Palu-Jati Centre. Jaringan Advokasi Untuk Keadilan (JATI) kembali menggelar kegiatan seri diskusi yang digelar di Palu, pada Sabtu (24/7/2021).
Menurut Direktur Jati Centre Mashur Alhabsyi, kegiatan ini dilaksanakan sebagai upaya peningkatan kapasitas pekerja hukum dalam melakukan advokasi kasus dan kebijakan. Menunjang hal itu, dia menghadirkan advokat muda untuk memberikan penguatan soal peran Advokat.
Kegiatan yang menghadirkan advokat muda tersebut bertemakan “Strategi dan Aksi Bantuan Hukum” dengan fokus kajian “Peran Advokat dalam Sistem Penegakkan Hukum di Indonesia”
Ketua Lembaga Penelitian dan Advokasi Hukum Kanoana Indonesia (LPAH KI) Idris Mamonto, menjelaskan terkait peran advokat dalam sistem penegakan hukum di Indonesia memiliki kedudukan yang setara dengan penegak hukum lainnya.
“Sebagai penegak hukum mempunyai kedudukan setara dengan penegak hukum lainnya (Hakim, Jaksa dan Polisi) dalam upaya menegakkan hukum dan keadilan,”Jelasnya.
Searah dengan penjelasan di atas, dia juga menjelaskan perbedaan antara peran advokat sebagai penegak hukum dan sebagai profesi hukum dalam membela kepentingan klien.
“Advokat sebagai penegak hukum akan menegakkan hukum dan keadilan. Sedang Advokat sebagai profesi hukum akan membela kepentingan klien dengan tidak secara membabi buta, membantu melancarkan penyelesaian perkara dengan membantu hakim dalam memutuskan perkara melalui data dan informasi yang ada untuk disampaikan di pengadilan, sesuai kode etik profesi, menjunjung tinggi Pancasila, hukum dan keadila,” Terang Idris.
Selanjutnya dia menyimpulkan, peran seorang advokat yang terpenting dari secara keseluruhan yaitu membela harkat dan martabat manusia di dalam proses peradilan.
“Advokat akan bertindak untuk membela harkat dan marbatabat manusia didalam proses peradilan pidana termasuk tersangka atau terdakwa yang berhak didampingi Penasehat Hukum, hak diadili secara terbuka untuk umum, hak mengajukan saksi-saksi, melakukan upaya hukum, asas praduga tak bersalah, menghindari error in persona.” tutupnya.
Lebih lanjut untuk diketahui, kegiatan ini dihadiri oleh para Mahasiswa Pascasarjana Jurusan Hukum Keluarga Islam, S1 Hukum Tatanegara Islam (HTNI), Hukum Ekonomi, Ekonomi dan Bisnis dan Bimbingan Konseling Islam dari Universitas Islam Negeri (UIN) Datokarama Palu.
Seri Diskusi, Seri Diskusi “Peningkatan Kapasitas Pekerja Hukum” yang digelar Jaringan Advokasi Untuk Keadilan (JATI) Centre mengangkat tema Strategi dan Aksi Bantuan Hukum. Dengan Fokus Pembahasan Peran Advokat dalam Sistem Penegakan Hukum di Indonesia.
Menghadirkan Narasumber Idris Mamonto, SH, MH Advokat muda dan kini menjabat Ketua Lembaga Penelitian dan Advokasi Hukum Kanoana Indonesia (LPAH KI). Kegiatan Diskusi dipandu Moderator Muhammad Qadri, S.Ip (Tenaga Ahli Jati Centre)
Pasangkayu-Jati Centre. Pemerintah telah resmi melakukan penghapusan kebijakan Izin Mendirikan Bangunan (IMB) lalu menetapkan Persetujuan Bangunan Gedung (PBG) yang lebih sederhana. Urgensi perubahan kebijakan ini berlandaskan pada turunan dari UU Cipta Kerja ketentuan Pasal 24 dan Pasal 185 huruf b Undang-undang Nomor 11 Tahun 2020.
Demikian penjelasan Akademisi UIN Datokarama Palu, Besse Tenriabeng Mursyid dalam Seminar Rancangan Peraturan Daerah Persetujuan Bangunan Gedung, yang dilaksanakan Pemerintah Kabupaten Pasangkayu di Pasangkayu, Rabu (14/7/2021).
Dia mengatakan, perubahan ini terdapat pada sebelas klaster undang-undang, dan salah satunya membahas tentang kemudahan perizinan dengan konsekuensi penghapusan atas IMB dan menggantinya dengan PBG.
“Perubahan UU Nomor 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung melalui UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja, membawa konsekuensi pada IMB dihapuskan dan ditetapkan PBG melalui penetapan PP Nomor 16 Tahun 2021 tentang Peraturan Pelaksanaan UU 28/2002 tentang Bangunan Gedung”, jelas Tenri.
Peneliti Jati Centre ini juga mengatakan bahwa untuk menindaklanjuti Pasal 347 ayat (2) PP 16/2021 tentang Peraturan Pelaksanaan UU 28/2002 tentang Bangunan Gedung, maka Pemerintah Daerah harus menyediakan Persetujuan Bangunan Gedung dalam jangka waktu paling lama 6 (enam) bulan sejak Peraturan Pemerintah ini berlaku.
“Adanya aturan tersebut konsekuensinya, pertama pemerintah harus membuat instrumen hukum berupa Produk Hukum Daerah, dan Keputusan Tata Usaha Negara, dan yang memuat layanan retribusi daerah dengan menerbitkan Perda sebagai dasar hukum ,” jelas Tenri.
Perda retribusi PBG akan menjadi dasar pemungutan layanan retribusi daerah. Dalam hal ini, selain sebagai pelaksanaan layanan publik, juga mendukung upaya peningkatan pendapatan asli daerah melalui retribusi daerah.
Bersamaan dengan hal di atas, Ia juga memberikan penjelasan terkait perbedaan kebijakan IMB dan PBG terutama muatan krusial perbedaannya.
Untuk diketahui seminar ini dilaksanakan tetap mematuhi protokol kesehatan pencegahan Covid-19, dengan setiap peserta diharuskan menggunakan masker, menjaga jarak, dan mencuci tangan sebelum memasuki ruangan kegiatan.
Pasangkayu-Jati Centre. Pelaksanaan pembangunan daerah masih dipenuhi berbagai tantangan dan hambatan, di antaranya masih terbatasnya pendapat asli daerah (PAD) untuk membiayai kegiatan pembangunan daerah. Sehingga perlu terobosan yang legal untuk mencari, menggali, dan memanfaatkan potensi daerah maupun potensi yang ada di tengah masyarakat guna menunjang penyelenggaraan pemerintahan.
Hal ini beralasan, pelaksanaan pembangunan daerah bukan hanya tanggung jawab pihak pemerintah daerah semata. Pelaksanaan pembangunan sangat membutuhkan peran-serta dan partisipasi aktif semua pihak, mulai individu maupun badan usaha.
Dari itu, menjadi penting bagi pemerintah daerah untuk menyelenggarakan dan mengelola lain-lain pendapatan daerah yang sah sebagai pundi-pundi pendapatan daerah. Dalam hal ini, menggali potensi penerimaan dari sumber hibah, yang dilaksanakan berdasarkan prinsip transparansi dan tidak mengikat serta tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan.
Hal tersebut disampaikan Ketua Jati Centre Ruslan Husen dalam Seminar Rancangan Peraturan Daerah (Ranperda) Kabupaten Pasangkayu tentang Hibah kepada Pemerintah Daerah, di Pasangkayu pada Selasa (13/7/2021).
“Hibah kepada pemerintah daerah ini dimaknai penerimaan daerah yang berasal dari Pemerintah, Pemerintah Daerah lain, maupun pihak ketiga baik perorangan maupun badan hukum, dalam bentuk uang atau yang dipersamakan dengan uang, barang, dan jasa untuk menunjang peningkatan fungsi pemerintahan dan pembangunan daerah,” terang Ruslan.
Lebih lanjut menurut Alumni Pascasarjana Universitas Tadulako ini, penerimaan tersebut sejatinya dapat dimaksimalkan guna membantu peningkatan pembangunan daerah yang tentu imbasnya bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat. Selain itu, penerimaan melalui hibah ini juga dapat menambah pendapatan asli daerah (PAD), sehingga pundi-pundi pembiayaan pembangunan daerah dapat ditopang dari sumber tersebut.
“Perlu dilakukan pengaturan pelaksanaan penerimaan dan pengelolaan hibah kepada pemerintah daerah, sekaligus sebagai dasar hukum bagi pemerintah daerah untuk menggalang partisipasi pihak ketiga dalam pembangunan daerah. Pengaturan ini penting, agar memberi rambu sesuai dengan aturan hukum yang berlaku.” pungkasnya.
Namun, patut dipahami tentang rambu-rambu pelaksanaannya agar tidak menjadi masalah di kemudian hari. Yakni pemberi hibah melaksanakan secara sukarela, tidak ada batasan minimal, tidak ada paksaan, dan tidak mengikat. Demikian pula pelaksanaannya, tidak boleh berakibat menghambat laju perkembangan ekonomi daerah dan iklim investasi.
Lebih lanjut Kepala Bagian Hukum dan HAM Kabupaten Pasangkayu, Mulyadi menyampaikan, Seminar tentang Hibah kepada Pemerintah Daerah dimaksudkan mencari masukan, tanggapan, dan saran terhadap Ranperda sebelum dilanjutkan ke tahap pembahasan, dan penetapan.
“Seminar Ranperda ini untuk menindaklanjuti ketentutan keputusan DPRD Kabupaten Pasangkayu Nomor 16 Tahun 2020 tentang penetapan program pembentukan perda tahun 2021,” terang Mulyadi.
Mulyadi juga menjelaskan bahwa alasan Ranperda ini diinisiasi dikarenakan selama ini dasar hukum yang digunakan oleh pemerintah daerah dalam melakukan penarikan terhadap sumbangan pihak ketiga masih Keputusan Bupati Mamuju. Dengan merujuk pada dasar hukum yang sudah dibatalkan yakni Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 3 Tahun 1978 tentang Penerimaan Sumbangan Pihak Ketiga Kepada Daerah.
“Sumbangan pihak ketiga dasar hukumnya sudah dicabut. Sehingga sudah tidak diperbolehkan istilah sumbangan kepada pihak ketiga. Dengan demikian berdasarkan kajian tim penyusun maka ditawarkan judul “Hibah Kepada pemerintah Daerah” yang memiliki dasar hukum dalam UU 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah dan PP 2 tahun 2012 tentang Hibah Daerah,” paparnya.
Perda hibah kepada pemerintah daerah dibentuk selain harus bersesuaian dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, ketertiban umum, dan kesusilaan, juga harus memperhatikan lokalitas daerah terkait dengan kemudahan berusaha dan berinvestasi di daerah. Jangan sampai Perda menjadi ancaman dan beban biaya tinggi terhadap perkembangan ekonomi daerah. Jika seperti ini, Perda dimaksud dapat dievaluasi bahkan dibatalkan oleh Pemerintah Pusat dengan kewenangan yang melakat padanya.
Pada prinsipnya hasil penerimaan sumbangan pihak ketiga sama dengan penerimaan dalam pelaksanaan hibah kepada daerah, yang harus dilaksanakan dengan transparan dan tidak mengikat serta tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan. Terhadap hasil penerimaan daerah tersebut untuk selanjutnya dimanfaatkan bagi pembangunan daerah.
Selain itu, terhadap sumbangan maupun hibah tidak mengurangi kewajiban pihak ketiga kepada negara dan daerah sebagaimana ditentukan dalam peraturan perundang-undangan. Misalnya adanya kewajiban membayar pajak daerah dan retribusi daerah, atas kewajiban itu tetap dilaksanakan sebagaimana mestinya.
Palu-Jati Centre. Jati Centre melayangkan somasi (teguran) kepada pihak pemilik dan/atau penangung jawab beroperasinya tambang emas di Kayuboko Parigi Barat. Langkah hukum itu dilakukan atas kerugian materil yang dialami pemilik lahan Abd Razak selaku masyarakat setempat, akibat dampak pertambangan yang beroperasi sejak 2019 lalu.
Melalui keluarga pemilik lahan Muhammad Ridwan, dalam catatan kronologis kejadian menyampaikan, lahan perkebunan yang dimilikinya seluas 5.638m2 itu telah difungsikan sebagai lahan perkebunan, dengan tanaman di dalamnya 120 pohon pala, 10 pohon durian montong, 20 pohon kelapa, tanaman coklat, dan tanaman pisang, serta membangun 1 unit rumah dan 1 unit bangunan sarang burung walet.
“Berawal dari beroperasinya tambang emas pada tahun 2019 lalu yang berlokasi di Kayuboko, telah berdampak pada kerusakan lahan warga sekitar, berupa dampak buangan materil (lumpur) dan air sungai yang keruh,” sebut Ridwan beberapa waktu lalu.
Dia juga menambahkan, salah satu dampak dari keberadaan tambang tersebut mengakibatkan kerusakan lahan perkebunan dan bangunan miliknya, yang saat ini dalam kondisi rusak dan hampir roboh.
Searah dengan hal tersebut, Kuasa Hukum Jati Centre, Rusli Attaqi menjelaskan, pada prinsipnya operasi pertambangan harus memiliki izin dari Pemerintah Pusat dan/atau Pemerintah Provinsi, sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Pasal 35 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara.
Lanjut penyandang gelas Magister Hukum ini, menegaskan bahwa dalam Undang-Undang tersebut telah disebutkan sanksi dari pelanggaran akibat penambangan ilegal, yaitu diancam dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak seratus miliar rupiah.
Selain itu, Rusli juga menyampaikan masyarakat selaku pihak terdampak dapat memperoleh ganti rugi akibat kesalahan dalam operasi kegiatan pertambangan.
“Masyarakat yang terkena dampak negatif langsung dari kegiatan Usaha Pertambangan berhak, memperoleh ganti rugi yang layak akibat kesalahan dalam pengusahaan kegiatan pertambangan sesuai dengan ketentuan,” tegas Rusli.
Untuk diketahui, melalui kuasa hukum Jati Centre, telah melayangkan surat Somasi tanggal 25 Februari 2021 kepada pihak pemilik dan/atau penanggung jawab pertambangan dimaksud.
Dengan harapan pemilik dan/atau penangung jawab beroperasinya tambang emas tersebut memiliki jiwa sosial dan bertanggung jawab terhadap semua resiko akibat beroperasinya tambang emas tersebut. Lebih khusus dapat memberikan respon positif terhadap kerusakan lahan perkebunan dan bangunan milik masyarakat setempat.
Oleh : Ryan Aprilianto, SH
(Bawaslu Provinsi Sulawesi Tengah)
Desentralisasi sebagai penyerahan kekuasaan pemerintahan oleh pemerintah pusat kepada daerah otonom, telah membuka ruang tumbuh dan berkembangnya demokrasi di tingkat lokal daerah,. Terutama lewat rutinitas pesta demokrasi melalui pelaksanaan pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota serentak secara langsung oleh masyarakat pemilih.
Kontestasi pemilihan serentak telah memasuki gelombang keempat yang telah digelar di 270 daerah meliputi 9 provinsi, 224 kabupaten dan 37 kota, yang dilaksanakan pada masa pandemi covid-19 pada 9 Desember 2020.
Pasca penetapan hasil pemilihan, pasangan calon kepala daerah sebagai kontestan Pilkada terbagi atas dua sikap yakni kegembiraan bagi yang ditetapkan memperoleh suara tertinggi dan kekecewaan bagi yang ditetapkan memperoleh suara yang rendah oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) setempat. Seringkali bagi kontestan yang kalah mengungkapkan ketidakpuasan terhadap hasil pemilihan yang ditetapkan KPU dengan mendalilkan kecurangan-kecurangan disertai lampiran bukti dan data pendukung yang menyatakan mempengaruhi hasil pemilihan yang menyebabkan kekalahan baginya.
Lebih lanjut, fenomena tersebut diatur pada Pasal 156 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 Tentang Perubahan Kedua Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 (UU Pemilihan) yang menyatakan Perselisihan hasil Pemilihan merupakan perselisihan antara KPU Provinsi dan/atau KPU Kabupaten/Kota dan peserta Pemilihan mengenai penetapan perolehan suara hasil Pemilihan yang signifikan dan dapat mempengaruhi penetapan calon terpilih.
Lembaga Negara yang seharusnya berwenang untuk memeriksa dan memutuskan perselihan hasil pemilihan seharusnya adalah Badan Peradilan Khusus karena Pasal 24C ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 junto Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 Tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi, yang pada intinya menyatakan Mahkamah Konstitusi berwenang untuk memutus perselisihan hasil pemilihan umum, bukan pemilihan kepala daerah.
Namun karena Badan Peradilan Khusus belum terbentuk, merujuk Pasal 157 ayat (3) UU Pemilihan maka kewenangan tersebut diberikan kepada Mahkamah Konstitusi.
Secara prosedur bagi kontestan Pilkada yang akan mengajukan permohonan kepada Mahkamah Konstitusi memiliki waktu paling lambat tiga hari kerja terhitung sejak diumumkan penetapan perolehan hasil oleh KPU Provinsi atau KPU Kabupaten/Kota.
Mengutip laman resmi Mahkamah Konstitusi, untuk Pemilihan Gubernur terdapat 7 permohonan, Pemilihan Bupati 114 permohonan dan Pemilihan Walikota 14 permohonan sehingga total terdapat 135 permohonan perselisihan hasil untuk Pilkada Serentak Tahun 2020.
Dari sisi substansi permohonan, masih banyak ditemukan permohonan yang mendalilkan pelanggaran-pelanggaran administrasi, tindak pidana pemilihan dan sengketa dalam tahapan pemilihan sebagai dasar gugatan. Padahal, ketiga hal tersebut bukan kewenangan dari Mahkamah Konstitusi.
Namun demikian, jika pelanggaran yang didalilkan bersifat Terstruktur, Sistematis dan Masif maka untuk menegakkan nilai-nilai demokrasi, Mahkamah Konstitusi memandang perlu memeriksa dan mengadili permohonan tersebut. Mahkamah Konstitusi tidak boleh membiarkan aturan-aturan keadilan prosedur (procedural justice) memasung dan mengesampingkan keadilan substantif (substantive justice).
Pada proses pemeriksaan di Mahkamah Konstitusi, selain pasangan calon yang merasa dirugikan melampirkan bukti-bukti kecurangan dan KPU yang bersikukuh akan penetapan hasil yang sudah benar dan tepat, terdapat Bawaslu yang memiliki peran sentral sebagai pemberi keterangan. Bawaslu dalam perselisihan hasil pemilihan dituntut memberikan keterangan sebagai pihak netral, tidak memihak kepada Pemohon, Termohon maupun Pihak Terkait.
Sebagai pihak yang netral, keterangan Bawaslu yang meliputi hasil pengawasan tahapan pemilihan, hasil penanganan pelangggaran pemilihan serta hasil penyelesaian sengketa proses pemilihan, sering kali digunakan sebagai pertimbangan Hakim Mahkamah Konstitusi dalam memutuskan perselisihan hasil pemilihan.
Untuk diketahui, di Provinsi Sulawesi Tengah terdapat tujuh permohonan perselisihan hasil atas Pemilihan Walikota Palu, Pemilihan Bupati Sigi, Pemilihan Bupati Poso, Pemilihan Bupati Tolitoli, Pemilihan Bupati Tojo Una-Una, Pemilihan Bupati Banggai dan Pemilihan Bupati Morowali Utara. Hal ini menjadi catatan bagi penyelenggara baik KPU maupun Bawaslu setempat untuk menyiapkan keterangan tertulis yang harus diserahkan kepada Mahkamah Konstitusi sebelum pelaksanaan Sidang Pemeriksaan Pendahuluan pada 26 Januari 2021.
Terakhir, bahwa gugatan ke Mahkamah Konstitusi menjadi upaya hukum terakhir yang dapat ditempuh oleh kontestan Pilkada. Hal ini dikarenakan putusan Mahkamah Konstitusi bersifat final dan mengikat.
Dalam electoral justice system di Indonesia, Mahkamah Konstitusi menjadi muara terakhir bagi para pencari keadilan, sehingga segala bentuk sengketa atau perselisihan hasil pemilihan dianggap selesai setelah adanya putusan Mahkamah Konstitusi dan tidak bisa lagi diganggu gugat.
Jati Centre – Pengurus Besar Himpunan Mahasiswa Islam (PB HMI MPO) mempertanyakan sikap Presiden Joko Widodo yang bungkam atas tragedi Tol Cikampek yang merenggut nyawa 6 anggota Front Pembela Islam (FPI). Sebagai pemimpin, seharusnya Presiden dapat menunjukkan komitmen atas penegakkan Hak Asasi Manusia (HAM) di Indonesia.
Hal tersebut disampaikan Ketua Umum PB HMI MPO, Affandi Ismail. Ia mengatakan, sampai saat ini tidak ada satu pun pernyataan yang disampaikan Presiden menanggapi tragedi Tol Cikampek, meskipun itu hanya sekadar belasungkawa.
“Presiden harus menunjukkan sikap kenegarawanan dan berada di garda terdepan, untuk mendorong dan mendesak agar kasus pelanggaran HAM ini segera terungkap sebagai bentuk komitmen Negara dan Pemerintah atas penegakan HAM di Indonesia. Sehingga, ke depan tidak terjadi lagi tragedi serupa atau bentuk-bentuk pelanggaran HAM lainnya,” ujarnya di Jakarta Rabu (9/12).
Ironisnya, Affandi menuturkan bahwa tragedi yang terjadi pada 7 Desember lalu hanya selang tiga hari menjelang peringatan hari HAM Se-Dunia, yang jatuh pada 10 Desember. Hal ini menunjukkan lemahnya komitmen penegakkan HAM oleh pemerintah yang dipimpin oleh Joko Widodo-Ma’ruf Amin.
“Alih-alih mewujudkan komitmen penegakan hukum yang berkeadilan dan HAM, justru pada Senin 7 Desember telah terjadi peristiwa memilukan, dimana 6 orang Laskar FPI ditembak mati yang ditengarai para pelakunya adalah aparat kepolisian, yang sedang melakukan operasi pengintaian terhadap rombongan HRS,” ucapnya.
Menurut Affandi, tindakan tersebut diduga menyalahi Standar Operasional Prosedur serta sangat ceroboh, berlebihan dan sangat tidak manusiawi yang dilakukan oleh institusi penegak hukum, terhadap masyarakat sipil.
Ia menegaskan, apapun alasan yang dilontarkan oleh pihak Kepolisian, tidak dapat diterima dan merupakan pelanggaran HAM berat. Pihaknya menuntut Kapolri agar bertanggungjawab atas tindakan anak buahnya.
“Tindakan tersebut tidak bisa dibenarkan. Terlebih ketika kita mencermati dan menganalisa informasi yang berkembang, membuktikan bahwa ini adalah kesalahan aparat kepolisian tersebut. Kapolri harus bertanggung jawab atas tragedi ini. Hukum harus ditegakkan dengan seadil-adilnya,” tandasnya.