Eksistensi Bawaslu dalam Sengketa Hasil Pemilu

257 Views

EKSISTENSI BAWASLU DALAM SENGKETA HASIL PEMILU
Oleh: Ruslan Husen

Sengketa hasil pemilu yang lebih dikenal dengan istilah perselisihan hasil pemilihan umum (PHPU) dapat dianggap sebagai residu demokrasi. Disebut residu, karena seluruh tahapan pemilu telah selesai yang ditandai penetapan hasil pemilu. Namun, terdapat peserta pemilu merasa ada proses tahapan pemilu mengabaikan prinsip demokrasi yang turut mempengaruhi perolehan suaranya. Hingga mengajukan permohonan PHPU ke Mahkamah Konstitusi (MK) sebagai alternatif terakhir membuktikan tata cara dan pelanggaran pemilu yang mempengaruhi perolehan suaranya. Sekaligus memohon kepada MK yang menerima, memeriksa dan mengadili perkara untuk membatalkan perolehan suara sebagaimana ditetapkan oleh KPU secara berjenjang dan menetapkan perolehan suara sesuai dalil petitum pemohon.

Perselisihan hasil pemilu disebutkan dalam ketentuan Pasal 473 Undang-Undang Nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu), meliputi perselisihan antara KPU dan peserta pemilu mengenai penetapan perolehan suara hasil pemilu secara nasional. Pertama, perselisihan penetapan perolehan suara hasil pemilu anggota DPR, DPD, dan DPRD secara nasional meliputi perselisihan penetapan perolehan suara yang mempengaruhi perolehan kursi peserta pemilu. Kedua, perselisihan penetapan perolehan suara hasil pemilu presiden dan wakil presiden secara nasional meliputi perselisihan penetapan perolehan suara yang mempengaruhi penetapan hasil pemilu presiden dan wakil presiden.  

Salah satu kewenangan MK sebagai lembaga peradilan yang memiliki kewenangan memutuskan dalam tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final, adalah memutus perselisihan hasil pemilu.[1] Kewenangan tersebut guna melaksanakan prinsip checks and balances yang menempatkan semua lembaga negara dalam kedudukan setara, sehingga terdapat keseimbangan dalam penyelenggaraan negara. Dalam menyelenggarakan peradilan, MK menggunakan hukum acara umum dan hukum khusus yaitu hukum acara yang memuat aturan umum beracara di MK dan aturan khusus sesuai dengan karakteristik perkara yang menjadi kewenangan MK.

Pemohon dalam PHPU adalah Partai Politik Peserta Pemilu untuk pengisian keanggotaan DPR dan DPRD; Perseorangan calon anggota DPR dan DPRD dalam satu Partai Politik yang sama yang telah memperoleh persetujuan tertulis dari ketua umum dan sekretaris jenderal atau sebutan lainnya dari Partai Politik yang bersangkutan; Perseorangan Calon Anggota DPD Peserta Pemilu; dan/atau Pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden. Sedangkan yang jadi termohon adalah KPU secara berjenjang.

Permohonan pemohon disampaikan secara tertulis dan harus berdasarkan pada argumentasi yang logis dan jelas. Ini penting untuk menguraikan pokok materi permohonan, misalnya tentang ketidak-akuratan daftar pemilih tetap, ketidak-netralan aparat negara, diskriminasi dan penyalahgunaan penegakan hukum, penyalahgunaan birokrasi dan BUMN, penyalahgunaan APBN dan program pemerintah, pembatasan kebebasan media dan pers, atau mobilisasi pemilih. Masing-masing dalil pokok permohonan harus didukung dengan alat bukti yang menguatkan pokok permohonan.

Materi permohonan dalam perselisihan hasil adalah penetapan perolehan suara hasil pemilu yang telah ditetapkan KPU secara nasional dan mempengaruhi: a. Terpenuhinya ambang batas perolehan suara 2,5% sebagaimana dimaksud dalam UU Pemilu. b. Perolehan kursi partai politik peserta pemilu dan kursi calon anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota dari partai politik di suatu daerah pemilihan. c. Terpilihnya calon anggota DPD.

Sedangkan materi permohonan pada pemilu presiden dan wakil presiden adalah: a. Penentuan pasangan calon yang masuk pada putaran kedua pemilu presiden dan wakil presiden; b. Terpilihnya pasangan calon presiden dan wakil presiden.

Berkaitan dengan objek permohonan PHPU, yang menjadi objek permohonan adalah keputusan KPU tentang penetapan hasil rekapitulasi penghitungan suara pemilu yang mempengaruhi terpilihnya calon peserta pemilu. Dalam permohonan juga menyertakan alat bukti yang dapat diajukan ke MK yakni: a. surat atau tulisan; b. keterangan saksi; c. keterangan ahli; d. keterangan para pihak; e. petunjuk; dan f. alat bukti berupa informasi yang diucapkan, dikirimkan, diterima atau disimpan secara elektronik dengan alat optik atau yang serupa dengan itu. Alat bukti itu akan diperiksa oleh hakim di dalam sidang berdasarkan catatan staf pendukung MK. Dalam pemeriksaan itu harus dapat dipertanggung jawabkan perolehan alat bukti yang diajukan. Perolehan secara hukum ini menentukan suatu alat bukti sah atau tidak, yang dinyatakan dalam persidangan.

* * * 

Selain pihak pemohon dan termohon (KPU) dalam penyelesaian PHPU di MK, juga terdapat “pihak terkait” dan pihak pemberi keterangan “Bawaslu”. Pihak terkait merupakan peserta pemilu yang dalam penetapan KPU memperoleh suara terbanyak dan berkepentingan terhadap pengajuan permohonan pemohon. Adapun Bawaslu sebagai lembaga pengawas pemilu yang berkedudukan sebagai pemberi keterangan dalam PHPU yang sedang diperiksa.

Melalui beberapa putusan MK setelah proses tahapan persidangan guna mendengar permohonan pemohon, jawaban termohon, keterangan pihak terkait, dan keterangan Bawaslu serta pemeriksaan saksi dan ahli, dapat berupa penjatuhan putusan: tidak dapat diterima; dikabulkan, dalam artian membatalkan keputusan KPU dan menetapkan perhitungan yang benar; atau ditolak, yaitu permohonan tidak beralasan.

Terhadap permohonan yang tidak memenuhi syarat-syarat kedudukan hukum (legal standing) dan syarat-syarat kejelasan, maka majelis hakim MK menjatuhkan putusan berupa permohonan tidak dapat diterima. Manakala alasan yang menjadi dasar permohonan terbukti secara sah dan meyakinkan, maka majelis hakim MK menjatuhkan putusan berupa mengabulkan permohonan dengan menyatakan membatalkan hasil penghitungan suara oleh KPU dan menetapkan hasil penghitungan suara yang benar sebagaimana dimaksudkan oleh Pemohon. Atau sebaliknya, manakala tidak terbukti secara sah dan meyakinkan, maka majelis hakim MK menyatakan putusan yang menolak permohonan pemohon.

Eksistensi Bawaslu

Eksistensi Bawaslu dalam perselisihan hasil Pemilu di MK secara subjektif dapat dikatakan menentukan kualitas pertimbangan putusan majelis hakim. Bawaslu memberikan keterangan sebagai “lembaga pemberi keterangan” dengan menguraikan hasil pengawasan, penindakan pelanggaran, dan penyelesaian sengketa proses pemilu yang relevan dengan pokok permohonan pemohon. Bawaslu melaksanakan tugas dan kewenangan telah mendapatkan mandat UU Pemilu dan anggaran dari keuangan negara, olehnya materi muatan keterangan yang disampaikan sangat menentukan dan dipertimbangkan dalam putusan majelis hakim MK.

Apalagi posisi Bawaslu berbeda dengan semua pihak yang hadir di persidangan. Pemohon, jelas memohon mengubah penetapan KPU dan ingin ditetapkan pemenang kontestasi pemilu. Sementara termohon (KPU), posisinya mempertahankan keputusan yang ditetapkan, bahwa benar dan tidak cacat hukum. Demikian pula dengan pihak terkait, sebagai pihak yang ditetapkan KPU sebagai pihak yang memperoleh suara terbanyak, berkeinginan dan menguatkan jawaban dari termohon (KPU). Adapun Bawaslu berbeda dengan posisi semua pihak tadi, yakni fokus memberikan keterangan terkait faktual hasil pengawasan, penindakan pelanggaran dan penyelesaian sengketa proses pemilu. Posisi ini menandakan tidak ada keberpihakan pada pihak tertentu, murni menerangkan pelaksanaan kewenangan pengawasan pemilu khususnya terkait dalil pemohon.

Tidak jarang apa yang didalilkan oleh pemohon, terutama pelanggaran dalam tahapan pemilu, hakikatnya telah melalui proses penanganan pelanggaran di Bawaslu. Hanya saja, pemohon merasa kurang puas dari hasil (produk) kinerja Bawaslu, sehingga masih mengupayakan langkah terakhir melalui sengketa hasil di MK. Dengan harapan MK mau melihat pokok permasalahan-dalil pemohon, sebagai harapan pencapaian keadilan substantif.

Sejatinya MK dibatasi oleh ketentuan hukum acara dan keyakinan hakim, hingga tidak berani keluar dari frame ketentuan dimaksud. Sangat beresiko apalagi lewat proses persidangan yang terbuka, lantas mempertontonkan sikap keberpihakan dan tidak profesional. MK sudah selesai dengan sikap dan tindakan pragmatis sesaat seperti itu, beralih pada sikap dan tindakan mewujukan keadilan dan penegah konstitusi. Yakni, pelanggaran pemilu dan sengketa proses pemilu menjadi ranah kewenangan Bawaslu yang telah diselesaikan dalam tahapan pemilu. Tinggal didalami hasil pengawasan kaitan dengan perolehan suara pemohon dan tindaklanjut rekomendasi dan putusan administrasi sekaitan dengan dalil-dalil pemohon.

Komitmen MK terlihat kembali dalam putusan MK Nomor: 190/PHPU.D-VIII/2010, MK telah menegaskan bahwa:

“pembatalan hasil pemilu atau pemilukada karena pelanggaran-pelanggaran yang bersifat terstruktur, sistematis dan masif sama sekali tidak dimaksudkan oleh MK untuk mengambil alih kewenangan badan peradilan lain. Mahkamah tidak akan pernah mengadili pelanggaran pidana dan administrasi dalam pemilu dan pemilukada, melainkan hanya mengambil pelanggaran-pelanggaran yang terbukti di bidang itu yang berpengaruh terhadap hasil pemilu dan pemilukada sebagai dasar putusan, tetapi tidak menjatuhkan sanksi pidana dan administrasi terhadap pelakunya”[2]

Terhadap dalil-dali pemohon, MK memetakan berbagai dalil terjadinya pelanggaran pemilu kaitan dengan kewenangan dan kinerja Bawaslu, yaitu: (1) dalil yang tidak dilaporkan ke Bawaslu, atau Bawaslu tidak pernah menerima laporan atau temuan apapun; (2) Bawaslu menerima pengaduan atau mendapatkan temuan dan telah ditindaklanjuti; serta (3) Bawaslu tidak melaksanakan kewenangannya. Oleh karenanya, MK menilai dalil-dalil yang sudah pernah diputuskan atau tidak pernah diajukan kepada Bawaslu, maka tidak dipertimbangkan kembali secara mendalam oleh MK karena dianggap sudah diselesaikan sebelumnya. Meskipun, beberapa dalil yang belum pernah diajukan ke Bawaslu, juga tetap dipertimbangkan dan dinilai oleh MK.[3]

Menyadari eksistensi Bawaslu dalam proses sengketa hasil Pemilu dan penegasan MK untuk tidak mengambil alih kewenangan lembaga yang mengadili pelanggaran pidana dan administrasi pemilu, sejatinya struktur Bawaslu responsif terus menyiapkan diri dan kelembagaan menghadapi tantangan ke depan. Yakni, menyiapkan dokumen dan mengolah data/bahan yang terkait dengan pelaksanaan tugas dan wewenang Bawaslu. Seputar hasil pengawasan per/tahapan pemilu, penindakan pelanggaran yang bersumber dari temuan dan laporan, dan penyelesaian sengketa proses pemilu yang telah ditangani.

Penyiapan teknis dimaksud dengan memanfaatkan sarana teknologi dan informasi. Dokumen menumpuk hasil kinerja kelembagaan secara berjenjang ditabulasi dan diolah dalam bentuk soft copy. Kendati jika dibutuhkan dokumen hard copy dengan cepat dapat diakses sebagai alat bukti yang diajukan ke muka persidangan. Menyelesaikan hal-hal teknis tapi strategis seperti ini, perlu ditunjang staf pendukung yang bertanggungjawab mengelola dan menyiapkan dokumen terkait.

Proses pemberian keterangan di MK, yang diminta tampil memberikan keterangan adalah lembaga atas nama Bawaslu secara kelembagaan, bukan atas nama perseorangan. Keterangan yang diberikan adalah yang sudah dilaksanakan sebagai terjemahan melaksanakan mandat UU Pemilu, bukan yang belum dilakukan apalagi opini belaka.

Pertama, dokumen hasil pengawasan tahapan pemilu. Penyampaian pengawasan hasil kinerja pengawasan tahapan pemilu secara kelembagaan, di dalamnya memuat aspek pencegahan pelanggaran, pengawasan langsung dan melekat terhadap peserta pemilu dan sesama penyelenggara pemilu (KPU) serta pihak lain yang harus terjaga netralisnya dalam penyelenggaraan pemilu. Penyampaian keterangan bukan opini orang-perorang, tetapi merupakan hasil kinerja kelembagaan yang telah melalui kesepakatan rapat pleno komisioner dan ditulis dalam format baku keterangan tertulis.

Kedua, dokumen hasil penindakan pelanggaran pemilu. Proses pemilu masih diliputi dengan berbagai bentuk pelanggaran pemilu, baik dilakukan oleh peserta pemilu, aparat pemerintahan bahkan penyelenggara pemilu dalam frame orang-perorang. Atas pelanggaran pemilu tersebut, Bawaslu dengan kewenangannya, melakukan proses penindakan pelanggaran lewat pintu laporan atau pintu temuan pelanggaran. Olehnya, sekaitan dalil pemohon dalam PHPU, Bawaslu menguraikan proses dan tindaklanjut penindakan pelanggaran pemilu.

Ketiga, dokumen penyelesaian sengketa proses pemilu. Sengketa proses pemilu sebagai sengketa yang terjadi antar-peserta pemilu dan sengketa peserta pemilu dengan penyelenggara pemilu sebagai akibat dikeluarkannya keputusan KPU secara berjenjang. Bawaslu menerima permohonan sengketa, dan menyelesaikan melalui forum mediasi. Jika tidak tercapai kesepakatan mediasi, penyelesaian sengketa para pihak dilanjutkan dengan proses adjudikasi. Dalam PHPU, Bawaslu juga memberikan keterangan sekaitan dengan pokok permohonan pemohon yang ada kaitannya dengan pelaksanaan kewenangan penyelesaian sengketa proses pemilu ini.

Penutup

Pemilu bukan semata-mata dasar mendapatkan dukungan dan legitimasi rakyat untuk berkuasa, tetapi pemilu harus dilaksanakan sesuai prosedur dan tata cara yang digariskan oleh hukum pemilu. Dalam demokrasi, tujuan dan tata cara merupakan dua sisi yang tidak bisa diabaikan. Prosedur dan tata cara justru memberi jaminan tegaknya prinsip pemilu luber dan jurdil, yang turut memberikan jaminan atas persamaan hak, kesetaraan dan kebebasan masyarakat.

Menjamin pelaksanaan prinsip pemilu dimaksud, terbentang eksistensi dan peran strategis Bawaslu sesuai UU Pemilu dalam sengketa hasil yang tidak hanya sebagai pengawas pemilu, tetapi sebagai eksekutor penanganan pelanggaran dan pemutus sengketa proses pemilu. Hasil kinerja pelaksanaan kewenangan Bawaslu itu telah membantu pengembangan pertimbangan majelis hakim MK yang menerima, memeriksa dan mengadili penyelesaian PHPU.


Catatan Kaki:
[1] Lihat ketentuan Pasal 24C UUD NRI Tahun 1945.
[2] Putusan MK Nomor: 190/PHPU.D-VIII/2010.
[3] Pan Mohamad Faiz, 2019, Putusan Sengketa Hasil Pilpres, Jurnal Konstitusi Nomor 148 Juni 2019, Mahkamah Konstitusi, Jakarta, hlm. 70.

Eksistensi Bawaslu dalam Penyelesaian Sengketa Proses Pemilu

254 Views

EKSISTENSI BAWASLU DALAM PENYELESAIAN SENGKETA PROSES PEMILU
Oleh: Ruslan Husen, SH, MH.

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 15 tahun 2011 tentang Penyelenggara Pemilu, Penyelesaian Sengketa Proses Pemilu (PSPP) hanya dapat diselesaikan oleh Bawaslu RI, kini sesuai Undang-Undang Nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu), PSPP selain dapat diselesaikan oleh Bawaslu RI, juga dapat diselesaikan oleh Bawaslu Provinsi dan Bawaslu Kabupaten/Kota.  

Ini terkait dengan eksistensi Bawaslu, Bawaslu Provinsi dan Bawaslu Kabupaten/Kota baik dalam hal kelembagaan dan kewenangan pasca penetapan UU Pemilu. Secara kelembagaan, Bawaslu saat ini telah menjadi lembaga parmanen (Badan) baik dari tingkat Pusat sampai dengan Kabupaten/Kota. Salah satu kewenangan yang diberikan UU Pemilu adalah PSPP yang diajukan oleh peserta Pemilu sesuai dengan struktur tingkatan wilayah, sebagai akibat ditetapkannya Keputusan dan/atau Berita Acara KPU yang dinilai merugikan hak konstitusionalnya.  

Sengketa Proses Pemilu

Pasal 466 UU Pemilu mendefinisikan, sengketa proses Pemilu sebagai sengketa yang terjadi antar-peserta Pemilu dan sengketa Peserta Pemilu dengan Penyelenggara Pemilu sebagai akibat dikeluarkannya Keputusan KPU/KPU Provinsi/KPU Kabupaten/KPU Kota. Bawaslu menerima permohonan PSPP sebagai akibat dikeluarkannya keputusan KPU. Arti Keputusan yang dimaksud, dalam bentuk Surat Keputusan dan/atau Berita Acara.[1]

Dari ketentuan Pasal 466 di atas, secara eksplisit menyebut bahwa potensi sengketa proses Pemilu hanya 2 (dua) yakni: sengketa Peserta Pemilu antar Peserta Pemilu, dan sengketa Peserta Pemilu dengan Penyelenggara Pemilu, khususnya KPU. Pasal ini tidak membuka peluang adanya mekanisme hukum sengketa Peserta Pemilu dengan Penyelenggara Pemilu lainnya, seperti Bawaslu dan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu.

Sehingga subyek hukum dalam PSPP hanya ada dua pihak, yakni Peserta Pemilu dan KPU. Kedudukan KPU sebagai pihak yang mempertahankan keabsahan keputusan yang dibuatnya. Adapun objek PSPP yang diajukan ke Bawaslu meliputi Surat Keputusan dan/atau Berita Acara yang dikeluarkan oleh KPU sesuai dengan tingkatan struktur (Pusat, Provinsi, atau Kab/Kota) yang dianggap merugikan kepentingan hukum peserta Pemilu tertentu.

Adanya Keputusan dan/atau Berita Acara KPU di tingkat Provinsi dapat dimohon diadili dan diputus oleh Peserta Pemilu ke Bawaslu Provinsi. Keputusan dan/atau Berita Acara KPU yang merugikan peserta Pemilu di tingkat Kabupaten/Kota, bisa digugat ke Bawaslu Kabupaten/Kota. Dengan syarat formil, masih dalam rentang waktu tiga hari kerja sejak dikeluarkannya Keputusan dan/atau Berita Acara KPU tadi sebagai objek sengketa. Dan, Bawaslu wajib menyelesaikan sengketa proses Pemilu itu dalam kurun waktu 14 hari kerja.

Bawaslu melaksanakan PSPP, dengan mempertemukan pihak yang bersengketa untuk didengar kepentingan hukumnya, guna mencapai kesepakatan melalui mediasi atau musyawarah dan mufakat. Dalam hal tidak tercapai kesepakatan antara pihak yang bersengketa, Bawaslu menyelesaikan sengketa proses Pemilu melalui sidang adjudikasi. Produk adjudikasi berupa putusan.

Putusan Bawaslu terhadap sengketa proses Pemilu bersifat final dan mengikat, kecuali untuk tiga hal, yakni berkaitan dengan verifikasi calon Partai Politik peserta Pemilu, penetapan calon anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi dan DPRD kabupaten/kota, dan penetapan calon. Jika ternyata putusan Bawaslu masih tetap menguatkan penetapan dari KPU (berarti menolak permohonan Pemohon), maka Partai Politik yang bersangkutan dapat mengajukan banding ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN).

PTUN ada di tiap Provinsi.  Jadi, kalau ada peserta Pemilu tidak puas dengan Putusan Bawaslu, bisa mengajukan gugatan ke ke PTUN setempat. Di PTUN, objek gugatan bukanlah Putusan Bawaslu, melainkan keputusan KPU yang belum diputus oleh Bawaslu. Putusan Bawaslu berfungsi sebagai salah satu syarat diterimanya berkas gugatan, karena PTUN tidak berwenang menerima dan memeriksa perkara sengketa proses Pemilu, saat perkara belum pernah diputus dalam sidang Adjudikasi Bawaslu.

Eksistensi Bawaslu Menegakkan Keadilan Pemilu

Eksistensi Bawaslu searah dengan harapan dan optimis publik yang didasarkan atas pengalaman Bawaslu dalam pelaksanaan Pemilu tahun 2014 lalu. Sebelumnya Bawaslu sebagai lembaga Pengawas Pemilu tidak memiliki wewenang memadai, terutama lembaga Pengawas Pemilu yang hadir secara fungsional menegakkan keadilan Pemilu. Produknya lebih ditempatkan sebagai rekomendasi yang tidak jarang KPU enggan melaksanakannya.

Inilah yang menginisiasi penguatan kelembagaan Bawaslu, baik dari struktur dan kewenangan hingga lahir Undang-Undang Nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu). Menurut Fritz Edward Siregar, transformasi krusial yang dilakukan pembentuk UU terhadap Bawaslu adalah menambahkan fungsi penyelesaian sengketa proses Pemilu, adjudikasi. Penambahan wewenang ini membuat Bawaslu tidak lagi sekedar pemberi rekomendasi, melainkan sebagai eksekutor atau pemutus perkara. Berdasarkan UU Pemilu, fungsi adjudikasi yang dimiliki Bawaslu dapat dilaksanakan untuk menerima, memeriksa, mempertimbangkan, dan memutus pelanggaran administrasi Pemilu, dan sengketa proses Pemilu.[2]

Selanjutnya, kehadiran Bawaslu beserta jajarannya sesuai UU Pemilu, dengan kewenangan PSPP diharapkan dapat berkontribusi mewujudkan pelaksanaan tahapan Pemilu yang jujur dan adil. Pemilu yang proses dan hasilnya memperoleh legitimasi publik, hingga lahir pemimpin pilihan rakyat-pemilik kedaulatan. Menurut Firmansyah, fungsi Bawaslu sangat dibutuhkan sebagai lembaga negara di bawah UU yang bersifat tetap dan mempunyai kewenangan dalam mengawasi jalannya Pemilu,[3] menindak pelanggaran dan menyelesaikan sengketa proses Pemilu.

Keadilan Pemilu (electoral justice) sebagai sarana dan mekanisme untuk menjamin bahwa proses Pemilu tidak dirusak oleh penyimpangan dan kecurangan. Termasuk dalam mekanisme keadilan Pemilu adalah pencegahan terjadinya sengketa Pemilu melalui serangkaian kegiatan, tindak, dan rekomendasi kepada pihak terkait apakah itu KPU ataupun Peserta Pemilu. Yang dilanjutkan dengan pelaksanaan kewenangan PSPP, dengan mempertemukan para pihak yang bersengketa (mediasi dan/atau adjudikasi) sebagai akibat ditetapkannya Keputusan dan/atau Berita Acara KPU.

Jika penegakkan hukum Pemilu diartikan sebagai sarana untuk memulihkan prinsip dan aturan hukum Pemilu yang dilanggar sehingga dapat mewujudkan keadilan, kepastian, dan kemanfaatan Pemilu, maka sejatinya keadilan Pemilu berkaitan dengan proses penegakan hukum Pemilu. Proses yang menjamin Pemilu yang jujur dan adil (free and fair election), dengan menjamin hak konstitusional semua pihak secara proporsional dan berkeadilan.

Pada aspek normatif penegakkan keadilan Pemilu, desain dan mekanisme PSPP yang diamanatkan UU Pemilu terdapat kombinasi penyelesaian sengketa yang bersifat alternatif dan korektif. Sifat alternatif PSPP tergambar melalui metode “Mediasi”, yang mempertemukan para pihak yang bersengketa dengan difasilitasi Mediator dari Bawaslu. Sedangkan PSPP secara korektif tergambar melalui metode “Adjudikasi”, berupa Bawaslu menerima, memeriksa, dan memutus sengketa yang diajukan oleh pihak peserta Pemilu yang merasa dirugikan sebagai akibat dikeluarkannya Keputusan dan/atau Berita Acara KPU.[4]

Kombinasi penyelesaian sengketa yang bersifat alternatif dan korektif ini, selain terdapat dalam UU Pemilu, dipertegas lagi dalam Peraturan Bawaslu Nomor 18 Tahun 2017 sebagaimana telah diubah terakhir kali dengan Peraturan Bawaslu Nomor 27 tahun 2018 tentang Perubahan Kedua Peraturan Bawaslu Nomor 18 Tahun 2017 tentang Tata Cara Penyelesaian Sengketa Proses Pemilu.

Penambahan kewenangan Bawaslu dalam PSPP, terlihat adanya politik hukum pembentuk UU untuk memperkuat sisi eksekutorial dari fungsi-fungsi Bawaslu. Putusan Bawaslu yang sebelumnya hanya bersifat rekomendasi, kini menjadi putusan yang memiliki kekuatan eksekutorial layaknya putusan Pengadilan. Hal mentransformasikan Bawaslu menjadi lembaga quasi peradilan yang putusannya bersifat final dan mengikat kecuali ditentukan lain dalam UU Pemilu.

Karakter Putusan Bawaslu

Putusan merupakan produk yang dikeluarkan oleh Hakim sebagai pejabat negara yang diberi kewenangan menerima, memeriksa, dan mengadili sengketa yang diajukan kepada lembaganya. Putusan diucapkan di muka persidangan dengan tujuan mengakhiri dan menyelesaikan suatu perkara atau sengketa para pihak.

Kewenangan PSPP yang dimiliki oleh Bawaslu berdasarkan UU Pemilu dalam mengeluarkan putusan final and binding. Pasal 469 ayat (1) UU Pemilu menyatakan bahwa putusan Bawaslu mengenai penyelesaian sengketa proses Pemilu merupakan putusan yang bersifat final dan mengikat, kecuali putusan terhadap sengketa proses Pemilu yang berkaitan dengan:

a. verifikasi partai politik peserta pemilu;

b. penetapan daftar calon tetap anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota; dan

c. penetapan pasangan calon.

Putusan Bawaslu bersifat final dan mengikat dan diterapkan pada sengketa yang terjadi antar peserta Pemilu. Sedangkan, putusan Bawaslu yang tidak final dan mengikat diterapkan pada sengketa antara peserta Pemilu dengan KPU. Terhadap putusan Bawaslu tersebut, dapat dilakukan upaya hukum berupa mengajukan gugatan kepada Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) oleh Peserta Pemilu.

Lahirnya kewenangan Bawaslu menetapkan putusan final and binding tentunya akan membuat Bawaslu menjelma sebagai lembaga quasi yudisial. Pintu masuk adanya kewenangan ini bermula dari proses adjudikasi yang diatur oleh UU Pemilu, tepatnya dalam hal tidak tercapai kesepakatan antara pihak yang bersengketa Bawaslu menyelesaikan sengketa proses pemilu melalui adjudikasi. Putusan final and binding oleh Bawaslu dimaksudkan agar putusan tersebut dapat langsung dilaksanakan (self executing).

Dari aspek kekuatan berlakunya putusan, dapat dibagi menjadi dua bagian, yakni putusan yang belum memiliki kekuatan hukum tetap, dan putusan yang telah memiliki kekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde). Putusan yang belum memiliki kekuatan hukum tetap, merupakan putusan yang masih terbuka jalan untuk dilakukan upaya hukum selanjutnya. Sedangkan putusan inkracht merupakan putusan yang tidak dapat lagi dilakukan upaya hukum biasa untuk melawannya (banding dan kasasi). Dengan demikian, putusan yang bersifat final and binding merupakan putusan akhir yang inkracht dan tidak dapat dilakukan upaya hukum lagi.

Menurut Adam Muhshi dan Fenny Tria Yunita,[5] Putusan Bawaslu terkait PSPP memiliki karakter yuridis selayaknya sebuah putusan Pengadilan meskipun bukan dikeluarkan oleh lembaga yudisial. Hal ini dapat diidentifikasi melalui beberapa aspek. Pertama, segi tujuan, putusan Bawaslu memiliki tujuan sama dengan tujuan dikeluarkannya putusan Peradilan, yakni bertujuan untuk mengakhiri sengketa para pihak. Para pihak yang merasa dirugikan dengan berlakunya objek sengketa, berusaha memulihkan haknya dengan mengajukan sengketa ke Pengadilan, untuk diadili sesuai dengan hukum dan keadilan.

Kedua, segi substansi, putusan Bawaslu memiliki substansi yang sama dengan substansi putusan Badan Peradilan. Substansi sebuah putusan akhir memuat kepala putusan, berupa irah-irah “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”, identitas para pihak, jawaban/kesimpulan para pihak, pertimbangan hukum, dan amar putusan. Amar putusan dapat berupa gugatan / permohonan ditolak, dikabulkan, tidak dapat diterima atau gugur. Dan, substansi putusan seperti itu juga nampak dari produk putusan Bawaslu yang mengadili PSPP.

Ketiga, sspek prosedural. Sebuah putusan dapat dikeluarkan setelah melalui proses pemeriksaan berkas perkara, dan melalui mekanisme persidangan yang mendengarkan dan mempertimbangkan kedudukan serta kepentingan hukum para pihak. UU Pemilu secara eksplisit menyatakan Bawaslu berwenang untuk melakukan proses adjudikasi dalam menyelesaikan sengketa proses Pemilu, jika mediasi yang difasilitasi Bawaslu tidak mencapai kesepakatan.

Sifat putusan Bawaslu final and binding ini yang justru membedakan dengan putusan Badan Peradilan lainnya. Putusan dari Badan Peradilan umumnya masih terbuka upaya hukum misalnya banding, kasasi dan peninjauan kembali. Namun, putusan Bawaslu justru melampaui putusan Badan Peradilan tersebut. Terhadap putusan Bawaslu tidak terbuka upaya hukum yang dapat dilakukan para pihak yang keberatan atas hasil putusan tersebut.

Memaknai final dan mengikat tidak dapat dipisahkan dalam konteks putusan. Secara harfiah, kata “final” dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia diartikan “tahap terakhir dari rangkaian pemeriksaan,”[6] sedangkan kata “mengikat” diartikan sebagai mengeratkan dan menyatukan.[7] Sifat final and binding ternyata tidak hanya dimiliki oleh putusan MK, tetapi juga dimiliki oleh Badan-Badan lain yang menyelenggarakan fungsi tertentu. Beberapa putusan final and binding diantaranya putusan arbitrase yang dikeluarkan oleh Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI), putusan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK), dan putusan Dewan Kehormatan Penyelenggaraan Pemilu (DKPP).

Konsekwensi atas putusan final dan mengikat yang dikeluarkan oleh Badan-Badan tersebut, dapat menghilangkan atau menciptakan keadaan hukum baru, dan tidak ada upaya hukum yang bisa dilakukan untuk melawan putusan tersebut, baik melalui upaya hukum banding, kasasi, maupun Peninjauan Kembali. Demikian pula dengan putusan Bawaslu yang bersifat final dan mengikat, kecuali ditentukan lain dalam UU Pemilu.

Penutup

Penyelesaian Sengketa Proses Pemilu (PSPP) merupakan kewenangan Bawaslu dalam penegakkan keadilan Pemilu (electoral justice), bagi peserta Pemilu yang hak hukum dan konstitusinya dilanggar oleh pihak lain, baik dari peserta Pemilu lainnya maupun Penyelenggaraan Pemilu (KPU). PSPP hakikatnya bertujuan mewujudkan proses dan hasil Pemilu yang dapat diterima oleh semua pihak. Proses yang berlangsung secara jujur dan adil, serta hasil Pemilu yang melegitimasi hadirnya pemimpin sesuai dengan pilihan rakyat.

Catatan Kaki :


[1] Pasal 4 ayat (1) dan (2) Perbawaslu Nomo 18 tahun 2017 Tata Cara Penyelesaian Sengketa Proses Pemilu.
[2] Fritz Edaward Siregar, 2018, Bawaslu Menuju Peradilan Pemilu, Themis Publishing, Jakarta, hlm. 52.
[3] Firmansyah dalam Ni’matul Huda dan M. Imam Nasef, 2017, Penataan Demokrasi & Pemilu di Indonesia Pasca Reformasi, Kencana, Jakarta, hlm. 110.
[4] Rahmat Bagja, 2018, Membangun Bawaslu Sebagai Lembaga Pengawas Pemilu dan Penyelesaian Sengketa Pemilu Yang Profesional, Transparan dan Akuntabel, Makalah Konferensi HTN Ke-5, Batusangkar, hal. 12.
[5] Adam Muhshi dan Fenny Tria Yunita, 2018, Karakter Yuridis Putusan Badan Pengawas Pemilu Dalam Penyelesaian Sengketa Proses Pemilu, Call Paper Konferensi HTN Ke-5, Batusangkar, Sumatera Selatan.
[6] Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, 2008, Kamus Bahasa Indonesia, Jakarta, hal. 414.
[7] Ibid, hlm. 571.

Penyelesaian Sengketa Antar Peserta Pemilu Melalui Sengketa Cepat

248 Views

PENYELESAIAN SENGKETA ANTAR PESERTA PEMILU MELALUI SENGKETA CEPAT
Oleh: Ruslan Husen, SH, MH.

Salah satu kewenangan Bawaslu pasca penetapan Undang-Undang Nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu), adalah Penyelesaian Sengketa Proses Pemilu (PSPP). Pelaksanaan PSPP beriringan dengan pelaksanaan kewenangan dalam pengawasan/pencegahan dan penindakan pelanggaran Pemilu. Dalam perkembangan, PSPP dapat dianggap sebagai kewenangan residu dari pelaksanaan kewenangan pencegahan dan pelanggaran Pemilu. Artinya, pemulihan hak dari peserta Pemilu yang belum dapat diselesaikan lewat pencegahan dan penindakan pelanggaran Pemilu, dapat diselesaikan lewat jalur PSPP asal memenuhi syarat dan ketentuan pengajuan permohonan sengketa.

Sebagai residu, PSPP yang diselesaikan oleh Bawaslu harus benar-benar tuntas, agar terwujud keadilan Pemilu. Keadilan yang tergambar lewat proses dan hasil Pemilu yang dapat diterima oleh semua pihak, melalui kerja-kerja Penyelenggara Pemilu secara jujur dan adil.

Sejarah panjang perjalanan kewenangan Bawaslu dalam PSPP berawal dari pelaksanaan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada). Telah disebutkan dalam Undang-Undang Pilkada, bahwa sengketa Pemilihan terjadi antar peserta Pemilihan, atau antara peserta Pemilihan dengan KPU, sebagai akibat dikeluarkannya Keputusan dan/atau Berita Acara KPU.[1] Lalu muncul pertanyaan, siapa yang dimaksud dengan peserta Pemilihan dan bagaimana legal standing sengketa antar peserta Pemilihan ?

Akibat tidak jelasnya, pengaturan sengketa antar peserta Pemilihan, memunculkan polemik. Seperti yang pernah terjadi dalam Pilkada di Kota Makassar, di mana salah satu peserta Pemilihan mengajukan permohonan sengketa atas penetapan KPU yang meloloskan calon peserta lain sebagai kompetitornya. UU Pilkada dan Peraturan Bawaslu telah menyebutkan objek sengketa Pemilihan adalah Keputusan dan/atau Berita Acara KPU, dengan dasar itu maka Bawaslu lantas menerima permohonan sengketa tersebut. Dengan posisi, salah satu peserta Pemilihan bersengketa dengan KPU sebagai akibat penetapan KPU yang menetapkan calon lain.

Terjadilah polemik, Bawaslu tidak punya alasan kuat menolak pengajuan permohonan sengketa tersebut. Walhasil permohonan diterima, diperiksa, dan diputus setelah melalui proses adjudikasi, dengan-tanpa pelibatan calon peserta yang bersangkutan sebagai pihak terkait.

Dalam hal ini, ada potensi antar peserta Pemilihan saling gugat, sehingga perlu penekanan bahwa syarat diterimanya permohonan sengketa antar calon Pemilihan, adalah kerugian langsung yang diderita sebagai akibat ditetapkannya Keputusan dan/atau Berita Acara KPU. Jika menguraikan kerugian, ditetapkannya calon peserta Pemilihan yang lain sebagai kompetitor adalah tidak logis. Sehingga permohonan sengketa Pemilihan yang diajukan harus digugurkan karena tidak terpenuhinya syarat kerugian langsung yang diderita.

Inisiasi Sengketa Cepat

Perlu kajian dan analisis tepat, terkait dengan perbedaan objek dan kasus yang menjadi ranah sengketa Proses Pemilu, dan mana yang menjadi ranah pelanggaran administrasi Pemilu. Jangan sampai objek masalah merupakan pelanggaran administrasi Pemilu, namun diselesaikan melalui jalur sengketa Pemilu. Demikian pula sebaliknya.

Ketentuan PSPP senantiasa dinamis, yang dipicu oleh kontestasi dan kepentingan hukum dari masing-masing peserta Pemilu. Secara khusus fokus tulisan ini, khusus sengketa yang timbul antar peserta Pemilu sebagai akibat ditetapkannya Keputusan dan/atau Berita Acara KPU yang merugikan kepentingannya, menjadi penting dipikirkan sebagai langkah strategis penjabaran lebih lanjut dari Pasal 466 UU Pemilu.

Dalam hal ini, desain sengketa antar peserta Pemilu dengan menggunakan sengketa cepat, kiranya perlu diinisiasi guna menjawab kebutuhan di lapangan. Mekanisme sengketa cepat ini menjadi alternatif PSPP yang dilaksanakan Pengawas Pemilu[2] dengan pertimbangan efektif dan efesiensi. Sengketa cepat dilakukan terhadap peristiwa hukum yang dialami oleh peserta Pemilu, bersifat mendesak dan sementara berlangsung di lapangan untuk diselesaikan pada hari yang sama dan di tempat kejadian.

Dalam proses sengketa cepat ini, Pengawas Pemilu pertama-tama mengarahkan pencapaian hasil pada  prinsip musyawarah mufakat. Namun, apabila tidak terjadi kesepakatan pada musyawarah mufakat, proses sengketa dilanjutkan dan diputus oleh Pengawas Pemilu atas nama Bawaslu Kabupaten/Kota dengan mempertimbangkan kepentingan hukum para pihak sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Kewenangan penyelesaian sengketa antar peserta Pemilu dilaksanakan oleh Panwaslu Kecamatan dan Panwaslu Kelurahan/Desa atas nama Bawaslu Kabupaten/Kota. Dalam hal ini kewenangan sengketa cepat tetap menjadi kewenangan Bawaslu Kabupaten/Kota, yang selanjutnya dimandatkan kepada Pengawas Pemilu yang berada dalam struktur dibawahnya, yakni Panwaslu Kecamatan dan Panwaslu Kelurahan/Desa.

Bawaslu Kabupaten/Kota wajib melakukan pengawasan dan pendampingan pada setiap proses penyelesaian sengketa antar peserta yang dilaksanakan oleh Panwaslu Kecamatan dan Panwaslu Kelurahan/Desa. Tetap penanggungjawab utama ada di Bawaslu sebagai pemilik wewenang.

Desain Sengketa Cepat

Inisiasi sengketa cepat merupakan kebutuhan Pengawas Pemilu di lapangan dalam melaksanakan kewenangan penyelesaian sengketa. Permasalahan sengketa antar peserta Pemilu tidak menutup kemungkinan, dapat terjadi. Olehnya, inisiasi penyelesaiannya harus dengan koridor hukum yang tepat. Berikut beberapa inisiasi norma/ketentuan dalam mendesain sengketa cepat ini.

Pertama, Subjek para pihak. Subjek pemohon atau termohon adalah Partai Politik (Parpol), calon anggota DPD, dan pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden. Para pihak PSPP acara cepat tersebut dapat menunjuk kuasa hukum untuk membela kepentingan hukum yang bersangkutan. Para pihak dalam sengketa antar peserta merupakan peserta Pemilu yang sejajar sesuai tingkatan wilayah.

Dalam sengketa antar peserta Pemilu yang berasal dari Parpol, pemohon PSPP adalah Parpol peserta Pemilu,[3] bukan calon anggota DPR, dan DPRD. Dalam pengajuan permohonan sengketa itu, diajukan oleh pengurus Parpol dalam hal ini ditanda-tangani Ketua dan Sekretaris berdasarkan tingkatan kepengurusan.[4]

Di sini terjadi dilema, antara calon anggota legislatif dan/atau Parpol yang mengajukan permohonan PSPP. Jika membuka ruang bagi subjek pemohon/termohon dari calon anggota legislatif, ini akan membuka pintu yang berpotensi banjir permohonan sengketa proses di Bawaslu. Apalagi kewenangan Bawaslu bukan hanya PSPP, kewenangan pengawasan dan penindakan pelanggaran juga membutuhkan tenaga ekstra melaksanakannya. Mahkamah Konstitusi (MK) saja menentukan syarat pengajuan sengketa Pilkada harus memenuhi selisih 2 sampai 0,5 persen dari jumlah suara sah Pilkada. Dampak syarat itu, menjadikan banyak sengketa Pilkada yang diajukan tidak dapat diperiksa pokok perkarannya oleh MK. Ini juga kiranya menjadi bahan pertimbangan UU Pemilu dalam menutup celah calon anggota legislatif dapat mengajukan PSPP, selain dari pintu Parpol.

Sementara di sisi lain, calon anggota legislatif yang dicurangi apalagi di tahapan pungut hitung, tentu terkorbankan kepentingan dan haknya, atau terdapat keadaan di mana kehadiran Pimpinan Parpol ke wilayah terpencil sangat sulit. Sementara pengajuan permohonan PSPP harus melalui Parpol. Di sinilah urgensinya, permohonan dapat diajukan oleh calon anggota legislatif yang dirugikan atas penetapan KPU, yang terpisah dari dikotomi pengajuan PSPP atas nama Partpol. Dengan menekankan pada perlindungan dan jaminan keadilan bagi calon anggota legislatif yang dicurangi dan menuntut pemulihan hak melalui proses PSPP.

Tinggal ditimbang dari dua opsi tersebut, mana yang lebih efektif dan efesien dengan pertimbangan utama legal standing pengajuan sengketa sebagaimana disebutkan dalam UU Pemilu. Dan, terpenting hak konstitusional dan kepentingan para pihak dapat terjamin melalui proses Pemilu yang jujur dan adil.

Adapun prinsipal dalam sengketa proses Pemilu yang melibatkan pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden, terdiri atas prinsipal sendiri dan Badan pemenangan daerah/tim kampanye/tim pelaksana kampanye yang telah terdaftar di KPU. Prinsipal tersebut, pada proses sengketa dapat menunjuk kuasa hukum untuk membela kepentingannya.

Selanjutnya, dasar sengketa cepat antar peserta Pemilu sama dengan sengketa biasa, dengan objek sengketa berupa Keputusan dan/atau Berita Acara KPU yang dianggap merugikan salah satu pihak peserta Pemilu. Dalam proses sengketa, maka KPU harus diposisikan sebagai lembaga pemberi keterangan, untuk selanjutnya merubah atau tidak merubah penetapan KPU sebagai hasil dari sengketa cepat.

Kedua, Objek Sengketa. Objek sengketa diawali dengan dikeluarkannya Keputusan dan/atau Berita Acara KPU. Objek sengketa tersebut bersifat konkrit, individual dan final, dan selanjutnya mengakibatkan kerugian langsung dari peserta Pemilu sebagai akibat :

a. perbedaan penafsiran atau ketidakjelasan tertentu mengenai suatu masalah kegiatan dan/atau peristiwa yang berkaitan dengan pelaksanaan Pemilu sebagaimana diatur dalam Peraturan Perundang-Undangan; dan/atau
b. Surat Keputusan dan/atau Berita Acara yang dikeluarkan KPU yang bersifat final, individual, dan konkrit.

Contoh kasus sengketa antar peserta Pemilu sebagai akibat dikeluarkan Keputusan dan/atau Berita Acara KPU, misalnya sengketa zona tempat dan waktu kampanye rapat umum. KPU menetapkan waktu pelaksanaan masing-masing kampanye rapat umum dari peserta Pemilu. Namun di hari pelaksanaan, ternyata ada kondisi yang tidak ideal, misalnya kampanye terkendala faktor cuaca (misalnya hujan). Hingga peserta Pemilu tersebut tidak dapat melaksanakan kampanye, dan ingin menggeser di hari berikutnya. Padahal di hari yang dituju, ada peserta Pemilu lain juga yang akan kampanye berdasar keputusan KPU.

Pada taraf inilah sengketa cepat ini dibutuhkan dengan difasilitasi Pengawas Pemilu. Sebab jika tidak diselesaikan dengan baik dapat memicu terjadi konflik. Masalah aktual itu dapat saja terjadi, hingga Pengawas Pemilu perlu hadir sebagai solusi konflik.

Ketiga, Mekanisme Penanganan. Sengketa cepat dapat diajukan oleh peserta  Pemilu, atau temuan Pengawas Pemilu di tempat kejadian. Pengajuan permohonan diajukan oleh peserta Pemilu kepada Pengawas Pemilu baik secara tertulis maupun lisan. Untuk diselesaikan pada hari yang sama atau paling lama 3 hari kerja, sejak diterima/diregisternya permohonan sengketa tadi.

Penyelesaian sengketa dilakukan melalui musyawarah cepat yang  dipimpin oleh Pengawas Pemilu melalui :

a.  memeriksa identitas para pihak yang bersengketa;
b. memeriksa permasalahan yang disengketakan;
c. menanyakan keinginan dari para pihak yang bersengketa;
d. meminta keterangan dari saksi;
e. memeriksa bukti atau meminta keterangan dari Lembaga Pemberi Keterangan (KPU)
f.   memeriksa bukti; dan
g. menawarkan kesepakatan kepada para pihak yang bersengketa.

Dalam hal musyawarah mencapai kesepakatan, Pengawas Pemilu menuangkan kesepakatan dalam berita acara kesepakatan musyawarah PSPP, dengan prinsip kesepakatan yang dihasilkan tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan.

Namun, saat sengketa Pemilu tersebut tidak mencapai kesepakatan, Panwaslu Kecamatan membuat rekomendasi kepada Bawaslu Kabupaten/Kota untuk membuat putusan. Selanjutnya Bawaslu membuat putusan. Putusan mengenai PSPP tersebut dibacakan secara terbuka dihadapan para pihak yang bersengketa. Putusan Bawaslu yang dihasilkan bersifat final dan mengikat.

Selanjutnya, salinan putusan disampaikan oleh Pengawas Pemilu kepada para pihak yang bersengketa, dan kepada KPU. Sekretariat Bawaslu mengumumkan putusan PSPP di Kantor/Sekretariat setempat.

Penutup

Sengketa cepat merupakan langkah progresif yang perlu diinisiasi Bawaslu. Sebab, jika memakai mekanisme sengketa biasa, Bawaslu akan menggunakan waktu dan tenaga yang besar. Sementara pengawasan dan penindakan pelanggaran juga tetap harus dilaksanakan. Sengketa cepat bisa menjadi solusi progresif bagi Bawaslu dalam menegakkan keadilan Pemilu.

Intrumen hukum mewujudkan inisiasi itu melalui perubahan Peraturan Bawaslu tentang Penyelesaian Sengketa Proses Pemilu. Ini dilakukan jika proses perubahan itu dapat berlangsung secara cepat, mengingat pelaksanaan Pemilu tahun 2019 semakin dekat. Namun, jika itu membutuhkan waktu lama, maka alternatifnya adalah Bawaslu membuat “Surat Edaran” sebagai dasar Pengawas Pemilu ad hoc melaksanakan kewenangan Bawaslu tersebut.

Catatan Kaki :


[1] Pasal 3 Peraturan Bawaslu Nomor 14 tahun 2017 tentang Tata Cara Penyelesaian Sengketa Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota.
[2] Pengawas Pemilihan adalah Bawaslu, Bawaslu Provinsi, Bawaslu Kabupaten/Kota, Panwas Kecamatan, PPL, dan Pengawas TPS.
[3] Peraturan Pasal 7 ayat (1) Peraturan Bawaslu Nomor 18 tahun 2017 tentang Penyelesaian Sengketa Proses Pemilu, sebagaimana diubah terakhir kali dengan Peraturan Bawaslu Nomor 27 tahun 2018.
[4] Lihat Pasal 7A Peraturan Bawaslu Nomor 18 tahun 2018.

Bimtek PHPU, Pusdiklat MK Bogor

Fritz Edwar Siregar
334 Views

Bimbingan Teknis Penyusunan Keterangan Pihak Terkait (Bawaslu) dalam Perselisihan Sengketa Hasil Pemilihan Kepala Daerah, Pusdiklat Mahkamah Konstitusi Bogor, Angkatan II (26-29 Maret 2018). Kegiatan ini digagas MK agar para pihak yang terlibat dalam sengketa hasil mengetahui posisi dan kedudukan masing, sehingga alur pemeriksaan perkara dapat berjalan lancar. Bawaslu akan hadir dalam sengketa hasil di MK atas perkara yang dimohonkan, sebagai pihak pemberi keterangan. Bawaslu akan menjelaskan hasil pengawasan, penindakan pelanggaran, dan proses penyelesaian sengketa hasil.