Palu-Jati Centre. Jati Centre melayangkan somasi (teguran) kepada pihak pemilik dan/atau penangung jawab beroperasinya tambang emas di Kayuboko Parigi Barat. Langkah hukum itu dilakukan atas kerugian materil yang dialami pemilik lahan Abd Razak selaku masyarakat setempat, akibat dampak pertambangan yang beroperasi sejak 2019 lalu.
Melalui keluarga pemilik lahan Muhammad Ridwan, dalam catatan kronologis kejadian menyampaikan, lahan perkebunan yang dimilikinya seluas 5.638m2 itu telah difungsikan sebagai lahan perkebunan, dengan tanaman di dalamnya 120 pohon pala, 10 pohon durian montong, 20 pohon kelapa, tanaman coklat, dan tanaman pisang, serta membangun 1 unit rumah dan 1 unit bangunan sarang burung walet.
“Berawal dari beroperasinya tambang emas pada tahun 2019 lalu yang berlokasi di Kayuboko, telah berdampak pada kerusakan lahan warga sekitar, berupa dampak buangan materil (lumpur) dan air sungai yang keruh,” sebut Ridwan beberapa waktu lalu.
Dia juga menambahkan, salah satu dampak dari keberadaan tambang tersebut mengakibatkan kerusakan lahan perkebunan dan bangunan miliknya, yang saat ini dalam kondisi rusak dan hampir roboh.
Searah dengan hal tersebut, Kuasa Hukum Jati Centre, Rusli Attaqi menjelaskan, pada prinsipnya operasi pertambangan harus memiliki izin dari Pemerintah Pusat dan/atau Pemerintah Provinsi, sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Pasal 35 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara.
Lanjut penyandang gelas Magister Hukum ini, menegaskan bahwa dalam Undang-Undang tersebut telah disebutkan sanksi dari pelanggaran akibat penambangan ilegal, yaitu diancam dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak seratus miliar rupiah.
Selain itu, Rusli juga menyampaikan masyarakat selaku pihak terdampak dapat memperoleh ganti rugi akibat kesalahan dalam operasi kegiatan pertambangan.
“Masyarakat yang terkena dampak negatif langsung dari kegiatan Usaha Pertambangan berhak, memperoleh ganti rugi yang layak akibat kesalahan dalam pengusahaan kegiatan pertambangan sesuai dengan ketentuan,” tegas Rusli.
Untuk diketahui, melalui kuasa hukum Jati Centre, telah melayangkan surat Somasi tanggal 25 Februari 2021 kepada pihak pemilik dan/atau penanggung jawab pertambangan dimaksud.
Dengan harapan pemilik dan/atau penangung jawab beroperasinya tambang emas tersebut memiliki jiwa sosial dan bertanggung jawab terhadap semua resiko akibat beroperasinya tambang emas tersebut. Lebih khusus dapat memberikan respon positif terhadap kerusakan lahan perkebunan dan bangunan milik masyarakat setempat.
Potensi pertambangan sejatinya dikelola atau difasilitasi negara untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Usaha pertambangan (ada izin) telah mempertimbangan dan memiliki mitigasi atas potensi masalah lingkungan dan sosial. Termasuk menjadi pemasukan yang legal ke Daerah (PAD).
Hal itu berbeda, dengan pertambangan ilegal. Jika ada masalah lingkungan (pencemaran), dan korban jiwa. Pihak yang terlibat “susah” dimintai pertanggung jawaban hukum, karena orientasinya adalah mendapatkan keuntungan sebanyak-banyaknya.
Ketika terjadi bencana akibat dampak pencemaran lingkungan, misalnya korban jiwa, atau banjir lumpur. Otomatis Pemda sebagai penanggung jawab wilayah, akan melakukan upaya penanggulangan bencana. Lagi-lagi operasional menggunakan dana daerah, yang sebagian hasil dari pungutan dari rakyat baik pajak daerah maupun retribusi.
Miris, pengusaha pertambangan ilegal leluasa mengeruk kekayaan alam tanpa mitigasi lingkungan dan penanganan korban jiwa. Kembali Pemda tampil, mengatasi masalah dampaknya.
Mengapa, tidak dari awal. Legalisasi pertambangan untuk kemajuan daerah dan kesejahteraan rakyat.