DISKUALIFIKASI CALON SEBAGAI SANKSI POLITIK UANG
Oleh: Ruslan Husen, SH, MH.
Politik Uang (money politic) ibarat benalu atau racun dalam kehidupan berdemokrasi. Saat suara rakyat pemilik kedaulatan menentukan lahirnya pemimpin berkualitas dan berintegritas, harus pupus oleh dampak politik uang. Akibat politik uang, rasionalitas pemilih menjadi hilang, berganti dengan sikap pragmatis, siapa yang memberi uang, barang atau materi lainnya itulah yang akan dipilih. Tidak ada lagi pertimbangan rasionalitas, memilih pemimpin terbaik karena memiliki kapasitas, memiliki integritas dan spiritualitas/moral yang terpuji.
Politik uang diartikan sebagai semua tindakan yang disengaja oleh seseorang atau kelompok orang dengan memberi atau menjanjikan uang, barang atau materi lainnya kepada pemilih supaya menggunakan hak pilihnya untuk memilih calon tertentu atau tidak memilih calon tertentu.
Sanksi Pidana dan Sanksi Administrasi
Desain penegakan hukum Pemilu, juga menekankan langkah-langkah strategis mencegah dan menindak praktek politik uang. Pelibatan masyarakat dan kegiatan-kegiatan pencegahan dari Penyelenggara Pemilu juga senantiasa digalakkan untuk menekan pelanggaran Pemilu ini. Demikian pula, dalam penindakan pelanggaran Pemilu, pelaku politik uang dapat dijerat dengan sanksi pidana berupa penjara dan denda.
Selain sanksi pidana, sanksi administrasi juga dapat diberikan kepada pelaku praktek politik uang ini. Sanksi administrasi atas praktek politik uang, perbuatan menjanjikan dan/atau memberikan uang atau materi lainnya untuk mempengaruhi Penyelenggara Pemilu dan/atau Pemilih yang terjadi secara tersruktur, sistematis, dan masif, dalam sidang pelanggaran administrasi Pemilu, Bawaslu dapat menjatuhkan Putusan “diskualifikasi” yakni merekomendasikan kepada KPU untuk membatalkan terlapor sebagai calon anggota legislatif, atau Pasangan Calon.
Dalam sidang pelanggaran administrasi ini, harus dibuktikan pelanggaran politik uang terjadi secara Terstruktur, Sistematis, dan Masif (TSM). Unsur TSM harus dibuktikan secara komulatif, tidak terpenuhi atau terbukti salah satu unsur, maka pelaku politik uang tidak bisa dijerat dengan sanksi diskualifikasi. Unsur terstruktur terkait dengan kecurangan yang dilakukan oleh aparat struktural, baik aparat pemerintah maupun Penyelenggara Pemilu secara kolektif atau secara bersama-sama. Unsur sistematis artinya pelanggaran telah direncanakan secara matang, tersusun, bahkan sangat rapi. Adapun masif merupakan dampak pelanggaran yang sangat luas pengaruhnya terhadap hasil Pemilu bukan hanya sebagian-sebagian, pelanggaran terjadi di lebih 50% jumlah Kabupaten/kota, jumlah kecamatan, atau jumlah desa/kelurahan dalam daerah pemilihan.
Diskualifikasi Calon Atas Pelanggaran Politik Uang
Telah disebutkan dalam UU Pemilu tentang larangan-larangan dan ancaman sanksi atas pelanggaran Pemilu, agar menjadi tanda peringatan para pihak baik peserta Pemilu, masyarakat, Pemerintah dan Penyelenggara Pemilu. Ketentuan-ketentuan tersebut menjadi bagian dari upaya melahirkan proses Pemilu yang berlangsung secara jujur dan adil, dan hasil Pemilu dapat diterima oleh semua pihak, agar lahir pemimpin berkualitas dan berintegritas sesuai dengan pilihan rakyat.
Ketentuan Pasal 280 ayat (1) huruf j UU Pemilu menyebutkan “Pelaksana, Peserta dan tim Kampanye Pemilu dilarang: menjanjikan atau memberikan uang atau materi lainnya kepada peserta Kampanye Pemilu.” Inilah norma larangan akan praktek politik uang dalam Undang-Undang Pemilu, yang diancam dengan sanksi pidana. Norma larangan ini selanjutnya diturunkan ke dalam peraturan yang lebih teknis, baik dalam Peraturan KPU dan Peraturan Bawaslu.
Lalu, apa sanksi jika melanggar ketentuan larangan politik uang tersebut? Sanksi tentu berdasarkan putusan Pengadilan yang menerima, memeriksa, mengadili kasus praktek politik uang ini. Dasar putusan sanksi berdasarkan ancaman pidana dengan penjara dan denda, yang disebutkan dalam Pasal 521 UU Pemilu, yang pada garis besarnya menyebutkan bahwa “Setiap pelaksana, peserta, dan/atau tim Kampanye Pemilu yang dengan sengaja melanggar larangan pelaksanaan Kampanye Pemilu tersebut, dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan denda paling banyak Rp.24.OOO.OOO,0O (dua puluh empat juta rupiah).”
Ancaman sanksi dalam ketentuan pidana ini bersifat komulatif, ditandai diksi “dan”. Berarti terdakwa yang terbukti secara sah dan meyakinkan akan dikenai sanksi pidana penjara dan denda secara sekaligus (komulatif). Walaupun dalam praktek putusan Pengadilan selama ini, Hakim belum pernah menjatuhkan pidana maksimal sesuai muatan ketentuan pidana tersebut. Yang ada dalam praktek selama ini, putusan pidana penjara tidak perlu dijalani, kecuali kalau di kemudian ada perintah lain terdapat pada Putusan Hakim, karena Terdakwa melakukan tindak pidana sebelum waktu masa percobaan berakhir.
Bagaimana-pun bentuk sanksi atas putusan Pengadilan, jika pada intinya Terdakwa telah dinyatakan bersalah oleh Pengadilan lewat putusan yang berkekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde). Lama masa hukuman dan besaran denda yang diputus Hakim adalah relatif, tetapi atas pembuktian di persidangan bahwa telah terbukti melakukan pelanggaran pidana Pemilu, sehingga dijatuhi sanksi hukuman penjara dan denda.
Penjatuhan sanksi tersebut, ternyata tidak hanya selesai pada pidana saja. Bagi peserta Pemilu yakni calon anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota yang berdasarkan putusan Pengadilan terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan praktek politik uang, dilanjutkan dengan sanksi administratif yang dijatuhkan oleh KPU. KPU menindaklanjuti putusan Pengadilan tersebut dengan memberikan sanksi administrasi berupa “diskualifikasi”. Membatalkan penetapan dalam daftar calon tetap anggota legislatif, atau membatalkan penetapan sebagai calon terpilih jika perhitungan suara telah selesai dilakukan.
Secara garis besar tindaklanjut KPU atas putusan Pengadilan dengan memberikan sanksi administrasi diskualifikasi, disebutkan dalam ketentuan Pasal 285 yakni “Putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap terhadap pelanggaran sebagaimana dimaksud dalam pasal 280 dan Pasal 284 yang dikenai kepada pelaksana Kampanye Pemilu anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi, dan Kabupaten/Kota yang berstatus sebagai calon anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota digunakan sebagai dasar KPU, KPU Provinsi, dan KPU Kabupaten/Kota untuk mengambil tindakan berupa :
a. pembatalan nama calon anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota dari daftar calon tetap; atau
b. pembatalan penetapan calon anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota sebagai calon terpilih.”
Ketentuan Pasal 285 di atas saat Terdakwa masih berstatus sebagai calon tetap anggota legislatif. Lalu bagaimana jika sudah selesai tahapan pemungutan dan perhitungan serta penetapan calon terpilih? Sesuai dengan ketentuan UU Pemilu, status calon anggota legislatif yang melakukan praktek politik uang berdasarkan putusan Pengadilan, dinyatakan batal demi hukum. Konsekuensinya adalah hasil perolehan suara atas nama calon anggota legislatif tersebut, dinyatakan tidak pernah ada. Sehingga, apabila Ia mendapatkan suara terbanyak saat rekapitulasi dan perhitungan suara Pemilu, dilakukan pergantian calon anggota legislatif terpilih, yakni yang memperoleh suara terbanyak berikutnya.
Sebagaimana disebutkan dalam ketentuan Pasal 426 ayat (1) huruf d UU Pemilu menyebutkan “Penggantian calon terpilih anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota dilakukan apabila calon terpilih yang bersangkutan : terbukti melakukan tindak pidana Pemilu berupa politik uang, berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.”
Jika calon terpilih anggota DPR, DPD, DPRD provinsi dan DPRD kabupaten/kota telah ditetapkan dengan Keputusan KPU, maka Keputusan tersebut dinyatakan batal demi hukum. Selanjutnya yang ditetapkan sebagai calon terpilih adalah calon yang memperoleh suara terbanyak berikutnya.
Sebagaimana disebutkan dalam Pasal 426 ayat (3) UU Pemilu sebagai berikut, “Calon terpilih anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diganti oleh KPU, KPU Provinsi, dan KPU Kabupaten/ Kota. dengan calon dari daftar calon tetap Partai Politik Peserta Pemilu yang sama di daerah pemilihan tersebut berdasarkan perolehan suara calon terbanyak berikutnya.”
Jika dilihat sanksi pidana Pemilu yang dijatuhkan oleh Pengadilan adalah relatif ringan, apalagi selama ini Hakim hanya menjatuhkan pidana percobaan. Ternyata yang paling berat adalah sanksi administrasi berupa diskualifikasi calon tetap ataupun calon terpilih, atas konsekuensi terbuktinya praktek politik uang lewat putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap.
Kiranya, diskualifikasi calon tetap ataupun calon terpilih adalah tepat, sebagai konsekuensi praktek politik uang. Apalagi di tengah ancaman dan bahaya politik uang yang senantiasa mengintai dan mengancam pelaksanaan Pemilu yang jujur dan adil. Tinggal selanjutnya adalah, memperkuat stakeholders Pemilu untuk melakukan pencegahan politik uang. Sekaligus melakukan penindakan, jika pencegahan tidak lagi efektif dan praktek politik uang terus terjadi. Ini untuk memberi efek jera kepada pelaku, sekaligus memberi tanda peringatan kepada yang lain, yang berniat mencoba melanggar.