Kerusakan Lahan Akibat Tambang, Jati Centre Somasi Penanggung Jawab

1.345 Views

Palu-Jati Centre. Jati Centre melayangkan somasi (teguran) kepada pihak pemilik dan/atau penangung jawab beroperasinya tambang emas di Kayuboko Parigi Barat. Langkah hukum itu dilakukan atas kerugian materil yang dialami pemilik lahan Abd Razak selaku masyarakat setempat, akibat dampak pertambangan yang beroperasi sejak 2019 lalu.

Melalui keluarga pemilik lahan Muhammad Ridwan, dalam catatan kronologis kejadian menyampaikan, lahan perkebunan yang dimilikinya seluas 5.638m2 itu telah difungsikan sebagai lahan perkebunan, dengan tanaman di dalamnya 120 pohon pala, 10 pohon durian montong, 20 pohon kelapa, tanaman coklat, dan  tanaman pisang, serta membangun 1 unit rumah dan 1 unit bangunan sarang burung walet.

“Berawal dari beroperasinya tambang emas pada tahun 2019 lalu yang berlokasi di Kayuboko, telah berdampak pada kerusakan lahan warga sekitar, berupa dampak buangan materil (lumpur) dan air sungai yang keruh,” sebut Ridwan beberapa waktu lalu.

Dia juga menambahkan, salah satu dampak dari keberadaan tambang tersebut mengakibatkan kerusakan lahan perkebunan dan bangunan miliknya, yang saat ini dalam kondisi rusak dan hampir roboh.

Searah dengan hal tersebut, Kuasa Hukum Jati Centre, Rusli Attaqi menjelaskan, pada prinsipnya operasi pertambangan harus memiliki izin dari Pemerintah Pusat dan/atau Pemerintah Provinsi, sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Pasal 35 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara.

Lanjut penyandang gelas Magister Hukum ini, menegaskan bahwa dalam Undang-Undang tersebut telah disebutkan sanksi dari pelanggaran akibat penambangan ilegal, yaitu diancam dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak seratus miliar rupiah.

Selain itu, Rusli juga menyampaikan masyarakat selaku pihak terdampak dapat memperoleh ganti rugi akibat kesalahan dalam operasi kegiatan pertambangan.

“Masyarakat yang terkena dampak negatif langsung dari kegiatan Usaha Pertambangan berhak, memperoleh ganti rugi yang layak akibat kesalahan dalam pengusahaan kegiatan pertambangan sesuai dengan ketentuan,” tegas Rusli.

Untuk diketahui, melalui kuasa hukum Jati Centre, telah melayangkan surat Somasi tanggal 25 Februari 2021 kepada pihak pemilik dan/atau penanggung jawab pertambangan dimaksud.

Dengan harapan pemilik dan/atau penangung jawab beroperasinya tambang emas tersebut memiliki jiwa sosial dan bertanggung jawab terhadap semua resiko akibat beroperasinya tambang emas tersebut. Lebih khusus dapat memberikan respon positif terhadap kerusakan lahan perkebunan dan bangunan milik masyarakat setempat.

Tambang Emas Poboya; Antara Investasi dan Kerusakan Lingkungan

492 Views

Oleh: Mahadin Hamran
(Ketua Umum HMI-MPO Cabang Palu tahun 2011)

Keberadaan tambang emas Poboya yang akan dikelola oleh perusahaan Central Palu Mineral (PT CPM), anak perusahaan dari PT Bumi Resources, patut untuk dikaji. Selama ini, nuansa kepentingan ekonomi-politik di Poboya lebih dominan dibandingkan dengan kajian ilmiah yang didasarkan pada kesadaran akan keselamatan masyarakat secara keseluruhan. Sebab, sudah terbukti ketika wacana ekonomi-politik dipisahkan dari nilainya (moralitas), hanya akan mendukung investasi demi keuntungan para elit tertentu, daripada keselamatan manusia dan lingkungan di masa depan.

Melalui tulisan ini, penulis ingin mengurai beberapa fakta yang bisa dipandang sebagai wacana pembentukan kesadaran masyarakat, agar kelak dijadikan dasar ilmiah untuk menolak eksplorasi PT Citra Palu Mineral di Poboya. Fakta ini berkaitan dengan kejadian di beberapa daerah-daerah di Indonesia, serta di negara lain yang memiliki sumber daya alam (tambang emas) yang sama, sebagai potensi investasi ekonomi-politik, yang di satu sisi menghasilkan keuntungan, tetapi di sisi lain juga mengakibatkan bencana kemanusiaan dan kerusakan lingkungan.

Isu tentang lingkungan dan keselamatan manusia inilah, sebagai sisi lain yang harus dikedepankan dibandingkan dengan aspek ekonomi-politik dan investasi. Fakta-fakta ini akan menjadi masukan kepada semua pihak untuk dijadikan analisa kelestarian lingkungan dan keselamatan manusia, khususnya masyarakat Kota Palu dalam kurun waktu 10-20 tahun ke depan.

Keberadaan tambang emas Poboya di Kota Palu sejak awal sudah mendapat penolakan berbagai pihak. Sejak PT Citra Palu Mineral resmi mengantongi izin kontrak karya pada 7 Maret 1997, Departemen Kehutanan pernah menolak rencana pengeboran uji coba karena tumpang tindih dengan kawasan konservasi Taman Hutan Rakyat (Tahura) Poboya.

Daerah Tahura sendiri adalah kawasan yang diproyeksikan sebagai penyangga dan juga sebagai wilayah resapan air, yang akan dimanfaatkan dan digunakan sebagai pemasok air terbesar untuk Kota Palu dan sekitarnya. Jika dibiarkan perusahaan melakukan eksplorasi, maka penggunaan air oleh perusahaan lebih dominan dibandingkan dengan konsumsi masyarakat. Akibatnya akan terjadi kekeringan akibat penggunaan air yang berlebihan.

Untuk itu, pada tahun 2003 Departemen Kehutanan merekomendasikan bahwa Tahura Poboya tidak termasuk kawasan untuk industri tambang. Pada tanggal 31 Mei 1999, kepala BKSDA Sulawesi Tengah, juga menyampaikan laporan pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan oleh PT Citra Palu Mineral karena telah melakukan pengeboran di kawasan lindung Tahura (Seputar Rakyat, 2003).

Penolakan juga pernah dilakukan oleh Prof. Aminudin Ponulele saat menjabat sebagai Gubernur Provinsi Sulawesi Tengah yang tidak memberikan rekomendasi pertambangan di Poboya karena akan merusak lingkungan. Sikap penentangan keras Prof. Aminudin sudah disampaikan sejak dia menjabat sebagai Ketua DPRD Tingkat I Sulawesi Tengah.

Di samping itu, ada beberapa tokoh dan kelompok masyarakat membentuk gerakan penolakan PT CPM. Ada Aliansi Kumbono sebagai alat pemersatu masyarakat di Kelurahan Poboya, Lasoani, Kawatuna, Vatutela, dan Parigi. Selain itu, Barisan Pemuda Tara (BATARA) juga melakukan hal yang sama untuk mengusir PT CPM dari Bumi Tadulako. Pada hari Jum’at terakhir bulan Ramadhan (26/08/2011), gerakan Aliansi Masyarakat Sulawesi Tengah juga turun memperingati hari Al-Quds Internasional sebagai bentuk protes terhadap segala penjajahan di Dunia, termasuk penolakan terhadap company PT Citra Palu Mineral.

Penolakan yang dilakukan oleh masyarakat seharusnya sudah menjadi pertimbangan kuat bagi pemerintah daerah untuk membuat kebijakan atau rekomendasi kepada pemerintah pusat agar segera mencabut izin kontrak karya. Akan tetapi, kebijakan pemerintah dengan dukungan aparat kepolisian (Polda Sulteng) malah mengizinkan perusahaan tersebut masuk melakukan eksplorasi. Tidak hanya pemerintah, nyayian para ahli lingkungan (akademisi) juga seolah sudah tumpul gagasannya karena memihak kepada perusahaan.

Prof. Dr. Mappiratu dan Dr. Sulbadana telah menawarkan metode sianida dalam mengatasi permasaalahan pertambangan Poboya, dengan mengatakan bahwa metode sianida adalah metode pengolahan emas yang ramah lingkungan (Radar Sulteng, 9 September 2011). Tetapi, benarkah metode sianida adalah metode yang ramah lingkungan? Pertanyaan ini akan terjawab ketika mengungkap beberapa fakta penggunaan sianida di beberapa lokasi tambang sebagai acuan.

Sejarah penggunaan sianida dalam pengelolaan tambang emas tidak pernah terbukti ramah lingkungan. Selama ini, penggunaan bahan beracun tersebut (sianida) sudah menimbulkan bencana bagi pengelolaan pertambangan di belahan dunia. Di Amerika Serikat, Romania, Argentina, dan Kanada, sudah lama melarang penggunaan sianida. Provinsi-provinsi yang ada di Argentina sejak April 2003, berinisiatif mengeluarkan kebijakan berupa peraturan (UU) yang melarang pertambangan terbuka dan penggunaan sianida (http://www.jatam.org/).

Dalam satu penelitian yang dilakukan oleh Silvanus Maxwel Simange, mahasiswa Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor pada tahun 2010, kesimpulan tesisnya menyatakan bahwa penggunaan mercury dan sianida dalam aktivitas penambangan emas di Teluk Kao Kabupaten Halmahera Utara dapat merusak habitat dan kontaminasi/keracunan serta kematian berbagai jenis biota yang hidup di sekitar kawasan tersebut, termasuk ikan dan manusia. (Silvanus Maxwel Simange, 2010).

Silvanus juga mengungkapkan bahwa biota laut seperti ikan kakap, belanak, udang putih dan hati ikan biji nangka yang ada di sekitar perairan Teluk Kao berada pada tingkat yang kritis dan sangat membahayakan bila dikonsumsi dengan pengolahan yang kurang baik.

Di Kecamatan Malifut, Maluku Utara, warga lingkar tambang sudah terkena penyakit akibat pengoalahan tambang. Selain itu terjadi pencemaran lingkungan, di antaranya limbah yang sudah mencemari sungai serta kubangan yang sudah melampaui batas.

Di Romania pada Januari 2000, pernah runtuh bendungan limbah di tambang emas Baia Mare yang melepaskan lebih dari 100 ribu ton air limbah yang mengandung sianida menuju sungai Tisza dan Danube. Bahan beracun tersebut membunuh 1.240 ton ikan dan mencemari air minum 2,5 juta orang di sana. Untuk menghindari tanggung jawab, Esmeralda Exploration menyatakan bangkrut dan masyarakat di sana menangung bencana tersebut (Sitti Maimunah, 2007).

Pada tahun 2006, tambang emas Bogoso Gold Limited juga menggunakan sianida mencemari sungai Ajoo Steam, yang mengalir ke sungai Apepre dan sungai Ankobra yang mengakibatkan kematian pada ikan-ikan dan lobster. Sekitar 30 orang yang meminum air dan makan ikan tersebut terkena penyakit.
Amerika Serikat dan Kanada sudah lama melarang penggunaan sianida, karena pada tahun 1992, tambang Emas Galactic Resources melakukan hal yang sama dan menyatakan bangkrut dan meninggalkan 3.300 hektar kawasan tambang mengandung sianida yang mencemari dan merusak sekitar 25 Km kawasan sungai Galactic (BorneoNews, Suara Rakyat Kalimantan: 03 Mei 2011).

Alih-alih melarang penggunaan sianida, di Indonesia-perusahaan tambang dan pemerintah malah membohongi publik dengan melegalkan penggunaan sianida sebagai metode yang ramah lingkungan. Modus yang ada di Poboya adalah hasil setingan elit pengusaha dan penguasa yang melakukan kebohongan di masyarakat.

Berbagai fakta di atas, seharusnya menjadi cermin untuk melindungi kelestarian Tahura Poboya dan keselamatan masyarakat, terutama tanggung jawab Wali Kota Palu dan Gubernur Sulawesi Tengah sebagai pihak yang menentukan kebijakan di daerah ini. Begitu pula para akademisi, sebagai ikon intelektual, harus menunjukan sikap transparan dan bermoril dalam melakukan penelitian demi keselamatan masyarakat.

Tentunya, besar harapan kepada semua pihak untuk bersatu membentuk gerakan persatuan untuk menolak eksplorasi PT Citra Palu Mineral, sebagai bukti kepedulian kita terhadap keselamatan manusia dan alam.