Menyoal Rekomendasi dan Tindaklanjut Pelaksanaan PSU
Setelah pemungutan suara dilaksanakan dan dilanjutkan ke tahap perhitungan dan rekapitulasi surat suara hasil pemilu, ternyata masalah hingga koreksi-saran perbaikan dan laporan pelanggaran terus saja terjadi. Walau berbagai pihak terutama Penyelenggara Pemilu dan Pemerintah telah melakukan berbagai upaya untuk peningkatan kapasitas dan menekan potensi pelanggaran tahapan Pemilu. Salah satu masalah krusial yang cukup menyita perhatian, berupa rekomendasi dan tindaklanjut pemungutan suara ulang (PSU). Rekomendasi dari Pengawas Pemilu dan tindaklanjut dari KPU, yang berimbas pada pelaksanaan PSU atau tidak dilaksanakannya PSU.
PSU menurut Very Junaidi ditujukan mewujudkan keadilan pemilu ketika ada persoalan yang menyebabkan muncul ketidakpastian terhadap proses pemungutan dan hasil perhitungan suara hasil pemilu.[1] Ketidakpastian dapat mendelegitimasi hasil pemungutan suara yang dijawab dengan menyediakan mekanisme peninjauan kembali terhadap proses pemungutan suara dan hasil penghitungan melalui pemungutan dan perhitungan suara ulang.[2] Arti kata ulang menurut Kamus Bahasa Indonesia yaitu lakukan lagi; kembali seperti semula.[3] Dengan demikian, definisi PSU adalah proses pemungutan suara yang dilakukan lagi oleh pemilih yang memenuhi syarat pada Tempat Pemungutan Suara (TPS) yang ditetapkan KPU dengan cara mencoblos pada nomor urut, nama, foto pasangan calon atau tanda gambar partai politik peserta pemilu.
Pada prinsipnya, PSU terjadi karena ada prosedur, tata cara, dan mekanisme yang dilanggar dalam ketentuan UU Nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu) dan peraturan teknis penyelenggara pemilu, sehingga kemurnian perolehan suara pemilih menjadi terganggu pada setiap jenis pemilihan. Kemurnian suara menurut Ahmad S. Mahmud merupakan prinsip yang perlu dijaga dalam pemilu, termasuk memastikan setiap pemilih memiliki satu suara dan satu nilai, sehingga konsep one man, one vote, and one value (satu orang, satu suara, dan satu nilai) harus diimplementasikan sejak proses pemungutan dan perhitungan suara di TPS.[4] Pada posisi ini, perlu langkah pemulihan kemurnian suara pemilih jika terjadi keadaan yang menjadi masalah kemurnian suara dengan menggelar PSU sebagai sarana legal dalam ketentuan pemilu. Sebab masalah kemurnian suara pemilih pada tingkatan TPS jika tidak diselesaikan secara berjenjang akan terus menjadi masalah yang cenderung meningkat dan dapat menggerus hasil dan kualitas Pemilu.
Penyebab PSU
Konteks minim pemahaman dan perbedaan pemahaman penyelenggaraan pemungutan suara turut menjadi penyumbang terbesar terjadinya PSU di berbagai daerah. Penyelenggara Pemilu terutama di tingkatan TPS karena minim pemahaman, perbedaan pemahaman antar peserta Pemilu atau kendala bekerja dalam tekanan, turut menjadi penyumbang potensi pelaksanaan PSU. Di samping itu, ada juga potensi PSU terjadi karena kecurangan pemilih atau peserta pemilu di TPS yang memanfaatkan kelengahan dan keterbatasan penyelenggara pemilu.
PSU dilaksanakan dalam rentang waktu paling lambat 10 hari sejak hari pemungutan suara berdasarkan keputusan KPU.[5] Pelaksanaan pemungutan suara serentak tanggal 17 April 2019, maka pelaksanaan PSU paling lambat dilaksanakan paling lambat tanggal 27 April 2019. Ketentuan UU Pemilu juga menyebutkan bahwa PSU hanya dilakukan untuk satu kali PSU. Artinya tidak ada PSU yang jika ditemukan potensi PSU lagi maka dilaksanakan PSU kembali. Merujuk pada ketentuan PSU mengharuskan keterlibatan dan supervisi KPU dan Bawaslu yang ketat agar pelanggaran saat PSU tidak terjadi lagi.
Pengawas Pemilu saat menemukan pelanggaran pemilu, melalui pemeriksaan dan penelitian yang membuktikan keadaan berpotensi PSU, sejatisnya membuat rekomendasi kepada PPK untuk pelaksanaan PSU. Sangat riskan ketika Pengawas Pemilu menemukan keadaan yang berpotensi PSU, namun tidak melakukan langkah-langkah rekomendasi perbaikan administrasi pemilu. Demikian pula, PPK dan KPU ketika menerima rekomendasi PSU dari Panwaslu, ketika tidak menindaklanjuti sebagaimana mestinya, pada akhirnya dapat menjadi masalah riskan ke depannya. Artinya Panwaslu rawan dipermasalahkan profesionalitas kinerjanya ketika menemukan keadaan potensi PSU tapi tidak memberikan rekomendasi. Demikian pula, PPK dan KPU juga rawan dipermasalahkan profesionalitas kinerjanya ketika menerima rekomendasi PSU namun tidak melakukan langkah-langkah menindaklanjuti rekomendasi dimaksud.
Sesuai ketentuan Pasal 372 UU Pemilu, sebab terjadinya PSU berupa terjadi keadaan menyebabkan adanya potensi pelaksanaan PSU. Pemungutan suara ulang di TPS “dapat” diulang apabila terjadi bencana alam dan/atau kerusuhan yang mengakibatkan hasil pemungutan suara tidak dapat digunakan atau perhitungan suara tidak dapat dilakukan.[6] Selanjutnya dalam ayat (2) Pasal 372 UU Pemilu, pemungutan suara di TPS “wajib” diulang jika dari hasil penelitian dan pemeriksaan Pengawas TPS (atau Panwaslu Kecamatan) terbukti terdapat keadaan sebagai berikut:[7]
- Pembukaan kotak suara dan /atau berkas pemungutan dan penghitungan suara tidak dilakukan menurut tata cara yang ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan;
- Petugas KPPS meminta pemilih memberi tanda khusus, menandatangani, atau menulis nama atau alamatnya pada surat suara yang sudah digunakan;
- Petugas KPPS merusak lebih dari satu surat suara yang sudah digunakan oleh pemilih sehingga surat suara tersebut menjadi tidak sah; dan/atau
- Pemilih yang tidak memiliki kartu tanda penduduk elektronik dan tidak terdaftar di daftar pemilih tetap dan daftar pemilih tambahan.
Atas ketentuan Pasal 372 UU Pemilu tersebut, dapat dimaknai sifat pelaksanaan PSU yakni ada yang bersifat pilihan (alternatif) dan ada yang bersifat wajib. Bersifat pilihan artinya PSU dilaksanakan di mana pelaksanaannya akan sangat bergantung pada kondisi yang ada, bisa dilaksanakan atau tidak dilaksanakan. PSU bersifat pilihan karena alasan terjadi bencana alam atau kerusuhan sosial yang mengakibatkan hasil pemungutan suara tidak dapat digunakan atau perhitungan suara tidak dapat dilakukan. Dalam keadaan ini sesuai Pasal 372 ayat (1) UU Pemilu, pelaksanaan PSU menjadi pilihan penyelenggara pemilu yakni dapat dilaksanakan atau dapat tidak dilaksanakan.
Selanjutnya, PSU bersifat wajib artinya jika terjadi keadaan sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Pasal 372 ayat (2) UU Pemilu, maka wajib bagi penyelenggara pemilu untuk melaksanakan PSU. Tidak ada alternatif lain selain melaksanakan PSU. Berangkat dari hasil penelitian dan pemeriksaan Pengawas Pemilu (Pengawas TPS atau Panwaslu Kecamatan) untuk selanjutnya disampaikan rekomendasi pelaksanaan PSU kepada PPK. Selanjutnya PPK meneruskan rekomendasi tersebut kepada KPU untuk ditetapkan pelaksanaan PSU dan menyiapkan teknis pelaksanaannya.
PSU pada prinsipnya ditujukan untuk menjaga kemurnian suara pemilih dan pada akhirnya meningkatkan kualitas hasil pemilu, berupa menghindari masuknya suara haram dalam rekapitulasi suara hasil pemilu. Hanya warga negara Indonesia yang memenuhi syarat sebagai pemilih yang memiliki hak politik sebagai pemilih dan dapat menggunakan hak memilihnya di TPS. Adapun partisipasi pemilih yang rendah tidak menjadi syarat dalam UU Pemilu untuk melaksanakan PSU.
Kehadiran Pengawas Pemilu pada setiap TPS, sejatinya bukan hanya menyalurkan suara sebagai hak politik, tetapi juga mendeteksi dan mencegah kecurangan Pemilu agar tidak terjadi pelanggaran pemilu. Terjadinya keadaan yang mengharuskan PSU, pada satu sisi akibat keterlibatan Pengawas TPS yang belum maksimal, baik pada kinerja pengawasan maupun memahami dan melaksanakan ketentuan UU Pemilu. Jika Pengawas TPS maksimal, PSU akan dapat dicegah dan tidak perlu terjadi. Ini koreksi bagi Pengawas Pemilu secara kelembagaan, terkecuali saran perbaikan dan rekomendasi Pengawas TPS tidak diindahkan oleh Ketua PPS.
Rekomendasi dan Tindaklanjut PSU
Terdapat empat keadaan sebagaimana diatur dalam Pasal 372 ayat (2) UU Pemilu yang menyebabkan PSU wajib dilaksanakan berdasarkan hasil penelitian dan pemeriksaan Pengawas TPS atau Panwaslu Kecamatan. Jika terjadi salah satu keadaan dimaksud, maka PSU wajib dilaksanakan. Diawali dengan rekomendasi Pengawas Pemilu kepada PPK atau KPU, untuk selanjutnya KPU menetapkan waktu pelaksanaan PSU serta menyiapkan kebutuhan logistik dan melaksanakan prosedur teknis lainnya.
Dari empat keadaan dimaksud, terdapat satu keadaan yang menimbulkan ketidakjelasan hingga menimbulkan keraguan dalam pelaksanaan, yaitu ketentuan Pasal 372 ayat (2) huruf d UU Pemilu. Ketentuan tersebut sebagai berikut:
“Pemungutan suara di TPS wajib diulang apabila dari hasil penelitian dan pemeriksaan Pengawas TPS terbukti terdapat keadaan sebagai berikut:
d. pemilih yang tidak memiliki kartu tanda penduduk elektronik dan tidak terdaftar di daftar pemilih tetap dan daftar pemilih tambahan.”
Ketidakjelasan terjadi karena tidak terangnya keadaan yang diatur dalam ketentuan dimaksud. Dari rumusan huruf d tersebut, muncul pertanyaan, dalam keadaan bagaimana pemilih yang tidak memiliki e-KTP dan tidak terdaftar di DPT dan DPTb lalu diberikan kesempatan memilih hingga menjadi keadaan yang mewajibkan dilaksanakan PSU pada TPS bersangkutan?
Atas ketidakjelasan ini menimbulkan dua pertanyaan utama. Pertama, terkait ketentuan Pasal 348 ayat (4) UU Pemilu, yang mengatur hak memilh bagi pemilih yang pindah memilih (DPTb), di mana perpindahan antar dapil akan menyebabkan pemilih bersangkutan tidak dapat menggunakan semua jenis kertas suara yang ada. Dalam kasus, terdapat pemilih yang memperoleh kertas surat suara melebihi yang ditentukan Pasal 348 ayat (4), apakah atas kelebihan jenis kertas suara diberikan juga harus dilakukan PSU?
Kedua, ketentuan Pasal 349 ayat (1) UU Pemilu, yang mengatur penggunaan e-KTP untuk memilih sebagai daftar pemilih khusus (DPK), hanya menggunakan hak memilih pada TPS di rukun tetangga/rukun warga sesuai dengan alamat yang tertera di kartu tanda penduduk elektronik miliknya. Dalam kasus, terdapat pemilih yang menggunakan e-KTP diberi kesempatan memilih di TPS yang berada di luar alamat kartu tanda penduduk elektronik miliknya, baik dalam satu dapil atau di luar dapil dalam wilayah provinsi, apakah keadaan ini tetap mewajibkan dilaksanakan PSU?
Ini merupakan contoh-contoh pertanyaan yang dalam praktek menemukan masalah dalam penyelesaian, jawaban berbeda, sebagai akibat ketidakjelasan ketentuan PSU dalam UU Pemilu. Ketika ketentuan tersebut diatur lebih lanjut dalam Peraturan KPU Nomor 3 Tahun 2019, yakni dalam ketentuan Pasal 65 ayat (2), rumusan ketentuan kembali dimuat tanpa ada tambahan atau penjelasan. Demikian pula dalam Peraturan Bawaslu Nomor 1 tahun 2019, yakni dalam Pasal 18 ayat (2), juga ditemukan ketentuan yang sama tanpa penjelasan lebih lanjut.
Ketidakjelasan ketentuan ini dapat menyebabkan ketidakpastian hukum ketika PSU harus dilaksanakan atau tidak dilaksanakan. Sehingga dalam praktik, Pengawas Pemilu saat mendapatkan keadaan tersebut akan mengelurkan rekomendasi kepada KPU, karena tidak ingin dipermasalahkan integritas dan profesionalitas kinerjanya. Tinggal KPU yang mengkaji dan menindaklanjuti. Walaupun ketentuan-norma masih diliputi dengan banyak pertanyaan. Demikian pula, KPU akan menindaklanjuti rekomendasi Pengawas Pemilu tersebut, dengan alasan yang relatif sama, takut dipermasalahkan profesionalitas kinerjanya di belakang hari saat ada rekomendasi yang tidak ditindaklanjuti.
Walhasil pro-kontra terjadi antara dasar yuridis dan urgensi pelaksanaan PSU. Tentang kedudukan dan aspek hukum rekomendasi Pengawas Pemilu untuk melaksanakan PSU. Sebab Pengawas Pemilu juga tidak terlalu meyakini urgensi pelaksanaan PSU, sebagai akibat ketidakjelasan ketentuan dalam UU Pemilu. Demikian pula, KPU diperhadapkan pada situasi dilematis antara menetapkan pelaksanaan PSU atau tidak melaksanakan PSU. Termasuk yang sering kali menjadi permasalahan krusial adalah ketersediaan logistik dan batas akhir pengajuan rekomendasi dan tindaklanjutnya.
Pada sisi lain, terutama dari kepentingan calon anggota legislatif yang menang atau kalah dengan angka tipis. Bagi calon anggota legislatif yang mengetahui perolehan suaranya signifikan pada TPS dimaksud, akan cenderung menolak dan protes atas pelaksanaan PSU. Sebaliknya, bagi calon anggota legislatif yang perolehan suaranya minim dan membutuhkan beberapa suara lagi untuk ditetapkan sebagai pemenang, maka sangat mendukung pelaksanaan PSU dan Ia akan berjuang guna memenangkan perolehan suara di TPS yang melaksanakan PSU kendati potensi melakukan kecurangan dan pelanggaran pemilu.
***
Menjawab problematika hukum pelaksanaan PSU ini, turut memperkaya pemikiran dan dinamika perbaikan sistem pemilu ke depannya. UU Pemilu untuk pelaksanaan Pemilu tahun 2019 sudah ditetapkan, dan para pihak harus mematuhi dan melaksanakan materi muatan dalam UU Pemilu tersebut. Adapun pemikiran yang berusaha menjawab problematika hukum terutama seputar pelaksanaan PSU, menjadi pemikiran dan evaluasi regulasi pemilu ke depannya. Termasuk materi narasi dan argumentasi dalam tulisan singkat ini.
Salah satu alasan PSU sebagaimana diatur dalam UU Pemilu adalah karena terdapat pemilih yang tidak berhak memilih pada TPS namun tetap memberikan suara. Dan, surat suaranya telah masuk dalam kotak suara bercampur satu-padu dengan surat suara pemilih yang lain. Oleh karena, pemilih tersebut tidak berhak memilih di TPS, maka suaranya menjadi “suara haram” yang dapat menggerus kualitas pemilu. Sehingga perlu perbaikan hasil perolehan surat suara pemilih dengan menggelar PSU.
Jika alasan ini dijadikan patokan, maka pemilih yang pindah memilih (DPTb) lintas dapil merupakan subjek yang tidak berhak memberikan suara terhadap peserta pemilu pada level tertentu. Dalam kasus, pemilih tersebut tetap memberikan suara untuk peserta pemilu di level di mana ia tidak memiliki hak untuk itu, maka PSU dapat dilakukan. Walaupun demikian, PSU terbatas hanya dilakukan terhadap kategori kesalahan yang terjadi, tidak untuk seluruhnya. Misalnya, kesalahan terjadi untuk memilih anggota DPRD kabupaten/kota, maka PSU hanya dilakukan untuk memilih anggota DPRD kabupaten/kota semata dan tidak untuk jenis surat suara yang lain.
Pada posisi ini, kecermatan dan ketelitian yang didukung oleh pengetahuan teknis kepemiluan menjadi mutlak dimiliki oleh penyelenggara pemilu terutama di TPS, bahkan peserta pemilu yang memandatkan para saksinya sejatinya juga memiliki kapasitas yang sama. Pemahaman teknis, jika pemilih terdaftar dalam DPTb dari antar provinsi, maka hanya diberikan surat suara Presiden dan Wakil Presiden (PPWP).
***
Selanjutnya, ketentuan Pasal 372 UU Pemilu yang mengatur tentang PSU mengandung ketidakjelasan, khususnya ayat (2) huruf d. Sesuai narasi yang telah dijelaskan di atas, Pasal 372 ayat (2) hurud d UU Pemilu menurut Khairul Fahmi[8] harus dipahami dengan maksud “pemilih yang tidak memiliki KTP-el yang tidak terdaftar dalam DPT dan DPTb ikut memberikan suara dalam pemilu”. Dengan demikian, apabila terdapat pemilih yang tidak memiliki e-KTP yang ikut memilih, maka keadaan tersebut menjadi salah satu alasan pelaksanaan PSU.
Dalam
perkembangannya, dengan merujuk pada Putusan Mahkamah Konstitusi nomor perkara
20/PUU -XVII/ 2019 terhadap uji materi Undang-Undang Nomor 7 tahun 2017 tentang
Pemilu,
surat keterangan perekaman kartu tanda penduduk elektronik yang diterbitkan
oleh Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil atau instansi lain yang sejenisnya
yang memiliki kewenangan untuk itu, statusnya dan kekuatan hukumnya disamakan
dengan e-KTP. Sehingga yang dapat menggunakan hak pilih dengan terdaftar
sebagai pemilih khusus (DPK) adalah pemilih yang memenuhi syarat dan memiliki
e-KTP atau surat keterangan perekaman kartu tanda penduduk elektronik. Dengan
demikian, dapat dimaknai alasan pelaksanaan PSU jika terdapat keadaan berupa
pemilih yang tidak memiliki e-KTP atau surat keterangan perekaman kartu tanda
penduduk elektronik.
Adapun pemilih menggunakan e-KTP atau surat keterangan perekaman sebagai sarana penggunaan hak pilih hanya terbatas pada pada alamat rukun tetangga/rukun warga setempat sebagaimana yang tertera dalam identitas kartu tanda penduduk miliknya. Pasal 349 ayat (1) UU Pemilu, mengatur penggunaan e-KTP untuk memilih sebagai daftar pemilih khusus (DPK), hanya menggunakan hak memilih pada TPS di rukun tetangga/rukun warga sesuai dengan alamat yang tertera di kartu tanda penduduk elektronik miliknya.
Jika ada keleluasan pemilih pengguna e-KTP atau surat keterangan perekaman dapat menggunakan hak pilihnya di mana saja dalam wilayah NKRI, karena sifat e-KTP berlaku nasional dan tidak dibatasi dalam wilayah rukun tetangga/rukun warga saja. Maka dikhawatirkan ini akan membuka pintu kecurangan pemilu, di mana dapat saja pemilih yang telah menggunakan hak pilihnya di suatu TPS, lalu berbuat curang dengan menggunakan lagi e-KTP miliknya pada TPS yang lain. Sebab penanda tinta setelah pemilih keluar dari TPS, dapat saja dengan mudah dihapus dan Ia menuju ke TPS lain lagi seolah-olah belum pernah memilih. Aspek kejujuran dan jaminan tidak berbuat curang dari pemilih sekalipun tidak ada jaminan. Dan, ini membuka jurang kecurangan. Oleh karena itu, kiranya tepat ketentuan membatasi penggunaan e-KTP bagi pemilih yang terdaftar sebagai DPK hanya terbatas pada alamat rukun tetangga/rukun warga.
Partisipasi Pemilih dalam PSU
Sejak KPU menetapkan hari pelaksanaan PSU, diikuti dengan menyiapkan logistik dan persiapan teknis lainnya. Masyarakat pemilih juga diberikan sosialisasi dan pemberitahuan untuk menggunakan hak pilihnya pada hari yang telah ditetapkan. Terdapat dua kemungkinan tingkat partisipasi pemilih saat PSU dilaksanakan. Partisipasi pemilih terkait dengan sosialisasi dan kampanye peserta pemilu akibat kepentingan dan perolehan suara di TPS pada perhelatan pemilu sebelumnya.
Pertama, partisipasi pemilih menjadi menurun. Dalam kondisi ini pemilih merasa sudah melaksanakan hak politiknya pada perhelatan pemilu serentak lalu, dan terkesan terbebani akibat adanya pelaksanaan PSU. Sikap apatis muncul yang berakibat tidak ingin menggunakan hak pilihnya kembali. Jadilah ia tercatat sebagai pemilih yang golput. Pada aspek regulasi pemilu, tidak ada penegasan dan sanksi yang dapat diterapkan kepada pemilih yang memilih jalan golput. Akibatnya sekali lagi, partisipasi pemilih menjadi menurun.
Demikian pula dengan kepentingan peserta pemilu, lebih melihat aspek signifikansi perolehan suara pada pemilu serentak lalu. Jika signifikasi suara di TPS yang menggelar PSU tidak terlalu berpengaruh terhadap pencapaian target sebagai pemenang pemilu, maka terkesan perhatian dan kampanye peserta pemilu menjelang pelaksanaan PSU sangat rendah. Artinya, ada atau tidak adanya PSU tidak terlalu berpengaruh secara presentase atas perolehan suara.
Kedua, partisipasi pemilih menjadi meningkat. Saat peserta pemilu terutama calon anggota legislatif mengetahui perolehan suaranya pada perhelatan pemilu serentak tanggal 17 April 2019 lalu. Maka ada kecenderungan untuk memaksimalkan sosialisasi dan kampanye kepada pemilih guna mempertahankan hasil perolehan suara, atau mengejar ketertinggalan hasil suara agar dapat ditetapkan sebagai pemenang pemilu. Terkadang untuk mengejar dan mendapatkan perolehan hasil suara yang maksimal dari perhelatan PSU, calon anggota legislatif malah cenderung dan terjebat dalam kegiatan transaksional yang melanggar ketentuan pemilu. Misalnya melakukan praktek politik uang untuk mempengaruhi dan memobolisasi pemilih untuk mendapatkan suara.
Pada posisi
ini, partisipasi pemilih akan meningkat sebab satu suara sangat bernilai dan
berharga menghantarkan kandidat sebagai pemenang. Di samping itu, gesekan kepentingan peserta pemilu terutama calon anggota legislatif juga akan sangat tinggi. Kehadiran mereka dapat diidentifikasi sehari sebelum
hari pelaksanaan PSU, dan pada hari pelaksanaan PSU dengan target mempengaruhi dan mendapatkan
empati pemilih secara langsung di sekitar TPS.
[1] Very Junaidi dalam Khairul Fahmi, 2019, Restatement; Kumpulan Kajian Hukum Pemilu, Bawaslu, Jakarta, hlm. 90-91.
[2] Ibid, hlm. 91.
[3] Departemen Pendidikan Republik Indonesia, 2016, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, hlm. 1520.
[4] Ahmad S. Mahmud, 2019, Jaminan Kemurinia, Suara Pemilu Tahun 2019, Harian Sulteng Raya, Edisi 10 April 2019.
[5] Pasal 373 ayat (3) UU Pemilu.
[6] Pasal 372 ayat (1) UU Pemilu.
[7] Pasal 372 ayat (2) UU Pemilu.
[8]Khairul Fahmi, 2019, Restatement…. Op Cit, hlm. 97-98.