Pembatalan Keputusan Penggantian Pejabat

496 Views

PEMBATALAN KEPUTUSAN PENGGANTIAN PEJABAT
Oleh: Dr. Aminuddin Kasim, SH, MH.
(Dosen Tetap Fakultas Hukum Universitas Tadulako)

Apakah keputusan pembatalan penggantian pejabat serta merta (otomatis) dapat menghapus kesalahan atau pelanggaran terhadap Pasal 71 ayat (2) UU Pilkada yang pernah dilakukan oleh Bupati? Atau sebaliknya, tetap saja tidak menghapus kesalahan atau pelanggaran yang pernah terjadi?

Sebelum menjawab pertanyaan di atas, perlu dipahami terlebih dahulu, bahwa larangan dalam Pasal 71 ayat (2) UU Pilkada tidak berlaku bagi daerah-daerah yang tidak menyelenggarakan Pilkada Serentak. Lalu, karena di daerah itu tidak berlangsung Pilkada Serentak, maka para Bupati di daerah itu tidak terikat dengan asas dan norma Pilkada. Berlakunya aturan (hukum) terikat dengan kuasa waktu (tijd gebied), kuasa ruang/tempat (ruimte gebied), kuasa atas orang (person gebied), dan kuasa atas urusan/substansi (zaken gebied). Pengisian, pengangkatan atau penggantian pejabat di daerah itu terikat dan tunduk pada aturan manajemen kepegawaian, seleksi jabatan, serta pengawasan KASN.

Berbeda dengan daerah yang tidak menyelenggarakan Pilkada serentak, pada daerah yang berlangsung Pilkada serentak, para Bupati terlarang untuk melakukan penggantian pejabat 6 (enam) bulan sebelum tanggal penetapan pasangan calon sampai dengan akhir masa jabatan, terkecuali mendapat persetujuan tertulis dari Menteri (Pasal 71 ayat 2 UU Pilkada). Di daerah penyelenggara Pilkada, terikat dengan asas dan norma UU Pilkada, terikat dengan asas bebas dan adil (free and fair election), terikat dengan larangan untuk melakukan kecurangan Pilkada (election fraud).  Ketentuan Pasal 71 ayat (2) itu tidak hanya ditujukan kepada Bupati (Petahana), tetapi juga ditujukan kepada Bupati yang bukan Petahana.

Bagi Bupati yang melanggar Pasal 71 ayat (2) diancam dengan pidana penjara dan/atau denda (Pasal 190 UU Pilkada). Lalu, khusus bagi Bupati (Petahana), selain diancam dengan Pasal 190 UU Pilkada juga diancam dengan sanksi pembatalan berupa: (a) tidak ditetapkan sebagai calon (TMS) atau (b) dibatalkan sebagai calon.

Namun demikian, larangan dalam Pasal 71 ayat (2) UU Pilkada tetap dilanggar oleh Bupati Petahana di beberapa daerah. Pada Pilkada Serentak 2017, ada dua kasus yang menarik dijadikan referensi terkait dengan pelanggaran Pasal 71 ayat (2) yaitu di Kota Kupang dan di Kabupaten Boalemo. SK Penggantian pejabat yang dilakukan oleh Bupati Petahana di daerah itu sempat dibatalkan sebelum penetapan pasangan calon. Pembatalan itu dilakukan setelah diketahui ada sanksi pembatalan sebagai calon.

JIka kita mendalami asas-asas Hukum Administrasi, maka ditemukan satu asas yang mengatakan bahwa semua keputusan (beschiking) dianggap sah (presumption iustae causa). Keabsahan keputusan itu dinyatakan hilang jika ada keputusan baru yang membatalkan atau mencabut keputusan terdahulu. Dalam konteks ini, berlaku asas “contrarius actus” (Simak: Pasal 66 ayat (3) huruf UU No. 30 Tahun 2014).

Asas itu juga berlaku jika keputusan akan dinyatakan berakhir (Pasal 68 ayat (1) huruf c UU No. 30 Tahun 2014).  Lalu, suatu keputusan (lama) dapat dibatalkan (dengan keputusan yang baru) apabila mengandung cacat yuridis berupa: (a) cacat wewenang, (b) cacat prosedur, dan/atau (c) cacat substansi (Pasal 66 ayat (1) UU No. 30 Tahun 2014).

Pada daerah yang menyelenggarakan Pilkada, dan rezim Hukum Pilkada berlaku di situ, para Bupati terlarang membuat keputusan (beschikking) terkait pergantian pejabat.  Ketika keputusan penggantian atau pengangkatan pejabat sudah ditetapkan, maka seketika itu sudah terjadi pelanggaran Pasal 71 ayat (2). Jadi, pelanggaran sudah terjadi dan berakibat hukum. Pada keputusan penggantian atau pengangkatan pejabat terdapat Diktum yang menyatakan bahwa keputusan ini mulai berlaku pada saat ditetapkan, yakni menunjuk tanggal dan tahun yang tertera pada bagian akhir keputusan itu.

Lalu, ketika pembatalan ditetapkan (keputusan baru) atau pembatalan terhadap keputusan lama, maka seketika itu terjadi pelanggaran yang kedua kali. Artinya, karena ada 2 (dua) keputusan (beschikking) yang diterbitkan (keputusan lama dan keputusan baru), maka tercatat 2 (dua) kali perbuatan pelanggaran yang terjadi. Jadi, pembatalan terhadap keputusan penggantian (pengangkatan) tidak dilihat dari pengembalian pejabat (person) ke posisi yang semula, tetapi dilihat dari adanya 2 (dua) keputusan yang terbit.

Di Kupang MS, Di Boalemo TMS.

Risalah DKPP No. 125-126-132-145/DKPP-PKE-V/2016 terungkap fakta bahwa pada Pilkada Serentak 2017, Walikota Kupang – Jonas Saelan (Petahana) terbukti melakukan pelanggaran Pasal 71 ayat (2) karena melakukan penggantian pejabat tanpa persetujuan Menteri (1 Juli 2016). Lalu, karena Bawaslu RI mengeluarkan Surat Edaran No. 0649/K.Bawaslu/PM.06.00/X/2016 (20 Oktober 2016), sehingga menjadi rujukan bagi Walikota Petahana dalam menetapkan keputusan pembatalan terhadap keputusan sebelumnya (21 Oktober 2016). Atas dasar SE Bawaslu RI tersebut, Bawaslu NTT dan Bawaslu Kota Kupang, serta KPU Kota Kupang menilai bahwa Bupati Petahana tidak lagi melanggar Pasal 71 ayat (2). Akhirnya KPU Kota Kupang menetapkan Bupati Petahana Memenuhi Syarat (MS) sebagai calon (Keputusan KPU Kota Kupang Nomor 44/Kpts/KPU-Kota.018.434078/2016).

Namun demikian, Prof. Dr. Philipus M. Hadjon, SH, ahli Hukum Administrasi terkenal di Indonesia, bahkan dikenal luas oleh pakar Hukum Administrasi di Belanda – yang dihadirkan sebagai ahli dalam sidang DKPP terkait dugaan pelanggaran kode etik yang dilakukan oleh anggota Bawaslu RI periode 2012-2017, anggota Bawaslu NTT, anggota Bawaslu Kota Kupang, dan anggota KPU Kota Kupang, mengatakan bahwa pembatalan keputusan mutasi yang dilakukan oleh Walikota Kupang (Petahana) pada tanggal 21 Oktober 2016 adalah termasuk perbuatan penggantian pejabat atau mutasi.

Selain itu, Prof. Dr. Philipus M. Hadjon, SH, juga mengatakan bahwa Surat Edaran (SE) Bawaslu RI No. 0649/K.Bawaslu/PM.06.00/X/2016 tanggal 20 Oktober 2016 bukan merupakan peraturan perundang-undangan, dan tidak memiliki kekuatan hukum (Simak: Risalah Putusan DKPP No. 125-126-132-145/DKPP-PKE-V/2016).

Hal yang sama juga terjadi di Kabupaten Boalemo pada Pilkada Serentak 2017. Dalam risalah putusan MA No. No.570 K /TUN/PILKADA/2016 (4 Januari 2017) terkait dengan kasus penggantian pejabat yang dilakukan oleh Bupati Petahana Kabupaten Boalemo (H. Rum Pagau) tanpa persetujuan tertulis dari Menteri. Pada pertimbangan hukum putusan MA di atas, Majelis Hakim MA menyatakan bahwa pelanggaran terhadap ketentuan yang diatur dalam Pasal 71 ayat (2) yang sanksinya telah ditentukan dalam Pasal 71 ayat (5) UU Pilkada. Begitu tindakan dilakukan maka konsekuensinya lahir dan berakibat hukum. Walaupun dicabut kembali, akibat hukumnya telah ada dalam rentang waktu tertentu. Karena itu pelanggaran sudah terjadi dan tidak hapus karena dicabut.

Lebih dari itu, Majelis Hakim MA juga menyatakan bahwa Putusan Hakim Judex Factie PT-TUN Makassar tidak dapat dipertahankan dan harus dibatalkan. Dari putusan MA tersebut terbaca kesan bahwa MA mengabaikan SE Bawaslu RI 0649/K.Bawaslu/PM.06.00/X/2016.

Mengingat karena Bupati Petahana (H. Rum Pagau) terbukti melanggar Pasal 71 ayat (2) UU Pilkada, maka Majelis Hakim MA membatalkan Keputusaan KPU Kabupaten Boalemo No. 24/Kpts/KPU Kab. Boalemo/Pilbup/027.436540/X/2016 terkait Penetapan Paslon Pilkada 2017 (Simak: Putusan MA No. 570 K /TUN/PILKADA/2016). Akibat pembatalan itu, Paslon Petahana (Rum Pagau – Lahmudin Hambali) gagal ikut Pilkada Serentak 2017. Pada hal Paslon tersebut diusung oleh gabungan 9 (sembilan) Parpol (Simak: Putusan MA Nomor 02 P/PAP/2017 terkait Penolakan Sengketa yang diajukan oleh Rum Pagau – Lahmudin Hambali).

Selain Melanggar Hukum, Juga Melanggar Etika Pejabat Publik

Pasal 71 ayat (2) UU Pilkada dengan jelas terbaca bahwa larangan penggantian pejabat dikecualikan jika mendapatkan persetujuan tertulis dari Menteri (Mendagri). Ironisnya, masih ada sebagian Bupati yang tidak mengindahkan hal itu. Melangkahi wewenang Menteri ketika menetapkan keputusan penggantian atau pengangkatan pejabat.

Pada hal Mendagri juga telah mensosialisasikan atau menyampaikan Surat Edaran Mendagri No. 273/487/SJ kepada para Bupati se-Indonesia, khususnya kepada Bupati yang daerahnya menyelenggarakan Pilkada serentak 2020. SE Mendagri itu antara lain menegaskan bahwa penggantian pejabat dilarang terkecuali mendapatkan persetujuan tertulis dari Mendagri.

Penggantian pejabat yang dilakukan Bupati tanpa persetujuan tertulis dari Mendagri, sesungguhnya tidak hanya melanggar hukum (Pasal 71 ayat 2), tetapi juga melanggar etika pejabat publik. Penggantian pejabat yang dilakukan Bupati tanpa persetujuan tertulis dari Mendagri, dapat dikatakan melecehkan peran Menteri (Mendagri). Pejabat yang melantik Bupati yang terpilih dalam Pilkada adalah Mendagri. Sayangnya, belum pernah kita mendengar suara Mendagri yang menegur keras Bupati karena melangkahi kewenangan Mendagri dalam hal  penggantian pejabat.

Akhirnya, kembali ke pertanyaan awal, apakah keputusan pembatalan terhadap penggantian pejabat (keputusan lama) dapat menghapus kesalahan atau pelanggaran (Pasal 71 ayat (2) UU Pilkada? Standing academic penulis adalah tidak menghapus pelanggaran yang sudah terlanjur terjadi.

Lalu, bagaimana keputusan KPU di berbagai daerah yang menghadapi kasus pelanggaran Pasal 71 ayat (2) pada Pilkada Serentak 2020, kita tunggu tanggal mainnya pada tanggal 23 September 2020. Apakah akan merujuk pada pengalaman di Kota Kupang atau pengalaman di Kabupaten Boalemo? Wallahu a’lam.

Pelanggaran Pasal 71 UU Pilkada; Kumulatif atau Alternatif

381 Views

PELANGGARAN PASAL 71 UU PILKADA; KUMULATIF ATAU ALTERNATIF
Oleh: Dr. Aminuddin Kasim, SH, MH.
(Dosen Tetap Universitas Tadulako Palu)

Undang-Undang Pilkada telah menetapkan beberapa larangan bagi kepala daerah atau wakil kepala daerah dalam penyelenggaraan Pilkada serentak. Dalam Pasal 71 UU Pilkada terdapat dua larangan yang menarik untuk dikritisi, yaitu pada ayat (2) dan ayat (3).

Adapun rumusan normanya adalah: Kesatu,  Gubernur atau Wakil Gubernur, Bupati atau Wakil Bupati, dan Walikota atau Wakil Walikota dilarang melakukan penggantian pejabat 6 (enam) bulan sebelum tanggal penetapan pasangan calon sampai dengan akhir masa jabatan kecuali mendapat persetujuan dari Menteri  (ayat 2), dan Kedua, Gubernur atau Wakil Gubernur, Bupati atau Wakil Bupati, dan Walikota atau Wakil Walikota dilarang menggunakan kewenangan, program, dan kegiatan yang menguntungkan atau merugikan salah satu pasangan calon baik di daerah sendiri maupun di daerah lain dalam waktu 6 (enam) bulan sebelum tanggal penetapan pasangan calon sampai dengan penetapan calon terpilih (ayat 3).

Pelanggaran terhadap dua larangan itu diancam dengan sanksi administratif sebagaimana tersebut dalam Pasal 71 ayat (5) UU Pilkada, yaitu: Dalam hal Gubernur atau Wakil Gubernur, Bupati atau Wakil Bupati, dan Walikota atau Wakil Walikota selaku petahana melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3), petahana tersebut dikenai sanksi pembatalan sebagai calon oleh KPU Provinsi atau KPU Kabupaten/Kota.

Terkait dengan adanya diksi dan dalam Pasal 71 ayat (5) UU Pilkada di atas, muncul pertanyaan: apakah sanksi pembatalan sebagai calon baru dikatakan terpenuhi jika pelanggaran terhadap Pasal 71 ayat (2) berbarengan dengan Pasal 71 ayat (3)? Apakah pelanggaran terhadap Pasal 71 ayat (2) dan Pasal 71 ayat (3) bersifat kumulatif atau alternatif?

Jawaban atas pertanyaan di atas ditemukan dalam risalah Putusan Mahkamah Agung No. 570 K/TUN/PILKADA/2016, tertanggal 4 Januari 2017. Dalam risalah putusan MA tersebut terurai fakta-fakta hukum tentang tindakan Bupati (Petahana) Drs. H. Rum Pagau yang melanggar larangan dalam Pasal 71 ayat (2), yakni 3 (tiga) kali melakukan penggantian pejabat dan sekali melakukan pembatalan keputusan penggantian pejabat (18 Oktober 2016). Semua itu dilakukan dalam kurun waktu 6 (enam) bulan sebelum tanggal penetapan pasangan calon sampai dengan akhir masa jabatan tanpa mendapat persetujuan dari Menteri.

Mengingat karena terbukti pelanggaran Pasal 71 ayat (2) yang dilakukan oleh Bupati Petahana serta kekeliruan penerapan hukum majelis judex factie PT-TUN Makassar dalam Putusan Nomor:  16/G/PILKADA/2016/PT.TUN. MKS, tertanggal tanggal 1 Desember 2016, sehingga Majelis Hakim Kasasi MA membatalkan Keputusaan KPU Kabupaten Boalemo No. 24/Kpts/KPU Kab. Boalemo/Pilbup/027.436540/X/2016. Akibat pembatalan itu, Paslon Petahana (Rum Pagau – Lahmudin Hambali) gagal ikut Pilkada Serentak 201

Dari putusan MA di atas terbaca tafsir bahwa keputusan tentang pembatalan calon hanya mendasarkan pada satu jenis pelanggaran, yakni pelanggaran Pasal 71 ayat (2), bukan dua jenis pelanggaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71 ayat (5). Dengan demikian,  makna diksi “dan” dalam Pasal 71 ayat (5) tidak lagi bermakna kumulatif – pelanggaran yang berbarengan (pelanggaran Pasal 71 aya (2) dan Pasal 71 ayat (3)).

Putusan MA No. 570 K/TUN/PILKADA/2016 terkait dengan pembatalan Keputusan KPU Boalemo tentang Penetapan Paslon Pilkada Serentak 2017 (24 Oktober 2016), sesungguhnya telah mengubah makna teks (original intent) Pasal 71 ayat (5) UU Pilkada. Meski putusan MA itu masih bisa diperdebatkan dalam atmosfir akademik, karena bukan MA yang berwenang menguji UU Pilkada. Namun fakta empiriknya, putusan MA sudah terimplementasi  di kabupaten Boalemo, dimana Bupati Petahana (Drs. H. Rum Pagau) kehilangan hak konstitusionalnya karena gagal ikut Pilkada 2017.

Bertolak dari fakta empirik itu, maka Pasal 71 ayat (5) tidak bisa lagi dipahami secara reading text, tetapi harus ditafsir secara kontekstual. Bunyi teks Pasal 71 ayat (5) tidak berubah (tetap), tapi maknanya sudah berubah.  Diksi “dan dalam Pasal 71 (5) sudah berubah menjadi makna “atau” – atau diksi bermakna alternatif (pilihan).

Perubahan diksi “dan” (bermakna kumulatif) menjadi diksi “atau” (alternatif) sudah diimplementasikan oleh KPU setelah mengubah PKPU tentang Pencalonan, dari PKPU No. 3 Tahun 2017 menjadi PKPU No. 1 Tahun 2020. Dalam Pasal 89 PKPU yang baru (PKPU No 1/2020) hanya terdiri 2 (dua) ayat.

Lebih jelasnya: Petahana dinyatakan tidak memenuhi syarat jika: (a) melakukan penggantian pejabat 6 (enam) bulan sebelum tanggal penetapan Pasangan Calon sampai dengan akhir masa jabatan kecuali mendapat persetujuan tertulis dari menteri yang menyelenggarakan urusan dalam negeri; atau (b) menggunakan kewenangan, program, dan kegiatan yang menguntungkan atau merugikan salah satu Pasangan Calon baik di daerah sendiri maupun di daerah lain dalam waktu 6 (enam) bulan sebelum tanggal penetapan Pasangan Calon sampai dengan penetapan Pasangan Calon terpilih.

Jadi, tampak dengan jelas bahwa Pasal 89 PKPU No. 1 Tahun 2020 sudah menggunakan diksi “atau” – diksi yang bermakna alternatif (pilihan).  Bagi penulis, tentu ada reasoning yang mendasari KPU mengubah Pasal 89 PKPU tentang Pencalonan. Apakah perubahan ketentuan PKPU itu diilhami Putusan MA No. 570 K/TUN/PILKADA/2016. Wallaha a’lam.

Pastinya, Pasal 89 PKPU No. 1 Tahun 2020, selain menambah syarat tambahan bagi bakal calon Petahana, juga memilih diksi “atau” untuk menetapkan TMS jika ada bakal calon Petahana yang terbukti melanggar salah satu dari dua larangan dalam Pasal 71 ayat (5) UU Pilkada.

Petahana yang Terancam Diskualifikasi

758 Views

PETAHANA YANG TERANCAM DISKUALIFIKASI
Oleh: Dr Aminuddin Kasim SH MH
(Dosen Fakultas Hukum Universitas Tadulako)

Undang-Undang Pilkada telah menetapkan beberapa larangan bagi Gubernur atau Wakil Gubernur, Bupati atau Wakil Bupati, dan Walikota atau Wakil Walikota. Salah satu diantaranya adalah larangan melakukan pergantian pejabat 6 (enam) bulan sebelum tanggal penetapan pasangan calon sampai dengan akhir masa jabatan kecuali jika mendapat persetujuan tertulis dari Menteri. Hal itu secara tegas diatur dalam Pasal 71 ayat (2) UU Pilkada.

Larangan dalam Pasal 71 ayat (2) UU Pilkada tidak hanya ditujukan kepada Gubernur atau Wakil Gubernur, Bupati atau Wakil Bupati, dan Walikota atau Wakil Walikota yang mencalonkan atau dicalonkan dalam Pilkada (Petahana), tetapi juga ditujukan kepada Gubernur atau Wakil Gubernur, Bupati atau Wakil Bupati, dan Walikota atau Wakil Walikota yang bukan Petahana. Pasal 71 ayat (2) ini termasuk kategori norma imperatif – wajib ditaati oleh Petahana dan Gubernur atau Wakil Gubernur, Bupati atau Wakil Bupati, dan Walikota atau Wakil Walikota yang bukan Petahana.

Konsekuensi hukum atas pelanggaran Pasal 71 ayat (2) adalah ancaman pidana penjara dan denda (Pasal 190 UU Pilkada). Ketentuan Pasal 190 ini dilekatkan fungsi hukum (a tool of social control) – agar tercegah pelanggaran Pasal 71 ayat (2). Pasal 71 ayat (2) lebih kental daya imperatifnya jika dibandingkan Pasal 71 ayat (3). Sebab, Pasal 71 ayat (3) tidak tersebut dalam Pasal 190 atau luput dari ancaman pidana penjara dan denda.

Khusus bagi Petahana yang melanggar Pasal 71 ayat (2), selain diancam dengan pidana penjara dan denda (Pasal 190), juga dikenakan sanksi administratif berupa pembatalan sebagai calon oleh KPU di daerah (Pasal 71 ayat (5) UU Pilkada). Jadi, bagi Petahana yang melanggar Pasal 71 ayat (2) terkena konsekuensi hukum ganda, yakni  ancaman sanksi pidana dan sanksi administratif.

Mengingat pentingnya norma imperatif dilekatkan dalam Pasal 71 ayat (2) sehingga Bawaslu RI serta Bawaslu di daerah gencar melakukan sosialisasi sejak Januari hingga Pebruari 2020. Sosialisasi yang dilakukan Bawaslu RI melibatkan para Bupati/Walikota yang menyelenggarakan Pilkada Serentak 2020. Sosialisasi Gelombang I berlangsung di Padang (28/1-2020), Gelombang II di Manado (4/2-2020), dan Gelombang III di Banjarmasin (11/2-2020). Lebih dari itu, Kemendagri juga menyosialisasikan SE Mendagri No. 273/487/SJ, tertanggal 21 Januari 2020, antara lain di Bali (27/2-2020) dan menghadirkan Sekda se-Indonesia.. Jadi, upaya pencegahan terhadap pelanggaran Pasal 71 ayat (2) sudah dilakukan secara masif.

TMS Dulu, Menyusul Pembatalan

Jika dicermati substansi Pasal 71 ayat (5) UU Pilkada, maka tertangkap kesan bahwa Petahana yang melanggar larangan dalam Pasal 71 ayat (2) ditetapkan dulu sebagai calon, lalu menyusul pembatalan. Tafsir ini tidak bisa lagi dipertahankan setelah adanya Putusan Mahkamah Agung Nomor 570 K/TUN/PILKADA/2016, tertanggal 4 Januari 2017. Putusan MA ini membatalkan Keputusaan KPU Boalemo No. 24/Kpts/KPU Kab. Boalemo/Pilbup/ 027.436540/X/2016. Akibat pembatalan itu, Paslon Petahana (Rum Pagau – Lahmudin Hambali) gagal ikut Pilkada Serentak 2017. Inilah akibat dari pelanggaran Pasal 71 ayat (2) yang pernah dilakukan oleh Bupati Drs H. Rum Pagau (Petahana) dalam kurun waktu 6 bulan sebelum penetapan Paslon (24 Oktober 2016).

Dalam ratio decidendi putusan MA No. 570 K/TUN/PILKADA/2016, Majelis Hakim Kasasi (MA) tidak dapat membenarkan pertimbangan Majelis Hakim (Judex Facti) PT-TUN Makassar yang berpendapat bahwa calon Petahana hanya dapat diberikan sanksi pembatalan sebagai calon ketika calon Petahana apabila melakukan pelanggaran setelah ditetapkan sebagai Paslon oleh KPU. Bagi Majelis Hakim MA, ketentuan Pasal 71 ayat (2) UU No. 10 Tahun 2016 sudah cukup jelas mengatur mengenai larangan melakukan mutasi berlaku 6 bulan sebelum ditetapkan Paslon sampai masa jabatan berakhir. Pertimbangan hukum MA di atas, idealnya menjadi referensi tambahan bagi KPU di daerah ketika menindak-lanjuti rekomendasi Bawaslu di daerah (Pasal 139) terkait dengan pelanggaran Pasal 71 ayat (2) yang pernah dilakukan oleh Petahana.

Bukan hanya Putusan MA di atas, KPU di daerah juga terikat dengan Pasal 89 huruf a PKPU No. 1 Tahun 2020 (Perubahan PKPU No. 3 Tahun 2017). Pasal 89 huruf a dengan tegas menyebutkan bahwa Petahana dinyatakan tidak memenuhi syarat jika melakukan penggantian pejabat 6 (enam) bulan sebelum tanggal penetapan Pasangan Calon sampai dengan akhir masa jabatan kecuali mendapat persetujuan tertulis dari menteri yang menyelenggarakan urusan dalam negeri. Jadi, Pasal 89 huruf a menetapkan syarat tambahan bagi Petahana. JIka Petahana terbukti melanggar Pasal 71 ayat (2) berdasarkan kajian dan rekomendasi Bawaslu di daerah, maka KPU di daerah harus mendiskualifikasi atau menyatakan Tidak Memenuhi Syarat (TMS) Petahana.

Komisioner KPU di daerah pasti memahami makna diksi syarat. Diksi syarat selalu berada di depan atau mendahului tindakan penetapan (keputusan). Keabsahan setiap tindakan hukum berupa penetapan (keputusan) ditentukan oleh keterpenuhan dan keabsahan syarat. Saat proses verifikasi syarat calon dan pencalonan berlangsung (tentu saja sebelum tanggal penetapan Paslon), dapat dipastikan bahwa komisioner KPU di daerah tidak mungkin menegasikan syarat tambahan dalam Pasal 89 huruf a PKPU No. 1 Tahun 2020 sepanjang ada Petahana yang pernah melanggar Pasal 71 ayat (2).  Alasannya sederhana, PKPU tersebut adalah aturan (hukum) yang bermakna perintah. Meminjam pendapat Hart (1994), bahwa hukum adalah perintah (law is command) dari pejabat berwenang. Jadi, PKPU No. 1 Tahun 2020 adalah law is command – perintah dari komisioner KPU di pusat kepada komisioner KPU di daerah ketika berlangsung tahapan pencalonan dalam Pilkada Serentak.

Lalu, kapan pembatalan Paslon dilakukan KPU di daerah jika ada Paslon terbukti melanggar UU Pilkada? Khusus bagi Paslon Petahana yang terbukti melanggar Pasal 71 ayat (2), aturannya merujuk pada ketentuan Pasal 90 ayat (1) huruf e PKPU No. 1 Tahun 2020. Keputusan pembatalan khusus bagi calon Petahana tentu saja didahului dengan adanya tindakan penetapan Paslon – notabene calon Petahana (MS) – atau Petahana yang tidak terjaring dengan ketentuan Pasal 89 huruf a PKPU No. 1 Tahun 2020.

Bagi penulis, substansi Pasal 90 ayat (1) huruf e sesungguhnya beroperasi setelah tanggal penetapan Paslon. Sebab, larangan dalam Pasal 71 ayat (2) masih berpotensi dilanggar oleh Calon Petahana sehari setelah dia ditetapkan sebagai Paslon Pilkada, menjelang berakhir masa kamapnye, pada masa minggu tenang atau sebelum berakhir masa jabatan.  Dalam ruang ini berlaku Pasal 90 ayat (1) huruf e (pembatalan calon). Jadi, tampak jelas garis pembatas antara Pasal 89 huruf a dengan Pasal 90 ayat (1) huruf e PKPU No. 1 Tahun 2020.

ASN di Pusaran Kontestasi Pemilihan

282 Views

Pendahuluan

Kontestasi pemilihan kepala daerah untuk memilih Gubernur, Bupati, dan Walikota menjadi tantangan besar dalam mewujudkan netralitas pegawai Aparatur Sipil Negara (ASN). Persoalan netralitas pegawai ASN seperti tidak pernah terselesaikan secara tuntas, silih berganti pelaksanaan kontestasi politik tetapi pelanggaran netralitas dari oknum pegawai ASN masih terus terjadi. Sudah banyak rekomendasi sanksi moral dan sanksi disiplin dari KASN maupun sanksi dari Dewan Etik Pemerintah Daerah kepada mereka yang melanggar netralitas ASN, nyatanya tidak menimbulkan efek jera penghukuman.

Lebih parah lagi, surat sanksi malah digunakan oknum pejabat ASN untuk mendapatkan promosi jabatan, saat calon petahana berhasil mendapatkan suara mayoritas dan terpilih sebagai kepala daerah untuk periode kedua. Sanksi akibat ketidaknetralan mereka jadikan bukti yang menunjukkan loyalitas pegawai kepada atasan (petahana) terpilih. Sanksi akibat ketidaknetralan dalam pemilihan nyatanya tidak memiliki efek jera, hingga kecenderungan pelanggaran netralitas terus terjadi dan terus berulang sepanjang kontestasi pemilihan.

Buku yang ditulis S.F. Marbun dan M. Mahfud MD mengakui, salah satu persoalan besar bangsa ini dalam kehidupan bernegara adalah persoalan netralitas pegawai yang mendapatkan operasional dan gaji dari keuangan negara, karena secara teoritis sulit ditemukan landasan yang dapat memberikan alasan pembenar bagi pegawai negeri untuk terlibat dalam kegiatan-kegiatan politik praktis.[1] Dukung-mendukung, menggunakan kegiatan dan kebijakan menguntungkan salah satu peserta pemilihan jelas tidak dibenarkan dan diancam dengan sanksi moral, disiplin dan pidana bagi pegawai yang melanggar.

Padahal pembentuk undang-undang telah membuat regulasi untuk menjaga netralitas ASN dengan pembatasan keterlibatan dalam kegiatan politik praktis guna memperkuat fungsi ASN sebagai pelayanan publik secara adil dan tanpa diskriminasi. Ketentuan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 Tentang Aparatur Sipil Negara (UU ASN) tegas mengamanatkan penyelenggaraan kebijakan dan manajemen didasarkan pada prinsip netralitas. Netralitas artinya pegawai ASN tidak berpihak dan tidak memihak kepada kepentingan siapapun, murni profesional dan berkinerja dalam memberikan pelayanan publik secara adil. Adanya UU ASN juga menandai terbentuknya Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN) yang berfungsi mengawasi pelaksanaan norma dasar, kode etik dan kode perilaku ASN, serta penerapan meryt system yang mengedepankan keahlian dan pengalaman dalam manajemen ASN pada Instansi Pemerintah.

Pengalaman pelaksanaan pemilihan kepala daerah di berbagai daerah, dampak dari kegiatan politik praktis dukung-mendukung oleh pejabat birokrasi dan ASN telah membawa pengaruh terjadi penyalahgunaan wewenang jabatan untuk membantu proses pemenangan salah satu calon peserta pemilihan. Kerentanan ASN dalam politik praktis dengan melakukan tindakan menguntungkan salah satu peserta terutama petahana dengan didasarkan oleh loyalitas atau iming-iming pragmatis promosi jabatan.

Pegawai ASN sejatinya mampu menerapkan asas netralitas dalam bekerja dan tidak berpihak kepada partai politik atau peserta pemilihan tertentu. Pembatasan dilakukan untuk fokus memberi pelayanan publik secara adil dan netral. Sanksi ancaman telah disebutkan dalam peraturan perundang-undangan yang mengatur soal netralitas, norma dasar, kode etik dan perilaku ASN. Dari idealitas netralitas yang diperhadapkan pada fakta-kenyataan pelanggaran netralitas ASN di lapangan, ditarik permasalahan sebagai fokus bahasan tulisan ini. Yakni, bagaimana strategi pencegahan dan penanganan pelanggaran atas netralitas pegawasi ASN di kontestasi pemilihan kepala daerah?

Konsepsi Netralitas Pegawai ASN

Pengertian netralitas dalam Kamus Bahasa Indonesia[2] diartikan keadaan netral (tidak terikat, bebas). Menurut Marbun, netralitas adalah bebasnya pegawai ASN dari pengaruh kepentingan partai politik tertentu atau tidak memihak untuk kepentingan politik praktis tertentu atau tidak berperan dalam proses politik.[3] Dikaitkan dengan penyelenggaraan kontestasi demokrasi yang periodik dilakukan, netralitas pegawai ASN dapat didefenisikan sebagai perilaku tidak memihak, atau tidak terlibat baik secara diam-diam maupun terang-terangan yang ditunjukan birokrasi dan pegawai ASN dalam masa sebelum, selama dan sesudah tahapan pemilihan kepala daerah berlangsung.

Selanjutnya apa itu pegawasi ASN? Berdasarkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 Tentang Aparatur Sipil Negara (UU ASN), Pegawai ASN adalah Pegawai Negeri Sipil (PNS) dan Pegawai Pemerintah Dengan Perjanjian Kerja (P3K) yang diangkat oleh Pejabat Pembina Kepegawaian dan diserahi tugas dalam suatu jabatan pemerintahan atau diserahi tugas negara lain dan digaji berdasarkan peraturan perundang-undangan. Dari pengertian itu, ASN terdiri atas PNS dan P3K yang ditetapkan oleh Pejabat Pembina Kepegawaian (Kepala Daerah).

UU ASN secara tegas telah mengamanatkan bahwa penyelenggaraan kebijakan dan manajemen ASN berdasarkan prinsip antara lain “netralitas”. Pasal 2 huruf f UU ASN menyebutkan bahwa penyelenggaraan kebijakan dan manajemen ASN didasarkan pada asas netralitas. Dalam penjelasan pasal disebutkan bahwa asas netralitas dimaknai agar setiap Pegawai ASN tidak berpihak dari segala bentuk pengaruh manapun dan tidak memihak kepada kepentingan siapapun. Penerapan asas netralitas ini diarahkan untuk menciptakan pegawai ASN yang profesional dan berkinerja tinggi, sehingga dapat memberikan pelayanan publik secara adil dan netral, serta menjadi perekat dan pemersatu bangsa.

Pegawai ASN dari sisi hak pilih dalam kontestasi pemilihan, berbeda dengan anggota TNI dan Polri. Pegawai ASN memiliki hak memilih untuk menyalurkan hak suara saat pemungutan suara, sementara anggota TNI dan Polri tidak memiliki hak politik (memilih dan dipilih). Belum lagi secara sosiologis, ASN ditempatkan pada posisi orang berpendidikan, memiliki jabatan dan pengaruh, serta memiliki kemampuan finansial. ASN strategis digunakan sebagai basis massa dan mobilisasi massa untuk mendukung atau memilih salah satu peserta pemilihan.

Pembatasan hak politik bagi pegawai ASN masih dapat ditolerir sepanjang menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain, dan memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis. Atas dasar itu, maka pemaknaan terhadap netralitas adalah membatasi kewenangan dari ASN untuk tidak memihak dalam kegiatan politik praktis.[4]

Pegawai ASN dalam kontestasi politik sangat potensial untuk dimobilisasi terutama untuk kepentingan petahana. Hal ini berangkat dari struktur pemerintahan bahwa kekuasaan eksekutif tertinggi (Pusat dan Daerah) lahir dari proses kontestasi politik, yang membawahi birokrasi dan pegawai ASN. Mengantisipasi potensi mobilisasi ASN untuk kepentingan politik praktis, pembentuk undang-undang membuat pengaturan tentang pembatasan akivitas ASN yang disebut dengan asas netralitas. Pengaturan itu dimaksudkan untuk memperoleh kepastian, kegunaan dan keadilan hukum guna membatasi kekuasaan terhadap kemungkinan penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power).

Permasalahan netralitas pegawai ASN berangkat dari dilema birokrasi dengan regulasi yang mengikat. Pegawai ASN diperhadapkan pada kondisi dilema, secara emosional struktur organisasi harus loyal dengan melakukan tindakan nyata mendukung berjalan proses pemerintahan. Ketika bertindak pragmatis terlibat dalam dukung-mendukung calon yang berkontestasi, dari sisi petahana akan dianggap loyal dan dapat diimingi dengan jabatan ketika calon yang didukung terpilih. Namun saat calon yang didukung ternyata kalah, maka teror dan demosi akan mengancam karier pegawasi ASN tersebut.

Saat selesai tahapan pemilihan dan pelantikan kepala daerah terpilih lebih nyata lagi, terutama dalam pengelolaan manajemen kepegawaian daerah yang tidak dilaksanakan sesuai norma standar dan prosedur, dalam bentuk:

  • penerimaan pegawai, terutama honorer untuk menampung tim sukses/pendukung yang sudah berkontribusi atas pemenangannya;
  • pola karir menjadi tidak jelas, karena munculnya kesewenang-wenangan dalam menempatkan orang dalam jabatan terutama untuk menampung tim sukses/pedukung, atau mutasi pejabat yang tidak mendukung (non job);
  • kinerja birokrasi pemerintahan tidak bertambah baik, karena jabatan dan pegawai diisi oleh orang yang tidak kompeten.

Selain faktor pragmatis pegawai ASN untuk mendapatkan promosi jabatan atau mempertahankan kedudukan jabatan yang telah diraih, faktor yang turut berpengaruh terhadap netralitas pegawasi ASN juga disebabkan oleh faktor eksternal atau dorongan dari luar struktural birokrasi. Pertama, Intervensi elit politik. Berkaitan dengan jabatan dalam lingkungan birokrasi semakin kental dengan aspek politis terutama saat memilih kepala daerah melalui mekanisme pemilihan langsung. Proses pemilihan rentan menjadikan birokrasi sebagai kekuatan politik untuk mendapatkan dukungan, karena jabatan karir di daerah sangat ditentukan oleh pejabat di atasnya yaitu kepala daerah. Pejabat dan pegawai ASN kadang terjebak dalam kegiatan politik praktis, walaupun dengan maksud kinerja profesional dan loyalitas kepada atasan. Tetapi tidak jarang mereka larut dalam kontestasi politik, secara sembunyi-sembunyi mendukung salah satu peserta pemilihan dengan harapan dan motivasi personal bersifat pragmatis.

Kedua, Birokrasi sebagai mesin partai politik. Birokrasi tidak dapat menghindar dari tekanan yang kuat dari kelompok kepentingan yaitu partai politik. Birokrasi secara sadar menjadi mesin politik serta sebagai bagian yang terlibat dalam koalisi politik dalam lingkungan pejabat struktural birokrasi. Beberapa bentuk keterlibatan partai politik seperti adanya intervensi terhadap kebijakan dengan membuat kebijakan menguntungkan pihak pasangan tertentu terutama petahana, selain itu pemanfaatan fasilitas negara/daerah untuk mobilisasi dukungan.

Ketiga, Intimidasi. Pegawai ASN menghadapi posisi dilema dan serba-salah, mereka sering dianggap memihak salah satu perserta pemilihan atau dianggap tidak loyal oleh petahana.  Bersikap netral dengan semata-mata profesional dalam bekerja, maka pegawai tersebut dianggap tidak loyal terutama oleh petahana. Tidak jarang mereka pegawai ASN menghadapi intervensi kekuatan politik agar ikut bergabung dalam pusaran politik praktis dan melakukan kegiatan-kegiatan menguntungkan salah satu peserta pemilihan.

Oleh karena itu, fungsi pengawasan dan pengendalian pelaksanaan pengelolaan manajamen kepegawaian oleh Komisi Aparatur Sipil Negara dan Badan Kepegawaian Negara, khususnya terkait dengan pengangkatan dalam jabatan, promosi dan mutasi perlu diperkuat. Dengan sistem yang memuat tindakan dan kebijakan yang menjamin syarat dan profesionalitas menduduki jabatan di Pemerintahan tetap dilakukan secara proporsional, dan tidak diintervensi oleh kepentingan pragmatis politis sebagai imbas kontestasi pemilihan yang bersifat balas budi.

Larangan dan Sanksi

Larangan-larangan dalam pelaksanaan kontestasi demokrasi hakikatnya mengatur proses dan hasil agar terwujud pemilihan berintegritas dan berkualitas, dengan menghindari tindakan-tindakan merugikan dalam kontestasi, serta sebagai inisiasi lahir pemimpin pilihan rakyat pemilik kedaulatan. Dari berbagai ketentuan hukum yang mengatur tentang netralitas, ditemukan beberapa larangan menjamin netralitas pegawai ASN agar tidak terlibat kegiatan politik praktis, dukung-mendukung peserta pemilihan. Agar mereka dapat fokus pada fungsi pelayan publik yang adil untuk menciptakan kondisi yang memungkinkan setiap anggota masyarakat mengembangkan kemampuan dan kreativitas mencapai tujuan bersama.

Pertama, larangan menggunakan fasilitas jabatan untuk keperluan kampanye. Pegawai ASN menjalankan fungsi dibekali dan diberi fasilitas penunjang oleh negara, dengan tujuan menjamin kelancaran kerja-kerja pelayanan publik. Fasilitas jabatan yang melekat dilarang digunakan untuk kepentingan kampanye peserta pemilihan. Fasilitas dapat berupa sarana mobilitas, seperti kendaraan dinas, gedung kantor, rumah dinas, dan fasilitas lainnya yang dibiayai oleh APBN atau APBD.

Kedua, larangan membuat keputusan dan/atau membuat tindakan yang mengarah keberpihakan pada peserta pemilihan. Birokrasi pegawai dapat saja memiliki kecenderungan kepada salah satu peserta pemilihan, apalagi melibatkan calon petahana, mereka dilarang membuat keputusan atau tindakan yang mengindikasi menguntungkan atau merugikan salah satu peserta pemilihan. Larangan ini menekankan agar dalam pelaksanaan kontestasi politik, semua peserta pemilihan memiliki posisi dan kesempatan yang sama, dengan tidak memanfaatkan potensi yang dimiliki oleh negara/daerah untuk kepentingan politik praktis kelompok tertentu.

Ketiga, larangan melakukan kegiatan yang mengarah kepada keberpihakan terhadap peserta pemilihan sebelum, selama, dan sesudah masa kampanye. Waktu kampanye dalam tahapan pemilihan telah ditetapkan masa waktu, sehingga pegawai ASN selama proses kontestasi politik berlangsung tidak diperkenankan melakukan kegiatan bernuansa keberpihakan kepada salah satu pihak peserta pemilihan. Larangan itu meliputi pertemuan, ajakan, himbauan, seruan atau pemberian barang kepada ASN di lingkungan unit kerjanya, anggota keluarga, dan masyarakat.

Secara yuridis larangan-larangan bagi pegawai ASN melakukan perbuatan mengarah pada keberpihakan salah satu calon atau perbuatan mengindikasikan terlibat dalam politik praktis/berafiliasi dengan partai politik ditemukan dalam beberapa peraturan perundang-undangan, baik yang mengatur soal Pemilu maupun Pemilihan termasuk turunan peraturan pelaksana. Larangan-larangan tersebut menjadi satu kesatuan agar pegawai ASN menegakkan prinsip netralitas dalam memberikan pelayanan publik secara adil tanpa diskriminasi dan tersekat oleh kepentingan politik praktis.

Larangan misalnya, ditemukan dalam ketentuan Pasal 4 angka 14 dan angka 15 Peraturan Pemerintah Nomor 53 Tahun 2010 Tentang Disiplin Pegawai Negeri Sipil, yang menyebutkan setiap PNS dilarang:

memberikan dukungan kepada calon anggota Dewan Perwakilan Daerah atau calon Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah dengan cara memberikan surat dukungan disertai foto kopi Kartu Tanda Penduduk atau Surat Keterangan Tanda Penduduk sesuai peraturan perundangundangan; dan

memberikan dukungan kepada calon Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah, dengan cara:

  • terlibat dalam kegiatan kampanye untuk mendukung calon Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah;
  • menggunakan fasilitas yang terkait dengan jabatan dalam kegiatan kampanye;
  • membuat keputusan dan/atau tindakan yang menguntungkan atau merugikan salah satu pasangan calon selama masa kampanye; dan/atau
  • mengadakan kegiatan yang mengarah kepada keberpihakan terhadap pasangan calon yang menjadi peserta pemilu sebelum, selama, dan sesudah masa kampanye meliputi pertemuan, ajakan, himbauan, seruan, atau pemberian barang kepada PNS dalam lingkungan unit kerjanya, anggota keluarga, dan masyarakat.

Selanjutnya, lewat kebijakan kementerian/lembaga mengeluarkan surat yang menitikberatkan pada netralitas pegawai ASN dalam kontestasi demokrasi. Berikut contoh-contoh larangan bersifat teknis yang dimuat dalam surat Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi tanggal 27 Desember 2017 sebagai tindak lanjut atas PP Nomor 42 Tahun 2004 tentang Pembinaan Jiwa Korps dan Kode Etik PNS, sebagai berikut :

  • PNS dilarang melakukan pendekatan terhadap partai politik terkait rencana pengusulan dirinya atau orang lain sebagai bakal calon Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah;
  • PNS dilarang memasang spanduk/baliho yang mempromosikan dirinya atau orang lain sebagai bakal calon Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah;
  • PNS dilarang mendeklarasikan dirinya sebagai bakal calon Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah;
  • PNS dilarang menghadiri deklarasi bakal calon Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah dengan atau tanpa menggunakan atribut bakal pasangan calon/atribut partai politik;
  • PNS dilarang mengunggah, menanggapi atau menyebarluaskan gambar/foto bakal calon/bakal pasangan calon Kepala Daerah melalui media onlinemaupun media sosial;
  • PNS dilarang melakukan foto bersama dengan bakal calon Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah dengan mengikuti simbol tangan/gerakan yang digunakan sebagai bentuk keberpihakan;
  • PNS dilarang menjadi pembicara/narasumber pada kegiatan pertemuan partai politik.

Selain pembatasan aturan internal yang ditekankan oleh kementerian/lembaga yang menjadi leading sector masing-masing sebagai tindaklanjut peraturan perundang-undangan, UU Pemilu dan UU Pemilihan juga menekankan akan netralitas ASN selama proses kontestasi politik berlangsung, bahkan sebelum dan setelah kontestasi. Seperangkat larangan-larangan di atas menjadi norma dan ketentuan yang wajib ditaati oleh pegawai ASN (PNS maupun P3K) agar pelaksanaan pelayanan publik yang mereka berikan tidak diskriminatif dan terpengaruh dengan golongan dan haluan politik yang senantiasa membayangi. Namun jika melanggar dan terbukti melakukan pelanggaran, maka oknum pegawai bersangkutan harus menerima konsekwensi  menerima sanksi hukuman sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku.[5]

Konsekwensi atas pelanggaran larangan ini, pelaku dapat dijatuhi dengan sanksi pidana pemilihan, sanksi moral dan sanksi disiplin. Dalam praktek, bisa saja sanksi pidana tidak dapat dijatuhkan dengan alasan tidak terpenuhi unsur pasal yang disangkakan, tetapi dari sisi sanksi moral dan sanksi disiplin dapat dijatuhkan dengan mengacu pada peraturan perundang-undangan.

* * * *

Ketentuan hukum menjamin netralitas ASN diarahkan terpelihara tata tertib dalam kelancaran pelaksanaan tugas, dari itu PNS wajib mematuhi kode etik dan disiplin sebagai PNS. Dari itu PNS wajib bersikap dan berpedoman pada etika dalam bernegara, penyelenggaraan pemerintahan, berorganisasi, bermasyarakat, dan terhadap diri sendiri serta sesama pegawai. Pelanggaran atas kewajiban menegakkan kode etik pegawai dapat dikenai sanksi moral dan/atau sanksi disiplin.

Pegawai ASN yang melanggar netralitas dapat dikenai sanksi moral, sebagaimana disebutkan dalam Pasal 15 Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2010 Tentang Pembinaan Jiwa Korps dan Kode Etik PNS, menyebutkan PNS yang melakukan pelanggaran Kode Etik dikenakan sanksi moral, yang dibuat secara tertulis dan dinyatakan oleh Pejabat Pembina Kepegawaian. Sanksi moral berupa : a. pernyataan secara tertutup; atau b. pernyataan secara terbuka. Dalam pemberian sanksi moral dimaksud harus disebutkan jenis pelanggaran kode etik yang dilakukan oleh PNS.

Selain sanksi moral, PNS yang melakukan pelanggaran disiplin dapat dijatuhi hukuman disiplin. Ketentuan mengenai sanksi disiplin diatur dalam Peraturan Pemerintah.[6] Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 53 tahun 2010 tentang Peraturan Disiplin PNS, telah diatur dengan jelas kewajiban yang harus ditaati dan larangan yang tidak boleh dilanggar oleh PNS. Juga diatur tata cara pemeriksaan, tata cara penjatuhan dan penyampaian hukuman disiplin, serta tata cara pengajuan keberatan apabila PNS yang dijatuhkan hukuman disiplin merasa keberatan atas hukuman disipilin yang dijatuhkan.

Tingkat hukuman disiplin sebagaimana disebutkan dalam Pasal 7 Peraturan Pemerintah Nomor 53 tahun 2010, terdiri dari:

  • hukuman disiplin ringan. Terdiri dari : a. teguran lisan, b. teguran tertulis, dan c. pernyataan tidak puas secara tertulis.
  • hukuman disiplin sedang. Terdiri dari : a. penundaan kenaikan gaji berkala selama 1 (satu) tahun; b. penundaan kenaikan pangkat selama 1 (satu) tahun; dan c. penurunan pangkat setingkat lebih rendah selama 1 (satu) tahun.
  • hukuman disiplin berat. Terdiri dari : a. penurunan pangkat setingkat lebih rendah selama 3 (tiga) tahun; b. pemindahan dalam rangka penurunan jabatan setingkat lebih rendah; c. pembebasan dari jabatan; d. pemberhentian dengan hormat tidak atas permintaan sendiri sebagai PNS; dan e. pemberhentian tidak dengan hormat sebagai PNS.

Secara umum sanksi menurut Dedi Mulyadi merupakan alat pemaksa yang bersifat publik sebagai reaksi terhadap ketidakpatuhan pada norma hukum. Sanksi-sanksi merupakan bagian penutup yang penting dalam hukum, dan tiap aturan hukum selalu ada sanksi pada akhir aturan hukum tersebut. Pembebanan sanksi tidak hanya terdapat dalam bentuk undang-undang, tetapi bisa dalam bentuk peraturan lain, seperti keputusan menteri ataupun bentuk lain di bawah undang-undang.[7]

Sanksi selalu ada pada ketentuan-ketentuan hukum yang dikualifikasikan sebagai aturan hukum yang memaksa. Sanksi menjadi akibat atas perbuatan yang melanggar ketentuan hukum. Hal ini sesuai dengan fungsi sanksi menegakkan hukum terhadap ketentuan yang berisi larangan atau kewajiban, serta memberikan penyadaran kepada pihak pelanggar. Dengan menempatkan sanksi memberi efek jera dan pemberi peringatan kepada pihak yang ingin mencoba melanggar.

Pengawasan

Pengawasan dalam perpektif hukum administrasi, dikemukakan J.B.J.M ten Berge bahwa pengawasan merupakan bagian penting dalam penegakan hukum administrasi (administrative rechtshandhaving) yang merupakan penegakan hukum preventif untuk mencegah terjadinya pelanggaran norma hukum administrasi[8]. Sementara dalam perpektif hukum tata negara, pengawasan merupakan bagian dari mekanisme check and balance antar lembaga negara, yang menurut Abdul Rasyid Thalib, pembatasan kekuasaan setelah kekuasaan dipisah-pisahkan, satu kekuasaan pemerintahan harus dianggap sebagai batas kekuasaan lain, hal ini untuk mencegah kesewenang-wenangan penguasa akibat menumpuk tiga kekuasaan dalam satu tangan.[9]

Sejatinya pelaksanaan pengawasan dilakukan dengan terbuka, ada keterpaduan atau kebersamaan dalam koordinasi, pelaku pengawasan sendiri harus bersih, ada kemampuan teknis dan keberanian moral dan serta dilakukan dengan konsisten menegakkan aturan hukum. Melalui pengawasan diketahui lebih awal potensi pelanggaran sehingga dapat dihindarkan akibat yang lebih fatal. Sebelum timbul dampak lebih besar dari pelanggaran, dapat segera dihentikan melalui mekanisme pengawasan. Pengawasan dilakukan untuk menjaga pelaksanaan kegiatan sesuai rencana yang ditetapkan dalam rangka pencapaian tujuan. Melalui pengawasan dilakukan penilaian untuk memastikan apakah pelaksanaan telah sesuai dengan rencana, kebijakan dan ketentuan yang berlaku.

Pengawasan netralitas ASN merupakan salah satu tindakan penegakan disiplin ASN terhadap norma dan standar yang diselenggarakan oleh instansi berwenang (misalnya BKN dan Komisi ASN), sebagai tindakan preventif dan upaya meminimalkan pelanggaran atas disiplin, baik yang bekerja dalam lingkup Instansi Pusat maupun Daerah. Pengawasan ASN meliputi penegakkan disiplin ASN, pemberhentian ASN yang menjadi anggota dan pengurus partai politik, serta penanganan ASN yang terlibat tindak pidana korupsi. Adanya tindakan pengawasan diharapkan dapat memberikan pencegahan pelanggaran dan dapat mendorong terwujud netralitas dari pengaruh golongan dan/atau partai politik yang tidak diskriminatif dalam memberikan pelayanan publik.[10]

Mewujudkan netralitas ASN melalui profesionalitas dan kinerja tinggi, sangat dibutuhkan strategi pengawasan yang dimaknai sebagai langkah pencegahan pelanggaran. Strategi pengawasan mencakup desain pendekatan melakukan pengawasan netralitas ASN. Pertama, pemetaan risiko ketidaknetralan ASN. Sepanjang pelaksanaan kontestasi pemilu maupun pemilihan, salah satu target dari peserta berkontestasi adalah hak memilih dari pegawai ASN. Mereka ASN harus netral dalam penyelenggaraan kontestasi, tetapi memiliki hak memilih untuk menyalurkan hak suara di TPS saat pemungutan suara. Pegawai ASN menjadi kelompok pemilik hak suara yang dilirik peserta kontestan, ini bisa disebabkan ASN merupakan kalangan terdidik dan mampu memberikan pencerahan rasionalisasi di masyarakat, minimal di kalangan keluarga sendiri. Selain itu, pegawai ASN dianggap memiliki jaringan dan pengaruh sampai ke tingkatan bawah masyarakat, dan sangat potensial dimobilisasi untuk kepentingan politik praktis.

Pegawai ASN memiliki hak memilih saat pemungutan suara dengan berbagai potensi yang dimiliki, penting dipetakan sebagai kelompok potensial dimobilisasi apalagi saat ada calon petahana yang ikut sebagai peserta pemilihan. Pemetaan ditujukan untuk mengetahui faktual potensi dan segala kemungkinan pegawai ASN dimobilisasi dalam kegiatan politik praktis, menyangkut penggunaan keputusan atau tindakan yang menguntungkan salah satu peserta pemilihan, atau penggunaan fasilitas pemerintah daerah dalam kegiatan kampanye.

Kedua, koordinasi dan kerjasama dengan lembaga mitra. Setelah ada pemetaan potensi kerawanan netralitas pegawai dan birokrasi ASN dalam kegiatan politik praktis, maka diikuti dengan langkah pengawasan dalam bentuk kegiatan pencegahan potensi pelanggaran. Inisiasi kegiatan berbentuk kerjasama dengan lembaga mitra. Kerjasama dimaksud dilakukan dengan bentuk:

  • Membangun MOU dengan lembaga terkait. Lembaga/instansi yang memiliki perhatian dan kewenangan dengan pengawasan netralitas ASN untuk membangun kesepahaman dengan lembaga mitra yang memiliki misi sama.
  • Membuat program bersama dalam upaya pencegahan netralitas ASN. Tindak lanjut dari kesepahaman bersama adalah membuat kegiatan-kegiatan bersama dengan sasaran pegawai ASN menjaga netralitas dalam penyelenggaraan kontestasi demokrasi.
  • Membuat sinkronisasi kerja teknis antara masing-masing lembaga. Bahwa pencegahan dan penindakan pelanggaran netralitas sejatinya melibatkan peran serta banyak pihak, dari itu kelembagaan berwenang melakukan pengawasan terhadap netralitas pegawasi ASN sangat penting membangun mekanisme kerja teknis pelaksanaan tugas dan wewenangnya. Misalnya ketika ada laporan atau temuan pelangggaran netralitas pegawai ASN yang ditangani pihak Bawaslu, lalu diteruskan ke Komisi ASN. Komisi ASN lantas menerima dan menindaklanjuti sesuai standar kerja kelembagaan, dengan sistem kontrol publik untuk mengetahui kemajuan tindaklanjut penanganan.
  • Mendorong penguatan kelembagaan dan efektifitas kerja Satgas Penegakan Integritas yang dibentuk Menteri PAN dan RB dan Menteri Dalam Negeri dalam rangka menghadapi setiap kontestasi politik pemilu maupun pemilihan yang rutin dilaksanakan.

Ketiga, membangun zona netralitas ASN. Membudayakan semangat netralitas dan profesionalitas ASN dalam bekerja, penting selalu dikampanyekan. Pesan-pesan moral dan etika akan kesejatian netralitas dan profesionalitas pelayanan publik tanpa terpengaruh oleh kepentingan politik praktis penting dikampanyekan terus-menerus agar membekas dan menjadi budaya kerja. Walaupun harapan ini akan menghadapi tantangan pragmatis dan kerasnya arus mobilisasi pemilih kepada calon tertentu. Paling tidak ada upaya menjaga netralitas dalam zona tertentu, misalnya di wilayah kerja-kantor tidak diperkenankan melakukan kampanye dalam bentuk langsung maupun tidak langsung. Bentuknya dapat diikuti dengan kegiatan-kegiatan menjamin netralitas pegawai dan birokrasi ASN dalam pelaksanaan kontestasi pemilihan di wilayah zona integritas tempat bekerja.

Keempat, menyediakan akses informasi. Akses informasi terdiri dari sarana dan fasilitas penunjang guna memudahkan masyarakat dalam mengakses informasi pengawasan, menyampaikan aduan, dan/atau laporan pelanggaran pada tahapan pemilihan kepala daerah. Dalam sajian informasi yang tersaji secara online maupun penyampaian informasi awal atau laporan dengan dukungan fasilitas online yang diakses melalui fasilitas website, diharap akan mempengaruhi tingkat kepercayaan publik untuk ikut bersama dalam pencegahan pelanggaran. Oleh karena itu, tindaklanjut atas permohonan informasi atau tindaklanjut informasi awal atau laporan pelanggaran pemilihan sangat penting yakni dilakukan secara profesional dan berintegritas.

Penanganan Pelanggaran

Pengawasan dan penanganan pelanggaran atas netralitas pegawai ASN di Indonesia dalam kontestasi pemilu maupun pemilihan ternyata telah melibatkan banyak instansi dan sudah berlangsung cukup lama. Penanganan bukan hanya menjadi kewenangan komisi ASN dan Pengawas Pemilu semata, juga ada kewenangan instansi lain yang turut berperan pengawasan dan penanganan pelanggaran atas netralitas pegawai ASN ini. Sebut ada kewenangan dari Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi, Badan Kepegawaian Negara, Kementerian Dalam Negeri, dan Ombudsman Republik Indonesia.

Masing-masing instansi memiliki kewenangan yang bersentuhan dengan grand pencegahan dan penanganan pelanggaran netralitas ASN. Pada aspek pencegahan, ini tentu positif dengan keterlibatan banyak pihak, semakin banyak pihak terlibat pesan-pesan netralitas dapat tersebar secara masif. Namun pada sisi lain, banyaknya lembaga terlibat dalam penindakan akan berpotensi tidak efektif dan efesien proses penindakan pelanggaran. Kerja suatu instansi akan tergantung dengan koordinasi dan hasil kerja instansi lain.

Selanjutnya bagaimana sumber daya potensial ini berkolaborasi sesuai dengan kewenangan kelembagaan memastikan netralitas ASN dalam kontestasi demokrasi dapat terjaga, berupa hasil kerja instansi lain ditindaklanjuti oleh instansi lain juga. Misalnya, kajian dugaan pelanggaran pengawas pemilu ditindaklanjuti oleh Komisi ASN atau BKN atau instansi yang memiliki kewenangan dalam penindakan netralitas.

****

Kewenangan pengawas pemilu dalam melakukan penindakan pelanggaran atas netralitas pegawai ASN, perlu diuraikan sebagai bahan dalam pengawasan dan penindakan pelanggaran, khusus dalam pelaksanaan pemilihan kepala daerah. Agar tidak muncul keragu-raguan dalam menindaklanjuti setiap laporan atau temuan. Dengan mengacu UU 10/2016 (UU Pemilihan) dan Peraturan Bawaslu Nomor 14 tahun 2017 tentang Penanganan Laporan Pelanggaran Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota, proses penanganan pelanggaran dilakukan saat tahapan penyelenggaran Pemilihan telah dimulai sebagaimana disebutkan dalam Peraturan KPU Nomor 16 Tahun 2019 Tentang Tahapan, Program, dan Jadwal Penyelenggaraan Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Tahun 2020.

Selanjutnya berdasarkan laporan atau temuan dugaan pelanggaran pemilihan, pengawas pemilu sesuai kewenangan melakukan tindaklanjut melaui serangkaian proses penanganan pelanggaran berdasarkan peraturan teknis Bawaslu. Pada intinya, proses dilakukan untuk mengumpulkan sejumlah data, bukti, dan bahan atas dugaan pelanggaran netralitas pegawai ASN untuk diteruskan kepada instansi berwenang serta pengawasan tindaklanjut rekomendasi.

Sesuai Peraturan Bawaslu Nomor 6 Tahun 2018 tentang Pengawasan Netralitas Pegawai ASN, Anggota TNI, dan Anggota Polri, ditemukan beberapa ketentuan pasal sebagai dasar hukum dan rujukan pelaksanaan kewenangan penanganan pelanggaran saat tahapan pemilihan sudah dimulai. Perbawaslu ini tidak hanya berlaku dalam penyelenggaraan pemilu, tetapi juga menjadi rujukan pengawasan dan penanganan netralitas ASN di tahapan pemilihan kepala daerah.[11] Jadi jelas Perbawaslu ini menjadi dasar hukum bagi pengawas pemilu dalam pengawasan netralitas ASN di hajatan pemilihan kepala daerah.

Selanjutnya dalam ketentuan Pasal 3 dan Pasal 7 Perbawaslu 6/2018 disebutkan bahwa, netralitas ASN dapat menjadi objek pengawasan Bawaslu dalam hal tindakan ASN berpotensi melanggar peraturan perundang-undangan. Jika tahapan pemilihan sudah dimulai, maka pengawas pemilu sudah memiliki wewenang untuk melakukan pencegahan dan penindakan pelanggaran. Penindakan pelanggaran terhadap dugaan pelanggaran netralitas ASN pada setiap penyelenggaraan pemilihan dilakukan menurut mekanisme Peraturan Bawaslu Nomor 14 tahun 2017 tentang Penanganan Laporan Pelanggaran Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota.

Terhadap hasil kajian pelanggaran netralitas pegawai ASN, pengawas pemilu meneruskan kepada instansi yang berwenang untuk ditindaklanjuti. Namun, tidak semua kajian pelanggaran atas netralitas ASN diteruskan kepada Komisi Aparatur Negara (KASN) di Jakarta, tetapi ada juga kajian pelanggaran diteruskan ke Komisi Penegak Etik Pemerintah Daerah, untuk ditindaklanjuti sesuai dengan kebijakan internal dan peraturan perundang-undangan Terutama ASN yang berkategori P3K yang ditetapkan pengangkatan kepegawaian oleh Pejabat Pembina Kepegawaian, penyelesaian pelanggaran netralitas cukup di daerah saja.

Sering ditanyakan, apakah Pengawas Pemilu memberi sanksi atas pelanggaran netralitas ASN? Pengawas Pemilu tidak memberi sanksi atau rekomendasi sanksi, Pengawas Pemilu cukup memberikan “rekomendasi pelanggaran hukum lainnya” kepada KASN atau Komisi Penegak Etik Pemerintah Daerah dengan melampirkan kajian pelanggaran dan bukti terkait atas pelanggaran netralitas ASN. Selanjutnya instansi yang dituju sesuai kewenangan melakukan serangkaian tindakan yang akhirnya dapat memberikan rekomendasi sanksi moral atau sanksi disiplin yang ditujukan kepada Pejabat Pembina Kepegawaian (Kepala Daerah) setempat.

Penutup

Masalah pelanggaran netralitas pegawai ASN bukan hal baru lagi, sudah berulang kali pelaksanaan kontestasi politik baik pemilu maupun pemilihan dilakukan, ditambah lagi dengan keterlibatan banyak instansi dalam pengawasan dan penindakan pelanggaran, tetapi fakta pelanggaran netralitas pegawai tetap saja terjadi. Sudah banyak pegawai ASN ditindak dan menerima sanksi hukuman moral maupun disiplin, tetapi tidak menimbulkan efek jera dan memberi peringatan efektif kepada pegawai lainnya.

Penindakan netralitas pegawai ASN akan efektif apabila ada perbaikan sistem pegawasan yang diikuti dengan mendorong deregulasi materi muatan, berupa Pejabat Pembina Kepegawaian (PPK) tidak lagi dipegang oleh pejabat politik (kepala daerah). Langkah lain, berupa penerapan sistem merit dalam manajemen ASN untuk mengurangi peluang pengangkatan dalam jabatan berdasarkan patronase politik dan politik balas budi, serta pemberian sanksi yang lebih berat kepada pegawai ASN yang melanggar netralitas.

Catatan Kaki:

[1] S.F. Marbun dan M. Mahfud MD, 1998, Pokok-Pokok Hukum Administrasi Negara, Yogyakarta, Liberty, hlm. 69.
[2] Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa, 2008, Kamus Bahasa Indonesia, Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, Jakarta, hlm 1073.
[3] Marbun dalam Komisi Aparatur Sipil Negara, 2018, Pengawasan Netralitas Aparatur Sipil Negara, Jakarta, hlm. 6.
[4] Tedi Sudrajat dan Agus Mulya Karsona, 2016, Menyoal Makna Netralitas Pegawai Negeri Sipil dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 Tentang Aparatur Sipil Negara, Jurnal Media Hukum, hlm. 93.
[5] Ruslan Husen, 2019, Dinamika Pengawasan Pemilu, Ellunar, Bandung, hlm. 292.
[6] Lihat Pasal 86 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014
[7] Dedi Mulyadi, 2013, Perbandingan Tindak Pidana Pemilu Legislatif dalam Perspektif Hukum di Indonesia, Refika Aditama, Bandung, hlm.184-185.
[8] J.B.J.M ten Berge dalam Philipus M Hadjon, 2006, Penegakan Hukum Administrasi dalam Kaitannya dengan Ketentuan Pasal 20 Ayat (3) UU No.4 Tahun 1982 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup, Yuridika, Fakultas Hukum Universitas Airlangga, No.1 Tahun XI, Januari 1996, hal 6.
[9] Abdul Rasyid Thalib, 2006, Wewenang Mahkamah Konstitusi dan Implikasinya dalam Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia, Citra Aditya, Bandung, hlm 284.
[10] Ajib Rakhmawanto, 2019, Strategi Penegakan Netralitas ASN Dalam Birokrasi Pemerintahan, Jurnal Civil Apparatus Policy Brief, Nomor: 033-Juli 2019, Pusat Pengkajian dan Penelitian Kepegawaian, BKN Jakarta, hlm. 3
[11] Lihat Pasal 16 dan Pasal 1 angka 2 Perbawaslu Nomor 6 Tahun 2018.

File pdf dapat didowload di bawah ini:

ASN di Pusaran Kontestasi Pemilihan

Peningkatan Partisipasi Pemilih di Daerah Terdampak Bencana

295 Views

Peningkatan Partisipasi Pemilih di Daerah Terdampak Bencana
Oleh : Ruslan Husen, SH., MH.

( Ketua Bawaslu Provinsi Sulawesi Tengah periode tahun 2017-2022 )


Setelah gempa bumi yang terjadi di Lombok-NTB, publik kembali dikejutkan dengan kejadian gempa bumi, tsunami dan liquifaksi di Palu, Sigi, Donggala dan Parigi Moutong Provinsi Sulteng pada tanggal 28 September 2018 lalu. Lalu pada penghujung tahun 2018 kembali terjadi tsunami di wilayah Selat Sunda, disusul pada September 2019 kembali terjadi gempa bumi di Ambon-Maluku. Dampak bencana alam berupa korban jiwa terus berjatuhan, kehilangan keluarga dan harta benda. Solidaritas dan gerak cepat penanggulangan bencana para pihak terus mengalir, terutama dari Pemerintah, lembaga kemanusian, dan perusahaan dalam memberikan dukungan dan bantuan kepada korban bencana alam.

Dari rentetan kejadian bencana alam tersebut, telah mendorong rasa kesetia-kawanan sosial dan empati masyarakat secara luas, untuk turut-serta membantu meringankan derita korban bencana. Sekat-sekat struktur golongan tidak nampak, menjadikan rasa persaudaraan sesama umat manusia jelas terlihat. Banyak pihak dengan keinginan sendiri, memberikan bantuan tenaga dan materi untuk meringankan derita korban, terpatri dalam hati keperihan dan duka korban, yang berusaha diringankan. Itulah sekilas catatan bencana alam yang tidak terlupakan, terkhusus mereka yang menjadi korban dan relawan di wilayah bencana.

Walaupun suatu daerah mengalami bencana alam terutama pada daerah-daerah yang telah disebutkan di atas, pelaksanaan demokratisasi untuk memilih pemimpin melalui mekanisme pemilihan umum tahun 2019 tetap dilaksanakan sesuai jadwal yang telah ditetapkan KPU. Kejadian bencana alam dengan dampak yang menyertainya, melahirkan kebijakan tidak mengubah tahapan penyelenggaraan pemilu, demikian pula dengan pelaksanaan pemilihan kepala daerah mendatang, tetap dilaksanakan sesuai tahapan yang telah ditetapkan KPU.

Sehubungan dengan demokratisasi penyelenggaraan tahapan pemilihan kepala daerah, terdapat beberapa isu aktual di wilayah terdampak bencana alam yang perlu mendapatkan perhatian stakeholders terkait. Walaupun telah ada langkah penanganan setelah pelaksanaan Pemilu tahun 2019 lalu, tetap saja perlu dipikirkan langkah strategis terutama dalam rangka peningkatan partisipasi pemilih di daerah terdampak bencana. Pertama, konsolidasi jajaran penyelenggara pemilu (KPU dan Bawaslu). Kedua, perlindungan hak konstitusional pemilih. Ketiga, peningkatan partisipasi pemilih.

Konsolidasi Penyelenggara Pemilu

Pada daerah bencana alam misalnya di wilayah Palu, Sigi dan Donggala yang terdampak bencana tahun 2018 lalu, jajaran penyelenggara pemilu juga banyak yang menjadi korban, ada yang meninggal dunia atau hilang, ada yang luka berat, serta kerusakan/hilangnya sarana dan prasarana kantor. Bahwa secara langsung bencana alam juga berdampak pada kinerja penyelenggara pemilu, hingga perlu penanganan cepat dan tepat. Walaupun proses pemulihan kelembagaan akan memakan waktu guna menjalankan tugas dan kewenangan seperti sedia kala.

Atas jajaran penyelenggara pemilu yang meninggal dunia atau hilang, diatasi dengan menetapkan pengganti antar waktu (PAW) atau melakukan rekrutmen ulang jika tidak ada lagi PAW yang memenuhi syarat. Atau pelaksanaan tugas dan kewajiban dilaksanakan oleh jajaran penyelenggara pemilu di atasnya, misalnya Panwascam berhalangan tetap maka tugas dan kewajiban Panwascam dilaksanakan oleh Bawaslu Kabupaten setempat. Demikian pula dengan kesiapan sarana dan prasarana untuk pelaksanaan tugas dan kewenangan penyelenggara pemilu, bencana alam telah mengakibatkan rusak dan hilangnya fasilitas kantor. Bahkan ada beberapa kantor/sekretariat penyelenggara yang rata dengan tanah (hancur) akibat bencana alam, hingga tidak bisa digunakan lagi. Dokumen hilang, peralatan kantor tidak tersisa lagi. Atas kejadian seperti ini untuk segera dilaporkan secara berjenjang ke atas untuk segera memperoleh penanganan. Misalnya, kantor Panwascam rusak berat, dilaporkan ke Bawaslu Kabupaten untuk diteruskan hingga ke Bawaslu.

Sepanjang penanganan tanggap bencana, pimpinan tertinggi organisasi termasuk lembaga penyelenggara pemilu dalam hal ini KPU dan Bawaslu tentu memiliki respon penanganan krisis. Sebab bencana tidak mengubah tahapan, dan penyelenggaran pemilu tetap berjalan sesuai tahapan, hingga ada satu TPS yang terhalangi melaksanakan pemungutan suara tentu akan mempengaruhi penyelenggaraan pemilu secara nasional. Artinya hasil pemilu belum bisa ditetapkan dan diterima jika masih ada kendala pelaksanaan pemungutan suara pada TPS tertentu. Sehingga permasalahan berupa tidak berjalannya manajemen kantor di wilayah terkecil sekalipun akan segera ditangani, misalnya dengan menyiapkan sumber daya manusia, peralatan kerja pengganti, pengadaaan dokumen administrasi, dan mendirikan kantor sementara.

Perlindungan Hak Konstitusional Pemilih

Negara dalam menjalankan tugasnya harus melindungi hak asasi dari setiap warga negara. Produk hukum yang dibuat oleh negara dalam menjalankan tugasnya juga harus melindungi dan menjamin penegakannya. Dengan demikian, setiap warga negara Indonesia yang telah memenuhi syarat sebagai pemilih harus terfasilitasi dengan baik untuk menyalurkan hak pilihnya. Penyelenggara pemilu bersama Pemerintah harus memberikan jaminan perlindungan agar hak pilih warga negara itu dapat tersalurkan dengan adil tanpa diskriminasi.

Upaya ini terkait dengan perlindungan hak konstitusional pemilih sebagai bagian dari Hak Asasi Manusia (HAM), yakni hak yang mutlak dimiliki oleh setiap manusia semata-mata karena manusia makhluk yang bermartabat, sekalipun setiap orang terlahir dengan warna kulit, jenis kelamin, budaya, dan bahasa yang berbeda-beda. Hak ini tidak boleh dilanggar, dicabut, atau dikurangi. Hak ini adalah hak-hak yang diberikan langsung oleh Tuhan sebagai hak kodrati kepada setiap manusia.

Warga negara Indonesia yang telah memenuhi syarat dan tercatat sebagai Pemilih, memiliki hak konstitusional menyalurkan hak suaranya. Pemerintah dan penyelenggara pemilu harus memberikan dukungan dan perlindungan agar hak konstitusional pemilih tadi dapat tersalurkan dengan baik dan dilaksanakan tanpa diskriminatif. Termasuk pemilih yang menjadi korban bencana alam, yang mereka saat ini di relokasi dan menempati hunian-hunian sementara bantuan para pihak. Secara praktis tidak mudah menghilangkan trauma masyarakat yang menjadi korban bencana. Awalnya mereka memiliki keluarga, lantas kehilangan anggota keluarga. Awalnya mereka memiliki tempat tinggal yang nyaman, lantas menempati hunian-hunian sederhana. Awalnya mereka memiliki pekerjaan, lantas rusak tidak tersisa terlibas bencana.

Tetapi dengan pendekatan dan metode yang tepat, pemulihan psikologi dan semangat untuk bangkit perlu terus digelorakan dan diupayakan oleh semua pihak. Termasuk dalam hal ini, disela-sela pemulihan sosial agar dititipkan informasi pemilihan kepala daerah, bahwa akan ada penyelenggaraan pesta demokrasi setiap 5 (lima) tahun sekali. Dengan pendekatan dan metode yang tepat, disela-sela aktifitas pemulihan dan semangat untuk bangkit, akan muncul kesadaran untuk bersama-sama menyukseskan dan berpartisipasi dalam pelaksanaan pesta demokrasi ini.

Perlu kesadaran dan semangat terus-menerus, bahwa suara pemilih sangat berharga dan menentukan tampuk kepemimpinan daerah mendatang. Tentu diharapkan lahir pemimpin berintegritas dan berlaku adil dalam memimpin, pemimpin yang berjuang untuk keadilan dan kesejahteraan masyarakat. Semua itu dapat tercapai dengan partisipasi masyarakat datang ke TPS untuk menyalurkan hak suaranya, memilih calon terbaik yang telah ditetapkan sebagai peserta pemilihan. Dengan diikuti kesadaran mendukung proses pemilihan yang jujur dan adil, mencegah segala bentuk pelanggaran, dan melaporkan kepada pihak berwenang untuk penindakan atas pelanggaran.

Peningkatan Partisipasi Pemilih

Esensi Pemilu di negara demokrasi adalah mendorong dan melindungi partisipasi seluruh lapisan masyarakat, dimulai dengan jaminan kebebasan dalam menggunakan hak pilih secara demokratis. Maka dari itu, Pemerintah dan penyelenggara pemilu baik KPU maupun Bawaslu harus pro-aktif mengidentifikasi dan memantau hambatan masyarakat untuk menggunakan hak pilihnya. Kompleksitas masalah yang dihadapi oleh masyarakat di wilayah terdampak bencana, terkhusus di lokasi hunian-hunian sementara/tetap, penyelenggara pemilu perlu merumuskan kebijakan untuk mengatasi masalah ini dalam jangka waktu yang tidak terlalu lama, khususnya memudahkan pemilih untuk menggunakan hak politiknya.

Bentuk kebijakan yang dapat diinisiasi untuk peningkatan partisipasi pemilih menggunakan hak memilihnya di TPS nanti dapat berupa, Pertama, Maksimalisasi pendataan guna akurasi DPT. Alur-proses penetapan Daftar Pemilih Tetap (DPT) telah berjalan panjang. Banyak tahapan dan sumber daya telah terlibat guna akurasi jumlah DPT, baik dari jajaran KPU, Bawaslu maupun dari peserta Pemilu (Partai Politik) termasuk keterlibatan masyarakat. KPU telah menetapkan Daftar Pemilih Sementara (DPS) menjadi DPT setelah melalui proses panjang. Kembali, atas masukan Bawaslu dan peserta pemilu, KPU lalu melakukan perbaikan atas DPT dan menetapkan DPT perbaikan. Demikian gambaran singkat dalam rangka proses akurasi DPT Pemilu tahun 2019 lalu. Sekarang DPT untuk pelaksanaan Pilkada juga harus akurat, melalui kebijakan perbaikan daftar pemilih secara berkelanjutan.

Jumlah DPT harus akurat, dengan alasan jaminan hak konstitusional warga negara dan profesionalitas penyelenggara pemilu. Warga negara yang memenuhi syarat sebagai pemilih, hendaknya terdaftar sebagai pemilih, yang merupakan jaminan pelaksanaan prinsip kesataraan dan keadilan. Demikian pula, akurasi daftar pemilih menjadi ukuran profesionalitas jajaran penyelenggara pemilu, yakni KPU memperbaiki DPT dan Bawaslu melakukan pengawasan atas akurasi dan penetapannya. Selain itu, DPT harus akurat karena berpengaruh terhadap ketersediaan logistik pemilu yang akan disiapkan KPU, seperti jumlah Tempat Pemungutan Suara (TPS), ketersediaan kotak dan bilik suara, hingga formulir dan surat suara yang harus dicetak. Jika jumlah DPT akurat, perencanaan kebutuhan logistik pemilu akan mencukupi dan tidak terjadi penggelembungan atau kekurangan logistik pemilu nantinya.

Dari aspek tahapan Pemilu, terutama di daerah yang mengalami bencana alam, banyak penduduk meninggal dunia-hilang, sarana dan prasarana pemerintahan rusak serta berbagai dampak bencana lainnya turut mempengaruhi pelaksanaan ivent rutinitas demokratisasi ini. Bencana alam telah menyebabkan banyak korban meninggal dunia dan mobilisasi perpindahan penduduk untuk menyelamatkan diri. Akurasi DPT yang dicitakan, sejatinya menghapus pemilih yang meninggal dunia, dan mengubah pemilih yang merupakan penduduk pindah domisili berupa menghapus di alamat awal, dan memunculkan di alamat yang baru.

Kedua, penempatan TPS di sekitar wilayah hunian. Pemerintah Daerah telah menetapkan kebijakan untuk masyarakat terdampak langsung bencana di relokasi ke wilayah-wilayah yang relatif aman. Tujuannya, untuk memudahkan kontrol, koordinasi dan penyaluran bantuan kemanusian. Penyelenggara pemilu dalam penempatan TPS di wilayah bencana tentu harus memperhatikan domisili sesuai identitas kependuduk masyarakat yang bermukim di hunian-hunian sementara/tetap itu. Artinya, sangat memungkinkan kebijakan khusus berdasarkan data yang akurat untuk diambil langkah penambahan TPS-TPS di wilayah relokasi pengungsi korban bencana, sesuai dengan daerah pemilihan. Sekali lagi, semua berawal dari ketersediaan data akurat. Masyarakat yang menempati wilayah-wilayah pengungsi (relokasi) harus dipastikan keberadaannya, terutama alamat asal dan data TPS sebelumnya.

Ketiga, maksimalisasi kegiatan sosialisasi urgensi Pilkada. Secara psikologis, masyarakat di wilayah bencana tidak mudah menghilangkan trauma dan ketakutan. Tetapi penyelenggaraan Pilkada juga tidak bisa menunggu sampai semua kembali normal, Pilkada tetap dilaksanakan sesuai tahapan. Sehingga stekeholders perlu mengambil peran strategis dalam sosialisasi kepada masyarakat di wilayah hunian-hunian sementara/tetap pengungsi.

Metode yang digunakan tidak serta merta radikal, langsung masuk menjelaskan urgensi ivent rutinitas demokratisasi ini. Perlu ada pendekatan emosional-kultural, yang dapat diterima oleh masyarakat pengungsi. Ketika sudah tersentuh kesadarannya, penyelenggara pemilu dan/atau Pemerintah sudah diterima dengan baik, selanjutnya pendataan dan sosialisasi urgensi Pilkada dapat dilakukan dengan berbagai macam pola-metode.

Upaya-upaya konkrit senantiasa perlu dilakukan oleh penyelenggara, sebab tidak ada jaminan hasil Pilkada tidak ada yang mempersoalkan, apalagi jika selisih perolehan suara tipis, maka cenderung akan di gugat di Mahkamah Konstitusi. Oleh karena itu, penyelenggara dan Pemerintah perlu terus mengagendakan program dan kegiatan yang dikhususkan melindungi hak konstitusional pemilih di wilayah bencana, yang dapat beriringan dengan upaya meningkatkan partisipasi pemilih sebagai ukuran proses keberhasilan Pilkada.

Kinerja dan Ganjaran Bawaslu Award

Bawaslu Award sebagai ajang tahunan penghargaan jajaran pengawas pemilu
309 Views

KINERJA DAN GANJARAN BAWASLU AWARD
Oleh : Ruslan Husen, SH., MH.


Kontestasi pemilu telah berakhir yang ditandai dengan penetapan calon yang memperoleh suara terbanyak oleh KPU dengan pengawasan melekat dari Bawaslu. Penetapan calon terpilih itu, lahir dari hasil kinerja banyak pihak, bukan hanya hasil kinerja penyelenggara pemilu saja, tetapi ada kontribusi pihak pemerintah, pemantau pemilu, organisasi masyarakat, akademisi/pemerhati pemilu, masyarakat, dan kontribusi dari peserta pemilu sendiri. Berbagai asa disematkan kepada pemimpin terpilih usai dilantik, untuk merealisasikan janji-janji politik yang disampaikan saat kampanye lalu. Masyarakat pemilih telah mempercayakan hak suaranya sebagai dasar legitimasi berjalanannya pemerintahan.

Pada sisi penyelenggara pemilu, khususnya Bawaslu secara kelembagaan diakhir tahapan pemilu, juga mempunyai tanggungjawab moral dalam menyusun laporan kinerja tentang pelaksanaan tugas, wewenang dan kewajibannya. Laporan dimaksud mengurai dinamika realitas pelaksanaan tugas dan kewenangan di lapangan, menggunakan sumber dan data akurat serta dinarasikan secara apik hingga layak dan menarik dibaca. Sejatinya laporan menggambarkan pelaksanaan pengawasan setiap tahapan, hingga menjelaskan capaian kinerja dan indikator evaluasi untuk perbaikan pemilu ke depannya.

 

Laporan Kinerja

Capaian kinerja dari pelaksanaan tugas, wewenang, dan kewajiban pengawas pemilu secara subjektif dapat dikatakan menjadi pendukung pencapaian proses pemilu berintegritas dan bermartabat. Capaian kinerja sejatinya disampaikan secara detail dan menarik dalam bentuk laporan kinerja yang memuat data dan informasi aktual. Agar publik memperoleh informasi dan pengetahuan sehubungan dengan proses pengawasan pemilu, penindakan pelangggaran dan penyelesaian sengketa proses pemilu.

Laporan kinerja menggambarkan hasil kerja kelembagaan yang secara faktual telah dilaksanakan dengan memuat data dan bahan yang diurai dalam narasi menarik. Parameter laporan mencakup kualitas data dan teknis penyajian, sehingga sifat laporan kinerja bukan pendapat-opini orang-per/orang apalagi angan-angan belaka. Laporan kinerja akan menjadi referensi para pihak terutama yang menaruh perhatian pada isu demokrasi, pemilu dan keadilan pemilu. Adanya laporan berkualitas yang tersaji menarik, akan memancing rasa ingin tahu pembaca untuk melakukan telaah lebih lanjut, menemukan pengetahuan dan informasi aktual, termasuk mengkritisi isi/substansi laporan.

Atas pemahaman seperti ini, akan terbangun inisiasi perbaikan dan peningkatan kualitas laporan, yang pada akhirnya turut berkontribusi pada peningkatan kinerja yang berintegritas dan profesional. Sekaligus menjadi bahan evaluasi untuk peningkatan produktivitas kinerja kelembagaan ke depannya. Secara internal, Bawaslu perlu melakukan refleksi dan evaluasi kinerja dari berbagai macam sisi dan aspek sehubungan dengan pelaksanaan tugas dan kewenangannya.

Banyak capaian gemilang telah dihasilkan, namun masih terdapat sisi dan aspek tertentu yang perlu perbaikan. Melalui identifikasi kekurangan dan kelemahan secara objektif. Hasilnya akan menjadi bahan utama untuk lahirnya kebijakan memaksimalkan pengawasan pelaksanaan Pemilu dan Pilkada di tahun-tahun mendatang. Apalagi telah ada pengalaman yang menjadi pelajaran berharga sebagai guru terbaik untuk menghindarkan dari kesalahan-kesalahan yang lalu, sekaligus sebagai dasar untuk terus berkembang, berbuat terbaik dan menghasilkan karya yang bermanfaat bagi sesama.

Bawaslu Award

Kinerja pengawas pemilu merupakan hasil yang dicapai melalui serangkaian kegiatan pengawasan dengan menggunakan sumber daya untuk mencapai sasaran yang telah ditetapkan. Pemberian penghargaan kinerja pengawas pemilu kepada jajaran struktur pengawas pemilu dipandang sebagai sebuah instrumen penting dalam rangka meningkatkan produktifitas kinerja pengawas pemilu. Adanya penghargaan diharapkan dapat meningkatkan kinerja untuk unggul dalam melakukan kerja pengawasan pemilu ke depannya, sekaligus meningkatkan kemampuan berkompetisi.

Sudah menjadi watak dasar manusia, akan senang disanjung dan dipuji apalagi menyangkut hasil karya dan buah pikiran hingga mendapat penghargaan yang diapresiasi banyak pihak. Kecuali penghargaan dari lembaga yang tidak jelas alias abal-abal, tentu kontra produktif. Demikian pula watak manusia pada hakikatnya tidak senang dikritik dan disalahkan oleh siapapun, apalagi tanpa melihat pengorbanan dan capaian kinerja secara utuh.

Intinya, ada hal misalnya inovasi yang dikerjakan hingga mendapat apresiasi publik dan layak diganjar dengan penghargaan, dan itu kinerja yang tidak mudah. Melalui penghargaan, hasil kinerja yang dihasilkan menggambarkan nilai dan manfaat yang besar bagi pencapaian tujuan organisasi. Dari pemahaman inilah, Pimpinan Bawaslu menganggap perlu memberikan penghargaan yang setimpal dari apa yang telah dihasilkan jajaran pengawas pemilu sekaligus memotivasi jajaran melalui kegiatan event “Bawaslu Award”.

Bawaslu Award merupakan ivent penghargaan kepada pemangku kepentingan dalam penyelenggaraan pemilu di bidang pengawasan, yang sudah berlangsung sejak tahun 2014 lalu. Hingga tahun 2019, ivent ini merupakan kali kelima untuk apresiasi prestasi para jajaran pengawas pemilu dan pihak-pihak eksternal seperti pemantau pemilu, pers, lembaga negara, dan masyarakat dalam menyukseskan pelaksanaan Pemilu serentak tahun 2019.

Setidaknya Bawaslu Award dilaksanakan dengan tujuan sebagai berikut. Pertama, mengukur kinerja. Jika mengukur suhu ada alat bernama termometer, mengukur popularitas seseorang diukur melalui metode survey. Demikian pula dengan Bawaslu Award digunakan untuk mengukur capaian kinerja jajaran pengawas pemilu, yang akan digunakan sebagai bahan refleksi tentang apa yang sudah dilakukan dan apa yang akan dilakukan ke depannya.

Kedua, evaluasi kinerja. Di organisasi yang sudah mapan, evaluasi menjadi rutinitas periodesasi kegiatan. Evaluasi dilakukan untuk mengetahui capaian sekaligus kelemahan, hambatan dan tantangan. Selanjutnya kelemahan, hambatan dan tantangan dijadikan sebagai dasar untuk melahirkan program kegiatan dalam mengatasinya. Bawaslu Award pada posisi ini juga dimaksudkan untuk menjadi bahan evaluasi pelaksanaan tugas dan kewenangan pengawasan pemilu tahun 2019, untuk perbaikan kinerja di event pemilu maupun pemilihan kepala daerah mendatang.

Ketiga, apresiasi kinerja. Selain mengukur capaian kinerja dan mendapatkan bahan evaluasi untuk perbaikan berkelanjutan, melalui pelaksanaan Bawaslu Award juga dimaksudkan menjadi ajang untuk memberikan apresiasi penghargaan kepada jajaran pengawas pemilu yang berprestasi, kelompok atau pihak eksternal yang telah membantu pelaksanaan tugas dan kewenangan Bawaslu sendiri. Apresiasi disampaikan secara terbuka untuk diketahui publik, ini dipandang sebagai jalan untuk memacu produktifitas kinerja struktur lembaga di masa-masa yang akan datang.

Selain tujuan internal dari pemberian penghargaan dalam memacu produktifitas kinerja, secara eksternal pemberian penghargaan dapat menjadi media kampanye menyampaikan gagasan dan ide lewat capaian organisasi. Bisa saja publik belum akrab dengan istilah-istilah pengawasan, tugas-tugas pengawasan dan struktur pelaksana tugas tersebut. Melalui kampanye penerimaan Bawaslu award pada gilirannya akan menimbulkan penerimaan, pengakuan, dan peningkatan kepercayaan publik baik pada organisasi maupun pada struktur pelaksana organisasi.

****

Setidaknya terdapat  indikator yang dapat dijadikan sebagai tolok ukur Bawaslu Award dalam menilai kinerja dalam pelaksanaan tugas dan wewenang pengawas pemilu tahun 2019. Penilaian ini sejatinya harus didasarkan pada pelaksanaan prinsip keadilan, yang dipahami mengenyampingkan tindakan diskriminasi. Tim penilai benar-benar harus berdiri profesional dan independen serta mengenyampingkan subjektifitas pragmatis, apalagi transaksional. Walaupun penetapan peraih penghargaan tetap ada ditangan Pimpinan Bawaslu.

Menurut Penulis dari masing-masing kategori yang akan diberikan penghargaan, aspek yang perlu menjadi indikator penilaian meliputi kualitas, kuantitas dan inovasi pelaksanaan tugas dan kewenangan. Atas indikator itu rasanya tidak cukup hanya memeriksa dan menilai tumpukan dokumen yang diberikan calon peraih nominator, tetapi meneliti dan memeriksa lebih seksama lagi terutama apa maksud dan apa inovasi sehingga menghasilkan kerja (dokumen) dimaksud. Jika perlu melengkapi kenyakinan tim penilai dengan penelusuran secara langsung dan mencari informasi dari sumber-sumber yang lain, misalnya dari masyarakat dan peserta pemilu yang telah menerima dan bersentuhan langsung dengan kinerja calon peraih nominaor.

Hasil penilaian tim penilai berupa rekomendasi diberikan kepada pimpinan Bawaslu untuk dibahas dan ditetapkan melalui rapat pleno. Selanjutnya pemberian penghargaan Bawaslu Award akan diberikan kepada internal pengawas pemilu sendiri, pihak eksternal (pemantau, pers, kementerian/lembaga), dan tokoh/individu yang pemikiran dan kiprahnya berkontribusi mendukung kinerja Bawaslu.

Sejatinya apresiasi atas prestasi kerja yang diraih sudah tentu akan meningkatkan kinerja dalam diri dan meningkatkan rasa percaya diri menghasilkan prestasi berikutnya. Sehingga akan muncul dorongan atau motivasi dalam diri melaksanakan tugas dan kewenangan pengawas pemilu dengan sebaik-baiknya, bersamaan dengan penghargaan yang diterima maupun penghargaan yang ingin diraih di masa mendatang.

Penutup

Penghargaan diakui berpengaruh positif terhadap kinerja dan produktifitas kinerja organisasi, sehingga banyak organisasi dan perusahan telah melakukan peringkatan atas kinerja jajarannya, hingga memberikan penghargaan kepada yang berprestasi dan memberikan sanksi dan pembinaan kepada jajaran yang dinilai lemah etos dan produktifitasnya. Berangkat dari pemahaman seperti itu, melahirkan sebuah optimisme bahwa penghargaan yang diterima jajaran pengawas pemilu sejatinya akan berdampak pada semakin meningkatnya kinerja pengawasan ke depannya. Baik dari pihak yang menerima penghargaan maupun pihak lain yang belum menerima penghargaan, untuk selanjutnya meningkatkan target kinerja dengan inovasi dan kreatifitas.

Selain tujuan ideal dari pelaksanaan ivent bergengsi ini, hal yang patut dipikirkan matang adalah penggunaan anggaran negara untuk melaksanakan ivent seperti Bawaslu Award. Jangan sampai, ada kesan penggunaan anggaran yang besar namun minim manfaat hingga terkesan pemborosan, dan menghambur-hamburkan uang negara. Alangkah elok jika didesain sebuah ivent bergengsi kaya manfaat dengan penggunaan anggaran negara yang minim.

Sumber Gambar Unggulan: https://bawaslu.go.id


 

Kader Pengawasan Partisipatif

289 Views

Kader Pengawasan Partisipatif

Oleh : Ruslan Husen, SH, MH.[1]


Proses dan hasil pemilihan kepala daerah (Pilkada) berintegritas dan bermartabat merupakan tujuan ideal dari pembentukan UU No10/2016 (UU Pemilihan), berupa adanya proses yang melibatkan stakeholders pemilihan dalam mencegah dan menindaklanjuti setiap pelanggaran secara jujur dan adil. Hingga lahir pemimpin pilihan rakyat (pemilih) untuk merealisasikan janji-janji politik yang disampaikan saat kampanye lalu. Dikatakan sebagai Pilkada berintegritas dan bermartabat jika pelaksanaan pemilihan memenuhi standar prinsip transparansi proses, prinsip akuntabilitas, dan akses publik menguji kebenaran proses dan hasil, serta prinsip partisipasi masyarakat. Prinsip-prinsip ini menjadi satu-kesatuan sistem yang berkolaborasi dalam pencapaian tujuan dari pelaksanaan Pilkada.

Kedudukan dari prinsip partisipasi masyarakat dalam negara yang menggunakan demokrasi sebagai sistem politiknya, adalah mutlak. Dikatakan demokratis jika secara langsung maupun tidak langsung masyarakat terlibat dalam pengambilan kebijakan politik termasuk mengawal pelaksanaan kebijakan tersebut. Dalam penyelenggaran Pilkada, bentuk partisipasi masyarakat dapat diidentifikasi lewat giat sebagai pemilih menggunakan hak memilihnya di tempat pemungutan suara, menyatakan sikap atau dukungan, mencegah terjadinya kecurangan, dan melaporkan kepada instansi berwenang saat mengetahui atau menemukan terjadinya kecurangan.

Partisipasi Masyarakat

Proses Pilkada berintegritas dan bermartabat telah menggiring pandangan akan adanya keterlibatan masyarakat secara partisipatif. Sehingga penyelenggaraan Pilkada dimaknai sebagai rutinitas politik yang bukan hanya menjadi tanggung jawab penyelenggara pemilu saja, tetapi juga menegaskan partisipasi masyarakat agar ambil bagian mewujudkan tujuan dan keadilan pemilihan. Pada posisi ini, masyarakat sebagai pemilih, bukan hanya sebagai pihak yang selalu diperebutkan suaranya menjelang hari pemungutan suara, tetapi masyarakat juga berperan dalam pelaksanaan penyelenggaraan sesuai porsi kedudukannya masing-masing. Misalnya melakukan pengawasan pemilihan, menyatakan sikap, menyampaikan himbauan, mencegah terjadinya pelanggaran, dan melaporkan jika terjadi pelanggaran kepada pihak berwenang.

Partisipasi masyarakat ini akan melintasi batas-batas struktur stakeholders Pilkada, artinya masyarakat mengawasi tahapan penyelenggaraan yang dilaksanakan oleh penyelenggara pemilu baik KPU maupun Bawaslu, mengawasi sepak-terjang kontestasi peserta pemilihan, mengawasi netralitas ASN dan aparat birokrasi, bahkan melakukan langkah pencegahan di dalam kehidupan masyarakat untuk senantiasa taat pada koridor ketentuan hukum. Partisipasi seperti ini lahir atas rasionalitas-kolektif bermasyarakat dan bernegara yang dijamin pelaksanaannya dalam sistem negara.

Pembangunan partisipasi masyarakat dalam Pilkada, dapat berupa kolaborasi dalam kegiatan penyelenggaraan yakni sosialisasi, diskusi, pernyataan dukungan, dan himbauan. Kegiatan semacam ini, cepat atau lambat akan disambut, yang pada giliran akan melahirkan individu dan komunitas yang memiliki visi searah dengan kerja-kerja penyelenggara pemilu. Dengan kesadaran kolektif mereka ikut berkontribusi menyukseskan tahapan pemilihan, mendorong lahirnya pemimpin berintegritas dan memiliki kapasitas handal lewat proses penyelenggaraan pemilihan yang jujur dan adil.

Individu dan komunitas seperti ini, jika dikonsolidasikan secara tepat akan menjadi kekuatan besar. Membantu kerja-kerja penyelenggaraan Pilkada, khususnya Bawaslu sebagai bagian dari penyelenggara pemilu. Sebab, pengawas pemilihan yakni Bawaslu dengan sumber daya terbatas, ditambah waktu penanganan pelanggaran yang singkat, serta wilayah pengawasan yang luas, tentu akan menyulitkan kegiatan pengawasan langsung dan melekat. Tetapi ketika ada kehadiran stakeholders yang terdiri dari individu dan komunitas potensial tadi, menjadi potensi kekuatan besar yang sinergi dengan kerja-kerja pengawasan pemilihan.

Partisipasi masyarakat dalam pengawasan pemilihan menurut Gunawan Suswantoro bertujuan agar masyarakat tidak hanya menjadi objek pemilihan yang suaranya diperebutkan oleh kontestan peserta Pilkada, tetapi masyarakat juga berperan aktif sebagai subjek dengan terlibat dalam menjaga integritas penyelenggaraan pemilihan.[2] Dalam posisi ini, masyarakat memahami arti hak pilih yang disalurkan secara rasional, termasuk menjaga kontestasi pemilihan agar tidak ternodai-terciderai dengan kecurangan. Mereka memiliki sikap dan tindakan menolak kecurangan dan siap menjadi pihak yang aktif memberikan laporan atau informasi awal terjadinya pelanggaran pemilihan kepada pihak berwenang, misalnya kepada pengawas pemilu (Bawaslu atau jajarannya).

Kader Pengawasan Partisipatif

Potensi kecurangan dalam proses pemilihan kepala daerah (Pilkada) bisa saja terjadi di segala titik wilayah yang demikian luas, sementara jumlah sumber daya manusia pengawas pemilihan masih sangat terbatas. Pada posisi inilah, peran strategis dari individu dan komunitas yang lahir dari kaderisasi sekolah kader pengawasan partisipatif, untuk berkolaborasi dengan kerja-kerja pengawas pemilu dalam melakukan pencegahan pelanggaran, dan melaporkan jika ditemukan pelanggaran pemilihan kepada Bawaslu atau jajarannya di daerah.

Sekolah kader pengawasan partisipatif diinisiasi untuk mendekatkan pengawasan Pilkada ke dalam kehidupan sosial masyarakat. Berupa menciptakan kantong-kantong atau simpul-simpul pengawasan potensial di semua lapisan masyarakat, yakni menjadi mata dan telinga pengawas pemilihan. Pasalnya pengawas pemilu merupakan potensi kekuatan masyarakat yang dilembagakan dan dibiayai oleh negara, sehingga pengawas pemilu tidak boleh lupa dari mana ia berasal dan bekerja untuk apa. Hingga pengawas pemilu merupakan satu kesatuan entitas yang menyatu dengan kekuatan masyarakat, yang menjamin proses pergantian pemimpin dapat berlangsung secara jujur dan adil.

Melalui pola materi pendidikan yang diberikan kepada peserta sekolah kader, sekolah kader pengawasan partisipatif diharapkan akan menghasilkan lulusan yang memiliki potensi untuk menjadi kader pengawas pemilihan di daerah masing-masing. Dengan spesifik, memiliki integritas dan kapasitas dalam pelaksanaan kerja-kerja penyelenggaraan pemilihan, khususnya dalam berkolaborasi dengan pengawasan pemilu mewujudkan keadilan pemilu. Bukan hanya itu peserta juga dilatih untuk menjadi pemimpin di masa yang akan datang, baik di jajaran Bawaslu sendiri maupun di dalam komunitasnya di dalam struktur sosial masyarakat.

Secara teknis kerja-kerja kader pengawasan partisipatif ini bisa dilakukan melalui media-media yang akrab dan digemari khalayak ramai. Bentuknya bisa di media elektronik maupun media cetak termasuk media sosial. Pesan juga dapat disampaikan secara langsung, misalnya lewat selebaran, stiker dan lainnya pada momen kegiatan. Jaringan (networking) personal dan kelembagaan yang selama ini sudah terbangun, juga sangat potensial digunakan. Kerjasama saling menguntungkan titik temunya. Pesan pengawasan pemilihan ini perlu akomodatif sesuai dengan segmen sasaran. Kreatifitas guna merangkai materi dan substansi pesan sangat menentukan keberhasilan, agar pesan diterima secara baik. Selain itu, pesan juga perlu memperhatikan kultur masyarakat setempat, agar pesan diterima dan tidak malah menimbulkan bumerang yang kontra produktif dengan kerja-kerja pengawasan.

Dimensi Manfaat

Pengawasan partisipatif pemilihan digerakkan oleh Bawaslu dan jajaran pengawas pemilu yang berkolaborasi dengan potensi masyarakat, yakni individu dan komunitas yang ambil bagian dalam pencegahan pelanggaran dan melaporkan jika ada pelanggaran pemilihan kepada instansi berwenang. Individu dan komunitas ini bekerja dengan semangat kerelawanan, sehingga disebut dengan “relawan”. Menjadi relawan bisa lahir dari kesadaran internal maupun campur tangan pihak tertentu pembentuk jiwa kerelawanan.

Bawaslu lewat kegiatan sekolah kader pengawasan, berobsesi melahirkan relawan yang merupakan kader–kader potensial pengawasan partisipatif. Relawan atau kader ini memiliki pengetahuan memadai menyangkut urgensi dan tujuan pengawasan guna suksesi penyelenggaraan pemilihan, secara teknis mampu mengisi alat kerja pengawasan. Relawan ini bergerak dengan rasionalitas untuk mencegah potensi pelanggaran, memberikan informasi awal dan melaporkan jika ada pelanggaran pemilihan kepada Bawaslu/Panwaslu. Pada intinya relawan ingin memberikan bukti nyata melalui sikap dan tindakan produktif berupa ambil bagian dalam penyelenggaran rutinitas kontestasi pemilihan.

Gerakan pengawasan partisipatif melalui kegiatan sekolah kader yang digagas Bawaslu sesuai arahan Badan Perencanaan Nasional (Bappenas) akan berdimensi ganda manfaat. Pertama, mendorong gerak masyarakat terlibat dalam mengawal proses penyelenggaraan dan hasi pemilihan. Peran masyarakat ini tidak lagi sebatas memberikan hak pilih di TPS saja, tetapi cakupan lebih luas yakni ingin menjamin pelaksanaan Pilkada taat asas dan hasilnya berupa lahirnya pemimpin yang memperoleh legitimasi rakyat daerah.

Kedua, peningkatan kapasitas sumber daya masyarakat. Ketika pengawasan partisipatif di kampanyekan, tentu relawan terlebih dahulu belajar, menguasai materi muatan lalu menyampaikan ke sesama masyarakat. Dalam konteks ini, pengetahuan seputar Pilkada bukan hanya menjadi konsumsi penyelenggara pemilu saja, tetapi telah menjadi pengetahuan para pihak (masyarakat) yang pada akhirnya ikut membantu pembangunan demokrasi.

Akhirnya, peran masyarakat secara partisipatif melalui gerak relawan bersama pengawas pemilu untuk memerangi praktik politik pragmatis-transaksional dapat dilakukan. Melalui kekuatan dan potensi tersebut, diharapkan perilaku pelanggaran seperti politik uang, manipulasi, pencurian suara, ujaran kebencian dan pelanggaran pemilihan lainnya dapat dicegah. Termasuk  ditindak agar memiliki efek jera pada pelaku dan sekaligus sebagai peringatan bagi yang ingin coba melanggar.


[1] Penulis adalah Ketua Bawaslu Provinsi Sulawesi Tengah Periode 2017-2022.
[2] Gunawan Suswantoro, 2016, Mengawal Penegak Demokrasi di Balik Tata Kelola Bawaslu & DKPP, Penerbit Erlangga, Jakarta, hlm. 115.