Kewenangan Pembentukan Perda Retribusi Penjualan Hasil Produksi Usaha Daerah, Berikut Penjelasannya

527 Views

Jati Centre-Pasangkayu. Pertumbuhan ekonomi akan semakin besar apabila pemerintah daerah mampu meningkatkan basis dari pendapatan asli daerahnya. Satu komponen pendapatan asli daerah (PAD) yang dapat didorong peningkatannya adalah dari Retribusi Jasa Usaha, dalam hal ini Retribusi Penjualan Hasil Produksi Usaha Daerah.

Hal itu disampaikan Akademisi Universitas Islam Negeri (UIN) Datokarama Palu Besse Tenriabeng Muryid pada Konsultasi Publik Rancangan Peraturan Daerah, di Pasangkayu pada Selasa (22/03/2022).

“Inisiasi ini memperoleh dasar kewenangan sesuai ketentuan Pasal 88 ayat (3) huruf i dan Pasal 94 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah,” sebut Besse.

Menurut Peneliti Jati Centre ini, ketentuan yuridis tersebut menyebutkan di antara jenis penyediaan atau pelayanan barang dan/atau jasa yang merupakan objek retribusi jasa usaha meliputi penjualan hasil produksi usaha pemerintah daerah, yang lebih lanjut ditetapkan dengan Peraturan Daerah.

“Retribusi penjualan hasil produksi usaha daerah adalah pungutan daerah sebagai pembayaran atas hasil produksi usaha pemerintah daerah yang dilakukan oleh perangkat daerah untuk kepentingan orang pribadi atau badan,” pungkasnya.

Untuk diketahui, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah sebagaimana diubah terkahir kali dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja, memerintahkan adanya otonomi daerah dan memberikan kewenangan, disertai hak dan kewajiban kepada para penyelenggara pemerintahan daerah. Penerapan otonomi daerah dititikberatkan pada penyerahan sejumlah kewewenangan (urusan) pemerintahan dan pembiayaan yang dikenal dengan Pendapatan Asli Daerah (PAD).

Komponen utamanya berupa penerimaan dari komponen pajak daerah dan retribusi daerah. Semakin besar pendapatan yang dimiliki oleh daerah, maka kemampuan daerah untuk melaksanakan proyek pembangunan (misalnya infrastruktur jalan, dan rumah sakit) tentu semakin besar hingga memacu peningkatan pembangunan daerah.

Sumber pendapatan daerah yang signifikan menopang pembiayaan penyelenggaraan pemerintah daerah adalah pajak daerah dan retribusi daerah. Namun demikian, pemungutan pajak dan retribusi dearah kepada masyarakat suatu daerah dituntut untuk memperhatikan potensi dan kemampuan masyarakat. Sehingga pemungutan tidak membebani dan kontra produktif terhadap upaya mempercepat pencapaian kesejahteraan dan kemakmuran. (Rsl)

Dinamika Penerapan Sistem Pemerintahan Presidensial dan Parlementer di Indonesia

2.040 Views

Oleh :  Muhammad Taufik,S.Sy., M.Sos
(Dosen Universitas Islam Negeri (UIN) Datokarama Palu)

Setiap negara dalam menjalankan pemerintahannya, memiliki sistem yang berbeda-beda meskipun dengan nama yang sama seperti sistem presidensial atau sistem parlementer. Baik sistem presidensial maupun sistem parlementer, sesungguhnya berakar dari nilai-nilai yang sama yaitu ”demokrasi”.[1] Penerapan demokrasi dalam setiap negara mengambil bentuk yang berbeda-beda antara negara yang satu maupun negara lain, terkadang dalam sebuah negara dalam menjalankan demokrasi mengambil bentuk sistem parlementer, demikian pula terkadang suatu negara menjalankan sistem presidensial demi untuk mewujudkan demokrasi.

Terkadang muncul anggapan bahwa sistem pemerintahan presidensial lebih unggul dan cenderung lebih stabil daripada parlementer. Anggapan ini merupakan anggapan yang tidak sepenuhnya benar, persoalan sebenarnya adalah tergantung bagaimana demokasi dijalankankan dalam sebuah negara. Tarik- menarik antara dua teori sistem pemerintahan tersebut mempunyai implikasi apakah suatu negara lebih dominan menyelenggarakan sistem presidensial atau parlementer.

Setiap negara dalam menjalankan demokrasi memiliki cara yang berbeda-beda. Dua model alternatif utama yaitu sistem pemerintahan presidensial dan pemerintahan parlementer menjadi hal yang selalu diperdebatkan. Kelebihan dan kekurangan dari kedua bentuk pelaksanaan demokrasi (presidensial dan parlementer) telah lama diperdebatkan. Bahkan lebih lama dari pelaksanaan demokrasi modern itu sendiri, yang belum dijalankan sepenuhnya di seluruh penjuru dunia hingga awal abad ke-20. Sehingga tidaklah mengherankan perhatian yang besar terhadap sistem pemerintahan presidensial dan pemerintahan parlementer muncul bersamaan dengan gelombang demokratisasi, yang tentunya tidak pernah semarak atau seluas seperti sekarang ini. Perdebatan yang muncul terkait persoalan ini, umumnya dipelopori dua negara yaitu Inggris raya dan Amerika serikat, yang menjadi model utama pemerintahan parlementer dan presidensial yang kemudian menyebar ke negara-negara lainnya termasuk Indonesia.[1]

Sementara untuk Indonesia sendiri, menjadi suatu perdebatan sampai sekarang dikalangan para pakar hukum tata negara dan politik bahwa sistem pemerintahan Indonesia menganut sistem pemerintahan yang berbentuk apa. Hanta yuda, mengemukakan bahwa ketika UUD 1945 belum diamandemen, corak pemerintahan Indonesia sering dikatakan sebagai sistem semipresidensial. Namun dalam prakteknya sistem pemerintahan Indonesia justru lebih mendekati corak parlementer seperti halnya dalam masa konstitusi Republik Indonesia Serikat (RIS) dan UUDS tahun 1950. Dan setelah amandemen UUD 1945 sistem pemerintahan Indonesia menjadi sistem presidnesial murni. Sedangkan Bagir manan menyebutkan bahwa sistem pemerintahan Indonesia menganut sistem pemerintahan presidensial karena berpendapat pertanggungjawaban presiden kepada MPR bukan merupakan pertanggungjawaban kepada badan legeslatif. dalam hal ini menambahkan, petanggungjawaban Presiden kepada MPR tidak boleh disamakan dengan pertanggungjawaban kabinet  kepada parlemen (dalam sistem parlementer).[2]

Dari permasalahan ini, sehingga menjadi hal sangat penting untuk menelusuri pelaksanaan sistem pemerintahan di Indonesia hingga sekarang ini, apakah menganut sistem presidensial murni atau campuran sistem presidensial dan parlementer.

PEMBAHASAN

1.  Pengertian Sistem Pemerintahan Presidensial dan Parlementer

Sebelum menjelaskan dan memaparkan secara lebih luas terkait persoalan sistem pemerintahan presidensial dan parlementer dari sisi perbedaan, kelemahan dan kelebihan, terlebih dahulu akan dijelaskan secara singkat mengenai pengertian dari sistem pemerintahan presidensial dan sistem parlementer.

Sistem pemerintahan presidensial atau disebut juga dengan sistem kongresional adalah sistem pemerintahan dimana badan eksekutif dan legislatif memiliki kedudukan yang independen. Kedua badan tersebut tidak berhubungan secara langsung seperti dalam sistem pemerintahan parlementer. Mereka dipilih oleh rakyat secara terpisah. Sistem presidensial tidak mengenal adanya lembaga pemegang supremasi tertinggi. Kedaulatan negara dipisahkan (separation of power) menjadi tiga cabang kekuasaan, yakni legislatif, eksekutif, dan yudikatif, yang secara ideal diformulasikan sebagai ”Trias Politica” oleh Montesquieu. Presiden dan wakil presiden dipilih langsung oleh rakyat untuk masa kerja yang lamanya ditentukan konstitusi. Konsentrasi kekuasaan ada pada presiden sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan. Dalam sistem presidensial para menteri adalah pembantu presiden yang diangkat dan bertanggung jawab kepada presiden.[3]

Sistem pemerintahan presidensial merupakan bagian dari sistem pemerintahan negara republik di mana kekuasan eksekutif atau Presiden dipilih melalui pemilu dan terpisah dengan kekuasan legislatif atau anggota DPR. Menurut Rod Hague sebagaimana yang dikutip Anita Rahmawati, pemerintahan presidensial terdiri dari 2 unsur yaitu:

  1. Presiden yang dipilih rakyat memimpin pemerintahan dan mengangkat pejabat-pejabat pemerintahan yang terkait.
  2. Presiden dengan dewan perwakilan memiliki masa jabatan yang tetap, tidak bisa saling menjatuhkan.[4]

Sistem pemerintahan parlementer adalah sebuah sistem pemerintahan dimana parlemen memiliki peranan penting dalam pemerintahan. Dalam hal ini parlemen memiliki wewenang dalam mengangkat perdana menteri dan parlemen pun dapat menjatuhkan pemerintahan, yaitu dengan cara mengeluarkan semacam mosi tidak percaya. Berbeda dengan sistem pemerintahan presidensial, di mana sistem pemerintahan parlemen dapat memiliki seorang presiden dan seorang perdana menteri, yang berwenang terhadap jalannya pemerintahan. Dalam sistem pemerintahan presidensial, presiden berwenang terhadap jalannya pemerintahan, namun dalam sistem pemerintahan parlementer presiden hanya menjadi simbol kepala negara saja. Sistem parlementer dibedakan oleh cabang eksekutif pemerintah tergantung dari dukungan secara langsung atau tidak langsung cabang legislatif, atau parlemen, sering dikemukakan melalui sebuah veto keyakinan. Oleh karena itu, tidak ada pemisahan kekuasaan yang jelas antara cabang eksekutif dan cabang legislatif.[5]

Secara sederhana perbedaan anatara sistem pemerintahan presidensial dan parlementer adalah persoalan wewenang dan kekuasaan kepala negara. Dalam sistem pemerintahan presidensial kekuasaan kepala negara relatif kuat dan tidak dapat dijatuhkan oleh lembaga legislatif, kekuasaan kepala negara sekaligus kekuasaan pemerintahan terpusat kepada presiden. Sedangkan dalam sistem pemerintahan parlementer Presiden hanya berfungsi sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan dipegang oleh perdana menteri. Kekuasaan Presiden atau kepala negara dapat dijatuhkan oleh lembaga legislatif dengan memunculkan mosi tidak percaya yang dikemukakan melalui sebuah veto keyakinan.

2.  Perbedaan Sistem Pemerintahan Presidensial dan Parlementer

Sistem pemerintahan presidensial dan parlementer memiliki ciri-ciri khusus dan terdapat diantara keduanya. Secara umum dan lebih luas antara Sistem pemerintahan presidensial dan parlementer menurut Arend Lijphart terdapat perbedaan setidakya dalam tiga hal: pertama, dalam sistem pemerintahan parlementer, kepala pemerintahan bisa dijabat oleh perdana menteri sedangkan kepala negara dijabat oleh presiden. Keduanya bergantung pada mosi atau kepercayaan badan legislatif dan dapat diturunkan dan dilengserkan dari jabatan melalui mosi tak percaya dari legislatif. Sedangkan dalam sistem pemerintahan presidensial, kepala pemerintahan juga merangkap sebagai kepala negara yang dipegang oleh presiden, dan dipilih untuk masa jabatan tertentu sesuai dengan UUD dan dalam keadaan normal tidak dapat diturunkan oleh anggota legislatif.

Kedua, dalam sistem parlementer kepala pemerintahan dan kepala negara dipilih oleh badan legislatif. Sementara dalam sistem presidensial kepala pemerintahan atau kepala negara dalam hal ini adalah presiden dipilih oleh rakyat, baik secara langsung atau melalui badan pemilihan.

Ketiga, dalam sistem pemerintahan parlementer memiliki pemerintah atau eksekutif kolektif atau kolegial, posisi perdana menteri dalam kabinet bisa berubah-ubah, yaitu lebih tinggi hingga sama dengan menteri-menteri yang lain, tetapi selalu ada tingkat kolegalitas yang relatif tinggi dalam pembuatan keputusan. Sedangkan dalam sistem pemerintahan presidensial memiliki eksekutif non kolegial atau satu oang yang berpusat pada presiden, dimana para anggota kabinet presidensial hanya merupakan penasihat dan bawahan presiden.[6]

Saldi Isra mengatakan bahwa sistem parlementer berbeda dengan sistem presidensial, karena dalam sistem presidensial presiden tidak hanya sebagai kepala eksekutif tetapi sekaligus sebagai kepala negara. Artinya presiden tidak hanya sebagai kepala pemerintahan tetapi juga sebagai kepala negara. Dengan rentang kekuasaan presiden yang begitu luas, maka perbedaan lain yang dari sistem pemerintahan presidensial dan parlementer adalah terletak pada objek utama yang diperebutkan. Dalam sistem parlementer objek utama yang yang diperebutkan adalah parlemen, sedangkan dalam sistem presindesial objek utama yang diperebutkan adalah presiden. Karena itu dalam sistem presidensial posisi presiden sebagai kepala ekesuktif dan lembaga legislatif cenderung berhadap-hadapan (vis a vis).[7]

Dari penjelasan ini, secara umum kita telah memiliki gambaran terkait perbedaan antara sistem presidensial dan parelementer. Namun, untuk lebih memperjelas perbedaan terkait dua sistem tersebut, penulis akan menjelasakan secara spesifik dari sistem presidensial dan parlementer baik dari ciri-cirinya, maupun terkait dengan kelemahan dan kelebihannya.

a.  Sistem Presidensial

Sistem pemerintahan presidensil ini bertitik tolak dari konsep pemisahan sebagaimana dianjurkan oleh teori Trias Politika. Sistem ini menghendaki pemisahan secara tegas, khususnya antara badan pemegang kekuasaan eksekutif dan badan legislatif.[8] Contoh negara yang menggunakan sistem pemerintahan presidensial antara lain: Amerika Serikat, Myanmar, Filipina, Indonesia.

a) Ciri-ciri dari sistem pemerintahan presidensial

  1. Kedudukan Presiden di samping sebagai Kepala Negara juga sebagai Kepala Eksekutif (pemerintahan).
  2. Presiden dan Parlemen masing-masing dipilih langsung oleh Rakyat melalui Pemilihan Umum. Jadi tidaklah mengherankan jikalau ada kemungkinan terjadi komposisi Presiden berasal dari partai politik yang berbeda dengan komposisi meyoritas anggota partai politik yang menduduki kursi di parlemen.
  3. Karena Presiden dan Parlemen dipilih langsung oleh Rakyat melalui pemilihan umu, maka kedudukan antara kedua lembaga ini tidak bisa saling mempengaruhi (menjatuhkan seperti halnya di sistem parlementer.
  4. Kendati Presiden tidak dapat diberhentikan oleh parlemen di tengah-tengah masa jabatannya berlangsung, namun jika Presiden malakukan perbuatan yang melanggar hukum, maka presiden dapat dijatuhi Impeachment (Pengadilan DPR).
  5. Dalam rangka menyusun Kabinet (Menteri), Presiden wajib minta persetujuan Parlemen. Di sini Presiden hanya menyampaikan nominasi anggota kabinet, sedangkan parlemen memberi persetujuan personil yang telah diajukan oleh Presiden.
  6. Menteri-menteri yang diangkat oleh Presiden tersebut tunduk dan bertanggung jawab kepada Presiden.[9]

b) Kelebihan Sistem Pemerintahan Presidensial

  1. Badan eksekutif lebih stabil kedudukannya karena tidak tergantung pada parlemen.
  2. Masa jabatan badan eksekutif lebih jelas dengan jangka waktu tertentu. Misalnya, masa jabatan Presiden Amerika Serikat adalah empat tahun, Presiden Indonesia adalah lima tahun.
  3. Penyusun program kerja kabinet mudah disesuaikan dengan jangka waktu masa jabatannya.
  4. Legislatif bukan tempat kaderisasi untuk jabatan-jabatan eksekutif karena dapat diisi oleh orang luar termasuk anggota parlemen sendiri.[10]

c)Kekurangan Sistem Pemerintahan Presidensial

  1. Kekuasaan eksekutif diluar pengawasan langsung legislatif sehingga dapat menciptakan kekuasaan mutlak.
  2. Sistem pertanggungjawaban kurang jelas.
  3. Pembuatan keputusan atau kebijakan publik umumnya hasil tawar-menawar antara eksekutif dan legislatif sehingga dapat terjadi keputusan tidak tegas dan memakan waktu yang lama.[11]

b.  Sistem Pemerintahan Parlementer

Pada prinsipnya sistem pemerintahan parlementer menitik beratkan pada hubungan antara organ negara pemegang kekuasaan eksekutif dan legislatif. Sistem ini merupakan sisa-sisa peninggalan sistem Monarkhi. Dikatakan demikian karena kepala negara apapun sebutannya, mempunyai kedudukan yang tidak dapat diganggu gugat. Sedangkakan penyelenggaraan pemerintahan sehari-hari diserahkan kepada Perdana Menteri.[12] Contoh negara yang menggunakan sistem pemerintahan parlementer: Inggris, India, Malaysia, Jepang, dan Australia.

a)Ciri-ciri dari sistem pemerintahan parlementer

  1. Terdapat hubungan yang erat antara eksekutif dan legislatif (parlemen), bahkan antara keduanya saling ketergantungansatu sama lain.
  2. Eksekutif yang dipimpin oleh Perdana Menteri dibnetuk oleh parlemen dari partai politik atau organisasi peserta pemilu yang menduduki kursi mayoritas diparlemen.
  3. Kepala Negara (apapun sebutannya) hanya berfungsi ataupun berkedudukan sebagai Kepala Negara. Tidak sebagai kepala eksekutif atau pemerintahan.
  4. Dikenal adanya mekanisme pertanggungjawaban Menteri kepada Parlemen yang mengakibatkan parlemen dapat membubarkan ataupun menjatuhkan mosi tidak percaya kepada Kabinet, jika pertanggungjawaban atas pelaksanaan pemerintahan yang dilakukan oleh Menteri baik dibidangnya masing-masing ataupun atas dasar kolektifitas tidak dapat diterima oleh parlemen.[13]

b)Kelebihan sistem pemerintahan parlementer

  1. Pembuat kebijakan dapat ditangani secara cepat karena mudah terjadi penyesuaian pendapat antara eksekutif dan legislatif. Hal ini karena kekuasaan eksekutif dan legislatif berada pada satu partai atau koalisi partai.
  2. Garis tanggung jawab dalam pembuatan dan pelaksanaan kebijakan public jelas.
  3. Adanya pengawasan yang kuat dari parlemen terhadap kabinet sehingga kabinet menjadi barhati-hati dalam menjalankan pemerintahan.[14]

c)Kekurangan sistem pemerintahan parlementer

  1. Kedudukan badan eksekutif/kabinet sangat tergantung pada mayoritas dukungan parlemen sehingga sewaktu-waktu kabinet dapat dijatuhkan oleh parlemen.
  2. Kelangsungan kedudukan badan eksekutif atau kabinet tidak bias ditentukan berakhir sesuai dengan masa jabatannya karena sewaktu-waktu kabinet dapat bubar.
  3. kabinet adalah anggota parlemen dan berasal dari partai mayoritas. Karena pengaruh mereka yang besar diparlemen dan partai, anggota kabinet dapat mengusai parlemen.
  4. Parlemen menjadi tempat kaderisasi bagi jabatan-jabatan eksekutif. Pengalaman mereka menjadi anggota parlemen dimanfaatkan dan manjadi bekal penting untuk menjadi menteri atau jabatan eksekutif lainnya.[15]

 

3.  Dinamika Penerapan Sistem Pemerintahan Presidensial dan Parlementer Di Indonesia

Sejarah ketatanegaraan Indonesia, negara Indonesia pernah menggunakan konstitusi tertulis selain UUD 1945, dan masing-masing mengatur sistem pemerintahan Indonesia berbeda-beda. Bahkan menurut UUD 1945 sebelum amandemen maupun setelah amandemen pun mengalami perbedaan. Sehubungan dengan hal tersebut, maka pada bagian ini akan disampaikan sistem pemerintahan Indonesian menurut konstitusi yang pernah dan sedang berlaku.

  1. Sistem Pemerintahan Indonesia Menurut Konstitusi RIS.

Secara singkat Sistem Pemerintahan Indonesia menurut Konstitusi RIS adalah Sistem Pemerintahan Indonesia Parlementer yang tidak murni. Karena pada pasal 118 Konstitusi RIS  antara lain menegaskan:

  1. Presiden tidak dapat diganggu gugat.
  2. Menteri-menteri bertanggung jawab atas seluruh kebijaksanaan pemerintahan baik bersama-sama untuk seluruhnya, maupun masing-masing untuk bagiannya sendiri-sendiri.

Ketentuan pasal ini menunjukkan bahwa RIS mempergunakan sistem pertanggungjawaban Menteri. Kendatipun demikian dalam pasal 122 Konstitusi RIS juga dinyatakan bahwa DPR tidak dapat memaksa kabinet atau masing-masing Menteri untuk meletakkan jabatannya.[16]

  1. Sistem Pemerintahan Indonesia Menurut UUDS 1950

Sistem pemerintahan Indonesia menurut UUDS 1950 masih malanjutkan Konstitusi RIS. Hal ini disebabkan UUDS 1950 pada hakikatnya merupakan hasil amandemen dari konstitusi RIS dengan menghilangkan pasal-pasal yang bersifat federalis. Di dalam pasal 83 UUDS 1950 dinyatakan:

  1. Presiden dan wakil presiden tidak dapat diganggu gugat.
  2. Menteri-menteri bertanggung jawab atas seluruh kebijaksanaan pemerintahan baik bersama-sama untuk seluruhnya, maupun masing-masing untuk bagiannya

sendiri-sendiri.

Berkaitan dengan pasal di atas, pasal 84 UUDS 1950 menyatakan bahwa Presiden berhak membubarkan DPR. Keputusan Presiden yang menyataka pembubaran itu memerintah pula untuk mengadakan pemilihan Presiden baru dalam 30 hari. Konstruksi pasal semacam ini mengingatkan pada sistem parlementer yang tidak murni.[17]

  1. Sistem Pemerintahan Indonesia Menurut UUD 1945 Sebelum Amandemen

Pokok-pokok sistem pemerintahan negara Indonesia berdasarkan UUD 1945 sebelum diamandemen tertuang dalam Penjelasan UUD 1945 tentang tujuh kunci pokok sistem pemerintahan negara tersebut sebagai berikut:

  1. Indonesia adalah negara yang berdasarkan atas hukum (rechtsstaat).
  2. Sistem Konstitusional.
  3. Kekuasaan negara yang tertinggi di tangan Majelis Permusyawaratan Rakyat.
  4. Presiden adalah penyelenggara pemerintah negara yang tertinggi dibawah Majelis Permusyawaratan Rakyat.
  5. Presiden tidak bertanggung jawab kepada Dewan Perwakilan Rakyat.
  6. Menteri negara ialah pembantu presiden, menteri negara tidak bertanggungjawab kepada Dewan Perwakilan Rakyat.
  7. Kekuasaan kepala negara tidak terbatas.[18]

Berdasarkan tujuh kunci pokok sistem pemerintahan, sistem pemerintahan Indonesia menurut UUD 1945 menganut sistem pemerintahan presidensial. Sistem pemerintahan ini dijalankan semasa pemerintahan Orde Baru di bawah kepemimpinan Presiden Suharto. Ciri dari sistem pemerintahan masa itu adalah adanya kekuasaan yang amat besar pada lembaga kepresidenan.[19]

Mekipun adanya kelemahan, kekuasaan yang besar pada presiden juga ada dampak positifnya yaitu presiden dapat mengendalikan seluruh penyelenggaraan pemerintahan sehingga mampu menciptakan pemerintahan yang kompak dan solid. Sistem pemerintahan lebih stabil, tidak mudah jatuh atau berganti. Konflik dan pertentangan antarpejabat negara dapat dihindari. Namun, dalam praktik perjalanan sistem pemerintahan di Indonesia ternyata kekuasaan yang besar dalam diri presiden lebih banyak merugikan bangsa dan negara daripada keuntungan yang didapatkanya.[20]

Memasuki masa Reformasi ini, bangsa Indonesia bertekad untuk menciptakan sistem pemerintahan yang demokratis. Untuk itu, perlu disusun pemerintahan yang konstitusional atau pemerintahan yang berdasarkan pada konstitusi. Pemerintah konstitusional bercirikan bahwa konstitusi negara itu berisi:

  1. Adanya pembatasan kekuasaan pemerintahan atau eksekutif
  2. Jaminan atas hak asasi manusia dan hak-hak warga negara.[21]

Berdasarkan hal itu, Reformasi yang harus dilakukan adalah melakukan perubahan atau amandemen atas UUD 1945. dengan mengamandemen UUD 1945 menjadi konstitusi yang bersifat konstitusional, diharapkan dapat terbentuk sistem pemerintahan yang lebih baik dari yang sebelumnya. Amandemen atas UUD 1945 telah dilakukan oleh MPR sebanyak empat kali, yaitu pada tahun 1999, 2000, 2001, dan 2002. berdasarkan UUD 1945 yang telah diamandemen itulah menjadi pedoman bagi sistem pemerintaha Indonesia sekarang ini.

  1. Sistem Pemerintahan Indonesia Menurut UUD 1945 Sesudah Amandemen

Sekarang ini sistem pemerintahan di Indonesia masih dalam masa transisi. Sebelum diberlakukannya sistem pemerintahan baru berdasarkan UUD 1945 hasil amandemen keempat tahun 2002, sistem pemerintahan Indonesia masih mendasarkan pada UUD 1945 dengan beberapa perubahan seiring dengan adanya transisi menuju sistem pemerintahan yang baru. Sistem pemerintahan baru diharapkan dapat berjalan dengan baik setelah dilakukannya Pemilu 2004.

Pokok-pokok sistem pemerintahan Indonesia setelah amandemen UUD 1945 adalah sebagai berikut:

  1. Bentuk negara kesatuan dengan prinsip otonomi daerah yang luas. Wilayah negara terbagi dalam beberapa provinsi.
  1. Bentuk pemerintahan adalah republik, sedangkan sistem pemerintahan presidensial.
  2. Presiden adalah kepala negara dan sekaligus kepala pemerintahan. Presiden dan wakil presiden dipilih dan diangkat oleh MPR untuk masa jabatan lima tahun. Untuk masa jabatan 2004-2009, presiden dan wakil presiden akan dipilih secara langsung oleh rakyat dalam satu paket.
  3. Kabinet atau menteri diangkat oleh presiden dan bertanggung jawab kepada presiden.
  4. Parlemen terdiri atas dua bagian (bikameral), Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Dewan Perwakilan Daerah (DPD). Para anggota dewan merupakan anggota MPR. DPR memiliki kekuasaan legislatif dan kekuasaan mengawasi jalannya pemerintahan.
  5. Kekuasaan yudikatif dijalankan oleh Makamah Agung dan badan peradilan dibawahnya.[22]

Sistem pemerintahan ini juga mengambil unsur-unsur dari sistem pemerintahan parlementer dan melakukan pembaharuan untuk menghilangkan kelemahan-kelemahan yang ada dalam sistem presidensial. Beberapa variasi dari sistem pemerintahan presidensial di Indonesia adalah sebagai berikut.

  1. Presiden sewaktu-waktu dapat diberhentikan oleh MPR atas usul dari DPR. Jadi, DPR tetap memiliki kekuasaan mengawasi presiden meskipun secara tidak langsung.
  2. Presiden dalam mengangkat penjabat negara perlu pertimbangan atau persetujuan dari DPR.
  3. Presiden dalam mengeluarkan kebijakan tertentu perlu pertimbangan atau persetujuan dari DPR.
  4. Parlemen diberi kekuasaan yang lebih besar dalam hal membentuk undang-undang dan hak budget (anggaran).

Dengan demikian, ada perubahan-perubahan baru dalam sistem pemerintahan Indonesia. Hal itu diperuntukan dalam memperbaiki sistem presidensial yang lama. Perubahan baru tersebut, antara lain adanya pemilihan secara langsung, sistem bikameral atau adanya dua kekuatan dalam legislatif (DPR dan DPD), lembaga-lembaga negara yaitu eksekutif dan legislatif yang mempunyai fungsi sama dan saling mengendalikan dan mengawasi melalui mekanisme cheks and balance, dan pemberian kekuasaan yang lebih besar kepada parlemen untuk melakukan pengawasan dan fungsi anggaran.[23]

KESIMPULAN

Mengacu pada penjelasan dalam pembahasan tulisan ini, maka penulis menarik beberapa kesimpulan sebagai berikut:

  1. Secara umum perbedaan antara sistem pemerintahan Parlementer dan presidensial dalam tiga hal: pertama, dalam sistem pemerintahan parlementer, kepala pemerintahan bisa dijabat oleh perdana menteri sedangkan kepala negara dijabat oleh presiden. Keduanya bergantung pada mosi atau kepercayaan badan legislatif dan dapat diturunkan dan dilengserkan dari jabatan melalui mosi tak percaya dari legislatif. Sedangkan dalam sistem pemerintahan presidensial, kepala pemerintahan juga merangkap sebagai kepala negara yang dipegang oleh presiden, dan dipilih untuk masa jabatan tertentu sesuai dengan UUD dan dalam keadaan normal tidak dapat diturunkan oleh anggota legislatif. Kedua, dalam sistem parlementer kepala pemerintahan dan kepala negara dipilih oleh badan legislatif. Sementara dalam sistem presidensial kepala pemerintahan atau kepala negara dalam hal ini adalah presiden dipilih oleh rakyat, baik secara langsung atau melalui badan pemilihan. Ketiga, dalam sistem pemerintahan parlementer memiliki pemerintah atau eksekutif kolektif atau kolegial, posisi perdana menteri dalam kabinet bisa berubah-ubah, yaitu lebih tinggi hingga sama dengan menteri-menteri yang lain, tetapi selalu ada tingkat kolegalitas yang relatif tinggi dalam pembuatan keputusan. Sedangkan dalam sistem pemerintahan presidensial memiliki eksekutif non kolegial atau satu oang yang berpusat pada presiden, dimana para anggota kabinet presidensial hanya merupakan penasihat dan bawahan presiden.
  2. Dalam proses pelaksanaan sistem pemerintahan di Indonesia, baik dalam masa konstitusi RIS tahun 1949 dan UUDS tahun 1950 Indonesia menjalankan sistem parlementer tidak murni hal ini mengacu pada pasal 118 konstitusi RIS dan pasal 83 dan 84 UUDS. Sementara pelaksanaan pemerintahan di Indonesia sebelum amandemen UUD 1945 menggunakan sistem presidensial, dan sesudah amandemen UUD 1945 dari tahun 1999,2000, 2001 dan 2002 dapat dikatakan bahwa Indonesia menganut sistem campuran antara presidensial dan parlementer sebagai upaya untuk memperbaiki kelemahan-kelemahan dari sistem presidensial. Ini dapat dilihat dalam pokok-pokok pemerintahan Indonesia diantaranya: bahwa presiden dipilih oleh rakyat dalam pemilihan langsung, dan menteri-menteri diangkat oleh presiden dan bertanggung jawab terhadap presiden hal ini menegaskan bahwa Indonesia menganut sistem presidensial. Dalam hal lain disebutkan bahwa: Presiden sewaktu-waktu dapat diberhentikan oleh MPR atas usul dari DPR. Jadi, DPR tetap memiliki kekuasaan mengawasi presiden meskipun secara tidak langsung dan Presiden dalam mengangkat penjabat negara perlu pertimbangan atau persetujuan dari DPR, dua hal inipula merupakan penegasan bahwa Indonesia menggunakan sistem pemerintahan parlementer.

Catatan Kaki

[1]Arend Lijphart, “Sistem Pemerintahan Parlementer dan Presidensial” saduran Ibrahim dkk, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1995), hlm 3-4

[2]Resa Indrawan Samir, “Tinjauan Terhadap Sistem Presidensial Indonesia”,  dalam https://resaindrawansamir.wordpress.com/2012/01/13/tinjauan-terhadap-sistem-pemerintahan-presidensial-indonesia/, diakses tanggal 19 April 2020

[3]Anita Rahmawati, “Makalah Sistem Pemerintahan Presidensial…..,

[4]Ibid.,

[5]WikiPedia Ensiklopedi Bebas, “Sistem Parlementer”, dalam http://id.wikipedia.org/wiki/Sistem_presidensial, diakses tanggal 19 April 2020

[6]Arend Lijphart, “Sistem Pemerintahan Parlementer dan….., hlm. 5-6

[7]Saldi Isra, “Pergeseran Fungsi Legislasi: Menguatnya Model Legislasi Parlementer dalam Sistem Presidensial Indonesia”, (Jakarta: Rajawali Press, 2010), hlm. 38

[8]B. Hestu Cipto Handoyo, “Hukum Tata Negara Indonesia”, (Yogyakarta: Universitas Atma Jaya, 2009), hal. 134

[9]Ibid., hlm. 134-137

[10]Azan Sumarwan dan Dianah, “Sistem Pemerintahan”, dalam http://witantra.wordpress.com/2008/05/30/sistem-pemerintahan, diakses tanggal 19 April 2020.

[11]Ibid.,

[12]B. Hestu Cipto Handoyo, “Hukum Tata Negara…., hal. 132.

[13]Ibid., hlm. 133

[14]Azan Sumarwan dan Dianah, “Sistem Pemerintahan…,

[15]Ibid.,

[16]B. Hestu Cipto Handoyo, “Hukum Tata Negara…., hal. 153

[17]Ibid., hlm. 152

[18]Ema Sundari, Sistem Pemerintahan Indonesia Sebelum Dan Sesudah  Amandemen, dalam http://community.gunadarma.ac.id/blog/view/id_11893/title_sistem-pemerintahan-indonesia-sesudah-dan-sebelum/, diakses tanggal 19 April 2020

[19]Ibid.,

[20]Ibid.,

[21]Ibid.,

[22]Ibid.,

[23]Ibid.,


DAFTAR PUSTAKA

Cipto Handoyo, B. Hestu, “Hukum Tata Negara Indonesia”, Yogyakarta: Universitas Atma Jaya, 2009

Indrawan Samir, Resa, “Tinjauan Terhadap Sistem Presidensial Indonesia”,  dalam https://resaindrawansamir.wordpress.com/2012/01/13/tinjauan-terhadap-sistem-pemerintahan-presidensial-indonesia/, diakses tanggal 19 April 2020

Isra, Saldi, “Pergeseran Fungsi Legislasi: Menguatnya Model Legislasi Parlementer dalam Sistem Presidensial Indonesia”, Jakarta: Rajawali Press, 2010

Lijphart , Arend Lijphart, “Sistem Pemerintahan Parlementer dan Presidensial” Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1995

Rahmawati, Anita, “Sistem Pemerintahan Presidensial”, dalam http://anitaunty.blogspot.com/2013/07/makalah-sistem-pemerintahan-presidensial.html, diakses tanggal 19 April 2020

Sumarwan, Azan dan Dianah, “Sistem Pemerintahan”, dalam http://witantra.wordpress.com/2008/05/30/sistem-pemerintahan, diakses tanggal 19 April 2020.

Sundari, Ema, Sistem Pemerintahan Indonesia Sebelum dan Sesudah  Amandemen, dalam http://community.gunadarma.ac.id/blog/view/id_11893/title_sistem-pemerintahan-indonesia-sesudah-dan-sebelum/, diakses tanggal 19 April 2020

WikiPedia Ensiklopedi Bebas, “Sistem Parlementer”, dalam http://id.wikipedia.org/wiki/Sistem_presidensial, diakses tanggal 19 April 2020.

Merenungi Ajaran Bapak Para Nabi Mengasah Hati di Tengah Pandemi

401 Views

Pagi ini, ketika dalam perjalanan menuju kantor sembari mendengarkan Radio di Chanel Voice Of America (VoA), terdengar hal yang menarik dalam pemberitaan mengenai Negara Prancis. informasinya bahwa Negara Prancis menghentikan serta menghapuskan aturan mengenai pembunuhan ayam jantan pada peternakan dinegaranya yang selama ini ayam jantan dari sisi tubuh, dan tingkat produktifitas dianggap tidak sebanding dengan Ayam betina  yang dapat bertelur dan menghasilkan daging, tentu saja aksi ini dipelopori oleh organisasi kesejahteraan hewan di negara tersebut.

Hal di atas  sangat mengusik dan membuat jiwa  kemanusiaan ini berontak, karena dibagian negara lain betapa pedulinya dengan kesejahteraan hewan jika dibandingkan dengan kepedulian kita pada kemanusiaan, di negara kita yang seakan akan telah terkikis kepedulian pada sesama. Menengok kembali melihat wajah negeri tercinta yang saat ini mendapati ujian begitu dahsyat dengan meningkatnya Covid 19  membuat Ibu pertiwi tidak berhenti meneteskan air mata.

Merujuk pemberitaan dari Kompas.com, pemerintah resmi menerapkan kebijakan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) darurat. Kebijakan tersebut mulai berlaku pada 3 Juli hingga 20 Juli 2021 di berbagai kabupaten/kota di Pulau Jawa dan Bali, penerapan kebijakan ini berkaitan dengan masih tingginya angka kasus Covid-19 di Indonesia. Kebijakan ini secara tegas diumumkan oleh Presiden Jokowi setelah mendapat masukan dari sejumlah pihak antara lain, Para menteri, ahli kesehatan, dan kepala daerah. Selain itu, Jokowi juga menyatakan bahwa pandemi Covid-19 memang berkembang sangat cepat, terutama adanya variant of concerns atau varian baru virus corona. Di kota Palu pun diberlakukan pembatasan aktivitas dengan membatasi pusat perbelanjaan, menutup seluruh akses dan tempat berkumpulnya warga Kota Palu hingga Pukul 21.00 WITA.

Kebijakan pemerintah pusat dan derah terkait PPKM tentu menimbulkan riak-riak di masyarakat, karena belum pulih perekonomian mereka setelah penerapan PSBB tahun lalu, kini mulai lagi dengan menahan diri untuk tidak beraktivitas sebagaimana biasanya. Dan ini berdampak pada  supir taksi, angkot, ojol,  pengamen, dan pemulung, Dengan pendapatan yang menurun drastis.

Berbagai problematika yang melanda bangsa ini, tentu sudah seharusnya kita untuk memulai inisiatif saling bahu membahu dan membantu, sebab pemerintah memang mempunyai kelengkapan Instrumen, baik itu sistem maupun alat negara. Namun jika mengharapkan hal itu tentu akan menyita waktu, mengingat pemerintah juga taat pada prosedur administrasi birokrasi yang begitu panjang, di tengah kebutuhan yang tidak dapat menunggu lama, maka siapa lagi kalau bukan kitalah yang bergerak untuk itu. Indonesia bukan negara Agama namun warga negara Indonesia sudah pasti beragama  maka sudah saatnya kita kembali pada nilai-nilai ajaran kemanusiaan dalam agama guna bersama menghadapi pendemi yang kini merebak.

Nabi Ibrahim selaku Bapak Para Nabi yang juga merupakan Bapak dari agama-agama Samawi telah mengajarkan sebuah hikmah yang dapat diambil pelajaran serta keteladanannya. Dimana beliau mengalami pergolakan batiniah antara mengikuti perintah Allah atau tetap pada kepentingan pribadinya yang mengutamakan keluarga dalam hal ini anak satu-satunya yaitu Ismail, Pada malam tanggal 8 Dzulhijjah, Nabi Ibrahim mendapatkan wahyu melalui mimpinya bahwa Allah memerintahkan kepadanya untuk menyembelih anak yang paling ia sayangi. Nabi Ibrahim merenung panjang, “Haruskah ia mengikuti perintah Tuhannya untuk melepaskan hal yang paling ia sayangi, hal yang paling ia sukai? Apakah mimpi ini benar dari Allah atau bukan?” Kegalauan Nabi Ibrahim ‘alaihissalam mendapatkan jawabannya pada malam hari berikutnya, yakni pada malam hari 9 Dzulhijjah, bahwa ia benar-benar diperintahkan oleh Allah untuk menyembelih anak kesayangannya yang bernama Isma‘il.  Kisah tersebut kemudian diabadikan Allah SWT dalam Al-Quran:

Artinyan :

“Ketika anak itu memasuki usia dewasa, sudah berkembang, sudah bisa bepergian dan berjalan, Nabi Ibrahim ‘alaihissalam berkata kepada anaknya: Wahai anakku, sesungguhnya aku bermimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka pikirkanlah apa pendapatmu? Isma‘il anak Ibrahim menjawab: Wahai bapakku, lakukanlah apa yang diperintah (Allah) kepadamu, insyaallah engkau akan mendapatiku bagian dari orang-orang yang sabar” (QS Ash-Shâffât 102).

Islam mengajarkan kepada umatnya untuk membangun harmoni dengan sesama. Sebab, Islam diturunkan dengan sempurna dalam mengatur tatanan kehidupan manusia di muka bumi. Sejatinya, bukan hanya keharmonisan dengan manusia (hamblun minannas), akan tetapi dilandasi harmoni dengan Allah SWT (hablun minallah) yang berbuah kemesraan terhadap lingkungan alam (hablum minal ‘alam). Ketiganya merupakan kesatuan yang tak bisa dipisahkan dan mesti dijaga keseimbangannya. (QS 3: 112).

Nabi Ibrahim mengajarkan pertama, beriman atau beragama pada dasarnya melawan hawa nafsu atau kesenangan yang ada di dalam diri kita masing-masing. Setiap manusia cenderung mengikuti keinginan nafsunya, yakni ingin melakukan hal yang enak, menikmati segala kesenangan tanpa batas, merasakan segala keindahan dan yang lainnya tanpa mempedulikan hal tersebut menyakiti, merugikan atau membahayakan diri sendiri maupun orang lain atau tidak. Di sinilah agama hadir memberikan seperangkat aturan, yakni mengatur perbuatan ini haram dan perbuatan itu halal, tindakan ini boleh dan tindakan itu tidak boleh, hal ini baik dan hal itu buruk, dan seterusnya. Dengan demikian masing-masing dari orang yang beragama seharusnya mematuhi aturan agama, bukan mengikuti kesenangan atau kehendak nafsunya.

 Dalam kisah Nabi Ibrahim, kenikmatan tertinggi disimbolkan dengan memiliki anak, tapi Nabi Ibrahim berhasil mengalahkan hawa nafsu kecintaan kepada putranya dengan mengikuti perintah Allah subhanahu wata’ala.  Pelajaran atau ‘ibrah yang kedua dari kisah Nabi Ibrahim ‘alaihissalam di atas yaitu penegasan bahwa hak asasi manusia harus dijunjung tinggi, dalam hal ini hak hidup. Perintah Allah kepada Nabi Ibrahim ‘alaihissalam untuk menyembelih putranya bertujuan untuk menguji keimanannya atau ibtilâ` (إِنَّ هَذَا لَهُوَ الْبَلَاءُ الْمُبِينُ), sehingga ketika beliau tulus hendak menunaikannya, Allah subhanahu wata’ala mengganti objek sesembelihannya dengan binatang. Penggantian “objek kurban” dari manusia ke binatang mengandung makna bahwa manusia memiliki hak untuk hidup yang seorang pun atas nama apa saja tidak boleh menghilangkannya.

Pelajaran yang penuh dengan Makna Spiritualitas yang dijalani oleh Nabi Ibrahim AS dapat diterjemahkan dimasa kini adalah dengan mengenyampingkan keinginan dirinya dengan mengikuti Perintah Allah SWT,  dimasa Covid saat ini seluruh komponen masyarakat mengalami kesusahan namun saat kita sudah dan masih mau berbagi disitulah letak kemanusiaan yang tertinggi. Begitu juga Rasulullah pernah menjelaskan tentang keutamaan bersedekah di masa sulit:

“Wahai Rasulullah, sedekah yang mana yang lebih besar pahalanya?” Beliau menjawab, “Engkau bersedekah pada saat kamu masih sehat disertai pelit (sulit mengeluarkan harta), saat kamu takut menjadi fakir, dan saat kamu berangan-angan menjadi kaya. Dan janganlah engkau menunda-nunda sedekah itu hingga apabila nyawamu telah sampai di tenggorokan, kamu baru berkata, “Untuk si fulan sekian dan untuk fulan sekian, dan harta itu sudah menjadi hak si fulan.” (Muttafaqun ‘alaih. HR. Bukhari no. 1419 dan Muslim no. 1032).

Perancis bukan Negara Islam tidak sedikit pula penduduknya yang tidak meyakini Tuhan, namun perancis masa kini telah menjadi negara yang bukan hanya menjujung Hak Asasi Manusia namun hak dan kesejahteraan Hewanpun  mereka perjuangkan. Seharusnya umat Islam Indonesia yang mayoritas muslim dapat melakukan hal yang demikian karena nilai dan ajaran Islam adalah untuk memuliakan manusia dengan jalan saling tolong menolong, Rasulullah SAW telah menyampaikan hal ini dalam sabdanya:

“Wahai sekalian manusia, dengarkanlah perkataanku. Sesungguhnya aku tidak tahu, barangkali setelah tahun ini aku tak bisa lagi berjumpa dengan kalian selama-lamanya. Wahai umat manusia, sesungguhnya darah kalian, harta dan harga diri kalian itu mulia, sebagaimana mulianya hari ini dan bulan ini. Kalian kelak akan bertemu Tuhan, dan Ia akan bertanya kepada kalian tentang perbuatan yang kalian lakukan. Ingatlah, setelah aku wafat janganlah kalian kembali ke dalam kesesatan, di mana sebagian di antara kalian memukul atau membunuh sebagian yang lain.”

“Wahai umat manusia,  sesungguhnya Tuhan kalian satu, leluhur kalian juga satu. Kalian berasal dari Adam, dan Adam berasal dari tanah. Sesungguhnya paling mulianya kalian di sisi Allah adalah yang paling bertakwa. Orang Arab tidak lebih utama daripada Non Arab atau ‘ajam, Non Arab tidak lebih utama daripada orang Arab. Orang kulit merah tidak lebih utama daripada yang berkulit putih, orang kulit putih tidak lebih utama dari yang berkulit merah kecuali (disebabkan) tingkat ketakwaannya.” 

Nabi Ibrahim memberikan contoh atas dasar cinta kepada Allah yang melebihi segala-galanya, keluarga Nabi Ibrahim menjadi keluarga yang terberkati. Nabi Ibrahim diberi gelar “khalîlullah” atau kekasih Allah, dan dari keluarga ini lahirlah keturunan-keturunan para nabi seperti Nabi Ishâq, Nabi Ya‘qûb, Nabi Musa, Nabi Isa dan Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam.

Tentu sebagai Ummat yang beragama Kisah Nabi Ibrahim ‘alaihissalam di atas mengajarkan kepada kita bahwa beragama adalah pengorbanan melawan hawa nafsu yang ada di dalam diri kita masing-masing. Beragama adalah usaha menjadikan diri kita sebagai manusia seutuhnya, yakni manusia yang tidak diperbudak oleh nafsu atau manusia lainnya, melainkan manusia yang menghamba dengan seutuhnya di hadapan Allah subhanahu wata’ala.

 Semoga Spirit dan ajaran Bapak Para Nabi Ibrahim serta para nabi dan Rasul lainnya dapat memotivasi kita untuk saling tolong menolong sebagai wujud kepedulian bagi sesama, saling merigankan serta berdoa semoga pandemi yang sedang kita alami segera berakhir, kita semua selalu diberi kesehatan dan keselamatan, serta selalu berada di dalam lindungan Allah subhanahu wata’ala.

Terpilih Ketua HMI-MPO Cabang Palu, berikut Gebrakan Muhammad Fauzan

Istimewa
677 Views

Palu – Muhammad Fauzan, akhirnya dinobatkan sebagai  Ketua Himpunan Mahasiswa Islam – Majelis Penyelamat Organisasi (HMI-MPO) Cabang Palu pada Konferensi ke XLIV (44)  yang berlangsung di Wisma Tarnate,  Ahad sore (11/7/2021).

Mahasiswa asal Fakultas Syariah IAIN Palu itu ditetapkan sebagai Ketua HMI MPO Cabang Palu melalui musyawarah yang dilaksanakan oleh utusan komisariat-komisariat HMI se Kota Palu. Fauzan berhasil unggul dari empat orang calon ketua yang juga menyatakan diri maju sebagai Ketua HMI Cabang Palu periode 2021-2022.

“Agenda terdekat yang akan saya laksanakan adalah menyusun struktur kepengurusan dan mempersiapkan pelantikan pengurus HMI Cabang Palu periode 2021-2022. Selain itu, kami juga akan mengawal struktur di komisariat-komisariat untuk menggelar Rapat Anggota Komisariat (RAK),” ujar Fauzan saat dihubungi media ini, Senin (12/7/2021).

Dalam pemimpin HMI Cabang Palu, Fauzan berharap dapat membangun kembali ciri atau identitas kader HMI MPO yang mapan secara intelektual, terbangun dalam spiritual, dan terbina dalam emosionalnya. Fauzan juga berharap, nantinya pengurus HMI Cabang Palu maupun kader-kader dapat saling bersinergi dalam membangun HMI secara produktif, inovatif serta responsif dalam mengawal isu-isu keislaman, keindonesian dan kemahasiswaan.

“Sebagai bentuk nyata keberpihakan pada masyarakat, tentunya kami juga berupaya untuk mengawal kebijakan-kebijakan pemerintah skala nasional maupun lokal,” jelas mahasiswa asal Kota Palu ini.

Untuk program prioritas kedepan, Fauzan mengungkapkan bahwa kepengurusannya akan fokus memajukan peningkatan intelektual dan spiritual para kader HMI, serta mewadahi seluruh potensi kader dalam menyusun program himpunan kedepannya.

Di akhir peryataannya, Fauzan juga menegaskan bahwa pelaksanaan Konferensi ke XLIV HMI Cabang Palu dilaksanakan dengan tetap mematuhi protokol kesehatan, mengingat kondisi Kota Palu saat ini berada pada Zona Merah Covid-19.