Upaya Hukum Terakhir Kontestan Pilkada Serentak 2020 di Mahkamah Konstitusi

448 Views

Oleh :  Ryan Aprilianto, SH
(Bawaslu Provinsi Sulawesi Tengah)

Desentralisasi sebagai penyerahan kekuasaan pemerintahan oleh pemerintah pusat kepada daerah otonom, telah membuka ruang tumbuh dan berkembangnya demokrasi di tingkat lokal daerah,. Terutama lewat rutinitas pesta demokrasi melalui pelaksanaan pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota serentak secara langsung oleh masyarakat pemilih.

Kontestasi pemilihan serentak telah memasuki gelombang keempat yang telah digelar di 270 daerah meliputi 9 provinsi, 224 kabupaten dan 37 kota, yang dilaksanakan pada masa pandemi covid-19 pada 9 Desember 2020.

Pasca penetapan hasil pemilihan, pasangan calon kepala daerah sebagai kontestan Pilkada terbagi atas dua sikap yakni kegembiraan bagi yang ditetapkan memperoleh suara tertinggi dan kekecewaan bagi yang ditetapkan memperoleh suara yang rendah oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) setempat. Seringkali bagi kontestan yang kalah mengungkapkan ketidakpuasan terhadap hasil pemilihan yang ditetapkan KPU dengan mendalilkan kecurangan-kecurangan disertai lampiran bukti dan data pendukung yang menyatakan mempengaruhi hasil pemilihan yang menyebabkan kekalahan baginya.

Lebih lanjut, fenomena tersebut diatur pada Pasal 156 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 Tentang Perubahan Kedua Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 (UU Pemilihan) yang menyatakan Perselisihan hasil Pemilihan merupakan perselisihan antara KPU Provinsi dan/atau KPU Kabupaten/Kota dan peserta Pemilihan mengenai penetapan perolehan suara hasil Pemilihan yang signifikan dan dapat mempengaruhi penetapan calon terpilih.

Lembaga Negara yang seharusnya berwenang untuk memeriksa dan memutuskan perselihan hasil pemilihan seharusnya adalah Badan Peradilan Khusus karena Pasal 24C ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 junto Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 Tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi, yang pada intinya menyatakan Mahkamah Konstitusi berwenang untuk memutus perselisihan hasil pemilihan umum, bukan pemilihan kepala daerah.

Namun karena Badan Peradilan Khusus belum terbentuk, merujuk Pasal 157 ayat (3) UU Pemilihan maka kewenangan tersebut diberikan kepada Mahkamah Konstitusi.

Secara prosedur bagi kontestan Pilkada yang akan mengajukan permohonan kepada Mahkamah Konstitusi memiliki waktu paling lambat tiga hari kerja terhitung sejak diumumkan penetapan perolehan hasil oleh KPU Provinsi atau KPU Kabupaten/Kota.

Mengutip laman resmi Mahkamah Konstitusi, untuk Pemilihan Gubernur terdapat 7 permohonan, Pemilihan Bupati 114 permohonan dan Pemilihan Walikota 14 permohonan sehingga total terdapat 135 permohonan perselisihan hasil untuk Pilkada Serentak Tahun 2020.

Dari sisi substansi permohonan, masih banyak ditemukan permohonan yang mendalilkan pelanggaran-pelanggaran administrasi, tindak pidana pemilihan dan sengketa dalam tahapan pemilihan sebagai dasar gugatan. Padahal, ketiga hal tersebut bukan kewenangan dari Mahkamah Konstitusi.

Namun demikian, jika pelanggaran yang didalilkan bersifat Terstruktur, Sistematis dan Masif maka untuk menegakkan nilai-nilai demokrasi, Mahkamah Konstitusi memandang perlu memeriksa dan mengadili permohonan tersebut. Mahkamah Konstitusi tidak boleh membiarkan aturan-aturan keadilan prosedur (procedural justice) memasung dan mengesampingkan keadilan substantif (substantive justice).

Pada proses pemeriksaan di Mahkamah Konstitusi, selain pasangan calon yang merasa dirugikan melampirkan bukti-bukti kecurangan dan KPU yang bersikukuh akan penetapan hasil yang sudah benar dan tepat, terdapat Bawaslu yang memiliki peran sentral sebagai pemberi keterangan. Bawaslu dalam perselisihan hasil pemilihan dituntut memberikan keterangan sebagai pihak netral, tidak memihak kepada Pemohon, Termohon maupun Pihak Terkait.

Sebagai pihak yang netral, keterangan Bawaslu yang meliputi hasil pengawasan tahapan pemilihan, hasil penanganan pelangggaran pemilihan serta hasil penyelesaian sengketa proses pemilihan, sering kali digunakan sebagai pertimbangan Hakim Mahkamah Konstitusi dalam memutuskan perselisihan hasil pemilihan.

Untuk diketahui, di Provinsi Sulawesi Tengah terdapat tujuh permohonan perselisihan hasil atas Pemilihan Walikota Palu, Pemilihan Bupati Sigi, Pemilihan Bupati Poso, Pemilihan Bupati Tolitoli, Pemilihan Bupati Tojo Una-Una, Pemilihan Bupati Banggai dan Pemilihan Bupati Morowali Utara. Hal ini menjadi catatan bagi penyelenggara baik KPU maupun Bawaslu setempat untuk menyiapkan keterangan tertulis yang harus diserahkan kepada Mahkamah Konstitusi sebelum pelaksanaan Sidang Pemeriksaan Pendahuluan pada 26 Januari 2021.

Terakhir, bahwa gugatan ke Mahkamah Konstitusi menjadi upaya hukum terakhir yang dapat ditempuh oleh kontestan Pilkada. Hal ini dikarenakan putusan Mahkamah Konstitusi bersifat final dan mengikat.

Dalam electoral justice system di Indonesia, Mahkamah Konstitusi menjadi muara terakhir bagi para pencari keadilan, sehingga segala bentuk sengketa atau perselisihan hasil pemilihan dianggap selesai setelah adanya putusan Mahkamah Konstitusi dan tidak bisa lagi diganggu gugat.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.