Jati Centre Adukan Komisioner Bawaslu Sulteng dan Banggai ke DKPP

390 Views

Palu-Jati Centre. Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) menggelar sidang pemeriksaan dugaan pelanggaran kode etik penyelenggara pemilu (KEPP) perkara nomor 144-PKE-DKPP/XI/2020 di Kantor KPU Provinsi Sulawesi Tengah, Kota Palu, pada Sabtu (11/12/2020).

Perkara ini diadukan Mashur Al Habsyi, Rusli, dan Randy Atma R. Massi yang merupakan pemantau Pilkada di Jati Centre. Ketiganya mengadukan Jamrin, Sutarmin Ahmad, Zatriawati, dan Darmiati (Anggota Bawaslu Provinsi Sulawesi Tengah), serta Moh. Syaiful Saide (Anggota Bawaslu Kabupaten Banggai) sebagai Teradu I sampai V.

Teradu I sampai V didalilkan melakukan intervensi terhadap hasil pleno untuk menyimpang dari ketentuan Peraturan Bawaslu tentang Tata Cara Penyelesaian Sengketa Pemilihan. Juga didalilkan melakukan upaya kriminalisasi terhadap Bawaslu Kabupaten Banggai. Serta melakukan klarifikasi yang tidak sesuai dengan ketentuan peraturan dan tindakan tidak cermat serta tidak profesional atas penerimaan laporan pelanggaran administrasi oleh Herwin Yatim.

Bawaslu Provinsi Sulawesi Tengah disebut mengintervensi Bawaslu Kabupaten Banggai dalam penerimaan permohonan sengketa proses pemilihan yang diajukan oleh Bakal Pasangan Calon Bupati dan Wakil Bupati Banggai Herwin Yatim dan Mustar Labolo. Padahal permohonan sengketa sesuai Peraturan Bawaslu termasuk permohonan sengketa yang dikecualikan, yakni objek sengketa yang lahir dari tindaklanjut penanganan pelanggaran administrasi.

Bawaslu Provinsi Sulteng memerintahkan Bawaslu Kabupaten Banggai melakukan pleno kembali terkait permohanan sengketa Herwin Yatim dan Mustar Labolo yang sebelumnya permohonan dinyatakan tidak dapat diterima dan memerintahkan permohonan sengketa dilakukan registrasi.

“Namun ditolak Bawaslu Kabupaten Banggai melalui rapat pleno sesuai Berita Acara Pleno Bawaslu Banggai Nomor: 97/BA/Bawaslu.Kab-Bgi/IX/2020 tertanggal 28 September 2020,” ungkap Pengadu.

Beberapa tekanan yang dilakuan oleh Teradu I s.d. Teradu IV terhadap Bawaslu Kabupaten Banggai dalam Penanganan Permohonan Sengketa Bakal Pasangan Calon Bupati dan Wakil Bupati Banggai Herwin Yatim dan Mustar Labolo.

Tekanan antara lain Teradu IV (Darmiati) mengirim pesan WhatsApp ke grup Bawaslu Kab/Kota Sulteng yang intinya menyampaikan pesan Anggota Bawaslu RI Rahmat Bagja, berupa perintah kepada Bawaslu Kabupaten Banggai agar objek sengketa putusan TMS paslon Herwin Yatim untuk diproses.

Pengadu menyebut ada pertemuan yang di Kantor Bawaslu Kabupaten yang dihadiri Kepala Bagian Penyelesaian Sengketa Bawaslu RI (Ibrahim Malik Tanjung), Tim Asistensi Bawaslu RI (Dayanto dan Reki Putera Jaya), Staf Reza, Ketua Bawaslu Sulteng (Ruslan Husen) dan Teradu I sampai IV.

“Pertemuan itu bertujuan agar Bawaslu Banggai mau mengubah pendirian status Berita Acara Pleno terhadap permohonan penyelesaian sengketa yang diajukan Herwin Yatim dan Mustaf Labolo, yang menyatakan permohonan tidak dapat diterima,” lanjut Pengadu.

Pengadu menambahkan ada upaya kriminalisasi Bawaslu Kabupaten Banggai yang dilakukan oleh Teradu I sampai IV. Di mana Teradu I sampai IV berinisiatif menyampaikan kepada Penasehat Hukum Bakal Paslon Herwin Yatim untuk melaporkan Bawaslu Kab. Banggai atas dugaan pelanggaran pidana pemilihan.

Pengadu juga menyoalkan pandangan berbeda Teradu V dalam sidang pemeriksaan perkara nomor 109-PKE-DKPP/X/2020. Teradu V terkesan memiliki pendapat berbeda atas tekanan dari Teradu I sampai IV.

“Semestinya Teradu V dalam menghadapi desakan dan tekanan dari Teradu I sampai IV melalui serangkaian peristiwa tetap mengacu pada ketentuan peraturan perundang-undangan,” pungkas Pengadu.

Sementara itu, Teradu I sampai IV membantah melakukan intervensi terhadap Bawaslu Kabupaten Banggai. Teradu I sampai IV selaku Bawaslu Provinsi Sulawesi Tengah hanya melakukan pembinaan sebagai ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

“Tidak ada satu pun isi Berita Acara dalam pleno yang diubah tetapi hanya memberikan masukan kepada Bawaslu Banggai berkaitan dengan Peraturan Perundang-Undangan dan Petunjuk Tekhnis Tata cara Penyelesaian Sengketa Pemilihan,dan penanganan pelanggaran,” ujar Teradu I.

Teradu menambahkan hasil pleno tetap merupakan keputusan tertinggi Bawaslu Banggai. Dan hingga kini isi berita acara pleno atas penolakan permohonan penyelesaian sengketa pasangan Herwin Yatim dan Mistar Labobo tetap menjadi acuan bagi pemohon ketika mengajukan gugatan di Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara.

Teradu I sampai V juga membantah telah melakukan kriminalisasi atas Bawaslu Kabupaten Banggai. Menurutnya laporan terhadap Bawaslu Banggai oleh Pelapor karena diduga menghalang-halangi proses pencalonan oleh terlapor.

Teradu melakukan diskusi bersama di Sentra Gakkumdu Provinsi Sulawesi Tengah dan menyatakan bahwa laporan yang disampaikan pelapor, tidak mendalilkan dugaan pelanggaran pidana, sehingga tidak dapat ditindaklanjuti dengan proses penanganan pelanggaran pidana, dan teradu sepakat dengan hal tersebut.

Sebagai informasi, sidang pemeriksaan dipimpin oleh Ketua Majelis, Dr. Ida Budhiati, SH., MH. Dengan anggota antara lain Dr. Muh. Tavip, SH., MH (TPD Unsur Masyarakat Prov. Sulawesi Tengah) dan Sahran Raden, S.Ag, SH., MH (TPD Unsur KPU Prov. Sulawesi Tengah).

Sumber: Diolah dari Humas DKPP (www.dkpp.go.id)

Peradaban Alternatif dalam Model Ber-Islaman

639 Views

Peradaban Alternatif dalam Model Keber-Islaman
Oleh : Mashur Alhabsyi, S.Pd

Banyaknya persoalan di kalangan umat Islam saat ini, baik dari sosial, ekonomi, dan  politik membuat peradaban Islam tertinggal jauh dari barat, saat ini barat telah maju dari segi tekhnolgi dan Informasi. Kehadiran tekhnologi barat membuat ketertinggalan perkembangan Islam dalam dunia Ilmu pengetahuan.

Di samping itu, menjadi problem besar umat Islam saat ini yaitu model  ber-Islaman ummat Islam. Keber-Islaman ummat Islam yang dipertontonkan secara individu atau sekelompok orang hanya dalam bentuk assesoris. Bahkan Keber-Islaman ini bisa dikatakan Islam assesoris yaitu Islam simbol, misalnya saat ini pandangan keber-Islaman dilihat dari sisi pakaian, jika sesorang telah mengenakkan jubbah, berkopiyah putih dan bersurban serta menggunakan assesoris pakaian sholeh maka itulah kesempurnaan keber-Islaman yang di imaninya.

Sedangkan pada dasarnya,  keber-Islaman seseorang juga bisa dilihat dari berbagai aktivitas yang luas dan beraneka ragam. Yaitu, mulai dari sikap dan perilakunya terkait dengan ekonomi, hubungan-hubungannya dengan sesama, dalam berpolitik, berkeluarga, bertetangga, menyangkut terhadap orang lain yang sedang berkekurangan atau kesulitan, ilmu pengetahuan, pengabdian dan pengorbanannya, dan masih banyak lagi lainnya.

Demikian gambaran keber-Islaman saat ini, sehingga jangan heran tampak keber-Islaman kita dapat dikatakan dengan keber-Islaman yang borjuistik.  Yaitu keberIslaman yang selalu melanggengkan egoisme dan kepentingan  pribadi. Bahkan  menipiskan solidaritas,  menampakkan kebanggaan atas kemewahan materiil di atas ketimpangan sosial.  KeberIslaman kita menjadi seperti ini, karena hegemoni pemahaman terhadap keIslaman hanya sekedar tekstual dalam memahami ayat-ayat Qur’anik tanpa memaknai makna kontekstual dari ayat-ayat suci tersebut sehingga yang terjadi adalah ber-Islam dengan sekedar memahami ajarannya tanpa secara sungguh-sungguh mengaplikasikan kondisi-kondisi konkret nilai kebenaran ilmu pengetahuan di dalalamnya.

Jika keber-Islaman ini yang selalu tampak dalam prespektif umat, maka yakin dan percaya peradaban Islam akan selalu tertinggal dibandingkan dengan peradaban barat. Saat ini kita semua sudah merasakan bagaimana peradaban telah dimonopoli oleh barat sehingga penulis berusaha menawarkan secara singkat  salah satu solusi alternative dari hasil bacaan terkait Peradaban Alternatif dalam Model Keber-Islaman

Adanya judul sederhana ini, berdasarkan hasil fenomenologi lingkungan dan kondisi yang dirasakan oleh penulis, dengan demikian dari judul tersebut akan diuraikan secara singkat terkait Peradaban Alternatif dalam Model Keber-Islaman dengan beberapa uraian yaitu Pertama, paradigma ber-Islam, model ini akan dijelaskan bagaimana kondisi rill pada umumnya cara ber-Islamnya umat saat ini. Kedua, ber-Islam Model Kontekstual, model yang kedua ini sebagai gambaran dan dorongan kepada umat Islam agar mengedepankan Ilmu Pengetahuan dalam Ber-Isam dengan meneladani model Ilmuan Islam terdahulu. Ketiga, mengulas Peradaban Alternatif dalam model keber-Isaman, sub judul yang ketiga ini akan menjadi pembahasan utama tentang Peradaban Al-ternatif dalam model keber-Isaman yang akan memberi penjelasan terkait solusi berislam dalam memajukan peradaban. Sehingga harapan dari ketiga sub judul tersebut menjadi solusi bagi ummat Islam dalam menjalankan nilai-nilai keberislaman.

Paradigma KeberIslaman

Istilah berislam secara bahasa berasal dari kata Islam, yang diambil dari bahasa arab dengan di awali kata fiil madhi, yaitu Aslama-Yuslimu  yang berakar dari kata Salima dan memiliki arti selamat. Sedangkan Al-Islam dalam qaidah Ilmu bahasa arab sebagai kata Masdhar yang memiliki arti kedamaian dan ketentraman.[1] Dengan demikian dapat didefenisikan bahwa berislam yaitu cara menjalankan ajaran Islam dengan kesadaran menuju suatu kedamaian dan ketentraman.

Paradigma keberislaman merupakan suatu keragaman berpikir, bertindak, dalam melaksanakan ajaran-ajarannya. Paradigma Keberislaman juga dapat menjadi barometer seseorang dalam menjalankan kehidupan.  Dewasa ini, berbagai macam paradigma keberislaman yang muncul di kehidupan ummat Islam utamanya di Indonesia, mulai dari cara berpikir yang Fundamentalis, Tradisional, Moderen hingga yang Radikal. Dengan demikian keragaman berpikir itulah yang akan mewarnai dimensi kehidupan ini. Namun, apakah dengan berbagai macam cara berpikir seperti itu umat Islam sudah dapat merealisasikan nilai-nilai keber-Islaman? Dan sudah sejauh manakah praktek keber-Islaman yang sebenarnya?, jawaban dari pertanyaan tersebut, ada di diri masing-masing umat Islam.

Ada sebuah riset yang dilakukan tahun 2010 dan tahun 2014 oleh Scherazade S Rehman dan Hossein Askari dari George Washington Universty dengan judul risetnya  How Islamic are Islamic Countries? Suatu riset yang menjawab tentang seberapa besarkah keber-Islaman umat Islam itu, dan hasilnya sangat mengejutkan ternyata hasil riset itu memposisikan Selandia Baru pada tahun 2010 berada pada posisi pertama dengan di nobatkan sebagai negara paling Islami sedangkan pendudukanya minoritas Islam dan di tahun 2014 Irlandia baru. Sedangkan Indonesia yang mayoritas Muslim berada pada posisi 140 di tahun 2010 dan 130 di tahun 2014, bahkan Arabsaudi yang notabenenya sumber utama agama Islam tidak pernah menduduki sepuluh besar dari 208 negara yang diteliti.[2]

Setuju atau tidaknya dengan penelitian di atas, itulah fakta yang terjadi di lapangan, itulah gambaran serta paradigma mayoritas keberislaman umat saat ini, ajaran-ajaran Islam hanya berada dalam teks-teks suci sedangkan nilai-nilainya belum teraplikasikan dalam kehidupan sehari-hari. Padahal ajaran Islam adalah ajaran yang paling kompleks yang mengatur semua aspek kehidupan. Bahkan salah satu tokoh Islam, yang dikenal dengan hujjatul Islam di zamanya yaitu Imam Al-Gazali telah mencantumkan dalam sebuah bukunya yang berjudul Bidayatul Hidayah, terkait budaya dan paradigma keberislaman, mulai dari bangun hingga tidur kembali bagaimana Islam mengatur para penganutnya. Namun yang terjadi di zaman modern ini tidak sekompleks apa yang ada, saat ini umat Islam memang makin berkembang namun ajarannya belum maksimal terealisasikan.

Muhammad Abduh salah satu tokoh pembaharu Islam dari Mesir, saat berpergian ke Prancis dan bertemu filosof prancis hingga terjadi dialog yang begitu panas. Dalam dialog tersebut Abduh menegaskan bahwa Islam adalah agama unggul, cinta ilmu, pro-kemajuan, dan seterusnya. Dalam menanggapi pemaparan tersebut, tokoh Prancis yang bernama Renan begitu tenang melihat pemaran Abduh tentang Islam, sembari memberikan tanggapan, “Saya tahu persis semua kehebatan Islam melalui Al-Qur’an. Tetapi, tolong tunjukkan kepada saya satu saja komunitas Muslim di dunia yang membuktikan semua ajaran mulia sebagaimana anda gambarkan barusan,” Abduh terdiam. Merenung. Benar, Islam memang penuh ajaran menga­gumkan. Tetapi, Islam bukan hanya komitmen, melainkan kesungguhan. Dalam Islam, tujuan hidup bukan sekadar pernyataan, namun perwu­jud­an. Islam juga mengajarkan bahwa kebaikan tidak cukup diamalkan, tetapi harus pula didakwahkan. Tanpa itu, ajaran Islam akan hampa makna.

Oleh karena itu, sudah saatnya berislam bukan sekedar memahami teks-teks saja melainkan mengamalkan dan mengaplikasikan nilai-nilai yang terkandung dalam teks tersebut. Nabi Muhammad SAW di nobatkan oleh Michel H Hart sebagai 100 Tokoh yang berpengaruh di dunia, pada esensinya bukan banyak menghafal teks-teks Qur’an yang di turunkan kepadanya, melainkan Nabi Muhammad SAW mengamalkan teks-teks itu dalam kehidupan sehari-hari. Sehingga paradigma Keberislaman saat itu di rasakan oleh kaum Musyrikin. Begitu pula para Ilmuan di Abad 11 hingga 14 memahami Islam bukan hanya sekedar teks melainkan mengaplikasikan ajaran-ajarannya.

Ber-Islam Model Kontekstual

Model ber-Islam tidak seharusnya bersifat tekstual melainkan harus memahami dari sisi kontekstualnya. Pembahasan terkait ber-Islam model kontekstual ini akan lebih mengarah pada cara pandang berIslam dengan model pemahaman terhadap al-Qur’an secara kontekstual. Hal ini dikarenakan al-Qur’an  pada esensinya memiliki sumber pengetahuan yang luas. Di dalamnya banyak tersirat nilai-nilai ilmu pengetahuan, jika dikaji atau dipahami makna kontekstualnya maka akan mengembalikan peradaban umat Islam. Seperti halnya peradaban umat Islam di masa 14 abad silam. Menurut Raghib As-Sirjani dalam bukunya Madza Qaddamal Muslimuna Lil’Alam Ishamaatu al-Muslimin fi al-Hadrahah al-Insaniyah (membangan peradaban Islam pada dunia ) yang diterjamahkan oleh Sonif bahwa, “peradaban Islam merupakan kepanjangan dari asas serta nilai Al-Qur’an dan Sunnah, kemudian membukanya kepada seluruh masyarakat di seluruh dunia tanpa membedakan bentuk, jenis atau agama”.[3]

Pandangan tersebut secara gamblang menyatakan bahwa pengaruh nilai-nilai al-Quran dalam dimensi kehidupan sangat baik, sehingga ulama-ulama  pada saat itu  menjadikan al-Quran sebagai sumber pertama dan utama dalam perkembangan Ilmu pengetahuan. Dewasa ini umat Islam sudah seharusnya berpikir kritis dan lebih terbuka dalam memahami nilai Islam, teks-teks al-Qur’an sudah seharusnya dimaknai dan dipahami secara universal. Keterblakangan umat Islam saat ini adalah terlalu kaku dalam memahami teks al-Qur’an sehingga dalam memajukan peradaban umat sangat tertinggal.

Berbeda halnya dengan barat, jika kita melihat para orientalis barat, mereka bukanlah umat Islam tetapi perhatiaanya terhadap kajian al-Quran sangat antusias, misalnya Andrew Rippin, salah satu orientalis barat yang mengkaji asbab-annuzul al-Quran, Prof. Theodore Noldeke yang mengkaji terkait kritik sejarah terhadap teks al-Quran, yang pada esensinya mereka bertujuan ingin membantah kebenaran al-Quran. Seperti yang dicontohkan  oleh Imam Muchlas dalam bukunya pandangan Al-Qur’an terhadap Agama Kristen beliau mengemukakan bagaimana perdebatan diantara orientalis barat sesama orientalis barat terhadap kebenaran teks al-Qur’an misalnya Ignaz Goldziher, Papa H.A Lammens, Theodore Noldeke mengatakan al-Qur’an itu adalah plagiat dari kitab Bybel atau asal dari ajaran pendeta nasrani bahierah atau Waraqoh bin Naufal yang pernah bertemu muka dengan Nabi Muhammad Al-Amien. Muhammad saw telah diajar oleh pendeta Nasrany Bahieroh atau Waroqah. Tetapi menurut Muchlas bahwa tuduhan ini dibantah langsung oleh orientalis barat kembali seperti Monsigneur Seddilio dalam buku sejarah arab, juz 1,p. 59 dan Filosof Inggris Thomas Carlyle dalam buku ‘Pahlawan-Pahlawan”, dan Hendry de Castry dalam buku “Al-Islam” mereka mengemukakan bahwa Muhammad itu tidak tahu tulis baca, tidak berguru kepada siapapun juga selama-lamanya, ini disaksikan oleh orang-orang yang semasa dengan dia”.[4]

Melihat giat dan antusias kajian orientalis barat terhadap kebenaran al-Qur’an dan terjadinya perdebatan tentang al-Qur’an dikalangan mereka menjadi pembelajaran bagi ummat Islam. Lantas bagaimana dengan umat Islam saat ini? sudah sejauhmana al-Qur’an dikaji dan difahami nilai-nilai esensialnya? Maka dengan demikian sebagai stimulasi awal untuk mendorong cara berpikir serta model berIslam secara kontekstual maka akan diberikan deskripsi sederhana terkait kajian   al-Qur’an secara kontekstual melalui ulama terdahulu.

BerIslam di masa keemasan atau kejayaan ummat Islam merupakan cara berislam yang mengedepankan Ilmu pengetahuan. Sebagaiman di masa Bani Abbasiyyah yaitu masa Khalifah Alma’mun (813-833 H) yang mana banyak melahirkan berbagai macam ilmu pengetahuan, baik dari segi ilmu tafsir yang dikenal dengan tokoh utamanya yaitu Al-Farra dan At-Thabari, Ilmu hadits dengan menghasilakn pembukuan hadits ke dalam kitab-kitab yang hingga saat ini masih digunakan yang sangat popular yaitu “Kutub as-Sittah” yang disusun langsung oleh ulama hadits yang terkemuka yaitu Imam Muslim, Imam Bukhari, Imam Turmudzi, Imam Annasa’i, Ibnu Majjah, dan  Abu Daud, Ilmu Fiqih dengan tokoh Imam Hanafi, Imam Malik, Imam Syafii dan Imam Ahamd bin Hambal, serta di bidang tasawuf yaitu Al-Ghazali, Al-Qusyairi, dibidang Filsafat yaitu Al-Kindi, Ibnu Sina, Al-farabi, dan di bidang sain dan tekhnologi yaitu Al-Biruni, Jabir Bin Hayyan dan Arrazi.[5]  Dan masih banyak tokoh sain yang terkemuka saat itu.

Kehadiran para tokoh ilmuan Islam terdahulu, seharusnya menjadi Spirit of Power bagi ummat Islam sekarang, untuk memajukan peradaban. Ulama-ulama terdahulu menjadikan Ilmu pengetahuan sebagai aspek kebutuhan hidup bukan sekedar habis di ruang perdebatan. berIslam ulama-ulam terdahulu, yang tanpa disadari cara berIslam mereka bukan hanya terpaku pada kajiaan tekstual akan tetapi mereka juga mengedepankan nilai-nilai kontekstual di dalamnya. Misalnya di dalam ayat suci al-qura’an  surah al-Ghasyiah  ayat 20 Allah Swt berfirman yang artinya :

“Dan bumi bagaimana ia dihamparkan”?

Secara tekstual kita akan memahmi contoh ayat tersebut bahwa dengan kekuasaan Allah SWT apapun yang Allah SWT ciptakan maka hal tersebut mudah bagi Allah, berbeda halnya dengan para Ilmuan Islam dimasa silam, ketika firman Allah bertanya tentang bagaimana Bumi dihamparkan, maka secara kontekstual mereka merenungi dan memahami ayat tersebut, dengan memaknai apakah maksud dari ayat tersebut , apa makna kontekstual yang tercantum di dalamnya. Serta ilmu pengetahuan apakah yang bisa dikaji di dalamnya. Maka dengan begitu tak heran jika dari hasil perenungan dan pembacaan kontekstual itu lahirlah ilmuan Geografi dan Astronom yaitu al-Biruni.

Tokoh ini dijabarkan model penelitiannya oleh Mujammil Qomar dalam bukunya Pemikiran Islam metodologis.[6] Mujammil menjelaskan bahwa Al-biruni seorang ilmuan Multidispliner abad ke 11 yang dalam pandangannya DE.Smith menyatakan bahwa Al-Biruni adalah matematikawan paling cemerlang pada zamanya. Dia membahas pembagian sudut menjadi tiga bagian yang sama besarnya, dan ia adalah penemu prinsip menggambar di atas permukaan benda yang bulat. Pada akhirnya, al-Biruni berusaha untuk mengukur bumi, dan usaha pengukuran bumi yang dilakukan al-Biruni menunjukkan kuatnya semangat menggali ilmu pengetahuan terutama terkait dengan georgrafi dan astronomi, dengan keadaan alat yang masih sederhana itu, pengukuran bumi itu dilakukan dan hasilnya benar-benar spektakuler. Sehingga al-Biruni berhasil menemukan luas bumi yang hanya selisih sedikit dengan temuan yang dihasilkan melalui alat yang paling canggih.

Kemudian contoh pada surah Alhadid ayat 25 Allah SWT berfirman yang artinya :
Sesungguhnya Kami telah mengutus Rasul-rasul Kami dengan membawa bukti-bukti yang nyata dan telah Kami turunkan bersama mereka Al kitab dan neraca (keadilan) supaya manusia dapat melaksanakan keadilan. dan Kami ciptakan besi yang padanya terdapat kekuatan yang hebat dan berbagai manfaat bagi manusia, (supaya mereka mempergunakan besi itu) dan supaya Allah mengetahui siapa yang menolong (agama)Nya dan rasul-rasul-Nya Padahal Allah tidak dilihatnya. Sesungguhnya Allah Maha kuat lagi Maha Perkasa.

Pada surah berikut, secara kontekstual menggambarkan tentang ilmu kimia yaitu apa makna besi yang Allah maksudkan di ayat tersebut, maka dalam memahami ayat tersebut dengan perenungan dan kajian eksperimennya maka lahirlah seorang ilmuan Islam yaitu Jabir bin Hayyan (721-815) seorang ilmuan kimia yang diakui oleh ilmuan barat  yang penemuan awalnya bernama alkemi dan diganti dengan para ilmuan barat dengan kimia bahkan hingga namanya pun diganti dengan sebutan geber. Menurut ilmuan barat bahwa Jabir bin Hayyan merupakan orang pertama yang melakukan eksperimen dengan mendirikan bengkel dan mempergunakan tungku untuk mengolah mineral-mineral dan mengekstrasi dari mineral-mineral itu zat-zat kimiawi serta mengklasifikasikannya. Dia melakukan Intizhar, Sehingga dia dinobatkan sebagai bapak kimia pertama. Prestasi ini dilakukan dengan perenungan awal, pengamatan dan percobaan. Sehingga berhasil penemukan penelitiannya.[7]

Contoh model kontekstual ber-Islam yang di gambarkan di atas, seharusnya menjadi idola bagi ummat Islam saat ini, model yang mereka lakukan adalah salah satu cara untuk memajukan peradaban Islam, mereka memiliki karakter-karakter utama yang dapat diadaptasikan dibudayakan oleh generasi muslim sekarang ini, terutama kalangan intelektualnya sebagai penyambung lidah intelektualisme. Dengan demikian peradaban umat Islam saat ini dapat mengimbangi barat. bahkan dapat melebihi dari barat.

Peradaban Alternatif dalam Model Keber-Islaman

Kata peradaban pada dasarnya berasal dari kata adab, yang berarti tingkah laku atau perbuatan yang melekat pada setiap manusia. Sedangkan secara terminology  peradaban lebih disandarkan pada kemajuan suatu bangsa ataupun agama. Misalkan peradaban Islam, maka di dalamnya akan membahas tentang perjalanan kemajuan agama Islam baik dari ekonomi, social maupun ilmu pengetahuan.

Pada tulisan ini akan dibahas terkait peradaban alternatif dalam model keberislaman. Perdaban alternatif yang dimaksudakan yaitu akan mengarahkan pada aspek moralitas yang dilandaskan pada spritualitas sehingga menghasilkan nilai-nilai kemanusiaan yang baik terhadap peradaban. Hal ini mencoba diulas atau di gagas oleh penulis karena melihat bahwa sisi ini yang menjadi kekurangan dari peradaban barat. mereka boleh diunggulkan dalam bidang ilmu pengetahuan berupa tekhnologi dan sains tetapi dalam nilai spritualitas agama dalam wujud hakikat kebertuhanan mereka lemah. Sebagaimana dinyatakan oleh Mujammil Qomar, “peradaban barat ini mengalami kegagalan sangat  fatal terkait dengan persoalan spiritual, kejiwaan dan kemanusian. Peradaban ini memupuk arogansi dan menjauhkan manusia dari Tuhannya”.[8]

Mengunggulkan spritualitas agama yang dimaksud yaitu spritualitas agama yang dibangun di atas moralitas. Sehingga dalam mewujudkan suatau peradaban tidak hanya berfokus pada materil, namun, peradaban non materil berupa moralitaslah yang menjadi peradaban utama dalam membangun peradaban alternative model keberislaman umat saat ini, baik itu moralitas dalam bertindak mapun berpikir. Karena tujuan moralitas itu bukan sekedar memajukan prestasi ilmu, melainkan tujuan moralitas itu mewujudkan kedamain terhadap umat manusia.

Sebagaimana disampaikan Abudin Nata dalam bukunya pemikiran pendidikan Islam bahwa “ naluri dasar manusia baik secara individu, maupun social menginginkan sebuah kehidupan yang tertib, aman, damai dan nyaman. Sehingga memungkinkan mereka dapat mengaktualisasikan seluruh potensinya, berupa cipta, rasa, dan karsanya secara optimal, dalam bentuk kebudayaan dan peradaban”.[9] Nabi Muhammad saw mampu membawa kemajuan umat Islam dikarenakan mengedepankan moralitas, serta membawa ajaran Islam dengan prinsip kedamain dan bukan kekerasan, serta mempertontonkan ajaran Islam sebagai ajaran Rahmatan Lil ‘alamin.

Dewasa ini sudah seharusnya mulai mensinergikan antara peradaban moral dengan peradaban materil inilah yang menjadi perwujudkan dari peradaban alternatif dalam berislam. Umat Islam saat ini bukan lagi menjadi penikmat tekhnologi melainkan harus menjadi pemeran tekhnologi yang dilandaskan moralitas. Keberadan lembaga pendidikan Islam yang mengsinergikan antara iman dan takwa (imtak) dan ilmu pengetahuan tekhnologi (Iptek) sudah menjadi loncatan awal bagi generasai saat ini dalam memajukan peradaban.

Dengan demikian, ada beberapa aspek yang harus diperhatikan dalam membangun peradaban alternative dalam dimensi keberagaman. Pertama, menjadikan moralitas sebagai podasi awal peradaban keberagaman, karena bagi umat islam bahwa moralitas di atas segalanya, kemajuan ilmu pengetahuan jika tidak di landaskan moralitas yang kuat, maka tidak akan mewujudkan suatu peradaban yang baik.

Kedua, mengaplikasikan nilai-nilai ajaran Islam. Seperti yang telah diuraikan di atas, bahwa kelemahan umat Islam adalah kurangnya menerapkan nilai-nilai ajarannya, sehingga dalam mewujudkan peradaban alternative dalam keberislaman harus mengedepankan nilai-nilai ajaranya.

Ketiga, kreatif dan Produktif dalam mengembangkan Ilmu pengetahuan. Berpikir kreatif dan produktif menjadi landasan bagi umat islam  dalam mewujudkan model baru terhadap suatu peradaban keberagaman. Kreatifitas yang dimaksud bukan kreatif dalam mengikuti peradaban yang telah ada, namun dapat membuat suatu hal yang baru dan selalu produktif terhadap hal-hal yang baru itu.

Kempat, peradaban yang dilandasi Keimanan dan ketaqwaan kepada Allah SWT. Model keempat inilah pondasi paling dasar dalam membangun suatu peradaban, tidak akan terwujud ke tiga peradaban di atas tanpa menghadirkan nilai-nilai keTuhanan di dalam diri umat manusia. Suatu bangsa boleh maju peradabannya, tapi jika tidak berlandaskan nilai-nilai ketuhanan maka bangsa itu akan hancur. Sebagaimana Allah swt menegaskan dalam surah Al-A’arf ayat 96 yang artinya; menegaskan :
Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, Maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya.

Jelaslah, bahwa tidak ada artinya kemajuan peradaban suatu bangsa tanpa dilandasi keberimanan dan ketaqwaan kepada Allah SWT. Dengan demikian suatu keberagamaan umat Islam dapat diwujudkan jika menerapkan konsep peradaban alternative.

Kesimpulan

Peradaban alternatif dalam keberagaman merupakan suatu konsep keberislaman yang mengedepankan nilai keimanan dan ketaqwaan, menjunjung tinggi nilai-nilai moralitas dan selalu memberikan kontribusi pemikiran kreatif dan produktif dalam bertindak serta mengaplikasikan dalam kehidupan nilai-nilai dan ajaran islam, sehingga peradaban ummat Islam dapat terwujudkan. Sebab, saat ini untuk mewujudkan peradaban harus dilandasi keimanan dan ketaqwaan serta moralitas yang kuat. Bangsa ini akan maju jika dikedepankan moralitas, begitu perkataan orang bijak. Jika moralitas dibiarkan dan tidak dibangun makan akan menghancurkan suatu perdaban.

Daftar Bacaan

Ahmad Warson Munawwir, 1997, Al-Munawwir Kamus Arab Indonesia, Pustaka Progressif, Surabaya.
M Husnaini, 2020, Hidup Bahagia dengan Energi Positif, Solokuro, Lamongan.
Raghib As-Sirjani, 2009,  Madza Qaddamal Muslimuna Lil’Alam Ishamaatu al-Muslimin fi al-Hadrahah al-Insaniyah, Mu’asasah Iqra, Penerjamah, Sonif, 2011. Sumbangan Peradaban Islam pada Dunia, Pustaka Al-Kautsar.
Imam Muchlas, 1982, Pandangan Al-Qur’an terhadap Agama Kristen, Al-Ihsan, Surabaya.
Zakki Fuad, 2016, Sejarah Peradaban Islam (Paradigma Teks, Reflektif dan Filosofis), CV. Indo Pramaha, Surabaya.
Mujamil Qomar, 2015, Pemikiran Islam Metodologis, Kalimedia, Yogyakarta.
Abudin Nata, 2012, Pemikiran Pendidikan Islam dan Barat, Raja Grafindo, Jakarta.

Catatan Kaki

[1] Ahmad Warson Munawwir, 1997, Al-Munawwir Kamus Arab Indonesia, Pustaka Progressif, Surabaya, hal. 654 – 655.
[2] Di sadur dari Artikel M Husnaini, 2020, Penulis Buku “Hidup Bahagia dengan Energi Positif” Tinggal di Takerharjo, Solokuro, Lamongan.
[3] Raghib As-Sirjani, 2009,  Madza Qaddamal Muslimuna Lil’Alam Ishamaatu al-Muslimin fi al-Hadrahah al-Insaniyah, Penerbit ; Mu’asasah Iqra, Penerjamah, Sonif, 2011. Sumbangan Peradaban Islam pada Dunia, Pustaka Al-Kautsar, hal.17.
[4] Imam Muchlas, 1982,  Pandangan Al-Qur’an terhadap Agama Kristen, Al-Ihsan, Surabaya, hal.9.
[5] Zakki Fuad, 2016, Sejarah Peradaban Islam (Paradigma Teks, Reflektif dan Filosofis), CV. Indo Pramaha, Surabaya, hlm. 115-122.
[6] Mujamil Qomar, 2015, Pemikiran Islam Metodologis, Kalimedia, Yogyakarta, hal 100.
[7] Mujamil Qomar, ibid, hal 99.
[8]Mujammil Qomar, ibid, hal 104.
[9] Abudin Nata, 2012, Pemikiran Pendidikan Islam dan Barat, Raja Grafindo, Jakarta, hal 205.

Demokrasi Tidak Akan Benar-Benar Mati

585 Views

Demokrasi Tidak Akan Benar-Benar Mati
Oleh : Saeful Ihsan, S.Pd., M.Pd.
(Penulis Muda Sulteng)

Ketika Anies Baswedan menampilkan fotonya memegang buku bersampul hitam, “How Democracies Die”, dan dimaksudkan sebagai sebuah pernyataan sikap: Indonesia menghadapi ancaman kematian demokrasi. Lalu, itu lebih tepatnya ditujukan kepada siapa?

Kepada pemerintah (pusat) kah? Yang selama ini terkesan antikritik, tidak mendengar suara rakyat, lalu berupaya membatasi kebebasan? Ataukah pihak yang aktif mengkritik pemerintah? Utamanya, PA 212 atau para simpatisan Habib Rizieq Shihab (HRS), serta FPI. Di mana, mereka kerapkali dinilai melakukan aksi-aksi yang mengguncang demokrasi.

Dari sudut pandang kita sebagai penonton, sudah pasti yang dituju adalah yang pertama disebutkan. Soalnya Anies terlihat lebih dekat kepada kelompok yang disebut “Umat Islam” itu. Sebaliknya, terkesan berhadap-hadapan dengan pihak pemerintah pusat, salah satu bentuknya, kebijakan lokal DKI sering tidak mendapat respek dari pusat.

Matinya demokrasi menurut buku yang dipegang Anies itu “How Democracies Die” karya Steven Levitsky dan Daniel Ziblatt, didasarkan pada empat indikator:

“1) rejects, in words or action, the democratic rules of the game, 2) denies the legitimacy of opponents, 3) tolerates or encourages violence, or 4) indicates a willingness to curtail the civil liberties of opponents, including the media.” (Levitsky and Ziblatt, 2018: 18)

Indikator itu sendiri adalah pengembangan dari karya Juan Linz, ‘The Breakdown of Democratic Regimes’, tentang tokoh otoriter, yang kalau mereka berkuasa, cenderung akan mematikan demokrasi. Hal itu dibuktikan oleh sejarah terjadi pada Italia dengan berdirinya rezim fasis Benito Mussolini; Adolf Hitler di Jerman; Hugo Chavez di Venezuela, dan beberapa lainnya.

Mereka, para tokoh otoriter itu memang naik ke tampuk kekuasaan bukan dengan jalan kudeta militer–meski sebagiannya mencoba jalan kudeta di awal hingga akhirnya memilih jalan konstitusional setelah percobaannya gagal, dan setelah mereka berkuasa, cenderung melakukan keempat indikator di atas.

Untuk konteks Indonesia saat ini, setidaknya rezim cenderung menggunakan cara keempat–membatasi kebebasan lawan, dan pers. Walau tidak begitu keras. Rezim menjadikan Anies sebagai lawan, dan kelihatan berupaya membatasi pergerakannya lewat apresiasi yang minim terhadap program pemprov DKI. Juga narasi-narasi miring yang diembuskan oleh para simpatisan istana.

Juga bagaimana istana memandang HRS beserta simpatisannya sebagai lawan. Terlihat dari bagaimana istana menyoroti kumpul-kumpul di bandara dalam penyambutan HRS. Sementara pilkada di Solo yang juga kumpul-kumpul tak disoal. Padahal, kata kunci dari pencegahan penularan wabah korona adalah ‘jangan berkumpul!’

Namun, jika kita mengikuti logika buku “How Democracies Die”, yang berpeluang untuk menjadi tokoh otoriter dan mematikan demokrasi adalah HRS beserta kroni-kroninya. Secara, HRS adalah tokoh populer, tetapi seruan-seruannya juga lebih kepada memilih jalan kekerasan untuk menegakkan keadilan.

Juga bagaimana cara HRS merespons kritikan arau protes terhadap dirinya. Frase ‘Lonte’ dalam ceramah di maulid nabi beberapa waktu lalu, membuat kita bisa berkesimpulan singkat, bahwa HRS akan bersikap frontal terhadap lawan-lawannya, seandainya saja kekuasaan itu sudah dipegangi.

Sejak tahun 2016, HRS sudah mengampanyekan konsep NKRI Bersyariah. Ide itu direspons oleh Denny JA dengan narasi tandingan, ‘NKRI Bersyariah, atau Ruang Publik yang Manusiawi?’ Denny JA menuliskannya dalam sebuah esai. Lalu tulisan itu ditanggapi oleh 16 orang (yang dinilai sebagai) pakar–salah seorang di antaranya adalah pakar hukum tata negara Yusril Ihza Mahendra–menjadi sebuah buku.

Buku itu memang tidak menyinggung demokratis atau tidaknya, tetapi bagi Denny JA, ruang publik manusiawi itu sudah sesuai dengan Islam, tak perlu NKRI Bersyariah. Agaknya, penggunaan istilah Bersyariah kurang demokratis, sebab syariah selalu dimaknai dengan rigid, berdasarkan tafsir yang tekstual.

Lagipula menurut Denny JA, indikator NKRI Bersyariah harus jelas. Kalau standar keadilan dan ketentraman suatu negara mengambil indikator sesuai Alquran dan Sunnah, negara-negara paling mempraktikkan standar-standar Islami menurut survei justru adalah negara-negara yang di dalamnya sedikit umat islamnya: Selandia Baru, Belanda, Swedia, Irlandia, Swiss, Denmark, Kanada, dan Australia.

Tetapi memang wajar, jika ada tawaran sistem lain untuk suatu negara. Termasuk di Indonesia. Soalnya, Dr. Satrio Arismunandar dalam memberikan pengantar buku kompilasi 16 pakar menanggapi Denny JA, menampilkan data tingkat pro-Pancasila, yang berarti juga pro demokrasi–soalnya Pancasilais berarti juga demokratis, dari tahun ke tahun terus menurun. Dalam kurun 13 tahun, pro-Pancasila turun 10%.

Penurunan tersebut disebabkan oleh tiga hal: kesenjangan ekonomi, paham alternatif,
dan sosialisasi. Jadi, kegagalan-kegagalan yang terdapat dalam praktik pemerintahan sangat berpengaruh terhadap menurunnya kepercayaan publik terhadap (demokrasi) Pancasila, dan akhirnya mencari alternaif yang dianggap lebih bisa memperbaiki nasib bangsa daripada sistem demokrasi itu sendiri.

Namun, betapapun misalnya rezim saat ini dianggap mewarisi watak otoriter Orde Baru, ataukah HRS dianggap sebagai tokoh demagog, demokrasi hanya akan menurun menjadi kurang demokratis, tidak sepenuhnya akan mati. Dari beberapa indikator negara demokrasi Abraham Lincoln dalam pidatonya di Pettysburg tahun 1863, “peran media yang bebas” sebagai aktualisasi kebebasan berpikir dan mengemukakan pendapat menjadi, dominan dalam tafsiran kita.

Sementara, manusia secara individual adalah satu-satunya makhluk yang dianugerahkan demokrasi di dalam kepalanya. Yaitu, bebas berpikir, memilih jalan, dan menentukan nasibnya sendiri. Anugerah itu tidak akan benar-benar hilang, tetapi bisa dibatasi, sampai tak terbatas, oleh pemerintahan yang berusaha membunuh demokrasi, lewat watak otoritariannya.
____

Referensi:

Levitsky, Steven & Daniel Ziblatt. 2018. “How Democracies Die”, New York: Crown Publishing. Edisi bahasa Indonesia, Steven Levitsky dan Daniel Ziblatt. 2019. “Bagaimana Demokrasi Mati”, Alih Bahasa oleh Zia Anshor, Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.
Arismunandar, Satrio (Ed.). 2019. “NKRI Bersyariah atau Ruang Publik yang Manusiawi, Cerah Budaya Indonesia

Penegakan Hukum di Indonesia

1.818 Views

Penegakan Hukum di Indonesia[1]
Oleh : Ruslan Husen, SH, MH.[2]

Pendahuluan

Hukum bertujuan mewujudkan keadilan bagi masyarakat, mengatur tata tertib kehidupan masyarakat secara damai dan adil, dan menjamin kepastian hukum atas kasus yang dihadapi setiap subjek hukum. Namun dalam tataran praktik, hukum masih dihadapkan pada masalah berkelanjutan, yang gilirannya turut memperburuk citra penegakan hukum.

Akhirnya, penegakan hukum belum bisa mewujudkan tujuan hukum. Malah hukum menjadi alat politik penguasa untuk kriminalisasi para pengkritik (oposisi) pemerintahan. Demikian pula, struktur hukum melalui aparat penegak hukum lebih melindungi pengusaha (pemodal) dalam pelanggaran eksploitasi sumber daya alam, ketimbang menjaga masyarakat setempat dari dampak kerusakan lingkungan.

Secara teoritik, penegakan hukum merupakan proses tegak dan berfungsinya norma hukum yang secara nyata sebagai pedoman perilaku hubungan hukum kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Lawrence Meir Friedman[3] mengungkapkan bahwa penegakan hukum ditentukan dan dipengaruhi unsur-unsur dalam sistem hukum (elements of legal system) yakni: struktur hukum meliputi institusi dan aparat penegak hukum; substansi hukum meliputi aturan, norma dan perilaku nyata manusia; budaya hukum meliputi kepercayaan, nilai, pemikiran serta harapannya.

Selanjutnya Soerjono Soekanto mengembangkan teori tersebut dengan menyebutkan masalah pokok penegakan hukum terletak pada faktor-faktor yang mempengaruhi, yakni hukumnya sendiri, penegak hukum, sarana dan fasilitas, masyarakat dan kebudayaan. Kelima faktor tersebut saling berkaitan erat sebagai kesatuan sistem, dan merupakan esensi dari penegakan hukum yang juga merupakan tolok ukur dari pada efektivitas penegakan hukum.[4]

Mengacu pada teori sistem hukum tersebut, menjadikan penegakan hukum di Indonesia harus mendapatkan dukungan sumber daya manusia profesional dan berintegritas, regulasi yang progresif, peran aktif masyarakat mengawal proses, dan sarana-prasarana hukum yang memadai. Dukungan dan ketersediaan dimaksud menjadi satu-kesatuan kebutuhan, jika ada yang belum terpenuhi maksimal, maka mempengaruhi produktifitas hasil dari sistem hukum.

Masalah Penegakan Hukum

Praktik penegakan hukum masih sering dihadapkan masalah yang turut memberi citra buruk upaya menggapai keadilan. Keadilan sebagai tujuan hukum, seolah ideal pada tataran konsep dan normatif. Namun, dalam praktik menjadi sesuatu yang langka. Seorang penegak hukum bisa menjelaskan tujuan hukum mencapai keadilan, tapi sikap dan perilaku justru melanggar hukum dan menginjak-injak nilai keadilan.

Identifikasi masalah penegakan hukum berikut, dapat menjadi tanda peringatan para penegak hukum agar kembali ke khittah makhluk Tuhan yang dipercayakan menyampaikan dan menerapkan nilai keadilan dalam berbagai aspek kehidupannya. Tidak terjerumus berkelanjutan dalam kubangan haram pelaku pelanggaran hukum, yang sejatinya menegakkan hukum.

Pertama, mafia peradilan. Mafia peradilan merupakan perbuatan konspiratif yang dilakukan secara terstruktur, sistematis, dan kolektif oleh aktor tertentu terutama oknum aparat penegak hukum dan pencari keadilan. Tujuannya mendapatkan keuntungan pragmatis melalui penyalahgunaan wewenang, dan perbuatan melawan hukum yang mempengaruhi proses penegakan hukum. Dampaknya menjadi rusaknya sistem hukum dan tercabik-cabiknya nilai dan rasa keadilan.

Praktik mafia peradilan lekat dengan diksi penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power) oleh aparat penegak hukum. Semakin menguatnya penyalahgunaan kekuasaan, makin mengarah pada tumbuh suburnya mafia peradilan. Akibatnya, peradilan menjadi tidak bernilai menindak tersangka atau terdakwa pelaku kejahatan atau pelanggaran. Rasa dan nilai keadilan masyarakat dipermainkan. Pelanggaran hukum yang terus-menerus memberi indikasi, negara gagal melaksanakan kewajibannya untuk melindungi, menghormati  dan memenuhi hak-hak warga negara.

Kedua, keterbatasan regulasi berupa kekosongan hukum, norma mulitafsir, norma kabur, dan norma tidak lengkap. Pembentuk undang-undang juga manusia, mereka sama halnya dengan manusia biasa yang melekat sifat khilaf, kekurangan dan keterbatasan. Sejak semula sudah diprediksikan, setiap undang-undang yang dihasilkan pembentuk undang-undang pasti mengandung berbagai keterbatasan. Ada celah hukum yang tidak tertutup, hingga tiba penerapan operasionalnya baru diketahui kekurangan dan kelemahan.

Padahal hukum tidak mungkin tegak jika belum mencerminkan perasaan atau nilai-nilai keadilan yang hidup dalam masyarakatnya. Hukum tidak mungkin menjamin keadilan jika materi muatannya sebagian besar merupakan warisan masa lalu yang tidak sesuai dengan tuntutan zaman. Artinya, persoalan bukan hanya berkenaan dengan penegakan hukum tetapi pembuatan hukum.

Ketiga, sikap apatis masyarakat pengawal proses penegakan hukum. Masyarakat menjadi apatis dan tidak ingin terlibat dalam proses penegakan hukum terutama yang menyangkut kepentingan dan hajat orang banyak. Mereka memilih melakukan hal-hal secara langsung bersentuhan dengan kepentingan pragmatisnya. Akhirnya, proses penegakan hukum dengan berbagai masalah terlaksana tanpa kontrol masyarakat dan kekuatan publik.

Praktik mafia peradilan semakin leluasa lewat konspirasi penguasa, pengusaha, pencari keadilan dengan aparat penegak hukum tanpa kontrol pengawasan dari masyarakat. Potensi kekuatan yang ada di masyarakat seperti lembaga swadaya masyarakat dan perguruan tinggi seolah tidak memiliki taji kekuatan, tunduk dan bercerai-berai dengan urusan pragmatis masing-masing.

Keempat, keterbatasan sarana dan prasarana hukum. Hukum senantiasa dinamis mengikuti perkembangan dan perubahan zaman. Demikian pula perangkat sarana dan prasarana hukum, sebagai pendukung penindakan pelanggaran atas nama hukum harus tersedia secara memadai. Masalahnya, proses penegakan hukum masih dipenuhi keterbatasan akses sarana dan prasarana yang dimiliki oleh negara. Sehingga pelanggaran dan kejahatan terutama yang terkait dengan informasi dan teknologi terus berkembang cepat, tanpa diiringi inovasi dan progresif perangkat struktur penegak hukum.

Penegakan Hukum Progresif

Norma atau perangkat hukum bertujuan mempertahankan dan memantapkan peristiwa tertentu pada suatu tempat dan waktu lewat kodifikasi hukum. Sementara, masyarakat dan nilai kesadaran terus bergerak mengalami perubahan, tidak pernah berhenti, terus berlangsung dari waktu ke waktu. Akibatnya, hukum yang terkodifikasi tertinggal waktu dan masa. Hukum menjadi kalimat mati akibat arus perubahan yang semakin dinamis.

Sebagai alternatif sumber hukum yang memiliki legalitas memaksa, perubahan nilai mesti tunduk kepada kemapanan kodifikasi hukum walaupun tidak sesuai lagi dengan kebutuhan dan kesadaran masyarakat. Akibatnya, penerapan hukum melukai rasa keadilan dan kesadaran masyarakat.

Ternyata atas perkembangan zaman dan masyarakat, undang-undang belum mampu mengiringi kebutuhan dan kesadaran masyarakat yang dinamis. Kehidupan sosial senantiasa tumbuh dan berkembang mengakibatkan hukum yang terkodifikasi dalam bentuk undang-undang tidak mampu mengakomodir perubahan. Nilai-nilai hukum yang hidup di masyarakat dihormati dan dihargai secara kolektif, namun selama belum masuk kodifikasi hukum, dianggap tidak punya daya normatif yang dapat dipaksakan pelaksanannya.

Selain masalah kekosongan hukum dalam hukum positif, masalah lain yang sering dialami seperti terdapat norma multitafsir, norma kabur, dan norma tidak lengkap. Bahkan menjadi masalah berulang dalam proses penegakan hukum. Sementara, menyandarkan peristiwa hukum yang membutuhkan penyelesaian dan kepastian terhadap masalah regulasi tersebut, akan berdampak tercerabutnya keadilan dan nilai kesadaran masyarakat. Ada peristiwa hukum berupa pelanggaran atau kejahatan namun tidak ada hukum positif yang mengatur, hingga perbuatan tidak dapat diadili.

Hukum progresif berusaha menjawab masalah regulasi tadi. Mengajak seluruh penegak hukum menafsirkan dan menemukan hukum berdasarkan nilai-nilai keadilan yang tumbuh dan berkembang di tengah masyarakat. Bernardus Maria Taverne pernah menyebutkan “Berikan aku hakim, jaksa, polisi dan advokat yang baik, niscaya aku akan berantas kejahatan meski tanpa undang-undang sekalipun”. Artinya penegakan hukum bukan hanya ditunjang undang-undang, melainkan ditentukan oleh aparat penegak hukumnya.

Kata lain, hukum progresif bertujuan menggunakan hukum bagi kepentingan rakyat di atas kepentingan individu. Pandangan hukum progresif, hukum dilihat sebagai instrumen melayani kepentingan rakyat. Apabila rakyat menghadapi persoalan hukum yang berdimensi struktural, bukan rakyat yang dipersalahkan, melainkan perlu pengkajian asas, doktrin atau peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Para penegak hukum baik hakim, jaksa, polisi, dan advokat untuk berani mengambil langkah, tindakan dan pemikiran revolusioner yang abnormal dari keadaan hukum yang tidak normal ini. Berani untuk melahirkan pemikiran dan langkah hukum yang ditujukan untuk kebahagiaan manusia. Meninggalkan hukum kolonial yang legalistik, positivistik, formalistik dan dogmatik, hingga menjadi penegak hukum yang progresif memihak kepada kepentingan rakyat.

Langkah hukum progresif berusaha mencari cara guna mematahkan kekuatan positivisme hukum yang menganggap hukum hanya dalam bentuk peraturan tertulis, selain itu bukan hukum. Ini adalah paradigma aksi, bukan peraturan. Dengan demikian, peraturan tertulis dan sistem bukan satu-satunya yang menentukan tujuan hukum. Penegak hukum masih bisa menolong keadaan buruk yang ditimbulkan oleh sistem yang ada, dengan langkah penemuan hukum yang progresif membahagiakan manusia.

Penutup

Meski Indonesia terkenal sebagai negara dengan sistem hukum yang buruk, tetapi masih ada harapan melalui kekuatan progresif. Mereka ada di kejaksaan, pengadilan, kepolisian, advokat, akademisi, organisasi masyarakat, birokrasi, politisi, dan banyak lagi. Kekuatan mereka terbangun melalui jaringan informal, dari diskusi tukar pengalaman, melalui pembacaan media yang progresif.

Gerakan hukum progresif merupakan hasil refleksi dari realitas keterpurukan hukum saat ini, di mana diperlukan keberanian dan komitmen melakukan pembaharuan hukum menjadi responsif, termasuk meningkatkan kualitas para penegakan hukum. Melakukan perbaikan di berbagai sektor hukum, baik itu dari segi aparatur penegak hukum, segi kurikulum hukum, maupun kesadaran dan peran aktif masyarakat dalam penegakan hukum.

Catatan Kaki

[1] Disampaikan dalam Sosialisasi Penegakan Hukum, Jati Centre di Palu, pada Jumat (11/03/2022).
[2] Penulis merupakan Peneliti dan Konsultan Hukum di Palu.
[3] Lawrence Friedmann dalam Achmad Ali, 2005, Keterpurukan Hukum di Indonesia; Penyebab dan Solusi, Ghalia Indonesia, Bogor, hlm 1.
[4] Soerjono Soekanto, 2011, Faktor-Faktor yang Memengaruhi Penegakan Hukum, Raja Grafindo Persada, Jakarta, hlm 5.

Dibalik Kasus Penggantian Pejabat yang Ditangani Bawaslu Banggai

605 Views

Palu-Jati Centre. Terungkap, dua aspek dibalik kasus pelanggaran penggantian pejabat oleh petahana tahun 2020, yang ditangani Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) Banggai hingga berakibat pemberhentian tetap empat orang Anggota Bawaslu Banggai dan satu orang Bawaslu Sulteng.

Hal itu disampaikan Direktur Jati Centre Mashur Alhabsy di Palu, Selasa (17/11/2020) setelah melakukan pemantauan penanganan kasus di pemilihan kepala daerah Kabupaten Banggai.

Aspek pertama, konsekuensi menegakkan aturan dan tidak ingin melakukan pelanggaran dan penyimpangan hukum tertulis,” sebutnya.

Menurutnya, Bawaslu Banggai melaksanakan prosedur penyelesaian sengketa pemilihan kepala daerah dan tidak ingin melanggar Perbawaslu. Yakni, menolak permohonan sengketa pemilihan yang dikecualikan, sebagaimana ketentuan Pasal 5 huruf a Perbawaslu Nomor 2 Tahun 2020 tentang Tata Cara Penyelesaian Sengketa Proses Pemilihan.

“Aneh, jika Bawaslu Banggai dipaksa pleno ulang dan terima permohonan sengketa pemilihan, padahal permohonan dikecualikan sesuai ketentuan Perbawaslu,” sebutnya.

Lanjutnya, aspek kedua, kolektif kolegial Komisioner Bawaslu dalam penindakan pelanggaran penggantian pejabat oleh petahana.

“Proses penindakan pelanggaran yang ditangani Bawaslu Banggai telah melalui proses rapat pleno kolektif kolegial, proses konsultasi-koordinasi, dan supervisi berjenjang Bawaslu Sulteng dan Bawaslu RI,” jelas mantan Ketua Badko HMI Sulteng ini.

Menurutnya, aneh jika belakangan hari proses penindakan pelanggaran hingga rekomendasi petahana Tidak Memenuhi Syarat (TMS), menjadi diingkari oleh anggota Bawaslu Sulteng.

“Padahal dalam pembahasan dan penanganan pelanggaran terungkap, tidak pernah dipermasalahkan,” pungkasnya.

Mashur Alhabsy juga menyayangkan Putusan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) Nomor: 109-PKE-DKPP/X/2020 yang memberhentikan tetap empat orang anggota Bawaslu Banggai dan satu anggota Bawaslu Sulteng. Padahal menurutnya, mereka sudah bekerja dengan baik menegakkan aturan hukum dan tidak ingin melanggar Perbawaslu.

“Bahkan rekomendasi yang disampaikan telah ditindaklanjuti KPU Banggai dengan menyatakan pasangan calon petahana dengan TMS. Jadi, tidak ada yang salah,” pungkasnya.

Terakhir, Jati Centre yang dipimpinnya, sebagai lembaga terakreditasi KPU Provinsi Sulteng,  akan berkomitmen melakukan pemantauan proses pemilihan kepala daerah di Provinsi Sulteng hingga lahir pemimpin pilihan rakyat pemilik kedaulatan.

Ketua Bapemperda: Berikut Alasan Perubahan Nama Mamuju Utara Menjadi Pasangkayu

375 Views

Pasangkayu-Jati Centre.  Beberapa faktor alasan perubahan nama Kabupaten Mamuju Utara menjadi Kabupaten Pasangkayu, dapat ditinjau dari  aspek politik, historis, dan sosial budaya.

Hal itu disampaikan Ketua Badan Pembentukan Peraturan Daerah (Bapemperda) Syaifuddin Andi Baso, di Pasangkayu, Sabtu (14/11/2020).

“Pertama, aspek politik, penetapan Kabupaten Mamuju Utara pada dasarnya didasarkan strategi dan kepentingan politik untuk membentuk daerah otonomi baru,” sebutnya.

Menurut Anggota DPRD Pasangkayu selama empat periode ini, ketika keadaan politik dan pemerintahan sudah stabil, baiknya dilakukan perubahan nama menjadi Kabupaten Pasangkayu berdasarkan aspirasi masyarakat dan kebutuhan daerah.

“Beberapa kali sasaran anggaran untuk Pasangkayu diberikan ke Kabupaten Mamuju, karena Pemerintah Pusat menilainya sama, padahal beda. Bahkan waktu kunjungan Wakil Presiden RI selesai Pemilu di Mamuju, dikiranya yang dituju adalah Mamuju Utara padahal bukan,” jelasnya.

Kedua, aspek historis. Nama Pasangkayu pada dasarnya sudah dikenal sejak lama oleh masyarakat setempat, termasuk warga sekitar.

“Nama Pasangkayu sudah sejak lama dikenal dengan nama Vova dan Sanggayu,” jelas Syaifuddin.

Sekretaris Dewan Pimpinan Cabang (DPC) Partai Golgar Pasangkayu ini menjelaskan, menurut bahasa Kaili kata “Vova” berarti sejenis kayu bakau yang tumbuh di tepi pantai atau laut. Adapun kata “Sanggayu” berarti satu batang atau satu pohon. Sehingga kedua kata itu jika digabungkan memiliki arti sebatang kayu atau sebatang pohon bakau. Pada tahap selanjutnya, disebut dengan Pasanggayu hingga menjadi Pasangkayu.

Demikian pula pada masa kolonial Belanda abad ke-20, dikenal dengan Distrik Pasangkayu. Hingga tahun 2003, menjadi daerah otonomi baru dengan nama Kabupaten Mamuju Utara. Dimekarkan dari  iduk Kabupaten Mamuju yang terletak di sebelah utara.

“Ketiga, aspek budaya. Pilihan nama Pasangkayu lekat dengan nilai-nilai kesejahteraan, memperkukuhkan jati diri, mempertinggi harkat, dan martabat yang sarat dengan kearifan lokal,” terangnya.

Terhadap ketiga alasan tersebut, menurutnya, penting bagi dirinya selaku anggota DPRD Pasangkayu untuk melakukan tindak lanjut aspirasi masyarakat yang menginginkan perubahan nama Kabupaten Mamuju Utara menjadi Kabupaten Pasangkayu.

Untuk diketahui, proses mengusulkan perubahan nama Kabupaten Mamuju Utara menjadi Kabupaten Pasangkayu, diawali aspirasi masyarakat dan kepentingan daerah yang terkait dengan aspek politik, sejarah, dan budaya.

Lalu, dikuatkan dengan Keputusan DPRD Mamuju Utara dan Surat Bupati Mamuju Utara kepada Gubernur Provinsi Sulawesi Barat untuk diteruskan ke Menteri Dalam Negeri.

Hingga lahir persetujuan Pemerintah Pusat dengan ditetapkannya Peraturan Pemerintah Nomor 61 Tahun 2017 Tentang Perubahan Nama Kabupaten Mamuju Utara Menjadi Kabupaten Pasangkayu.

Agar lebih memberi kepastian hukum dalam pelaksanaan serta keterpenuhan syarat formil dan materil, maka perubahan nama dimaksud dituangkan dalam Peraturan Daerah.

Jelang Pilkada Sulteng, Jati Centre Gandeng Panwascam Tomini Sosialisasikan Pendidikan Politik Pada Pemilih Pemula

441 Views

Tomini-Jati Centre, Pemilih Pemula yang biasa didominasi para pelajar biasanya apatis terhadap perkembangan politik, tak jarang terjadinya golpot pada tataran pelajar, sehingga pendidikan politik bagi para generasi muda dan para pelajar sangat penting untuk diberikan pemahamannya sejak dini.

Demikian pernyataan Direktur Jaringan Advokasi Untuk Keadilan (Jati Centre), Mashur Alhabsyi, saat menyampaikan materi dalam kegiatan Sekolah Pemilu dengan tema “Pendidikan Politik di masa Pandemik Untuk Pemilih Pemula” dilaksanakan di sekolah Aliyah Alkhairaat Tomini,  Kecamatan Tomini kabupaten Parigi Moutong, Sabtu 07 November 2020.

Dia juga menyampaikan, Kegiatan yang diselenggrakan atas kerjasama Jati Centre dan Panwascam Tomini ini sengaja dilaksanakan untuk pemilih pemula dalam menjelang pilkada Sulawesi Tengah, agar para siswa paham tentang politik dan tidak akan golpot saat tiba pemilihan nanti, dan yang terpenting menurutnya mereka dapat memilih secara jujur dan adil.

Disamping itu ia menambahkan, sangat dibutuhkan partisipasi dari para pemilih pemula untuk terlibat langsung dalam pemantauan pilkada sebagai masyarakat Indonesia.

“Pada dasarnya Jati Centre memang sebagai lembaga yang terakreditasi dalam pemantauan pilkada, namun untuk mewujudkan pilkada yang jujur dan adil maka sangat dibutuhkan partisipasi masyarakat utamanya para pemuda dalam memantau jalannya pilkada, dengan status sebagai masyarakat Indonesia” Jelas Mashur

 Disamping itu Direktur Jati Centre ini, menjelaskan bahwa dalam menentukan pemimpin yang jujur dan adil serta amanah pada dasarnya harus dimulai dari masyarakat yang bersifat itu juga, dan salah satu bentuk penerapan sifat-sifat tersebut maka dibutuhkan partisipasi masyarakat dalam memantau pelanggaran yang terjadi di lapangan.

Sesi tanya jawab dari siswa Aliyah Alkhairaat Tomini. FOTO : FIRMAN NAZWAR

Searah dengan penjelasan Direktur Jati Centre, Koordinator Devisi Organisasi Jati Centre, Irvan juga menyampaikan bahwa peran pemuda saat ini sangat dibutuhkan, sebab untuk menciptakan pilkada jujur dan adil, bukan hanya para penyelenggara dan pengawas saja yang berperan besar dalam pilkada 9 Desember nanti, anak muda pun khususnya untuk pemilih pemula yang merupakan garda terdepan, juga punya peran yang besar dalam menciptakan pilkada yang jujur dan adil.

“Tentu ini sebuah harapan yang besar, agar terciptanya regenerasi penyelenggara dan pengawas baik di pilkada maupun pemilu yang akan datang. Seandainya anak muda yang masih duduk di bangku sekolah, jika ingin berkontribusi di Pilkada tahun ini, cukup dengan dua tindakan saja yaitu berani dan jujur, itu sudah sangat membantu para penyelenggara dan pengawas dalam mensukseskan Pilkada nanti yang bersih dan damai. Bersih dari money politic, ketidak adilan, penyimpangan paham politik dan lain sebagainya”. Tegas Irvan

Pada waktu yang sama, ketua Panwascam Tomini, Mizwar menyampaikan dalam sosialisasinya bahwa pilkada tahun ini berbeda dengan tahun sebelumnya, untuk tahun ini pilkada bersamaan dengan Covid-19 sehingga semua pihak diharapkan menyelenggarakan pilkada dengan protocol kesehatan.

“ Sesuai Peraturan Komisi Pemilihan Umum Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2020 pasal 58 Ayat 2 Huruf e telah ditegaskan Wajib mematuhi ketentuan mengenai status penanganan Covid-19 pada daerah pemilihan serentak lanjutan setempat yang ditetapkan oleh pemerintah daerah atau gugus tugas setempat sehingga semua penyelenggaraan pilkada harus sesuai protocol kesehatan” Ujar Mizwar.

Disamping itu ia menambahkan sesuai UU No 10 Tahun 2016 pasal 71 ayat 1 tentang netralisir Pejabat Negara, Pejabat Daerah, Pejabat Aparatur Sipil Negara (ASN) , TNI-Polri, kepala Desa dan Lurah bahwa mereka semua tidak diperbolehkan terlibat langsung dalam politik praktis.

“ Harus kalian ketahui bahwa  Aparatur Sipil Negara (ASN) dan TNI-Polri, kepala Desa dan Lurah itu tidak boleh ikut serta dalam politik praktis dan jika ada dari kalangan keluarga kalian tolong diingatkan dan disosialisakan bersama sehingga kita saling membantu dan jika kalian temukan hal itu di kecamatan ini segera laporkan ke kami  guna untuk mencegah sebelum terjadinya pelanggaran” Himbau Mizwar.