Intervensi Politik
“Nampaknya, gerah dan bingung Pak, ada apa?” Tanya Sara kepada suaminya.
Suami Sara adalah kepala Kejaksaan Tinggi di Provinsi ini, Ia cukup dikenal karena dahulunya adalah aktivis mahasiswa yang cukup idealis serta telah menulis beberapa buku dan jurnal berkaitan dengan penegakan hukum.
“Itulah Bu, saya agak bingung, menghadapi kasus Dullah ini”. Kata suami Sara.
Kasus Dullah ini, merupakan kasus lokal yang kontroversial. Proses hukumnya telah menyita perhatian masyarakat nasional tetapi juga dunia internasional. Dullah yang beragama Katolik ini telah di vonis bersalah atas pembunuhan (pembantaian) terhadap satu keluarga muslim. Vonis atas kasus itu sudah diputus di Pengadilan. Pada pengadilan tingkat pertama Dullah di Vonis hukuman mati, pada tingkat banding di pengadilan Tinggi juga hukaman mati, pada tingkat kasasi di Mahkamah Agung Dullah juga tetap di vonis dengan hukuman mati. Hingga permohonan pengampunan kepada Presiden juga di tolak.
“Saya sebenarnya tidak memandang dari agama apa Dullah itu, dan saya juga tidak kenal siapa yang menjadi korbannya. Yang saya pentingkan itu, adalah dapat berbuat sesuai dengan hukum yang berlaku di negara ini. Tetapi mengapa saya dituduh menunda-nunda eksekusi mati terhadap diri Dullah”. Kata suami Sara.
“Tenanglah Pak, tidak usah terlalu dipikirkan. Saya buatkan minuman dingin ya Pak”. Kata Sara mencoba mendinginkan hati suaminya.
“Coba pikir Bu, kemarin kami didatangi massa demonstrasi oleh ratusan warga minta Dullah dibebaskan, karena alasan HAM, bahwa semua orang berhak untuk hidup dan negara tidak bisa membatasi hidup seseorang. Sementara tadi siang, kami juga di massa demonstrasi oleh ratusan orang yang menuntut Dullah segera di eksekusi sesuai dengan putusan hukum yang berlaku di negara ini. Jadi di sana ada pertentangan, dan kami ini harus berbuat apa?”. Kata suami Sara, sambil meraih minuman yang dihidangkan isterinya.
Mereka berdua diam bergelut dengan perasaan masing-masing. Kalau sudah seperti itu persoalannya, Sara tidak memiliki pandangan lagi dalam memecahkan persoalan yang dihadapi suaminya, karena dia hanyalah seorang ibu rumah tangga yang sehari-harinya hanya mengurus rumah dan anak-anak mereka. Yang mampu Ia lakukan menenangkan dan membantu apa yang dibutuhkan oleh suaminya.
+++
Kontroversi hukuman mati bukan pertama kali ini saja terjadi. Kontroversi ini sudah terjadi beratus-ratus tahun yang lalu di berbagai negara. Indonesia termasuk negara yang masih mengadopsi hukuman mati, sehingga ada beberapa pihak yang meminta hukuman mati ini dihapuskan saja, karena dinilai bertentangan dengan UUD 1945. Sementara ada juga meminta dipertahankan, karena hukuman mati tersebut ada landasan yuridisnya.
Kelompok yang menentang putusan mati menganggap jiwa seseorang itu tidak bisa dicampuri apalagi di ambil alih oleh negara walaupun ada putusan Pengadilan yang melandasinya. Yang bisa mengambil alih jiwa manusia hanyalah Tuhan, kerana Dialah yang telah menciptakan-Nya. Jiwa manusia adalah hak asasi setiap insan yang tidak bisa dihilangkan. Penghilangan itu pada hakikatnya mengambil alih fungsi Tuhan. Negara tidak memiliki kekuasaan seperti halnya Tuhan, negara hanya alat bagi kekuasaan tertentu. Siapa yang terkuat dalam negara yakni memiliki akses terhadap kekuasaan dan akses ekonomi, maka ia dapat mengendalikan arah penegakan hukum itu.
Sementara kelompok yang mendukung hukuman mati, berlindung pada otoritas yang dimiliki negara dalam mengatur warganya termasuk memberlakukan hukuman mati. Bahwa legalnya hukuman mati telah terdapat dalam UU. Sehingga ia menjadi hukum positif yang mengatur tingkah laku warga negara.
Hukuman mati itu sebelumnya sudah harus ada sebelum perbuatan dilakukan. Begitu kompleksnya kehidupan sampai bervariasinya kejahatan yang ada, hingga hukuman yang ringan sampai hukuman terberat harus ada. Membunuh satu nyawa dalam negara ini akan di hukum 15 tahun, lalu kalau membunuh satu keluarga yang didalamnya ada ayah, ibu, anak-anak, pembantu dan kakek, apakah pelakunya harus dibiarkan hidup juga sementara ia juga sebelumnya telah melakukan pembantaian itu. Membunuh satu nyawa ibaratnya membunuh 100 orang, membunuh satu keluarga sama halnya dengan membunuh Tuhan. Tuhan maha adil, memberikan ketegasan kepada orang yang berbuat kezaliman dengan di hukum yang berat sampai hukuman mati.
Disamping itu, Indonesia adalah negara hukum (rechtstaat), yang setiap sengketa dan persoalan harus dilakukan melalui jalur hukum. Sehingga institusi hukum beserta sistem hukum lain di akui keberadaannya, yakni peraturan yang berlaku dan budaya masyarakat yang mendukung serta sarana dan prasarana yang memadai.
Dalam konteks itu sedemikian ideal, namun dalam kenyataannya politik lebih mendominasi penegakan hukum. Kekuatan politiklah yang lebih berkuasa mengarahkan kehidupan masyarakat. Ketentuan yang berlaku telah mengarahkan suatu persoalan kepada tujuan yang ingin dicapai hukum itu, namun intervensi politik mengalihkan tujuan itu karena adanya tekanan yang kuat terhadap institusi pelaksana hukum itu.
Yang bisa diharapkan dalam melakukan kontrol adalah media massa dan masyarakat secara umum dengan melakukan monitroing terhadap proses yang sedang berlangsung. Media massa di tuntut memberitakan secara independen, berimbang dan bertanggunjawab, dengan tidak mengarahkan kepada opini tertentu. Penilain terhadap pemberitaan media itu diserahkan sepenuhnya pada masyarakat.
Persoalannya adalah ketika media tidak independen lagi dan pro pada kekuasaan negara seperti saat orde baru berkuasa, maka dominasi politik atas hukum akan semakin menjadi-jadi, tidak akan di temukan supremasi hukum apabila melibatkan elit politik. Semuanya keputusan hukum dapat diarahkan menuju kehendak penguasa, walaupun ada mekanisme sidang dalam menghasilkan keputusan namun semuanya hanya merupakan sandiwara yang mengelabui publik.
Setelah kejatuhan orde baru, menjadikan peran pers menjadi pilar ke empat demokrasi. Pers di beri kewenangan untuk mengawasi eksekutif, yudikatif dan legislatif. Pengawasaan itu sebagai tanggung jawab sosial pada publik dengan tidak memberitakan yang baik-baik saja, tetapi kebusukan dan konspirasi jahat para pelaksana kekuasaan negara itu juga harus diberitakan.
Sebagai contoh begitu pentingnya peran Pers dalam kasus elit seperti Presiden Soeharto dan korupsi Akbar Tanjung. Pers akan memberitakan segala aspek yang menyangkut proses peradilan tokoh itu dan itu akan di konsumsi oleh publik. Hakim, jaksa dan pengacara akan bertindak dengan hati-hati sebab pengawasan publik yang begitu melekat.
Tetapi ketika pers tidak berperan dalam kasus Stepanus yang mencuri ayam, maka peluang terjadinya pelanggaran yang dilakukan institusi pengadilan sangat terbuka. Tidak akan ada yang memperhatikan pemukulan yang menimpa Stepanus, dan penyogokan yang dilakukan keluarganya. Sebab kasusnya kecil yang melibatkan orang kecil pula. Memang persoalan pemukulan dan penyuapan itu besar jika diketahui publik, tetapi akses yang melibatkan orang kecil tidak menarik, dan itu sudah di anggap biasa saja.
Memang dalam penegakan hukum diutamakan idealisme dari pelaksana hukum itu, yang berusaha menemukan titik keadilan dan kebenaran. Institusi hukum harus membongkas mitos yang mengatakan, “Di dalam pengadilan tidak akan ditemukan keadilan, malah di sana ketidak-adilan yang merajalela”. Ketidak percayaan publik terhadap institusi pelaksana hukum yang korup, penuh rekayasa dan permainan. Makanya sering terjadi penghakiman secara massa.
Tetapi zaman terus berlalu, arah baru Indonesia terbuka lagi setelah tumbangnya rezim otoriter orde baru. Perbaikan sistem hukum untuk mencapai tujuan hukum, dilakukan dengan melakukan terobosan pada produk perundang-undangan yang mengatur sisi kehidupan masyarakat. Perbaikan/reformasi institusi penegak hukum dan pembenahan sarana dan prasarana hukum serta sosialisasi dan penggalian nilai-nilai kultural yang ada dalam masyarakat. Semoga ini bisa berhasil.
Sumber gambar unggulan : bbsnews.co.id