Merenungi Ajaran Bapak Para Nabi Mengasah Hati di Tengah Pandemi

402 Views

Pagi ini, ketika dalam perjalanan menuju kantor sembari mendengarkan Radio di Chanel Voice Of America (VoA), terdengar hal yang menarik dalam pemberitaan mengenai Negara Prancis. informasinya bahwa Negara Prancis menghentikan serta menghapuskan aturan mengenai pembunuhan ayam jantan pada peternakan dinegaranya yang selama ini ayam jantan dari sisi tubuh, dan tingkat produktifitas dianggap tidak sebanding dengan Ayam betina  yang dapat bertelur dan menghasilkan daging, tentu saja aksi ini dipelopori oleh organisasi kesejahteraan hewan di negara tersebut.

Hal di atas  sangat mengusik dan membuat jiwa  kemanusiaan ini berontak, karena dibagian negara lain betapa pedulinya dengan kesejahteraan hewan jika dibandingkan dengan kepedulian kita pada kemanusiaan, di negara kita yang seakan akan telah terkikis kepedulian pada sesama. Menengok kembali melihat wajah negeri tercinta yang saat ini mendapati ujian begitu dahsyat dengan meningkatnya Covid 19  membuat Ibu pertiwi tidak berhenti meneteskan air mata.

Merujuk pemberitaan dari Kompas.com, pemerintah resmi menerapkan kebijakan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) darurat. Kebijakan tersebut mulai berlaku pada 3 Juli hingga 20 Juli 2021 di berbagai kabupaten/kota di Pulau Jawa dan Bali, penerapan kebijakan ini berkaitan dengan masih tingginya angka kasus Covid-19 di Indonesia. Kebijakan ini secara tegas diumumkan oleh Presiden Jokowi setelah mendapat masukan dari sejumlah pihak antara lain, Para menteri, ahli kesehatan, dan kepala daerah. Selain itu, Jokowi juga menyatakan bahwa pandemi Covid-19 memang berkembang sangat cepat, terutama adanya variant of concerns atau varian baru virus corona. Di kota Palu pun diberlakukan pembatasan aktivitas dengan membatasi pusat perbelanjaan, menutup seluruh akses dan tempat berkumpulnya warga Kota Palu hingga Pukul 21.00 WITA.

Kebijakan pemerintah pusat dan derah terkait PPKM tentu menimbulkan riak-riak di masyarakat, karena belum pulih perekonomian mereka setelah penerapan PSBB tahun lalu, kini mulai lagi dengan menahan diri untuk tidak beraktivitas sebagaimana biasanya. Dan ini berdampak pada  supir taksi, angkot, ojol,  pengamen, dan pemulung, Dengan pendapatan yang menurun drastis.

Berbagai problematika yang melanda bangsa ini, tentu sudah seharusnya kita untuk memulai inisiatif saling bahu membahu dan membantu, sebab pemerintah memang mempunyai kelengkapan Instrumen, baik itu sistem maupun alat negara. Namun jika mengharapkan hal itu tentu akan menyita waktu, mengingat pemerintah juga taat pada prosedur administrasi birokrasi yang begitu panjang, di tengah kebutuhan yang tidak dapat menunggu lama, maka siapa lagi kalau bukan kitalah yang bergerak untuk itu. Indonesia bukan negara Agama namun warga negara Indonesia sudah pasti beragama  maka sudah saatnya kita kembali pada nilai-nilai ajaran kemanusiaan dalam agama guna bersama menghadapi pendemi yang kini merebak.

Nabi Ibrahim selaku Bapak Para Nabi yang juga merupakan Bapak dari agama-agama Samawi telah mengajarkan sebuah hikmah yang dapat diambil pelajaran serta keteladanannya. Dimana beliau mengalami pergolakan batiniah antara mengikuti perintah Allah atau tetap pada kepentingan pribadinya yang mengutamakan keluarga dalam hal ini anak satu-satunya yaitu Ismail, Pada malam tanggal 8 Dzulhijjah, Nabi Ibrahim mendapatkan wahyu melalui mimpinya bahwa Allah memerintahkan kepadanya untuk menyembelih anak yang paling ia sayangi. Nabi Ibrahim merenung panjang, “Haruskah ia mengikuti perintah Tuhannya untuk melepaskan hal yang paling ia sayangi, hal yang paling ia sukai? Apakah mimpi ini benar dari Allah atau bukan?” Kegalauan Nabi Ibrahim ‘alaihissalam mendapatkan jawabannya pada malam hari berikutnya, yakni pada malam hari 9 Dzulhijjah, bahwa ia benar-benar diperintahkan oleh Allah untuk menyembelih anak kesayangannya yang bernama Isma‘il.  Kisah tersebut kemudian diabadikan Allah SWT dalam Al-Quran:

Artinyan :

“Ketika anak itu memasuki usia dewasa, sudah berkembang, sudah bisa bepergian dan berjalan, Nabi Ibrahim ‘alaihissalam berkata kepada anaknya: Wahai anakku, sesungguhnya aku bermimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka pikirkanlah apa pendapatmu? Isma‘il anak Ibrahim menjawab: Wahai bapakku, lakukanlah apa yang diperintah (Allah) kepadamu, insyaallah engkau akan mendapatiku bagian dari orang-orang yang sabar” (QS Ash-Shâffât 102).

Islam mengajarkan kepada umatnya untuk membangun harmoni dengan sesama. Sebab, Islam diturunkan dengan sempurna dalam mengatur tatanan kehidupan manusia di muka bumi. Sejatinya, bukan hanya keharmonisan dengan manusia (hamblun minannas), akan tetapi dilandasi harmoni dengan Allah SWT (hablun minallah) yang berbuah kemesraan terhadap lingkungan alam (hablum minal ‘alam). Ketiganya merupakan kesatuan yang tak bisa dipisahkan dan mesti dijaga keseimbangannya. (QS 3: 112).

Nabi Ibrahim mengajarkan pertama, beriman atau beragama pada dasarnya melawan hawa nafsu atau kesenangan yang ada di dalam diri kita masing-masing. Setiap manusia cenderung mengikuti keinginan nafsunya, yakni ingin melakukan hal yang enak, menikmati segala kesenangan tanpa batas, merasakan segala keindahan dan yang lainnya tanpa mempedulikan hal tersebut menyakiti, merugikan atau membahayakan diri sendiri maupun orang lain atau tidak. Di sinilah agama hadir memberikan seperangkat aturan, yakni mengatur perbuatan ini haram dan perbuatan itu halal, tindakan ini boleh dan tindakan itu tidak boleh, hal ini baik dan hal itu buruk, dan seterusnya. Dengan demikian masing-masing dari orang yang beragama seharusnya mematuhi aturan agama, bukan mengikuti kesenangan atau kehendak nafsunya.

 Dalam kisah Nabi Ibrahim, kenikmatan tertinggi disimbolkan dengan memiliki anak, tapi Nabi Ibrahim berhasil mengalahkan hawa nafsu kecintaan kepada putranya dengan mengikuti perintah Allah subhanahu wata’ala.  Pelajaran atau ‘ibrah yang kedua dari kisah Nabi Ibrahim ‘alaihissalam di atas yaitu penegasan bahwa hak asasi manusia harus dijunjung tinggi, dalam hal ini hak hidup. Perintah Allah kepada Nabi Ibrahim ‘alaihissalam untuk menyembelih putranya bertujuan untuk menguji keimanannya atau ibtilâ` (إِنَّ هَذَا لَهُوَ الْبَلَاءُ الْمُبِينُ), sehingga ketika beliau tulus hendak menunaikannya, Allah subhanahu wata’ala mengganti objek sesembelihannya dengan binatang. Penggantian “objek kurban” dari manusia ke binatang mengandung makna bahwa manusia memiliki hak untuk hidup yang seorang pun atas nama apa saja tidak boleh menghilangkannya.

Pelajaran yang penuh dengan Makna Spiritualitas yang dijalani oleh Nabi Ibrahim AS dapat diterjemahkan dimasa kini adalah dengan mengenyampingkan keinginan dirinya dengan mengikuti Perintah Allah SWT,  dimasa Covid saat ini seluruh komponen masyarakat mengalami kesusahan namun saat kita sudah dan masih mau berbagi disitulah letak kemanusiaan yang tertinggi. Begitu juga Rasulullah pernah menjelaskan tentang keutamaan bersedekah di masa sulit:

“Wahai Rasulullah, sedekah yang mana yang lebih besar pahalanya?” Beliau menjawab, “Engkau bersedekah pada saat kamu masih sehat disertai pelit (sulit mengeluarkan harta), saat kamu takut menjadi fakir, dan saat kamu berangan-angan menjadi kaya. Dan janganlah engkau menunda-nunda sedekah itu hingga apabila nyawamu telah sampai di tenggorokan, kamu baru berkata, “Untuk si fulan sekian dan untuk fulan sekian, dan harta itu sudah menjadi hak si fulan.” (Muttafaqun ‘alaih. HR. Bukhari no. 1419 dan Muslim no. 1032).

Perancis bukan Negara Islam tidak sedikit pula penduduknya yang tidak meyakini Tuhan, namun perancis masa kini telah menjadi negara yang bukan hanya menjujung Hak Asasi Manusia namun hak dan kesejahteraan Hewanpun  mereka perjuangkan. Seharusnya umat Islam Indonesia yang mayoritas muslim dapat melakukan hal yang demikian karena nilai dan ajaran Islam adalah untuk memuliakan manusia dengan jalan saling tolong menolong, Rasulullah SAW telah menyampaikan hal ini dalam sabdanya:

“Wahai sekalian manusia, dengarkanlah perkataanku. Sesungguhnya aku tidak tahu, barangkali setelah tahun ini aku tak bisa lagi berjumpa dengan kalian selama-lamanya. Wahai umat manusia, sesungguhnya darah kalian, harta dan harga diri kalian itu mulia, sebagaimana mulianya hari ini dan bulan ini. Kalian kelak akan bertemu Tuhan, dan Ia akan bertanya kepada kalian tentang perbuatan yang kalian lakukan. Ingatlah, setelah aku wafat janganlah kalian kembali ke dalam kesesatan, di mana sebagian di antara kalian memukul atau membunuh sebagian yang lain.”

“Wahai umat manusia,  sesungguhnya Tuhan kalian satu, leluhur kalian juga satu. Kalian berasal dari Adam, dan Adam berasal dari tanah. Sesungguhnya paling mulianya kalian di sisi Allah adalah yang paling bertakwa. Orang Arab tidak lebih utama daripada Non Arab atau ‘ajam, Non Arab tidak lebih utama daripada orang Arab. Orang kulit merah tidak lebih utama daripada yang berkulit putih, orang kulit putih tidak lebih utama dari yang berkulit merah kecuali (disebabkan) tingkat ketakwaannya.” 

Nabi Ibrahim memberikan contoh atas dasar cinta kepada Allah yang melebihi segala-galanya, keluarga Nabi Ibrahim menjadi keluarga yang terberkati. Nabi Ibrahim diberi gelar “khalîlullah” atau kekasih Allah, dan dari keluarga ini lahirlah keturunan-keturunan para nabi seperti Nabi Ishâq, Nabi Ya‘qûb, Nabi Musa, Nabi Isa dan Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam.

Tentu sebagai Ummat yang beragama Kisah Nabi Ibrahim ‘alaihissalam di atas mengajarkan kepada kita bahwa beragama adalah pengorbanan melawan hawa nafsu yang ada di dalam diri kita masing-masing. Beragama adalah usaha menjadikan diri kita sebagai manusia seutuhnya, yakni manusia yang tidak diperbudak oleh nafsu atau manusia lainnya, melainkan manusia yang menghamba dengan seutuhnya di hadapan Allah subhanahu wata’ala.

 Semoga Spirit dan ajaran Bapak Para Nabi Ibrahim serta para nabi dan Rasul lainnya dapat memotivasi kita untuk saling tolong menolong sebagai wujud kepedulian bagi sesama, saling merigankan serta berdoa semoga pandemi yang sedang kita alami segera berakhir, kita semua selalu diberi kesehatan dan keselamatan, serta selalu berada di dalam lindungan Allah subhanahu wata’ala.

Upaya Hukum Terakhir Kontestan Pilkada Serentak 2020 di Mahkamah Konstitusi

449 Views

Oleh :  Ryan Aprilianto, SH
(Bawaslu Provinsi Sulawesi Tengah)

Desentralisasi sebagai penyerahan kekuasaan pemerintahan oleh pemerintah pusat kepada daerah otonom, telah membuka ruang tumbuh dan berkembangnya demokrasi di tingkat lokal daerah,. Terutama lewat rutinitas pesta demokrasi melalui pelaksanaan pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota serentak secara langsung oleh masyarakat pemilih.

Kontestasi pemilihan serentak telah memasuki gelombang keempat yang telah digelar di 270 daerah meliputi 9 provinsi, 224 kabupaten dan 37 kota, yang dilaksanakan pada masa pandemi covid-19 pada 9 Desember 2020.

Pasca penetapan hasil pemilihan, pasangan calon kepala daerah sebagai kontestan Pilkada terbagi atas dua sikap yakni kegembiraan bagi yang ditetapkan memperoleh suara tertinggi dan kekecewaan bagi yang ditetapkan memperoleh suara yang rendah oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) setempat. Seringkali bagi kontestan yang kalah mengungkapkan ketidakpuasan terhadap hasil pemilihan yang ditetapkan KPU dengan mendalilkan kecurangan-kecurangan disertai lampiran bukti dan data pendukung yang menyatakan mempengaruhi hasil pemilihan yang menyebabkan kekalahan baginya.

Lebih lanjut, fenomena tersebut diatur pada Pasal 156 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 Tentang Perubahan Kedua Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 (UU Pemilihan) yang menyatakan Perselisihan hasil Pemilihan merupakan perselisihan antara KPU Provinsi dan/atau KPU Kabupaten/Kota dan peserta Pemilihan mengenai penetapan perolehan suara hasil Pemilihan yang signifikan dan dapat mempengaruhi penetapan calon terpilih.

Lembaga Negara yang seharusnya berwenang untuk memeriksa dan memutuskan perselihan hasil pemilihan seharusnya adalah Badan Peradilan Khusus karena Pasal 24C ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 junto Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 Tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi, yang pada intinya menyatakan Mahkamah Konstitusi berwenang untuk memutus perselisihan hasil pemilihan umum, bukan pemilihan kepala daerah.

Namun karena Badan Peradilan Khusus belum terbentuk, merujuk Pasal 157 ayat (3) UU Pemilihan maka kewenangan tersebut diberikan kepada Mahkamah Konstitusi.

Secara prosedur bagi kontestan Pilkada yang akan mengajukan permohonan kepada Mahkamah Konstitusi memiliki waktu paling lambat tiga hari kerja terhitung sejak diumumkan penetapan perolehan hasil oleh KPU Provinsi atau KPU Kabupaten/Kota.

Mengutip laman resmi Mahkamah Konstitusi, untuk Pemilihan Gubernur terdapat 7 permohonan, Pemilihan Bupati 114 permohonan dan Pemilihan Walikota 14 permohonan sehingga total terdapat 135 permohonan perselisihan hasil untuk Pilkada Serentak Tahun 2020.

Dari sisi substansi permohonan, masih banyak ditemukan permohonan yang mendalilkan pelanggaran-pelanggaran administrasi, tindak pidana pemilihan dan sengketa dalam tahapan pemilihan sebagai dasar gugatan. Padahal, ketiga hal tersebut bukan kewenangan dari Mahkamah Konstitusi.

Namun demikian, jika pelanggaran yang didalilkan bersifat Terstruktur, Sistematis dan Masif maka untuk menegakkan nilai-nilai demokrasi, Mahkamah Konstitusi memandang perlu memeriksa dan mengadili permohonan tersebut. Mahkamah Konstitusi tidak boleh membiarkan aturan-aturan keadilan prosedur (procedural justice) memasung dan mengesampingkan keadilan substantif (substantive justice).

Pada proses pemeriksaan di Mahkamah Konstitusi, selain pasangan calon yang merasa dirugikan melampirkan bukti-bukti kecurangan dan KPU yang bersikukuh akan penetapan hasil yang sudah benar dan tepat, terdapat Bawaslu yang memiliki peran sentral sebagai pemberi keterangan. Bawaslu dalam perselisihan hasil pemilihan dituntut memberikan keterangan sebagai pihak netral, tidak memihak kepada Pemohon, Termohon maupun Pihak Terkait.

Sebagai pihak yang netral, keterangan Bawaslu yang meliputi hasil pengawasan tahapan pemilihan, hasil penanganan pelangggaran pemilihan serta hasil penyelesaian sengketa proses pemilihan, sering kali digunakan sebagai pertimbangan Hakim Mahkamah Konstitusi dalam memutuskan perselisihan hasil pemilihan.

Untuk diketahui, di Provinsi Sulawesi Tengah terdapat tujuh permohonan perselisihan hasil atas Pemilihan Walikota Palu, Pemilihan Bupati Sigi, Pemilihan Bupati Poso, Pemilihan Bupati Tolitoli, Pemilihan Bupati Tojo Una-Una, Pemilihan Bupati Banggai dan Pemilihan Bupati Morowali Utara. Hal ini menjadi catatan bagi penyelenggara baik KPU maupun Bawaslu setempat untuk menyiapkan keterangan tertulis yang harus diserahkan kepada Mahkamah Konstitusi sebelum pelaksanaan Sidang Pemeriksaan Pendahuluan pada 26 Januari 2021.

Terakhir, bahwa gugatan ke Mahkamah Konstitusi menjadi upaya hukum terakhir yang dapat ditempuh oleh kontestan Pilkada. Hal ini dikarenakan putusan Mahkamah Konstitusi bersifat final dan mengikat.

Dalam electoral justice system di Indonesia, Mahkamah Konstitusi menjadi muara terakhir bagi para pencari keadilan, sehingga segala bentuk sengketa atau perselisihan hasil pemilihan dianggap selesai setelah adanya putusan Mahkamah Konstitusi dan tidak bisa lagi diganggu gugat.

Melawan Covid 19 Itu, Melawan Diri Sendiri

843 Views

MELAWAN COVID 19 ITU, MELAWAN DIRI SENDIRI
Oleh : Dr. Ir. Muh. Nur Sangadji, DEA.

Hingga kini, kita terus berupaya melawan virus. Menjadikannya  musuh bersama (common anemy). Kita telah menggempurnya habis-habisan. Tapi, faktanya kita tatap kalah.  Angka korban di pihak manusia kian bertambah fluktuatif.  Ada saatnya turun. Kemudian, naik lagi. Kini, kurvanya malah menanjak terus. Tidak ada yang tahu, berapa korban di pihak virus. Sebab, dia makhluk halus (mikroorganisme).

Semua ikhtiar sudah ditawarkan. “Lockdown”, “Stay at home”, PSBB, dan terakhir “New Normal”. Tapi, yang selalu ramai adalah keseringan kita untuk saling berdebat. Tentang apa (ontologi),  mengapa (epistemologi) dan bagaimana (tindakan aksiologi).

Saya lalu berfikir, mungkin saatnya kita menyadari, bahwa musuh kita sesungguhnya bukan lagi virus tersebut. Tapi, diri kita sendiri. Virus itu, makhluk yang punya hak untuk hidup di alam. Tuhan menghadirkannya di luar kendali manusia. Barangkali, tujuannya untuk memperbaiki perilaku. Dia yang berfirman, tiada makhluk yang diciptakannya sia-sia.

Mengapa di luar kendali ? Karena hingga kini, kita belum temukan bahan yang bernama vaksin. Saat ini, mulai ramai bermunculan produk vaksinnya. Sama ramainya dengan keraguan terhadapnya.

Kalau begitu, pilihannya tinggal satu. Berjuang secara total. Dan ini, haruslah dimulai dari diri individu. Dengan kata lain, setiap orang harus  menyediakan dirinya untuk berjuang.

Rasul ingatkan, mulailah dari diri sendiri (ibda bi nafsik). Boleh jadi hanya seorang diri. Namun, bila ada niat dengan spirit pengorbanan untuk menyelamatkan orang banyak. Insya Allah kita ikhlas. Mencuci tangan dan memakai masker adalah wujud konkritnya.

***

Tahun 2018 lalu, saya bersama istri dan anak berfoto di kaki gambarnya Wilson Churchill di kota London. Beliau adalah perdana menteri di masa perang dunia II.  Dia yang menghembuskan kata-kata ini, untuk menyemangati individu prajurit Inggeris di medan perang.  “We are figting by our self, but we are not figting for our self”.

Wilson bilang, kita memang berjuang sendiri. Tapi, kita tidak berjuang untuk diri kita sendiri. Sayang semangat yang begini, begitu berat di wujudkan menghadapi Covid ini. Susah sekali orang mendisiplinkan diri sendiri.

Bila “stay at home” itu berat karena mengganggu ekonomi Keluarga. Mestinya, keluar rumah dengan standar covid 19, adalah pilihan jalan tengah di tengah risiko. Nyatanya, tidak semua orang peduli dan tunduk. Padahal, dengan itu saja, kita telah menjadi pahlawan. Karena, ikut menyelamatkan orang banyak. Persoalannya, ada di proses komunikasi,  ego individu, kebiasaan dan pengorbanan.

***

Awal merebaknya virus ini, orang membutuhkan dokter dan atau ahli mikro organisme (virologi). Kemudian, ahli ekonomi untuk melihat dampak pada produktivitas, pendapatan, daya beli dan seterusnya.  Akan tetapi saat ini, yang dibutuhkan adalah ahli komunikasi dan penyuluhan. Ahli kebijakan publik. Ahli psikologi, pendidikan dan sejenisnya. Ini soal efektivitas komunikasi dan kepatuhan warga.

Kepatuhan (obedient) butuh kesadaran individu (individual awareness). Kebalikannya, “disobedience” yang kini banyak menggejala. Kesadaran individu ini akan membentuk kekompakan kolektif  (togetherness).

Untuk sampai ke sini. Kita terlebih dahulu, harus berperang melawan diri  sendiri. Inilah tindakan aksiologi yang sangat dibutuhkan saat ini. Mungkin, kalau kita menang.  Kita bakal bisa mengalahkan virus Covid 19 ini.

Wallahu a’lam bi syawab.

Demokrasi Tidak Akan Benar-Benar Mati

585 Views

Demokrasi Tidak Akan Benar-Benar Mati
Oleh : Saeful Ihsan, S.Pd., M.Pd.
(Penulis Muda Sulteng)

Ketika Anies Baswedan menampilkan fotonya memegang buku bersampul hitam, “How Democracies Die”, dan dimaksudkan sebagai sebuah pernyataan sikap: Indonesia menghadapi ancaman kematian demokrasi. Lalu, itu lebih tepatnya ditujukan kepada siapa?

Kepada pemerintah (pusat) kah? Yang selama ini terkesan antikritik, tidak mendengar suara rakyat, lalu berupaya membatasi kebebasan? Ataukah pihak yang aktif mengkritik pemerintah? Utamanya, PA 212 atau para simpatisan Habib Rizieq Shihab (HRS), serta FPI. Di mana, mereka kerapkali dinilai melakukan aksi-aksi yang mengguncang demokrasi.

Dari sudut pandang kita sebagai penonton, sudah pasti yang dituju adalah yang pertama disebutkan. Soalnya Anies terlihat lebih dekat kepada kelompok yang disebut “Umat Islam” itu. Sebaliknya, terkesan berhadap-hadapan dengan pihak pemerintah pusat, salah satu bentuknya, kebijakan lokal DKI sering tidak mendapat respek dari pusat.

Matinya demokrasi menurut buku yang dipegang Anies itu “How Democracies Die” karya Steven Levitsky dan Daniel Ziblatt, didasarkan pada empat indikator:

“1) rejects, in words or action, the democratic rules of the game, 2) denies the legitimacy of opponents, 3) tolerates or encourages violence, or 4) indicates a willingness to curtail the civil liberties of opponents, including the media.” (Levitsky and Ziblatt, 2018: 18)

Indikator itu sendiri adalah pengembangan dari karya Juan Linz, ‘The Breakdown of Democratic Regimes’, tentang tokoh otoriter, yang kalau mereka berkuasa, cenderung akan mematikan demokrasi. Hal itu dibuktikan oleh sejarah terjadi pada Italia dengan berdirinya rezim fasis Benito Mussolini; Adolf Hitler di Jerman; Hugo Chavez di Venezuela, dan beberapa lainnya.

Mereka, para tokoh otoriter itu memang naik ke tampuk kekuasaan bukan dengan jalan kudeta militer–meski sebagiannya mencoba jalan kudeta di awal hingga akhirnya memilih jalan konstitusional setelah percobaannya gagal, dan setelah mereka berkuasa, cenderung melakukan keempat indikator di atas.

Untuk konteks Indonesia saat ini, setidaknya rezim cenderung menggunakan cara keempat–membatasi kebebasan lawan, dan pers. Walau tidak begitu keras. Rezim menjadikan Anies sebagai lawan, dan kelihatan berupaya membatasi pergerakannya lewat apresiasi yang minim terhadap program pemprov DKI. Juga narasi-narasi miring yang diembuskan oleh para simpatisan istana.

Juga bagaimana istana memandang HRS beserta simpatisannya sebagai lawan. Terlihat dari bagaimana istana menyoroti kumpul-kumpul di bandara dalam penyambutan HRS. Sementara pilkada di Solo yang juga kumpul-kumpul tak disoal. Padahal, kata kunci dari pencegahan penularan wabah korona adalah ‘jangan berkumpul!’

Namun, jika kita mengikuti logika buku “How Democracies Die”, yang berpeluang untuk menjadi tokoh otoriter dan mematikan demokrasi adalah HRS beserta kroni-kroninya. Secara, HRS adalah tokoh populer, tetapi seruan-seruannya juga lebih kepada memilih jalan kekerasan untuk menegakkan keadilan.

Juga bagaimana cara HRS merespons kritikan arau protes terhadap dirinya. Frase ‘Lonte’ dalam ceramah di maulid nabi beberapa waktu lalu, membuat kita bisa berkesimpulan singkat, bahwa HRS akan bersikap frontal terhadap lawan-lawannya, seandainya saja kekuasaan itu sudah dipegangi.

Sejak tahun 2016, HRS sudah mengampanyekan konsep NKRI Bersyariah. Ide itu direspons oleh Denny JA dengan narasi tandingan, ‘NKRI Bersyariah, atau Ruang Publik yang Manusiawi?’ Denny JA menuliskannya dalam sebuah esai. Lalu tulisan itu ditanggapi oleh 16 orang (yang dinilai sebagai) pakar–salah seorang di antaranya adalah pakar hukum tata negara Yusril Ihza Mahendra–menjadi sebuah buku.

Buku itu memang tidak menyinggung demokratis atau tidaknya, tetapi bagi Denny JA, ruang publik manusiawi itu sudah sesuai dengan Islam, tak perlu NKRI Bersyariah. Agaknya, penggunaan istilah Bersyariah kurang demokratis, sebab syariah selalu dimaknai dengan rigid, berdasarkan tafsir yang tekstual.

Lagipula menurut Denny JA, indikator NKRI Bersyariah harus jelas. Kalau standar keadilan dan ketentraman suatu negara mengambil indikator sesuai Alquran dan Sunnah, negara-negara paling mempraktikkan standar-standar Islami menurut survei justru adalah negara-negara yang di dalamnya sedikit umat islamnya: Selandia Baru, Belanda, Swedia, Irlandia, Swiss, Denmark, Kanada, dan Australia.

Tetapi memang wajar, jika ada tawaran sistem lain untuk suatu negara. Termasuk di Indonesia. Soalnya, Dr. Satrio Arismunandar dalam memberikan pengantar buku kompilasi 16 pakar menanggapi Denny JA, menampilkan data tingkat pro-Pancasila, yang berarti juga pro demokrasi–soalnya Pancasilais berarti juga demokratis, dari tahun ke tahun terus menurun. Dalam kurun 13 tahun, pro-Pancasila turun 10%.

Penurunan tersebut disebabkan oleh tiga hal: kesenjangan ekonomi, paham alternatif,
dan sosialisasi. Jadi, kegagalan-kegagalan yang terdapat dalam praktik pemerintahan sangat berpengaruh terhadap menurunnya kepercayaan publik terhadap (demokrasi) Pancasila, dan akhirnya mencari alternaif yang dianggap lebih bisa memperbaiki nasib bangsa daripada sistem demokrasi itu sendiri.

Namun, betapapun misalnya rezim saat ini dianggap mewarisi watak otoriter Orde Baru, ataukah HRS dianggap sebagai tokoh demagog, demokrasi hanya akan menurun menjadi kurang demokratis, tidak sepenuhnya akan mati. Dari beberapa indikator negara demokrasi Abraham Lincoln dalam pidatonya di Pettysburg tahun 1863, “peran media yang bebas” sebagai aktualisasi kebebasan berpikir dan mengemukakan pendapat menjadi, dominan dalam tafsiran kita.

Sementara, manusia secara individual adalah satu-satunya makhluk yang dianugerahkan demokrasi di dalam kepalanya. Yaitu, bebas berpikir, memilih jalan, dan menentukan nasibnya sendiri. Anugerah itu tidak akan benar-benar hilang, tetapi bisa dibatasi, sampai tak terbatas, oleh pemerintahan yang berusaha membunuh demokrasi, lewat watak otoritariannya.
____

Referensi:

Levitsky, Steven & Daniel Ziblatt. 2018. “How Democracies Die”, New York: Crown Publishing. Edisi bahasa Indonesia, Steven Levitsky dan Daniel Ziblatt. 2019. “Bagaimana Demokrasi Mati”, Alih Bahasa oleh Zia Anshor, Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.
Arismunandar, Satrio (Ed.). 2019. “NKRI Bersyariah atau Ruang Publik yang Manusiawi, Cerah Budaya Indonesia

Pragmatis dan Idealis Gerakan Mahasiswa

1.677 Views

Pragmatis dan Idealis Gerakan Mahasiswa[1]
Oleh : Ruslan Husen, SH, MH.[2]

 

Kaum muda dengan dunia dan sepak terjangnya dalam konteks perjuangan dan pergerakan di Indonesia, menggiring bayangan kita tidak terlepas dengan posisi dan gerakan mahasiswa sebagai motor penggerak pergerakan. Demikian pula terhadap keterpurukan sosial akibat kebijakan pemerintah atau kerusakan lingkungan alam, mahasiswa berani tampil dan ambil bagian meneriakkan protes atas kebijakan yang tidak berpihak pada kepentingan rakyat.

Namun, kini seolah gerakan mahasiswa kehilangan taring dan kewibawaan. Gerakan mahasiswa mengalami krisis dan luka. Semakin lantang teriakan dan tuntutan dilontarkan mahasiswa, seolah-olah makin menjerumuskan dirinya pada defenisi paradoks. Apa yang diteriakkan dan dituntut sering kali berseberangan dengan yang telah dilakukan. Akibatnya, tuntutan dan advokasi yang dilakukan mempunyai daya tawar minimalis dan terkadang dipandang sebelah mata dari pihak pengambil kebijakan.

Logika dan opini yang berkembang tersebut, membawa pada pemikiran untuk membangun defenisi baru sebagai rumusan memulai perjuangan dan pergerakan yang lebih baik dan berkualitas. Walau telah banyak dibahas rumusan ulang gerakan dan perjuangan mahasiswa, tetap bayang heroisme masa lalu dari gerakan mahasiswa tidak pernah hilang. Apalagi, memakai diksi berjuang atas nama rakyat namun ternyata ada kepentingan pragmatis, baik kepentingan pribadi atau golongan yang akhirnya merusak kemurnian perjuangan.

Dengan demikian, yang terjadi adalah beban sejarah pergerakan selanjutnya, sebab sejarah tidak bisa dilupakan serta-merta. Sehingga memungkinkan merusak ritme dan pola gerakan ke depannya. Dalam artian mengambil hikmah dan pelajaran dari sejarah untuk rumusan gerakan dan perjuangan yang lebih baik dan sistematis.

Untuk itu, tulisan ini mencoba membangun definisi baru yang koheren agar bayang-bayang heroisme tidak terus menghantui dan membebani perjuangan dan pergerakan. Sebab kedudukan mahasiswa dengan tipe idealis dan paragmatis bukan merupakan dikotomi baku, yang saling bertentangan dan menjatuhkan. Hal mendasar, gerakan mahasiswa di tengah garis pemisah idealis dan paragmatis yang terpolalarisasi dalam bentuk baku, seolah-olah tidak bisa bersatu dalam suatu payung perjuangan bersama.

Tipe Gerakan Mahasiswa

Definisi yang dimunculkan, tipe idealis sebagai sebuah sifat untuk melakukan perbaikan dan perubahan atas ketidak-adilan dengan berbagai macam pelanggaran norma dalam konteks sosial kultural masyarakat. Sedangkan paragmatis adalah sifat sebaliknya yang tidak mengkritisi sama sekali realitas kehidupan sosial masyarakat.

Kemudian tipe idealis sering digambarkan pada posisi yang sedikit kiri dan tipe paragmatisme pada sisi yang lebih kanan. Walaupun kaku, namun terminologi tersebut sering kali digunakan dan diketemukan dalam realitas dunia kampus pergerakan mahasiswa. Pendefinisian seperti itu akan menghasilkan definisi minimalis. Sebab ada juga cara pandang lain, dua tipe itu sering kali tidak bisa dipisahkan dan sering komplementer.

Klaim dikotomi minimal akan manjatuhkan pada klaim-klaim yang tidak sehat. Misalnya mahasiswa tipe idealis merupakan mahasiswa yang berdemo, orasi, dan berteriak lantang menentang kapitalisme dan menentang negara atau militerisme sekalipun. Walaupun terkadang teriakan tersebut sering berbalik arah dan mengenai dirinya saat Ia memperoleh kedudukan dan bekerja di instansi pemerintahan. Sebailnya, mahasiswa paragmatis merupakan mahasiswa yang mempriorotaskan kegiatan studi (akademisi) semata, menjadi kutu buku dan mengikuti seksama setiap perkuliahan dan kegiatan akademik.

Menggunakan terminolagi tersebut, terlihat bercorak kontras. Tapi, sekali lagi bukankah hal itu sangat minimalis? Sebab, dua kelompok tipe mahasiswa itu sama-sama belajar dan berjuang dengan cara sendiri-sendiri, terlepas dari keluaran yang dihasilkan. Semua pada tataran tertentu dapat berperan melakukan perbaikan tatanan dan keterpurukan sosial dengan jiwa dan panggilan kemanusiaan masing-masing.

Klaim kedua yang biasa dimunculkan adalah klaim kritis dan advokasi. Mahasiswa yang sering berdemo (mahasiswa idealis) mempunyai tingkat kritis dan advokasi yang lebih tinggi dibandingkan mahasiswa yang berorientasi pada kegiatan studi (pragmatis).

Apakah generalisasi tersebut sepenuhnya benar? Mahasiswa yang mengaku dirinya idealis terkadang ditemukan merupakan mahasiswa yang berwajah ganda, tidak konsisten dengan apa yang dilontarkan. Hal ini sebenarnya lahir dari adanya kepentingan pragmatis. Sementara, tidak semua mahasiswa yang berorientasi pada studi (akademik) semata dinyatakan tidak kritis dan peka pada permasalahan sosial. Sebab, dia mungkin saja mengkritisi dengan medium dan cara berbeda. Tetapi tetap, pada tujuan yang sama perbaikan tatanan sosial masyarakat.

Jadi, alangkah baiknya tidak saling menyalahkan. Berusaha mencari titik temu, ketimbang memperbesar titik pembeda. Fokus pada tujuan bersama, hingga mampu menggerakkan dan empati diri untuk terlibat dengan kebiasaan dan pilihan jalan masing-masing. Hingga nanti dipertemukan pada tujuan yang sama, yakni keadilan dan kesejahteraan sosial.

Penutup

Gambaran mahasiswa idealis dan pragmatis ternyata memberi keterangan dikotomi yang berpotensi merusak ritme gerakan dan perjuangan. Tidak semua mahasiswa harus turun ke jalan, orasi dan berteriak menentang kapitalisme, militerisme atau kebijakan ketidakadilan negara. Tetapi terpenting, konsisten mencapai tujuan keadilan dan kesejahteraan sosial. Konsisten berjuang bersama menuju arah perbaikan, dengan jujur dan beretika dengan cara perjuangan yang dipilih. Tanpa harus menyalahkan dan mematikan potensi diri yang tidak sepaham dengan jalan perjuangan pilihan.

Alangkah baiknya saling kerja sama mencapai tujuan keadilan sosial masyarakat. Tanpa harus terlibat dalam suatu kubangan persaingan dan kepentingan pragmatis yang pada akhirnya merusak ritme dan corak gerakan perjuangan. Optimis bahwa semua pilihan gerakan mahasiswa berfungsi dalam membangun tatanan masyarakat yang lebih baik, tanpa harus menyalahkan pilihan gerakan idealis atau pragmatis.


[1] Disampaikan dalam Kegiatan Pengkaderan VI Kesatuan Sukarelawan Kemanusiaan Universitas Tadulako (KSRK-Untad), di Kawatuna Palu pada Sabtu, (21/11/2020).
[2] Penulis merupakan Pendiri KSRK Untad, kini berpraktik sebagai Advokat dan Konsultan Hukum di Palu.

Panel Narasumber Ruslan Husen, Syamsidi Markus, dan Ilyas bersama Moderator dan Pengurus saat Diklatsar Ke-VI KSRK-Untad, di Kawatuna Palu, Sabtu, (21/11/2020)

Penegakan Hukum di Indonesia

1.818 Views

Penegakan Hukum di Indonesia[1]
Oleh : Ruslan Husen, SH, MH.[2]

Pendahuluan

Hukum bertujuan mewujudkan keadilan bagi masyarakat, mengatur tata tertib kehidupan masyarakat secara damai dan adil, dan menjamin kepastian hukum atas kasus yang dihadapi setiap subjek hukum. Namun dalam tataran praktik, hukum masih dihadapkan pada masalah berkelanjutan, yang gilirannya turut memperburuk citra penegakan hukum.

Akhirnya, penegakan hukum belum bisa mewujudkan tujuan hukum. Malah hukum menjadi alat politik penguasa untuk kriminalisasi para pengkritik (oposisi) pemerintahan. Demikian pula, struktur hukum melalui aparat penegak hukum lebih melindungi pengusaha (pemodal) dalam pelanggaran eksploitasi sumber daya alam, ketimbang menjaga masyarakat setempat dari dampak kerusakan lingkungan.

Secara teoritik, penegakan hukum merupakan proses tegak dan berfungsinya norma hukum yang secara nyata sebagai pedoman perilaku hubungan hukum kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Lawrence Meir Friedman[3] mengungkapkan bahwa penegakan hukum ditentukan dan dipengaruhi unsur-unsur dalam sistem hukum (elements of legal system) yakni: struktur hukum meliputi institusi dan aparat penegak hukum; substansi hukum meliputi aturan, norma dan perilaku nyata manusia; budaya hukum meliputi kepercayaan, nilai, pemikiran serta harapannya.

Selanjutnya Soerjono Soekanto mengembangkan teori tersebut dengan menyebutkan masalah pokok penegakan hukum terletak pada faktor-faktor yang mempengaruhi, yakni hukumnya sendiri, penegak hukum, sarana dan fasilitas, masyarakat dan kebudayaan. Kelima faktor tersebut saling berkaitan erat sebagai kesatuan sistem, dan merupakan esensi dari penegakan hukum yang juga merupakan tolok ukur dari pada efektivitas penegakan hukum.[4]

Mengacu pada teori sistem hukum tersebut, menjadikan penegakan hukum di Indonesia harus mendapatkan dukungan sumber daya manusia profesional dan berintegritas, regulasi yang progresif, peran aktif masyarakat mengawal proses, dan sarana-prasarana hukum yang memadai. Dukungan dan ketersediaan dimaksud menjadi satu-kesatuan kebutuhan, jika ada yang belum terpenuhi maksimal, maka mempengaruhi produktifitas hasil dari sistem hukum.

Masalah Penegakan Hukum

Praktik penegakan hukum masih sering dihadapkan masalah yang turut memberi citra buruk upaya menggapai keadilan. Keadilan sebagai tujuan hukum, seolah ideal pada tataran konsep dan normatif. Namun, dalam praktik menjadi sesuatu yang langka. Seorang penegak hukum bisa menjelaskan tujuan hukum mencapai keadilan, tapi sikap dan perilaku justru melanggar hukum dan menginjak-injak nilai keadilan.

Identifikasi masalah penegakan hukum berikut, dapat menjadi tanda peringatan para penegak hukum agar kembali ke khittah makhluk Tuhan yang dipercayakan menyampaikan dan menerapkan nilai keadilan dalam berbagai aspek kehidupannya. Tidak terjerumus berkelanjutan dalam kubangan haram pelaku pelanggaran hukum, yang sejatinya menegakkan hukum.

Pertama, mafia peradilan. Mafia peradilan merupakan perbuatan konspiratif yang dilakukan secara terstruktur, sistematis, dan kolektif oleh aktor tertentu terutama oknum aparat penegak hukum dan pencari keadilan. Tujuannya mendapatkan keuntungan pragmatis melalui penyalahgunaan wewenang, dan perbuatan melawan hukum yang mempengaruhi proses penegakan hukum. Dampaknya menjadi rusaknya sistem hukum dan tercabik-cabiknya nilai dan rasa keadilan.

Praktik mafia peradilan lekat dengan diksi penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power) oleh aparat penegak hukum. Semakin menguatnya penyalahgunaan kekuasaan, makin mengarah pada tumbuh suburnya mafia peradilan. Akibatnya, peradilan menjadi tidak bernilai menindak tersangka atau terdakwa pelaku kejahatan atau pelanggaran. Rasa dan nilai keadilan masyarakat dipermainkan. Pelanggaran hukum yang terus-menerus memberi indikasi, negara gagal melaksanakan kewajibannya untuk melindungi, menghormati  dan memenuhi hak-hak warga negara.

Kedua, keterbatasan regulasi berupa kekosongan hukum, norma mulitafsir, norma kabur, dan norma tidak lengkap. Pembentuk undang-undang juga manusia, mereka sama halnya dengan manusia biasa yang melekat sifat khilaf, kekurangan dan keterbatasan. Sejak semula sudah diprediksikan, setiap undang-undang yang dihasilkan pembentuk undang-undang pasti mengandung berbagai keterbatasan. Ada celah hukum yang tidak tertutup, hingga tiba penerapan operasionalnya baru diketahui kekurangan dan kelemahan.

Padahal hukum tidak mungkin tegak jika belum mencerminkan perasaan atau nilai-nilai keadilan yang hidup dalam masyarakatnya. Hukum tidak mungkin menjamin keadilan jika materi muatannya sebagian besar merupakan warisan masa lalu yang tidak sesuai dengan tuntutan zaman. Artinya, persoalan bukan hanya berkenaan dengan penegakan hukum tetapi pembuatan hukum.

Ketiga, sikap apatis masyarakat pengawal proses penegakan hukum. Masyarakat menjadi apatis dan tidak ingin terlibat dalam proses penegakan hukum terutama yang menyangkut kepentingan dan hajat orang banyak. Mereka memilih melakukan hal-hal secara langsung bersentuhan dengan kepentingan pragmatisnya. Akhirnya, proses penegakan hukum dengan berbagai masalah terlaksana tanpa kontrol masyarakat dan kekuatan publik.

Praktik mafia peradilan semakin leluasa lewat konspirasi penguasa, pengusaha, pencari keadilan dengan aparat penegak hukum tanpa kontrol pengawasan dari masyarakat. Potensi kekuatan yang ada di masyarakat seperti lembaga swadaya masyarakat dan perguruan tinggi seolah tidak memiliki taji kekuatan, tunduk dan bercerai-berai dengan urusan pragmatis masing-masing.

Keempat, keterbatasan sarana dan prasarana hukum. Hukum senantiasa dinamis mengikuti perkembangan dan perubahan zaman. Demikian pula perangkat sarana dan prasarana hukum, sebagai pendukung penindakan pelanggaran atas nama hukum harus tersedia secara memadai. Masalahnya, proses penegakan hukum masih dipenuhi keterbatasan akses sarana dan prasarana yang dimiliki oleh negara. Sehingga pelanggaran dan kejahatan terutama yang terkait dengan informasi dan teknologi terus berkembang cepat, tanpa diiringi inovasi dan progresif perangkat struktur penegak hukum.

Penegakan Hukum Progresif

Norma atau perangkat hukum bertujuan mempertahankan dan memantapkan peristiwa tertentu pada suatu tempat dan waktu lewat kodifikasi hukum. Sementara, masyarakat dan nilai kesadaran terus bergerak mengalami perubahan, tidak pernah berhenti, terus berlangsung dari waktu ke waktu. Akibatnya, hukum yang terkodifikasi tertinggal waktu dan masa. Hukum menjadi kalimat mati akibat arus perubahan yang semakin dinamis.

Sebagai alternatif sumber hukum yang memiliki legalitas memaksa, perubahan nilai mesti tunduk kepada kemapanan kodifikasi hukum walaupun tidak sesuai lagi dengan kebutuhan dan kesadaran masyarakat. Akibatnya, penerapan hukum melukai rasa keadilan dan kesadaran masyarakat.

Ternyata atas perkembangan zaman dan masyarakat, undang-undang belum mampu mengiringi kebutuhan dan kesadaran masyarakat yang dinamis. Kehidupan sosial senantiasa tumbuh dan berkembang mengakibatkan hukum yang terkodifikasi dalam bentuk undang-undang tidak mampu mengakomodir perubahan. Nilai-nilai hukum yang hidup di masyarakat dihormati dan dihargai secara kolektif, namun selama belum masuk kodifikasi hukum, dianggap tidak punya daya normatif yang dapat dipaksakan pelaksanannya.

Selain masalah kekosongan hukum dalam hukum positif, masalah lain yang sering dialami seperti terdapat norma multitafsir, norma kabur, dan norma tidak lengkap. Bahkan menjadi masalah berulang dalam proses penegakan hukum. Sementara, menyandarkan peristiwa hukum yang membutuhkan penyelesaian dan kepastian terhadap masalah regulasi tersebut, akan berdampak tercerabutnya keadilan dan nilai kesadaran masyarakat. Ada peristiwa hukum berupa pelanggaran atau kejahatan namun tidak ada hukum positif yang mengatur, hingga perbuatan tidak dapat diadili.

Hukum progresif berusaha menjawab masalah regulasi tadi. Mengajak seluruh penegak hukum menafsirkan dan menemukan hukum berdasarkan nilai-nilai keadilan yang tumbuh dan berkembang di tengah masyarakat. Bernardus Maria Taverne pernah menyebutkan “Berikan aku hakim, jaksa, polisi dan advokat yang baik, niscaya aku akan berantas kejahatan meski tanpa undang-undang sekalipun”. Artinya penegakan hukum bukan hanya ditunjang undang-undang, melainkan ditentukan oleh aparat penegak hukumnya.

Kata lain, hukum progresif bertujuan menggunakan hukum bagi kepentingan rakyat di atas kepentingan individu. Pandangan hukum progresif, hukum dilihat sebagai instrumen melayani kepentingan rakyat. Apabila rakyat menghadapi persoalan hukum yang berdimensi struktural, bukan rakyat yang dipersalahkan, melainkan perlu pengkajian asas, doktrin atau peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Para penegak hukum baik hakim, jaksa, polisi, dan advokat untuk berani mengambil langkah, tindakan dan pemikiran revolusioner yang abnormal dari keadaan hukum yang tidak normal ini. Berani untuk melahirkan pemikiran dan langkah hukum yang ditujukan untuk kebahagiaan manusia. Meninggalkan hukum kolonial yang legalistik, positivistik, formalistik dan dogmatik, hingga menjadi penegak hukum yang progresif memihak kepada kepentingan rakyat.

Langkah hukum progresif berusaha mencari cara guna mematahkan kekuatan positivisme hukum yang menganggap hukum hanya dalam bentuk peraturan tertulis, selain itu bukan hukum. Ini adalah paradigma aksi, bukan peraturan. Dengan demikian, peraturan tertulis dan sistem bukan satu-satunya yang menentukan tujuan hukum. Penegak hukum masih bisa menolong keadaan buruk yang ditimbulkan oleh sistem yang ada, dengan langkah penemuan hukum yang progresif membahagiakan manusia.

Penutup

Meski Indonesia terkenal sebagai negara dengan sistem hukum yang buruk, tetapi masih ada harapan melalui kekuatan progresif. Mereka ada di kejaksaan, pengadilan, kepolisian, advokat, akademisi, organisasi masyarakat, birokrasi, politisi, dan banyak lagi. Kekuatan mereka terbangun melalui jaringan informal, dari diskusi tukar pengalaman, melalui pembacaan media yang progresif.

Gerakan hukum progresif merupakan hasil refleksi dari realitas keterpurukan hukum saat ini, di mana diperlukan keberanian dan komitmen melakukan pembaharuan hukum menjadi responsif, termasuk meningkatkan kualitas para penegakan hukum. Melakukan perbaikan di berbagai sektor hukum, baik itu dari segi aparatur penegak hukum, segi kurikulum hukum, maupun kesadaran dan peran aktif masyarakat dalam penegakan hukum.

Catatan Kaki

[1] Disampaikan dalam Sosialisasi Penegakan Hukum, Jati Centre di Palu, pada Jumat (11/03/2022).
[2] Penulis merupakan Peneliti dan Konsultan Hukum di Palu.
[3] Lawrence Friedmann dalam Achmad Ali, 2005, Keterpurukan Hukum di Indonesia; Penyebab dan Solusi, Ghalia Indonesia, Bogor, hlm 1.
[4] Soerjono Soekanto, 2011, Faktor-Faktor yang Memengaruhi Penegakan Hukum, Raja Grafindo Persada, Jakarta, hlm 5.

Diplomacy, Humanitarian Action and Development

843 Views

Oleh : Noorwahid Sofyan, MA
(Akademisi IAIN Palu)

Secara sederhana aksi kemanusiaan dimaknai sebagai kegiatan yang bertujuan mengurangi penderitaan sesama manusia -termasuk membantu, menolong, mengadvokasi- yang disebabkan oleh bencana alam atau konflik dan peperangan. Aksi ini berlandaskan pada prinsip kemanusiaan (humanity), independensi, kesukarelawanan, imparsialitas dan netralitas juga didasarkan pada rasa empati, keikhlasan serta solidaritas sebagai mahluk Tuhan yang menghuni muka bumi.

Namun dalam kenyataannya, aksi kemanusiaan tidak cukup hanya dengan niat tulus tanpa pamrih untuk membantu mereka yang membutuhkan (Anderson, 1999). Diperlukan lebih dari sekedar keikhlasan agar bantuan yang diberikan sebagai bagian dari respon kemanusiaan itu bisa tepat sasaran. Dalam beberapa kasus, ditemukan ada indikasi bahwa bantuan yang diberikan oleh para donor melalui organisasi kemanusiaan tidak menyentuh basic need mereka yang dibantu. Kalau pun kebutuhan mendasar itu dapat dipenuhi, tidak bertahan begitu lama alias hanya bersifat temporer atau tidak berkelanjutan. Sebatas memberi “ikan” bukan “kail”.

Tentu tidak mudah bagi aksi kemanusiaan untuk memberikan sumbangsih yang berkelanjutan kepada para korban. Diperlukan pendekatan yang sistematis dan komprehensif untuk melakukan itu. Dalam tulisan Nell Gabiam yang mengutip Ferguson mengungkapkan “development relies on two meanings that are often conflated: on the one hand, development means a process of transition “toward a modern, capitalist, industrial economy modernization, capitalist development, the development of the forces of production, etc. On the other hand, it can be understood as any form of intervention aiming to improve quality of life and alleviate poverty”.

Hal ini menjadi perhatian Koddenbrock dan Büttner yang melihat ada peluang untuk menghubungkan dan mengsinergikan aksi kemanusiaan yang diidentikkan  dengan  independensi, netralitas  dan  bebas  dari  politik  dengan developmentaslism sebagai sebuah metode perubahan sosial yang menyeluruh untuk menghantarkan pada kehidupan yang lebih baik secara ekonomi, sosial dan politik.

Developmentalism  memang  menjadi kemestian dalam sudut  pandang  ideal kemanusiaan bahkan dalam salah satu kesepakatan global, kata development telah dituangkan dalam Sidang Umum PBB pada tahun 1986 dalam Declaration of the Right to Development (Deklarasi tentang Hak terhadap Pembangunan). Dan PBB mendefenisikannya sebagai “a comprehensive economic, social, cultural and political process, which aims at the constant

improvement of the wellbeing of the entire population and of all individuals … in which all human   rights  and   fundamental   freedoms   can   be   fully   realized”.   Dalam   pada   itu pembangunan (development) menjadi sarana perbaikan kesejahteraan seluruh penduduk dan individu yang memungkinkan terwujudnya semua hak dan kemerdekaan dasar manusia yang dipandang sejalan dengan tujuan dasar dalam kegiatan kemanusiaan di seluruh dunia.

Lantas bagaimana mengsinergikannya? Bukankah usaha-usaha pembangunan adalah langkah politik sedangkan aksi humanitarian adalah kegiatan yang seringkali sensitif dengan hal yang berbau politis. Koddenbrock dan Büttner mencoba menjawab keraguan itu dengan nada optimis bahwa kemungkinan itu terbuka lebar apabila dibangun pondasi konseptual, institusional dan operasional  yang  dapat  mengsinergikan relief,  rehabilitasi dan pembangunan.

Pada level konseptual, pembangunan dan kegiatan kemanusiaan harus dipahami sebagai kategori yang tidak selamanya bertentangan dan tidak mungkin disatukan. Pada level institusional harus ada jaminan pertanggungjawaban agar tidak terjadi penyalahgunaan wewenang yang dapat menghancurkan semangat dan prinsip utama kemanusiaan dalam upaya pembangunan sedangkan pada tingkatan operasional adalah kepastian berjalannya program jangka panjang yang dilakukan dengan melibatkan pihak- pihak yang mendukung pembangunan (Koddenbrock dan Büttner).

Dilihat dari sudut pandang diplomasi kemanusiaan, aktivitas kemanusiaan seperti yang digambarkan  di atas  bukanlah  hal  yang  sederhana  dan  aktor  kemanusiaan  yang  bekerja sebagai relawan maupun profesional dalam bidang kemanusiaan merupakan diplomat yang tidak terlepas dari kehidupan diplomasi. Tantangan yang dihadapi adalah bagaimana menghadapi,  membangun dan  memanfaatkan ragam aktor  yang  ada  di lapangan.  Dalam multitrack diplomacy  secara jelas ditekankan arti pentingnya pelibatan setiap elemen -baik pemerintah,  profesional,  bisnis,  private  citizen,  penelitian, training  dan  edukasi,  aktivis, agama,  funding,  dan  media dalam  membantu  dan  memperlancar serta  mensukseskan aktivitas kemanusiaan (McDonald and Diamond, 1996).

Untuk itu dibutuhkan kemampuan negosiasi dan diplomasi yang handal menentukan kesuksesan aktivitas kemanusiaan yang dilakukan. Seperti yang diutarakan Larry Minear bahwa setiap aktor kemanusiaan harus memahami fungsi, trik, dan keahlian diplomasi. “Those functions include negotiation of humanitarian access to vulnerable populations, promoting respect for international law and norms, combating a culture in which violations occur with impunity, supporting indigenous counterpart individuals and institutions, and engaging in advocacy with political authorities at the local, national and international levels” (Minear, 2000).

Jika aktivitas kemanusiaan dan pembangunan (development) ini diterima sebagai sesuatu yang dapat bersinergi maka menjadi keharusan bagi aktor kemanusiaan untuk memahami sekaligus mempraktekkan aktivitas diplomasi dalam menjalankannya.

**

Bahan Bacaan

Anderson, Mary B, Do No Harm: How Aid Can Support Peace-or War, London: Lyenne Rienner Publisher Inc. 1999.
Diamond, Dr. Louise and Ambassador John McDonald, Multitrack Diplomacy: A System Approach to Peace, West Harford USA: Kumarian Press. 1996.
Gabiam, Nell, When “Humanitarianism” Becomes “Development”: The Politics of International Aid in Syria’s Palestinian Refugee Camps, American Anthropologist, vol. 114,  American Anthropological Association,                , 2012.
Koddenbrock, Kai and Martin Büttner, The Will to Bridge? European Commission and U.S. Approaches to Linking Relief, Rehabilitation and Development, Chapter 8,
                                    ,                  :                  . Smith, Hazel, Humanitarian Diplomacy : Practitioners and Their Craft, New York : United Nations University Press. 2007.