Menyoal Rekomendasi dan Tindaklanjut Pelaksanaan PSU

256 Views

Setelah pemungutan suara dilaksanakan dan dilanjutkan ke tahap perhitungan dan rekapitulasi surat suara hasil pemilu, ternyata masalah hingga koreksi-saran perbaikan dan laporan pelanggaran terus saja terjadi. Walau berbagai pihak terutama Penyelenggara Pemilu dan Pemerintah telah melakukan berbagai upaya untuk peningkatan kapasitas dan menekan potensi pelanggaran tahapan Pemilu. Salah satu masalah krusial yang cukup menyita perhatian, berupa rekomendasi dan tindaklanjut pemungutan suara ulang (PSU). Rekomendasi dari Pengawas Pemilu dan tindaklanjut dari KPU, yang berimbas pada pelaksanaan PSU atau tidak dilaksanakannya PSU.

PSU menurut Very Junaidi ditujukan mewujudkan keadilan pemilu ketika ada persoalan yang menyebabkan muncul ketidakpastian terhadap proses pemungutan dan hasil perhitungan suara hasil pemilu.[1] Ketidakpastian dapat mendelegitimasi hasil pemungutan suara yang dijawab dengan menyediakan mekanisme peninjauan kembali terhadap proses pemungutan suara dan hasil penghitungan melalui pemungutan dan perhitungan suara ulang.[2] Arti kata ulang menurut Kamus Bahasa Indonesia yaitu lakukan lagi; kembali seperti semula.[3] Dengan demikian, definisi PSU adalah proses pemungutan suara yang dilakukan lagi oleh pemilih yang memenuhi syarat pada Tempat Pemungutan Suara (TPS) yang ditetapkan KPU dengan cara mencoblos pada nomor urut, nama, foto pasangan calon atau tanda gambar partai politik peserta pemilu.

Pada prinsipnya, PSU terjadi karena ada prosedur, tata cara, dan mekanisme yang dilanggar dalam ketentuan UU Nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu) dan peraturan teknis penyelenggara pemilu, sehingga kemurnian perolehan suara pemilih menjadi terganggu pada setiap jenis pemilihan. Kemurnian suara menurut Ahmad S. Mahmud merupakan prinsip yang perlu dijaga dalam pemilu, termasuk memastikan setiap pemilih memiliki satu suara dan satu nilai, sehingga konsep one man, one vote, and one value (satu orang, satu suara, dan satu nilai) harus diimplementasikan sejak proses pemungutan dan perhitungan suara di TPS.[4] Pada posisi ini, perlu langkah pemulihan kemurnian suara pemilih jika terjadi keadaan yang menjadi masalah kemurnian suara dengan menggelar PSU sebagai sarana legal dalam ketentuan pemilu. Sebab masalah kemurnian suara pemilih pada tingkatan TPS jika tidak diselesaikan secara berjenjang akan terus menjadi masalah yang cenderung meningkat dan dapat menggerus hasil dan kualitas Pemilu.

Penyebab PSU

Konteks minim pemahaman dan perbedaan pemahaman penyelenggaraan pemungutan suara turut menjadi penyumbang terbesar terjadinya PSU di berbagai daerah. Penyelenggara Pemilu terutama di tingkatan TPS karena minim pemahaman, perbedaan pemahaman antar peserta Pemilu atau kendala bekerja dalam tekanan, turut menjadi penyumbang potensi pelaksanaan PSU. Di samping itu, ada juga potensi PSU terjadi karena kecurangan pemilih atau peserta pemilu di TPS yang memanfaatkan kelengahan dan keterbatasan penyelenggara pemilu.

PSU dilaksanakan dalam rentang waktu paling lambat 10 hari sejak hari pemungutan suara berdasarkan keputusan KPU.[5] Pelaksanaan pemungutan suara serentak tanggal 17 April 2019, maka pelaksanaan PSU paling lambat dilaksanakan paling lambat tanggal 27 April 2019. Ketentuan UU Pemilu juga menyebutkan bahwa PSU hanya dilakukan untuk satu kali PSU. Artinya tidak ada PSU yang jika ditemukan potensi PSU lagi maka dilaksanakan PSU kembali. Merujuk pada ketentuan PSU mengharuskan keterlibatan dan supervisi KPU dan Bawaslu yang ketat agar pelanggaran saat PSU tidak terjadi lagi.

Pengawas Pemilu saat menemukan pelanggaran pemilu, melalui pemeriksaan dan penelitian yang membuktikan keadaan berpotensi PSU, sejatisnya membuat rekomendasi kepada PPK untuk pelaksanaan PSU. Sangat riskan ketika Pengawas Pemilu menemukan keadaan yang berpotensi PSU, namun tidak melakukan langkah-langkah rekomendasi perbaikan administrasi pemilu. Demikian pula, PPK dan KPU ketika menerima rekomendasi PSU dari Panwaslu, ketika tidak menindaklanjuti sebagaimana mestinya, pada akhirnya dapat menjadi masalah riskan ke depannya. Artinya Panwaslu rawan dipermasalahkan profesionalitas kinerjanya ketika menemukan keadaan potensi PSU tapi tidak memberikan rekomendasi. Demikian pula, PPK dan KPU juga rawan dipermasalahkan profesionalitas kinerjanya ketika menerima rekomendasi PSU namun tidak melakukan langkah-langkah menindaklanjuti rekomendasi dimaksud.

Sesuai ketentuan Pasal 372 UU Pemilu, sebab terjadinya PSU berupa terjadi keadaan menyebabkan adanya potensi pelaksanaan PSU. Pemungutan suara ulang di TPS “dapat” diulang apabila terjadi bencana alam dan/atau kerusuhan yang mengakibatkan hasil pemungutan suara tidak dapat digunakan atau perhitungan suara tidak dapat dilakukan.[6] Selanjutnya dalam ayat (2) Pasal 372 UU Pemilu, pemungutan suara di TPS “wajib” diulang jika dari hasil penelitian dan pemeriksaan Pengawas TPS (atau Panwaslu Kecamatan) terbukti terdapat keadaan sebagai berikut:[7]

  • Pembukaan kotak suara dan /atau berkas pemungutan dan penghitungan suara tidak dilakukan menurut tata cara yang ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan;
  • Petugas KPPS meminta pemilih memberi tanda khusus, menandatangani, atau menulis nama atau alamatnya pada surat suara yang sudah digunakan;
  • Petugas KPPS merusak lebih dari satu surat suara yang sudah digunakan oleh pemilih sehingga surat suara tersebut menjadi tidak sah; dan/atau
  • Pemilih yang tidak memiliki kartu tanda penduduk elektronik dan tidak terdaftar di daftar pemilih tetap dan daftar pemilih tambahan.

Atas ketentuan Pasal 372 UU Pemilu tersebut, dapat dimaknai sifat pelaksanaan PSU yakni ada yang bersifat pilihan (alternatif) dan ada yang bersifat wajib. Bersifat pilihan artinya PSU dilaksanakan di mana pelaksanaannya akan sangat bergantung pada kondisi yang ada, bisa dilaksanakan atau tidak dilaksanakan. PSU bersifat pilihan karena alasan terjadi bencana alam atau kerusuhan sosial yang mengakibatkan hasil pemungutan suara tidak dapat digunakan atau perhitungan suara tidak dapat dilakukan. Dalam keadaan ini sesuai Pasal 372 ayat (1) UU Pemilu, pelaksanaan PSU menjadi pilihan penyelenggara pemilu yakni dapat dilaksanakan atau dapat tidak dilaksanakan.

Selanjutnya, PSU bersifat wajib artinya jika terjadi keadaan sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Pasal 372 ayat (2) UU Pemilu, maka wajib bagi penyelenggara pemilu untuk melaksanakan PSU. Tidak ada alternatif lain selain melaksanakan PSU. Berangkat dari hasil penelitian dan pemeriksaan Pengawas Pemilu (Pengawas TPS atau Panwaslu Kecamatan) untuk selanjutnya disampaikan rekomendasi pelaksanaan PSU kepada PPK. Selanjutnya PPK meneruskan rekomendasi tersebut kepada KPU untuk ditetapkan pelaksanaan PSU dan menyiapkan teknis pelaksanaannya.

PSU pada prinsipnya ditujukan untuk menjaga kemurnian suara pemilih dan pada akhirnya meningkatkan kualitas hasil pemilu, berupa menghindari masuknya suara haram dalam rekapitulasi suara hasil pemilu. Hanya warga negara Indonesia yang memenuhi syarat sebagai pemilih yang memiliki hak politik sebagai pemilih dan dapat menggunakan hak memilihnya di TPS. Adapun partisipasi pemilih yang rendah tidak menjadi syarat dalam UU Pemilu untuk melaksanakan PSU. 

Kehadiran Pengawas Pemilu pada setiap TPS, sejatinya bukan hanya menyalurkan suara sebagai hak politik, tetapi juga mendeteksi dan mencegah kecurangan Pemilu agar tidak terjadi pelanggaran pemilu. Terjadinya keadaan yang mengharuskan PSU, pada satu sisi akibat keterlibatan Pengawas TPS yang belum maksimal, baik pada kinerja pengawasan maupun memahami dan melaksanakan ketentuan UU Pemilu. Jika Pengawas TPS maksimal, PSU akan dapat dicegah dan tidak perlu terjadi. Ini koreksi bagi Pengawas Pemilu secara kelembagaan, terkecuali saran perbaikan dan rekomendasi Pengawas TPS tidak diindahkan oleh Ketua PPS.

Rekomendasi dan Tindaklanjut PSU

Terdapat empat keadaan sebagaimana diatur dalam Pasal 372 ayat (2) UU Pemilu yang menyebabkan PSU wajib dilaksanakan berdasarkan hasil penelitian dan pemeriksaan Pengawas TPS atau Panwaslu Kecamatan. Jika terjadi salah satu keadaan dimaksud, maka PSU wajib dilaksanakan. Diawali dengan rekomendasi Pengawas Pemilu kepada PPK atau KPU, untuk selanjutnya KPU menetapkan waktu pelaksanaan PSU serta menyiapkan kebutuhan logistik dan melaksanakan prosedur teknis lainnya.

Dari empat keadaan dimaksud, terdapat satu keadaan yang menimbulkan ketidakjelasan hingga menimbulkan keraguan dalam pelaksanaan, yaitu ketentuan Pasal 372 ayat (2) huruf d UU Pemilu. Ketentuan tersebut sebagai berikut:

“Pemungutan suara di TPS wajib diulang apabila dari hasil penelitian dan pemeriksaan Pengawas TPS terbukti terdapat keadaan sebagai berikut:

d. pemilih yang tidak memiliki kartu tanda penduduk elektronik dan tidak terdaftar di daftar pemilih tetap dan daftar pemilih tambahan.”

Ketidakjelasan terjadi karena tidak terangnya keadaan yang diatur dalam ketentuan dimaksud. Dari rumusan huruf d tersebut, muncul pertanyaan, dalam keadaan bagaimana pemilih yang tidak memiliki e-KTP dan tidak terdaftar di DPT dan DPTb lalu diberikan kesempatan memilih hingga menjadi keadaan yang mewajibkan dilaksanakan PSU pada TPS bersangkutan?

Atas ketidakjelasan ini menimbulkan dua pertanyaan utama. Pertama, terkait ketentuan Pasal 348 ayat (4) UU Pemilu, yang mengatur hak memilh bagi pemilih yang pindah memilih (DPTb), di mana perpindahan antar dapil akan menyebabkan pemilih bersangkutan tidak dapat menggunakan semua jenis kertas suara yang ada. Dalam kasus, terdapat pemilih yang memperoleh kertas surat suara melebihi yang ditentukan Pasal 348 ayat (4), apakah atas kelebihan jenis kertas suara diberikan juga harus dilakukan PSU?

Kedua, ketentuan Pasal 349 ayat (1) UU Pemilu, yang mengatur penggunaan e-KTP untuk memilih sebagai daftar pemilih khusus (DPK), hanya menggunakan hak memilih pada TPS di rukun tetangga/rukun warga sesuai dengan alamat yang tertera di kartu tanda penduduk elektronik miliknya. Dalam kasus, terdapat pemilih yang menggunakan e-KTP diberi kesempatan memilih di TPS yang berada di luar alamat kartu tanda penduduk elektronik miliknya, baik dalam satu dapil atau di luar dapil dalam wilayah provinsi, apakah keadaan ini tetap mewajibkan dilaksanakan PSU?

Ini merupakan contoh-contoh pertanyaan yang dalam praktek menemukan masalah dalam penyelesaian, jawaban berbeda, sebagai akibat ketidakjelasan ketentuan PSU dalam UU Pemilu. Ketika ketentuan tersebut diatur lebih lanjut dalam Peraturan KPU Nomor 3 Tahun 2019, yakni dalam ketentuan Pasal 65 ayat (2), rumusan ketentuan kembali dimuat tanpa ada tambahan atau penjelasan. Demikian pula dalam Peraturan Bawaslu Nomor 1 tahun 2019, yakni dalam Pasal 18 ayat (2), juga ditemukan ketentuan yang sama tanpa penjelasan lebih lanjut.

Ketidakjelasan ketentuan ini dapat menyebabkan ketidakpastian hukum ketika PSU harus dilaksanakan atau tidak dilaksanakan. Sehingga dalam praktik, Pengawas Pemilu saat mendapatkan keadaan tersebut akan mengelurkan rekomendasi kepada KPU, karena tidak ingin dipermasalahkan integritas dan profesionalitas kinerjanya. Tinggal KPU yang mengkaji dan menindaklanjuti. Walaupun ketentuan-norma masih diliputi dengan banyak pertanyaan. Demikian pula, KPU akan menindaklanjuti rekomendasi Pengawas Pemilu tersebut, dengan alasan yang relatif sama, takut dipermasalahkan profesionalitas kinerjanya di belakang hari saat ada rekomendasi yang tidak ditindaklanjuti.

Walhasil pro-kontra terjadi antara dasar yuridis dan urgensi pelaksanaan PSU. Tentang kedudukan dan aspek hukum rekomendasi Pengawas Pemilu untuk melaksanakan PSU. Sebab Pengawas Pemilu juga tidak terlalu meyakini urgensi pelaksanaan PSU, sebagai akibat ketidakjelasan ketentuan dalam UU Pemilu. Demikian pula, KPU diperhadapkan pada situasi dilematis antara menetapkan pelaksanaan PSU atau tidak melaksanakan PSU. Termasuk yang sering kali menjadi permasalahan krusial adalah ketersediaan logistik dan batas akhir pengajuan rekomendasi dan tindaklanjutnya.

Pada sisi lain, terutama dari kepentingan calon anggota legislatif yang menang atau kalah dengan angka tipis. Bagi calon anggota legislatif yang mengetahui perolehan suaranya signifikan pada TPS dimaksud, akan cenderung menolak dan protes atas pelaksanaan PSU. Sebaliknya, bagi calon anggota legislatif yang perolehan suaranya minim dan membutuhkan beberapa suara lagi untuk ditetapkan sebagai pemenang, maka sangat mendukung pelaksanaan PSU dan Ia akan berjuang guna memenangkan perolehan suara di TPS yang melaksanakan PSU kendati potensi melakukan kecurangan dan pelanggaran pemilu.

***

Menjawab problematika hukum pelaksanaan PSU ini, turut memperkaya pemikiran dan dinamika perbaikan sistem pemilu ke depannya. UU Pemilu untuk pelaksanaan Pemilu tahun 2019 sudah ditetapkan, dan para pihak harus mematuhi dan melaksanakan materi muatan dalam UU Pemilu tersebut. Adapun pemikiran yang berusaha menjawab problematika hukum terutama seputar pelaksanaan PSU, menjadi pemikiran dan evaluasi regulasi pemilu ke depannya. Termasuk materi narasi dan argumentasi dalam tulisan singkat ini.

Salah satu alasan PSU sebagaimana diatur dalam UU Pemilu adalah karena terdapat pemilih yang tidak berhak memilih pada TPS namun tetap memberikan suara. Dan, surat suaranya telah masuk dalam kotak suara bercampur satu-padu dengan surat suara pemilih yang lain. Oleh karena, pemilih tersebut tidak berhak memilih di TPS, maka suaranya menjadi “suara haram” yang dapat menggerus kualitas pemilu. Sehingga perlu perbaikan hasil perolehan surat suara pemilih dengan menggelar PSU.

Jika alasan ini dijadikan patokan, maka pemilih yang pindah memilih (DPTb) lintas dapil merupakan subjek yang tidak berhak memberikan suara terhadap peserta pemilu pada level tertentu. Dalam kasus, pemilih tersebut tetap memberikan suara untuk peserta pemilu di level di mana ia tidak memiliki hak untuk itu, maka PSU dapat dilakukan. Walaupun demikian, PSU terbatas hanya dilakukan terhadap kategori kesalahan yang terjadi, tidak untuk seluruhnya. Misalnya, kesalahan terjadi untuk memilih anggota DPRD kabupaten/kota, maka PSU hanya dilakukan untuk memilih anggota DPRD kabupaten/kota semata dan tidak untuk jenis surat suara yang lain.

Pada posisi ini, kecermatan dan ketelitian yang didukung oleh pengetahuan teknis kepemiluan menjadi mutlak dimiliki oleh penyelenggara pemilu terutama di TPS, bahkan peserta pemilu yang memandatkan para saksinya sejatinya juga memiliki kapasitas yang sama. Pemahaman teknis, jika pemilih terdaftar dalam DPTb dari antar provinsi, maka hanya diberikan surat suara Presiden dan Wakil Presiden (PPWP).

***

Selanjutnya, ketentuan Pasal 372 UU Pemilu yang mengatur tentang PSU mengandung ketidakjelasan, khususnya ayat (2) huruf d. Sesuai narasi yang telah dijelaskan di atas, Pasal 372 ayat (2) hurud d UU Pemilu menurut Khairul Fahmi[8] harus dipahami dengan maksud “pemilih yang tidak memiliki KTP-el yang tidak terdaftar dalam DPT dan DPTb ikut memberikan suara dalam pemilu”. Dengan demikian, apabila terdapat pemilih yang tidak memiliki e-KTP yang ikut memilih, maka keadaan tersebut menjadi salah satu alasan pelaksanaan PSU.

Dalam perkembangannya, dengan merujuk pada Putusan Mahkamah Konstitusi nomor perkara 20/PUU -XVII/ 2019 terhadap uji materi Undang-Undang Nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilu,
surat keterangan perekaman kartu tanda penduduk elektronik yang diterbitkan oleh Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil atau instansi lain yang sejenisnya yang memiliki kewenangan untuk itu, statusnya dan kekuatan hukumnya disamakan dengan e-KTP. Sehingga yang dapat menggunakan hak pilih dengan terdaftar sebagai pemilih khusus (DPK) adalah pemilih yang memenuhi syarat dan memiliki e-KTP atau surat keterangan perekaman kartu tanda penduduk elektronik. Dengan demikian, dapat dimaknai alasan pelaksanaan PSU jika terdapat keadaan berupa pemilih yang tidak memiliki e-KTP atau surat keterangan perekaman kartu tanda penduduk elektronik.

Adapun pemilih menggunakan e-KTP atau surat keterangan perekaman sebagai sarana penggunaan hak pilih hanya terbatas pada pada alamat rukun tetangga/rukun warga setempat sebagaimana yang tertera dalam identitas kartu tanda penduduk miliknya. Pasal 349 ayat (1) UU Pemilu, mengatur penggunaan e-KTP untuk memilih sebagai daftar pemilih khusus (DPK), hanya menggunakan hak memilih pada TPS di rukun tetangga/rukun warga sesuai dengan alamat yang tertera di kartu tanda penduduk elektronik miliknya.

Jika ada keleluasan pemilih pengguna e-KTP atau surat keterangan perekaman dapat menggunakan hak pilihnya di mana saja dalam wilayah NKRI, karena sifat e-KTP berlaku nasional dan tidak dibatasi dalam wilayah rukun tetangga/rukun warga saja. Maka dikhawatirkan ini akan membuka pintu kecurangan pemilu, di mana dapat saja pemilih yang telah menggunakan hak pilihnya di suatu TPS, lalu berbuat curang dengan menggunakan lagi e-KTP miliknya pada TPS yang lain. Sebab penanda tinta setelah pemilih keluar dari TPS, dapat saja dengan mudah dihapus dan Ia menuju ke TPS lain lagi seolah-olah belum pernah memilih. Aspek kejujuran dan jaminan tidak berbuat curang dari pemilih sekalipun tidak ada jaminan. Dan, ini membuka jurang kecurangan. Oleh karena itu, kiranya tepat ketentuan membatasi penggunaan e-KTP bagi pemilih yang terdaftar sebagai DPK hanya terbatas pada alamat rukun tetangga/rukun warga.

Partisipasi Pemilih dalam PSU

Sejak KPU menetapkan hari pelaksanaan PSU, diikuti dengan menyiapkan logistik dan persiapan teknis lainnya. Masyarakat pemilih juga diberikan sosialisasi dan pemberitahuan untuk menggunakan hak pilihnya pada hari yang telah ditetapkan. Terdapat dua kemungkinan tingkat partisipasi pemilih saat PSU dilaksanakan. Partisipasi pemilih terkait dengan sosialisasi dan kampanye peserta pemilu akibat kepentingan dan perolehan suara di TPS pada perhelatan pemilu sebelumnya.

Pertama, partisipasi pemilih menjadi menurun. Dalam kondisi ini pemilih merasa sudah melaksanakan hak politiknya pada perhelatan pemilu serentak lalu, dan terkesan terbebani akibat adanya pelaksanaan PSU. Sikap apatis muncul yang berakibat tidak ingin menggunakan hak pilihnya kembali. Jadilah ia tercatat sebagai pemilih yang golput. Pada aspek regulasi pemilu, tidak ada penegasan dan sanksi yang dapat diterapkan kepada pemilih yang memilih jalan golput. Akibatnya sekali lagi, partisipasi pemilih menjadi menurun.

Demikian pula dengan kepentingan peserta pemilu, lebih melihat aspek signifikansi perolehan suara pada pemilu serentak lalu. Jika signifikasi suara di TPS yang menggelar PSU tidak terlalu berpengaruh terhadap pencapaian target sebagai pemenang pemilu, maka terkesan perhatian dan kampanye peserta pemilu menjelang pelaksanaan PSU sangat rendah. Artinya, ada atau tidak adanya PSU tidak terlalu berpengaruh secara presentase atas perolehan suara.

Kedua, partisipasi pemilih menjadi meningkat. Saat peserta pemilu terutama calon anggota legislatif mengetahui perolehan suaranya pada perhelatan pemilu serentak tanggal 17 April 2019 lalu. Maka ada kecenderungan untuk memaksimalkan sosialisasi dan kampanye kepada pemilih guna mempertahankan hasil perolehan suara, atau mengejar ketertinggalan hasil suara agar dapat ditetapkan sebagai pemenang pemilu. Terkadang untuk mengejar dan mendapatkan perolehan hasil suara yang maksimal dari perhelatan PSU, calon anggota legislatif malah cenderung dan terjebat dalam kegiatan transaksional yang melanggar ketentuan pemilu. Misalnya melakukan praktek politik uang untuk mempengaruhi dan memobolisasi pemilih untuk mendapatkan suara.

Pada posisi ini, partisipasi pemilih akan meningkat sebab satu suara sangat bernilai dan berharga menghantarkan kandidat sebagai pemenang. Di samping itu, gesekan kepentingan peserta pemilu terutama calon anggota legislatif juga akan sangat tinggi. Kehadiran mereka dapat diidentifikasi sehari sebelum hari pelaksanaan PSU, dan pada hari pelaksanaan PSU dengan target mempengaruhi dan mendapatkan empati pemilih secara langsung di sekitar TPS.


[1] Very Junaidi dalam Khairul Fahmi, 2019, Restatement; Kumpulan Kajian Hukum Pemilu, Bawaslu, Jakarta, hlm. 90-91.

[2] Ibid, hlm. 91.

[3] Departemen Pendidikan Republik Indonesia, 2016, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, hlm. 1520.

[4] Ahmad S. Mahmud, 2019, Jaminan Kemurinia, Suara Pemilu Tahun 2019, Harian Sulteng Raya, Edisi 10 April 2019.

[5] Pasal 373 ayat (3) UU Pemilu.

[6] Pasal 372 ayat (1) UU Pemilu.

[7] Pasal 372 ayat (2) UU Pemilu.

[8]Khairul Fahmi, 2019, Restatement…. Op Cit, hlm. 97-98.

Dinamika Pengawasan Pemilu

918 Views

Bawaslu merupakan lembaga negara yang bertugas dan berwenang dalam pengawasan tahapan Pemilu, penindakan pelanggaran Pemilu, dan penyelesaian sengketa proses Pemilu. Pada posisi ini, Bawaslu dapat dijumpai di lapangan sebagai Pengawas Pemilu untuk memastikan tata cara, prosedur, dan mekanisme tahapan Pemilu berjalan sesuai ketentuan.

Pada kesempatan berikutnya, Bawaslu dapat dijumpai sebagai Penemu atau penerima laporan terjadinya pelanggaran, yang ditindaklanjuti dengan membahas dan merekomendasi pelanggaran administratif Pemilu, pidana Pemilu, kode etik Penyelenggara Pemilu, atau pelanggaran atas peraturan perundang-undang lainnya kepada Lembaga/Instansi berwenang.

Bahkan, wujud Bawaslu dapat ditemui sebagai “Hakim Pemilu” yang mengadili dan memutus pelanggaran administratif Pemilu dalam sidang pemeriksaan yang digelar terbuka untuk umum. Demikian pula dalam penyelesaian sengketa proses Pemilu, Bawaslu dijumpai sebagai “mediator” yang memfasilitasi para pihak, Pemohon dan Termohon untuk musyawarah-mufakat atas keputusan/berita acara yang ditetapkan oleh KPU. Ketika tidak tercapai kesepakatan musyawarah, Bawaslu ditemui sebagai Hakim Pemilu dalam sidang adjudikasi yang memeriksa, mengadili, dan memutus sengketa proses Pemilu.

Melihat substansi bahasan, pengungkapan gagasan, dan sistematika penyajian materi, menjadikan buku ini sangat penting dibaca oleh Penyelenggara Pemilu, peserta Pemilu, Mahasiswa dan Dosen Fakultas Hukum dan FISIP, kalangan eksekutif dan legislatif, serta pihak yang menaruh perhatian pada demokrasi dan penegakan hukum dan keadilan Pemilu.

Penulis: Ruslan Husen, S.H., M.H.
Penyunting: Febriani Tabita Dara Ninggar
Penata Letak: Niken Hapsari Cahyarina
Penata Sampul: Hanung Norenza Putra
Penerbit: Bandung; Ellunar, 2019
xx+318hlm., 14.8 x 21 cm
ISBN: 978-623-204-119-6
Cetakan pertama, Mei 2019


PEMESANAN MELALUI PENERBIT:
Penerbit Ellunar Bandung
SMS/WA: 0896-8530-9651
LINE: (at)ellunar (dg @)
Harga: Rp.67.000 (belum termasuk ongkos kirim)


 

Eksistensi Bawaslu dalam Penyelesaian Sengketa Proses Pemilu

255 Views

EKSISTENSI BAWASLU DALAM PENYELESAIAN SENGKETA PROSES PEMILU
Oleh: Ruslan Husen, SH, MH.

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 15 tahun 2011 tentang Penyelenggara Pemilu, Penyelesaian Sengketa Proses Pemilu (PSPP) hanya dapat diselesaikan oleh Bawaslu RI, kini sesuai Undang-Undang Nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu), PSPP selain dapat diselesaikan oleh Bawaslu RI, juga dapat diselesaikan oleh Bawaslu Provinsi dan Bawaslu Kabupaten/Kota.  

Ini terkait dengan eksistensi Bawaslu, Bawaslu Provinsi dan Bawaslu Kabupaten/Kota baik dalam hal kelembagaan dan kewenangan pasca penetapan UU Pemilu. Secara kelembagaan, Bawaslu saat ini telah menjadi lembaga parmanen (Badan) baik dari tingkat Pusat sampai dengan Kabupaten/Kota. Salah satu kewenangan yang diberikan UU Pemilu adalah PSPP yang diajukan oleh peserta Pemilu sesuai dengan struktur tingkatan wilayah, sebagai akibat ditetapkannya Keputusan dan/atau Berita Acara KPU yang dinilai merugikan hak konstitusionalnya.  

Sengketa Proses Pemilu

Pasal 466 UU Pemilu mendefinisikan, sengketa proses Pemilu sebagai sengketa yang terjadi antar-peserta Pemilu dan sengketa Peserta Pemilu dengan Penyelenggara Pemilu sebagai akibat dikeluarkannya Keputusan KPU/KPU Provinsi/KPU Kabupaten/KPU Kota. Bawaslu menerima permohonan PSPP sebagai akibat dikeluarkannya keputusan KPU. Arti Keputusan yang dimaksud, dalam bentuk Surat Keputusan dan/atau Berita Acara.[1]

Dari ketentuan Pasal 466 di atas, secara eksplisit menyebut bahwa potensi sengketa proses Pemilu hanya 2 (dua) yakni: sengketa Peserta Pemilu antar Peserta Pemilu, dan sengketa Peserta Pemilu dengan Penyelenggara Pemilu, khususnya KPU. Pasal ini tidak membuka peluang adanya mekanisme hukum sengketa Peserta Pemilu dengan Penyelenggara Pemilu lainnya, seperti Bawaslu dan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu.

Sehingga subyek hukum dalam PSPP hanya ada dua pihak, yakni Peserta Pemilu dan KPU. Kedudukan KPU sebagai pihak yang mempertahankan keabsahan keputusan yang dibuatnya. Adapun objek PSPP yang diajukan ke Bawaslu meliputi Surat Keputusan dan/atau Berita Acara yang dikeluarkan oleh KPU sesuai dengan tingkatan struktur (Pusat, Provinsi, atau Kab/Kota) yang dianggap merugikan kepentingan hukum peserta Pemilu tertentu.

Adanya Keputusan dan/atau Berita Acara KPU di tingkat Provinsi dapat dimohon diadili dan diputus oleh Peserta Pemilu ke Bawaslu Provinsi. Keputusan dan/atau Berita Acara KPU yang merugikan peserta Pemilu di tingkat Kabupaten/Kota, bisa digugat ke Bawaslu Kabupaten/Kota. Dengan syarat formil, masih dalam rentang waktu tiga hari kerja sejak dikeluarkannya Keputusan dan/atau Berita Acara KPU tadi sebagai objek sengketa. Dan, Bawaslu wajib menyelesaikan sengketa proses Pemilu itu dalam kurun waktu 14 hari kerja.

Bawaslu melaksanakan PSPP, dengan mempertemukan pihak yang bersengketa untuk didengar kepentingan hukumnya, guna mencapai kesepakatan melalui mediasi atau musyawarah dan mufakat. Dalam hal tidak tercapai kesepakatan antara pihak yang bersengketa, Bawaslu menyelesaikan sengketa proses Pemilu melalui sidang adjudikasi. Produk adjudikasi berupa putusan.

Putusan Bawaslu terhadap sengketa proses Pemilu bersifat final dan mengikat, kecuali untuk tiga hal, yakni berkaitan dengan verifikasi calon Partai Politik peserta Pemilu, penetapan calon anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi dan DPRD kabupaten/kota, dan penetapan calon. Jika ternyata putusan Bawaslu masih tetap menguatkan penetapan dari KPU (berarti menolak permohonan Pemohon), maka Partai Politik yang bersangkutan dapat mengajukan banding ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN).

PTUN ada di tiap Provinsi.  Jadi, kalau ada peserta Pemilu tidak puas dengan Putusan Bawaslu, bisa mengajukan gugatan ke ke PTUN setempat. Di PTUN, objek gugatan bukanlah Putusan Bawaslu, melainkan keputusan KPU yang belum diputus oleh Bawaslu. Putusan Bawaslu berfungsi sebagai salah satu syarat diterimanya berkas gugatan, karena PTUN tidak berwenang menerima dan memeriksa perkara sengketa proses Pemilu, saat perkara belum pernah diputus dalam sidang Adjudikasi Bawaslu.

Eksistensi Bawaslu Menegakkan Keadilan Pemilu

Eksistensi Bawaslu searah dengan harapan dan optimis publik yang didasarkan atas pengalaman Bawaslu dalam pelaksanaan Pemilu tahun 2014 lalu. Sebelumnya Bawaslu sebagai lembaga Pengawas Pemilu tidak memiliki wewenang memadai, terutama lembaga Pengawas Pemilu yang hadir secara fungsional menegakkan keadilan Pemilu. Produknya lebih ditempatkan sebagai rekomendasi yang tidak jarang KPU enggan melaksanakannya.

Inilah yang menginisiasi penguatan kelembagaan Bawaslu, baik dari struktur dan kewenangan hingga lahir Undang-Undang Nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu). Menurut Fritz Edward Siregar, transformasi krusial yang dilakukan pembentuk UU terhadap Bawaslu adalah menambahkan fungsi penyelesaian sengketa proses Pemilu, adjudikasi. Penambahan wewenang ini membuat Bawaslu tidak lagi sekedar pemberi rekomendasi, melainkan sebagai eksekutor atau pemutus perkara. Berdasarkan UU Pemilu, fungsi adjudikasi yang dimiliki Bawaslu dapat dilaksanakan untuk menerima, memeriksa, mempertimbangkan, dan memutus pelanggaran administrasi Pemilu, dan sengketa proses Pemilu.[2]

Selanjutnya, kehadiran Bawaslu beserta jajarannya sesuai UU Pemilu, dengan kewenangan PSPP diharapkan dapat berkontribusi mewujudkan pelaksanaan tahapan Pemilu yang jujur dan adil. Pemilu yang proses dan hasilnya memperoleh legitimasi publik, hingga lahir pemimpin pilihan rakyat-pemilik kedaulatan. Menurut Firmansyah, fungsi Bawaslu sangat dibutuhkan sebagai lembaga negara di bawah UU yang bersifat tetap dan mempunyai kewenangan dalam mengawasi jalannya Pemilu,[3] menindak pelanggaran dan menyelesaikan sengketa proses Pemilu.

Keadilan Pemilu (electoral justice) sebagai sarana dan mekanisme untuk menjamin bahwa proses Pemilu tidak dirusak oleh penyimpangan dan kecurangan. Termasuk dalam mekanisme keadilan Pemilu adalah pencegahan terjadinya sengketa Pemilu melalui serangkaian kegiatan, tindak, dan rekomendasi kepada pihak terkait apakah itu KPU ataupun Peserta Pemilu. Yang dilanjutkan dengan pelaksanaan kewenangan PSPP, dengan mempertemukan para pihak yang bersengketa (mediasi dan/atau adjudikasi) sebagai akibat ditetapkannya Keputusan dan/atau Berita Acara KPU.

Jika penegakkan hukum Pemilu diartikan sebagai sarana untuk memulihkan prinsip dan aturan hukum Pemilu yang dilanggar sehingga dapat mewujudkan keadilan, kepastian, dan kemanfaatan Pemilu, maka sejatinya keadilan Pemilu berkaitan dengan proses penegakan hukum Pemilu. Proses yang menjamin Pemilu yang jujur dan adil (free and fair election), dengan menjamin hak konstitusional semua pihak secara proporsional dan berkeadilan.

Pada aspek normatif penegakkan keadilan Pemilu, desain dan mekanisme PSPP yang diamanatkan UU Pemilu terdapat kombinasi penyelesaian sengketa yang bersifat alternatif dan korektif. Sifat alternatif PSPP tergambar melalui metode “Mediasi”, yang mempertemukan para pihak yang bersengketa dengan difasilitasi Mediator dari Bawaslu. Sedangkan PSPP secara korektif tergambar melalui metode “Adjudikasi”, berupa Bawaslu menerima, memeriksa, dan memutus sengketa yang diajukan oleh pihak peserta Pemilu yang merasa dirugikan sebagai akibat dikeluarkannya Keputusan dan/atau Berita Acara KPU.[4]

Kombinasi penyelesaian sengketa yang bersifat alternatif dan korektif ini, selain terdapat dalam UU Pemilu, dipertegas lagi dalam Peraturan Bawaslu Nomor 18 Tahun 2017 sebagaimana telah diubah terakhir kali dengan Peraturan Bawaslu Nomor 27 tahun 2018 tentang Perubahan Kedua Peraturan Bawaslu Nomor 18 Tahun 2017 tentang Tata Cara Penyelesaian Sengketa Proses Pemilu.

Penambahan kewenangan Bawaslu dalam PSPP, terlihat adanya politik hukum pembentuk UU untuk memperkuat sisi eksekutorial dari fungsi-fungsi Bawaslu. Putusan Bawaslu yang sebelumnya hanya bersifat rekomendasi, kini menjadi putusan yang memiliki kekuatan eksekutorial layaknya putusan Pengadilan. Hal mentransformasikan Bawaslu menjadi lembaga quasi peradilan yang putusannya bersifat final dan mengikat kecuali ditentukan lain dalam UU Pemilu.

Karakter Putusan Bawaslu

Putusan merupakan produk yang dikeluarkan oleh Hakim sebagai pejabat negara yang diberi kewenangan menerima, memeriksa, dan mengadili sengketa yang diajukan kepada lembaganya. Putusan diucapkan di muka persidangan dengan tujuan mengakhiri dan menyelesaikan suatu perkara atau sengketa para pihak.

Kewenangan PSPP yang dimiliki oleh Bawaslu berdasarkan UU Pemilu dalam mengeluarkan putusan final and binding. Pasal 469 ayat (1) UU Pemilu menyatakan bahwa putusan Bawaslu mengenai penyelesaian sengketa proses Pemilu merupakan putusan yang bersifat final dan mengikat, kecuali putusan terhadap sengketa proses Pemilu yang berkaitan dengan:

a. verifikasi partai politik peserta pemilu;

b. penetapan daftar calon tetap anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota; dan

c. penetapan pasangan calon.

Putusan Bawaslu bersifat final dan mengikat dan diterapkan pada sengketa yang terjadi antar peserta Pemilu. Sedangkan, putusan Bawaslu yang tidak final dan mengikat diterapkan pada sengketa antara peserta Pemilu dengan KPU. Terhadap putusan Bawaslu tersebut, dapat dilakukan upaya hukum berupa mengajukan gugatan kepada Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) oleh Peserta Pemilu.

Lahirnya kewenangan Bawaslu menetapkan putusan final and binding tentunya akan membuat Bawaslu menjelma sebagai lembaga quasi yudisial. Pintu masuk adanya kewenangan ini bermula dari proses adjudikasi yang diatur oleh UU Pemilu, tepatnya dalam hal tidak tercapai kesepakatan antara pihak yang bersengketa Bawaslu menyelesaikan sengketa proses pemilu melalui adjudikasi. Putusan final and binding oleh Bawaslu dimaksudkan agar putusan tersebut dapat langsung dilaksanakan (self executing).

Dari aspek kekuatan berlakunya putusan, dapat dibagi menjadi dua bagian, yakni putusan yang belum memiliki kekuatan hukum tetap, dan putusan yang telah memiliki kekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde). Putusan yang belum memiliki kekuatan hukum tetap, merupakan putusan yang masih terbuka jalan untuk dilakukan upaya hukum selanjutnya. Sedangkan putusan inkracht merupakan putusan yang tidak dapat lagi dilakukan upaya hukum biasa untuk melawannya (banding dan kasasi). Dengan demikian, putusan yang bersifat final and binding merupakan putusan akhir yang inkracht dan tidak dapat dilakukan upaya hukum lagi.

Menurut Adam Muhshi dan Fenny Tria Yunita,[5] Putusan Bawaslu terkait PSPP memiliki karakter yuridis selayaknya sebuah putusan Pengadilan meskipun bukan dikeluarkan oleh lembaga yudisial. Hal ini dapat diidentifikasi melalui beberapa aspek. Pertama, segi tujuan, putusan Bawaslu memiliki tujuan sama dengan tujuan dikeluarkannya putusan Peradilan, yakni bertujuan untuk mengakhiri sengketa para pihak. Para pihak yang merasa dirugikan dengan berlakunya objek sengketa, berusaha memulihkan haknya dengan mengajukan sengketa ke Pengadilan, untuk diadili sesuai dengan hukum dan keadilan.

Kedua, segi substansi, putusan Bawaslu memiliki substansi yang sama dengan substansi putusan Badan Peradilan. Substansi sebuah putusan akhir memuat kepala putusan, berupa irah-irah “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”, identitas para pihak, jawaban/kesimpulan para pihak, pertimbangan hukum, dan amar putusan. Amar putusan dapat berupa gugatan / permohonan ditolak, dikabulkan, tidak dapat diterima atau gugur. Dan, substansi putusan seperti itu juga nampak dari produk putusan Bawaslu yang mengadili PSPP.

Ketiga, sspek prosedural. Sebuah putusan dapat dikeluarkan setelah melalui proses pemeriksaan berkas perkara, dan melalui mekanisme persidangan yang mendengarkan dan mempertimbangkan kedudukan serta kepentingan hukum para pihak. UU Pemilu secara eksplisit menyatakan Bawaslu berwenang untuk melakukan proses adjudikasi dalam menyelesaikan sengketa proses Pemilu, jika mediasi yang difasilitasi Bawaslu tidak mencapai kesepakatan.

Sifat putusan Bawaslu final and binding ini yang justru membedakan dengan putusan Badan Peradilan lainnya. Putusan dari Badan Peradilan umumnya masih terbuka upaya hukum misalnya banding, kasasi dan peninjauan kembali. Namun, putusan Bawaslu justru melampaui putusan Badan Peradilan tersebut. Terhadap putusan Bawaslu tidak terbuka upaya hukum yang dapat dilakukan para pihak yang keberatan atas hasil putusan tersebut.

Memaknai final dan mengikat tidak dapat dipisahkan dalam konteks putusan. Secara harfiah, kata “final” dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia diartikan “tahap terakhir dari rangkaian pemeriksaan,”[6] sedangkan kata “mengikat” diartikan sebagai mengeratkan dan menyatukan.[7] Sifat final and binding ternyata tidak hanya dimiliki oleh putusan MK, tetapi juga dimiliki oleh Badan-Badan lain yang menyelenggarakan fungsi tertentu. Beberapa putusan final and binding diantaranya putusan arbitrase yang dikeluarkan oleh Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI), putusan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK), dan putusan Dewan Kehormatan Penyelenggaraan Pemilu (DKPP).

Konsekwensi atas putusan final dan mengikat yang dikeluarkan oleh Badan-Badan tersebut, dapat menghilangkan atau menciptakan keadaan hukum baru, dan tidak ada upaya hukum yang bisa dilakukan untuk melawan putusan tersebut, baik melalui upaya hukum banding, kasasi, maupun Peninjauan Kembali. Demikian pula dengan putusan Bawaslu yang bersifat final dan mengikat, kecuali ditentukan lain dalam UU Pemilu.

Penutup

Penyelesaian Sengketa Proses Pemilu (PSPP) merupakan kewenangan Bawaslu dalam penegakkan keadilan Pemilu (electoral justice), bagi peserta Pemilu yang hak hukum dan konstitusinya dilanggar oleh pihak lain, baik dari peserta Pemilu lainnya maupun Penyelenggaraan Pemilu (KPU). PSPP hakikatnya bertujuan mewujudkan proses dan hasil Pemilu yang dapat diterima oleh semua pihak. Proses yang berlangsung secara jujur dan adil, serta hasil Pemilu yang melegitimasi hadirnya pemimpin sesuai dengan pilihan rakyat.

Catatan Kaki :


[1] Pasal 4 ayat (1) dan (2) Perbawaslu Nomo 18 tahun 2017 Tata Cara Penyelesaian Sengketa Proses Pemilu.
[2] Fritz Edaward Siregar, 2018, Bawaslu Menuju Peradilan Pemilu, Themis Publishing, Jakarta, hlm. 52.
[3] Firmansyah dalam Ni’matul Huda dan M. Imam Nasef, 2017, Penataan Demokrasi & Pemilu di Indonesia Pasca Reformasi, Kencana, Jakarta, hlm. 110.
[4] Rahmat Bagja, 2018, Membangun Bawaslu Sebagai Lembaga Pengawas Pemilu dan Penyelesaian Sengketa Pemilu Yang Profesional, Transparan dan Akuntabel, Makalah Konferensi HTN Ke-5, Batusangkar, hal. 12.
[5] Adam Muhshi dan Fenny Tria Yunita, 2018, Karakter Yuridis Putusan Badan Pengawas Pemilu Dalam Penyelesaian Sengketa Proses Pemilu, Call Paper Konferensi HTN Ke-5, Batusangkar, Sumatera Selatan.
[6] Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, 2008, Kamus Bahasa Indonesia, Jakarta, hal. 414.
[7] Ibid, hlm. 571.

Penguatan Kelembagaan Pengawas Pemilu

623 Views

PENGUATAN KELEMBAGAAN PENGAWAS PEMILU
Oleh: Ruslan Husen, SH, MH.

Bawaslu sebagai lembaga Penyelenggara Pemilu yang mengawasi penyelenggaraan tahapan Pemilu di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Bawaslu bersama KPU dan DKPP telah ditetapkan sebagai satu kesatuan fungsi penyelenggaraan Pemilu. Bawaslu bertugas dan berwenang melakukan pengawasan, penindakan pelanggaran, dan penyelesaian sengketa proses Pemilu.

Kelembagaan Bawaslu terdiri dua unsur pendukung pelaksanaan tugas dan kewenangan. Pertama, Individu yang memiliki kemampuan pengawasan Penyelenggaraan Pemilu, disebut dengan Komisioner. Komisioner terpilih ditetapkan setelah melalui proses seleksi administrasi, tes tulis (CAT), tes kesehatan, tes psikologi, wawancara, dan uji kepatutan dan kelayakan. Kedua, unsur sekretariat sebagai organ pendukung yang dipimpin oleh Kepala Sekretariat dengan membawahi sub-sub bagian sesuai bidangnya. Unsur sekretariat bertugas memberikan dukungan administrasi dan teknis operasional pengawasan Pemilu. Kesekretariatan harus melakukan fungsi koordinasi pelaksanaan tugas unit organisasi, pelaksanaan perencanaan, pengawasan internal, administrasi kepegawaian dan administrasi keuangan, dan kehumasan serta dukungan lainnya.

Pada tataran manajemen dan pengelolaan organisasi, kerja-kerja kelembagaan Bawaslu dibagi habis ke dalam tugas dan fungsi pokok Divisi, Bagian dan Unit kerja. Pembagian kerja ini secara hierarki membentuk piramida, semakin ke atas struktur Sumber Daya Manusia (SDM) yang digunakan semakin sedikit, atau sebaliknya semakin ke bawah struktur SDM yang digunakan semakin banyak. Pelaksana fungsi kelembagaan tertinggi secara hierarki dipegang top managerial dan diisi oleh Komisioner atau Koordinator. Dari Pimpinan teratas membagi habis pelaksanaan tugas dan fungsi pokok pekerjaan kepada jajaran yang berada dalam kendalinya, hingga terus ke bawah. Semakin ke struktur terbawah, jumlah SDM yang membantu dan bekerja semakin banyak.

Desain struktur kelembagaan Pengawas Pemilu bersifat hierarki yang terdiri dari Bawaslu RI, Bawaslu Provinsi, dan Bawaslu Kota/Kabupaten. Bawaslu memiliki jajaran yang bersifat ad hoc yakni Panwaslu Kecamatan, Panwaslu Kelurahan/Desa, dan Panwaslu Luar Negeri. Melangkapi struktur kelembagaan Bawaslu yang mengawasi peserta Pemilu yang sangat banyak dalam wilayah yang luas, dibentuk lagi Pengawas Pemilu yang berada di setiap TPS menjelang hari pemungutan suara, namanya Pengawas TPS.

Jajaran Pengawas Pemilu perlu senantiasa meningkatkan kapasitas, loyalitas dan integritas dalam menjalankan tugas dan kewenangan yang telah diamanahkan dan dipercayakan oleh Negara. Masyarakat sebagai pemilik kedaulatan juga senantiasa perlu diajak dan berkolaborasi dalam pengawasan Pemilu, untuk mencegah potensi pelanggaran dan memberikan informasi awal atau laporan kepada Pengawas Pemilu.

Solidaritas dan Sinergi

Divisi, Bagian dan Unit Kelembagaan Bawaslu ditetapkan untuk maksimalisasi pelaksanaan tugas dan kewenangan, sekaligus didesain saling menguatkan, saling mengisi, dan saling mendukung. Kelemahan dan kekurangan divisi dan bagian tertentu, akan diisi dan dibantu oleh bagian dan divisi lainnya. Ibarat satu tubuh, kelemahan bagian tubuh lain akan dirasakan deritanya, sehingga diisi dan diobati oleh bagian lain. Hingga pelaksanaan fungsi keseluruhan kelembagaan berjalan optimal. Masalah dan tantangan kelembagaan, baik dari internal maupun eksternal akan dihadapi dan diatasi sebagai masalah bersama yang dicegah dan diselesaikan secara bertanggung-jawab. Tentu metodenya, tetap berpegang pada prinsip dan nilai hukum secara konsisten dan bertanggung-jawab.

Adanya tantangan dan hambatan kelembagaan secara eksternal, jika solidaritas internal telah terbangun, maka akan mampu dihadapi dan diatasi. Kelembagaan yang terbangun kokoh juga menjadi brand image yang turut meningkatkan kepercayaan publik dan legitimasi atas produktifitas kerja-kerja lembaga. Semua itu dapat diraih, dari sisi internal kelembagaan telah terbangun solidaritas, loyalitas, dan integritas Pengawas Pemilu dengan kapasitas yang handal.

Sebagai contoh, Divisi Hukum Bawaslu merupakan divisi yang relatif baru dari semua divisi di Bawaslu. Divisi Hukum seolah-olah menjadi divisi buangan, ketika Pleno Pimpinan penetapan divisi dari anggota Bawaslu. Ditambah lagi, dukungan anggaran yang minim dalam mendukung kerja-kerja divisi ini.

Proyeksi Bawaslu mengorbitkan divisi hukum sebagai divisi penghubung antar divisi. Divisi yang dapat mengisi kekurangan dan mengatasi kelemahan divisi lain. Divisi Pengawasan akan membuahkan hasil kerja maksimal pengawasan, jika didukung dengan analisis teknis dan normatif hasil kerja pengawasan. Divisi Sengketa, dalam menghasilkan putusan sengketa proses Pemilu akan maksimal menjamin keadilan Pemilu jika didukung oleh pertimbangan hukum yang ilmiah. Demikian pula, Divisi Penindakan Pelanggaran, akan maksimal jika kajian/rekomendasi didukung dengan aspek prinsip, asas dan norma hukum. Disinilah arti strategis divisi hukum Bawaslu. Penguatan dan menghadapi tantangan dari masing-masing divisi tadi, dapat diisi dalam divisi hukum untuk melahirkan konsep dan gagasan yang normatif sekaligus progresif dalam penyelesaian masalah.

Demikian pula, inisiasi bangun kelembagaan Pengawas Pemilu dengan instansi eksternal. Dinamisasi jaringan kerja terbangun ketika hubungan emosional antar pimpinan lembaga sudah terbangun. Sehingga kerja-kerja kelembagaan menjadi hubungan kerja profesional yang bernuansa kekeluargaan. Berdimensi kekeluargaan, bukan berarti tidak mengutamakan semangat dan budaya kerja profesional. Intinya bagaimana jajaran Pengawas Pemilu mencintai pekerjaan yang digeluti, hingga lahir sikap, komitmen dan tanggungjawab menyelesaikan pekerjaan secara tuntas dan bertanggung-jawab.

Adapun masalah internal, disharmonisasi hubungan Pimpinan, baik antar Komisioner maupun Komisioner dengan Sekretariat. Merupakan masalah yang harus segera diselesaikan dan diakhiri. Masalah ini biasanya berawal dari keinginan untuk diakui, eksistensi dan pengakuan personal. Selanjutnya, butuh paradigma bersama, dalam rangka kepentingan kelembagaan yang lebih besar, ketimbang mengurusi dinamika emosional personal, maka harus kembali ke janji dan sumpah Pengawas Pemilu saat pelantikan untuk menjalankan amanah secara berintegritas.

Peningkatan Kapasitas

Pembinaan Bawaslu terhadap kinerja jajaran Pengawas Pemilu di bawahnya, merupakan antisipasi terhadap kecenderungan lemahnya kapasitas SDM terutama bagi jajaran Pengawas Pemilu yang bersifat ad hoc. Pengawas Pemilu ad hoc relatif paling sering bersentuhan langsung dengan Peserta Pemilu, lewat komunikasi-konsultasi, kegiatan pencegahan dan penindakan pelanggaran Pemilu di Desa/Kelurahan.

Penguatan kapasitas Kelembagaan dan SDM Pengawas Pemilu, perlu dilakukan Bimbingan Teknis (Bimtek) secara berkala, misalnya setiap tiga bulan sekali. Regulasi dan kebijakan penyelenggaraan Pemilu itu dinamis, terkadang suatu Peraturan belum dilakukan sosialisasi, malah sudah perubahan lagi. Dalam Bimtek perubahan kebijakan dan regulasi dapat disosialisasikan, termasuk menguatkan jajaran Pengawas Pemilu dalam menangani dan menjawab isu-isu hukum aktual yang sering muncul dalam penerapan hukum Pemilu di masyarakat.

Termasuk penguatan dari sisi manajemen organisasi dan pengelolaan keuangan. Sekretariat sebagai pendukung operasional dan teknis Komisioner harus handal dalam memberikan pelayanan. Jangan sampai, akibat pengelolaan keuangan yang melanggar hukum akan menjadi beban dan merusak citra lembaga.

Mengukur kemampuan dan produktifitas Pengawas Pemilu, secara berkala juga perlu dilakukan evaluasi kinerja. Misalnya setiap dua bulan sekali dilakukan evaluasi untuk memacu kinerja SDM. Menemukan dan mengaplikasikan metode-metode pembelajaran yang efektif, siapa melakukan apa, diskusi dan bedah kasus, guna memacu produktiftas pelaksanaan tugas dan kewenangan.

Sisi evaluasi ini, bukan hanya menyasar kapasitas yang harus ditingkatkan, tetapi komitmen menjadi Penyelenggara Pemilu yang berintegritas juga senantiasa diingatkan. Integritas merupakan kemampuan mempertahankan dan menjalankan prinsip dan nilai kebenaran dan keadilan. Walau banyak tantangan dan godaan, integritas tetap menjadi pegangan, sebagai amanah mulia menjaga dan melindungi hak konstitusional rakyat, hingga lahir pemimpin sesuai kehendak rakyat. 

Pembentukan Peraturan yang Responsif

239 Views

PEMBENTUKAN PERATURAN YANG RESPONSIF
Oleh: Ruslan Husen, SH, MH.

Sistem Pemilu merupakan instrumen untuk penegakkan hukum dan menjamin penerapan prinsip demokrasi melalui pelaksanaan Pemilu yang jujur dan adil. Sistem Pemilu dikembangkan untuk mencegah dan mengidentifikasi pelanggaran Pemilu, sekaligus sebagai sarana dan mekanisme menindak pelanggaran tersebut. Pada prinsipnya, sistem Pemilu ingin menempatkan suara rakyat sebagai pemilik kedaulatan harus dijaga dan dikawal hinggal lahir pemimpin pilihan rakyat.

Untuk mewujudkan hal tersebut, Janedril M. Gaffar menganggap sistem Pemilu yang dipilih adalah sistem Pemilu yang paling mampu mengekspresikan dan melembagakan kehendak rakyat, baik dari sisi pemimpin yang dipilih maupun dari sisi kebijakan dan tindakan yang akan dilakukan oleh pemimpin tersebut. Sehingga, Pemilu harus mampu membangun dan menjalin ikatan tidak terputuskan antara rakyat dan para wakilnya yang duduk sebagai pemimpin.[1]

Merujuk pada teori sistem yang diungkapkan Lawrence Meir Friedman, bahwa sistem merupakan satu-kesatuan yang terdiri dari berbagai komponen yang saling terpaut (elements of legal system), mendukung dan berkolaborasi dalam pencapaian tujuan sistem. Jika salah satu bagian komponen sistem terhalangi tidak bekerja maksimal, akan mengganggu produktifitas sistem secara keseluruhan. Sistem terdiri dari, struktur pelaksana, ketersediaan substansi regulasi, kultur masyarakat yang mendukung,[2] dan ketersediaan fasilitas pendukung yang memadai.[3] Dengan demikian, sistem Pemilu yang konstitusional dan demokratis sangat terkait dengan ketersediaan komponen-komponen, Penyelenggara Negara dan Penyelenggara Pemilu yang berintegritas, ketersediaan regulasi yang responsif, partisipasi masyarakat secara aktif, dan tersedia sarana dan prasarana pendukung pelaksana Pemilu.

Sistem Pemilu yang ideal, berangkat dari desain regulasi Pemilu, baik dalam bentuk Undang-Undang Pemilu, Peraturan teknis Penyelenggara Pemilu (KPU, Bawaslu, dan DKPP). Ketersediaan regulasi utama dalam Undang-Undang Pemilu akan menjadi arah dan patron Penyelenggara Pemilu bekerja, bagaimana peran serta masyarakat secara partisipatif, sampai pada penyediaan alokasi anggaran untuk memenuhi sarana dan prasaran teknis Pemilu. Semua itu bisa dipenuhi dan dilaksanakan jika didukung oleh ketersediaan regulasi Pemilu yang responsif.

Peraturan yang Aplikatif

Peraturan Bawaslu (Perbawaslu) disusun sebagai penjabaran lebih lanjut dari peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, yakni Undang-Undang Nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilu. Perbawaslu dapat memuat teknis pelaksanaan pengawasan tahapan Pemilu, maupun yang terkait dengan teknis manajemen kelembagaan. Sebagai lembaga Penyelenggara Pemilu yang kewenangannya selalu berubah di setiap Pemilu, menjadikan Bawaslu harus cepat melakukan penataan kelembagaan dan penguatan kapasitas jajaran Pengawas Pemilu.

KPU telah menyusun peraturan yang berbasis pada tahapan Pemilu. Menguatkan peraturan yang dibuat, KPU kadang menguatkan dengan menetapkan Keputusan dan Surat Edaran. Respon serupa dari Bawaslu mutlak diperlukan dalam menyiapkan Perbawaslu untuk mengawasi tahapan Pemilu. Oleh karena itu, pembentukan Perbawaslu tidak berbasis rigid sesuai aturan tahapan yang dirumuskan dalam PKPU. Pembentukan Perbawaslu beranjak dari menyiapkan instrumen teknis dalam pengawasan tahapan Pemilu, dan pengawasan non tahapan Pemilu, serta regulasi teknis untuk mendukung Bawaslu melaksanakan tugas dan kewenangan, misalnya ketersediaan regulasi manajemen organisasi dan pengelolaan keuangan.

Sering kali ditemui peraturan dibentuk sebagai tindaklanjut peraturan yang lebih tinggi, misalnya dalam Peraturan Daerah, tidak aplikatif diterapkan oleh Organisasi Perangkat Daerah. Bisa jadi norma yang dirumuskan kabur dan multitafsir, ketidaktegasan menunjuk Perangkat Daerah yang melaksanakan, atau tidak sesuai dengan perkembangan dan kebutuhan Daerah, hingga Perda hanya menjadi dokumen pajangan saja, tidak bisa dilaksanakan.

Tentu, Perbawaslu yang dibentuk jangan sampai mengalami nasib serupa dengan Perda dimaksud. Perbawaslu harus aplikatif, dibentuk untuk menunjang pelaksanaan tugas, wewenang dan kewajiban Pengawas Pemilu. Dibentuk responsive sesuai kebutuhan dan desain kelembagaan menegakkan keadilan Pemilu, dengan peran serta masyarakat secara kolaboratif.

Tahapan Pembentukan

Kekuatan hukum masing-masing peraturan perundang-undangan sangat ditentukan berdasarkan tingkatan hierarki. Bahwa peraturan yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan perundang-undangan yang lebih tinggi. Pembentukan produk hukum harus mengacu ke Undang-Undang Nomor 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, yang selanjutnya dijabarkan lebih lanjut ke dalam peraturan pelaksana.

Dalam pembentukan Perbawaslu, mengacu pada Peratuan Bawaslu Nomor 3 tahun 2017 tentang Tata Cara Pembentukan Peraturan Bawaslu. Perbawaslu ini menjadi pedoman pembentukan peraturan perundang-undangan di lingkungan Bawaslu. Tentu pembentukan dan norma di dalam Perbawaslu ini telah mempertimbangkan ketentuan-ketentuan dalam UU 12 tahun 2011.

Dalam Perbawaslu ini, proses pembentukan Perbawaslu mencakup, Pertama, Tahap Perencanaan. Perbawaslu disusun sesuai dengan kebutuhan hukum baru dan tantangan lembaga, dalam pelaksanaan tahapan Pemilu. Pemilu serentak dilaksanakan berdasar UU 7 tahun 2017 tentang Pemilu. UU ini dijabarkan lagi ke dalam peraturan perundang-undangan yang lebih teknis, untuk memberikan pedoman agar lebih aplikatif dan teknis dilaksanakan.

Perencanaan Perbawaslu dituangkan dalam program penyusunan Perbawaslu pada masing-masing tahun anggaran berjalan, yang memuat judul, pemrakarsa, urgensi, keterangan yang berisi pihak terkait dan penerima manfaat Perbawaslu. Hal ini penting mengingat pembentukan Perbawaslu berada dalam satu kesatuan atau terintegrasi dalam sistem hukum nasional. Keseluruhan materi yang diatur dalam perencanaan pembentukan regulasi, menurut Ahmad Yani harus melalui proses pengkajian dan penyelarasan untuk mengetahui keterkaitan dengan peraturan perundang-undangan lainnya secara vertikal dan horizontal sehingga mencegah tumpang tindih pengaturan atau kewenangan.[4]

Di tengah kesibukan pelaksanaan tahapan Pemilu, KPU dan Bawaslu juga berpacu melahirkan peraturan lembaga yang lebih teknis sebagai penjabaran dari UU Pemilu. Ini menjadi tantangan tersendiri bagi Penyelenggara Pemilu, di samping melaksanakan tahapan Pemilu, dengan cepat juga harus menyiapkan regulasi teknis. Setelah itu, harus diikuti dengan sosialisasi secara massif kepada stakeholders Pemilu.

Adanya ketidakpuasan atas kinerja Penyelenggara Pemilu, dan banyaknya pelanggaran yang ditindak oleh jajaran Bawaslu, diantara penyebab adalah sosialisasi regulasi teknis pelaksanaan Pemilu yang belum dipahami dengan baik oleh stakeholders Pemilu, terutama Peserta Pemilu. Setelah penetapan regulasi, Penyelenggara Pemilu harus segara melibatkan Peserta Pemilu untuk memahami dan melaksanakan regulasi Pemilu dengan cepat. Agar dimaklumi, pencegahan pelanggaran dalam bentuk sosialisasi telah dilaksanakan, sebagai langkah awal sebelum penindakan pelanggaran Pemilu.

Kedua, Tahap Penyusunan, Penetapan, dan Pengundangan. Penyusunan Perbawaslu didahului dengan dokumen pendukung yang merasionalkan urgensi Perbawaslu dimaksud, yakni “Naskah Kajian Rancangan Perbawaslu”. Dalam pembentukan Perda, mengharuskan Naskah Akademik Rancangan Perda, demikian pula dalam pembentukan Perbawaslu, juga menekankan ketersediaan Naskah Kajian. Walaupun pada naskah kajian, uraian substansi lebih singkat dan padat, yakni memuat : bagian pendahuluan, urgensi dan tujuan penyusunan, sasaran, pokok pikiran atau objek yang akan diatur, dan jangkauan serta arah pengaturan.

Setelah tersedia draf Naskah Kajian beserta lampirannya, yakni draf Perbawaslu siap dibahas. Sesuai dengan kesepakatan Penyelenggara Pemilu dengan DPR RI maka draf Perbawaslu yang telah siap tadi, selanjutnya diserahkan ke Pimpinan DPR untuk dikonsultasikan. Forum konsultasi diadakan untuk mendengarkan masukan-masukan dari DPR, sebagai lembaga pembentuk UU dan mitra Penyelenggara Pemilu. Namun kadang-kala, forum konsultasi DPR digunakan untuk mengkompromikan keinginan-keinginan pragmatis anggota DPR agar masuk dalam norma. Memang tidak ada keharusan KPU dan Bawaslu mengikuti keinginan pragmatis itu, lebih pada beban moril dan beban spekulatif. Intinya, Penyelenggara Pemilu mengikuti forum konsultasi, jika ada masukan sesuai dengan Undang-Undang dan mendukung pelaksanaan tugas dan wewenang, tentu harus diakomodir. Tetapi, ketika masukan-masukan menjadi beban, apalagi berpotensi membuat citra lembaga tidak independen, maka masukan-masukan pragmatis tadi harus di tolak atau diabaikan. Kembali kepada khittah, eksistensi melaksanakan amanat UUD dan UU Pemilu secara jujur dan adil.

Ketiga, Tahap Autentifikasi dan Penyebarluasan. Ini lebih pada tahap harmonisasi norma dalam peraturan yang dibentuk. Memeriksa kembali norma-norma dalam Bab, Pasal dan ayat. Jangan sampai terdapat norma-ketentuan yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan lebih tinggi, peraturan yang tidak sinkron dengan Perbawaslu dan PKPU lainnya. Disini letak pentingnya autentifikasi atau harmonisasi norma, biasanya ini dilakukan oleh mereka yang sudah memiliki sertifikat dan keahlian sebagai Perancang Peraturan Perundang-Undangan.

Setelah norma di dalam Perbawaslu siap, lalu diundangkan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia, Berita Negara Republik Indonesia yang dilakukan oleh Menteri Hukum dan HAM. Ketentuan pengundangan, menegaskan peraturan yang telah diundangkan dinyatakan mulai berlaku dan mempunyai kekuatan mengikat sejak tanggal diundangkan, kecuali ditentukan lain.

Selanjutnya naskah salinan yang telah diundangkan tadi, disebarluaskan oleh Kesekretariatan Bawaslu RI untuk diketahui publik dan dilaksanakan. Hingga pihak yang membutuhkan dokumen Perbawaslu dapat mengunduh dalam laman website Bawaslu.

Peran Serta Masyarakat

Masyarakat dapat memberikan masukan baik lisan dan tertulis dalam setiap tahapan pembentukan Perbawaslu. Selain menerima masukan masyarakat, Bawaslu dapat menyelenggarakan kegiatan berupa disiminasi, uji publik, seminar, dan sosialisasi untuk menjaring masukan masyarakat dalam setiap tahapan pembentukan Perbawaslu. Masukan-masukan tersebut dapat diperoleh ketika ada partisipasi masyarakat.

Partisipasi masyarakat merupakan prasyarat dari terealisasinya pemerintahan yang demokratis. Tanpa partisipasi, niscaya demokrasi dalam sistem pemerintahan negara tidak akan terwujud. Partispasi masyarakat dalam proses pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, menurut Amir Santoso merupakan wujud penyelenggaraan pemerintahan yang baik sesuai dengan prinsip-prinsip good governance (pemerintahan yang baik), diantaranya: keterlibatan masyarakat, akuntabilitas, dan transparansi[5].

Pihak-pihak yang terlibat dalam pelaksanaan partisipasi masyarakat adalah masyarakat itu sendiri, yang perlu dibangun adalah kesadaran berpartisipasi dan dukungan terhadap aktivitas partisipasi melalui pendidikan politik. Tetapi, hal itu tidaklah cukup, partisipasi masyarakat lebih dibutuhkan dalam memberi masukan pada proses pembentukan suatu Perbawaslu. Aspirasi dan kebutuhan masyarakat sebagai Pemilih juga perlu dipertimbangkan, hingga Perbawaslu secara sosiologis memiliki daya berlaku di tengah masyarakat.  

Perbawaslu akan memiliki nilai tambah “legitimasi” rakyat sebagai pemilik kedaulatan. Artinya masyarakat akan semakin siap menerima dan melaksanakan gagasan dalam proses penerapan hukum untuk mewujudkan Pemilu yang jujur dan adil. Termasuk, hubungan antara masyarakat dengan struktur kelembagaan Bawaslu akan semakin baik, hingga muncul kepercayaan dan partisipasi publik mencegah setiap potensi pelanggaran dan memberikan informasi/laporan kepada jajaran Bawaslu untuk ditindaklanjuti.

Catatan Kaki


[1] Janedril M. Gaffar, 2013, Politik Hukum Pemilu, Konstitusi Press, Jakarta, hlm. 38
[2] Lawrence Friedmann dalam Achamd Ali, 2005, Keterpurukan Hukum di Indonesia; Penyebab dan Solusi, Ghalia Indonesia, Bogor, hlm 1.
[3] Soerjono Soekanto, 2011, Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, Raja Grafindo Persada, Jakarta, hlm 5.
[4] Ahmad Yani, 2013, Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan Yang Responsif, Konstitusi Press, Jakarta, hlm. 29.
[5] Amir Santoso, 1997, Demokrasi dan DPR: Agenda Masa Depan, Raja Grafindo Persada, Jakarta, hlm. 87.

Pengawasan dan Audit Coklit

698 Views

PENGAWASAN DAN AUDIT COKLIT
Oleh: Ruslan Husen

Semarak pengawasan penelitian dan pencocokan (coklit) data pemilih untuk pemilu tahun 2019 kembali dilakukan oleh lembaga Pengawas Pemilu. Setelah pada tanggal 20 Januari – 18 Februari 2018 konsen melakukan pengawasan coklit di daerah yang melaksanakan Pemilihan Kepala Daerah, kini konsentrasi pengawasan diarahkan pada semua daerah yang melaksanakan Pemilu. Gerakan serentak awasi coklit, dengan seragam kaos putih khas Pengawas Pemilu turun ke kelurahan/desa kembali terlihat. Hanya dengan tujuan, memastikan hak konstitusional warga negara terlindungi, sekaligus memastikan keakuratan data pemilih dapat terjamin.

Pentingnya hak konstitusional ini, perancangan Undang-Undang Dasar tidak menginginkan ada warga negara yang terlanggar dan dibatasi hak konstitusinya. Hak konstitusional menurut I Dewa Gede Palguna adalah hak-hak yang dijamin oleh konstitusi atau undang-undang dasar, baik jaminan itu dinyatakan secara tegas maupun tersirat dan seluruh cabang kekuasaan negara wajib menghormatinya.[1] Hak konstitusinal juga menjadi pembatas tindakan pihak lain termasuk negara, dalam mengekang, mengurangi dan membatasi hak konstitusional seseorang.

Jaminan pelaksanaan hak konstitusional warga negara dalam Pemilu, yakni ada pelibatan individu secara langsung untuk menyalurkan hak suaranya dalam bilik suara saat pemungutan suara. Dan, institusi negara dan Penyelenggara Pemilu (KPU dan Bawaslu) harus memberikan jaminan, agar hak itu dapat tertunaikan. Termasuk mengawalnya sampai kepemimpinan hasil suksesi Pemilu ditetapkan sebagai pemenang.

Pengawasan Coklit

Pengawasan pada dasarnya untuk mengamati apa yang sungguh-sungguh terjadi (realitas) serta membandingkannya dengan apa yang seharusnya (idealitas). Bila ternyata ditemukan pelanggaran, maka akan segera dikenali untuk dilakukan koreksi dengan memberi catatan rekomendasi tindaklanjut. Melalui rekomendasi ini, maka pelaksanaan kegiatan diharapkan dapat mencapai tujuan maksimal. Salah satu aspek pengawasan, yakni pemeriksaan yang ditujukan untuk menilai apakah pelaksanaan kegiatan telah sesuai dengan yang seharusnya. Dengan demikian penekanannya lebih pada upaya mengenali pelanggaran di dalam pelaksanaan kegiatan itu.

Pemutakhiran data pemilih yang dilakukan oleh Panitia Pemutakhiran Data Pemilih (Pantarlih) sebagai bagian dari pelaksanaan tugas KPU, merupakan upaya melayani hak konstitusional warga negara dalam menggunakan hak pilihnya. Berikutnya, pengawasan pemutakhiran data pemilih yang dilakukan oleh jajaran Pengawas Pemilu guna memastikan pelaksanaan tugas Pantarlih-KPU sudah sesuai dengan koridor, pedoman dan ketentuan yang berlaku. Semua ini dilakukan sebagai upaya menjamin Daftar Pemilih Tetap (DPT) yang akurat untuk memenuhi pemilu yang demokratis.

Menurut Ramlan Surbakti terdapat tiga parameter yang biasa digunakan untuk menilai DPT memenuhi Pemilu yang demokratis. Pertama, daftar pemilih bersifat komprehensif, yaitu semua warga negara yang berhak memilih terdaftar sebagai pemilih. Kedua, daftar pemilih bersifat mutakhir dalam arti DPT telah disesuaikan dengan perkembangan terkini, yang berhak memilih telah terdaftar sebagai pemilih, dan semua yang terdaftar yang tidak memenuhi syarat misalnya meninggal dunia, pindah domisili atau menjadi warga negara lain telah dikeluarkan dari DPT. Ketiga, daftar pemilih disusun secara akurat dalam artian penulisan identitas dan keterangan lain tentang pemilih dilakukan secara akurat, misalnya ada pemilih penyandang disabilitas.[2]

Pada tanggal 17 April – 17 Mei 2018, kembali dilaksanakan coklit data pemilih untuk pelaksanaan pemilu tahun 2019. Ini dilakukan guna menjamin masyarakat yang memiliki hak pilih agar dapat menyalurkan hak politiknya. Sesuai ketentuan dalam Pasal 4 Peraturan KPU Nomor 11 tahun 2018 tentang Penyusunan Daftar Pemilih di Dalam Negeri Dalam Penyelenggaraan Pemilu, untuk dapat menggunakan hak memilih warga negara Indonesia harus terdaftar sebagai pemilih dengan persyaratan:

  • Genap berumur 17 (tujuh belas) tahun atau lebih pada hari pemungutan suara, sudah kawin, atau sudah pernah kawin;
  • Tidak sedang terganggu jiwa/ingatannya;
  • Tidak sedang dicabut hak pilihnya berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap;
  • Berdomisili di wilayah administratif pemilih yang dibuktikan dengan KTP-el;
  • Dalam hal pemilih belum mempunyai KTP-el, dapat menggunakan Surat Keterangan yang diterbitkan oleh dinas yang menyelenggarakan urusan kependudukan dan catatan sipil setempat; dan
  • Tidak sedang menjadi anggota TNI, atau Polri.

Tentunya Pantarlih sebagai bagian dari jajaran KPU sudah memiliki standar kerja dalam pelaksanaan tugasnya, mereka sudah dibekali dan diberikan peralatan kerja. Demikian juga dengan jajaran Pengawas Pemilu, khususnya Panwaslu Desa/Kelurahan juga tentu memiliki alat kerja pengawasan, yang digunakan mengukur kinerja, baik yang dilakukan sendiri maupun hasil pengawasan atas kerja-kerja Pantarlih.

Petugas coklit dibentuk/ditunjuk oleh PPS di tingkat kelurahan/desa. Sejak Pemilu tahun 2004 hingga pemilu tahun 2019 petugas coklit dilakukan oleh satu orang petugas pada setiap satu TPS. Dalam bekerja petugas coklit diberikan perlengkapan alat tulis, daftar pemilih per TPS untuk di coklit, form pemilih baru untuk menulis bila ada pemilih baru, surat tanda sudah terdaftar serta rumah pemilih ditempel stiker bila sudah terdaftar. Secara teknis kerja, Pantarlih memperbaiki dan mencoret data pemilih pada dokumen daftar pemilih yang telah diberikan. Dokumen daftar pemilih yang telah di coklit serta lembar form daftar pemilih baru diserahkan kepada PPS untuk kemudian diolah oleh PPS hingga KPU Kabupaten/Kota.

Ketentuan-ketentuan demikian, juga penting diketahui Pengawas Pemilu, agar terbangun sinergi dengan Pantarlih di lapangan. Dalam kerja-kerja pengawas pemilu pada tahapan coklit ini, ingin dipastikan kesalahan dalam elemen data pemilih dapat diminimalisir, misalnya :

  • Pemilih yang tidak memenuhi syarat masuk ke dalam daftar pemilih;
  • Pemilih yang memenuhi syarat tidak masuk ke dalam daftar pemilih;
  • Pemilih belum memiliki e-KTP;
  • Pemilih yang data dalam formulir A-KPU bermasalah;
  • Pemilih yang dalam formulir A-KPU berada jauh dari TPS; dan
  • Pemilih yang belum di coklit.

Arti penting fungsi pengawasan jajaran Bawaslu pada tahap pemutakhiran data pemilih, untuk memastikan bahwa tidak ada satupun warga negara yang memiliki hak pilih yang tidak terdata, demikian pula bisa dipastikan bahwa tidak ada satupun warga negara yang tidak memenuhi syarat memilih yang dicantumkan dalam DPS yang akan menjadi DPT.[3]

Upaya menghasilkan data tersebut, Pengawas Pemilu perlu memahami langkah-langkah strategis pengawasan coklit, mulai dari tahap persiapan, tahap pelaksanaan dan tahap pasca pelaksanaan.

Tergambar alur kerja Pantarlih dan Panawas Kelurahan/Desa dengan tugas masing-masing. Pantarlih melaksanakan pemutakhiran data pemilih dengan cara memperbaiki, mencoret dan menambah data pemilih, dan Pengawas melakukan pengawas dan audit coklit. Mereka menjadi ujung tombak KPU dan Bawaslu guna memastikan data pemilih akurat dan minim kesalahan. Dari data inipulah yang dapat menjadi sebab gugatan sengketa hasil di Mahkamah Konstitusi jika banyak kesalahan.

Selain itu, keterlibatan aktif Partai Politik peserta Pemilu, organisasi kemasyarakatan, NGO dan media massa untuk mengingatkan dan mendorong warga negara yang berhak memilih untuk memastikan nama mereka terdaftar dalam DPT secara akurat dengan cara mengecek dan mengajukan perbaikan.

Audit Coklit

Pengawasan coklit oleh jajaran Pengawas Pemilu khususnya Panitia Pengawas Pemilu (Panwaslu) Kelurahan/Desa tujuan utamanya adalah memastikan seluruh pemilih yang memenuhi syarat terdata dan tercoklit dan masuk ke dalam daftar pemilih, dan memastikan Pentarlih mencoret pemilih yang tidak memenuhi syarat di dalam daftar pemilih.

Inilah yang dinamakan audit coklit untuk memeriksa proses dan hasil coklit termasuk pihak yang mencoklit. Panwaslu ingin memastikan Pantarlih-KPU telah melaksanakan tugas sesuai dengan ketentuan. Tentu diawal masa-masa pelaksanaan coklit belum kelihatan maksimalisasi pelaksanaan tugas Pantarlih. Tetapi menjelang 15 hari terakhir selesainya pencoklitan, maka audit coklit dari Panwaslu Kelurahan/Desa dengan supervisi Panwaslu Kecamatan sudah dapat dilakukan. Sekali lagi ini hendaknya dimaknai dalam rangka menjamin keakuratan data pemilih dan menjamin hak konstitusional warga negara untuk memilih.

Pedoman Panduan Pengawasan Coklit Bawaslu RI, disebutkan audit coklit yang dilakukan Panwaslu merekap data per/TPS dengan ikhtisar sebagai berikut :

  • Jumlah rumah yang tidak di coklit;
  • Jumlah rumah yang di coklit tapi tidak ditempel stiker dan pemilihnya tidak diberikan tanda bukti;
  • Jumlah Pantarlih yang tidak mencoklit setiap rumah;
  • Jumlah Pantarlih sebagai anggota/pengurus Parpol; dan
  • Jumlah Pantarlih melimpahkan tugas kepada orang lain.

Data-data dari Panwaslu Kelurahan/Desa tadi hasil pengawasan penyelenggaraan coklit, lalu direkap secara berjenjang di jajaran pengawas tingkat Kecamatan, Kabupaten dan Provinsi untuk selanjutnya dilaporkan kepada Bawaslu RI.

Pos Pengaduan Data Pemilih

KPU secara serentak memulai coklit dengan menggelar ceremony apel siaga coklit data pemilih. Pejabat Daerah setempat bahkan Bawaslu/Panwaslu sendiri terlibat dalam apel siaga tersebut, yang dilanjutkan dengan coklit di hari pertama.

Keberadaan sumber daya Panwaslu Kelurahan/Desa memang terbatas, keberadaan mereka hanya 1 (satu) untuk setiap wilayah Kelurahan/Desa, sementara Pantarlih diadakan berdasarkan jumlah TPS. Dalam satu Kelurahan/Desa bisa puluhan TPS. Melakukan pengawasan melekat dan langsung tentu tidak bisa dilakukan secara merata kepada setiap Pantarlih. Maka menjawab keterbatasan ini, selain supervisi, monitoring dan keterlibatan langsung Panwaslu Kecamatan termasuk jajaran pengawas diatasnya menjadi mutlah dilakukan.

Selain itu, adanya Sekretariat yang dapat dituju oleh masyarakat menyampaikan pengaduan data pemilih, jika sekiranya ada prosedur yang dilanggar atau data mereka belum tercatat dalam daftar pemilih. Makanya penting dibentuk “Pos Pengaduan” data pemilih yang oleh pengawas pemilu diadakan pada setiap Kantor Panwaslu Kecamatan.

Pos pengaduan akan menindaklanjuti setiap laporan/aduan guna memastikan hak konstitusional warga negara terlindungi. Sebab secara normatif Panwaslu Kecamatan dapat menyampaikan rekomendasi tindaklanjut kepada PPK. Dan PPK berkewajiban untuk menindaklanjuti dengan segera rekomendasi dari Panwaslu kecamatan tadi. Demikian pula dengan rekomendasi Panwaslu Kelurahan/Desa, wajib ditindaklanjuti dengan segera oleh PPS.

Catatan Kaki

[1] I Dewa Gede Palguna, 2013, Pengaduan Konstitusional, Upaya Hukum terhadap Pelanggaran Hak-Hak Konstitusional Warga Negara, Sinar Grafika, Jakarta, hlm 111.
[2] Ramlan Surbakti, dkk, 2008, Perekayasa Sistem Pemilu Untuk Pembangunan Tata Politik Demokratis, Kemitraan, Jakarta, hlm. 159.
[3] Kasman Jaya Saad, 2018, Mahalnya Pilkada, Politik Uang dan Ajang Perjudian Elit Lokal, Yapansi, Jakarta, hlm. 45.

Desain Kelembagaan Penegak Hukum Pemilu Serentak 2019

223 Views

Mahkamah Konstitusi pada bulan Maret 2013 telah memutuskan bahwa Pemilihan Umum (Pemilu) serentak untuk memilih anggota legislatif dan eksekutif tingkat nasional akan dilaksanakan pada tahun 2019. Keputusan itu merujuk pada norma penyelenggaraan Pemilu serentak yang disebutkan dalam Pasal 22E ayat (1) UUD 1945 bahwa “Pemilihan umum dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil setiap lima tahun sekali” . Hal dipahami bahwa Konstitusi mengamanatkan hanya ada satu Pemilu dalam kurun waktu lima tahun. Selanjutnya dalam Pasal 22E ayat (2) UUD 1945 dinyatakan, “Pemilihan umum diselenggarakan untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Presiden dan Wakil Presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah”.

Berdasarkan pada materi muatan kedua ayat UUD 1945 tersebut, dapat dipahami bahwa Pemilu yang dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil setiap lima tahun sekali dilaksanakan secara sekaligus (serentak) untuk memilih anggota DPR, DPD, Presiden dan Wakil Presiden dan DPRD. Secara teknis gambaran pelaksanaan Pemilu nantinya akan terdapat lima kotak, yaitu Kotak 1 adalah kotak DPR, kotak 2 adalah kotak DPD, kotak 3 adalah Presiden dan Wakil Presiden, dan kotak 4 adalah DPRD provinsi, kotak 5 adalah DPRD kabupaten/kota.”

Mewujudkan pelaksanaan Pemilu serentak yang jujur dan adil, tentu menjadi tanggungjawab semua pihak, dan perlu didukung dengan sistem penegakan hukum Pemilu yang ditujukan untuk mengatasi masalah-masalah hukum seputar Pemilu. Masalah hukum Pemilu menurut Syamsudin Haris didefinisikan sebagai segala perbuatan hukum yang menyimpang, bertentangan, atau melanggar peraturan perundang-undangan Pemilu dalam pelaksanaan Pemilu, termasuk adanya pihak yang merasa dirugikan dalam pelaksanaan Pemilu tersebut.[1]

Merujuk pada ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilu, masalah hukum Pemilu dapat dikategorikan: Pelanggaran Pemilu dan Sengketa Pemilu. Jenis Pelanggaran Pemilu terdiri dari atas pelanggaran administrasi Pemilu, tindak pidana Pemilu, dan pelanggaran kode etik penyelenggara Pemilu. Sedangkan jenis sengketa terdiri dari atas sengketa proses Pemilu antar-peserta Pemilu dan/atau sengketa peserta Pemilu dengan penyelenggara Pemilu, sengketa Tata Usaha Negara Pemilu, dan perselisihan hasil Pemilu.

Masalah-masalah seputar Pemilu itu, sudah terjadi dalam pelaksanaan Pemilu serentak 2019. Mengatasi masalah adalah keharusan dalam mencapai pelaksanaan Pemilu yang jujur dan adil. Eksistensi perangkat sistem Pemilu yang handal dan diharapkan mampu mengatasi masalah Pemilu tersebut adalah kebutuhan. Perangkat sistem Pemilu itu, menyangkut regulasi Pemilu yang progresif, pelaksana Pemilu yang profesional dan amanah, peran aktif masyarakat mewujudkan Pemilu yang jujur dan adil, serta dukungan  sarana-prasarana Pemilu yang lengkap.

Masalah dalam Proses Pemilu

Sepanjang pengalaman pelaksanaan Pemilu maupun Pemilihan Kepala Daerah, ditemukan sejumlah permasalahan hukum yang turut menyita perhatian stakeholder Pemilu. Masalah ini juga menjadi sandungan dalam perhelatan Pemilu serentak 2019, sehingga perlu antisipasi dengan menyiapkan sistem hukum Pemilu yang progresif. Masalah-masalah dalam proses penegakan hukum Pemilu itu diuraikan sebagai berikut:

a. Tidak Sepaham Bawaslu dan Kepolisian dalam Sentra Gakkumdu

Proses penegakan hukum Pemilu seringkali tidak tuntas karena banyaknya persoalan koordinatif yang tidak tuntas. Permasalahan di lapangan, terdapat pelanggaran pidana yang dismiss karena pihak Bawaslu dan kepolisian tidak sepaham dalam menelaah apakah suatu temuan atau laporan merupakan tindak pidana atau bukan tindak pidana Penilu. Terutama ketentuan yang defenisinya kabur, yang bisa diartikan sempit atau luas.

Bahkan menurut Luky Sandra Amalia, dkk sering terjadi dalam hasil kajian Bawaslu kasus yang ditemukan atau diterima merupakan pelanggaran pidana Pemilu, tetapi ketika dilakukan gelar perkara pihak Kepolisian menyatakan bukan pelanggaran tindak pidana Pemilu. Misalnya, pelanggaran kampanye yang masuk kategori pidana berupa peserta Pemilu yang berkampanye di luar jadwal dan/atau tindakan pemberian uang atau barang kepada Pemilih dengan menyertakan unsur kampanye. Dalam kaitan ini, kadang terjadi perbedaan pandangan dalam menilai iklan peserta Pemilu di media. Sebab dikatakan kampanye jika memasukkan unsur visi, misi dan program peserta Pemilu. Implikasinya, temuan atau laporan pelanggaran hanya berhenti di dalam hasil kajian Bawaslu sesuai tingkatan.[2] Tidak dapat ditindaklanjuti ke pembahasan selanjutnya, akibat perbedaan pandangan tim yang tergabung dalam Sentra Penegakan Hukum Terpadu (Sentra Gakkumdu).

Kenyataan ini mengindikasikan, bukan saja kadang terjadi perbedaan pemahaman/konsep antara Bawaslu dan Kepolisian, tetapi juga karena koordinasi yang efektif kurang berjalan dengan baik meskipun sudah dibentuk suatu Forum bersama untuk menyamakan persepsi tentang pelanggaran Pemilu melalui Sentra Gakkumdu.

Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Atas UU No. 1 Tahun 2015 Tentang Penetapan Perpu No. 1 Tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi Undang-Undang, telah mengatur keberadaan Sentra Gakkumdu dalam penanganan tindak pidana pada Pemilihan. Ketentuan dalam Pasal 152 ayat (1) Undang-Undang ini menyebutkan bahwa “untuk menyamakan pemahaman dan pola penanganan tindak pidana Pemilihan, Bawaslu Provinsi, dan/atau Panwas Kabupaten/Kota, Kepolisian Daerah dan/atau Kepolisian Resor, dan Kejaksaan Tinggi dan/atau Kejaksaan Negeri membentuk penegakkan hukum terpadu”. Demikian pula ketentuan serupa ditemukan dalam ketentuan Undang-Undang Nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilihan Umum.

Sentra Gakkumdu merupakan Kelompok Kerja yang terdiri dari 3 (tiga) lembaga, yaitu Lembaga Pengawas, Kepolisian, dan Kejaksaan. Ketiga lembaga tersebut nantinya akan menyatu dalam menindak-lanjuti dugaan terjadinya tindak pidana pada Pemilu serentak. Meskipun pada dasarnya ketiga lembaga tersebut memiliki fungsi dan tugas yang berbeda, yaitu Lembaga Pengawasan berfungsi untuk melakukan pengawasan dalam penyelenggaraan Pemilu dan menindaklanjuti atas dugaan pelanggaran yang terjadi di dalamnya, Kepolisian berfungsi untuk melakukan penyelidikan dan penyidikan, serta Kejaksaan berfungsi untuk melakukan penuntutan, sebagaimana diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukuk Acara Pidana (KUHAP).

b. Temuan Bawaslu Tidak Ditindaklanjuti KPU

Persoalan koordinasi juga ditemukan dalam penanganan pelanggaran administrasi, di mana hasil kajian Bawaslu yang diteruskan ke KPU sering kali tidak ditindaklanjuti. Ini dapat diprediksi karena KPU sebagai pemegang fungsi pelaksana Pemilu tentu memiliki beban kerja yang cukup berat, sehingga berimplikasi pada mengendapnya rekomendasi atau hasil kajian Bawaslu di KPU tanpa ditindaklanjuti sebagaimana mestinya.[3]

Selain itu, pemeriksaan masalah hukum yang dilakukan oleh Bawaslu dengan KPU sebagai aktor yang berbeda, kadang berimplikasi pada keterpaduan hukum Pemilu. Peluang inkonsistensi putusan atas penyelesaian masing-masing persoalan hukum kadang tidak bisa dihindari. Misalnya, KPU memiliki pandangan lain atau berbeda pandangan tentang hasil kajian Bawaslu yang berimplikasi pada eksekusi atas masalah hukum yang dihadapi. Jadilah rekomendasi Bawaslu tanpa tindaklanjut KPU.

Secara normatif, ada keharusan bagi KPU untuk menjalankan rekomendasi Bawaslu, apalagi perintah Bawaslu yang diputuskan lewat putusan sidang Pelanggaran Administrasi Pemilu. Bahkan ada ancaman sanksi yang bisa dikenakan kepada KPU jika tidak menindaklanjuti apa yang menjadi rekomendasi atau putusan Bawaslu. Sanksi itu dapat berupa pelanggaran kode etik penyelenggara Pemilu dan sanksi pidana Pemilu.

c. Putusan DKPP Tidak Dipertimbangkan dalam Sengketa Hasil di MK

Ketika Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) memutuskan bahwa pelanggaran etika telah terjadi, kerap kali putusan itu hanya berhenti pada penyelenggara Pemilu tanpa dipertimbangkan dalam penyelesaian sengketa lainnya yang melibatkan penyelenggara Pemilu dimaksud. Misalnya putusan DKPP tentang penyelenggara Pemilu yang bermasalah tidak menjadi bagian pertimbangan dalam pemeriksaan sengketa hasil di Mahkamah Konstitusi.[4]

Mahkamah Konstitusi diharapkan mengedepankan pencapaian keadilan substantif dalam memeriksa dan memutus perkara sengketa hasil Pemilu, ketimbang keadilan prosedural yang sifatnya “angka-angka” sebagaimana dalam sengketa hasil Pemilukada. Diharapkan MK tidak hanya melihat persoalan selisih perolehan suara dalam rentang 0,5 sampai 2 persen (ambang batas selisih suara) baru dapat memeriksa pokok permohonan sengketa, sebab banyak praktek kecurangan yang terjadi dan mengakibatkan selisih suara bisa lebih besar dari ambang batas suara yang sudah ditetapkan.

Ketatnya persyaratan sebuah permohonan sengketa hasil Pemilu dapat diterima oleh MK membuat para pihak yang tidak puas mencari jalan untuk melanjutkan perjuangan mereka, yaitu dengan cara mengadukan kasusnya ke DKPP. Jimly Asshiddiqie  menilai, tidak selayaknya MK mengatur persyaratan yang terlalu ketat, Jika MK menutup diri, saluran sengketa itu akan beralih ke tempat lain, dalam hal ini ke DKPP jadinya.[5] Para pihak sering kali mencari-cari akar permasalahan dengan mengaitkan dengan pelanggaran etik, berupa mencari alasan-alasan, dikait-kaitkan dengan pelanggaran kode etik dan tidak profesionalnya penyelenggara Pemilu.

Penegakan hukum Pemilu memiliki karakteristik khusus, diantaranya berupa limitasi waktu penanganan yang singkat. Tim Sentra Gakkumdu harus mempergunakan waktu yang ditentukan dengan efesien. Ini dapat dipahami bahwa tahapan Pemilu tetap berjalan, tanpa terganggu atas proses penegakan hukum yang sedang dilakukan Gakkumdu.

Undang-Undang Nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilu telah mengatur secara rinci proses penanganan pelanggaran administrasi, pelanggaran kode etik Penyelenggara Pemilu, dan tindak pidana Pemilu. Pada tabel di bawah ini dapat ditunjukkan lembaga-lembaga (Bawaslu, Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi, KPU dan DKPP) yang berwenang menangani pelanggaran pidana Pemilu, yang juga mengatur batasan waktu penanganan pelanggaran pidana Pemilu.

Melihat desain jangka waktu penegakan hukum Pemilu bagi pelanggaran pidana Pemilu di atas, dapat dikatakan aturan penyelesaian hukum yang cepat (fast track) karena jangka waktu yang diberikan untuk memprosesnya juga singkat. Bahkan untuk memastikan penanganan cepat ini berjalan sebagaimana mestinya, Bawaslu membuat Memorandum of Understanding (MoU) dengan pihak Kepolisian dan Kejaksaan dengan membuat suatu forum bersama yang disebut dengan Sentra Penegakan Hukum Terpadu (Gakkumdu). Di mana Bawaslu dapat menyampaikan hasil kajiannya secara langsung pada Kepolisian untuk diproses dan dilimpahkan langsung pada Kejaksaan untuk diperiksa di Pengadilan.

Penanganan pelanggaran Pemilu memang perlu dibatasi waktunya, mengingat pelanggaran ini terjadi dalam pelaksanaan tahapan Pemilu yang sudah terjadwal. Namun demikian, tidak semua jenis pelanggaran Pemilu perlu dibatasi waktunya. Selain karena sifat pelanggaran itu memang membutuhkan waktu lama untuk membuktikannya, juga pelanggaran itu tidak mempengaruhi pelaksanaan tahapan Pemilu.

Hal ini terutama terjadi dalam penangananan tindak pidana Pemilu. Untuk membuktikan ada-tidaknya tindak pidana perlu dilakukan penyelidikan dan penyidikan yang tidak gampang karena hukum acara pidana Pemilu membutuhkan bukti-bukti dan saksi-saksi kuat agar semua unsur tindak pidana bisa dibuktikan di Pengadilan.

Selain itu, sanksi tindak pidana biasanya jatuh ke perseorangan, sehingga tidak perlu dikhawatiran jatuhnya sanksi akan mengganggu pelaksanaan tahapan Pemilu. Misalnya, dalam tahapan pencalonan terdapat perkara pidana Pemilu yang menjerat seorang calon, maka biarkan saja Kepolisian, Kejaksaan, dan Pengadilan memproses perkara tersebut, tanpa terpengaruh oleh jadwal Pemilu. Katakanlah pelaksanaan Pemilu terus berlanjut hingga sampai tahapan penetapan hasil Pemilu, yang mana calon tersebut ditetapkan sebagai calon terpilih. Baru kemudian datang putusan Pengadilan yang menyatakan bahwa calon terbukti melanggar ketentuan pidana sehingga dijatuhi sanksi. Dengan dinyatakan bersalah atas perkara yang muncul pada tahapan pencalonan, maka calon bersangkutan tidak bisa dilantik. Statusnya sebagai calon terpilih otomatis gugur, dan kursinya digantikan oleh calon lain yang berhak.

d. Sanksi hukum sangat ringan

Proses penegakan hukum Pemilu yang demikian panjang dan kontrol administrasi penindakan yang ketat, kadang tidak sebanding dengan vonis Hakim di Pengadilan. Dari banyak kasus pidana Pemilu yang diputus di persidangan, mayoritas dikenai sanksi pidana percobaan. Padahal efek dan ekspektasi publik untuk pelaku dikenai sanksi tegas dan berat berujung dengan hasil vonis pidana percobaan.

Konsekwensi penjatuhan hukuman percobaan ini berangkat dari norma sanksi dalam UU Pemilu yang mengancam pelaku dengan sanksi/hukuman yang minimal. Nampak ada pertimbangan pembentuk Undang-Undang untuk tidak memberikan sanksi pidana yang berat. Proses kontestasi Pemilu bisa saja sudah berakhir, tetapi pesakitan masih mendekam di tahanan. Itu kelihatannya yang dihindari. Sehingga penjatuhan sanksi lebih mengarah kepada sanksi sosial, bahwa perbuatan yang dilakukan adalah salah/melanggar hukum hingga di kenai sanksi pidana.

Proses penegakan hukum pidana Pemilu yang panjang tersebut, diharapkan memberi efek jera kepada pelaku yang harus koperatif menghadiri pemeriksaan dan persidangan. Disinilah beban moral dan sosialnya. Sebab jika tersangka atau terdakwa tidak hadir dalam pemeriksaan dan persidangan, kasus yang menjeratnya tetap bisa dilanjutkan, ini dengan dikenal dengan pengadilan in absensia.

Alternatif Solusi

Penegakan hukum dapat dikaitkan dengan pengertian ‘law enforcement’ dalam arti sempit, sedangkan penegakan hukum dalam arti luas (arti hukum materiel) diistilahkan dengan penegakan keadilan. Jimly Asshiddiqie mengartikan penegakan hukum sebagai proses dilakukan untuk tegaknya atau berfungsinya norma-norma hukum secara nyata sebagai pedoman perilaku dalam lalu lintas atau hubungan-hubungan hukum dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara.[6]

Lawrence Meir Friedman[7] mengungkapkan bahwa penegakan hukum ditentukan dan dipengaruhi oleh unsur-unsur dalam sistem hukum (elements of legal system) yakni : Struktur hukum meliputi institusi dan aparat penegak hukum; Substansi hukum meliputi aturan, norma dan perilaku nyata manusia; Budaya hukum meliputi kepercayaan, nilai, pemikiran serta harapannya. Selanjutnya Soerjono Soekamto mengembangkan teori tersebut dengan menyebutkan masalah pokok penegakan hukum terletak pada faktor-faktor yang mempengaruhinya, yakni: Hukumnya sendiri, Penegak hukum, Sarana dan fasilitas, Masyarakat dan Kebudayaan. Kelima faktor tersebut saling berkaitan dengan eratnya sebagai kesatuan sistem, oleh karena merupakan esensi dari penegakan hukum yang juga merupakan tolak ukur dari pada efektivitas penegakan hukum.[8]

Mengacu pada teori sistem penegakan hukum tersebut, menjadikan penegakan hukum Pemilu juga tidak bisa dipisahkan dari teori itu. Artinya, mewujudkan Pemilu yang jujur dan adil butuh dukungan sumber daya pelaksana Pemilu yang profesional dan berintegritas, regulasi Pemilu yang progresif, peran serta masyarakat dan sarana-prasarana Pemilu yang lengkap.

Pertama, KPU SebagaiPelaksana, Pengawas dan Penindak Pelanggaran. Secara normatif, KPU, Bawaslu, dan DKPP, sebagai lembaga Penyelenggara Pemilu yang merupakan satu kesatuan fungsi Pemilu.[9] KPU dan jajarannya selaku Penyelenggara Pemilu berwenang menjatuhkan sanksi terhadap para pelaku pelanggaran administrasi Pemilu yang disampaikan Pengawas Pemilu. DKPP berwenang menjatuhkan sanksi atas pelanggaran kode etik penyelenggara Pemilu. MK berwenang menyelesaikan perselisihan hasil Pemilu.

Demikian pula dengan Bawaslu dan jajarannya selaku pengawas berwenang memastikan ada-tidaknya pelanggaran Pemilu, dan jika ternyata ada pelanggaran Pemilu merekomendasikan kepada instansi lain yang berwenang untuk ditindaklanjuti. Bersama dengan jajaran Kepolisian, Kejaksaan, dan Lembaga Peradilan yang masing-masing berwenang menyidik, mendakwa, dan menjatuhkan vonis pelanggaran Pemilu yang terjadi dalam setiap tahapan Pemilu. Bawaslu, Kepolisian dan Kejaksaan tergabung dalam forum bersama yang disebut Sentra Gakkumdu.

Berangkat dari dinamika penegakan hukum Pemilu selama ini. Bawaslu dan jajarannya yang melaksanakan fungsi pengawas Pemilu dengan melakukan pengkajian ada-tidaknya pelanggaran, menurut Didik Supriyanto sebetulnya hanya menambah birokrasi dan waktu penanganan pelanggaran Pemilu. Hal ini terjadi karena hasil kajian pengawas pemilu (Bawaslu) tidak otomatis dibenarkan dan ditindaklanjuti oleh Kepolisian, KPU, dan DKPP. Ketiga lembaga tersebut tetap melakukan kajian dan penyelidikan sendiri untuk memutuskan ada-tidaknya pelanggaran atau tindak pidana Pemilu. Jika hasilnya sama dengan kajian Bawaslu, pengkajian dua kali ini adalah inefesiensi. Sedangkan jika hasilnya tidak sama, maka selain inefesiensi, juga menimbulkan perdebatan di antara lembaga penegak hukum Pemilu tersebut secara terbuka, sehingga dapat mendegradasi kepercayaan dan integritas lembaga penegak hukum Pemilu itu di mata publik.[10]

Oleh karena itu, akan lebih baik jika fungsi lembaga pengawas pemilu yang dilaksanakan oleh Bawaslu sebagai pengkaji ada-tidaknya pelanggaran, bisa dipikirkan untuk dihilangkan saja. Sehingga jika terjadi pelanggaran administrasi, pelapor bisa langsung mengadu ke KPU. Jika terjadi tindak pidana Pemilu, pelapor bisa langsung mengadu ke kepolisian. Serta jika terjadi pelanggaran kode etik penyelenggara Pemilu, pelapor bisa langsung mengadu ke DKPP.

Senada dengan hal itu, Topo Santoso mengusulkan agar peran pengawasan dan penindakan yang dilaksanakan oleh Bawaslu dimasukkan dalam fungsi KPU, sehingga KPU memegang fungsi pelaksana, fungsi mengawasi dan menindak pelanggaran. Model kelembagaan ini seperti yang dipraktekkan di KPU Thailand, agar tidak ada lagi gontok-gontokan antara KPU dan Bawaslu serta diharapkan pengawasan bisa efektif dan tidak berbenturan dengan penyelenggara Pemilu yang lain.[11]

Konsep ini tidak hanya memotong birokrasi penanganan pelanggaran dan tindak pidana Pemilu, tetapi bisa meningkatkan efesiensi penggunaan dana Pemilu, serta bisa menghindari terjadinya degradasi reputasi penyelenggara Pemilu akibat perdebatan ada-tidaknya pelanggaran di antara mereka. Lebih dari itu, jika pelaporan pelanggaran bisa langsung ditangani KPU, kepolisian, dan DKPP, maka hal ini bisa merangsang meningkatkan partisipasi masyarakat, pemilih, calon dan partai politik dalam menegakkan hukum Pemilu. Sebab selama ini, terdapat stigma bahwa mereka merasa tidak perlu terlibat dalam pengawasan dan penegakan hukum Pemilu, karena sudah ada Bawaslu dan jajarannya yang menangani pengawasan itu.

Kedua, Penguatan Fungsi Pengawasan Bawaslu. Ditelisik secara historis, masalah pokok Bawaslu adalah pada fungsinya yang terbatas dan sempat diwacanakan untuk dibubarkan karena hanya menjadi “lembaga pelengkap” Pemilu yang ketika Ia ada hanya membebani keuangan negara/daerah, dan ketika Ia tidak ada maka Pemilu tetap dapat berjalan. Sejak Pemilu 1982 hingga Pemilu 2014, fungsi Bawaslu tidak banyak berubah, yakni: (1) mengawasi tahapan pelaksanaan pemilu; (2) menerima laporan pelanggaran; (3) meneruskan laporan pelanggaran ke instansi berwenang, dalam hal ini ke Penyelenggara Pemilu bila terjadi pelanggaran administrasi, dan ke kepolisian bila terjadi tindak pidana pemilu; serta (4) menyelesaikan sengketa dalam penyelenggaraan pemilu.

Sekaitan dengan fungsi Bawaslu itu, Didik Supriyanto, dkk menyebutkan fungsi pertama tidak ubah fungsi pemantauan sebagaimana dijalankan lembaga pemantau Pemilu, karena di sini lembaga pengawas pemilu hanya mengeluarkan pernyataan tentang ada tidaknya masalah dalam pelaksanaan tahapan Pemilu. Fungsi kedua dan ketiga, memposisikan lembaga pengawas
Pemilu sebagai petugas kantor pos, karena hanya mengantarkan hasil kajian tentang adanya pelanggaran ke KPU atau Kepolisian. Sedang fungsi keempat, disayangkan keputusan lembaga pengawas tidak mempunyai kekuatan mengikat. [12]

Jika penyederhanaan aktor penegakan hukum Pemilu berupa fungsi Bawaslu sebagai pengawas dilaksanakan KPU belum dapat terwujud sebagaimana diuraikan pada bagian pertama diatas. Maka patut dipikirkan adalah penguatan fungsi pengawasan yang dimiliki Bawaslu, agar putusannya memiliki daya eksekusi dengan sifat final dan mengikat tanpa harus dilimpahkan lagi ke lembaga lain, kecuali sengketa Tata Usaha Negara (TUN) yakni penetapan partai politik, calon tetap Presiden dan Wakil Presiden dan calon tetap anggota legislatif. Secara teknis, proses yang semula dilaksanakan dan menjadi kewenangan PTUN untuk sengketa TUN, dan Kepolisian yang menyangkut pelanggaran tindak pidana Pemilu kemudian dialihkan dan menjadi kewenangan Bawaslu untuk memutusnya, dan keputusan Bawaslu itu bersifat final dan mengikat.

Pengecualian sengketa TUN yang masih bisa diajukan ke Pengadilan Tinggi TUN, itu sebatas sengketa yang disebabkan oleh keputusan KPU tentang penetapan Partai Politik peserta pemilu, daftar calon tetap Presiden dan Wakil Presiden, dan calon tetap anggota Legislatif. Artinya, di luar kasus sengketa yang disebabkan oleh tiga keputusan KPU tersebut, keputusan Bawaslu dan jajarannya dalam menyelesaikan sengketa bersifat final dan mengikat, yakni terkait dengan pelanggaran administrasi dan tindak pidana Pemilu, serta sengketa administrasi.

Secara teknis, untuk ketiga jenis sengketa itu semua terlebih dahulu harus melalui penyelesaian oleh Bawaslu, dengan mengeluarkan keputusan penyelesaian sengketa TUN. Namun, jika tidak dapat diselesaikan oleh Bawaslu berupa KPU tidak mau melaksanakan keputusan Bawaslu tersebut. Maka KPU harus melakukan upaya hukum dalam menolaknya, tidak bisa secara sepihak dengan tidak melaksanakan saja. Upaya hukum itu dilakukan dan diselesaikan melalui jalur Pengadilan Tinggi TUN.

Demikian pula dalam pelanggaran tindak pidana Pemilu, yang selama ini diselesaikan dalam Sentra Gakkumdu (forum bersama Bawaslu, Kepolisian dan Kejaksaan) kemudian dilimpahkan ke Pengadilan. Kaitannya dengan penguatan fungsi Bawaslu sebagai ius constituendum, maka perlu dipikirkan pengalihan kewenangan lembaga tersebut, dengan penguatan fungsi pengawasan Bawaslu yang dilengkapi dengan fungsi kehakiman. Berupa putusan Bawaslu bersifat eksekutorial dalam pelanggaran tindak pidana Pemilu tadi. Bawaslu berwenang dalam menerima, memeriksa dan memutus pelanggaran tindak pidana Pemilu, dan putusannya bersifat final dan mengikat.

Adapun tindak pidana yang sifatnya kejahatan dalam penyelenggaraan Pemilu, tetapi menjadi kewenangan Kepolisian untuk melakukan penyidikan dan dilakukan menurut Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Termasuk, kewenangan Kejaksaan melakukan penuntutan dan Pengadilan lewat Hakim menjatuhkan vonis.

Kewenangan Bawaslu dalam penegakan hukum Pemilu, secara khusus (lex spesialis) menyelesaikan sengketa pelanggaran pidana Pemilu sebelum penetapan hasil hendaknya mengerucut pada perubahan legsilasi yang mengatur seputar Pemilu dan lembaganya. Disadari upaya itu tidaklah mudah, butuh kajian mendalam dan upaya politik yang kuat mewujudkannya.

Penutup

Sebagai negara hukum  yang penyelenggaraan kekuasaan Pemerintahan didasarkan atas hukum yang mewujud dalam bentuk peraturan tertulis (Undang-Undang). Tentu desain kelembagaan penegak hukum Pemilu ke depan merupakan produk legislasi yang sudah melalui proses pembahasan bersama DPR dan Pemerintah dengan pelibatan masyarakat. Politik hukum legislasi itu ideal berangkat dari konsepsi penataan sistem demokrasi dan pemerintahan untuk menghadirkan pemimpin yang berkualitas dan berintegritas.

Upaya penegakan hukum yang independen, transparan dan bermartabat menjadi harapan dan dambaan masyarakat. Untuk itu, menjadi tanggung jawab bersama mewujudkan harapan masyarakat dengan bekerja secara professional dan berintegritas tinggi dalam penindakan pelanggaran Pemilu.

Catatan Kaki


[1] Syamsudin Haris (Editor), 2016, Pemilu Nasional Serentak 2019, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, hlm. 145.

[2] Luky Sandra Amalia, dkk, 2016, Evaluasi Pemilu Legislatif 2014; Analisis, Proses dan Hasil, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, hlm. 116.

[3] Ibid, hlm. 116.

[4] Ibid, hlm. 117.

[5] Jimly Asshiddiqie, 2017, MK Diminta Beri Keadilan Substantif, Kompas 18 Maret 2017.

[6] Jimly Asshiddiqie, Penegakan Hukum, Sumber: www.jimly.com/makalah/namafile/56/Penegakan_Hukum.pdf, diakses 14 Mei 2017.

[7] Lawrence Friedmann dalam Achamd Ali, 2005, Keterpurukan Hukum di Indonesia; Penyebab dan Solusi, Ghalia Indonesia, Bogor, hlm 1.

[8] Soerjono Soekanto, 2011, Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, Raja Grafindo Persada, Jakarta, hlm 5.

[9]Lusy Liany, 2016, Desain Hubungan Kelembagaan Penyelenggara Pemilihan Umum, Jurnal Cita Hukum, Vol.4 No.1, Fakultas Syariah dan Hukum UIN Jakarta, hlm. hlm. 54.

[10]Didik Supriyanto, 2014, Sistem Penegakan Hukum Pemilu, Perludem, Jakarta, hlm. 6.

[11]Topo Santoso dalam Luky Sandra Amalia, dkk, 2016, Op Cit, hlm. 121.

[12]Didik Supriyanto, Veri Junaidi, Devi Darmawan, 2012, Penguatan Bawaslu; Optimalisasi Posisi, Organisasi, dan Fungsi dalam Pemilu 2014, Perludem, Jakarta, hlm. 54-55.

File PDF, dapat didownload di bawah ini :

[sdm_download id=”725″ fancy=”0″]

[sdm_download_counter id=”725″]