Tahapan Pemilu di Daerah Korban Bencana Alam

225 Views

——————————————

Bencana alam (gempa bumi, tsunami dan likuifaksi) yang menimpa Kota Palu, Kabupaten Sigi dan Donggala termasuk menimpa Kabupaten Parigi Moutong pada Jumat (28/9/2018) lalu, telah menorehkan catatan jumlah korban bencana alam, baik meninggal dunia, luka berat dan ringan, kehilangan-kerusakan harta benda dan tempat tinggal, perpindahan domisili penduduk, termasuk penduduk yang mengungsi keluar daerah menyelamatkan diri.

Tulisan ini, tidak dimaksudkan menganalisis penyebab bencana alam, termasuk tidak dimaksudkan mengurai program-kegiatan dalam masa tanggap bencana, rehabilitasi dan rekonstuksi ulang atas wilayah bencana dan wilayah terdampak bencana. Tetapi, tulisan ini lebih diarahkan untuk mengurai dinamika-dampak bencana alam atas pelaksanaan tahapan Pemilu tahun 2019 yang terus berjalan.

Ada beberapa isu aktual sekaitan dengan tahapan penyelenggaraan Pemilu di wilayah korban bencana alam. Pertama, konsolidasi jajaran penyelenggara Pemilu (KPU dan Bawaslu) yang siap bertugas kembali. Kedua, perbaikan DPT setelah bencana alam karena terdapat pemilih yang meninggal dunia, pindah domisili dan pindah daerah karena mengungsi. Ketiga, perubahan DCT sebagai akibat bencana alam karena terdapat calon anggota legislatif meninggal dunia.

Konsolidasi Penyelenggara Pemilu

Bencana tidak dapat dipastikan (hanya dapat diperkirakan) oleh kemampuan dan teknologi manusia. Demikian pula kejadian bencana alam di Kota Palu, Kabupaten Sigi, Donggala dan Parigi Moutong di Provinsi Sulawesi Tengah telah memakan korban yang sangat banyak. Bencana alam ini telah menjungkir-balikkan kecongkakan manusia atas kekuatan alam (Tuhan). Bencana telah membuat aspek perencanaan pembangunan termasuk dalam hal ini-tahapan Pemilu berpotensi berubah.

Jajaran penyelenggara Pemilu juga banyak menjadi korban meninggal dunia atau hilang, mengalami luka berat serta rusak/hilangnya sarana, prasarana dan dokumen-administrasi Lembaga. Secara langsung dampak bencana akan mempengaruhi kinerja penyelenggara Pemilu. Hingga menimbulkan pertanyaan, apakah tahapan Pemilu di daerah bencana dapat diubah?. Apakah Pemilu susulan bisa menjadi alternatif mengatasi permasalahan dampak bencana ini?. Ini semua menjadi rangkaian pertanyaan, yang harus segera dijawab dan dituntaskan pimpinan tertinggi penyelenggara Pemilu (KPU dan Bawaslu) termasuk kebijakan dari Pemerintah.

Pemulihan dan berbaikan kelembagaan akan memakan waktu guna menjalankan tugas dan kewenangan seperti sedia kala. Pendataan atas jajaran penyelenggara Pemilu yang meninggal dunia, harus diatasi dengan menetapkan pengganti antar waktu (PAW) atau melakukan rekrutmen ulang jika tidak ada lagi PAW yang memenuhi syarat.

Demikian pula dengan kesiapan sarana dan prasarana untuk pelaksanaan tugas dan kewenangan penyelenggara Pemilu. Bencana alam juga mengakibatkan rusak dan hilangnya fasilitas kantor. Bahkan ada beberapa kantor/sekretariat penyelenggara Pemilu yang rata dengan tanah (hancur) akibat gempa bumi dan terjangan tsunami dan likuifaksi.

Empati dan solidaritas sesama penyelenggara Pemilu, apalagi dengan dukungan Pemerintah akan turut membantu rehabilitasi dan rekonstruksi ulang. Permasalahan dan dampak bencana alam urgen diselesaikan, apalagi jika bencana alam tidak mengubah tahapan. Bagi jajaran penyelenggara yang meninggal dunia-hilang, untuk disiapkan dan ditetapkan PAW. Namun, jika tidak adalagi calon PAW yang memenuhi syarat maka dilakukan rekrutmen ulang mengisi kekosongan, atau pelaksanaan tugas dan kewajiban dilaksanakan oleh jajaran penyelenggara Pemilu diatasnya. Misalnya, Panwascam berhalangan tetap maka tugas dan kewajiban Panwascam dilaksanakan oleh Bawaslu Kabupaten setempat.

Perbaikan DPT

Alur-proses penetapan Daftar Pemilih Tetap (DPT) oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) telah berjalan panjang. Banyak tahapan dan sumber daya telah terlibat guna akurasi jumlah DPT, baik dari jajaran KPU, Bawaslu maupun dari peserta Pemilu (Partai Politik) termasuk keterlibatan masyarakat.

Komisi Pemilihan Umum telah menetapkan Daftar Pemilih Sementara (DPS) menjadi DPT setelah melalui proses panjang. Kembali, atas masukan Bawaslu dan peserta Pemilu, KPU lalu melakukan perbaikan atas DPT dan menetapkan DPT perbaikan pertama. Namun, karena masih terdapat pemilih yang tidak memenuhi syarat dan pemilih yang memenuhi syarat tidak masuk dalam DPT perbaikan pertama tadi, lalu KPU kembali atas masukan Bawaslu dan peserta Pemilu, melakukan perbaikan menjadi DPT perbaikan kedua.

Jumlah DPT harus akurat, dengan alasan jaminan hak konstitusional warga negara dan profesionalitas penyelenggara Pemilu. Warga negara yang memenuhi syarat sebagai pemilih, hendaknya tercantum dalam DPT, sebagai jaminan prinsip kesataraan dan keadilan. Demikian pula, akurasi DPT menjadi ukuran profesionalitas jajaran penyelenggara Pemilu guna akurasi DPT, KPU dalam memperbaiki DPT dan Bawaslu melakukan pengawasan atas akurasi dan penetapan atas DPT.

Selain itu, DPT harus akurat karena berpengaruh terhadap ketersediaan logistik Pemilu yang akan disiapkan KPU, seperti jumlah Tempat Pemungutan Suara (TPS), ketersediaan kotak dan bilik suara, hingga formulir dan surat suara yang harus dicetak. Jika jumlah DPT akurat, perencanaan kebutuhan logistik Pemilu akan mencukupi dan tidak terjadi penggelembungan atau kekurangan logistik Pemilu nantinya.

Dari aspek tahapan Pemilu, DPT hasil perbaikan pertama telah ditetapkan KPU untuk dilakukan perbaikan kembali. Dalam kondisi normal, perbaikan DPT tentu dapat berjalan sesuai dengan rencana. Tetapi bagi daerah yang mengalami bencana alam, banyak penduduk meninggal dunia-hilang, sarana dan prasarana pemerintahan rusak serta berbagai dampak bencana lainnya turut berpotensi mengubah tahapan Pemilu.

Akurasi DPT akan menghapus pemilih yang meninggal dunia dan mengubah penduduk yang pindah domisili. Bencana alam telah menyebabkan banyak korban meninggal dunia dan mobilisasi perpindahan penduduk untuk menyelamatkan diri. Sebut saja di wilayah korban gempa bumi dan likuifaksi, Balaroa dan Petobo di Kota Palu dan Jono Oge di Kabupaten Sigi telah menyebabkan ribuan penduduk meninggal dunia-hilang dan yang selamat harus meninggalkan atau di relokasi dari wilayah tadi.

Perubahan DCT

Catatan korban bencana alam juga mendera beberapa orang yang terdapat dalam Daftar Calon Tetap (DCT), baik meninggal dunia ataupun hilang sebagai korban gempa bumi, tsunami dan likuifaksi di Kota Palu dan Kabupaten Sigi dan Donggala. Inilah bencana massal, yang tidak memilih manusia, semua dapat menjadi korban.

Atas nama kepastian hukum, DCT dapat saja diubah saat calon yang diusulkan meninggal dunia. Namun berbeda halnya dengan calon anggota legislatif yang terdaftar dalam DCT, regulasi menekan dan kurang membuka ruang untuk melakukan perubahan dan penggantian atas calon anggota legislatif yang meninggal dunia. Jika demikian halnya, tinggal dilaksanakan dan diikuti.

Peran aktif dari Parpol untuk memberikan data dan informasi atas calon anggota legislatif yang telah meninggal dunia atau hilang kepada KPU. Nanti KPU yang mengambil kebijakan atau tindak-lanjut sekaitan dengan calon yang menjadi korban bencana alam.

Hikmah

Kita berkeyakinan bahwa apa yang sedang melanda daerah ini adalah musibah atas kehendak-Nya, meskipun segala sesuatu yang terjadi melalui perantara fenomena alam dan ulah manusia. Segala sesuatu yang dikehendaki-Nya pasti terjadi, dan segala sesuatu yang tidak dikehendaki-Nya pasti tidak akan terjadi.

Saatnya bangkit kembali !
Palu, 23 Oktober 2018

 

File PDF dapat di Downloads di sini

Penindakan, Menjadi Pencegahan Pelanggaran

254 Views

PENINDAKAN, MENJADI PENCEGAHAN PELANGGARAN
Oleh : Ruslan Husen, SH, MH.[1]


Peserta Rapat Koordinasi memasuki ruangan aula dan menempati kursi-kursi yang telah disiapkan Panitia. Beberapa diantara mereka telah menggunakan kartu identitas peserta yang dikalungkan di leher. Demikian pula Panitia, sibuk menyiapkan kebutuhan teknis untuk acara pembukaan Rapat Koordinasi Bawaslu ini.

Waktu telah menunjukkan pukul 20.05 WIB, ruangan aula telah padat oleh Peserta dan jejeran Panitia pada posisi siaga, menandakan kegiatan pembukaan Rapat Koordinasi siap dimulai. Tak lama kemudian, Pimpinan Bawaslu memasuki ruangan aula. Pesertapun berdiri ramai memberi salam, berjabat tangan. Menandakan keakraban dan kesahajaan pertemuan di antara sesama pengawas Pemilu.

Pimpinan Bawaslu duduk paling depan dengan posisi kursi dan meja lebih tinggi dari kursi meja peserta, dengan posisi membelakangi spanduk besar Rapat Koordinasi dan berhadapan dengan peserta. Di atas meja mereka tampak hidangan kue-kue yang disajikan dalam wadah tertutup, tak lupa disampingnya tersedia air mineral dalam kemasan.

Dalam kesempatan inilah, Mohammad Afifuddin[2] menyampaikan pesan, “Penindakan menjadi pencegahan pelanggaran bagi lainnya.” Satu kalimat ini yang menggambarkan kinerja Bawaslu menindaklanjuti hasil pengawasan ke dalam rangkaian penindakan pelanggaran, yang ternyata memberi dampak pada pencegahan pelanggaran lainnya.

Sengaja Penulis menguraikan diawal sumber inspirasi tulisan ini. Paling tidak, pemikiran ini telah memperoleh justifikasi lewat pelaksanaan kegiatan pengawas pemilu. Bukan hanya pengawas pemilu di Daerah, tetapi kebenarannya telah diuji dalam penindakan pelanggaran di Bawaslu, yang berdampak pada urungnya pelanggaran lain dilakukan.

Pencegahan Pelanggaran

Pengawas Pemilu adalah lembaga yang mengawasi Penyelenggaraan Pemilu yang meliputi Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) dan Panitia Pengawas Pemilihan Umum (Panwaslu). Keberadaan Pengawas Pemilu mutlak dibutuhkan dalam Penyelenggaraan Pemilu, apalagi setelah ditetapkan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum. Pengawas Pemilu bersama dengan Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) menjadi satu kesatuan Penyelenggara Pemilu, dengan porsi kewenangan masing-masing.

Penyelenggaraan tahapan Pemilu dilaksanakan oleh KPU, keberadaan Pengawas Pemilu dibutuhkan untuk memastikan proses tahapan dilakukan sesuai dengan norma dan ketentuan  yang berlaku. Demikian pula, jika terjadi penyimpangan etik yang dilakukan KPU, dan Bawaslu maka DKPP akan memeriksa, mengadili dan memutus. Sebagai bentuk peringatan kepada penyelenggara lainnya, dan penghukuman bagi pelaku pelanggaran.

Pelaksanaan Pemilu di desain sebagai pesta demokrasi yang melibatkan stakeholders, guna sarana pergantian kekuasaan Pemerintahan secara damai dan absah (konstitusional). Pilihan demokrasi dengan Pemilu sebagai instrumen teknis, adalah pilihan terbaik saat ini. Bukan hanya Indonesia, mayoritas negara di dunia juga tetap menggunakannya.

Demokrasi menurut Deliar Noer, telah ditempatkan sebagai dasar hidup bernegara yang memberi pengertian bahwa pada tingkat terakhir rakyat memberikan keputusan atas masalah-masalah pokok mengenai kehidupannya, termasuk menilai kebijaksanaan negara, oleh karena kebijaksanaan tersebut menentukan kehidupan rakyat.[3] Dari itu, Demokrasi dipahami sebagai bentuk pemerintahan, di mana semua warga negara memiliki hak setara dalam pengambilan keputusan yang dapat mengubah hidup mereka. Demokrasi mengizinkan warga negara berpartisipasi, baik secara langsung atau melalui perwakilan di parlemen dalam hal perumusan, pengembangan, dan pembuatan hukum untuk mengatur tata kehidupan masyarakat.

Penjelmaaan Demokrasi dalam pergantian kekuasaan, di konstruksi melalui pelaksanaan Pemilu. Pemilu yang berhasil menjamin pergantian kekuasaan secara damai dan terjaminnya hak konstitusinal warga negara disebut sebagai Pemilu demokratis. Pemilu demokratis selalu dilekatkan dalam dua kata, artinya pelaksanaan Pemilu menjamin pemenuhan hak konstitusional warga negara dalam menentukan arah pembangunan dan kepemimpinan kedepan.

Di Indonesia, Pemilu dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil setiap lima tahun sekali untuk memilih Presiden dan Wakil Presiden, Anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota.[4] Demikian pula dengan konstruksi Penyelenggara Pemilu juga saling terkait, yakni KPU melaksanakan tahapan Pemilu, Bawaslu mengawasi pelaksanaan tahapan Pemilu, dan DKPP menjadi hakim atas pelanggaran etik yang dilakukan oleh Penyelenggara Pemilu.

Penyelenggara Pemilu ditempatkan sebagai unsur penting terwujudnya Pemilu yang demokratis. Walaupun keberadaan Pemerintah dan masyarakat juga memegang peranan sangat penting. Penyelenggara Pemilu dituntut bekerja profesional dan taat asas. Memberikan pelayanan profesional secara tepat, cepat dan tanpa diskriminatif.

Demikian pula dengan peserta Pemilu, juga dituntut untuk berintegritas. Taat terhadap pedoman dan aturan pelaksanaan yang sudah digariskan dalam peraturan perundang-undangan Pemilu, menghargai saingan (kontestan) dengan menghindari diri mendapatkan kemenangan dengan melakukan pelanggaran atau kecurangan. Kehadiran mereka dirasakan manfaatnya di tengah masyarakat, dimana peserta Pemilu turut memberikan pendidikan politik yang sehat, pada intinya turut berkontribusi pembangunan demokrasi.

Memang diakui, peserta Pemilu perlu memiliki biaya dan modal yang kuat dalam perhelatan kontestasi demokrasi. Paling tidak, mereka perlu biaya operasional kampanye dan konsolidasi internal. Tetapi, Pemilu yang dilaksanakan serentak oleh perancang Undang-Undang agar terlaksana secara murah dan meriah. Beban pembiayaan yang membutuhkan biaya besar kini diadakan oleh KPU dengan beban anggaran dari APBD atau APBN. Sebut saja, pengadaan bahan kampanye dan pemasangan alat peraga kampanye kini menjadi kewenangan KPU menyediakan. Demikian pula dengan pelaksanaan debat publik, juga menjadi ranah KPU untuk melaksanakan.

Desain Pemilu terlaksana murah dan meriah dengan kesiapan lembaga Penyelenggara Pemilu berlaku adil dan tanpa diskriminatif. Ternyata dalam perjalanan pelaksanaan Pemilu di tahun 2019 ini, maupun pelaksana pemilihan kepala daerah serentak sebelumnya (tahun 2015, 2017 dan 2018) tetap diwarnai dan dinodai dengan pelanggaran. Pelanggaran yang dilakukan oleh pihak peserta pemilihan, bahkan pelanggaran yang dilakukan oleh Penyelenggara Pemilu.

Telah umum dipahami, pelanggaran Pemilu menjadi benalu, hambatan dan tantangan yang merusak tatanan demokrasi yang terus dibangun ini. Pelanggaran Pemilu jika dibiarkan tanpa penanganan yang tepat akan berpotensi menimbulkan konflik sosial, bahkan bisa mengancam keutuhan kesatuan bangsa. Penanganan harus tepat dan cepat, jangan sampai muncul kesan pembiaran dan tidak netral penyelenggara melaksanakan tugas.

Pelanggaran Pemilu adalah tindakan yang bertentangan, melanggar, atau tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan terkait Pemilu.[5] Norma dalam Undang-Undang dan turunannya baik dalam Peraturan Pemerintah maupun secara teknis dalam Peraturan KPU dan Peraturan Bawaslu, di desain agar ada jaminan keadilan dan kepastian hukum dalam penanganan dan penindakan pelanggaran Pemilu.

Secara khusus Bawaslu yang memiliki tugas melakukan pencegahan dan penindakan pelanggaran Pemilu dan penyelesaian sengketa proses Pemilu sebagaimana disebutkan dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu. Bagi Bawaslu pencegahan bukan lagi menjadi strategi, tetapi pencegahan telah menjadi tugas utama bersama dengan penindakan. Bahkan secara normatif, dalam penanganan pelanggaran dan penyelesaian sengketa Pemilu, juga ditanyakan apakah program dan kegiatan pencegahan yang telah dilaksanakan sehingga pelanggaran dan sengketa Pemilu masih tetap terjadi.

Penindakan Pelanggaran

Terdapat pandangan melihat keberhasilan kinerja Bawaslu dari sisi banyak-tidaknya pelanggaran pemilu yang berhasil ditindak atau ditangani sesuai mekanisme penanganan pelanggaran pemilu. Artinya, semakin banyak pelanggaran yang ditangani, maka kinerja Bawaslu dianggap berhasil. Sebaliknya, semakin sedikit penindakan atas pelanggaran yang ditangani, maka kinerja Bawaslu dinilai kurang berhasil.

Sementara di pihak lain juga memandang, keberhasilan kinerja Bawaslu bukan dilihat dari banyak-sedikitnya penindakan atas pelanggaran yang berhasil ditangani. Tetapi seberapa banyak potensi terjadinya pelanggaran yang berhasil dicegah. Peserta pemilu dan masyarakat pemilih berpotensi melakukan pelanggaran, tetapi Bawaslu berhasil mencegah hingga urung pelanggaran terjadi.

Memang sisi pendapat ini ada benarnya dengan justifikasi konsep masing-masing, dengan sudut pandang berbeda. Menurut Penulis, pada sisi pencegahan terjadinya pelanggaran dinilai berhasil jika banyak potensi pelanggaran yang berhasil dicegah oleh pengawas Pemilu. Program dan kegiatan pengawas Pemilu di desain guna potensi terjadinya pelanggaran baik yang dilakukan oleh peserta Pemilu, pemilih maupun Penyelenggara Pemilu berhasil dicegah. Ada bentuk kesadaran yang berhasil terinternalisasi dan menyebar luas kepada masyarakat untuk urung melakukan pelanggaran, baik karena kasadaran moral atas norma dan nilai yang dianut maupun takut dijatuhi sanksi hukum.

Pada sisi lain, banyaknya penindakan oleh Pengawas Pemilu atas kasus pelanggaran Pemilu juga menandakan kemampuan dan daya tahan lembaga bekerja. Tidak semua orang bisa bekerja melakukan penindakan atas pelanggaran Pemilu di tengah keterbatasan sumberdaya, godaan materil dari pihak yang ditindak, bahkan intervensi dan ancaman dari berbagai pihak.


Telah diuraikan di narasi sebelumnya, bahwa tugas Bawaslu melakukan pencegahan dan penindakan. Pencegahan bukan lagi sebagai strategi tetapi telah menjadi tugas utama, sementara penindakan juga mensyaratkan ada pencegahan terlebih dahulu. Lantas, bagaimana menilai keberhasilan kinerja Pengawas Pemilu? Apakah pencegahan dan penindakan bisa dilakukan bersamaan dalam satu tarikan kerja Pengawas Pemilu?

Disinilah dasar pijak pemikiran, penindakan pelanggaran Pemilu menjadi pencegahan terjadi pelanggaran bagi potensi pelanggaran lainnya. Memang butuh kasus tepat ditindak oleh Pengawas Pemilu secara profesional dan taat asas. Hingga berefek secara luas di masyarakat. Setiap orang lalu mengambil pelajaran untuk tidak melakukan pelanggaran serupa atau menyerupai, baik karena kesadaran moral maupun takut akan dikenai sanksi hukum.

Lihat saja penindakan pelanggaran yang dilakukan oleh Pengawas Pemilu, liputan media massa yang berkelanjutan dan menjadi topik perhatian masyarakat. Apalagi jika terlapor merupakan tokoh Partai atau tokoh di Pemerintahan, yang dikenal memiliki visi membangun daerah lantas diduga melakukan pelanggaran hingga ditindaki di lembaga Pengawas Pemilu. Tentu muncul pro dan kontra atas penanganan pelanggaran yang dilakukan Pengawas Pemilu.

Sementara Pengawas Pemilu, dituntut netral, tegas dan profesional. Siapapun yang melakukan pelanggaran harus ditindak, apakah ada tekanan atau tidak ada tekanan, baik rakyat biasa maupun tokoh berpengaruh maka penanganan pelanggaran tetap dilakukan. Demikian doktrin penanganan pelanggaran dari Pengawas Pemilu yang oleh Undang-Undang memiliki kewenangan untuk itu.

Secara normatif, Penindakan merupakan serangkaian proses penanganan pelanggaran yang berasal dari Temuan atau Laporan untuk ditindaklanjuti oleh instansi yang berwenang. Proses penanganan pelanggaran meliputi Temuan/Laporan; Pengumpulan alat bukti; Klarifikasi; Pengkajian; dan/atau Pemberian rekomendasi.[6]

Serangkaian penindakan Pengawas Pemilu, dengan melakukan klarifikasi kepada saksi dan terlapor dapat menyita perhatian publik, apalagi jika terlapor merupakan tokoh politik atau tokoh di Pemerintahan. Terdapat animo mengetahui tindaklanjut penindakan Pengawas Pemilu. Walaupun tidak jarang kinerja Pengawas Pemilu juga disorot. Tentu hal itu wajar, agar terdapat kontrol juga ke lembaga Pengawas Pemilu ini.

Terdapat semacam sanksi sosial atau moral ketika terlapor diperhadapkan pada Tim Klarifikasi Pengawas Pemilu. Walaupun belum ada rekomendasi atau putusan dari Pengawas Pemilu. Terdapat stigma, yang terklarifikasi oleh Pengawas Pemilu telah melakukan pelanggaran. Disisi lain, terlapor juga tidak mau diposisikan sebagai pihak yang bersalah, jika kasusnya diproses lanjut. Walhasil, terlapor lebih memilih untuk menghentikan kegiatan yang dinilai Pengawas Pemilu sebagai pelanggaran. Agar opini publik yang merugikan terhadap dirinya segera berakhir.

Dalam posisi inilah, kinerja Pengawas Pemilu dan media massa saling sinergi. Pengawas Pemilu membutuhkan penyebarluasan informasi penindakan agar memiliki efek pencegahan ke publik, dan media massa sendiri membutuhkan sumber pemberitaan terpercaya dan beritanya dinanti oleh masyarakat baik mereka yang pro atau kontra atas penanganan pelanggaran yang dilakukan oleh Pengawas Pemilu.

Penutup

Sejatinya Pemilu berlangsung secara demokratis dan taat asas. Adapun pelanggaran Pemilu yang ada pada setiap tahapan, untuk tidak menafikkan kenyataan ini, harus ditangani oleh Pengawas Pemilu secara adil dan berkepastian hukum. Sebab penanganan pelanggaran Pemilu telah menjadi tugas dan wewenang lembaga Pengawas Pemilu yakni Bawaslu/Panwaslu.

Pada kegiatan penindakan pelanggaran, ternyata satu sisi telah menjadi pencegahan efektif. Bagi terlapor dapat menimbulkan efek jera, dan bagi pihak yang potensial melanggar, baik karena kesadaran moral dan takut dikenai sanksi hukum lantas memilih kegiatan yang oleh Pengawas Pemilu bukan pelanggaran.


Catatan Kaki :
[1] Ketua Bawaslu Provinsi Sulawesi Tengah. Sebelumnya pernah menjadi Tim Asistensi Bawaslu Provinsi Sulteng tahun 2017 sekaligus mengajar di Fakultas Hukum Universitas Tadulako Palu.
[2] Mohammad Afifuddin, Koordinator Divisi Pengawasan Bawaslu RI periode tahun 2017-2022.
[3] Delair Noer dalam Machmud MD, 2003, Demokrasi dan Konstitusi di Indonesia, Rineka Cipta, Jakarta, hlm 19.
[4] Lihat ketentuan Pasal 22E ayat (1) dan (2) UUD 1945.
[5] Pasal 1 angkan 28 Peraturan Bawaslu Nomor 7 tahun 2018 tentang Penanganan Temuan dan Laporan Pelanggaran Pemilihan Umum.
[6] Lihat Pasal 3 ayat (1) dan (2) Peraturan Bawaslu Nomor 7 tahun 2018 tentang Penanganan Temuan dan Laporan Pelanggaran Pemilihan Umum.


Artikel File PDF dapat di downloads di sini.

Mencemaskan Bahaya Politik Uang

263 Views

MENCEMASKAN BAHAYA POLITIK UANG

Oleh : Ruslan Husen, SH., MH.
(Ketua Bawaslu Provinsi Sulawesi Tengah)


Tak sengaja saya bertemu dengan Penulis buku ini Kasman Jaya Saad, di suatu kegiatan yang diselenggarakan Komisi Pemilihan Umum (KPU) Provinsi Sulawesi Tengah. Kami diundang sebagai peserta kegiatan tersebut. Singkat cerita, Penulis meminta menuliskan Prolog dari buku yang baru selesai ditulisnya. Tulisan seputar dinamika pemilu dan pemilihan yang sering menghiasi halaman opini media cetak lokal. Lantas, tanpa sempat berfikir panjang, saya pun menyanggupi, saya siap.

Sebagai pendatang baru di dunia pengawasan pemilu, khususnya di Bawaslu Provinsi Sulawesi Tengah saya berfikir tak berlebihan untuk “numpang tenar” melalui buku Penulis ini. Sebab kaderisasi sumber daya manusia Pengawas Pemilu di Sulawesi Tengah tidak bisa dipisahkan dari diri penulis. Ia telah memiliki pengalaman sebagai pengawas pemilihan, menjadi narasumber berbagai forum yang diselenggarakan Panwaslu Kabupaten/Kota di Sulawesi Tengah, serta tulisan-tulisannya menjadi inspirasi dan dasar pijak dalam pelaksanaan tugas, wewenang dan kewajiban pengawasan pemilu.

Disamping itu, rasanya kehadiran buku ini menjadi oase di tengah gurun pasir yang tandus. Kenapa tidak! Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum baru saja ditetapkan. Tentu belum banyak referensi yang ditulis dengan merujuk secara langsung kepada undang-undang ini. Lebih lagi, pengalaman beliau pernah menjadi pengawas pemilihan dan pemerhati pemilu di Sulawesi Tengah akan memotret denyut nadi Daerah secara langsung, hingga menjadikan buku ini segar dibaca, update perkembangan, dan menggambarkan dinamika sosio-politik Daerah secara langsung.


Penyelenggaraan Pemilihan Kepala Daerah baik Gubernur, Bupati maupun Walikota yang diselenggarakan secara langsung saat ini merupakan pilihan terbaik untuk pergantian top manajerial Pemerintah Daerah secara demokratis. Rakyat dapat memilih pemimpin secara langsung setelah melalui pertimbangan dan perenungan di masa tenang. Rakyat dapat melakukan evaluasi atas kegiatan pembangunan dan kepemimpinan setiap lima tahun. Bila kepemimpinan untuk membangun daerah dan masyarakat dinilai baik, maka rakyat yang dipimpin dipastikan akan memilih kembali yang bersangkutan untuk periode berikutnya. Namun, jika pemimpin hanya manis saat kampanye dan lupa ketika terpilih sebagai kepala daerah, ditambah lagi dengan perilaku korup dan manajemen pembangunan yang buruk selama memimpin, maka bisa dipastikan rakyat sebagai pemilik kedaulatan tak akan memilihnya kembali diperiode kedua.

Penyelenggaraan pemilihan secara serentak, desainnya ingin menjadikan pesta demokrasi semarak dan murah, dengan pembiayaan tahapan dan khususnya kampanye dari uang negara/daerah. Berbagai larangan dinormakan untuk menekan biaya politik tinggi, misalnya larangan akan mahar politik saat pencalonan kepala daerah, larangan politik uang (money politic) saat kampanye untuk mempengaruhi pemilih. Semua itu menjadi desain pemilihan agar pesta demokrasi bisa terlaksana secara murah-meriah, dengan memberi kesempatan yang adil bagi setiap peserta pemilihan untuk berkompetisi secara jujur dan adil.

Pelaksanaan pemilihan serentak, bisa menjadikan kerja lembaga penyelenggara pemilu khususnya KPU menjadi lebih mudah dan sederhana, tidak sebentar-sebentar laksanakan pemilihan lagi. Walaupun berbeda dengan Bawaslu/Panwaslu, yang dituntut untuk menjadi pengawas pemilihan, mediator dan Hakim Pemilihan bagi pihak yang bersengketa secara sekaligus. Demikian juga, pemilihan serentak sejatinya akan mengurangi kejenuhan masyarakat sekaligus meningkatkan angka partisipasi masyarakat. Tanpa pemilihan serentak frekuensi rakyat ke tempat pemungutan suara bisa meningkat.

Namun, hal yang tak kalah penting, dengan penyelenggaraan pemilihan secara serentak ini, adalah beban-beban dana yang bisa diminimalkan sehingga Negara/Daerah tidak terlalu banyak menggelontorkan anggaran. Selain itu pengalokasian anggaran pun lebih mudah dilakukan, termasuk menghitung, merencanakan dan mengevaluasinya, jika hajatan pesta demokrasi dilakukan secara serentak. Penghematan anggaran misalnya, bisa didapat dari pembayaran honorarium petugas ad hoc penyelenggara pemilu jajaran KPU dan Bawaslu yang bertugas di Kecamatan dan Desa/Kelurahan, Sosialisasi tahapan Pemilihan Kepala Daerah tahun 2018 yang bisa dilakukan bersamaan dengan tahapan Pemilihan Umum tahun 2019, biaya logistik bisa terpangkas dan antar daerah pun dapat melakukan sharing terkait biaya yang menjadi beban pemilihan Gubernur dan Bupati/Walikota.

Demikian pula dalam pelaksanaan kampanye, banyak pembiayaan sebelumnya menjadi beban calon pemilihan, kini dibebankan pada anggaran KPU dengan menggunakan uang negara/daerah. Pemasangan alat peraga kampanye, penyebaran bahan kampanye, iklan di media cetak dan elektronik, dan debat publik antarpasangan calon kepala daerah, semua itu harus dibiayai KPU dan dilaksanakan secara adil.

Desain ini agar peserta pemilihan walaupun dengan modal pas-pasan tetap bisa ikut kontestasi pemilihan kepala daerah. Mulai dari pencalonan ada larangan mahar politik dengan ancaman sanksi diskualifikasi calon. Kampanye ada larangan praktek money politics dengan ancaman pidana dan diskualifikasi calon jika dilakukan secara terstruktur, sistematis dan masif (TSM), pelaksanaan kampanye yang membutuhkan anggaran besar telah difasilitasi dan menjadi kewenangan KPU. Calon pemilihan tidak perlu mengeluarkan uang banyak, mereka lebih diarahkan untuk konsen adu visi, misi dan program untuk mempengaruhi pemilih.

Tapi sangat disayangkan, ruang nyata ternyata berbicara lain, pelaksanaannya tak semudah yang direncanakan. Biaya pemilihan yang didesain agar berbiaya murah ternyata menceritakan biaya politik tinggi. Penulis mengulasnya secara apik dalam narasi beberapa sub judul buku ini. Menurutnya, Pemilihan kepala daerah menjadi event mewah dan mahal. Bukan saja dari aspek penyelenggaraan yang membutuhkan biaya yang besar, tapi juga biaya politik yang harus ditanggung sang calon bila ingin berkontestasi dalam Pilkada. Pilkada memerlukan biaya tinggi (high cost), karena banyaknya tahapan dan komponen yang harus dibiayai sang calon. Termasuk komponen tak resmi, meskipun tak ada yang mau menyebut besarannya, biaya pendekatan dan “ongkos jadi” seseorang calon kepala daerah dengan partai politik, namun dapat dipastikan memerlukan biaya tinggi.

Menyambung narasi yang Penulis uraikan, sekaligus menyetujui pendapatnya. Menurut saya, pemilihan kepala daerah yang ingin melahirkan Pemimpin yang berintegritas, linear dengan pencegahan dan tindakan penegakan hukum pemilihan, dengan sub-bagian mencegah politik uang dengan berbagai bentuk sekaligus menjatuhkan sanksi yang adil dan tegas. Penindakan itu, tentu memerlukan sumber daya manusia yakni penyelenggara yang profesional dan berintegritas. Termasuk masyarakat yang menjadi pemilih juga harus berintegritas dengan menolak dan melaporkan perilaku money politics kepada Pengawas Pemilu.

Penggunaan politik uang berdampak pada besarnya biaya politik yang dikeluarkan oleh calon, baik dari sumber pribadi maupun dari para pengusaha yang telah memberi pinjaman dalam bentuk utang. Pikiran calon terpilih tentunya akan berusaha sekuat tenaga agar modal pribadi dapat dikembalikan plus keuntungannya. Termasuk membayar sejumlah utang yang telah digunakan dan memberikan balas budi nyata kepada mereka-mereka yang telah sama-sama berjuang memenangkannya, mereka ini adalah tim sukses.

Bahayanya politik uang, Pertama, APBD yang merupakan uang Rakyat berpotensi akan digunakan untuk kepentingan pengusaha yang telah membiayai pemenangan, walaupun disamarkan melalui pekerjaan proyek pembangunan, namun sarat akat kolusi. Kedua, yang terpilih sangat mungkin, adalah calon yang tidak memiliki kompetensi baik dalam bidang kepemimpinan, pengetahuan dan keterampilan untuk membangun daerah. Semata-mata hanya kecurangan dengan membeli suara Rakyat dengan sangat murah. Ketiga, mereka yang terpilih karena banyak mengeluarkan uang dalam bentuk politik uang, sangat berpotensi akan mengkorupsi APBD yang dikelolahnya. Mereka memiliki kekuasaan dan dapat saja menggunakan kekuasaan secara sepihak untuk kepentingan pribadi dan golongan. Keempat, praktik politik uang dapat menyeret masyarakat dipidana. Merujuk pada ketentuan Pasal 187A ayat (1) dan (2) UU 10 tahun 2016, praktik politik uang tersebut dapat menyebabkan masyarakat yang menerima uang dari Pasangan Calon, tim sukses, relawan dan/atau dari siapa saja yang bertujuan mempengaruhi pemilih sebagaimana disebutkan pada pasal 187A ayat (1) diancam pidana minimal 3 tahun dan paling lama 7 tahun dan dengan denda uang paling sedikit dua ratus juta dan paling banyak satu milyar rupiah. Kelima,  Pasangan calon yang melakukan politik uang secara sistematis, terstruktur dan masif dapat dibatalkan sebagai pasangan calon. Pembatalan pasangan calon tersebut berpotensi menciptakan konflik yang besar di tengah-tengah masyarakat.

Kembali Penulis mengingatkan langkah-langkah antisipasi dini dan strategi penindakan dengan mengaitkan dengan kewenangan lembaga pengawas, Bawaslu dan Panwaslu untuk mengawasi semua tahapan penyelenggaraan pemilihan kepala daerah dan menerima laporan pelanggaran terhadap pelaksanaan peraturan perundang-undangan dan meneruskan temuan dan/atau laporan yang bukan menjadi kewenangannya kepada instansi yang berwenang serta menyelesaikan sengketa yang timbul dalam penyelenggaraan pemilihan tersebut. Dan, dalam melaksanakan tugasnya Bawaslu dan Panwaslu berkewajiban bersikap tidak diskriminatif dalam menjalankan tugas dan kewenangannya.

Akhirnya, kepada Penulis Kasman Jaya Saad saya mengucapkan selamat atas penerbitan karya ini dan mudah-mudahan tetap semangat untuk menghasilkan karya-karya tulis berikut, serta senantiasa memberikan masukan-masukan konstruktif guna penguatan lembaga penyelenggara pemilu khususnya jajaran Bawaslu Provinsi Sulawesi Tengah.


Prolog dalam buku : Kasman Jaya Saad, 2018, Mahalnya Pilkada, Politik Uang dan Ajang Perjudian Elit Lokal, Yapensi, Jakarta.

Artikel File PDF downloads di sini.

Wajah Gakkumdu Pemilu 2019

278 Views

WAJAH GAKKUMDU PEMILU 2019
Oleh : Ruslan Husen, SH., MH.
( Ketua Bawaslu Provinsi Sulawesi Tengah )


Penanganan pelanggaran tindak pidana Pemilu yang tepat dan cepat menjadi indikator keberhasilan Pemilu berintegritas dan bermartabat. Penanganan yang memberi efek jera pada pelaku dan pencegahan pada potensi pelanggaran lainnya. Upaya itu tentu tidak mudah, butuh kerja Tim yang profesional, dan integritas Tim Gakkumdu mewujudkan.

Sentra Penegakan Hukum Pemilihan Umum (Gakkumdu) merupakan wadah bersama tiga unsur negara, yakni Pengawas Pemilu, Kepolisian, dan Kejaksaan untuk menangani dugaan pelanggaran tindak pidana Pemilu. Gakkumdu akan menindak-lanjuti laporan atau temuan Pengawas Pemilu yang mengandung unsur pelanggaran tindak pidana Pemilu.

Langkah ini menempatkan Gakkumdu memiliki peran signifikan dalam menindak pelaku dan aktor intelektual terjadinya pelanggaran tindak pidana Pemilu, apalagi sejak diundangkan UU No. 7 tahun 2017 tentang Pemilu. Beberapa norma telah ditancapkan guna memaksimalkan peran strategis ini. Sebab terdapat catatan yang kurang menyenangkan dari kiprah Gakkumdu sebelumnya, baik dalam perbedaan pandangan penanganan kasus, tafsir terhadap norma, dan koordinasi yang tak kunjung maksimal.

Perbedaan pemahaman jajaran Gakkumdu dalam penanganan pelanggaran tindak pidana Pemilu kadang terjadi, yang berimbas pada tindak dan sikap masing-masing lembaga. Disatu sisi, Pengawas Pemilu memandang telah terjadi pelanggaran tindak pidana Pemilu dan kasusnya perlu ditindaklanjuti ke tingkat Pengadilan, namun disisi lain pihak Penyidik-Kepolisian dan/atau Penuntut Umum-Kejaksaan menganggap belum cukup bukti dan tidak terpenuhi unsur tindak pidana, hingga kasus tidak dapat diteruskan ke Pengadilan.

Masalah lain, tidak jarang terjadi perbedaan pemahaman, multi-tafsir dan adanya norma kabur di dalam peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar rujukan pelanggaran tindak pidana Pemilu. Ini juga kadang menjadi batu sandungan proses penanganan pelanggaran pidana Pemilu, membuat pelaku-aktor intelektual masih bebas melakukan aksi pelanggaran berikutnya.

Keberadaan Gakkumdu yang seharusnya mempermudah kerja-kerja penanganan tindak pidana Pemilu justru seringkali menghambat penanganan tindak pidana Pemilu. Pengawas Pemilu sering tidak sependapat dengan Tim Kepolisian dan Tim kejaksaan yang ada di Gakkumdu, pada akhirnya membuat laporan atau temuan dugaan tindak pidana Pemilu tidak dapat ditindaklanjuti.

Kenyataan seperti ini sering terjadi, jika dilihat dari banyak-tidaknya pelanggaran tindak pidana pada pelaksanaan Pemilu dan Pemilihan Kepala Daerah yang urung dilimpahkan ke Pengadilan dengan alasan unsur pelanggaran yang tidak memenuhi, koordinasi yang tidak efektif, alat bukti minim dan/atau daluarsa penanganan kasus. Sehingga pelaku pelanggaran belum dapat dijerat dan dikenai sanksi pidana.

Berkaca dari pengalaman penanganan pelanggaran Pemilu dan Pemilihan Kepala Daerah sebelumnya, Gakkumdu perlu dievaluasi sekaligus dikuatkan dalam penindakan pelanggaran. Jangan lagi ada pelaku dengan bebasnya melakukan politik uang (money politic) untuk mempengaruhi Pemilih, manipulasi suara, ujaran kebencian, merusak alat peraga kampanye milik Kontestan lain dan melakukan kecurangan lain yang mengurangi kualitas demokrasi yang terus dibangun di Negara ini.

Paling tidak, penguatan kelembagaan Gakkumdu beserta jajaran Kesekretariatan untuk menindak pelanggaran pidana Pemilu kiranya mendesak dilakukan. Secara teknis, Sekretariat resposif memberi dukungan teknis dan operasional pada Tim Gakkumdu. Dukungan staf yang handal, cekatan dalam menindaklanjuti setiap laporan temuan yang disampaikan. Serta rapat koordinasi-teknis secara berkala untuk membahas dan menyatukan pemahaman atas dinamika isu hukum yang dihadapi.

Muatan Pembeda

Penindakan Gakkumdu diarahkan agar dapat menimbulkan efek jera bagi pelaku dan mencegah kepada pihak lain untuk melakukan pelanggaran pidana Pemilu. Semangat ini yang terus ditumbuhkan dalam Undang-Undang No.7 Tahun 2017 tentang Pemilu. Hingga beberapa bagian pembeda Gakkumdu untuk pelaksanaan Pemilu 2019 dapat ditemui dari uraian berikut. Pertama,  dasar pengaturan Gakkumdu menurut UU 10/2016 yakni Peraturan Bersama Bawaslu RI Nomor 14 Tahun 2016, Kepolisian RI Nomor : 01 Tahun 2016, dan Jaksa Agung RI Nomor : 013/A/JA/11/2016.

Sedangkan dalam UU No. 7 tahun 2017, Gakkumdu didelegasikan pengaturannya pada Peraturan Bawaslu Nomor 9 tahun 2018 tentang Sentra Penegakan Hukum Terpadu. Peraturan Bawaslu dimaksud disusun secara bersama oleh Kepala Kepolisian Negara RI, Jaksa Agung RI, dan Ketua Bawaslu. Peraturan Bawaslu tersebut, ditetapkan setelah berkonsultasi dengan DPR dalam forum rapat dengar pendapat.

Kedua, Penyidik dari Kepolisian dan Penuntut dari Kejaksaan dalam menjalankan tugas secara penuh waktu dalam penanganan tindak pidana Pemilu. Secara teknis, Penyidik dan Penuntut ini diperbantukan sementara di Kantor Bawaslu dan tidak diberikan tugas lain dari Instansi asalnya selama menjalankan tugas di Gakkumdu.

Keterlibatan Penyidik Polri dan Jaksa Penuntut di Gakkumdu kini bisa lebih awal, yakni saat register hari pertama atas laporan atau temuan dugaan pelanggaran tindak pidana Pemilu pada Bawaslu. Yakni, membantu Bawaslu melakukan klarifikasi dan pengumpulan barang bukti hingga menjadi terang perbuatan untuk diajukan ke Pengadilan.

Demikian pula dalam proses pra-penuntutan, tidak ada lagi bolak-balik berkas pada tahap P19 atau pengembalian berkas perkara untuk dilengkapi dari Kejaksaan ke Penyidik Polri. Sejak awal telah terlibat secara bersama-sama, ketika ada kekurangan akan langsung diberikan petunjuk untuk dilengkapi.

Ketiga, Peradilan in absensia. Konsep ini awalnya tidak dikenal dalam penindakan pelanggaran untuk Pemilihan Kepala Daerah maupun Pemilu tahun 2014, namun norma UU 7 tahun 2017 telah menyebutkan lain. Berawal dari penindakan yang terkendala limitasi waktu yang singkat, sementara terlapor atau tersangka tidak menghadiri undangan klarifikasi Pengawas Pemilu hingga akhir waktu penanganan, dan menjadikan kasus tidak dapat ditindak-lanjuti karena daluarsa.

Konsep peradilan in absensia ini mulai dianggap penting dilakukan, jika terlapor atau tersangka tidak hadir dalam klarifikasi atau pemeriksaan persidangan, maka Pengawas Pemilu menyampaikan kajian atas bukti-bukti yang ada. Penyidik dapat menyampaikan hasil penyidikan disertai berkas perkara kepada Penuntut Umum paling lama 14 (empat belas) hari sejak diregisternya laporan atau temuan. Demikian pula, Pengadilan Negeri yang memeriksa, mengadili, dan memutus perkara tindak pidana Pemilu yang diberikan waktu paling lama 7 (tujuh) hari setelah pelimpahan berkas perkara, dapat dilakukan dengan tanpa kehadiran terdakwa.

Ketidakhadiran terlapor, tersangka, atau terdakwa dalam proses ini menandakan Ia tidak menggunakan hak yang diberikan untuk membela diri. Lantas Tim Gakkumdu dan Pengadilan dapat melanjutkan pemeriksaan dan proses Pengadilan dengan mengacu pada keterangan dan bukti yang sudah diperoleh sebelumnya.

Proyeksi

Harapan akan produktifitas Gakkumdu dalam menindak pelanggaran pidana Pemilu terus diupayakan. Mulai rapat koordinasi dan teknis secara berjenjang terus digalakkan guna membangun sinergi dan kesamaan pola penanganan pelanggaran tindak pidana Pemilu, sampai pada penguatan sumber daya manusia yang berintegritas dan profesional.

Kesepakatan awal dan komitmen personil Gakkumdu dalam penuntasan tindak pidana Pemilu akan cenderung membuahkan hasil, berupa pelaku dan aktor intelektual dapat dikenai sanksi dan menjadi pembelajaran kepada publik untuk tidak melakukan perbuatan serupa atau menyerupai. Kesepakatan dan komitmen yang lahir dari semangat penegakan hukum yang adil dan berintegritas.

Kesatuan personil Gakkumdu bisa saling bahu-membahu memperlihatkan prestasi dan kinerja maksimal dalam menjawab tuntutan publik terhadap kelemahan selama ini yang kurang tertangani atas setiap laporan atau temuan tindak pidana Pemilu. Kesatuan dalam melahirkan kepastian hukum dan keadilan Pemilu yang akan berperan dalam pembangunan demokrasi yang bermartabat dan berintegritas.***


File PDF dapat di downloads di sini.