Mistik Keseharian; Mengayati Kehidupan dengan Lebih Intim

915 Views

Oleh : Saeful Ihsan (Penulis Buku dan Novel)

Kerumitan, adalah sesuatu yang selalu muncul saat kita mempelajari filsafat. Ada banyak kosa kata baru yang terbentuk dari proses berpikir. Berpikir sendiri adalah proses kontemplasi atas kosmos, kesadaran menangkap hal yang lebih dari apa yang telah dibahasakan sehari-hari. Kita ambil contoh kata “ada”. Sehari-hari kita jumpai derivasinya yaitu “berada”, “keadaan”, dan “keberadaan”.

Dalam lapangan filsafat, “ada” menghasilkan “mengada”, yaitu berproses menjadi ada. Dalam bahasa Arab “ada” adalah wujud, mengada berarti mewujud. Dalam filsafat Islam, kita sering mendengar kata maujud, yang juga sudah diadopsi ke dalam bahasa Indonesia yang berarti berwujud, atau nyata (lihat KBBI).

Apalagi saat mempelajari pemikiran Martin Heidegger, filsuf eksistensialis Jerman, sangat rumit untuk dipahami. F. Budi Hardiman dalam “Heidegger dan Mistik Keseharian”, menuturkan bahwa rumitnya mempelajari buku Heidegger “Sein Und Zeit” (ada dan waktu); Hanya sedikit sekali yang dapat memahami bukunya, demikian Heidegger, bahkan Jean Paul Sartre (filsuf eksistensialis yang lain) tidak termasuk di dalam yang sedikit sekali itu.

Bagaimana dengan kita yang ada di Indonesia, dimana tradisi pemikiran filsafat tidak membumi? Pasti lebih rumit lagi. Oleh sebab itulah F. Budi Hardiman mencoba mengintroduksi pemikiran Heidegger dari buku “Sein und Zeit” ke dalam buku “Heidegger dan Mistik Keseharian”. Berharap buku itu bisa menjadi jembatan menuju ke dunia pemikiran Heidegger yang sangat rumit itu.

Tetapi bagi saya, buku yang ditulis oleh Hardiman itu tetap saja terasa rumit. Utamanya karena permainan istilah-istilah dari Heidegger yang diterjemahkan ke dalam bahasa indonesia: ada-mengada, waktu-mewaktu-kemewaktuan, ada-dalam-dunia, membuka diri pada ada-di sana (dasein), dll. Mungkin akan lebih mudah jika diantar dengan satu kisah hidup seseorang sebagai dasein.

*

Demi kemudahan, saya mengilustrasikan cerita ini:

Seorang karyawan bernama Andre–masih muda (sekira 22 tahun) belum menikah–duduk merenung di teras kantor tempatnya bekerja, pada jam istirahat. Teman lain lewat, katakanlah namanya Fajar, mengajaknya mengobrol dan melupakan segala urusan yang membuatnya selalu murung, diam, dan mengkhayal.

Andre pun menjadi riang, dia larut dalam obrolannya bersama Fajar. Mereka bercengkerama, bergurau, menjadikan pengalaman di kantor sehari-hari yang kadang mengesankan sebagai lelucon: ada sesekali kesialan yang menimpa. Misalnya kelalaian kerja yang membuat mereka harus mengganti rugi, atau membayar denda. Ataukah ada keisengan-keisengan kecil kepada teman-teman karyawan yang lain, yang begitu asyik untuk ditertawakan. Bukankah menertawakan kesialan merupakan salah satu kenikmatan dalam hidup?

Atau misalnya berangan-angan untuk membeli rumah atau mobil mewah, berandai-andai punya isteri cantik dan anak yang lucu-lucu. Mereka lalu membayangkan bagaimana jika sekiranya pihak kantor menaikkan gaji mereka berlipat-lipat, lalu mereka menabung, dan khayalan akan terwujud. Berhari-hari seperti itu.

Hingga suatu hari, Fajar mengetahui bahwa Andre, sahabatnya itu dilanda masalah yang rumit: pacarnya yang bernama Nia, berbeda agama dengannya, hamil akibat hubungan cinta mereka. Bersamaan dengan itu, Andre baru tahu bahwa pacarnya ini sesungguhnya adalah isteri dari seseorang yang telah pergi jauh, pulang ke orangtuanya, dan dipastikan tidak akan kembali.

Pertama-tama, Andre dihadapkan pada pilihan: meneruskan hubungan, ataukah meninggalkan perempuan yang menipunya itu? Jika memilih meneruskan, maka Andre harus menghadapi sejumlah kenyataan. Ia harus meminta izin kepada orangtuanya untuk menikahi perempuan yang berbeda agama dengannya itu. Ia juga harus berani menemui orangtua si wanita itu yang juga berbeda agama dengannya, dan dengan orang tuanya. Ia juga harus menerima kenyataan akan kelahiran anaknya, sekaligus rumitnya menyelesaikan urusan, termasuk dokumen-dokumen dari seorang isteri yang belum dijatuhi talak resmi dari suaminya.

Jika memilih meninggalkan perempuan itu, Andre berarti harus menerima dirinya sebagai seorang lelaki yang tidak bertanggungjawab, dan anak yang akan ditinggalkannya, kelak akan dirindukannya.

Fajar jadi mengerti, mengapa sahabatnya itu menjadi perenung yang dalam, menyendiri di tepi kesibukan sehari-hari. Sebagai seorang teman, Fajar berupaya menghibur temannya itu, mengalihkannya dari kepusingan dengan pelbagai obrolan. Agar sahabatnya itu tetap kuat menghadapi kenyataan yang begitu pelik.

*

Kita bisa membuat pengandaian dengan cerita yang lebih mudah. Kisah yang rumit itu saya ajukan, berharap dapat dengan mudah untuk menggambarkan kumpulan peristilahan Heidegger yang banyak dan baru itu.

Dari kisah itu, Andre kita andaikan sebagai dasein (ada-di sana). Tiba-tiba saja Andre muncul sebagai seseorang (faktizitat) yang penuh masalah. Itu yang tampak bagi kesadaran kita yang membaca cerita ini, dan juga bagi sahabatnya–si Fajar. Bagi Andre sendiri, diapun tiba-tiba saja ada, tak tahu datang dari mana, mau ke mana, dan untuk apa dia hadir. Andre hadir sebagai dasein, hadir sebagai manusia yang memililiki kecemasan. Ia terlempar, jatuh dari kesehariannya sebagai manusia yang merenungi kehadirannya di muka bumi.

Bagaimana tidak, bayangan akan adanya suatu kenyataan yang mencemaskan–yakni kematian–menghantui dibalik peristiwa yang dibayangkan akan datang; keluarga si perempuan yang dihamilinya, pada kemungkinan terburuknya, akan membikin perhitungan. Juga rasa malu kepada keluarga sendiri. Serta kemungkinan ancaman yang akan datang dari pihak suami dari perempuan yang dihamilinya.

Semua yang ada, tampak bagi kesadaran Andre, membuatnya menjadi otentik; dasein yang merenungi kehadirannya di dunia ini. Ada yang lain–Nia, keluarga Nia, keluarga Andre sendiri, suami Nia, jabang bayi dalam perut Nia–menyebabkan Andre berupaya mengantisipasi kemungkinan terburuk dari masa depan. Di sinilah ada-nya Andre tidak final, Andre akan terus menerus atau selalu menjadi (werden) Andre hingga datang suatu titik sempurna ke-Andrean-nya, yaitu pada saat ia mati.

Jadi, jika kita menganggap kita yang otentik adalah “aku yang sekarang”, Heidegger justeru menganggap keotentikan itu adalah kemewaktuan, atau kemenjadian kita. Artinya, kita yang otentik adalah kita yang terus menerus berproses menjadi kita yang sempurna. Sebab kita masih terus berubah. Kita berkata “inilah saya” sekarang, akan beda dengan “inilah saya” pada masa-masa mendatang.

Kita tentu ingat Ahmad Wahib mengatakan “aku bukan Wahib”, maksudnya “aku me-Wahib… aku yang terus menerus berproses menjadi Wahib”. Wahib adalah Wahib pada saat ia sakaratul maut. Keberadaan Wahib di masa tertentu, tidak bisa disimpulkan bahwa itulah Wahib secara keseluruhan. Sebab, Wahib masih berurusan dengan masa depan. Di masa depan, Wahib akan menjadi Wahib yang lain dari yang sekarang. Wahib akan masuk ke dalam dunia yang berbeda, ada keseharian di sana, dan mungkin kontemplasi atau perenungan menjadikan dia Wahib yang berbeda dari yang seharusnya.

Salah satu konsep dasein, adalah ada-di dalam-dunia (in-der-welt-sein). Adanya Andre di dunia bukan seperti adanya mobil di dalam garasi, atau adanya buku di dalam lemari. Andre tidak diletakkan di dalam dunia, tetapi Andre menempati, memukimi dunia (wohnen).

Dunia yang dimaksud bukanlah bumi, tetapi ruang-ruang kehidupan yang ditempati. Makanya menurut Hardiman, istilah bahasa Indonesia “meninggal dunia”–bukan meninggal bumi–bagus sekali untuk menggambarkan dunia yang dimaksud. Saat Andre mati, ia masih di bumi (dikubur di tanah atau dikremasi), tapi tak ada lagi di dunia keseharian. Di sinilah menariknya: Andre, selanjutnya akan hidup di dalam dunia ingatan orang-orang yang mengenalnya.

Dasein memukimi dunia, di sana ada pekerjaan, ada hiburan, ada pertemanan, ada permainan, ada karir, ada liburan, dan lain sebagainya. Dunia yang di dalamnya terdapat kolam keseharian, dan kadang dasein tenggelam di dalamnya, sehingga lupa terhadap keotentikannya, ia lupa kalau ia berada di dunia begitu saja, ada untuk tiada–mati.

Saat Andre merenung, ia sadar akan kehadirannya di dunia. Segera saja Andre akan merancang suatu langkah antisipatif di masa depan. Karena proses mengada memang mengandung rancangan (entuwurf). Ia akan masuk ke dunia baru dan akan memulai sebagai ada yang selanjutnya; Andre akan menjadi bapak, namun sebelum itu, ia kemungkinan akan menghadapi caci maki, bahkan disakiti secara fisik oleh keluarga perempuan yang dihamilinya–sehingga ia cemas. Saat kecemasan itu benar-benar disadarinya, ia menjadi otentik sebagai dasein, manusia yang merasakan keterlemparan.

Fajar muncul atau berada sebagai orang lain yang tampak pada kesadaran Andre. Fajar juga memukimi dunianya, dunia yang sama dengan dasein atau manusia yang lain, tenggelam dengan urusan keseharian. Fajar muncul menghibur Andre, dan Andre tenggelam ke dalam keseharian, tenggelam ke dalam dunia bersama (mitwelt), dan melupakan keterlemparannya (geworfenheit). Terlibat percakapan (rede) bersama fajar adalah cara dia melupakan keterlemparan itu.

Bekerja di kantor, bisa jadi bukan hanya cara mengantisipasi masa depan, tetapi juga merupakan sebentuk tenggelam ke dalam kolam keseharian. Keseharian di sini bermakna rutinitas, kesibukan, atau aktifitas. Wajar saja, sebab apa yang ditangkap oleh manusia adalah sesuatu yang menampakkan diri.

Dari sini, nampak bahwa Heidegger sangat dipengaruhi oleh Edmund Husserl tentang intensionalitas (keterarahan “kesadaran” pada “sesuatu”). Akan tetapi, jika Husserl fokus pada kesadaran, Heidegger justeru fokus kepada “sesuatu”–ontologi dan ontiz (berkaitan dengan mengada).

Hardiman mengandaikan sebuah lapangan golf, di dalamnya ada tiga macam: pertama, lapangan, tongkat pemukul, bola, lubang, ini disebut dengan Zuhandenes (siap-untuk-tangan), sama dengan alat-alat pertukangan, ia ada untuk digunakan; kedua, pohon-pohon, tanah, dan bebatuan adalah Vorhandenes (tersedia-di depan-tangan), adalah benda-benda yang tersedia begitu saja, ia ada tak berhubungan dengan kita; ketiga, orang-orang yang bermain golf, adalah dasein yang lain, kita dengan mereka sama-sama dasein yang memukimi dunia disebut mitdasein (berada-di sana-bersama).

Menurut Heidegger, ketiga macam “ada” di atas memiliki cara berada atau menyingkapkan diri masing-masing: Zuhandenes menampilkan diri sebagai alat-alat yang digunakan untuk mencapai tujuan, mengerjakan sesuatu, kesibukan keseharian. Vorhandenes menampilkan diri sebagai benda yang tidak penting, tidak berhubungan dengan pekerjaan kita, ia sendiri tak berhubungan dengan kita. Mitdasein, keberadaan dasein atau manusia yang lain menampilkan diri memiliki hubungan dunia dengan kita, yaitu dunia-bersama (mitwelt).

Dasein memiliki cara menghadapi ketiga ada itu. Zuhandenes dan Vorhandenes, karena kehadirannya sebagai benda mati, cara menghadapinya adalah diurus atau ditangani (besorgen). Sementara mitdasein, karena berada-bersama (mitsein) dengan dasein, maka cara menghadapinya adalah dipelihara–pemeliharaan (fusorgen).

Tenggelam dalam keseharian adalah kelarutan dasein atas besorgen. Kesibukan dengan alat-alat, untuk melakukan pekerjaan sehari-hari. Adapun fusorgen melarutkan dasein dengan cara bercakap-cakap (rede), memahami (verstehen), menafsirkan. Fusorgen dimaksudkan dalam rangka ada bersama di dunia, dunianya adalah dunia bersama. Cara untuk dasein larut ke dalam fusorgen adalah berusaha melupakan keterlemparan, masuk ke dunia bersama agar dianggap ada, atau hadir (eksis).

Seseorang yang hanya memiliki sepeda motor merk Yamaha Mio, tidak bisa masuk ke dalam dunia klub motor merk Ninja RR. Si pemilik Mio mengalami keterlemparan, dia tidak dianggap berada dalam dunia Ninja RR. Dia bisa masuk ke dunia itu dengan meninggalkan keterlemparannya, dengan memfokuskan diri pada besorgen, yaitu berupaya membeli motor Ninja RR. Barulah ia dianggap berada dalam dunia itu. Cara mengada si pemilik Mio itu dengan melakukan fusorgen, memelihara hubungannya dengan dasein yang lain.

Percakapan, atau obrolan (rede), juga adalah cara dasein larut dalam keseharian. Fajar yang mengajak Andre bergurau dan melakukan kesibukan lain, agar melupakan masalahnya, itu adalah bentuk pelarian.

Lalu apa yang mendasari itu semua? Dan inilah kunci dari segala rahasia keberadaan manusia (dasein), adalah kematian. Kematian menjadi dasar seseorang hadir di muka bumi. Semua gerak manusia, apakah itu tenggelam dalam besorgen, maupun fusorgen, semuanya bergerak berdasarkan kesadaran akan kematian. Dasein sendiri ada untuk mati.

Maka menurut Heidegger, cara untuk mengatasi keterlemparan adalah dengan merenungi atau menghayati dengan intim kehadirannya sendiri. Mengapa Heidegger tidak mengarahkan dasein pada agama? Sebab agama juga adalah pelarian, ritual agama adalah keseharian yang lain. Nasihat agama memalingkan dasein dari kesadaran eksistensialnya, tujuannya.

Agama sering berkata, “Setiap manusia akan mati”. Dengan demikian, manusia tidak akan menghayati kematiannya. “Toh juga akan mati, kan?” Iya, setiap orang memang akan mati, tetapi mati adalah masalah individual, manusia harus menghadapinya sendiri. Setiap orang harus antisipatif terhadap kematiannya. Sementara kata “semua manusia akan mati” adalah sebentuk penghiburan supaya manusia lupa akan kenyataannya menghadapi kematian itu sendiri.

Jadi menurut Heidegger, sejak kemunculannya, manusia (dasein) sudah mengalami kejatuhan (Verfallenheit). Saat manusia hadir di dunia, dia sudah dilekati oleh kematian. Dasein tidak dapat merancang kematian, kematian sudah bersiap datang kapan saja. Dasein hanya melakukan antisipatif dengan menghayati kehadirannya, ataukah justeru lari dari kesadaran akan dekatnya kematian, yaitu dengan tenggelam dan larut dalam keseharian.

Inilah yang ditangkap oleh Hardiman sebagai “mistik keseharian” dari “Sein und Zeit” karya Heidegger itu. Mistik di sini bukan bermakna klenik, takhayul, atau mitos-mitos, tetapi suatu kebisajadian karena kedatangannya pasti–kematian.

Tetapi, Heidegger lebih radikal soal kematian ini. Manusia sebagai dasein (mengada) sesungguhnya sudah mati berkali-kali. Hal ini sekaligus memunculkan pandangan sebaliknya, yakni kelahiran. Hardiman dalam salah satu sub judul bukunya itu (Heidegger dan Mistik Keseharian), jadi bertanya; apakah mortalitas, atau natalitas, keabadian ataukah kelahiran?

Kelahiran yang dimaksud bukanlah secara biologis, tetapi dalam rangka Sein und Zeit, ada dan waktu, yakni dasein. Manusia itu telah mati dari dunia yang satu, dan terlahir lagi ke dunia yang lain. Kelahiran kembali itu adalah memulai lagi yang baru. Saat Andre dipecat dari kantor, pada saat itu dia telah mati dari dunianya. Pindahnya Andre ke dunia pekerjaan yang lain, ataukah masuk ke dunia pengangguran, berarti ia terlahir (memulai) kembali.

Namun Heidegger, tidak meyakini adanya sebuah kehidupan setelah mati–dalam arti mati yang sesungguhnya. Dasein hanya ada untuk dunia ini, tiada dunia kedua bagi dasein. Tetapi Heidegger memberi penghargaan kepada dasein dengan membuatnya hidup kembali di dunia ingatan orang-orang. Keluarga atau sahabat, atau siapa saja yang mengenal kita, tetap akan menyaksikan kita hidup dalam kenangan mereka saat kita sudah mati, yaitu apabila mereka menghadirkan kembali kenangan bersama kita–kira-kira seperti itulah mortalitas kita.

Hal itu memberi pengetahuan lagi bagi kita, bahwa sesungguhnya kita ini “terserak” (zerstreut)–kata Hardiman. Kita berada di mana saja. Hardiman berkata “pemudik itu, karena dengan memori itulah mereka menghadirkan ruang yang telah dimukimi itu kembali”. Maksudnya, fenomen kehadiran kita mengisi ruang-ruang kehidupan yang pernah kita mukimi. Kita pernah ada di masa lalu, pernah ada di kampung atau di kota, kita ada sekarang, dan nanti akan memukimi dunia ingatan orang-orang.

Pada bagian akhir bukunya, F. Budi Hardiman membahas soal waktu dan kemewaktuan. Mengutip Benjamin Franklin, “Time is money”, waktu adalah uang, betapa manusia modern ditaklukkan oleh waktu, padahal dia sesungguhnya bisa menaklukkan waktu. Manusia adalah waktu, dan kehadirannya adalah mewaktu, ia hidup dalam relung-relung kehidupan, dalam ceruk-ceruk waktu.

Hardiman juga menyundul relativitas Einstein, dalam segi waktu ke bagian akhir bukunya itu. Manusia bisa merasakan waktu objektif sekaligus waktu subjektif. Waktu objektif, atau yang di luar manusia adalah waktu normal (1 jam = 60 menit). Sementata waktu subjektif, yang ada dalam diri, bisa lebih lama atau lebih cepat dari waktu yang normal (1 jam menunggu, dengan 1 jam ditunggu, lamanya tidak sama), tergantung dari suasana hati.

Time is money menaklukkan manusia menjadi tenggelam dalam besorgen (larut dalam keseharian). Hal ini, punya analogi dalam Alquran surat al-Ashr ayat 1-2: “Demi masa (waktu), sesungguhnya manusia berada dalam kerugian”. Manusia seperti itu, ditaklukkan waktu, sebab mengejar suatu produktifitas yang melupakan pentingnya mitdasein (kehadiran orang lain), dan juga melupakan makna kehadirannya sebagai dasein yang senantiasa diintip oleh kematian.

*

Sayyidina Ali mengatakan, “Orang yang paling cerdas adalah yang mengingat kematian”. Kalau begitu, Heidegger termasuk diantaranya. Hanya saja, sayang sekali ia tidak menemukan dirinya dalam agama. Ia memahami adanya-agama berdasarkan apa yang tampak dalam kesadarannya, praktik agama yang ia saksikan di lingkungannya.

Heidegger berhenti pada dunia, dan tidak bisa menjangkau apa yang terjadi setelah mati. Akhirnya, dasein dilarikan ke dalam kesadaran. Di sini, tampaknya Heidegger terpaksa harus membuat dasein bermakna ganda; di satu sisi dasein adalah manusia dalam wujud yang asli, di sisi lain dasein adalah manusia berwujud kenangan.

Sementara, hanya agamalah yang punya informasi tentang kehidupan sesudah mati, tentu melalui kitab suci sebagai sumber ajarannya. Agama sendiri, agar bisa diyakini, setidaknya perlu dibuktikan kebenarannya. Untuk yang terakhir ini, agama sesungguhnya sudah mengantisipasi dirinya bakal dipertanyakan di kemudian hari (di jaman modern ini), maka kitab suci menciptakan sebuah pelindung yang bernama “isyarat ilmiah”. Untuk Alquran disebut “I’jazul Quran”, kemukjizatan Alquran.

Heidegger juga tidak menemukan dasein berasal dari mana. Tiba-tiba saja muncul dalam kejatuhannya seperti itu. Jikapun ia akan berkata, bahwa “kemendahuluan dasein bagi dunia, sama dengan kememdahuluan makna atas penyampaian makna”, tetapi tetap saja, ketiadaan sistem penjelas bagi awal kemunculan dasein menandakan ada yang hilang (missing link) pada sistematika “Sein und Zeit” nya.

Sementara yang missing dalam pemikiran Heidegger itu dijawab hampir mendetail oleh agama–jika bukan karena garis-garis besarnya saja, yakni dalam kitab suci.

Akan tetapi, ada persamaan pandangan antara Heidegger dan agama-agama, yakni mendasarkan hidup pada mati. Mati adalah alasan mengapa manusia mengada di dalam dunianya.

Ketika Ateis Berkurban untuk Partikel Tuhan (Higgs Boson)

947 Views

  

Oleh : Saeful Ihsan (Penulis Buku dan Novel)

Bagi orang muslim, mendekatkan diri kepada Allah di hari raya Haji atau Idul Adha itu mudah. Cukup patungan tujuh orang membeli seekor sapi lalu menyembelihnya. Dagingnya dibagikan ke fakir dan miskin. Namanya ibadah kurban. Suatu ibadah yang diilustrasikan dalam kisah penyembelihan nabi Ibrahim terhadap anaknya, Ismail (versi Alkitab menyebut Ishak, putera Ibrahim yang lain), dan kemudian sembelihan itu diganti dengan seekor kibas.

Mengapa saya katakan mudah? Karena orang Islam sudah menemukan Tuhan dan meyakininya. Keyakinan itu mesti diperkuat dengan melaksanakan segala perintah yang terkandung di dalam kitab suci Alquran, dan hadits nabi Muhammad saw. Salah satunya dengan berkurban. Kurban sendiri merupakan peng-Indonesia-an dari “Qurban”, asal katanya Qaraba. Bentuk lainnya adalah (Q)karib yaitu dekat. Kurban berarti mengorbankan sesuatu untuk mendekatkan diri kepada Allah. Dalam konteks hari raya Idul Adha, kurban adalah pengorbanan yang disimbolkan dengan menyembelih sapi, kibas, kambing, dan domba.

Kesulitannya hanya terletak pada yang belum mampu secara ekonomi saja. Tetapi bagi yang masih memiliki kelebihan uang, patungan tujuh orang untuk satu ekor sapi itu terhitung mudah.

Lain halnya dengan mereka yang ateis. Jangankan bisa mendekatkan diri, menemukan Tuhan saja belum. Penelitian mutakhir pencarian jejak Tuhan di alam semesta adalah dikembangkannya Higgs Mechanism pada tahun 1960-an dan ditemukannya Higgs Boson dengan massa baru pada tahun 2012 oleh Peter W. Higgs–peraih nobel fisika tahun 2013–bersama kawan-kawannya yang tergabung dalam Tim eksperimen ATLAS dan CMS. Higgs Boson juga disebut partikel Tuhan, atau anti-matter (anti materi).

Partikel Tuhan? Mungkin ini agak menyinggung kita, golongan yang ber-Tuhan. Tetapi itulah keyakinan mereka, penamaan itu berangkat dari sana. Ateis punya definisi sendiri tentang Tuhan, berbeda dengan kaum teis. Jangankan itu, definisi Tuhan di kalangan teis sendiri, antara satu dan lainnya berbeda-beda.

Walau agaknya terlalu percaya diri tidak meyakini adanya Tuhan, kaum ateis itu diam-diam penasaran dengan Tuhannya orang-orang beragama. Upaya mereka untuk membuktikan ketiadaan Tuhan saja–dan itu sangat kentara disengaja–sudah membuktikan bahwa membicarakan Tuhan itu penting.

Para ateis itu berlindung di bawah kedigdayaan sains, apalagi di Abad ke 21 ini. Mereka lebih percaya pada sains tinimbang agama. Sains, taruhlah ala Popperian yang katanya lebih baik mengedepankan kebenaran ketimbang menjanjikan kepastian, digunakan untuk menantang kebenaran keyakinan kaum teis.

Stephen Hawkings mengatakan bahwa “filsafat telah mati–apalagi teologi.” Lalu kemudian membangga-banggakan sains yang memberikan jawaban-jawaban yang dibutuhkan di masa kini ketimbang filsafat dan agama, barang yang sudah ketinggalan jaman itu. Lalu berdasarkan argumentasi saintifik tentang alam semesta, terutama penemuan lubang hitam (black hole) berupaya membutikan bahwa Tuhan tidak ada.

Richard Dawkins adalah ateis selanjutnya yang begitu mati-matian menyajikan ketiadaan Tuhan lewat “God Delusion”. Kaum agamawan di matanya adalah orang-orang pongah dan suka bikin ribut lantaran keyakinannya ditentang.

Saya melihat, seolah-olah orang-orang ateis itu ingin berkata begini: “Cobalah yang rasional sedikit, buktikan kalau Tuhan itu ada. Coba dong patahkan argumentasi sains.” Lalu, setelah itu apakah setelah tantangan mereka dipenuhi dan mereka kalah akan berkata, “Itu baru namanya jawaban, kalau begitu saya percaya?”

Agus Mustofa, penulis buku-buku serial “Tasawuf Modern”, yang juga lulusan Teknik Nuklir itu menjawab: “Tidak!” percaya atau tidak percaya adanya Tuhan itu hanya berdasarkan suka atau tidak suka. Pembuktian hanyalah sebuah alasan untuk memperkuat kesukaan atau ketidaksukaan. Telah banyak argumentasi yang disampaikan, tetap saja berupaya dibantah dengan mengajukan argumentasi-argumentasi baru.

Ada anomali di kalangan mereka. Di satu sisi tidak percaya akan adanya Tuhan, tetapi pada sisi yang lain tetap saja mendefinisikan Tuhan. Adanya istilah partikel Tuhan (God Particle)–pertama kali dimunculkan oleh Leon Lederman pada tahun 1994–berarti kata “Tuhan” nya telah didefinisikan terlebih dahulu. Nampaknya Tuhan yang dibayangkan adalah materi yang memiliki unsur penyusun terkecil bernama partikel. Sebuah benda subatomik–bagian-bagian kecil dalam struktur atom.

Tetapi bisa saja maksudnya bukan begitu. Mungkin saja penggunaan kata “Tuhan” adalah sebuah sindiran, untuk menyatakan bahwa partikel ini “mahakuasa” (saya menggunakan huruf “m” kecil di awal kata) atas materi. Higgs Boson atau partikel Tuhan itu adalah pemberi massa kepada materi, yang jika tanpanya, materi tak akan memiliki massa.

Partikel subatomik sendiri, terutama partikel Higgs Boson ini patut dicurigai adalah sebuah jawaban spekulatif atas kebingungan para ilmuan tentang struktur atom yang ditemukan belakangan.

Einstein mula-mula mengatakan bahwa benda terkecil di alam semesta adalah atom. Tahun 1899, J.J. Thompson datang membeberkan bentuk atom seperti bola pejal. Kemudian Rutherford di tahun 1911 menemukan ternyata di dalam atom masih ada inti yang bermuatan positif, dikelilingi oleh elektron bermuatan negatif. Neihls Bohr dua tahun kemudian menemukan, bahwa di dalam atom ada kulit-kulit serupa lintasan tata surya. Di masa yang lebih modern, Erwin Schrodinger menerangkan bahwa atom hanya bisa dijelaskan dengan teori mekanika kuantum yang bergantung kepada teori “ketidakpastian Heisenberg”.

Agus Mustofa mengomentari tentang teori atom paling mutakhir ini. Katanya, para saintis hanya mampu berhenti pada partikel subatomik. Ketika sampai pada level partikel penyusun atau “quark”–kata Agus Mustofa–para ilmuwan tak mampu lagi menangkap bentuknya. Terkecuali para ilmuwan tadi terpaksa menggunakan iman untuk memercayainya ada. Artinya para ilmuwan menganggapnya ada saja, meski tak mengetahui persis bagaimana bentuknya–mereka terpaksa beriman pada ketakjelasan substansi atom itu.

Satu hal yang belum bisa dijawab ilmuwan tentang partikel subatomik, yakni dualitas elektron. Elektron memiliki sifat materi sekaligus gelombang. Agus Mustofa meragukan ini, bagaimana mungkin di saat yang sama, materi adalah gelombang, padahal materi bukan gelombang? Materi itu kuantitas sedang gelombang itu kualitas. Bagaimana mungkin di saat yang sama kuantitas juga adalah kualitas?

*

Mendekatkan diri kepada Tuhan hanyalah sebuah bahasa untuk semakin mempertautkan hati kepada sang pencipta. Secara dzati Tuhan itu sangat dekat sekali, lebih dekat dari urat nadi. Dalam dunia filsafat Islam, Tuhan (Allah) adalah wahdatul wujud. Satu-satunya wujud yang ada. Adapun hubungannya dengan makhluk adalah pada tingkatan atau gradasinya. Yang tertinggi adalah wujud Tuhan dan yang terendah adalah materi murni.

Pemikiran seperti ini misalnya bisa kita lacak pada Alfarabi tentang emanasi, ataukah “ashalatul wujud” yang lebih mutakhir pada Mulla Shadra (Shadruddin al Shirazi).

Tetapi bagi kaum ateis, Tuhan itu jauh sekali dari kriteria ada. Umur alam semesta sudah sedemikian tuanya–bermilyar tahun yang lalu–yang ditemukan baru partikel Tuhan, Tuhannya sendiri belum ditemukan. Mereka memaksa supaya mata mereka bisa melihat Tuhan, barulah bisa dipercaya Tuhan itu ada. Sedang jejak Tuhan di alam adalah bukanlah teori yang bisa dipercaya umat manusia secara universal.

Partikel Tuhan atau Higgs Boson yang ditemukan Peter W. Higgs memang belum dibantah oleh temuan yang baru. Higgs Boson adalah partikel dasar yang diyakini merupakan asal usul alam semesta, ia pemberi massa kepada materi.

Akan tetapi Higgs Boson yang disebut partikel Tuhan itu, Tuhannya sendiri pasti bukan sungguhan, tetapi rekaan pencipta istilah itu saja. Kalaupun yang mereka maksud adalah Tuhan yang maha besar itu, maka betapa lemah dan terbatasnya Tuhan itu. Setidaknya ada empat alasan mengapa ia tak cocok disebut patikel Tuhan:

Pertama, Higgs Boson ternyata punya masa hidup, dinyatakan dalam rumus: 1,56 x 10 pangkat minus 22. Artinya suatu saat partikel ini akan mati, bisa diprediksi kapan matinya. Sedang alam semesta sendiri yang katanya bersumberdari partikel Tuhan, tak bisa diprediksi kapan kesudahannya. Kedua, memiliki massa. Terakhir tahun 2012, Higgs Boson ditemukan dengan massa 125 GeV. Mungkinkah partikel Tuhan punya massa yang bisa diukur otak manusia? Ketiga, jika Tuhan memiliki partikel dan kehendaknya terletak pada partikel itu–jadi mirip neurosains–berarti itu bukan Tuhan. Sebab Tuhan berkehendak di atas segalanya, bukannya kehendak-Nya lahir atas akumulasi kehendak partikel-partikel-Nya.

Keempat, dan ini yang paling tidak memungkinkan untuk disebut partikel Tuhan; Higgs Boson itu diciptakan. Denny JA mengatakan, untuk melakukan eksperimen higgs boson, diperlukan terowongan raksasa sepanjang 27 kilometer yang kemudian dinamai Large Hadren Collider (LHC), dan ditanam di kedalaman 100 meter ke dalam tanah. Ini dilakukan demi menggerakkan proton untuk mendekati kecepatan cahaya. Memang tenaga yang dibutuhkan sangat besar sekali. Suhu yang diperlukan minus 235 derajat celcius, dan lama pekerjaannya memakan waktu 50 tahun.

Tak usah ditanya soal biaya yang harus dikeluarkan. Eksperimen Higgs Boson menghabiskan 13,25 billion USD, atau setara dengan 180 triliun rupiah. Kata Denny JA, kurang dari itu, eksperimen tak akan jadi. Praktis sewaktu riset ini dilakukan, ada 9 negara yang terlibat membiayai: Jerman, Inggris, Italia, Perancis, Spanyol, Swiss, Amerika Serikat, Rusia, dan India.

Coba bandingkan, untuk menemukan Tuhan saja, walau itu katakanlah hanya partikelnya saja, mahalnya minta ampun. Itu belum ongkos mendekatkan diri. Maka bersyukurlah kita yang telah meyakini Tuhan secara gratis dari orangtua kita, biaya mendekatkan diri kepada-Nya pun amat murah.

Begitulah nasib para ateis perlu mengeluarkan ongkos yang sangat mahal untuk menemukan Tuhan. Mereka berkurban dengan cara menyembelih modal sebanyak-banyaknya, kemudian dipersembahkan kepada temuan yang itu diharap lebih indah dari sekadar mengatakan “Tuhan itu ada”. Nyatanya, mereka tetap gelisah, lantaran butuh berjuta-juta tahun untuk tetap membuktikan bahwa Tuhan tidak ada.

Sementara orang beriman, hanya butuh modal keyakinan, ketaatan, dan hidup bermakna, mereka sudah menemukan Tuhan di dalam jiwanya dan mendekatkan diri kepada-Nya.

Bagaimana Menyikapi Omnibus Law?

787 Views

Oleh : Randy Atma R Massi,S.H.,M.H. (Akademisi IAIN Palu)

Omnibus Law merupakan teknik perancangan aturan yang menggabungkan beberapa perundang-undangan dalam satu paket, dengan tujuan meningkatkan aksesibilitas peraturan perundang-undangan. Produk hukum tersebut memiliki bentuk sama dengan Undang-Undang lainnya.

Omnibus merupakan hal baru karena di luar dari kebiasaan negara dengan sistem Civil Law, sebagaimana yang diterapkan di Indonesia. Ciri pembuatan produk undang-undang di Indonesia pada umumnya fokus pada nama judul dan konten Undang-undang. Contoh pada Undang-undang tentang pemerintahan daerah, maka isi Undang-undang tersebut akan fokus membahas mengenai Pemerintahan daerah saja. Adapun aspek di luar pemerintahan daerah tidak akan disinggung, namun akan dibuat aturan yang lain, baik itu sejajar maupun aturan di bawahnya yang merinci secara teknis yang berhubungan dengan pemerintahan daerah di luar undang-undang pokoknya.

Inisiatif dan ide Omnibus Law akan melahirkan suatu undang-undang yang universal, karena dengan satu undang-undang tentunya mampu mengatur banyak hal dan  sudah pasti memberikan keuntungan diantaranya memudahkan harmonisasi antara aturan yang satu dengan aturan lainnya.

Catatan sejarah Omnibus Law lahir dari praktek negara Common Law yang mulai diterapkan di Amerika Serikat sekitar tahun 1850, 1860, 1890 kemudian di negara Kanada dan merupakan praktek  yang timbul di kemudian hari akibat tradisi Common law yang telah mengalami perkembangan setelah meniru dan mempelajari banyak hal dari kelebihan-kelebihan negara dengan sistem Civil law.

Sistem Common Law sendiri adalah sistem yang mengenal bahwasanya hukum adalah buatan hakim sehingga negara-negara dengan sistem ini, dahulunya dikenal tidak banyak memproduksi undang-undang karena yang menjadi andalan adalah keputusan hakim di pengadilan. Namun seiring perkembangan Hukum Negara-negara di dunia maka , Negara dengan Sistem Common law sudah mulai memproduksi aturan dalam bentuk undang-undang tertulis, tentu saja hal ini dipelajari  dari negara Civil Law sembari mengkritiki dan memperbaiki praktek pembuatan undang-undang dinegara Civil Law yang terkesan monoton dan sempit makna.

Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, S.H., M.H  menceritakan sebuah kisah terkait suatu hal yang agak ekstrim dalam penerapan undang-undang di negara Common Law yaitu undang-undang Perkapalan yang dipakai menjadi rujukan untuk mengubah undang-undang perkawinan, undang-undang kekeluargaan, dan undang-undang kewarisan. Tentu yang menjadi pertanyaan adalah apa hubungan undang-undang perkapalan ini dengan undang-undang keluarga?  Hal tersebut berangkat dari sebuah kasus yang menjadi isu nasional di Kanada dimana para pelaut mempunyai banyak problem keluarga karena kebiasaan gemar menikah.

Kebiasaan ini dilakukan oleh pelaut Kanada, di mana setiap berlabuh di berbagai Pelabuhan yang disinggahinya maka pasti akan mencari istri untuk dinikahi padahal pelaut tersebut masih dalam status pernikahan atau belum bercerai dengan istrinya di kota lain, maka setelah disahkannya undang-undang sipil mengenai perkapalan sejak saat itu undang-undang mengenai hukum keluarga di Kanada yang berhubungan dengan pelaut dan nelayan ikut berubah. Tentu Tindakan ini menimbukkan gejolak namun seiring dengan berjalannya waktu masyarakat mulai menerimanya karena mendatangkan kemanfaatan yang cukup besar utamanya dalam membentuk keluarga yang harmonis di kanada.

Omnibus Law sendiri pada hakikatnya adalah persepsi, soal METODE, cara yang tentu harus diposisikan berbeda dengan konten isi undang-undang sebagaimana undang-undang  yang digagas saat ini sebut saja mengenai Cipta Lapangan Kerja yang banyak ditolak oleh  serikat buruh dan mahasiswa.  Di sini dibutuhkan sifat kehati-hatian kita karena bukan Omnibus Law nya yang menjadi masalah namun muatan MATERI yang dibawakan untuk diubah dengan menggunakan Undang-undang Omnibus Law tentu dibidang cipta lapangan kerja.

Kita tidaklah harus anti dengan Omnibus Law karena bukan Omnibus Law nya yang dikritik namun yang dikritisi sekali lagi adalah isi, muatan dan kontennya sebab Omnibus Law hanyalah sebuah metode penyederhanaan dengan cara harmonisasi antar undang-undang bahkan dapat melakukan harmonisasi antara peraturan perundang-undangan yang harapannya bisa dipraktekkan pada pembuatan peraturan pemerintah, pembuatan peraturan daerah agar peraturan pemerintah dapat diimplementasikan secara menyeluruh yang menyangkut pertentangan-pertentangan antar pasal-pasal yang normatif dari aturan-aturan lain yang bertentangan sehingga menjadi sinkron dan pada hakikatnya merupakan pola-pola kerja dari Omnibus Law juga secara luas.

Badan Legislasi DPR RI telah menyepakati empat dari Lima Puluh Rancangan Undang-undang,  empat undang-undang tadi kemudian disebut dengan Omnibus Law antara lain Undang-undang Cipta Lapangan Kerja, Perpajakan, Farmasi, dan mengenai Ibu Kota Negara. Prof Jimly mengatakan ke empat undang-undang tersebut tidak perlu disebut sebagai Omnibus law namun seharusnya seluruh rancangan undang-undang menggunakan prospektif Omnibus Law  karena Omnibus adalah sebuah metode maka alangkah lebih baik lagi untuk tidak disebutkan dengan Nama undang-undang Omnibus.  Setiap undang-undang hakikatnya mempunyai Omnibusnya masing-masing karena sudah pasti saling berkaitan dengan undang-undang lain.

Seorang Legal Drafter (Perancang Undang-undang) mempunyai tanggung jawab moral untuk membaca setiap undang-undang  yang memiliki kaitan langsung ataupun tidak langsung dalam hal melakukan telaah saat undang-undang itu akan dibahas, dirancang untuk direvisi, atau diubah jangankan undang-undang yang memiliki kaitan langsung, yang tidak berkaitan langsungpun harus diperhatiakan karena bisa jadi hal-hal yang dianggap tidak ada kaitannya ternyata kenyataan di lapangan mempunyai kaitan sebagaimana contoh kasus diatas mengenai undang-undang sipil tentang perkapalan di Kanada yang berdampak langsung pada undang-undang keluarga padahal jika dilihat dari segi judul sangat jauh bahkan tidak ada hubungannya.

Sistem omnibus telah lama di usulkan Prof Jimly Assidiqi saat beliau menjabat sebagai Ketua Mahkamah Konstitusi. Ia menganggap penting mengadopsi metode Omnibus dalam pembuatan undang-undang di Indonesia dalam rangka harmonisasi peraturan perundang-undangan yang kini kembali marak.

Istilah Omnibus Law pertama kali didengar saat pidato Presiden pada tanggal 20 Oktober 2019 saat pelantikan Presiden didepan sidang paripurna MPR dimana Presiden hanya menyebutkan dua RUU yaitu RUU mengenai cipta lapangan kerja dan RUU mengenai pemberdayaan UMKM sehingga dianggap dua RUU inilah yang penting karena  konsen saat ini presiden adalah perbaikan ekonomi dan bagaimana mempercepat pertumbuhan ekonomi.

Dari hal ini terlihat bahwa Hukum di mata Politis adalah Alat, Ketika alat yang dianggap penting adalah ekonomi maka ekonomilah yang diutamakan, Ketika Politik yang dianggap penting maka politiklah yang diutamakan sehingga sekali lagi Hukum menjadi legitimasi atas Tindakan Politik dan Ekonomi inilah hal yang keliru.

Omnibus Law ke depan diharapkan dapat kita adobsi dengan maksud menata sistem hukum Negara Terutama sistem peraturan Perundang-undangan negara agar harmonis, dan merepresentasekan Tujuan Hukum yaitu keadilan, kemanfaantan dan kepastian hukum. Omnibus sebagai prespektif Hukum harus ditetapkan di semua bidang hukum bukan hanya pada bidang Hukum Investasi sehingga negara seakan-akan tidak membangun gambaran sebagai negara yang berorientasi pada investasi sebagai tujuan dengan mengedepankan kepentingan investor.

Hakikat bernegara bukan hanya untuk berinvestasi. Kita sepakat bahwa investasi adalah hal yang penting namun itu hanyalah salah satu dari sekian banyak hal yang penting dalam kegiatan bernegara. Adapun pidato presiden mengenai Omnibus Law dibidang investasi  janganlah pula disikapi sebagai sebuah instruksi, lalu karena feodalnya pemahaman politik kita, maka yang terbangun adalah Presiden hanya mengutamakan dua undang-undang saja yaitu Cipta Lapangan Kerja dan UMKM yang saat ini BALEG DPRI RI fokus pada Cipta lapangan Kerja padahal Pidato Presiden hanya menjadikan Undang-undang Cipta lapangan kerja sebagai contoh saja.

Diakhir tulisan ini maka kita perlu memahami bahwa Indonesia adalah  Rechtsstaat (Negara Hukum) Bukan Machtstaat (Negara Politik) apalagi negara Ekonomi. Olehnya siapapun yang mempunyai niat merawat NKRI tidak melihat dia pejabat ataupun rakyat biasa haruslah memahami bagaimana hakikat kita bernegara. Janganlah semua diabdikan untuk kepentingan pembangunan ekonomi walaupun itu perlu namun bukan itu semata-mata tujuan bernegara, jangan pula dikendalikan oleh hawa nafsu politik kekuasaan saja dan hawa nafsu kekuasaan Ekonomi semata. Biarlah ekonomi kita anggap sangat penting agar kita diperhitungkan, biarlah politik yang memutuskan namun biarlah Hukum yang menentukan karena inilah hakikat dari Rechtsstaat the Rule Of Law.

INTEGRITAS YANG TERGADAIKAN DENGAN KESOMBONGAN

1.042 Views

Oleh : Randy Atma R Massi,S.H.,M.H (Akademisi IAIN Palu)

Pertengkaran serta perdebatan yang ada di Indonesia saat ini pada dasarnya disebabkan oleh kelompok-kelompok yang saling menyombongkan kebenarannya masing-masing. Jangan sombong dengan kebenaranm karena Alhaqqu Min robika, kebenaran itu hanya dari Allah SWT dan kita hanya berposisi menafsirkannya. Orang tidak butuh kebenaranmu, orang hanya butuh kasih sayangmu dan keseimbangan hidup bersama.,”

Seseorang dari mempunyai hal yang kecil seperti sepeda, kemudian punya motor, mulai muncul kesombongannya. Dari punya motor selanjutnya mempunya mobil, bertambah lagi kesombongannya, sehingga orang-orang seperi ini sebenarnya terancam oleh kelemahan jiwa. Setiap naik potensi dirinya, naik dan berkembang aksesnya maka akan beresiko menjadi potensi kesombongan karena sifat sombong ini membutuhkan wadah yaitu jiwa manusia yang lemah. Jika telah mendapatkan akses maka jelas akan meningkat lagi menjadi sifat keangkuhan, tidak menghargai orang lain, menyalahkan orang lain, menganggap rendah orang lain, hanya mendengar siapa diatasnya tanpa melihat orang dibawahnya hingga yang parah mengenyampingkan norma-norma hukum untuk menyelamatkan kepentingan diri dan jabatannya, nampak berintegritas namun telah menggadaikan harga dirinya dengan menyembunyikan kebenaran hati Nurani pada rakyat dan keadilan.

وَلاَ تُصَعِّرْ خَدَّكَ لِلنَّاسِ وَلاَ تَمْشِ فِي اللأَرْضِ مَرَحاً إِنَّ اللهَ لاَ يُحِبُّ كُلَّ مُخْتَالٍ فَجُوْرٍ {18}

Dan janganlah kamu memalingkan mukamu dari manusia (karena sombong) dan janganlah kamu berjalan di muka bumi dengan angkuh. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong lagi membanggakan diri.” (QS. Luqman:18)

Singkatnya adalah makin kita kaya, makin terancam untuk hancur oleh kesombongan. Tidak hanya sebatas itu, makin Pintar juga berpotensi makin sombong, sebagaimana Iblis terkutuk bukan karena ia menyekutukan Allah SWT Namun karena sifat sombong dan angkuh merasa paling benar.

وَإِذْ قُلْنَا لِلْمَلاَئِكَةِ اسْجُدُوا لأَدَمَ فَسَجَدُوا إِلاَّ إِبْلِيسَ أَبَى وَاسْتَكْبَرَ وَكَانَ مِنَ الكَافِرِينَ {34}

Dan (ingatlah) ketika Kami berfirman kepada para malaikat: “Sujudlah kalian kepada Adam,” maka sujudlah mereka kecuali Iblis; ia enggan dan takabur (sombong) dan ia termasuk golongan orang-orang yang kafir“ (QS. Al Baqarah:34)

Qotadah berkata tentang ayat ini, “Iblis hasad kepada Adam ‘alaihis salaam dengan kemuliaan yang Allah berikan kepada Adam. Iblis mengatakan, “Saya diciptakan dari api sementara Adam diciptakan dari tanah”. Kesombongan inilah dosa yang pertama kali terjadi. Iblis sombong dengan tidak mau sujud kepada Adam” (Tafsir Ibnu Katsir, 1/114, cet al Maktabah at Tauqifiyah)

Dalam dimensi kesombonganpun dikenal dengan bebera jenis kesombongan, ada yang dinamakan kesombongan Feodal, dimana kesombongan ini digunakan untuk menyebut kesombongan pada orang  kaya, ada pula kesombongan Kuasa yaitu kesombongan bagi orang yang memiliki Kuasa, harta, jabatan semakin naik volume kekuasaannya makin sombong dan makin tidak mengetahui bagaimana berdiri sejajar dengan Orang lain. Sehingga kekuasaan menciptakan kesombongan, kekayaan menciptakan kesombongan.

أَلَا أُخْبِرُكُمْ بِأَهْلِ النَّارِ قَالُوا بَلَى قَالَ كُلُّ عُتُلٍّ جَوَّاظٍ مُسْتَكْبِرٍ

“Maukah kamu aku beritahu tentang penduduk neraka? Mereka semua adalah orang-orang keras lagi kasar, tamak lagi rakus, dan takabbur(sombong).“ (HR. Bukhari no. 4918 dan Muslim no. 2853).

Kepandaian juga sangat berbahaya untuk memunculkan kesombongan. Dalam Bahasa Populer kesombonga itu dikenal dengan dengan keangkuhan intelektual tetapi yang lebih berbahaya lagi adalah  menjadi orang sholeh, orang alim, karena hal itu juga sangat dan dapat menimbulkan ujian kesombongan denga volume yang amat besar.

Bahwa suatu hari seorang sahabat bertanya kepada Rasulullah, “Wahai Rasulullah, siapakah orang yang paling berat cobaannya?” Beliau menjawab: “Para nabi, kemudian orang-orang saleh, kemudian yang sesudah mereka secara berurutan berdasarkan tingkat kesalehannya. Seseorang akan diberikan ujian sesuai dengan kadar agamanya. Bila ia kuat, ditambah cobaan baginya. Kalau ia lemah dalam agamanya, akan diringankan cobaan baginya. Seorang mukmin akan tetap diberi cobaan, sampai ia berjalan di muka bumi ini tanpa dosa sedikit pun” (HR Bukhari).

Kenyataan yang kita lihat tidak sedikit orang-orang yang beragama dengan tekun salah satu hasilnya adalah dia sombong atas orang lain. Diam-diam selalu merasa lebih hebat dari orang lain, lebih masuk surga dari orang lain, lebih diteria Alllah SWT amalan kebaikannya dari orang lain.

Sungguh, ajaran yang paling dahsyat keindahannya adalah ajaran mengenai Tawadhu, ajaran mengenai kerendahan hati. Jika melihat dan memperhatikan bagaimana orang-orang yang sholat dan beribadah itu adalah Latihan untuk mencampakkan diri, bukan untuk mengunggul dan menegakkan diri.  Kita cammpakkan diri kita di hadapan Allah SWT, kita bersujud tersungkur-sungkur agak kita  siap berlaku berlendah hati kepada siapa pun.

Dizaman saat ini sangat nyata terlihat bukan hanya orang kaya, bukan hanya orang kuasa, bukan hanya orang pintar namun orang Alim juga sombong yang dikatakan oleh merupakan kesombongan kealiman.

Namun dari penjabaran semua itu bukan lah sebuah pelarangan kemudian kita tidak boleh menjadi Alim agar kita tidak sombong, atau tidak boleh menjadi kaya agar tidak sombong bukan demikian. Olehnya kaya lah tapi tidak usah sombong, kuasalah dengan jabatan anda namun tetap rendah hati, pandailah karena itu menjadi jalan  menjadi arif dan menjadi alim, serta solehlah agar kita mampu merendahkan diri kita dibawah orang lain yang paling rendahpun, dikampung-kampung yang kumuh, rendahlah walaupun berhadapan dengan bawahan, serta merasa rendahlah kita walau pada tempat-tempat yang kita lewati dengan kaki kita[1].

[1] Terinspirasi dari nasehat KH.Muhammad Ainun Nadjib (Cak Nun)

 

Nilai Kepastian Hukum dalam Pilkada di Masa Pendemi Covid-19

1.082 Views

Oleh: Randy Atma R Massi, S.H.,M.H.
( Peneliti di Jati Centre, kini Tercatat Sebagai Dosen Tetap Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Palu )

Penyelenggaraan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) di masa pandemi Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) hingga kini masih mengundang polemik di tengah masyarakat. Perbedaan sikap masyarakat tentulah menimbulkan keresahan yang pada akhirnya bermuara pada sikap memilih atau tidak memilih. Ditengah kondisi pro dan kontra hukum dituntut untuk hadir dalam rangka menyudahi polemik dengan memberikan solusi berupa kepastian hukum ditengah keresahan masyarakat.

Indonesia sebagai negara yang menjunjung tinggi hukum berdasarkan Undang-Undang Dasar Tahun 1945 (UUD 1945). Maka dari itu, hukum dijadikan sebagai panglima tertinggi di indonesia, hukum sebagai suatu aturan yang kita kenal dalam bentuk perundang-undangan yang masih berlaku baik pada tingkatan nasional maupun pada tingkatan daerah. Sehingga segala sesuatu yang dilakukan manusia atau masyarakat harus berdasarkan peraturan yang ada. Hukum atau aturan tidak lepas dari kehidupan manusia karena pada dasarnya hukum merupakan suatu aturan yang tujuannya untuk mengatur manusia atau masyarakat itu sendiri demi terjaminnya keamanan dan ketertiban.

Hukum mempunyai sasaran yang hendak dicapai. Dan dalam fungsinya sebagai perlindungan kepentingan manusia hukum mempunyai tujuan. Tujuan hukum merupakan arah atau sasaran yang hendak diwujudkan dengan memakai hukum sebagai alat dalam mewujudkan tujuan tersebut dengan mengatur tatanan dan perilaku masyarakat.

Soebekti, berpendapat bahwa hukum itu mengabdi kepada tujuan negara, yaitu mendatangkan kemakmuran dan kebahagiaan para rakyat. Dalam mengabdi kepada tujuan negara dengan menyelenggarakan keadilan dan ketertiban. Merujuk pada prinsip hukum positif yang tercantum dalam alinea ke 4 Pembukaan Undang-Undang Dasar, menyatakan bahwa tujuan hukum positif kita adalah untuk membentuk suatu pemerintahan negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa indonesia dan seluruh tumpah darah indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa serta ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.

Mochtar Kusumaatmadja mengemukakan tujuan pokok dan pertama dari hukum adalah ketertiban. Kebutuhan akan ketertiban adalah syarat pokok bagi adanya masyarakat manusia yang teratur. Disamping itu, tujuan lain hukum adalah tercapainya keadilan yang berbeda isi dan ukurannya menurut masyarakat dan zamannya.

Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa Indonesia merupakan negara yang menggunakan konsep umum tujuan hukum yang sama dengan negara-negara barat yang menggunakan sistem hukum civil law dan living law yakni keadilan, kemanfaatan dan kepastian. Namun yang lebih dominan bercorak legalistik yang menekankan pada aspek hukum tertulis yang berorientasi pada KEPASTIAN.

 

Kepastian Sebagai Salah Satu Tujuan Hukum.

Menurut Hans Kelsen, hukum adalah sebuah sistem norma. Norma adalah pernyataan yang menekankan aspek “seharusnya” atau das sollen dengan menyertakan beberapa peraturan tentang apa yang harus dilakukan. Norma-norma adalah produk dan aksi manusia yang deliberative. Undang Undang yang berisi aturan-aturan yang bersifat umum menjadi pedoman bagi individu bertingkah laku dalam bermasyarakat, baik dalam hubungan dengan sesama individu maupun dalam hubungan dengan masyarakat. Aturan-aturan itu menjadi batasan bagi masyarakat dalam membebani atau melakukan tindakan terhadap individu. Adanya aturan itu dan pelaksanaan aturan tersbut menimbulkan kepastian hukum.[1]

Menurut Gustav Radbruch, hukum harus mengandung 3 (tiga) nilai identitas, yaitu sebagai berikut.

  1. Asas kepastian hukum (rechmatigheid), Asas ini meninjau dari sudut yuridis.
  2. Asas keadilan hukum (gerectigheit), Asas ini meninjau dari sudut filosofis, dimana keadilan adalah kesamaan hak untuk semua orang di depan pengadilan.
  3. Asas kemanfaatan hukum (zwechmatigheid) atau doelmatigheid atau utility. Tujuan hukum yang mendekati realistis adalah kepastian hukum dan kemanfaatan hukum. Kaum positivisme lebih menekankan pada kepastian.

Tujuan hukum yang mendekati realistis adalah kepastian hukum dan kemanfaatan hukum. Kaum Positivisme lebih menekankan pada kepastian hukum, sedangkan Kaum Fungsionalis mengutamakan kemanfaatan hukum, dan sekiranya dapat dikemukakan bahwa “summon ius, summa injuria, summa lex, summa crux” yang artinya adalah hukum yang keras dapat melukai, kecuali keadilan yang dapat menolongnya, dengan demikian kendatipun keadilan bukan merupakan tujuan hukum satu-satunya akan tetapi tujuan hukum yang substantive adalah keadilan.[2]

Di dalam suatu peraturan hukum, terkandung asas-asas hukum yang menjadi dasar pembentuknya. Dikatakan oleh Satjipto Rahardjo, bahwa asas hukum dapat diartikan sebagai “jantungnya” peraturan hukum[3] sehingga untuk memahami suatu peraturan hukum diperlukan adanya asas hukum. Dengan bahasa lain, Karl Larenz dalam bukunya Methodenlehre der Rechtswissenschaft menyampaikan bahwa asas hukum merupakan ukuran-ukuran hukum ethis yang memberikan arah kepada pembentukan hukum.[4] Oleh karena asas hukum mengandung tuntutan etis maka asas hukum dapat dikatakan sebagai jembatan antara peraturan hukum dengan cita-cita sosial dan pandangan etis masyarakat.

Menurut Utrecht, kepastian hukum mengandung dua pengertian, yaitu pertama adanya aturan yang bersifat umum membuat individu mengetahui perbuatan apa yang boleh atau tidak boleh dilakukan, dan kedua, berupa keamanan hukum bagi individu dari kesewenangan pemerintah karena dengan adanya aturan yang bersifat umum itu individu dapat mengetahui apa saja yang boleh dibebankan atau dilakukan oleh Negara terhadap individu. Kepastian hukum ini berasal dari ajaran Yuridis-Dogmatik yang didasarkan pada aliran pemikiran positivisme di dunia hukum yang cenderung melihat hukum sebagai sesuatu yang otonom yang mandiri, karena bagi penganut aliran ini, tujuan hukum tidak lain sekedar menjamin terwujudnya oleh hukum yang bersifat umum. Sifat umum dari aturan-aturan hukum membuktikan bahwa hukum tidak bertujuan untuk mewujudkan keadilan atau kemanfaatan, melainkan semata-mata untuk kepastian.[5]

Lebih lanjut terkait kepastian hukum, Lord Lloyd mengatakan bahwa:[6]

“…law seems to require a certain minimum degree of regularity and certainty ,f or without that it would be impossible to assert that what was operating in a given territory amounted to a legal system”

Dari pandangan tersebut maka dapat dipahami bahwa tanpa adanya kepastian hukum orang tidak tahu apa yang harus diperbuatnya dan akhirnya timbulah ketidakpastian (uncertainty) yang pada akhirnya akan menimbulkan kekerasan (chaos) akibat ketidaktegasan sistem hukum. Sehingga dengan demikian kepastian hukum menunjuk kepada pemberlakuan hukum yang jelas, tetap dan konsisten dimana pelaksanaannya tidak dapat dipengaruhi oleh keadaan-keadaan yang sifatnya subjektif.

Dari pandangan tersebut maka dapat dipahami bahwa tanpa adanya kepastian hukum orang tidak tahu apa yang harus diperbuatnya dan akhirnya timbulah ketidakpastian (uncertainty) yang pada akhirnya akan menimbulkan kekerasan (chaos) akibat ketidaktegasan sistem hukum. Sehingga dengan demikian kepastian hukum menunjuk kepada pemberlakuan hukum yang jelas, tetap dan konsisten dimana pelaksanaannya tidak dapat dipengaruhi oleh keadaan-keadaan yang sifatnya subjektif.[7] Meskipun dikatakan bahwa asas hukum merupakan jantung dari peraturan hukum, akan tetapi tidak dapat disamakan antara asas hukum dan norma hukum dalam bentuk hukum positif. Asas hukum hanya bersifat mengatur dan menjelaskan (eksplanasi), dimana tujuannya hanya memberi ikhtisar dan tidak normatif.[8] Oleh karena itu asas hukum tidak termasuk hukum positif dan tentu tidak dapat diterapkan secara langsung untuk menyelesaikan sengketa hukum. Dalam hal ini, Van Eikema Hommes secara tegas mengatakan asas hukum tidak boleh dianggap sebagai norma-norma hukum yang konkrit, tetapi dipandang sebagai dasar-dasar umum atau petunjuk-petunjuk bagi hukum yang berlaku.[9]

Dalam menegakkan hukum ada tiga unsur yang harus diperhatikan, yaitu: kepastian hukum, kemanfaatan dan keadilan. Ketiga unsur tersebut harus ada kompromi, harus mendapat perhatian secara proporsional seimbang. Tetapi dalam praktek tidak selalu mudah mengusahakan kompromi secara proporsional seimbang antara ketiga unsur tersebut. Tanpa kepastian hukum orang tidak tahu apa yang harus diperbuatnya dan akhirnya timbul keresahan. Tetapi terlalu menitik beratkan pada kepastian hukum, terlalu ketat mentaati peraturan hukum akibatnya kaku dan akan menimbulkan rasa tidak adil.

 

Kepastian Hukum dalam Pilkada di Masa Pandemi

Rapat Kerja antara KPU, Bawaslu, DKPP, Pemerintah (Mendagri) dan DPR RI (Komisi II) pada 27 Mei 2020, telah menyepakati akan melaksanakan PILKADA pada tanggal 9  Desember 2020. Dalam rangka mengantisipasi agar tidak terjadinya kekosongan hukum maka pemerintah telah menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) No 2 tahun 2020 tentang pelaksanaan pemungutan suara dilaksanakan pada bulan Desember 2020.

Tinjauan historis mengenai jenis peraturan perundang-undangan, Perppu merupakan salah satu jenis dari Peraturan Pemerintah (PP). Jenis PP yang pertama adalah untuk melaksanakan Perintah UU. Jenis PP yang kedua yakni PP sebagai pengganti UU yang dibentuk dalam hal ihwal Kegentingan yang Memaksa. Perppu merupakan jenis perundang-undangan yang disebutkan dalam UUD NRI Tahun 1945, yakni dalam Pasal 22. Pasal 22 UUD 1945 menyebutkan bahwa dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa, Presiden berhak menetapkan Perppu.[10] Pasal 1 angka 4 UU No.12 Tahun 2011 memuat ketentuan umum yang memberikan definisi Peraturan Pemerintah Pengganti Undang Undang adalah peraturan perundang-undangan yang ditetapkan oleh Presiden dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa.[11] Pasal 1 angka 3 Perpres 87 Tahun 2014 juga tidak memberikan batasan pengertian pada Perppu melainkan menyebutkan definisi yang sama sebagaimana tercantum dalam UU 12 Tahun 2011 dan UUD 1945.[12]

Perppu sebenarnya merupakan suatu Peraturan Pemerintah yang bertindak sebagai suatu Undang-Undang atau dengan perkataan lain Perpu adalah Peraturan Pemerintah yang diberi kewenangan sama dengan Undang-Undang. Peraturan Pemerintah adalah peraturan perundang-undangan yang dibentuk oleh Presiden untuk melaksanakan UU. UU adalah peraturan perundang-undangan yang pembentukannya dilakukan oleh dua lembaga, yakni DPR dengan persetujuan Presiden dan merupakan peraturan yang mengatur lebih lanjut ketentuan-ketentuan dalam UUD 1945.

Perppu dibentuk oleh Presiden dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa. Apabila Perppu sebenarnya adalah Peraturan Pemerintah dan Peraturan Pemerintah adalah peraturan perundang-undangan untuk melaksanakan UU, maka Perppu adalah peraturan perundang-undangan yang dibentuk dalam hal ihwal Kegentingan yang Memaksa, untuk melaksanakan undang-undang. Namun karena Peraturan Pemerintah ini diberi kewenangan sama dengan UU, maka dilekatkan istilah “pengganti UU”. UU merupakan peraturan yang mengatur lebih lanjut ketentuan UUD 1945. Maka Perppu merupakan Peraturan Pemerintah yang dibentuk dalam hal ihwal Kegentingan yang Memaksa untuk mengatur lebih lanjut ketentuan UUD 1945.

Pembentukan peraturan perundang-undangan pada umumnya meliputi tahapan perencanaan, penyusunan, pengesahan atau penetapan dan pengundangan. Perppu yang sejatinya dibentuk dalam Kegentingan yang Memaksa meniscayakan tahapan perencanaan tidak dilakukan, karena keadaannya bersifat tidak terduga, tidak terencana. Pasal 58 Peraturan Presiden Nomor 87 Tahun 2014, menguraikan tata cara penyusunan rancangan Perppu dengan menekankan hal ihwal kegentingan yang Memaksa dalam Pasal 57.

Sebagai salah satu jenis peraturan perundang-undangan, Perpu juga harus bersumber pada Pancasila dan UUDNRI 1945 sebagai sumber dari segala sumber hukum negara dan hukum dasar dalam Peraturan Perundang-undangan serta selayaknya juga dapat menjadi sumber hukum peraturan perundang-undangan yang lebih rendah. Berdasarkan konsep bahwa Perppu merupakan suatu peraturan yang dari segi isinya seharusnya ditetapkan dalam bentuk undang-undang, tetapi karena keadaan kegentingan memaksa ditetapkan dalam bentuk peraturan pemerintah maka kedudukan Perppu yang paling rasional dalam hierarki peraturan perundang-undangan adalah sejajar dengan undang-undang.

Dari uraian diatas maka jelaslah mengenai kepastian hukum secara Normatif mengenai Lanjut atau tidaknya Pilkada tahun 2020 tergantung kondisi serta situasi perkembangan dan penyebaran Covid 19. Dalam Perppu No 2 Tahun 2020 disebutkan tentang pelaksanaan pemungutan suara yang sedianya dilaksanakan pada 26 September 2020 menjadi Desember 2020 (Pasal 201A ayat 2). Yang sebelumnya KPU RI lewat SK No 179/PL.02-Kpt/01/KPU/III/2020 atas dasar pertimbangan penyebaran Corona Virus Disease 2019 (Covid 19) yang menjadi pandemi global, memutuskan untuk melakukan penundaan tahapan pemilihan gubernur dan waakil gubernur, bupati dan wakil bupati dam/atau walikota dan wakil walikota.

Maknanya, keputusan Indonesia untuk menggeser pelaksanaan pilkada tetap di tahun ini memiliki rujukan. Namun tentu bukan hanya itu argumentasi utamanya. Argumentasi utama tentu saja soal menjaga kesinambungan demokrasi. Dalam sistem presidensial, termasuk pada pemerintahan lokal, secara konstitusi jabatan kepala daerah berlaku prinsip fix term alias telah ditetapkan masa jabatannya. Menunda pilkada bisa menimbulkan konflik politik yang kontra produktif dalam situasi penanganan Covid-19. Standar internasional untuk pemilu yang merujuk pada Deklarasi Universal HAM 1948 dan Kovenan Internasional 1966 tentang Hak Sipil dan Politik, maupun berbagai konvensi serta komitmen mengenai pemilu demokratis menyepakati salah satu standar pemilu demokratis adalah penyelenggaraan pemilu yang berkala (IDEA, 2005). Bayangkan, potensi masalah politik dan hukumnya jika pilkada tidak digelar sesuai UU atau Perppu. Bila masa jabatan kepala daerah diperpanjang oleh pemerintah, oposisi atau penantang petahana akan menggugat karena hak konstitusionalnya untuk mencalonkan diri jadi terhambat. Ketidakpastian hukum dan politik akan terjadi. Penundaan pemilu dengan alasan pandemi justru berpotensi mengebiri demokrasi. Implikasinya jelas, instabilitas politik di tengah pandemi jadi taruhan, kecurigaan, bahkan ketidakpercayaan pada pemerintah akan meningkat.[13]

Hingga saat ini vaksin untuk Covid-19 memang belum juga ditemukan. Tetapi sembari menunggu vaksin tersedia, seharusnya semua orang disiplin menerapkan protokol kesehatan sehingga tetap menjalankan aktivitas dengan tetap waspada. Termasuk untuk pelaksanaan pilkada di tengah pandemi Covid-19. Menunggu vaksin tentunya butuh waktu yang lama mengingat  proses distribusinya ke seluruh Indonesia. Jika  vaksin paling cepat ditemukan pertengahan 2021, dapat dikatakan pada Tahun 2022 atau pertengahan 2022 masalah covid ini bisa baru dapat diselesaikan.

Terlepas dari hal diatas, terdapat sisi lain yang lebih urgen jika menilik kepada nilai kepastian hukum bagi masyarakat adalah dengan ditundanya Pilkada maka akan terjadi stagnatisasi dalam pemerintahan daerah karena akan ada perpanjangan masa jabatan PLT, sedangkan PLT mempunyai tindakan yang terbatas dibanding pejabat definitive, pada faktanya, wewenang yang dimiliki oleh pelaksana tugas dibatasi karena ia tidak boleh mengambil tindakan atau kebijakan yang bersifat strategis sehingga hal inilah yang nantinya malah menghambat jalannya roda pemerintahan. Olehnya tepatlah Jika Pilkada serentak Pada Tanggal 9 Desember 2020 tetap harus dilaksanakan tentu dengan menerapkan Protokol Kesehatan.

Catatan Kaki

[1] Peter Mahmud Marzuki, Pengantar Ilmu Hukum, Kencana, Jakarta, 2008, hlm. 58.
[2] Dosminikus Rato, Filasafat Hukum Mencari dan Memahami Hukum, PT Presindo, Yogyakarta, 2010, hlm. 59.
[3] Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, Citra Aditya Bakti: Bandung, 2012, hlm. 45.
[4] Dewa Gede Atmaja, “Asas-Asas Hukum Dalam Sistem Hukum”, Jurnal Kertha Wicaksana, Volume 12, Nomor 2, 2018, hlm. 146.
[5] Riduan Syahrani, Rangkuman Intisari Ilmu Hukum, Citra Aditya, Bandung, 1999, hlm.23.
[6] Mirza Satria Buana, Hubungan Tarik-Menarik Antara Asas Kepastian Hukum (Legal Certainpi) Dengan Asas Keadilan (Substantial Justice) Dalam Putusan-Putusan Mahkamah Konstltusi, Yogyakarta: Tesis Magister Ilmu Hukum Universitas Islam Indonesia, 2010, hlm.34.
[7] R. Tony Prayogo, “Penerapan Asas Kepastian Hukum Dalam Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2011 Tentang Hak Uji Materiil Dan Dalam Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 06/Pmk/2005 Tentang Pedoman Beracara Dalam Pengujian Undang-Undang “, Jurnal Legislasi Indonesia, Volume 13, Nomor 2, 2016, hlm.194.
[8] Sidharta, Karakteristik Penalaran Hukum Dalam Konteks Keindonesiaan, Alumni: Bandung, 2006, hlm. 204.
[9] Notohamidjojo, Soal-Soal Pokok Filsafat Hukum, BPK Gunung Mulia: Jakarta,1975, hlm. 49.
[10]  Indonesia, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Ps.22 . Indonesia, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
[11] ndonesia, Undang-Undang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan,UU No.12 Tahun 2011, LN No.82 Tahun 2011, TLN No.5234, Ps.1.
[12] Indonesia, Peraturan Presiden tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, Perpres No. 87 Tahun 2014, LN No.199 Tahun 2014, Ps.1.
[13] Sumber: https://nasional.kompas.com/read/2020/07/07/14144791/pilkada-di-tengah-pandemi-apa-pentingnya-bagi-rakyat?page=all. Di akses tanggal 5 Oktober 2020.

ASN, antara Netralitas dan Politik “Balas Budi”

314 Views

Oleh : DEBY ANASTASYA, SH
(Koordinator Divisi Hukum dan Pengawasan PIM)

Pemilihan Kepala Daerah atau PILKADA yang merupakan Pesta demokrasi terbesar tahun ini sudah di depan mata, berbagai rangkaian kegiatan dan tahapan sudah dilaksanakan seperti penetapan Daftar Pemilih Sementara (DPS) hingga penetapan Calon kepala daerah yang akan diumumkan pada 23 September 2020 oleh KPU. Selain itu, tahapan kampanye akan dimulai pada 26 September 2020 sampai dengan 5 Desember 2020 atau selama 71 hari yang mana KPU membagi masa kampanye pada pilkada tahun ini menjadi 3 fase.

Setiap tahapan Pemilihan terdapat beberapa kerawanan yang berpotensi mengganggu kelancaran tahapan Pemilihan. Salah satu sumber kerawanan Pemilihan adalah netralitas ASN. Meskipun ada banyak aturan yang melarang keberpihakan ASN dalam Pemilihan seperti Surat Keputusan Bersama (SKB) tentang Pedoman Pengawasan Netralitas Aparatur Sipil Negara Dalam Penyelenggaraan Pemilihan Kepala Daerah Serentak Tahun 2020 yang ditandatangai oleh Kemenpan RB, Kemendagri, BKN, Bawaslu, dan KASN pada Kamis 10/9/2020 yang mengatur secara detail mengenai pengawasan Netralitas ASN, nyatanya masih banyak oknum ASN yang melanggar netralitasnya.

Provinsi Sulawesi Tengah sendiri berdasarkan data Penanganan Pelanggaran ASN pada Pemilihan 2020 oleh Bawaslu Provinsi Sulawesi Tengah terdapat 53 kasus yang direkomendasikan ke KASN dari 57 kasus teregistrasi, sedangkan 4 kasus lainnya dinyatakan tidak memenuhi unsur pelanggaran. Angka ini menunjukan jumlah pelanggaran Netralitas ASN di  Sulawesi Tengah terbilang Tinggi. Hal ini tentu merupakan ceriminan perilaku buruk pejabat pemerintahan kita.

Kerawanan netralitas ASN ini makin terlihat jelas dan meningkat saat incumbent berlaga pada kontestasi Pemilihan. Ada beberapa alasan oknum ASN menjadi “tidak netral” dalam hal ini, seperti loyalitas terhadap atasan dan juga “balas budi” atas jasa yang diberikan oleh incumbent tersebut. Menyoroti politik “balas budi” dalam hal ini, tentu erat kaitannya dengan Nepotisme dan jual-beli jabatan pada masa kepemimpinan incumbent di era sebelumnya. Saat oknum ASN sudah merasakan nikmatnya jabatan yang diberikan, maka secara otomatis ia akan mendukung incumbent tersebut tanpa memandang kualitas kepemimpinannya secara profesional apalagi program futuristik yang ditawarkan bahkan tanpa menghayati lebih jauh netralitasnya sebagai seorang abdi negara.

Bahkan ada beberapa oknum ASN yang paham akan aturan netralitasnya  bukannya menerapkan aturan itu malah mencari celah untuk “mengelabui” aturan tersebut. Salah satunya dengan mengerahkan dukungan secara tidak langsung tapi melalui pihak ketiga seperti suami/istri non ASN, bahkan bawahan yang berstatus non ASN atau honorer. Hal ini kemudian menjadi PR bagi lembaga pengawasan pemilu untuk mampu menjangkau hal-hal yang lebih jauh seperti itu untuk menjaga kualitas tahapan Pemilihan.

Muncul pertanyaan getir nan menggelitik. Saat budaya Nepotisme, jual beli jabatan masih mendarah daging pada tiap pribadi pemegang jabatan yang kemudian tetap lekat dalam tahapan pemilihan sebagai sarana demokrasi maka kualitas kepemimpinan seperti apa yang kita harapkan dari para pejabat negara yang terpilih?

Sumber Gambar Unggulan: https://www.rakyatcirebon.id/

Kerawanan Pilkada dimasa Pandemi COVID-19

297 Views

Kerawanan Pilkada di masa Pandemi COVID-19

Oleh

Bambang Rinaldi (Direktur Lembaga Studi Informasi dan Pendidikan)

Sejak diberlakukannya new normal atau kenormalan baru pada bulan juni 2020 oleh pemerintah, maka aktivitas pemerintahan, perekonomian, dan sosial serta tempat ibadah berangsur-angsur kembali berjalan, namun pemaknaan new normal dimasyarakat terkadang masih keliru, pemahaman bahwa new normal adalah kembalinya ke masa sebelum pandemi covid-19 sehingga penerapan standar protocol pencegahan tersebut sering kali terabaikan. Dampak dari pemahaman itu kemudian belakangan ini mulai dirasakan dimana angka kasus penyebaran covid-19 kembali melonjak naik dibeberapa daerah termaksud ibukota DKI Jakarta yang kembali memberlakukan PSBB.

Merujuk pada konteks Sulawesi Tengah, bahwa kasus terkonfirmasi penyebaran virus covid-19 per 13 September 2020 berdasarkan data Pusdatina tercatat 271 kasus positif. Sebaran terbanyak di Kota Palu sebanyak 68 kasus, 60 kasus di Kabupaten Buol, 34 kasus di Banggai, masing 20 kasus di Poso dan di Tolitoli, 17 kasus Morowali Utara, masing-masing 16 kasus di Donggala, 15 kasus Morowali, 9 kasus Parigi Moutong , 5 kasus di Sigi, 4 kasus di Banggai Kepulauan, dan 2 kasus di Banggai Laut serta 1 kasus di Tojo Una-Una.

Kembali meningkatnya angka kasus positif covid-19 di Tanah Air diantaranya  Provinsi Sulawesi Tengah sepatunya harus diwaspadai oleh para penyelenggara. Keputusan penyelenggaraan pilkada serentak pada 9 Desember 2020 merupakan kesepakatan politik yang telah diambil oleh pemerintah melalui Rapat Kerja Komisi II DPR-RI dengan Penyelenggara Pemilu dan Kementerian Dalam Negeri . Dari hasil keputusan tersebut maka terbitlah Perppu Nomor 2 Tahun 2020, yang mengatur pemungutan suara dalam penyelenggaraan pilkada.

Langkah politik yang ditempuh oleh pemerintah sejak awal ini menuai pro dan kontra dalam masyarakat, disebabkan di tengah kondisi bangsa yang fokus pada penanganan pencegahan penyebaran virus Covid-19, kini dihadapkan dengan kontestasi yang melibatkan banyak orang. Maka hal ini akan menjadi PR besar bagi para penyelenggara demi menjaga keselamatan kesehatan masyarakat dalam proses pilkada dan harus menjadi prioritas utama.

Sudah sepatutnya mewaspadai kondisi kekinian penyebaran virus tersebut oleh lembaga penyelenggara dan pihak terkait. karena Setiap tahapan penyelenggaraan tentu memiliki potensi penyebaran virus, kerawanan penyelenggaraan pilkada ditengah pandemi covid-19 akan mempengaruhi kualitas kesehatan masyarakat serta keselamatan peserta dan penyelenggara yang pada akhirnya menentukan kualitas kontestasi demokrasi di Sulawesi Tengah pada khususnya dan Bangsa Indonesia pada Umumnya. Sehingga salah satu upaya yang ditempuh dalam pencegahan penyebaran virus adalah menyesuaikan standar protocol pencegahan covid-19.

Kerawanan penyebaran virus covid-19 penyelenggaraan kontestasi pilkada kali ini berada pada beberapa tahapan diantaranya tahapan pencalonan yang dimulai sejak tanggal 4 september 2020 sampai dengan 24 september 2020 hal ini disebabkan karena rentetan tahapan pencalonan ini banyak mengumpulkan masa dan dalam kerumunan, sebut saja pada pendaftaran calon di KPU dimana banyaknya iring-iringan massa yang mengantarkan pasangan calon untuk mendaftar terkadang mengabaikan protocol kesehatan covid-19 utamanya adalah jaga jarak minimal 1 meter sulit untuk diterapkan dikerumunan.

Tahapan kampanye merupakan waktu dimana tingginya kerawanan penyebaran virus, sebab pengumpulan sejumlah masa secara masif oleh tim pemenangan setiap pasangan calon dapat menyebabkan penyebaran virus semakin meningkat bila panitia yang dibentuk tim pemenangan tidak menerapkan protocol covid-19 dan yang mesti menjadi perhatian oleh pihak penyelenggara kampanye adalah penerapan protocol covid-19 tidak hanya disaat berlangsungnya acara namun saat selesai acara kampanye terkadang peserta kampanye tidak mengindahkan protocol pencegahan covid-19. Penyumpulan orang banyak tidak hanya sampai pada tahapan kampanye namun sampai pada 9 Desember dimana berlangsungnnya pemumutan suara dan pasca perhitungan suara.

Adanya kemungkinan terjadinya klaster baru yang lebih besar dalam penyelenggaraan pilkada kali ini dan turut berkontribusi dalam meningkatkan tingginya angka penyebaran virus covid-19 maka pemerintah sebagai penyelenggara pilkada baik dari KPU, Bawaslu, TNI-Polri, dan Satgas Pencegahan Covid-19 saling besinergi dalam mengsukseskan pesta demokrasi kali ini tentu salah satunya adalah menerbitkan aturan ketat dan terukur dalam setiap tahapan pilkada sehingga dapat meminimalisir penyebaran covid-19 dan baik penyelenggara dan peserta pilkada aman dari infeksi covid-19.

Melihat trend penyebaran virus covid-19 yang kian meningkat maka langkah untuk mengkaji kembali pelaksanaan pilkada pada tanggal 9 desember 2020 perlu dipertimbangkan. Walaupun sejauh ini tahapan pilkada sudah berjalan sampai pada tahapan pencalonan yang tentu sudah menelan anggaran sampai triliun rupiah namun pencegahan korban jiwa akibat infeksi virus ini patut diprioritaskan sehingga langkah penundaan kembali pilkada tahun 2020 sampai kondisi kesehatan bangsa pulih kembali. Ruang untuk penundaan atau pembatalan pilkada sangat terbuka dimana opsi penundaan pilkada diatur dalam undang-undang Nomor 6 tahun 2020 sehingga penundaan tahapan pilkada memiliki dasar yang kuat secara yuridis.