Penegakan Hukum di Indonesia

1.814 Views

Penegakan Hukum di Indonesia[1]
Oleh : Ruslan Husen, SH, MH.[2]

Pendahuluan

Hukum bertujuan mewujudkan keadilan bagi masyarakat, mengatur tata tertib kehidupan masyarakat secara damai dan adil, dan menjamin kepastian hukum atas kasus yang dihadapi setiap subjek hukum. Namun dalam tataran praktik, hukum masih dihadapkan pada masalah berkelanjutan, yang gilirannya turut memperburuk citra penegakan hukum.

Akhirnya, penegakan hukum belum bisa mewujudkan tujuan hukum. Malah hukum menjadi alat politik penguasa untuk kriminalisasi para pengkritik (oposisi) pemerintahan. Demikian pula, struktur hukum melalui aparat penegak hukum lebih melindungi pengusaha (pemodal) dalam pelanggaran eksploitasi sumber daya alam, ketimbang menjaga masyarakat setempat dari dampak kerusakan lingkungan.

Secara teoritik, penegakan hukum merupakan proses tegak dan berfungsinya norma hukum yang secara nyata sebagai pedoman perilaku hubungan hukum kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Lawrence Meir Friedman[3] mengungkapkan bahwa penegakan hukum ditentukan dan dipengaruhi unsur-unsur dalam sistem hukum (elements of legal system) yakni: struktur hukum meliputi institusi dan aparat penegak hukum; substansi hukum meliputi aturan, norma dan perilaku nyata manusia; budaya hukum meliputi kepercayaan, nilai, pemikiran serta harapannya.

Selanjutnya Soerjono Soekanto mengembangkan teori tersebut dengan menyebutkan masalah pokok penegakan hukum terletak pada faktor-faktor yang mempengaruhi, yakni hukumnya sendiri, penegak hukum, sarana dan fasilitas, masyarakat dan kebudayaan. Kelima faktor tersebut saling berkaitan erat sebagai kesatuan sistem, dan merupakan esensi dari penegakan hukum yang juga merupakan tolok ukur dari pada efektivitas penegakan hukum.[4]

Mengacu pada teori sistem hukum tersebut, menjadikan penegakan hukum di Indonesia harus mendapatkan dukungan sumber daya manusia profesional dan berintegritas, regulasi yang progresif, peran aktif masyarakat mengawal proses, dan sarana-prasarana hukum yang memadai. Dukungan dan ketersediaan dimaksud menjadi satu-kesatuan kebutuhan, jika ada yang belum terpenuhi maksimal, maka mempengaruhi produktifitas hasil dari sistem hukum.

Masalah Penegakan Hukum

Praktik penegakan hukum masih sering dihadapkan masalah yang turut memberi citra buruk upaya menggapai keadilan. Keadilan sebagai tujuan hukum, seolah ideal pada tataran konsep dan normatif. Namun, dalam praktik menjadi sesuatu yang langka. Seorang penegak hukum bisa menjelaskan tujuan hukum mencapai keadilan, tapi sikap dan perilaku justru melanggar hukum dan menginjak-injak nilai keadilan.

Identifikasi masalah penegakan hukum berikut, dapat menjadi tanda peringatan para penegak hukum agar kembali ke khittah makhluk Tuhan yang dipercayakan menyampaikan dan menerapkan nilai keadilan dalam berbagai aspek kehidupannya. Tidak terjerumus berkelanjutan dalam kubangan haram pelaku pelanggaran hukum, yang sejatinya menegakkan hukum.

Pertama, mafia peradilan. Mafia peradilan merupakan perbuatan konspiratif yang dilakukan secara terstruktur, sistematis, dan kolektif oleh aktor tertentu terutama oknum aparat penegak hukum dan pencari keadilan. Tujuannya mendapatkan keuntungan pragmatis melalui penyalahgunaan wewenang, dan perbuatan melawan hukum yang mempengaruhi proses penegakan hukum. Dampaknya menjadi rusaknya sistem hukum dan tercabik-cabiknya nilai dan rasa keadilan.

Praktik mafia peradilan lekat dengan diksi penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power) oleh aparat penegak hukum. Semakin menguatnya penyalahgunaan kekuasaan, makin mengarah pada tumbuh suburnya mafia peradilan. Akibatnya, peradilan menjadi tidak bernilai menindak tersangka atau terdakwa pelaku kejahatan atau pelanggaran. Rasa dan nilai keadilan masyarakat dipermainkan. Pelanggaran hukum yang terus-menerus memberi indikasi, negara gagal melaksanakan kewajibannya untuk melindungi, menghormati  dan memenuhi hak-hak warga negara.

Kedua, keterbatasan regulasi berupa kekosongan hukum, norma mulitafsir, norma kabur, dan norma tidak lengkap. Pembentuk undang-undang juga manusia, mereka sama halnya dengan manusia biasa yang melekat sifat khilaf, kekurangan dan keterbatasan. Sejak semula sudah diprediksikan, setiap undang-undang yang dihasilkan pembentuk undang-undang pasti mengandung berbagai keterbatasan. Ada celah hukum yang tidak tertutup, hingga tiba penerapan operasionalnya baru diketahui kekurangan dan kelemahan.

Padahal hukum tidak mungkin tegak jika belum mencerminkan perasaan atau nilai-nilai keadilan yang hidup dalam masyarakatnya. Hukum tidak mungkin menjamin keadilan jika materi muatannya sebagian besar merupakan warisan masa lalu yang tidak sesuai dengan tuntutan zaman. Artinya, persoalan bukan hanya berkenaan dengan penegakan hukum tetapi pembuatan hukum.

Ketiga, sikap apatis masyarakat pengawal proses penegakan hukum. Masyarakat menjadi apatis dan tidak ingin terlibat dalam proses penegakan hukum terutama yang menyangkut kepentingan dan hajat orang banyak. Mereka memilih melakukan hal-hal secara langsung bersentuhan dengan kepentingan pragmatisnya. Akhirnya, proses penegakan hukum dengan berbagai masalah terlaksana tanpa kontrol masyarakat dan kekuatan publik.

Praktik mafia peradilan semakin leluasa lewat konspirasi penguasa, pengusaha, pencari keadilan dengan aparat penegak hukum tanpa kontrol pengawasan dari masyarakat. Potensi kekuatan yang ada di masyarakat seperti lembaga swadaya masyarakat dan perguruan tinggi seolah tidak memiliki taji kekuatan, tunduk dan bercerai-berai dengan urusan pragmatis masing-masing.

Keempat, keterbatasan sarana dan prasarana hukum. Hukum senantiasa dinamis mengikuti perkembangan dan perubahan zaman. Demikian pula perangkat sarana dan prasarana hukum, sebagai pendukung penindakan pelanggaran atas nama hukum harus tersedia secara memadai. Masalahnya, proses penegakan hukum masih dipenuhi keterbatasan akses sarana dan prasarana yang dimiliki oleh negara. Sehingga pelanggaran dan kejahatan terutama yang terkait dengan informasi dan teknologi terus berkembang cepat, tanpa diiringi inovasi dan progresif perangkat struktur penegak hukum.

Penegakan Hukum Progresif

Norma atau perangkat hukum bertujuan mempertahankan dan memantapkan peristiwa tertentu pada suatu tempat dan waktu lewat kodifikasi hukum. Sementara, masyarakat dan nilai kesadaran terus bergerak mengalami perubahan, tidak pernah berhenti, terus berlangsung dari waktu ke waktu. Akibatnya, hukum yang terkodifikasi tertinggal waktu dan masa. Hukum menjadi kalimat mati akibat arus perubahan yang semakin dinamis.

Sebagai alternatif sumber hukum yang memiliki legalitas memaksa, perubahan nilai mesti tunduk kepada kemapanan kodifikasi hukum walaupun tidak sesuai lagi dengan kebutuhan dan kesadaran masyarakat. Akibatnya, penerapan hukum melukai rasa keadilan dan kesadaran masyarakat.

Ternyata atas perkembangan zaman dan masyarakat, undang-undang belum mampu mengiringi kebutuhan dan kesadaran masyarakat yang dinamis. Kehidupan sosial senantiasa tumbuh dan berkembang mengakibatkan hukum yang terkodifikasi dalam bentuk undang-undang tidak mampu mengakomodir perubahan. Nilai-nilai hukum yang hidup di masyarakat dihormati dan dihargai secara kolektif, namun selama belum masuk kodifikasi hukum, dianggap tidak punya daya normatif yang dapat dipaksakan pelaksanannya.

Selain masalah kekosongan hukum dalam hukum positif, masalah lain yang sering dialami seperti terdapat norma multitafsir, norma kabur, dan norma tidak lengkap. Bahkan menjadi masalah berulang dalam proses penegakan hukum. Sementara, menyandarkan peristiwa hukum yang membutuhkan penyelesaian dan kepastian terhadap masalah regulasi tersebut, akan berdampak tercerabutnya keadilan dan nilai kesadaran masyarakat. Ada peristiwa hukum berupa pelanggaran atau kejahatan namun tidak ada hukum positif yang mengatur, hingga perbuatan tidak dapat diadili.

Hukum progresif berusaha menjawab masalah regulasi tadi. Mengajak seluruh penegak hukum menafsirkan dan menemukan hukum berdasarkan nilai-nilai keadilan yang tumbuh dan berkembang di tengah masyarakat. Bernardus Maria Taverne pernah menyebutkan “Berikan aku hakim, jaksa, polisi dan advokat yang baik, niscaya aku akan berantas kejahatan meski tanpa undang-undang sekalipun”. Artinya penegakan hukum bukan hanya ditunjang undang-undang, melainkan ditentukan oleh aparat penegak hukumnya.

Kata lain, hukum progresif bertujuan menggunakan hukum bagi kepentingan rakyat di atas kepentingan individu. Pandangan hukum progresif, hukum dilihat sebagai instrumen melayani kepentingan rakyat. Apabila rakyat menghadapi persoalan hukum yang berdimensi struktural, bukan rakyat yang dipersalahkan, melainkan perlu pengkajian asas, doktrin atau peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Para penegak hukum baik hakim, jaksa, polisi, dan advokat untuk berani mengambil langkah, tindakan dan pemikiran revolusioner yang abnormal dari keadaan hukum yang tidak normal ini. Berani untuk melahirkan pemikiran dan langkah hukum yang ditujukan untuk kebahagiaan manusia. Meninggalkan hukum kolonial yang legalistik, positivistik, formalistik dan dogmatik, hingga menjadi penegak hukum yang progresif memihak kepada kepentingan rakyat.

Langkah hukum progresif berusaha mencari cara guna mematahkan kekuatan positivisme hukum yang menganggap hukum hanya dalam bentuk peraturan tertulis, selain itu bukan hukum. Ini adalah paradigma aksi, bukan peraturan. Dengan demikian, peraturan tertulis dan sistem bukan satu-satunya yang menentukan tujuan hukum. Penegak hukum masih bisa menolong keadaan buruk yang ditimbulkan oleh sistem yang ada, dengan langkah penemuan hukum yang progresif membahagiakan manusia.

Penutup

Meski Indonesia terkenal sebagai negara dengan sistem hukum yang buruk, tetapi masih ada harapan melalui kekuatan progresif. Mereka ada di kejaksaan, pengadilan, kepolisian, advokat, akademisi, organisasi masyarakat, birokrasi, politisi, dan banyak lagi. Kekuatan mereka terbangun melalui jaringan informal, dari diskusi tukar pengalaman, melalui pembacaan media yang progresif.

Gerakan hukum progresif merupakan hasil refleksi dari realitas keterpurukan hukum saat ini, di mana diperlukan keberanian dan komitmen melakukan pembaharuan hukum menjadi responsif, termasuk meningkatkan kualitas para penegakan hukum. Melakukan perbaikan di berbagai sektor hukum, baik itu dari segi aparatur penegak hukum, segi kurikulum hukum, maupun kesadaran dan peran aktif masyarakat dalam penegakan hukum.

Catatan Kaki

[1] Disampaikan dalam Sosialisasi Penegakan Hukum, Jati Centre di Palu, pada Jumat (11/03/2022).
[2] Penulis merupakan Peneliti dan Konsultan Hukum di Palu.
[3] Lawrence Friedmann dalam Achmad Ali, 2005, Keterpurukan Hukum di Indonesia; Penyebab dan Solusi, Ghalia Indonesia, Bogor, hlm 1.
[4] Soerjono Soekanto, 2011, Faktor-Faktor yang Memengaruhi Penegakan Hukum, Raja Grafindo Persada, Jakarta, hlm 5.

5 thoughts on “Penegakan Hukum di Indonesia”

  1. Menurut saya penegakan hukum di Indonesia saat ini sudah mulai menunjukkan sisi positifnya. Kita ambil contoh dari unggahan di akun Instagram resmi Kejaksaaan RI. Di sana ada beberapa postingan mengenai kasus pidana ringan masyarakat kalangan bawah yang oleh kejaksaan sendiri melakukan penuntutannya berdasarkan Restorative Justice sehingga harkat dan martabat kedua belah pihak dapat terpenuhi.

  2. Seperti yang diketahui Hukum bertujuan mewujudkan keadilan bagi masyarakat, Namun dalam prakteknya hal ini sudah tidak terjadi lagi di Indonesia, Hukum Indonesia dinilai belum mampu memberikan keadilan kepada masyarakat yang tertindas,Justru sebaliknya, hukum menjadi alat bagi pemegang kekuasaan untuk bertindak semena-mena, disini sangat diperlukan para penegak hukum yang memiliki moralitas tinggi dan profesional dalam menjalankan kewajibannya, Sangat dibutuhkan!!
    Tetapi sangat salut juga terhadap tindakan² penegak hukum seperti polisi, kejaksaan dan jajarannya yang sudah menjalankan tugas dengan baik, adapun biasa yang melakukan tindakan semena² semoga bisa memahami dgn baik bahwa hukum harus dilakukan seesuai dengan konsepnya.

  3. Hukum yang ada di negara kita yaitu negara Indonesia harus lebih tegas /lebih kuat lagi. Karna hukum di negara kita masih lemah ,contoh nya masih banyak penegakan hukum yg salah dalam mengambil keputusan peradilan. Sehingga tdk menimbulkan hukum jerah kenapa yg melakukan tindakan salah dalam hukum.

  4. Menurut saya hukum di Indonesia masih lemah karna tidak tidak memberikan rasa aman dan penyelesaian yang adil bahkan masyarakat masih banyak yang beranggapan bahwa penegakan hukum berjalan lambat, masih berbelit-belit dan sulit untuk diakses. Sehingga korupsi semakin marak. Bahkan sekian lama reformasi peradilan penegakan hukum masih dianggap belum memberikan dampak yang begitu signifikan bagi rakyat miskin

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.