BERSIMPAH PELUH DI RANAH ETIK
Oleh : Ruslan Husen, SH., MH.
Menjadi Penyelenggara Pemilu khususnya sebagai Pengawas Pemilu, tentu sebelumnya tidak terpikirkan oleh sebagian orang. Ada pengumuman, menyiapkan berkas pendaftaran lalu mendaftar, dilanjutkan ikut prosesi seleksi dan akhirnya diumumkan lulus menjadi anggota Bawaslu/Panwaslu.
Tulisan ini tidak diarahkan untuk mengurai suka-duka peserta mengikuti prosesi seleksi, tetapi lebih diarahkan saat setelah dilantik yakni menjabat sebagai Anggota Bawaslu/Panwaslu. Bawaslu/Panwaslu memiliki tugas, wewenang dan kewajiban sebagai Pengawas Pemilu, pejuang-pengawal demokrasi dan penegak keadilan Pemilu.
Pertanggal 15 November 2017 lalu, tanggal tersebut menandakan seluruh Panwaslu tingkat kecamatan di Provinsi Sulawesi Tengah telah dilantik dan diambil sumpah-janji oleh masing-masing Panwaslu Kab/Kota. Berbagai asa, cita dan harapan digantungkan pada mereka anggota pengawas pemilu ini, hingga pesan-pesan etika penyelenggara pemilu dan pentingnya integritas senantiasa disampaikan. Tanggal ini juga, menandakan masuknya orang-orang pilihan, yang telah diseleksi secara ketat berdasar kriteria dan ketentuan Undang-Undang hingga dapat menjadi Pengawas Pemilu yang profesional, mandiri dan berintegritas.
Melaksanakan pengawasan, penanganan pelanggaran dan penyelesaian sengketa proses Pemilu telah menjadi tugas dan fungsi pokok di lembaga yang bernama Bawaslu ini. Bagi sebagian orang yang telah dilantik tersebut, ini adalah amanah baru, yang harus dikerjakan dengan sebaik-baik. Dituntut belajar cepat untuk memahami, berbarengan dengan bekerja cepat, tepat dan militan dengan senantiasa berpegang teguh pada kode etik Penyelenggara Pemilu.
Demikianlah, integritas dalam lembaga ini sering diingatkan sekaligus menjadi dasar pijak dalam bertugas. Perilaku dan kebijakan yang diambil juga harus senantiasa berdasar pada kode etik Penyelenggara Pemilu yang menjadi pedoman perilaku berupa kewajiban atau larangan, tindakan dan/atau ucapan yang patut atau tidak patut dilakukan oleh Penyelenggara Pemilu.
Sehingga, integritas para penyelenggara ini menjadi sebuah keharusan untuk melahirkan Pemilu yang demokratis dan berkualitas. Jika penyelenggara tidak mampu berpedoman pada nilai-prinsip dan kode etik, maka secara otomatis akan menciderai nilai-nilai demokrasi dan kepemiluan, bahkan berdampak pada pelanggaran kode etik dan dapat berujung pada pengenaan sanksi yang berat.
Secara normatif, arah dan kualitas Pemilu bertumpu pada sistem Pemilu (struktur, substansi, kultur dan prasarana) yang harus terpenuhi secara maksimal. Jika satu bagian (sub-sistem) dalam sistem ada yang tidak terpenuhi atau terganggu maka mempengaruhi hasil Pemilu secara keseluruhan.
Satu perubahan mendasar dalam sistem kepemiluan ini tergantung pada Penyelenggara Pemilu. Jika Penyelenggara Pemilu bekerja dengan profesional dan memegang prinsip jujur-adil dan nilai integritas, maka harapan untuk mendapatkan Pemimpin (Pemerintahan) yang amanah, dan konstitusional dapat terealisasi.
Sebaliknya, jika Penyelenggara Pemilu ini tidak mampu bekerja dan berpegang teguh pada prinsip kode etik yang di dalamnya juga terdapat prinsip juju-adil dan integritas, maka Penyelenggara Pemilu turut andil melahirkan Pemimpin (Pemerintahan) tidak berkualitas, dan berkontribusi dalam meruntuhkan tatanan demokrasi yang telah dibangun selama ini.
Kiranya pesta demokrasi melalui pelaksanaan Pemilu serentak, merupakan ujian terberat bagi Penyelenggara Pemilu, karena dilaksanakan serentak dan saling beririsan untuk memilih presiden dan wakil presiden serta memilih anggota legislatif. Untuk itu, peran Bawaslu juga harus mampu menjawab tantangan ini, dengan bekerja profesional dan menjunjung tinggi prinsip dan nilai integritas, sehingga KPU yang secara teknis menjalankan fungsi penyelenggaraan tahapan pemilu bisa terawasi dengan baik, termasuk penanganan pelanggaran dan penyelesaian sengketa proses Pemilu oleh Bawaslu dapat tertangani.
Dengan demikian, KPU dan Bawaslu harus mampu bersinergi bekerja bersama, menjalankan tugas pokok dan fungsi dengan berpegang teguh pada prinsip jujur-adil dan nilai integritas. Sinergi ini telah lama dilakukan, tinggal melanjutkan dan kreatif dalam mempertahankan keberlanjutan.
Kita berharap, pelaksanaan pemilu nasional serentak tahun 2019 dapat menjadi momentum seluruh Penyelenggara Pemilu bekerja lebih profesional lagi guna melahirkan Pemimpin (Pemerintahan) berkualitas, dan terus berupaya membangun demokrasi bermartabat di Negara ini. Walau penyelenggara pemilu bersimbah peluh di ranah etik, karena pelaksanaan pesta demokrasi ini akan menjadi cerminan untuk pelaksanaan pemilu berikutnya dan indikator kedewasaan-kematangan bangsa dalam berdemokrasi.
Sekaligus pemaknaan atas hasil pemilu sebagai representasi suara rakyat-sang pemilik kedaulatan. Satu suara dalam pemilu mewakili satu suara rakyat yang berdaulat. Perolehan angka suara tersebut harus diperoleh dengan cara yang benar sebelum pelaksanaan pemungutan suara, hingga setiap suara benar-benar mewakili aspirasi dan pilihan pemilih yang berdaulat. Angka jumlah suara akan ditrasformasikan menjadi kursi perolehan suara yang menentukan calon pemimpin duduk di kursi terhormat sebagai calon terpilih.
Termasuk realisasi pelaksanaan tugas, wewenang dan kewajiban Pengawas Pemilu secara maksimal guna menjawab kegelisahan atas penguatan fungsi Bawaslu yang selama ini diminta hingga lahirnya UU Pemilu, atau malah menjadi ironis akibat kerja tidak maksimal menjadi penghapusan lembaga Pengawas Pemilu ini sebagai Penyelenggara Pemilu di etape berikutnya dengan fungsi Bawaslu dilaksanakan oleh lembaga lain. Misalnya, KPU sebagai penyelenggara tahapan pemilu sekaligus sebagai pengawas pemilu.***
Pernah dimuat di Harian Mercusuar edisi 17 November 2017.
File PDF dapat di download di sini.