728 Views
Oleh : Ruslan Husen, SH, MH.
Bulan Mei 2017 lalu, organisasi kemasyarakat Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) dibubarkan Pemerintah berdasarkan Perppu Nomor 2 Tahun 2017 Tentang Organisasi Kemasyarakatan. HTI dianggap sebagai organisasi terlarang dan dilarang Pemerintah melakukan kegiatan atas nama organisasi ini. Penyebabnya, HTI dituduh ingin mengganti ideologi Pancasila, UUD 1945, dan mengancam eksistensi Negara Kesatuan Republik Indonesia dengan tujuan mendirikan sistem negara bernama khilafah. Tidak sampai pada pembubaran saja, para pengurus dan simpatisan HTI yang mengkampanyekan sistem khilafah turut diancam dengan sanksi pidana. Mereka bisa dianggap melakukan tindakan makar membahayakan eksistensi dan kedaulatan NKRI.
Berkaca dari pengalaman itu, otoritas kekuasaan negara begitu kuat. Massa HTI bisa saja protes selama berbulan-bulan, melakukan aksi protes yang tidak putus. Terus menjastifikasi bahwa HTI sebagai organisasi yang didirikan atas dasar Konstitusi, dalam negara hukum yang menjunjung tinggi hak asasi manusia dengan jaminan dan kemerdekaan berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pikiran dan pendapat, dan membuat justifikasi rasional bahwa organisasi tidak seburuk seperti dituduhkan oknum Pemerintah. Tetapi Pemerintah mengenyampingkan semua pembelaan itu dan bermodal surat penetapan pembubaran, langsung bubar organisasi masyarakat ini, tidak lagi bisa melakukan kegiatan atas namanya.
Penulis menguraikan dinamika pembubaran HTI, tidak bermaksud larut dalam perdebatan pro-kontra legalitas dan argumentasi pembubaran organisasi massa ini. Masing-masing pihak pasti memiliki dasar dan argumentasi logis. Penulis lebih menitik-beratkan pada eksistensi kekuasaan negara yang strategis bagi berkembang atau tidak berkembang suatu organisasi massa bahkan ideologi tertentu. Kekuasaan negara memiliki kekuatan membubarkan organisasi massa dan mencegah berkembang ideologi, bahkan Pemerintah sendiri bisa menjadi pihak pendukung berkembang dan maju suatu gerakan massa dengan ideologinya.
Demikian pula dengan agama akan tegak, ideologi Islam akan diterima secara masif atas dukungan kekuasaan negara. Agama menjadi pondasi, sementara kekuasaan negara menjadi pengawal. Negara tanpa agama akan hancur, sementara kekuasaan negara tanpa tuntunan agama menjadi sia-sia. Agama memerlukan agama agar dapat berkembang, sebaliknya negara memerlukan agama untuk mendapatkan bimbingan moral dan etika. Dengan kekuasaan politik, aspek kehidupan dapat diarahkan. Sebab kekuasaan negara memiliki sumber daya, fasilitas dan dukungan rakyat. Walaupun tidak jarang kekuasaan negara juga represif terhadap rakyatnya sendiri.
Menjadi pertanyaan, apa sistem pemerintahan ideal dalam konteks Indonesia? Sistem yang bisa diterima oleh semua komponen anak bangsa ini. Apakah sistem pemerintahan yang dijalankan, sudah menjamin tegak ajaran Islam, atau malah perlu dipertimbangkan wacana penggantian sistem pemerintahan. Dengan menawarkan konsep pemerintahan khilafah, seperti ditawarkan HTI, menawarkan sistem kepemimpinan imamah seperti yang dijalankan oleh Republik Islam Iran, atau aktualisasi sistem pemerintahan demokrasi lewat penerapan prinsip ajaran agama di negara bangsa. Atau jangan-jangan lebih memilih sistem pemerintahan berbentuk kerajaan (monarki) yang kekuasaan raja diganti oleh keturunannya secara turun-temurun. Semua sistem pemerintahan tersebut pernah dipraktikkan dan menjadi kekayaan khasanah intektual pemerintah Islam.
Pemerintahan Islam
Segala sisi kehidupan manusia telah ada tuntunan dalam dasar-dasar ajaran Islam, yang ditemukan dalam Alquran, Hadits Nabi maupun Ijtihad ulama. Memahami, mengamalkan dan menyebarkan ajaran Islam kepada masyarakat menjadi tanggung-jawab setiap muslim sebagai pemimpin (khalifah) di muka bumi. Refleksi tuntunan beragama disarikan dari dasar-dasar ajaran Islam menjadi sikap-perilaku muslim. Ajaran yang memberi arah dan pedoman mengarungi kehidupan sekaligus menjawab dinamika seputar Tuhan, manusia dan alam semesta.
Dasar-dasar ajaran Islam menjadi norma pijak sikap-tingkah laku seorang muslim. Sisi kehidupan terkecil sampai yang terbesar telah diatur prinsipnya dalam Islam. Dari urusan masuk toilet sampai pada kehidupan bernegara, ada tuntunannya. Apalagi persoalan pemerintahan yang menguasai dan mengatur hajat hidup orang banyak, pasti memperoleh prioritas bahasan dalam ajaran tauhid ini.
Sehingga kurang tepat, menganggap ciri seorang muslim sejati adalah mereka yang senantiasa memakai sorban dan baju gamis, dengan rutinitas ibadah yang lekat. Tetapi, malah minim perhatian pada kehidupan sosial-politik bernegara, bahkan mengharamkan politik dibahas di masjid. Kegiatan politik di masjid sejak zaman Rasulullah Muhammad SAW biasa dilakukan, masjid merupakan pusat kegiatan umat Islam, termasuk dalam melakukan konsolidasi politik. Membolehkan masjid sebagai sarana membahas seputar politik sepanjang dilakukan secara objektif, berperspektif kemanusiaan universal, dan tidak untuk kepentingan pragmatis dukung-mendukung peserta kontestasi pemilu tertentu (kepentingan kekuasaan jangka pendek).
Walaupun untuk urusan kehidupan bernegara menurut M. Natsir, Islam tidak mengatur karena hal-hal yang tidak diatur tersebut memang tidak bersifat kekal dan berkenaan dengan keduniawian yang berubah menurut tempat, waktu, dan keadaan.[1] Islam lebih mengatur dasar-dasar kehidupan yang tidak akan berubah, dalam bentuk hukum untuk mencegah penyakit masyarakat misalnya aturan tentang larangan minuman keras, perjudian, perzinahan, riba, serta aturan tentang pernikahan, perceraian, waris, dan zakat.
Berkaca dari pengalaman sejarah soal sistem pemerintahan yang pernah dipraktikkan dunia Islam terkait dengan kondisi kontekstual masing-masing umat. Dalam rentang waktu yang sangat panjang sejak abag ke-7 masehi hingga sekarang, umat Islam pernah mempraktikkan beberapa sistem pemerintahan, meliputi pemerintahan khilafah, imamah, monarki, dan demokrasi.
a. Pemerintahan khilafah dan Monarki
Khilafah secara etimologis, artinya kedudukan pengganti yang menggantikan orang sebelumnya. Menurut terminologi, khilafah diartikan sebagai kepimpinan umum, yang menjadi hak seluruh kaum muslimin di dunia untuk menegakkan hukum syariat Islam (hukum Allah) dan mengemban dakwah Islam ke seluruh dunia. Khilafah ditempatkan sebagai pemerintahan islam yang tidak dibatasi oleh teritorial, sehingga meliputi berbagai suku dan bangsa. Ikatan yang mempersatukan kekhalifahan adalah Islam sebagai agama.
Sistem pemerintahan khilafah adalah sistem pemerintahan Islam global yang tidak dibatasi oleh teritorial dengan tujuan menerapkan hukum Allah yang diperuntukkan bagi manusia, sehingga khilafah Islam meliputi berbagai suku dan bangsa di dunia. Pada intinya khilafah merupakan kepemimpinan umum yang mengurusi agama dan kenegaraan untuk menegakkan hukum-hukum syariat Islam dan memikul misi “rahmat bagi semesta alam” ke seluruh dunia.
Ketika Nabi Muhammad saw meninggal dunia, beliau tidak mewasiatkan penunjukkan pengganti kepemimpinan secara spesifik. Para sahabat kemudian berdiskusi yang kemudian menghasilkan keputusan untuk mengangkat Abu Bakar sebagai pengganti Nabi Muhammad Saw dalam urusan kepemimpinan. Masa kepemimpinan selanjutnya dipegang oleh Umar bin Khatthab saat Ia ditunjuk langsung oleh Abu Bakar. Selanjutnya, kepemimpinan dipegang oleh Usman bin Affan yang terpilih melalui diskusi dewan khusus yang dibentuk oleh Umar bin Khatthab sebagai bagian dari proses pergantian kepemimpinan berikutnya. Kepemimpinan kemudian beralih ke Ali bin Abi Thalib yang dipilih secara aklamasi oleh para sahabat.
Ciri yang menonjol dari sistem pemerintah yang mereka jalankan (khulafa al-rasyidun) terletak pada mekanisme musyawarah sebagai paradigma dasar kekuasaan, bukan dengan sistem warisan pemerintah kepada keturunan. Tidak ada satupun dari keempat khalifah tersebut yang menurunkan kekuasaannya kepada sanak-kerabaanya. Musyawarah menjadi cara yang ditempuh dalam menjalankan kekuasaan.[2] Prinsip musyawarah mampu mendialogkan perbedaan-perbedaan pandangan dan sikap yang dibangun di atas toleransi, guna mencari alternatif terbaik.
Namun pada fase berikutnya setelah masa khulafa al-rasyidun kekhalifahan dilanjutkan oleh Dinasti Bani Umayah dengan Muawiyah bin Abi Sofyan sebagai khalifah pertama. Lalu melantik puteranya, Yazid sebagai khalifah. Sejak saat itu khilafah Islamiyah berdasarkan syura diganti dengan sistem keturunan, menjadi negara kerajaan (monarki) mengikuti sistem yang diberlakukan di Persia dan Romawi.
Mujar Ibnu Syarif dan Khamami Zada[3] menjelaskan, sistem monarki memberikan hak kepada pemimpin untuk menganggap negara sebagai miliknya dan bisa diwariskan kepada keluarga (turun-temurun) sementara rakyat dipandang sebagai bawahan yang berada di bawah perlindungan dan dukungannya. Dalam sistem ini, singgasana kerajaan akan diwarisi oleh seorang putra mahkota dari orang tuanya. Raja diposisikan sebagai sentral kekuasaan, dan raja berhak menetapkan aturan bagi rakyatnya. Perkataan raja adalah undang-undang tertinggi yang harus ditaati. Raja memiliki hak khusus yang tidak dimiliki rakyatnya. Raja memiliki kekebalan hukum dan kekuasaan kenegaraan yang tidak terbatas.
Berakhirnya Dinasti Bani Umayah yang digantikan oleh Bani Abbasiyah, menempatkan sistem pemerintahan yang dianut tidak jauh berbeda, yakni masih mempertahkan khilafah monarki. Demikian pula saat kekuasaan Islam dipegang oleh Turki Usmani di Istambul (Dinasti Utsmaniyah), khilafah monarki yang dipertahankan.
Praktis pemerintahan Islam selepas khulafa al-rasyidun, telah menempatkan musyawarah tidak dijadikan sistem pergantian kekuasaan, sirkulasi kekuasaan diserahkan kepada keluarga raja, akibatnya suri tauladan yang diwariskan khulafa al-rasyidun hilang begitu saja.
b. Kepemimpinan Imamah
Imamah secara etimologi artinya kepemimpinan. Setiap orang yang menduduki kursi kepemimpinan suatu kelompok manusia disebut sebagai imam. Menurut terminologi, imamah ialah kepemimpinan umum atas segenap umat Islam dalam berbagai aspek kehidupan, baik yang bersifat spiritual maupun duniawi. Dicantumkan kata “duniawi” untuk mempertegas betapa luas cakupan imamah, bahwa pengaturan masalah-masalah dunia bagi umat Islam merupakan bagian dari agama Islam.
Mazhab Syi’ah imamiyah berpandangan bahwa persoalan imamah ini merupakan otoritas Allah. Dialah yang berhak memilih dan mengangkat hamba-Nya yang saleh untuk menduduki jabatan imamah. Peristiwa pengangkatan imam ini telah terjadi pada masa hidup Nabi, yaitu tatkala Allah Swt memilih dan mengangkat Ali bin Abi Thalib sebagai imam dan khalifah muslimin sepeninggal beliau. Pemilihan dan pengangkatan Ali tersebut dilakukan oleh Rasul Muhammad SAW secara langsung dan di hadapan umat Islam. Beliau pun memilih dan menentukan 11 orang lainnya dari keturunan Ali sebagai imam kaum muslimin setelah wafatnya.
Doktrin politik Syi’ah muncul dari konsep kepemimpinan imamiyah selama masa periode gaib besar, di mana imam yang kedua belas gaib. Selama masa kegaiban itu, otoritas (wilayat) dikuasakan kepada seorang faqih yang adil dan bertindak sebagai deputi dari iman yang gaib. Penguasaan tersebut menurut Ahmad Vaezi tidak ditunjuk melalui pemilihan bebas, mereka berkuasa karena kualifikasi dan kemampuan tertentu, tidak karena pendelagasian otoritas dalam model proses demokrasi, tapi karena kualitas sebagai wali.[4] Dengan demikian perwalian dari seorang ahli faqih disahkan otoritas yang asli dan mutlak dari Allah, untuk menegakkan pemerintahan Islam dan mengatur masyarakat.
Konsep politik Syi’ah dikontekstualisasi dalam bentuk wilayah al-faqih, yang dalam periode modern dipraktekkan di Republik Islam Iran. Iran menjadi penjelmaan konsep ini setelah Revolusi Islam Iran tahun 1979 yang dipimpin oleh Imam Khomeini. Ada lima lembaga penting yang ditafsir oleh Dewan Ahli dan disetujui oleh Imam Khomeini, yakni faqih, presiden, perdana menteri, parlemen dan dewan pelindung konstitusi. Kekuasaan terbesar dipegang oleh faqih yang dipilih oleh dewan ahli dengan syarat-syarat tertentu.[5]
Wewenang faqih di Iran menurut Imam Khomaeni[6] antara lain, (1) mengangkat Ketua Pengadilan Tertinggi; (2) mengangkat seluruh pimpinan angkatan bersenjata; (3) mengangkat pimpinan pengawal revolusi; mengangkat anggota Dewan Perlindungan Konstitusi, dan (5) membentuk Dewan Pertahanan Nasional yang anggotanya terdiri dari presiden, perdana menteri, menteri pertahanan, KSAB, kepala pasdaran, dan dua orang penasihat. Kewenangan mengangkat tentu diikuti juga dengan kewenangan pemberhentian pejabat tersebut.
Pemegang kekuasaan terbesar kedua adalah presiden yang dipilih setiap empat tahun sekali. Tugas pokok presiden menjalankan konstitusi negara, menjadi kepala pemerintahan, serta mengkoordinasikan ketiga lembaga negara: ekskutif, legislatif, dan yudikatif. Presiden merupakan pejabat tertinggi pemerintahan Iran dalam hubungan internasional yang berwenang menandatangani perjanjian dan berhak mengangkat perdana menteri setelah parlemen menyetujui.
Kekuasaan legislatif dipegang oleh parlemen yang beranggotakan 270 orang dan dipilih secara bebas dan rahasia oleh rakyat. Parlemen bertugas mengawasi, mengontrol dan membahas seluruh kebijakan pemerintahan. Seluruh keputusan dan perjanjian yang dibuat pemerintah harus mendapat persetujuan parlemen.
Adapun Dewan Pelindung Konstitusi Iran beranggotakan dua belas orang, enam orang anggotanya adalah ahli hukum Islam yang diangkat faqih, sedangkan enam orang lainnya terdiri dari ahli hukum umum yang diusulkan Pengadilan Tinggi Iran dan disetujui parlemen. Tanpa persetujuan Dewan, seluruh kegiatan parlemen tidak sah. Tugas utama Dewan ini melindungi Islam dan Konstitusi Negara Islam Iran. Dewan ini memiliki kekuasaan menafsirkan konstitusi dan bertugas melaksanakan referendum, pemilihan presiden dan pemilihan anggota parlemen.
c. Demokrasi
Asal kata demokrasi berasal dari bahasa Yunani yakni demokratia, yang berarti pemerintahan rakyat. Demokratia berasal dari demos yang artinya manusia (rakyat), dan kratos yang artinya pemerintahan. Makna demokrasi lekat dengan pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Demokrasi merupakan bentuk pemerintahan politik yang memperoleh kekuasaan pemerintahan berasal dari rakyat, baik secara langsung (demokrasi langsung) atau secara tidak langsung melalui perwakilan (demokrasi perwakilan).
Demokrasi dalam pandangan Syamsuddin Haris, sebagai sistem politik dan cara pengaturan kehidupan terbaik setiap masyarakat yang menyebut diri modern, sehingga pemerintah di manapun termasuk rezim totaliter, berusaha menyakinkan masyarakat dunia bahwa mereka menganut sistem politik demokratis, atau tengah berproses ke arah sistem politik demokratis.[7] Dalam praktik, demokrasi ditemui dalam bentuk formal, yakni ada proses pemilihan umum yang dilaksanakan oleh lembaga independen dan mandiri, serta adanya kebebasan pemilih untuk menentukan pilihannya dari semua peserta kontestan. Demokrasi formal ini dilekatkan ada aturan dan ketentuan sebagai aturan main yang wajib ditaati semua pihak.
Demokrasi dalam praktik dapat melahirkan pemimpin berintegritas yang berjuang dan bertanggungjawab atas pelaksanaan pemerintahan adil dan melindungi segenap warga negara. Namun wajah demokrasi juga kadang tercorong dengan lahirnya pemimpin otoriter yang membunuh demokrasi, melalui kontrol kekuasaan dan melahirnya undang-undang untuk kepentingan diri dan golongannya.
Padahal sejatinya, demokrasi bersifat substantif yakni tidak sekedar pelaksanaan proses aturan main pemilihan umum, tetapi ada pendidikan politik yang terinternalisasi lewat kesadaran sikap tingkah laku stakeholders. Nilai keadilan, kebebasan, kesetaraan, dan hak asasi manusia diperhatikan dan dilaksanakan. Hingga minim pelanggaran yang menciderai proses demokratisasi serta penanganan pelanggaran yang tegas kepada pelaku. Demikian pula dari sisi hasil pemilihan yang dapat diterima oleh semua pihak, hingga lahir pemimpin berintegritas pilihan rakyat pemilik kedaulatan.
Sistem pemerintahan demokrasi, menjadi di antara sistem yang banyak diterapkan negara-negara yang mayoritas penduduknya beragama Islam, seperti halnya Indonesia. Demokrasi tidak dijalankan secara sekuler seperti di negara barat, melainkan demokrasi mendapatkan pengaruh dari agama. Hal ini dapat diidentifikasi lewat materi muatan peraturan perundang-undangan yang dipengaruhi oleh ajaran agama Islam.
Desain Sistem Pemerintahan Indonesia
a. Fenomena Dominasi Presiden
Negara Indonesia, telah menempatkan kekuasaan dilaksanakan oleh kekuasaan pemerintahan negara yang dibagi ke dalam cabang-cabang kekuasaan, yakni kekuasaan eksekutif, legislatif dan yudikatif. Tiga cabang kekuasaan ini saling kontrol dan sinergi sebagai satu kesatuan fungsi penyelenggaraan kekuasaan negara. Walaupun dalam sistem pemerintahan Indonesia, kekuasaan eksekutif yang di jabat kekuasaan tertinggi “Presiden” lebih menonjol superior dibandingkan dengan cabang kekuasaan lainnya. Tidak jarang Presiden bersama para pimpinan partai politik pengusung, menentukan arah kebijakan tatanan kehidupan bermasyarakat-bernegara.
Demikian pula kinerja cabang kekuasaan legislatif dan yudikatif secara langsung maupun tidak langsung dapat dipengaruhi oleh kekuasaan eksekutif-presiden. Walau ada norma tekstual, kekuasaan legislatif dan yudikatif sebagai kekuasaan mandiri dan independen. Tetapi, kenyataan praktik tidak seideal teks norma terbaca. Loyalitas, balas budi dan aroma desain memuluskan kebijakan politik tertinggi tidak bisa ditepis. Jadilah cabang kekuasaan negara lainnya sebagai perpanjangan tangan kepentingan pragmatis eksekutif-Presiden dan kelompoknya.
Kenyataan ini berangkat dari desain regulasi yang mengatur tata kehidupan bernegara, regulasi yang dirumuskan oleh anggota legislatif (DPR) bersama pemerintah. Sebagai tokoh partai politik yang berhasil duduk di gedung Senayan lewat sistem pemilihan umum, produk regulasi bisa dipastikan tidak lepas dari arahan internal partai politik asalnya. Regulasi sebagai hasil kompromi politik dan lobi pragmatis antar partai. Hampir tidak ada alias minim keberanian-idealisme anggota legislatif untuk keluar dari bingkai kebijakan partai dengan ekspektasi keadilan subtantif, mengambil sikap politik berbeda dengan kebijakan internal partai. Kalaupun ada yang nekat-berani maka siap bernasib tragis, dicari kesalahan walau kadang politis terus diganti dengan status pengganti antar waktu, karena tidak memenuhi syarat lagi sebagai anggota partai politik.
Ada lingkaran kekuasaan. partai politik sebagai pengusung calon presiden dan wakil presiden dalam pemilihan umum, dan peran mengusung calon legislatif, hingga terpilih menjadi anggota legislatif dan duduk di Senayan. Dengan kenyataan ini, “pimpinan partai politik” menjadi pihak yang mempengaruhi kebijakan kekuasaan negara yang dijalankan oleh presiden, demikian juga dengan undang-undang produk regulasi hasil parlemen.
Demikian pula dengan cabang kekuasaan yudikatif sebagai pelaksana peraturan perundang-undangan di bidang penegakan hukum yang mandiri dan imparsial, juga tidak lepas dari pengaruh eksekutif-presiden. Kenyataan ini tidak lepas dari kewenangan presiden mengangkat dan memberhentikan pimpinan lembaga dalam kekuasaan yudikatif, baik kepolisian, kejaksaan, mahkamah agung, dan mahkamah konstitusi. Walaupun dalam proses rekrutmen ada persetujuan dari parlemen, tapi sekali lagi dominasi kekuasaan presiden dan pimpinan partai politik pengusung sangat menentukan sosok masing-masing pimpinan lembaga dalam kekuasaan yudikatif.
****
Sejatinya demokrasi hanya dapat dijalankan oleh para pemimpin negara yang amanah. Label amanah terlihat dan dirasakan oleh rakyat dari sikap, tindakan dan kebijakan pengelolaan negara. Sebab seorang pemimpin politik yang picik, akan menganggap musuh orang-orang yang kritis yang kebetulan berseberangan pendapat dengannya. Lebih fatal lagi, musuh tadi harus dikuasai kalau perlu dimusnahkan dengan berbahai cara, kendati dengan cara membunuh (menghilangkan nyawa), menculik atau membunuh karakter musuh. Tindakan irrasional dalam sudut demokrasi, seperti itu bisa saja terjadi, apalagi dikuasainya mayoritas struktur lembaga-lembaga negara dan kekuatan civil society potensial.
Pada keadaan ini, demokrasi yang diagungkan dibajak beberapa kalangan elit politik, tentunya untuk kepentingan pribadi. Hakikat suara rakyat hasil pemilu berkembang untuk melindungi dan mencapai tujuan elit politik. Inilah yang dikhawatirkan dari pemimpin hasil pemilu bertransformasi menjadi pemimpin otoriter. Demokrasi perlahan-lahan mati dan dikalahkan oleh sistem pemerintahan yang dibangun dengan mengarah ke ciri diktator. Padahal pemimpin tersebut lahir dari proses demokratisasi. Steven Levistsky dan Daniel Ziblatt profesor Universitas Harvard Amerika, dalam bukunya “Bagaimana Demokrasi Mati (How Democracies Die), menyebut empat ciri-ciri kunci yang menunjukkan bahwa demokrasi telah berubah menjadi sistem pemerintahan berprilaku otoriter. Pertama, komitemen lemah atas aturan hukum. Kedua, menyangkal legitimasi lawan politik. Ketiga, intoleransi atau anjuran kekerasan. Keempat, membatasi kebebasan sipil lawan, termasuk media.[8] Matinya demokrasi ditandai dari keadaan-peristiwa kehidupan bernegara, yang erat kaitan dengan tindakan pemilik kekuasaan (pemerintah) mencerabut nilai dan prinsip demokrasi.
Pemerintah ciri diktator ini bisa saja lahir lewat proses pemilu, di mana tokoh politik menghimpun dukungan dengan menggunakan isu-isu populer dan argumen yang penuh prasangka terhadap lawan-lawan politik. Lalu terpilih dan naik ke puncak kekuasaan lewat proses pemilu, saat itulah Ia mulai menjalankan kekuasaan pemerintahan dengan langkah menghancurkan lembaga-lembaga politik yang demokratis. Berupa lembaga politik dijadikan senjata politik untuk mengendalikan dan menghantam mereka yang berseberangan secara politik. Membeli media dan sektor swasta agar diam atau memihak kepadanya, serta mengubah aturan politik agar keseimbangan politik berubah menjadi merugikan lawan. Jadi inilah paradoks gawat yang harus dihadapi oleh sistem demokrasi.
Banyak upaya pemerintah berkuasa membajak demokrasi sehingga tampak “legal” dengan persetujuan lembaga legislatif dan diterima lembaga yudikatif. Boleh jadi desain pencitraan, melalui upaya-upaya perbaikan demokrasi dengan membuat pengadilan lebih efesien, memerangi kejahatan dan korupsi, atau mendorong pemilu jujur dan adil. Media massa terbit setiap saat, tapi sudah dibeli atau ditekan pihak pemerintah sehingga menyensor diri sendiri. Rakyat terus mengkritik pemerintah tapi lantas menghadapi kriminalisasi. Jadilah masyarakat sebagian besar memilih jalan aman yakni apatis.
Pemerintahan dijalankan dalam sebuah skenario besar mempertahankan kekuasaan. Kritikan-kritikan berpotensi mengancam eksistensi kekuasaan lantas ditekan, dikriminalisasi dan diberangus dengan terlebih dahulu diajak masuk dalam lingkaran kekuasaan saling menguntungkan. Struktur kekuasaan lembaga negara dikuasai dengan cara mempergunakan otoritas mengisi dengan orang-orang loyal terhadap elit pemerintah. Pada sisi lain, jargon dan branding tentang pemerintahan demokratis, penegakan hukum dan perlindungan HAM terus disampaikan. Walau senyatanya berbeda, antara disampaikan dengan dilakukan pemerintah.
b. Pijakan Demokrasi Indonesia
Sistem pemerintahan khilafah dan imamah merupakan sebagian dari khazanah kekayaan identitas dan sistem politik yang dipraktekkan oleh umat Islam dalam konteks negara bangsa (nation state). Masing-masing khazanah berkembang melewati batas sekat wilayah negara. Tetapi selain sistem tersebut, sistem politik demokratis juga banyak dipraktekkan oleh sejumlah negara-negara muslim di dunia, atau setidaknya dipraktekkan di negara yang mayoritas berpenduduk agama Islam. Walaupun sistem politik demokratis tidak menjamin negara akan mencapai kemakmuran, sebab banyak juga negara yang tidak menerapkan sistem demokrasi berhasil mencapai tingkat kemakmuran. Tetapi sistem demokrasi lebih menjamin pergantian pemerintah secara damai, dan ada jaminan perlindungan hak asasi manusia.
Kembali ke topik utama, bahwa khilafah, imamah, dan monarki menjadi referensi sistem politik Islam untuk diterapkan di negara bangsa. Pilihan menentukan sistem pemerintahan menjadi hak pendiri negara dan kedaulatan rakyat. Islam tidak menggariskan secara tegas bentuk sistem pemerintahan, tetapi menekankan pada aspek substansi, prinsip, dan nilai Islam dalam setiap pelaksanaan sistem pemerintahan. Jadi sekali lagi, setiap bangsa bebas menentukan bentuk sistem pemerintahan yang dianut dengan catatan mengandung unsur-unsur keadilan, persamaan, dan permusyawaratan serta tidak mengubah dasar-dasar ajaran Islam yang fundamental.
Unsur-unsur tersebut menurut Dahlan Thaib dkk menunjukkan konsepsi Islam tentang negara memegang peranan penting bagi pembentukan negara modern yang demokratis. Sebagai contoh Islam dan ketatanegaraan modern memperlihatkan formulasi konstitusi Madina sebagai konstitusi pertama di dunia, yang di dalamnya terkadunung muatan materi layaknya konstitusi modern. Konstitusi ini memuat dasar-dasar masyarakat partisipatif dan egaliter, yang dicirikan dengan pengakuan hak asasi manusia tanpa diskriminasi baik muslim maupun yahudi.[9]
Indonesia sebagai negara yang berpenduduk muslim terbesar, lebih memilih dan menjadikan demokrasi sebagai sistem politik pemerintahan. Pergulatan pemikiran, idealisme, toleransi, dan orentasi dari para pendiri bangsa (the founding fathers) lantas menjatuhkan pilihan pada sistem demokrasi yang menempatkan rakyat berdaulat menempatkan wakil-wakilnya di pemerintahan melalui mekanisme pemilihan umum. Pemilihan dilaksanakan dalam periode lima tahun sekali untuk memilih presiden dan wakil presiden, anggota legislatif, dan kepala daerah oleh lembaga indepen dan mandiri yakni KPU, Bawaslu, dan DKPP.
Sebagaimana demokrasi menempatkan kedaulatan tertinggi pada tangan rakyat, rakyat yang berdaulat memilih wakil-wakilnya duduk di kursi pemerintah dan legislatif. Demokrasi dilaksanakan melalui mekanisme pemilihan umum untuk periode masa pemerintahan. Pemilu dijalankan oleh lembaga independen yang memperlakukan semua peserta pemilu secara jujur dan adil serta menjamin hak-hak politik masyarakat.
Konsepsi Islam mengenai hak-hak politik merupakan hak-hak yang dinikmati oleh setiap rakyat sebagai anggota dalam suatu lembaga politik seperti hak memilih, hak dipilih, hak mencalonkan diri untuk menduduki jabatan politik, hak memegang jabatan umum dalam negara, dan hak yang menjadikan seseorang ikut serta mengatur kepentingan negara dan pemerintahan.[10]
Pembukaan alinea IV UUD 1945 berbunyi, “bahwa kemerdekaan kebangsaan Indonesia itu disusun dalam suatu Undang-Undang Dasar Negara Indonesia yang terbentuk dalam suatu susunan negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat”. Selanjutnya berdasarkan ketentuan Pasal 1 ayat (1) UUD 1945, “Negara Indonesia adalah negara kesatuan yang berbentuk republik”. Dimaknai negara Indonesia berbentuk negara kesatuan, sedangkan sistem pemerintahan yang dijalankan ialah Republik. Selain sistem pemerintahan republik dan bentuk negara kesatuan, Presiden ditempatkan sebagai pemegang kekuasaan kepala negara dan sekaligus kepala pemerintahan. Pemerintahan merupakan kekuasaan negara yang dijalankan badan-badan legislatif, eksekutif, dan yudikatif dalam rangka mencapai tujuan penyelenggaraan bernegara.
Fungsi pemerintahan suatu negara, meminjam ajaran trias politica Montesqieu dibedakan menjadi tiga fungsi, yakni eksekutif sebagai kekuasaan untuk menjalankan undang undang, legislatif sebagai kekuasaan untuk membentuk undang undang, dan yudikatif sebagai kuasaan mengadili terhadap pelanggaran atas undang undang. Dari sistem pemerintahan Indonesia mulai tahun 1945 hingga saat ini, telah terjadi banyak perubahan. Perubahan yang menjadi sejarah perjalanan ketatanegaraan negara Indonesia. Perubahan itu, lewat penyelenggaraan pemilihan umum secara serentak, mekanisme cheks and balance lembaga negara, dan pemberian kekuasaan yang besar kepada parlemen untuk melaksanakan fungsi pengawasan, pembahasan undang-undang dan fungsi anggaran.
Walaupun diakui proses demokratisasi dalam kerangka penyelenggaraan kekuasaan negara masih menemui sejumlah masalah, hambatan, dan tantangan. Terutama akibat perbedaan ideologi, aliran dan kepercayaan yang tajam, kadang turut mempengaruhi stabilitas negara, yang pada satu kesempatan berujung pada terjadinya konflik sosial pembawa malapetaka kehidupan masyarakat, berupa kerugian harta-benda hingga hilangnya nyawa. Mengatasi hal semacam ini, maka semangat dan bangun toleransi antar umat beragama maupun dalam sesama umat beragama menjadi penting selalu digalakkan, guna merawat dan merajuk persatuan dan kesatuan bangsa.
Berdasarkan ideologi Pancasila menurut Muchamad Ali Safa’at, Indonesia bukan negara agama karena negara agama hanya mendasarkan diri pada satu agama saja. Pada sisi lain, juga bukan negara sekuler karena negara sekuler tidak terlibat dalam urusan agama. Negara Indonesia yang berideologi Pancasila menempatkan negara kebangsaan yang religius untuk melindungi dan memfasilitasi perkembangan semua agama yang dipeluk oleh rakyat tanpa pembedaan besarnya dan jumlah pemeluk.[11]
Artinya hubungan negara dan agama di Indonesia tidak ditempatkan dalam konteks dikotomi, melainkan ditempatkan pada posisi yang harmonis dalam bingkai nilai-nilai kemanusiaan dan ketuhanan. Indonesia tidak menolak modernisasi sejauh tidak meninggalkan nilai-nilai kemanusiaan dan ketuhanan. Hal ini menjadi wahana bagi kelompok muslim terdidik untuk signifikan terhadap pertumbuhan gerakan demokrasi.
Penutup
Islam merupakan agama monoteisme yang sempurna mengatur dasar-dasar sisi sendi kehidupan manusia, meliputi tuntuan moral dan peribadatan, serta petunjuk-petunjuk mengenai segala aspek kehidupan, termasuk sistem politik dan pemerintahan negara. Islam dan politik tidak terpisahkan, agama dan negara merupakan dua objek penting dalam Islam, yang keduanya memiliki hubungan fungsional yakni kekuasaan politik melindungi agama dan agama mengawal kekuasaan politik.
Soal sistem politik dan pemerintahan tidak lepas dari bahasan ajaran Islam. Dalam catatan sejarah, sistem pemerintahan yang pernah diterapkan dengan pengaruh ajaran Islam meliputi sistem pemerintahan khilafah yang dijalankan khulafa al-rasyidun hingga bermetamorfosis menjadi kekuasaan monarki di masa Dinasti Umayah, lalu berganti Dinasti Abbasiyah, dan dilanjutkan Dinasti Turki Utsmaniyah di Istanbul Turki. Demikian pula dengan sistem pemerintahan imamah dijalankan hingga kini oleh Republik Islam Iran dengan konsep wilayatul al-faqih. Serta sistem demokrasi hingga kini banyak dipraktikkan negara muslim.
Konteks ke-Indonesiaan, para pendiri bangsa dan rakyat yang mayoritas umat Islam berkewajiban menjalankan ajaran agama Islam secara penuh dan konsekwen, dengan memperhatikan lokalitas-kearifan setempat. Islam juga tidak menegaskan, bahwa sistem pemerintahan negara-bangsa harus berbentuk khilafah, imamah, atau monarki. Asal sistem pemerintahan manapun yang dipilih dalam konteks negara-bangsa, penerapan prinsip dan norma ajaran Islam dalam dan praktek kehidupan mutlak dilaksanakan. Di antaranya pengakuan dan perlindungan hak asasi manusia, unsur-unsur keadilan, persamaan, dan permusyawaratan.
Oleh karena itu, Konstitusi dan UUD 1945 disusun oleh para pendiri bangsa dan dilanjutkan oleh pemerintah dan wakil-wakil rakyat, idealnya sebagai orientasi dan cita-cita menjalankan ajaran Islam sebagai ajaran rahmatan semesta alam. Dalam kehidupan demokrasi dan pengejawantahan sistem pemilu dengan menempatkan rakyat berdaulat, jika ingin mempertahankan atau ingin melakukan perubahan atas Konstitusi dengan memasukkan nilai dan prinsip universalitas ajaran Islam ke dalam Konstitusi, maka kekuasaan atas pembentukan undang-undangan dalam negara harus diisi oleh orang-orang yang paham dan bersedia berjuang dalam menyampaikan dan menyebarkan ajaran Islam, dan tidak terjebak pada heroisme sistem pemerintahan dalam catatan sejarah umat Islam.
Catatan Kaki:
[1] M. Natsir dalam Muchamad Ali Safa’at. 2018. Dinamika Negara dan Islam, Dalam Perkembangan Hukum dan Politik di Indonesia. Jakarta: Konstitusi Press. hlm. 77.
[2] Mujar Ibnu Syarif dan Khamami Zada, 2008, Fiqih Siyasah, Doktrin dan Pemikiran Politik Islam, Penerbit Erlangga, Jakarta, hlm. 208.
[3] Ibid, hlm. 209.
[4] Ahmad Vaezi, 2006, Agama Politik, Nalar Politik Islam, Citra, Jakarta, hlm. 169-170.
[5] Mujar Ibnu Syarif dan Khamami Zada, Op Cit, hlm. 213-214.
[6] Imam khomaeni dalam Mujar Ibnu Syarif dan Khamami Zada, Loc Cit, hlm. 214.
[7] Syamsuddin Haris dalam Topo Santoso dan Ida Budhiarti, 2019, Pemilu Di Indonesia; Kelembagaan, Pelaksanaan dan Pengawasan, Sinar Grafika, Jakarta, hal. 10-11.
[8] Steven Levistsky dan Daniel Ziblatt, 2018, Bagaimana Demokrasi Mati (How Democracies Die), Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, hlm. 11-12.
[9] Dahlan Thaib dkk, 2004, Teori dan Hukum Konstitusi, Raja Grafindo Persada, Jakarta, hlm. 30.
[10] Ibid, hlm. 51.
[11]Muchamad Ali Safa’at, 2018, Dinamika Negara dan Islam, Dalam Perkembangan Hukum dan Politik di Indonesia, Konstitusi Press, Jakarta, hlm. 100.
[…]