Tercatut Namun Tidak Tercoklit: Dinamika Pentingnya Pendidikan Pemilih

280 Views

Oleh Ferdiansyah

Terkait Pencatutan dan Pencoklitan

Pemilu 2024 sedang berlangsung melalui tahapan yang telah dilalui. Tahapan yang telah berjalan adalah pendaftaran, verifikasi dan penetapan partai politik serta tahapan pencalonan DPD. Dalam dua tahapan ini, terdapat kata yang cukup populer yaitu pencatutan.

Tercatut merupakan kata yang sedang populer dalam kontestasi pemilu 2024 ini. tercatut disini maksudnya disalahgunakannya (kekuasaan, nama orang, jabatan, dan sebagainya) untuk mencari untung (dari kata mencatut dalam KBBI). Dari arti kata ini sudah jelas konotasinya negatif. Pencatutan nama seseorang sebagai anggota partai politik, padahal tidak sejengkalpun orang tersebut mendaftar atau bahkan ikut berpartisipasi sebagai anggota partai politik yang mencatut namanya. Pencatutan juga terjadi dalam proses pencalonan anggota DPD. Nama dan NIK tercatut sebagai pendukung anggota DPD, padahal secara sadar nama yang tercatut tersebut tidak pernah menyatakan dukungan apalagi secara tertulis mendukung anggota DPD yang dimaksud.

Bisa saja terjadi, nama kita dalam artian nomor induk kependudukan tercatut sebagai anggota suatu partai politik, atau pendukung calon anggota DPD. Padahal, logo partai politik tersebut belum kita ketahui logonya, pun wajah anggota DPD tersebut tidak pernah kita lihat.

Disisi berbeda, terdapat tahapan pencoklitan. Coklit merupakan proses pencocokan dan penelitian daftar pemilih oleh Petugas Pemutakhiran data pemilih (Pantarlih). Pantarlih melakukan pencoklitan dengan cara mendatangi pemilih secara langsung (sesuai PKPU Nomor 7 tahun 2022). Fungsi tugas ini sangat penting dalam tahapan Pemilu, agar daftar pemilih dapat akurat, komprehensif, dan mutakhir. Masalahnya terdapat masyarakat yang tidak didatangi Pantarlih oleh karena namanya tidak terdapat dalam formulir Model A-Daftar Pemilih atau namanya telah terdata dalam formulir tersebut namun tidak didatangi secara langsung oleh Pantarlih. Bisa terdapat potensi ketidak patuhan SOP oleh petugas Pantarlih, namun peran masyarakat untuk ikut menginformasikan hal ini juga penting.

Bukan tidak mungkin terdapat WNI yang tercatut namanya sebagai anggota parpol atau pendukung anggota DPD tapi justru belum tercoklit oleh Pantarlih. Ibarat pribahasa klasik: sudah jatuh (tidak bisa memilih karena tidak terdata), malah tertimpa tangga (NIK-nya dicatut).

 

Pendidikan Pemilih: Membentuk Kesadaran Pemilih

Dalam suatu diskusi bersama dengan stakeholder dan masyarakat yang diselenggarakan oleh penyelenggara pemilu di salah satu kabupaten, ketika dibahas terkait pencatutan nama oleh partai politik dan calon anggota DPD, termasuk didalamnya dipaparkan terkait bagaimana mengecek NIK apakah tercatut atau tidak, banyak masyarakat yang menyatakan baru mengetahui terkait adanya website yang digunakan untuk pengecekan tersebut (melalui: infopemilu.kpu.go.id). Padahal sesuai dengan pernyataan penyelenggara pemilu setempat, hal ini sudah disampaikan sejak jauh hari.

Apakah hal ini terjadi karena ketidak mampuan penyelenggara pemilu menjangkau tiap lapis masyarakat, atau persoalan dari masyarakat itu sendiri yang cukup pragmatis: tidak penting. Jika dipetakan persoalannya, baik penyelenggara pemilu maupun masyarakat sebagai pemilih dapat bertemu dalam suatu proses yang bernama pendidikan pemilih. Penyelenggara berperan sebagai fasilitator dan masyarakat sebagai pemilih yang diberikan Pendidikan agar terbangun kesadaran sebagai pemilih.

Pendidikan Pemilih dalam PKPU Nomor 9 Tahun 2022 adalah proses penyampaian Informasi Pemilu atau Pemilihan kepada Pemilih untuk meningkatkan pengetahuan, pemahaman, dan kesadaran Pemilih tentang Pemilu dan/atau Pemilihan secara berkelanjutan dan berkesinambungan. Pendidikan pemilih merupakan bagian dari partisipasi masyarakat.

Kesadaran yang perlu dibangun melalui pendidikan pemilih adalah terkait kesadaran masyarakat atas tanggung jawabnya dalam demokrasi dan sebagai Warga Negara Indonesia. Masyarakat perlu berpartisipasi dalam demokrasi termasuk didalamnya melalui pemilihan umum. Setiap masyarakat memiliki satu suara dimana dia akan menentukan nasib bangsa (secara harfiah satu suara ini akan dipakai saat pungut hitung). Tentu termasuk didalamnya tahapan-tahapan pemilu yang dilalui, termasuk tahapan penetapan partai politik, pencalonan anggota DPD, dan tahapan pencocokan data pemilih.

Titik awalnya tentu saja di proses mengenalkan. Mengenalkan proses-proses beserta tahapan Pemilihan Umum yang cukup panjang hingga ke pungut hitung, bahkan tahapan pasca pungut hitung tersebut. Dari mengenal, melalui Pendidikan pemilih masyarakat diberikan pemahaman. Memahamkan pentingnya keterlibatan aktif masyarakat dalam pemilihan umum ini, dan bagaimana mereka mencari informasi-informasi yang menunjang hal tersebut. Contoh, seperti yang disebutkan sebelumnya, bahwa terdapat website khusus untuk info kepemiluan termasuk pengecekan pencatutan NIK, bahkan terdapat posko pengaduan terkait pencatutan nama tersebut ditiap kantor penyelenggara pemilu. Masyarakat terlibat aktif berdasarkan pengetahuannya dan pemahamannya. Bahkan ikut menginformasikan ke orang-orang terdekatnya.

Pendidikan pemilih ini sebenarnya bukan hanya tanggung jawab penyelenggara pemilu. Dalam Buku Pedoman Pendidikan Pemilih oleh KPU RI, menyelenggaran Pendidikan pemilih merupakan tanggung jawab semua elemen bangsa; penyelenggara pemilu, partai politik, pemerintah, perguruan tinggi dan organisasi masyarakat sipil. Karena dalam Pendidikan Pemilih menyangkut beberapa aspek penting guna menunjang terciptanya masyarakat yang memiliki kesadaran yang kuat akan pentingnya demokrasi melalui pemilihan umum. Kesadaran ini diharapkan meningkatkan partisipasi pemilih, meningkatkan literasi politik, dan meningkatkan sikap kerelawanan pemilih.

Partisipasi perlu diperjelas bukan dalam artian mobilisasi pemilih. Begitupun kerelawanan merupakan perbedaan besar dengan sikap pragmatis. Pemahaman yang baik, bisa menghilangkan prasangka-prasangka negatif terhadap kepemiluan dan demokrasi, dan harapannya dapat memicu sikap berperan aktif dalam mengawal demokrasi melalui pemilihan umum ini.

 

Bentuk dan Media Pendidikan Pemilih

Sekarang yang menjadi PR bersama adalah terkait bentuk Pendidikan pemilih tersebut. Bentuk disini bukan hanya dalam arti secara teoritis, termasuk didalamnya target, tujuan, isi materi, dan konsep-konsep lainnya, namun konsentrasi terkait bentuknya dalam tataran praktis. Selain dari diskusi, seminar, lokakarya dan sebagainya, Penyelenggara Pemilu telah melakukan langkah-langkah strategis guna mengefektifkan Pendidikan terhadap pemilih. Beberapa Langkah strategis tersebut diantaranya seperti KPU meluncurkan Desa Peduli Pemilu dan Pemilihan (DP3). Sementara Bawaslu telah menghasilkan Kader-kader Pengawasan melalui programnya Bernama Sekolah Kader Pengawasan Partisipatif atau SKPP. Terbaru, melalui Perbawaslu Nomor 2 Tahun 2023, lahirlah program dengan nama Pendidikan Pengawasan Partisipatif. Dengan segala ikhtiar ini oleh penyelenggra pemilu, tetap masih perlu melakukan kajian terhadap efektivitas hasil Pendidikan pemilih yang diperoleh, disamping perlunya banyak dukungan dari pihak-pihak lainnya utamanya masyarakat secara umum.

Lahan efektifitas terkait Pendidikan pemilih ini sudah barang tentu sangat terbuka luas di media sosial. bagaimana menyentuh seluruh lapisan melalui budaya media sosial yang semakin massif. Melalui media sosial, Pendidikan pemilih dapat menyasar seluruh kalangan dan termasuk kalangan yang cukup banyak (berdasarkan bonus demografi) yaitu kalangan pemilih pemula. Hasil penelitian salah satu artikel dalam Jurnal Polgov UGM, mengambil studi kasus pada pemilu 2019, diperoleh hasil penelitian bahwa pemilih pemula aktif menggunakan media sosial dan bahkan menjadikan media sosial sebagai sumber informasi utama (Jurnal PolGov Vol. 2 No. 1 2020).
Media sosial ini perlu dimanfaatkan dengan baik dengan memperbanyak konten, variasi, dan inovasi agar mampu mendidik pemilih sehingga terbangun proses pengenalan, pemahaman, hingga kesadaran pentingnya terlibat aktif dalam Pemilihan Umum, utamanya berperan partisipatif di dalamnya. Harapannya adalah, tidak terdapat lagi pemilih yang buta terhadap tahapan pemilu yang ada termasuk pengecekan pencatutan nama dan pencoklitan yang telah berlangsung.

Jadi, sudahkah Anda dicoklit? Atau justru nama Anda telah dicatut? Mari bersama ikut terlibat dalam Pendidikan pemilih.

Nigitama dan Pak Penghukum (Ketika

450 Views

Tuhan yang lebih tahu …

Sedang mana yang berlari mencari benar diri

Dan sedang mana yang tutup diri dengan banyak hiasi

(Sajak Tempa Tanpa Diri, Nigitama)

Siapa Nigitama?

   Ada yang sampaikan ia raja kata. Ada pula beberapa yang menyatakannya wali puisi. Ada yang menganggapnya pujangga intuisi. Tak lupa beberapa yang mencitrakannya filosof sejati hingga guru kehidupan yang mumpuni. Jikalau kau bertanya definisi, ia akan mengeluarkan seribu satu arti, baik yang masuk di akalmu, maupun yang meresap di qalbu. Semua layak berarti bagimu. Ada yang menjulukinya sang ahli hikmah yang muncul di dunia yang merana lagi meng-anti-kan arti.

  Banyak yang datang kepadanya untuk mengadu, atau lebih tepatnya ia yang mendatangi si pengadu. Sebab, tempat tinggal Nigitama takkan kau tahu. Ia seorang pengembara yang datang di tengah-tengah hutan belantara, ataupun duduk-duduk dibangku taman kota. Ia sering terlihat di suatu desa, namun secara kasat mata nampak di desa lainnya. Ia datang di sebuah kota seolah hidup disana, tidak tahunya ia hilang seperti tak pernah ada di tempat itu sebelumnya. Ia mendatangi dan didatangi siapa saja: tua-muda, budak-raja, pemarah-penyabar, jiwa yang abstrak-jiwa yang nyata.

  Jawaban dari aduan tiap orang dijawabnya santun. Kadang dengan sajak tanpa nama, namun mengena. Kadang dengan panjang teorinya, mengena pula. Mengena dalam artian senyum puas sang pengadu setelah aduannya dijawab Nigitama. Atau tangis keharuan maupun penyesalan.    

 

***

  Suatu ketika, Nigitama berjumpa dengan Pak Penghukum. Pak Penghukum sedang menangis. Pak Penghukum merupakan salah satu guru kehidupan yang paling peka qalbunya dan tegar. Jadi terheranlah Nigitama ketika mendapatinya sedang menangis. Pak Penghukum sedang duduk di bangku suatu taman kota. Ia memilih bersunyi ditengah ramai dengan pelupuk mata basah. Nigitama mencoba mendekati. Nigitama ikut duduk. Pak Penghukum menengok pada siapa disampingnya, yang ia sadari adalah Nigitama.

  Tanpa diminta, Pak Penghukum membuka kata,

  “Nigitama? Oh, kaukah itu?” tangis Pak Penghukum berhenti. Tapi masih tersisa isak. Senyumnya muncul dan mengembang. Sambil mengusap air matanya, ia melanjutan, “Nigitama, bolehkah aku meminta nasehatmu?”

  Nigitama yang sejak tadi menatap Pak Penghukum dengan senyum membalas sapa itu, “Aku bukanlah siapa-siapa duhai pengadil dibanding dirimu. Kau membijaki kehidupan, sedang aku seorang pengembara mencari kehidupan. Namun barangkali tiap orang diberikan kelebihan atas orang lain, disitulah letak keadilan Tuhan. Dan kelebihanku hanyalah datang pada waktu seorang butuh teman untuk berbagi kegundahan. Jikalau berbagi adalah menenangkan, dan aku bisa membantu dengan mendengarkan, maka silahkan sampaikan apa yang menjadi kegundahan?”

  Sang penanya tersenang sebab tertanggapi dengan baik. Ia lalu memulai cerita.

  “Nigitama, aku seorang penghukum. Aku menghukum siapa saja atas nama keadilan. Aku menghancurkan apapun yang menghalangi jalan keadilan. Tapi aku merasa ada yang rancu dengan keadilan, yang aku dan orang-orang sepertiku berusaha dengan sekuat tenaga untuk tegak.” Pak Penghukum menggelengkan kepala dengan muka sayu. Dia melanjutkan dengan memegang kepalanya, “Tapi ku tidak tahu Nigitama, apa yang rancu. Apa yang salah dari menegakkan adil itu. Dari hati kecilku, terasa ada yang rancu, ada yang salah.”

  “Mohon kiranya engkau berucap Nigitama.”

  Nigitama masih tersenyum, sambil mendengarkan sejak tadi. Ia kemudian mulai menanggapi,

  “Tuan, apa yang lebih tinggi dari keadilan?” tanya Nigitama.

  “Setahuku keadilan adalah segalanya.”

  “Nah, demikianlah rata-rata para penanggung jawab seperti Anda. Mereka terhanyut dengan tugasnya dan lupa hal kecil dan hal dasar. Mereka mampu menjabarkan mengapa ikan berenang dengan segala teori dan ilmu pengetahuan mereka. Mereka mampu menjabarkan mengapa air laut asin, air sungai tawar dengan retorika ilmiahnya. Tapi mereka tidak bisa menjawab hal dasarnya.”

  “Nigitama, jika keadilan bukanlah segalanya, lalu apa yang lebih tinggi dari keadilan Nigitama?” Tanya Pak Penghukum sangat penasaran.

  “Bukan masalah tinggi-rendah sebenarnya tuan. Tapi coba perhatikan biar hanya kali ini saja. kira-kira, jika dalam ‘keadilan’ yang tercipta, hanya ada ‘kebohongan’, apa itu masih perlu ‘ditegakkan’ atau hanya yang dianggap ‘penting’ saja yang ‘ditegakkan’?”

  Pak penghukum berpikir. Dia memilah-milih jawaban yang berseliwiran di benaknya.

  “Tentu tidak Nigitama, tentu tidak. Bagaimana mungkin keadilan tegak di atas kebohongan?”

  “Jadi, apa lawan kebohongan, itulah keadilan.”

  Sang Penghukum bingung. Ia mengerutkan kening. Entah sebab bingung ia kembali menampakkan kesedihan, atau sebab sedih makin bertambah kebingungannya.

  “Nigitama, terus terang, aku ingin mundur dari jatidiriku sebagai penghukum. Sebab aku merasa ada yang kurang dari prinsip adilku. Aku ingin mundur, aku tidak ingin menjadi ‘orang lain’ yang menikmati duduk tenang di tempat yang tidak layak untuknya. Aku ingin menjadi diriku sendiri yang memegang prinsipku.

  “Maka, yang tersisa dariku kini adalah pergolakan batin yang membuatku terus bersedih. Aku ingin memegang prinsipku, namun kurasa dan terus kurasa ada yang kurang. Aku tidak ingin mundur sebagai penghukum, namun terasa dan sangat terasa aku semakin tidak pantas.”

  “Oh, Nigitama, tolong jangan bebankan lagi sesuatu seperti pertanyaanmu itu. itu semakin membingungkan kesedihanku, dan menyedihkan bagi kebingunganku. Aku hanya perlu nasehat pelipur.”

  Nigitama masih dengan senyum menanggapinya. “Aku, Anda tuan, dan semua manusia memiliki masalah di hatinya. Hingga hanyut tenggelam terbawa perasaannya. Kita memiliki masalah di kepala kita. Hingga terus memikir dan berakhir terdampar dalam logika dan rasionalitas yang tersisa.“

  “Nasehat saya sederhana tuan. Tuhan menganugerahkan hati dan akal berarti keduanya alat yang dapat digunakan. Yang menciptakan adalah Tuhan berarti keduanya serba kekurangan dan punya kelebihan masing-masing. Berpikirlah dengan menggunakan perasaan karena-Nya.

  “Renungkanlah tuan, hikmah penciptaan: semua dari-Nya, lalu kembali pada-Nya. Itulah kebenaran. Dan disitulah keadilan.”

  Sedih Pak Penghukum berubah menjadi keterpakuaan. Dia seolah tak bisa bergerak akan nasehat itu. Isaknya berhenti. Bahkan angin sekitar taman ikut berhenti, kicau burung terhenti.

  Tak disadari Pak Penghukum, Nigitama pamit meninggalkannya. Tapi entah apa yang menamparnya, atau entah apa yang menyalakan lampu di kepalanya. Ia tiba-tiba bangkit berdiri dari duduknya, dan berteriak!

 “Akhirnya Nigitama, benar. Engkau benar. Engkau membenarkan apa ‘kebenarannya’. Betul sekali, itulah kerancuannya ‘adil yang bohong’. Aku sendiri tidak tahu apa ‘adilku’ yang selalu kutegakkan itu bohong atau benar. Dan disitulah makna kesedihanku, makna gundahku.”

  “Engkau betul Nigitama, terima kasih.” Ia ingin menjabat tangan Nigitama dengan semangat. Tapi sosok disampingnya sudah berlalu sejak tadi.

  Pak Penghukum menoleh kanan-kiri, berbalik badan kesana-kemari, namun yang di dapatinya hanya taman kota dan hiruk-pikuknya tanpa tersisa sedikitpun tanda Nigitama yang berlalu.

 Seorang penjaga taman kota sedang memotong-motong rumput sedari tadi. Pak Penghukum melangkah mendekatinya.

  “Permisi, apakah Anda melihat kemana perginya orang yang bersamaku tadi, dia adalah Nigitama, seorang yang cukup dikenal.” Tanya Pak Penghukum pada sang penjaga.

  Penjaga kebun itu tersenyum dan hampir tertawa.

  “Sama sekali tidak tuan. Yang ada adalah tidak ada siapa-siapa yang bersama Anda sejak tadi. Anda datang dengan kesedihan, duduk sendirian disitu, dan terus terisak hingga Anda ketiduran. Kemudian bangkit berdiri dan berteriak.”

  “Sepertinya mimpi Anda cukup indah, Anda berteriak sambil tersenyum tadi.” Jawab sang penjaga sambil tertawa.

  Pak Penghukum mengerutkan dahinya. Sambil memperhatikan tempat duduknya tadi yang tidak jauh darinya.

  “Aneh. Kalau memang seperti itu, sejak kapan Anda membereskan rumput ini?”

  “Sejak sebelum Anda datang dan duduk ditaman ini.”

  “Tapi seingat saya tadi tidak ada seorangpun selain saya dan Nigitama.”

  “Begini saja tuan, saya sedang sibuk bekerja, ini tumpukan potongan rumput yang banyak, tidak mungkin saya mengerjakannya baru saja. biar mudah Anda pahamai tuan, anggap saja jika tadi Anda tidak bermimpi, berarti tadinya nyata dan sekarang Anda tepatnya sedang bermimpi.” Penjaga itu melanjutkan tugasnya memotong rumput itu sambil tertawa, tanpa peduli lagi dengan Pak Penghukum yang masih berdiri.

  Pak penghukum tersenyum lalu ikut tertawa. Paling tidak jawabannya bukan hanya mimpi, batinya dalam hati.

***

Siapa Nigitama?

  Ada yang sampaikan ia manusia, ada yang katakan dia utusan Tuhan. Tapi dia sendiri berkata dia bukan siapa-siapa. Banyak yang menyampai pernah bertemu dengannya. Tapi mereka tak bisa menjelaskan dan menegaskan, pertemuan itu mimpi atau nyata…

  *) Nigitama adalah tokoh fiksi karangan Cecep Syamsul Hadi dalam sebuah Apresiaisi puisi pada majalah sastra Horison. Penulis (cerpen ini) “hanya” meminjam nama dan sifat bijaknya, seluruh bentuk dan isi cerita dari Penulis.

 

 

Teluk Terceruk, 30-12-2016

Sesiapa Terusir

Gambar: dancing dervishes, oleh Kamāl ud-Dīn Behzād (c. 1480/1490)
301 Views
gambar: dancing dervishes, oleh Kamal ud Din Behzad (c. 1480/1490)

    Para jiwa abstrak berkumpul bertemu dalam sebuah sidang penentuan takdir kehidupan. Merekalah para tuan guru pendidik kehidupan. Membimbingi kehidupan, mendidiki kehidupan. Sejak bayang senja hingga hilang temaram malam. Dari sunyi embun hingga matahari tenggelam. Mereka para tuan guru mengajarkan, memberi bimbingan.

      Mereka kini senyap duduk dalam temu, namun segera terbuka kata dari hakim yang ada di depan para hadirin.

    Salah seorang hakim dari tiga hakim berdiri dalam tenang, “Hadirin, terimakasih sudah tiba disini. Kami selaku yang ditunjuk sebagai hakim mengundang, sebab adalah hal penting yang perlu diputuskan. Seorang guru pendidik kehidupan mengajukan usulan, dimana ia merasa perlu mengadakan perubahan, kembali setelah sebelumnya juga telah dilakukan. Barangkali usulan ini menanggung kebaikan bersama. Untuk itu saya mempersilahkan bagi yang mengusulkan.”

     Sang hakim mempersilahkan seorang yang kemudian berdiri diantara para hadirin. Sang tuan guru Tahu yang tadi dipersilahkan, memperhatikan hadirin yang lain dan kemudian memulai ucap,

    “Telahlah sampai usia zaman kita merangkak mengejarnya sementara seenaknya ia pergi meninggalkan. Telahlah sampai seusianya kita perlu mengadakan perubahan. Telahlah lewat perubahan sebelumnya dan kini kita menuju perubahan barunya.”

    “Hadirin sekalian. Saya mengajukan tawaran baru, usulan baru, kehendak baik baru yang semoga direstui bersama sebagaimana usulan yang dahulu. Bahwasanya agar meningkatkan kemampuan kehidupan mengejar zaman, kehidupan perlu mengurangi beban belajarnya. Sudahlah terlalu banyak kehidupan menanggung beban dalam memahami dunia. Dari ia belajar untuk tahu, untuk memahami, untuk menganalisa, untuk menjadi bijak, untuk menjadi sadar, untuk menjadi sabar, dan untuk apapun itu guna mengejar zaman. Adapun beban-beban pelajaran yang diemban sang kehidupan adalah  baik untuknya. Namun, agar mengurangi beban, sudahlah sering kita mengambil putusan bahwa ada di antara beban-beban itu sudah tak diperlukan baginya atau menghambat baginya. Salah satu yang kami usulkan kini adalah, menjadikan pelajaran kesadaran menjadi pelajaran yang tidak diperlukan.”

      Para hadirin nampak kaget. Tuan guru Tahu kembali melanjutkan.

    “Apa-apa yang diajarkan oleh tuan guru Sadar, menurut kami perlu ikut dikurangi dalam mendidik kehidupan. Kehidupan cukuplah perlu dididik dari tahu hingga paham tanpa melibatkan sadar yang adalah ini sangatlah sulit dan multitafsir. Sebab ilmu sadar hanya akan menyebab kehidupan banyak merenung. Akibatnya ia terlambat mengejar zaman, dan menurut saya, hal ini akan menghambat keingintahuan-nya.”

   “Tiga jalur utama yang selama ini dituntut dalam mendidik kehidupan yaitu tahu-paham-sadar, saya usulkan menjadi dari tahu cukup ke paham. Dari paham, kehidupan akan lebih mengutamakan aspek analisannya, interpretasinya, dan sifat paham lainnya yang menyangkut akal budi. Adapun Dari paham ke sadar merupakan rintangan yang besar dan kehidupan akan terbebani menginterpretasikannya. Untuk itulah kami menganggap cukuplah kehidupan dididik hingga sampai pada taraf akaliah. Adapun tahap selanjutnya yang katanya melibatkan komposisi akal dan hati seperti sifat sadar, bukanlah sebagai didikan yang baik bagi kehidupan. Namun kalaupun diperlukan–yang menurut saya tidak perlu—biarkan itu sebagai pilihan. Biarkan kehidupan mencarinya jika kehidupan memilih mencarinya, mencari kesadaran dari pengetahuannya, dari apa yang telah dididikkan padanya.”

   “Sekian untuk sementara, yang menjadi usulan baik kami. Adapun perbedaan tanggapan nantinya, kami kembalikan kepada yang mulia hakim.”

  Para hadirin mulai berbisik-bisik, saling berdiskusi dalam gemuruh keriuhan. Meskipun tak ada suara keras dan membahana, keriuhan itu nyata terdengarnya. Mereka sudahlah tahu bahwa maksud dari tidak ingin diwajibkannya lagi kehidupan dalam mempelajari kesadaran dari sang tuan guru Sadar, berarti tuan guru sadar akan diasingkan. Seperti pendahulunya yang juga telah terusir dari para pendidik kehidupan.

  Tuan guru Sadar yang hadir sedang diam. Mata-mata tertuju padanya, mungkin itu penyebabnya diam entah mungkin sementara. Ia sedang diperhatikan dan ditunggu gestur maupun kata.

***

   Sementara itu, dalam diam, tuan guru Sadar mengingat-ngingat pertemuan sebelum-sebelumnya. Adalah tuan guru Sabar, dan tuan guru Amanah yang juga terusir sebagai pendidik kehidupan yang diputuskan pada pertemuan sebelum-sebelumnya secara berturut-turut. Belum lagi riwayat yang menyatakan, konon sesepuh para tuan guru pendidik kehidupan, yaitu tuan guru Ikhlas juga terusir saat dimintai kesepakatan pada suatu pertemuan yang sama dahulu. Yang diikuti mundurnya tuan guru Adil sebagai hakim karena tidak terima dengan pengusiran itu. Entah mengapa bisa, sesepuh dan tuan guru-tuan guru terbaik dalam memahami rasa sang kehidupan bisa diusir sekenanya oleh pertemuan seperti ini. Tentu, nyatalah bahwa kesepakatan terusir dan tidaknya tuan guru sesiapapun itu tergantung pada sebanyak apa suara yang menyatakan ia layak terusir atau mengasingkan diri. Semuanya berdasarkan suara terbanyak. Bukan berdasarkan sabda siapa, pun sabda Tuhan semesta. Betapa kejamnya suara mayoritas itu,  batin tuan guru Sadar.

   Tuan guru Sadar dalam diam itu, juga mengingat pertemuannya dengan guru Tahu sejak lama sebelum sidang ini. Pada saat itu, ia menanyakan secara serius, perihal mengapa beberapa tuan guru tidak terpakai dan kemudian terusir dengan sendirinya sebagai pendidik kehidupan. Dengan spontannya, tua guru Tahu berkata, “Sebab saya lebih baik dari mereka.”

  “Apa maksud Anda dengan jawaban seperti itu tuan guru Tahu? Bukankah tidak ada hubungan antara ke-lebih baik-kan dan pengusiran?” tanya, tuan guru Sadar.

  “Ya… bisa dikata iya, tergantung sudut pandang. Yang jelas, saya mengetahui, apa yang tidak kamu ketahui tuan guru Sadar. Anda perlu mengetahui bahwa saya mengetahui apa yang dibutuhkan kehidupan dan saya juga mengetahui apa yang dibutuhkan tuan guru lainnya. Dan salah satu hal lagi yang perlu Anda ketahui tuan guru Sadar, bahwa beberapa yang terusir adalah mereka yang menanyakan hal yang sama seperti Anda. Mereka terlalu berlebihan. Seharusnya, kehidupan cukup mengetahui, dengan banyak pengetahuan, kehidupan akan pandai segala. Lalu pabila dia pandai segala, untuk apa bagian lainnya?”

   Tuan guru Sadar tersentak dengan kalimat-kalimat tuan guru Tahu.

  “Coba renungkan dan dimengerti dengan baik tuan guru Sadar, atas apa yang saya sampaikan. Anda kan katanya pandai merenung, dan mengintrospeksi.”

***

   Ingatan tuan guru Sadar yang membayang hilang oleh kejut suara tuan guru Arif, salah satu dari tiga hakim yang mulai mengambil alih gemuruh keriuhan. Ia meminta hadirin untuk tenang.

  “Hadirin, silahkan memberikan tanggapan-tanggapan pun komentar sebelum kita mengambil keputusan dalam musyawarah ini.”

    Salah seorang hadirin mengangkat tangan.

   “Ya, silahkan tanggapannya tuan guru Derma.”

  “Terimakasih yang mulia,” tuan guru Derma yang dipersilahkan berdiri, “Seperti yang kita sama tahu, bahwa memang kehidupan perlu dididik banyak hal. Dan juga kita ketahui tidaklah serta merta kita dapat menjadikannya pandai mengejar zaman. Sebab, semakin meningkat zaman, semakin banyak pelajaran dan didikan yang diperlukan kehidupan.”

   “Hemat saya, kehidupan harus terus diberi bekal ajaran. Sebab pemberian akan sangat berarti. Untuk itu, tak apalah jika sang kehidupan, yang menurut tuan guru Tahu terbebani oleh pelajaran kesadaran. Bahkan saya rasa ditambahpun pendidikan untuknya lagi, tak mengapa. Sebab apa yang kita beri itu pasti akan sangat berarti…”

   “Yang mulia yang saya hormati!” teriak tuan guru Tahu dengan raut wajah tak nyaman mengangkat tangan sambil berdiri. Padahal tuan guru Derma belumlah habis ucapnya.

   “Sebentar tuan guru Tahu” sela salah satu hakim, “Tuan guru Derma silahkan lanjutkan dulu.”
“Tak perlu yang mulia. Saya beri saja kesempatan saya kepada tuan guru Tahu atau tuan guru lainnya.”

   Tuan guru Derma kembali duduk.

  “Tuan guru Tahu, dengan segala hormat silahkan duduk kembali. Anda sudah diberi kesempatan dan memberi cukup banyak keterangan sebelumnya tadi. Mohon beri kesempatan kepada tuan guru lainnya.” Tanggap tuan guru Arif sang hakim. Tuan guru Tahu akhirnya duduk kembali, dengan raut wajah berubah kesal.

   Hakim kembali menanti tanggapan lainnya. Nampak tuan guru Raga mengangkat tangan. Ia disambut dengan ucap silahkan para hakim.

  “Yang mulia para hakim, serta hadirin para tuan guru yang saya hormati, saya ingin menyatakan kecemasan saya yang berhubungan dengan sidang kita.”

  “Yang mulia dan para hadirin, saya mendengar bahwa zaman akan semakin gila. Ya, semakin gila. Lebih gila dari sekarang ini. Zaman juga akan semakin cepat langkahnya. Semakin cepat hingga tertatih kehidupan mengejarnya. Saya mendengar itu semua, dan saya mulai merasakannya.”

   “Jika dari kegilaanya, kegilaan zaman yang akan menimpa dan menerus bertambah, maka saya berpendapat bahwa keputusan tidak diwajibkan-nya bahkan tidak akan ada-nya kehidupan dididik tuan guru Sadar adalah SALAH. Sebab kehidupan akan mudah dikalahkan kegilaan zaman tanpa didikan kesadaran. Namun jika dari kecepatannya, kecepatan berkembangnya zaman dan langkahnya, maka saya berpendapat bahwa keputusan tidak diwajibkan-nya bahkan tidak akan ada-nya kehidupan dididik tuan guru Sadar adalah BENAR. Sebab kehidupan akan semakin dibebani dan akan melambat langkah geraknya dengan didikan kesadaran.”

   “Barangkali sekian tanggapan saya.” Ucap tuan guru Raga mengakhiri kata.

    Riuh hadirin, kembali terdengar samar meski tak kencang. Ada yang membenarkan komentar tuan guru Raga, ada pula yang meragukannya. Namun lebih banyak yang mengajak yang lainnya untuk menunggu tanggapan selanjutnya. Tiga hakim nampak membiarkan keriuhan, mungkin agar ada tanggapan lanjutan.

    Salah satu sepuh dari tuan guru yang tersisa, Tuan guru Bijak mengangkat tangannya.

    “Silahkan tuan guru Bijak.”, sapa hakim yang memecah keriuhan. Kini rata pandang menuju tuan guru Bijak.

   “Sejak tadi, kita belum mendengar seuntai ucap pun dari tuan guru Sadar. Barangkali alangkah baiknya kita dengarkan bersama apa tanggapan tuan guru Sadar akan persoalan ini.” Tuan guru Bijak mengarahkan pandangnya dari hakim menuju tuan guru Sadar.

   Tuan guru sadar yang kini menjadi pusat perhatian sejak awal sidang lebih banyak diam. Ia menyadari pandang-pandang yang mengarah padanya, dengan menengok satu-persatu pandangan tuan guru lainnya. Saat matanya mengarah kepada ketiga hakim yang juga memandangya, dia akhirnya mulai membuka kata.

  “Yang mulia para hakim dan tuan guru para hadirin. Saya merenugkan dan kini mengerti akhir semua ini, seperti halnya apa yang terjadi sebelum-sebelumnya. Tak perlulah saya panjang lebar soal sejarah pengasingan tuan guru lainnya,” para tuan guru peserta sidang saling pandang sebab singgungan itu, namun tuan guru Sadar kembali melanjutkan, “Saya hanya ingin meminta izin yang mulia para hakim, untuk melakukan tanya jawab sederhana kepada tuan guru Tahu. Agar saya dapat pergi dengan tenang. Apakah ada izin untuk saya yang mulia?”

  Para tuan guru nampak terkejut dengan permintaan itu. Sementara, ketiga hakim saling berbisik. Cukup lama jeda, sudah beberapa tuan guru mengangkat tangan—termasuk tuan guru Tahu—mungkin ingin beri tanggap atas permintaan tuan guru Sadar. Akhirnya, salah satu hakim angkat bicara,

  “Sesuai kesepakatan kami bertiga para hakim, yang mengacu pada peraturan sidang kita, permintaan tuan guru Sadar kami penuhi. Silahkan bertanya langsung tuan guru Sadar. Dengan tetap memenuhi kode etik sidang.”

  Tuan guru sadar yang berdiri kini berjalan keluar dari kerumunan peserta sidang. Dia kini berdiri diantara tiga hakim dan para peserta.

  “Yang mulia para hakim, para tuan guru peserta sidang, terkhusus tuan guru Tahu yang saya hormati. Adalah tanggungjawab saya mendidik kehidupan agar mengerti siapa ia dan untuk apa ia diciptakan. Lalu jika saya tak disini lagi, siapa yang akan mencakupi tugas ini wahai tuan guru Tahu?”

  “Biar itu menjadi urusan saya mendidiknya. Cukup kehidupan akan tahu dengan itu. bukankah sederhana mengetahui siapa ia dan untuk apa ia diciptakan?” Jawab lugas tuan guru Tahu.

   “Apakah anda akan membuatnya merenungkannya?”

  “Cukup dia tahu. Sehingga banyak waktu untuk mempelajari pengetahuan yang lain. Bukan hanya sekedar merenung, atau bisa dibilang, dia tidak perlu menghayal.”

  “Apa Anda bisa merenungkan ungkapan Anda itu tuan guru Tahu?”

  “Untuk apa direnungkan?”

  “Apa tidak bisa sama sekali dimengerti?”

  “Cukup! saya lebih mengetahui kebutuhan kehidupan daripada Anda!”

  “Oh, kalau begitu, cukuplah tuan guru yang lain merenungkan dampak kepogahan. Sebab, suatu saat salah satu atau semua mereka akan meninggalkan kehidupan yang hanya punya pengetahuan, Yang berdampak pada kehidupan yang mengejar zaman, bukan zaman yang mengejar kehidupan. Sampai kehidupan benar-benar mengerti dan termenung dengan itu, dan tak ada yang mendidikinya.”

  Tak berapa lama setelah tanya-jawab itu, tuan guru Sadar pamit. Dia meninggalkan sidang yang artinya juga meninggalkan kehidupan. Hakim masih menahan tuan guru Sadar begitu pula beberapa tuan guru yang lain. termasuk tuan guru Bijak, yang sempat bertanya.

 “Kenapa ditinggalkan sidang ini tuan guru? Bukankah masih akan berlanjut setelah musyawarah ini mungkin kita akan mengambil putusan dengan perhitungan suara?”

  “Tuan guru Tahu sangat mengetahui kebutuhan lain tuan guru lainnya. Sy mengerti tuan guru lain ketika ditawarkan kebutuhan pasti akan menerima sebab pemenuhan kebutuhan lebih menggerakan daripada kepedulian. Dan tuan guru Tahu, sangat tahu soal itu.”

  “Mohon maaf jika menyinggung tuan guru Bijak. Tak apalah saya terusir kini, yang penting apa yang terjadi, tercatat dalam sejarah nanti.”

  “Satu lagi, tolong ingatkan kepada tuan guru lainnya, bahwa massa mereka, juga akan tiba, termasuk Anda duhai tuan guru.”

  Sapa itu adalah sapa terakhir tuan guru Sadar terhadap tuan guru lainnya, dan diapun tak muncul lagi bertemu kehidupan.

 

Teluk Terceruk, April-Mei 2016

TENTANG MEREKA YANG BERPERKARA DENGAN SUARA

331 Views

  Bukan soal seberapa banyak jumlah pelanggaran perkara, tapi ini soal jenis perkaranya. Pihak keamanan dan yang berwenang telah sepakat mengkategorisasikannya sebagai kejahatan paling berbahaya. Bukan hal yang mudah jika berhubungan dengan perkara ini, nyawa langsung jadi taruhannya. Interogasi yang panjang lebar berbalut kekejaman, hingga penyiksaan guna mengorek keterangan. Nyawa terancam.

  Hukuman mati berlaku bagi yang terlibat di dalam perkara ini. Sebab perkaranya menyangkut kepentingan publik, kepentingan orang banyak, kepentingan negara. Bayangkan jika ada yang membeli barangnya, kemudian dia menang di suatu pemilihan, kemudian banyak yang tidak percaya dengan kemenangan itu padahal kemenangannya BENAR dan TERBUKTI (lantaran membeli barang itu), maka yang terjadi adalah bentrokan!

  Skalanya setingkat camat saja bisa menyebabkan suatu kecamatan saling baku-hantam. Coba kalau skalanya setingkat negara, dipemilihan presiden misalnya, satu calon (entah yang mana) membeli barang ini, yang lain bisa jadi membelinya juga. Maka negara akan runtuh sebab konflik antar kubu saling tuduh. Yang satu menang, yang satu juga menang (bukan sekedar klaim-klaim tapi betul-betul TERBUKTI). Lalu yang mana yang kalah?

  Itulah dampak besar yang terjadi, jika seseorang, atau beberapa orang Beperkara dan berurusan dengan barang bernama SUARA.

 

1

  Tudui tergugup. Sangat gugup. Lebih sepuluh kali keluar masuk penjara, tapi kali ini ia tidak bisa menyembunyikan ketakutannya setelah dibekuk di bandara.

  Ia sebenarnya menolak, sangat menolak menyeludupkan barang ini. Ia tahu konsekwensi beratnya jika cari gara-gara dengan barang ini. Tapi kata teman-teman sepekerjaan, uang kurir untuk barang ini bisa sepuluh kali lipat bahkan lebih dari sekedar mengurus ganja. Maka, air liurnya hampir menetes saat disebutkan nominal uang yang bisa ia dapatkan.

  Tudui sudah sering keluar masuk penjara dengan kasus yang sama: penyelundupan ganja. Tapi sebab tak jera, merasa sudah biasa, ditambah banyak koneksi di penjara dari tahanan sampai petugasnya, ia merasa leluasa. Di dalam penjarapun bisnis tetap lancar, aman, dan terkendali. Tiba saat keluar, ia akan memperlebar jaringan. Makanya, ia sering pulang-balik luar negeri. Meskipun bukan cukong, tapi ia adalah kurir profesional sebab berjam terbang tinggi. Ia merasa lebih nyaman jadi kurir, yang ia kategorikan sebagai orang lapangan.

  “Lebih enak, kita bisa kesana-kemari. Tidak duduk dengan nafas patah-patah menunggui kabar barang tiba dengan selamat atau tidak, hehehe,” demikian ucapnya setiap kali berbincang dengan kawan akrabnya, Jungok yang senasib sepenanggungan di bangsal penjara.

  Tapi kali ini, ia tergugup sangat. Perkara yang selama ini ditakuti residifis-residifis se-profesional sebagaimanapun dan sekambuh apapun telah diperbuatnya. Celakanya, ia tertangkap basah, dengan bukti yang sama sekali tak bisa terbantah. Ia membawa barang yang paling haram diantara barang-barang haram lainnya. Ini barang yang lebih berbahaya ketimbang ganja, ekstasi, atau apalah yang memabukkan itu. Jika ganja yang kata orang merusak generasi muda, maka barang ini merusak generasi dari muda, hingga yang paling muda. Dari tua, hingga yang paling tua, karena barang ini menyangkut kepentingan negara.

  Tudui menyelundupkan SUARA.

 

2

  Ceritanya begini. Waktu itu, saya baru saja bebas bersyarat dari penjara. Bos saya yang membebaskan saya. Syaratnya, saya harus rajin melapor ke bos di penjara. Melapor kalau ekstasinya sudah laku. Hehehe.

  Bos saya sudah lama di penjara. Bukan tidak bebas-bebas. Cuma dia memilih di penjara. Katanya lebih enak memantau lewat sini. Kami anak buahnya yang kesana-kemari menyalurkan sekaligus menjual. Beliau yang mengontrol dari dalam penjara. Termasuk keuntungan, disetor pada saat masuk penjara.

  Waktu itu, saya sebenarnya sedang menggantikan kakak saya yang sakit. Kakak saya merupakan sopir tukang antar barang dari suatu perusahaan yang saya lupa namanya. Kakak saya sering ditugaskan mengantar staf khusus perusahaan itu. Mereka orang-orang yang jago negosiasi (sepertinya jago juga berkelahi dan jago juga menembak, itu perkiraan saya dari tampang-tampangnya). Mereka bekerja jika ada bisnis-bisnis tertentu yang melibatkan acara serah-terima dengan pihak lain.

  Waktu itu, saya ikut menemani dalam serah-terima barang. Staf khusus ada lima orang. Ditambah saya, berarti dari pihak kami ada enam orang. Kami membawa tiga koper berisi uang. Dari pihak yang membawa barang, ada sekitar tujuh orang. Mereka juga datang dengan mobil. Waktu serah terimanya malam. Ada penerangan, tapi cukup remang.

  Tiba-tiba, DOR! DOR! DOR!

  Suara tembakan!

  Tembakan peringatan ke langit-langit, tidak langsung ke arah kami. Kami hanya bisa diam. Kami disergap entah polisi, atau tentara—ya macam di film-film, mereka seperti FBI begitulah—kami tidak tahu dengan pasti waktu itu, yang jelas kami disuruh menunduk.

  Ada yang mencoba kabur, langsung kena tembak di kaki. Rupanya yang kabur itu dari pihak pembawa barang. Ada lagi yang mencoba melawan, eh, langsung kena bogem mentah bertubi-tubi.

  Saya tidak tahu apa-apa. Saya kan cuma menggantikan kakak saya.

  Celana saya bahkan basah waktu itu, ketika saya takut bukan main. Sebab ternyata isi koper-koper yang mau ditransaksikan, berisi SUARA!

 

3

  Kau sudah siap untuk menang, karena kau merasa kau memang punya bakat menang. Bukannya sombong kau rasa, cuma, memang untuk menjadi hebat kau rasa kau harus selalu optimis bagaimanapun juga. Termasuk dalam hal kemenangan. Kau dan para loyalismu sudah siapkan semuannya: atribut-atribut, podium-podium tinggi (seperti yang kau minta, menggambarkan ketinggian tekad), di tempat dimana kau akan berbicara lantang tentang kesejahteraan (sudah kau hafalkan teksnya bahkan titik koma). Kau merasa semua sudah siap.

  Tapi waktumu mepet. Terlalu singkat jadwal kampanye hingga pemilihan. Kau sudah curi start, tapi ternyata yang lain liciknya bukan main. Mereka sudah lebih dahulu berbulan-bulan darimu mencuri start-nya. Bahkan memanfaatkan jabatan publiknya.

  Kau sadar, kau hanya tokoh masyarakat yang baru mau terjun ke panggung. Sudah sering melihat yang beginian juga, dimana orang saling terkam, dan mau makan sendiri. Tapi di panggung ini, lebih kejam.

  Mereka mau merebut suara sendiri. Mereka saling sikut (termasuk kau terkena sikut dan diolok secara diam-diam bahwa kau hanya pendatang baru tanpa harapan). Mereka terus mengumpulkan suara-suara di kolong-kolong jembatan, di pasar-pasar, di perkantoran, di perumahan, di lapangan. Kendati mereka ngesot, mereka akan mencari suara itu. kendati mereka tiarap, mereka akan mengambil suara itu.

  Kau sudah tahu, suara-suara itu nantinya menjerit, meminta kembali suara mereka: sebab lapar karena dijanjikan makanan, sebab kedinginan karena dijanjikan selimut, sebab susah tidur karena dijanjikan pekerjaan. Tapi orang-orang ini, orang-orang yang mengambil suara dengan janji-janji, menganggap derita suara-suara itu biasa. Sebab (menurut mereka), selama itu adalah saat “nanti”—bukan saat suara mereka diperlukan untuk mendulang kemenangan—berarti itu “aman”. Lagi pula dunia sudah menganggap hal ini wajar. Orang-orang yang karena kemenangan lalu menjadi orang penting sudahlah sering mempraktikan. Begitu kata mereka yang mencuri suara-suara memprihatinkan itu dengan janji-janjinya.

  Kau sebagai pemain baru di panggung, sepertinya tertarik juga seperti itu: merasa tak mengapa melihat orang lapar, dingin, menangis, disebabkan janji yang tak terpenuhi. Kau mau belajar begitu. Tapi untuk sekarang kau rasa haruslah menang dulu dalam pertarungan di panggung kecil kabupaten ini (nanti barangkali selanjutnya tingkat yang lebih tinggi). Pasti akan “bisa karena biasa”.

  Untuk sekarang, dan untuk sementara, kau memilih jalan pintas.

  Kau sangat bernafsu ketika ditawari membeli barang haram itu (kau pikir inilah jalan pintas paling pintas). Kau heran mengapa banyak yang menolak membelinya padahal hasilnya instan. Banyak yang di panggung yang sama denganmu memilih ngesot, tiarap, berpincang, jatuh-bangun, ketimbang membeli barangnya.

  Akhirnya kau tahu mengapa mereka tidak mau: mereka lebih berpengalaman dan tahu ini berbahaya sekali. Bahayannya terbukti saat itu (Bahkan kau menyesal sekali sebab kalau kau tahu, tentu kau lebih memilih mengumbar janji pergi kesana-kemari tiarap dan lain sebagainya bercapek daripada membeli barangnya).

  Kau bertransaksi lewat sambungan telepon. Kau ditawari barangnya mau paket yang mana: yang jumlah dominan dari lawan, jumlahnya unggul tipis tapi menang, atau jumlahnya draw untuk pemilihan ulang. Kau waktu itu memilih paket yang kedua.

  Seminggu kemudian, tiga orang datang kerumahmu dengan surat penangkapan atas tuduhan transaksi haram. Kau pun diciduk saat itu juga (padahal kau sedang bersiap untuk pemilihan).

  Namamu dicopot dari calon penguasa kabupaten itu. Dan, disinilah kau sekarang. Merenung di penjara sebab transaksi SUARA.

 

4

  Mereka dipenjarakan di tempat yang sama. Yaitu, para pelaku kejahatan yang berkaitan dengan SUARA. Sudah jelas nasibnya: hukuman mati, dan mereka sudah pasrah dengan apa yang akan menimpanya. Itulah hukuman bagi pelaku kejahatan ini. berat, sangat berat. Yang paling ringan hukuman seumur hidup.

  Tiga orang sudah bersiap dieksekusi hari itu juga. Si kurir “gugup” Tudui, si sopir “kencing-celana” Jungok, dan si calon-bupati “gagal” Drs. Datiliku Manin. Mereka di bawa dengan kendaraan khusus lapis baja.

   Seperti biasa, tiap surat kabar, dan tiap stasiun tivi mengabarkan eksekusi penting ini. Tiap kedai dan warung kopi membicarakan ini. Ini eksekusi kesekian dari kasus yang sama, tapi tetap menjadi perhatian orang-orang.

   Pemerintah memang selalu menyuruh secara resmi penyiaran, penyebaran, dan pemberitaan eksekusinya. Agar tiap-tiap orang tahu dampak buruk dan resiko besar jika Beperkara dengan SUARA.

   Tapi kali ini, kasus ketiganya menjadi perhatian lebih. Menjadi perhatian lebih, karena baru kali ini, dikasus SUARA ini—yang melibatkan ketiganya—tidak diketahui kemana perginya barang bukti dari ketiga tersangka yang siap dieksekusi. Barang bukti ketiganya hilang, dua hari sebelum hari eksekusi. Maka, tepat ketika barang bukti hilang, tiap media dan stasium tivi hampir sama mengambil headline: KEMANA SUARA-SUARA ITU?