1.081 Views
Oleh: Randy Atma R Massi, S.H.,M.H.
( Peneliti di Jati Centre, kini Tercatat Sebagai Dosen Tetap Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Palu )
Penyelenggaraan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) di masa pandemi Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) hingga kini masih mengundang polemik di tengah masyarakat. Perbedaan sikap masyarakat tentulah menimbulkan keresahan yang pada akhirnya bermuara pada sikap memilih atau tidak memilih. Ditengah kondisi pro dan kontra hukum dituntut untuk hadir dalam rangka menyudahi polemik dengan memberikan solusi berupa kepastian hukum ditengah keresahan masyarakat.
Indonesia sebagai negara yang menjunjung tinggi hukum berdasarkan Undang-Undang Dasar Tahun 1945 (UUD 1945). Maka dari itu, hukum dijadikan sebagai panglima tertinggi di indonesia, hukum sebagai suatu aturan yang kita kenal dalam bentuk perundang-undangan yang masih berlaku baik pada tingkatan nasional maupun pada tingkatan daerah. Sehingga segala sesuatu yang dilakukan manusia atau masyarakat harus berdasarkan peraturan yang ada. Hukum atau aturan tidak lepas dari kehidupan manusia karena pada dasarnya hukum merupakan suatu aturan yang tujuannya untuk mengatur manusia atau masyarakat itu sendiri demi terjaminnya keamanan dan ketertiban.
Hukum mempunyai sasaran yang hendak dicapai. Dan dalam fungsinya sebagai perlindungan kepentingan manusia hukum mempunyai tujuan. Tujuan hukum merupakan arah atau sasaran yang hendak diwujudkan dengan memakai hukum sebagai alat dalam mewujudkan tujuan tersebut dengan mengatur tatanan dan perilaku masyarakat.
Soebekti, berpendapat bahwa hukum itu mengabdi kepada tujuan negara, yaitu mendatangkan kemakmuran dan kebahagiaan para rakyat. Dalam mengabdi kepada tujuan negara dengan menyelenggarakan keadilan dan ketertiban. Merujuk pada prinsip hukum positif yang tercantum dalam alinea ke 4 Pembukaan Undang-Undang Dasar, menyatakan bahwa tujuan hukum positif kita adalah untuk membentuk suatu pemerintahan negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa indonesia dan seluruh tumpah darah indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa serta ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.
Mochtar Kusumaatmadja mengemukakan tujuan pokok dan pertama dari hukum adalah ketertiban. Kebutuhan akan ketertiban adalah syarat pokok bagi adanya masyarakat manusia yang teratur. Disamping itu, tujuan lain hukum adalah tercapainya keadilan yang berbeda isi dan ukurannya menurut masyarakat dan zamannya.
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa Indonesia merupakan negara yang menggunakan konsep umum tujuan hukum yang sama dengan negara-negara barat yang menggunakan sistem hukum civil law dan living law yakni keadilan, kemanfaatan dan kepastian. Namun yang lebih dominan bercorak legalistik yang menekankan pada aspek hukum tertulis yang berorientasi pada KEPASTIAN.
Kepastian Sebagai Salah Satu Tujuan Hukum.
Menurut Hans Kelsen, hukum adalah sebuah sistem norma. Norma adalah pernyataan yang menekankan aspek “seharusnya” atau das sollen dengan menyertakan beberapa peraturan tentang apa yang harus dilakukan. Norma-norma adalah produk dan aksi manusia yang deliberative. Undang Undang yang berisi aturan-aturan yang bersifat umum menjadi pedoman bagi individu bertingkah laku dalam bermasyarakat, baik dalam hubungan dengan sesama individu maupun dalam hubungan dengan masyarakat. Aturan-aturan itu menjadi batasan bagi masyarakat dalam membebani atau melakukan tindakan terhadap individu. Adanya aturan itu dan pelaksanaan aturan tersbut menimbulkan kepastian hukum.[1]
Menurut Gustav Radbruch, hukum harus mengandung 3 (tiga) nilai identitas, yaitu sebagai berikut.
- Asas kepastian hukum (rechmatigheid), Asas ini meninjau dari sudut yuridis.
- Asas keadilan hukum (gerectigheit), Asas ini meninjau dari sudut filosofis, dimana keadilan adalah kesamaan hak untuk semua orang di depan pengadilan.
- Asas kemanfaatan hukum (zwechmatigheid) atau doelmatigheid atau utility. Tujuan hukum yang mendekati realistis adalah kepastian hukum dan kemanfaatan hukum. Kaum positivisme lebih menekankan pada kepastian.
Tujuan hukum yang mendekati realistis adalah kepastian hukum dan kemanfaatan hukum. Kaum Positivisme lebih menekankan pada kepastian hukum, sedangkan Kaum Fungsionalis mengutamakan kemanfaatan hukum, dan sekiranya dapat dikemukakan bahwa “summon ius, summa injuria, summa lex, summa crux” yang artinya adalah hukum yang keras dapat melukai, kecuali keadilan yang dapat menolongnya, dengan demikian kendatipun keadilan bukan merupakan tujuan hukum satu-satunya akan tetapi tujuan hukum yang substantive adalah keadilan.[2]
Di dalam suatu peraturan hukum, terkandung asas-asas hukum yang menjadi dasar pembentuknya. Dikatakan oleh Satjipto Rahardjo, bahwa asas hukum dapat diartikan sebagai “jantungnya” peraturan hukum[3] sehingga untuk memahami suatu peraturan hukum diperlukan adanya asas hukum. Dengan bahasa lain, Karl Larenz dalam bukunya Methodenlehre der Rechtswissenschaft menyampaikan bahwa asas hukum merupakan ukuran-ukuran hukum ethis yang memberikan arah kepada pembentukan hukum.[4] Oleh karena asas hukum mengandung tuntutan etis maka asas hukum dapat dikatakan sebagai jembatan antara peraturan hukum dengan cita-cita sosial dan pandangan etis masyarakat.
Menurut Utrecht, kepastian hukum mengandung dua pengertian, yaitu pertama adanya aturan yang bersifat umum membuat individu mengetahui perbuatan apa yang boleh atau tidak boleh dilakukan, dan kedua, berupa keamanan hukum bagi individu dari kesewenangan pemerintah karena dengan adanya aturan yang bersifat umum itu individu dapat mengetahui apa saja yang boleh dibebankan atau dilakukan oleh Negara terhadap individu. Kepastian hukum ini berasal dari ajaran Yuridis-Dogmatik yang didasarkan pada aliran pemikiran positivisme di dunia hukum yang cenderung melihat hukum sebagai sesuatu yang otonom yang mandiri, karena bagi penganut aliran ini, tujuan hukum tidak lain sekedar menjamin terwujudnya oleh hukum yang bersifat umum. Sifat umum dari aturan-aturan hukum membuktikan bahwa hukum tidak bertujuan untuk mewujudkan keadilan atau kemanfaatan, melainkan semata-mata untuk kepastian.[5]
Lebih lanjut terkait kepastian hukum, Lord Lloyd mengatakan bahwa:[6]
“…law seems to require a certain minimum degree of regularity and certainty ,f or without that it would be impossible to assert that what was operating in a given territory amounted to a legal system”
Dari pandangan tersebut maka dapat dipahami bahwa tanpa adanya kepastian hukum orang tidak tahu apa yang harus diperbuatnya dan akhirnya timbulah ketidakpastian (uncertainty) yang pada akhirnya akan menimbulkan kekerasan (chaos) akibat ketidaktegasan sistem hukum. Sehingga dengan demikian kepastian hukum menunjuk kepada pemberlakuan hukum yang jelas, tetap dan konsisten dimana pelaksanaannya tidak dapat dipengaruhi oleh keadaan-keadaan yang sifatnya subjektif.
Dari pandangan tersebut maka dapat dipahami bahwa tanpa adanya kepastian hukum orang tidak tahu apa yang harus diperbuatnya dan akhirnya timbulah ketidakpastian (uncertainty) yang pada akhirnya akan menimbulkan kekerasan (chaos) akibat ketidaktegasan sistem hukum. Sehingga dengan demikian kepastian hukum menunjuk kepada pemberlakuan hukum yang jelas, tetap dan konsisten dimana pelaksanaannya tidak dapat dipengaruhi oleh keadaan-keadaan yang sifatnya subjektif.[7] Meskipun dikatakan bahwa asas hukum merupakan jantung dari peraturan hukum, akan tetapi tidak dapat disamakan antara asas hukum dan norma hukum dalam bentuk hukum positif. Asas hukum hanya bersifat mengatur dan menjelaskan (eksplanasi), dimana tujuannya hanya memberi ikhtisar dan tidak normatif.[8] Oleh karena itu asas hukum tidak termasuk hukum positif dan tentu tidak dapat diterapkan secara langsung untuk menyelesaikan sengketa hukum. Dalam hal ini, Van Eikema Hommes secara tegas mengatakan asas hukum tidak boleh dianggap sebagai norma-norma hukum yang konkrit, tetapi dipandang sebagai dasar-dasar umum atau petunjuk-petunjuk bagi hukum yang berlaku.[9]
Dalam menegakkan hukum ada tiga unsur yang harus diperhatikan, yaitu: kepastian hukum, kemanfaatan dan keadilan. Ketiga unsur tersebut harus ada kompromi, harus mendapat perhatian secara proporsional seimbang. Tetapi dalam praktek tidak selalu mudah mengusahakan kompromi secara proporsional seimbang antara ketiga unsur tersebut. Tanpa kepastian hukum orang tidak tahu apa yang harus diperbuatnya dan akhirnya timbul keresahan. Tetapi terlalu menitik beratkan pada kepastian hukum, terlalu ketat mentaati peraturan hukum akibatnya kaku dan akan menimbulkan rasa tidak adil.
Kepastian Hukum dalam Pilkada di Masa Pandemi
Rapat Kerja antara KPU, Bawaslu, DKPP, Pemerintah (Mendagri) dan DPR RI (Komisi II) pada 27 Mei 2020, telah menyepakati akan melaksanakan PILKADA pada tanggal 9 Desember 2020. Dalam rangka mengantisipasi agar tidak terjadinya kekosongan hukum maka pemerintah telah menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) No 2 tahun 2020 tentang pelaksanaan pemungutan suara dilaksanakan pada bulan Desember 2020.
Tinjauan historis mengenai jenis peraturan perundang-undangan, Perppu merupakan salah satu jenis dari Peraturan Pemerintah (PP). Jenis PP yang pertama adalah untuk melaksanakan Perintah UU. Jenis PP yang kedua yakni PP sebagai pengganti UU yang dibentuk dalam hal ihwal Kegentingan yang Memaksa. Perppu merupakan jenis perundang-undangan yang disebutkan dalam UUD NRI Tahun 1945, yakni dalam Pasal 22. Pasal 22 UUD 1945 menyebutkan bahwa dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa, Presiden berhak menetapkan Perppu.[10] Pasal 1 angka 4 UU No.12 Tahun 2011 memuat ketentuan umum yang memberikan definisi Peraturan Pemerintah Pengganti Undang Undang adalah peraturan perundang-undangan yang ditetapkan oleh Presiden dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa.[11] Pasal 1 angka 3 Perpres 87 Tahun 2014 juga tidak memberikan batasan pengertian pada Perppu melainkan menyebutkan definisi yang sama sebagaimana tercantum dalam UU 12 Tahun 2011 dan UUD 1945.[12]
Perppu sebenarnya merupakan suatu Peraturan Pemerintah yang bertindak sebagai suatu Undang-Undang atau dengan perkataan lain Perpu adalah Peraturan Pemerintah yang diberi kewenangan sama dengan Undang-Undang. Peraturan Pemerintah adalah peraturan perundang-undangan yang dibentuk oleh Presiden untuk melaksanakan UU. UU adalah peraturan perundang-undangan yang pembentukannya dilakukan oleh dua lembaga, yakni DPR dengan persetujuan Presiden dan merupakan peraturan yang mengatur lebih lanjut ketentuan-ketentuan dalam UUD 1945.
Perppu dibentuk oleh Presiden dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa. Apabila Perppu sebenarnya adalah Peraturan Pemerintah dan Peraturan Pemerintah adalah peraturan perundang-undangan untuk melaksanakan UU, maka Perppu adalah peraturan perundang-undangan yang dibentuk dalam hal ihwal Kegentingan yang Memaksa, untuk melaksanakan undang-undang. Namun karena Peraturan Pemerintah ini diberi kewenangan sama dengan UU, maka dilekatkan istilah “pengganti UU”. UU merupakan peraturan yang mengatur lebih lanjut ketentuan UUD 1945. Maka Perppu merupakan Peraturan Pemerintah yang dibentuk dalam hal ihwal Kegentingan yang Memaksa untuk mengatur lebih lanjut ketentuan UUD 1945.
Pembentukan peraturan perundang-undangan pada umumnya meliputi tahapan perencanaan, penyusunan, pengesahan atau penetapan dan pengundangan. Perppu yang sejatinya dibentuk dalam Kegentingan yang Memaksa meniscayakan tahapan perencanaan tidak dilakukan, karena keadaannya bersifat tidak terduga, tidak terencana. Pasal 58 Peraturan Presiden Nomor 87 Tahun 2014, menguraikan tata cara penyusunan rancangan Perppu dengan menekankan hal ihwal kegentingan yang Memaksa dalam Pasal 57.
Sebagai salah satu jenis peraturan perundang-undangan, Perpu juga harus bersumber pada Pancasila dan UUDNRI 1945 sebagai sumber dari segala sumber hukum negara dan hukum dasar dalam Peraturan Perundang-undangan serta selayaknya juga dapat menjadi sumber hukum peraturan perundang-undangan yang lebih rendah. Berdasarkan konsep bahwa Perppu merupakan suatu peraturan yang dari segi isinya seharusnya ditetapkan dalam bentuk undang-undang, tetapi karena keadaan kegentingan memaksa ditetapkan dalam bentuk peraturan pemerintah maka kedudukan Perppu yang paling rasional dalam hierarki peraturan perundang-undangan adalah sejajar dengan undang-undang.
Dari uraian diatas maka jelaslah mengenai kepastian hukum secara Normatif mengenai Lanjut atau tidaknya Pilkada tahun 2020 tergantung kondisi serta situasi perkembangan dan penyebaran Covid 19. Dalam Perppu No 2 Tahun 2020 disebutkan tentang pelaksanaan pemungutan suara yang sedianya dilaksanakan pada 26 September 2020 menjadi Desember 2020 (Pasal 201A ayat 2). Yang sebelumnya KPU RI lewat SK No 179/PL.02-Kpt/01/KPU/III/2020 atas dasar pertimbangan penyebaran Corona Virus Disease 2019 (Covid 19) yang menjadi pandemi global, memutuskan untuk melakukan penundaan tahapan pemilihan gubernur dan waakil gubernur, bupati dan wakil bupati dam/atau walikota dan wakil walikota.
Maknanya, keputusan Indonesia untuk menggeser pelaksanaan pilkada tetap di tahun ini memiliki rujukan. Namun tentu bukan hanya itu argumentasi utamanya. Argumentasi utama tentu saja soal menjaga kesinambungan demokrasi. Dalam sistem presidensial, termasuk pada pemerintahan lokal, secara konstitusi jabatan kepala daerah berlaku prinsip fix term alias telah ditetapkan masa jabatannya. Menunda pilkada bisa menimbulkan konflik politik yang kontra produktif dalam situasi penanganan Covid-19. Standar internasional untuk pemilu yang merujuk pada Deklarasi Universal HAM 1948 dan Kovenan Internasional 1966 tentang Hak Sipil dan Politik, maupun berbagai konvensi serta komitmen mengenai pemilu demokratis menyepakati salah satu standar pemilu demokratis adalah penyelenggaraan pemilu yang berkala (IDEA, 2005). Bayangkan, potensi masalah politik dan hukumnya jika pilkada tidak digelar sesuai UU atau Perppu. Bila masa jabatan kepala daerah diperpanjang oleh pemerintah, oposisi atau penantang petahana akan menggugat karena hak konstitusionalnya untuk mencalonkan diri jadi terhambat. Ketidakpastian hukum dan politik akan terjadi. Penundaan pemilu dengan alasan pandemi justru berpotensi mengebiri demokrasi. Implikasinya jelas, instabilitas politik di tengah pandemi jadi taruhan, kecurigaan, bahkan ketidakpercayaan pada pemerintah akan meningkat.[13]
Hingga saat ini vaksin untuk Covid-19 memang belum juga ditemukan. Tetapi sembari menunggu vaksin tersedia, seharusnya semua orang disiplin menerapkan protokol kesehatan sehingga tetap menjalankan aktivitas dengan tetap waspada. Termasuk untuk pelaksanaan pilkada di tengah pandemi Covid-19. Menunggu vaksin tentunya butuh waktu yang lama mengingat proses distribusinya ke seluruh Indonesia. Jika vaksin paling cepat ditemukan pertengahan 2021, dapat dikatakan pada Tahun 2022 atau pertengahan 2022 masalah covid ini bisa baru dapat diselesaikan.
Terlepas dari hal diatas, terdapat sisi lain yang lebih urgen jika menilik kepada nilai kepastian hukum bagi masyarakat adalah dengan ditundanya Pilkada maka akan terjadi stagnatisasi dalam pemerintahan daerah karena akan ada perpanjangan masa jabatan PLT, sedangkan PLT mempunyai tindakan yang terbatas dibanding pejabat definitive, pada faktanya, wewenang yang dimiliki oleh pelaksana tugas dibatasi karena ia tidak boleh mengambil tindakan atau kebijakan yang bersifat strategis sehingga hal inilah yang nantinya malah menghambat jalannya roda pemerintahan. Olehnya tepatlah Jika Pilkada serentak Pada Tanggal 9 Desember 2020 tetap harus dilaksanakan tentu dengan menerapkan Protokol Kesehatan.
Catatan Kaki
[1] Peter Mahmud Marzuki, Pengantar Ilmu Hukum, Kencana, Jakarta, 2008, hlm. 58.
[2] Dosminikus Rato, Filasafat Hukum Mencari dan Memahami Hukum, PT Presindo, Yogyakarta, 2010, hlm. 59.
[3] Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, Citra Aditya Bakti: Bandung, 2012, hlm. 45.
[4] Dewa Gede Atmaja, “Asas-Asas Hukum Dalam Sistem Hukum”, Jurnal Kertha Wicaksana, Volume 12, Nomor 2, 2018, hlm. 146.
[5] Riduan Syahrani, Rangkuman Intisari Ilmu Hukum, Citra Aditya, Bandung, 1999, hlm.23.
[6] Mirza Satria Buana, Hubungan Tarik-Menarik Antara Asas Kepastian Hukum (Legal Certainpi) Dengan Asas Keadilan (Substantial Justice) Dalam Putusan-Putusan Mahkamah Konstltusi, Yogyakarta: Tesis Magister Ilmu Hukum Universitas Islam Indonesia, 2010, hlm.34.
[7] R. Tony Prayogo, “Penerapan Asas Kepastian Hukum Dalam Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2011 Tentang Hak Uji Materiil Dan Dalam Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 06/Pmk/2005 Tentang Pedoman Beracara Dalam Pengujian Undang-Undang “, Jurnal Legislasi Indonesia, Volume 13, Nomor 2, 2016, hlm.194.
[8] Sidharta, Karakteristik Penalaran Hukum Dalam Konteks Keindonesiaan, Alumni: Bandung, 2006, hlm. 204.
[9] Notohamidjojo, Soal-Soal Pokok Filsafat Hukum, BPK Gunung Mulia: Jakarta,1975, hlm. 49.
[10] Indonesia, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Ps.22 . Indonesia, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
[11] ndonesia, Undang-Undang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan,UU No.12 Tahun 2011, LN No.82 Tahun 2011, TLN No.5234, Ps.1.
[12] Indonesia, Peraturan Presiden tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, Perpres No. 87 Tahun 2014, LN No.199 Tahun 2014, Ps.1.
[13] Sumber: https://nasional.kompas.com/read/2020/07/07/14144791/pilkada-di-tengah-pandemi-apa-pentingnya-bagi-rakyat?page=all. Di akses tanggal 5 Oktober 2020.