Palu-Jati Centre, Awal tahun 2022 ditandai kejadian bentrokan pihak kepolisian dan masyarakat, terhitung peristiwa Desa Wadas, hingga aksi massa penolakan tambang di Kecamatan Tinombo Selatan Kabupaten Parigi Mautong yang mengakibatkan tewasnya seorang demonstran Erfaldi atau Aldi (21).
Menyikapi kejadian tersebut, Direktur Jati Centre Mashur Alhabsyi turut memberikan statement dan turut mengecam tindakan represif aparat kepolisian dalam mengamankan aksi unjuk rasa.
“Mengecam tindakan represif aparat kepolisian yang mengakibatkan tewasnya seorang massa aksi tolak tambang,” tegas Mashur.
Menurutnya, bentrok aparat kepolisian dengan massa aksi dalam demonstrasi ini bukan yang pertama, namun sering terjadi. Sehingga pihak aparat harus diberikan bekal awal dalam menghadapi massa aksi, agar patuh pada standar operasional prosedur (SOP) pengamanan aksi unjuk rasa.
“Pihak kepolisian menghadapi demonstran harus diberikan arahan agar mematuhi SOP, sehingga jika berhadapan dengan massa aksi mengetahui batasan pengamanan dan tindakan terukur,” jelas Mashur.
Ia juga menjelaskan, tembakan gas air mata dan semburan air mobil water canon sudah cukup bagi aparat untuk memukul mundur massa aksi dan tidak harus dengan tembakan senjata api yang mematikan.
Mashur juga meminta kiranya pihak Polri melalui Divisi Propam Mabes Polri agar serius dalam menangani kasus penembakan ini, dan mengusut tuntas pelaku yang mengakibatkan hilangnya nyawa seorang manusia.
Termasuk meminta kepada Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) mengungkap pelanggaran hak asasi manusia. Sebab selain penembakan, ada banyak bentuk kekerasan kepada para demonstran. Mulai dari yang matanya mengeluarkan darah akibat kena pukulan atau dipukul aparat kepolisian, bahkan berdasarkan penuturan keluarga korban, ada satu orang saat di Polres Parigi Moutong dipukul dengan batu bata hingga rontok gigi depannya.
Selain itu, puluhan korban sampai sekarang belum berhasil ditemui, karena lari meninggalkan kampung. Sebab hampir setiap waktu aparat kepolisian diduga datang mencari dan mengejar mereka. Bahkan mereka yang bermaksud hendak mengambil sepeda motor mereka yang ditinggal di lokasi unjuk rasa, harus digiring ke ruang pemeriksaan untuk diperiksa dan dilakukan introgasi sebagai tekanan psikis.
Searah dengan hal tersebut, salah satu massa aksi, Zaenal (29) saat dimintai keterangan Via WhatsApp memberi keterangan, bahwa masyarakat meminta agar pemerintah pusat melalui Gubernur Provinsi Sulawesi Tengah segera melakukan serangkaian kegiatan evaluasi izin usaha pertambangan hingga menghasilkan rekomendasi berupa pencabutan Izin Usaha Pertambangan (IUP) PT. Trio Kencana.
Zaenal juga menjelaskan, keberadaan eksploitasi tambang dikhawatirkan akan membawa dampak buruk bagi lingkungan dan kehidupan sosial masyarakat sekitar.
“Dampak buruk dengan keberadaan tambang ilegal pernah dirasakan masyarakat, seperti di wilayah Kecamatan Kasimbar yang mengalami kebanjiran, bahkan kualitas air sudah tidak jernih lagi yang mengancam lahan pertanian,” ungkap Zaenal, pada Ahad, (13/02/2022).
Untuk diketahui, unjuk rasa massa aksi Aliansi Rakyat Tani Peduli (ARTI) diketahui bermula sejak Sabtu (12/02/2022) pukul 09.00 sampai 22.00 Wita, hingga berakhir dengan kericuhan. Erfaldy atau Aldi merupakan salah satu demonstran penolak tambang emas PT. Trio Kencana. Dia berasal dari Desa Tada, Kecamatan Tinombo Selatan, Sulawesi Tengah.
Polda Sulawesi Tengah telah melakukan uji balistik untuk menemukan pelaku penembakan. Untuk mengujinya, tedapat 17 anggota Polres Parigi Moutong yang diperiksa dan penyitaan 20 unit senjata api milik personel Polres Parigi Moutong, serta 60 butir proyektil oleh Propam Polda Sulteng dan Propam Polres Parigi Moutong.
Hasilnya, diperoleh infomasi pada Jumat sore (18/2/2022) melalui Kadiv Propam Mabes Polri, Irjen Pol Ferdy Sambo, pelaku penembakan Erfaldy adalah anggota polisi berpakaian sipil atau preman.
Editor: Ruslan