar peserta Pemilu memahami dan melaksanakan ketentuan hukum Pemilu. Pengawas Pemilu tidak lantas mengambil langkah tegas serta-merta membubarkan kegiatan kampanye, karena sangat beresiko konflik. Sebab ini berhadapan dengan massa kampanye secara langsung, dan rentan untuk di provokasi melakukan tindakan tertentu. Sehingga himbauan menunda kegiatan kampanye adalah alternatif tindakan yang tepat.
Kedua, jika tetap melaksanakan kampanye tanpa STTP maka akan dijadikan sebagai temuan pelanggaran untuk ditindaklanjuti sesuai ketentuan hukum Pemilu. Penindakan kegiatan kampanye yang melanggar tata cara, mekanisme, dan prosedur maka penindakan pelanggaran dilakukan melalui sidang pelanggaran administrasi (cepat atau biasa). Dengan sanksi akhir pada terlapor dapat berupa teguran tertulis, sanksi tidak diikutkan dalam tahapan tertentu proses Pemilu, dan/atau bentuk sanksi lain yang diatur dalam UU Pemilu.
Kembali pada polemik penentuan status kampanye rapat umum atau bukan. Berdasar atas ketentuan metode kampanye Pemilu maka ketentuan atas kampanye pertemuan terbatas, dilaksanakan di gedung tertutup atau dalam ruangan. Pertemuan tatap muka, dilaksanakan di dalam ruangan, gedung tertutup, gedung terbuka, atau di luar ruangan. Adapun kampanye rapat umum, dilaksanakan di lapangan, stadion, alun-alun, dan tempat terbuka lainnya. Demikian tekstual norma dalam PKPU Nomor 23 tahun 2018 tentang Kampanye Pemilu.
Jika terdapat fakta kampanye dilaksanakan di lapangan dengan menggunakan tenda terowongan walaupun ditutup kain mengelilingi peserta, tetap dimaknai bahwa pelaksanaan kampanye tersebut di lapangan. Sehingga ketika kampanye dilaksanakan pada lapangan akan mengarah pada metode kampanye rapat umum. Jika terbukti rapat umum, berarti potensi pelanggaran sebab rapat umum berbatas waktu, pada waktu yang ditentukan sah untuk dilaksanakan. Akan keliru jika dimaknai, gedung terbuka disamakan dengan tenda terowongan yang ditempatkan di lapangan. Sifat gedung adalah permanen dan tidak dapat berpindah-pindah, bangunannya kokoh menyatu dengan tanah. Sementara sifat tenda terowongan tidak permanen yakni selesai kegiatan/sewa dapat dicabut atau dibongkar, untuk dipasang dan digunakan kembali di tempat lain.
Kampanye Biaya Murah
Pelaksanaan Pemilu secara serentak tahun 2019 dengan menggabungkan Pemilu Presiden dan Wakil Presiden dengan Pemilu Legislatif (DPR, DPD, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota) dengan semangat efisiensi biaya Pemilu. Tindak-lanjut berupa rumusan ketentuan hukum Pemilu yang dapat menekan biaya politik tinggi, dengan norma larangan serta ancaman. Misalnya dalam tahap pencalonan, ada larangan mahar politik dan ancaman sanksi diskualifikasi bagi calon dan ancaman bagi Parpol tidak dapat mengajukan pasangan calon presiden dan wakil presiden di Pemilu berikutnya. Contoh lain berupa, pembiayaan kampanye berupa alat peraga kampanye, iklan media cetak dan pembiayaan debat pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden oleh KPU dengan menggunakan pembiayaan dari keuangan negara.
Demikian pula pemasangan alat peraga kampanye dan penyebaran bahan kampanye yang diproduksi sendiri oleh peserta Pemilu, ada ketentuan batasan lokasi dan tempat yang dilarang. Ada ketentuan waktu pelaksanaan tahapan kampanye. Ada ketentuan batas jumlah pemasangan alat peraga kampanye. Pengaturan ditujukan agar prinsip keadilan dan kesetaraan antar peserta Pemilu dapat terlaksana, yakni masing-masing peserta Pemilu memiliki kesempatan keterpilihan yang sama, baik Parpol yang memiliki kemampuan finansial lebih maupun yang tidak memiliki kemampuan finansial memadai.
Desain pembiayaan dan batasan tersebut pada intinya ingin mengatur agar pelaksanaan Pemilu dapat berlangsung dengan biaya murah. Para peserta Pemilu walaupun tidak memiliki kemampuan finansial lebih, dengan sebagian pembiayaan kampanye oleh KPU, dapat menekan biaya politik tinggi oleh peserta Pemilu. KPU dapat membiayai pencetakan alat peraga kampanye dan membiayai pelaksanaan debat pasangan calon presiden dan wakil presiden sesuai kemampuan keuangan negara.
Demikian pula dengan pembatasan kampanye rapat umum yang berlangsung selama 21 hari sampai dengan hari tenang, karena metode kampanye model ini membutuhkan biaya yang sangat besar. Berupa pengerahan massa, penyiapan kebutuhan teknis, konsumsi dan transportasi peserta kampanye tentu memerlukan biaya yang tidak sedikit. Oleh karena itu, dengan prinsip efisiensi pembiayaan Pemilu lalu diberi batasan waktu dan tempat pelaksanaan rapat umum. Agar semua peserta Pemilu memiliki kesempatan yang sama menggelar kampanye ini. KPU mengatur jadwal pelaksanaannya, sehingga tidak ada yang kampanye rapat umum mendahului peserta yang lain. Pada posisi ini, Pengawas Pemilu bersama stakeholders terkait perlu hadir dalam mencegah dan menindak tegas pelaku yang melanggar.
Loyalitas dan Etika
Struktur kelembagaan Bawaslu berjenjang secara hirarkis. Bawaslu membawahi Provinsi, Provinsi membawahi Kabupaten/Kota, Kabupaten/Kota membawahi Panwaslu Kecamatan, Panwaslu Kecamatan membawahi Panwaslu Kelurahan/Desa, Panwaslu Kelurahan/Desa membawahi Pengawas TPS. Semuanya menjadi satu-kesatuan lembaga Pengawas Pemilu.
Dalam pelaksanaan tugas, wewenang dan kewajiban, pertanggung-jawaban kinerja ditemui melalui pelaporan dan pengambilan kebijakan pengawasan secara hierarki. Struktur kelembagaan, semakin ke jenjang terbawah maka lingkup urusan semakin teknis-praktis. Sebaliknya, struktur kelembagaan berjenjang ke atas akan mengerucut pada pengambilan kebijakan dan pendesain norma/ketentuan kinerja lembaga yang menjadi pedoman jajarannya dalam bertindak.
Demikian pula, pemegang pertanggung-jawaban akhir kerja-kerja Pengawas Pemilu secara kelembagaan dibebankan pada struktur tertinggi yakni Bawaslu yang berkedudukan di Jakarta. Mengapa seperti itu? Demikian struktur dan kebijakan kelembagaan Pengawas Pemilu. Makanya dikenal namanya supervisi dan konsultasi. Supervisi diperuntukkan bagi Bawaslu kepada jajarannya agar tetap dalam koridor integritas dan profesionalitas. Demikian pula dengan Pengawas Pemilu jajaran di bawah memakai mekanisme konsultasi guna mendapat petunjuk dan arahan atas masalah yang dihadapi kepada jenjang Bawaslu di atasnya.
Bawaslu menetapkan keanggotaan Bawaslu Provinsi dan Bawaslu Kabupaten/Kota setelah melalui serangkaian proses seleksi yang ketat. Selanjutnya, Bawaslu memberikan bimbingan teknis dan bentuk kegiatan lain agar Pengawas Pemilu dapat memahami dan mampu melaksanakan tugas, wewenang, dan kewajiban secara berintegritas dan profesional. Pada posisi ini, jajaran Pengawas Pemilu akan loyal kepada Bawaslu, sebab nasib sebagai Pengawas Pemilu ada ditangan Bawaslu, selanjutnya ditetapkan sebagai anggota berprestasi atau tidak sangat ditentukan oleh peran atasan, yakni Pengawas Pemilu yang lebih tinggi tingkatan secara berjenjang. Loyalitas, ketaatan, dan keramahan Pengawas Pemilu kepada atasannya sangat dampak saat pertemuan secara langsung, walaupun kadang berlebihan dan terkesan formalitas bahkan lebih karena takut. Dalam kondisi ini, akan ditemui Bawaslu di Kabupaten/Kota akan loyal kepada Bawaslu Provinsi apalagi loyalitas kepada Bawaslu.
Jika ada Bawaslu Kabupaten/Kota yang tidak melaksanakan instruksi Bawaslu Provinsi apalagi Bawaslu, maka kapasitas dan integritas menjalankan kerja-kerja sebagai Pengawas Pemilu patut disangsikan. Sebab, apakah ada alasan rasional untuk tidak melaksanakan arahan apalagi instruksi pimpinannya, atau mengambil langkah lain yang cenderung kontra-produktif dengan apa yang diarahkan. Sementara penanggung-jawab akhir tetap ada di atasan Pengawas Pemilu secara berjenjang, semakin ke bawah kerja-kerja pengawasan semakin teknis.
Oleh karena ini kejadian langkah, maka patut ditelisik bahwa ada yang lebih ditakutkan oleh Pengawas Pemilu yang bersangkutan. Bagi Penyelenggara Pemilu, aduan/laporan kepada DKPP atas dugaan pelanggaran kode etik menjadi bagian yang ditakutkan dan kadang membuat sangsi berbuat. Berarti ada sikap dan perilaku yang terkait dengan aspek etik yang turut mempengaruhi kinerja pengawasan. Jika demikian halnya, kembali pimpinan harus turun tangan secara langsung memberikan pendampingan, semangat dan motivasi agar muncul keberanian, integritas dan kapasitas yang handal dalam mengambil keputusan dan kebijakan secara tepat terutama dalam penindakan pelanggaran Pemilu.
Sebagai Penyelenggara Pemilu, langkah apa pun yang diambil selalu memiliki resiko etik untuk dipermasalahkan di belakang hari. Mengambil langkah penindakan dapat diadukan atau dilaporkan etik oleh terlapor yang merasa dirugikan atau yang merasa diperlakukan tidak adil. Demikian pula saat tidak mengambil tindakan, juga potensi diadukan sebab dianggap melakukan pembiaran dan tidak profesional sebagai Pengawas Pemilu. Jadi mengambil tindakan atau tidak mengambil tindakan semuanya memiliki resiko etik. Berarti pada posisi ini, tindakan dan kebijakan apa pun yang diambil harus selalu bersandar pada kewenangan, prosedur dan substansi tindakan yang dilakukan. Dan, inilah yang bisa memperkuat sikap dan perbuatan Penyelenggara Pemilu jika suatu saat ada yang meragukan atau mempersoalkan.
Atau, pada posisi ini pimpinan perlu melakukan refleksi diri sekaligus langkah penyesuaian diri (internalisasi). Sebab bisa jadi ketidak-taatan jajaran terjadi karena hilang kharisma kepemimpinan. Atau malah arahan yang diberikan tidak logis dan berdasar, sehingga cenderung dipersoalkan secara etika bahkan hukum di belakang hari. Sehingga jajaran tadi, cenderung mengambil langkah alternatif yang lebih menjamin dirinya bebas dari prasangka dan resiko pelanggaran kode etik Penyelenggara Pemilu. Walaupun ia harus menerima label sebagai jajaran yang tidak loyak, jajaran yang cenderung mengambil langkah yang kontra produktif dengan arahan pimpinan.