Menuju Pilkada Serentak Tahun 2020

279 Views

MENUJU PILKADA SERENTAK TAHUN 2020
(Eksistensi Pengawas Pemilu  pada Pilkada Serentak Episode ke-4 dan
Ancaman “Romantisme Publik”)

Oleh : Ahmad S. Mahmud, S.Ip., M.AP.
( Tenaga Pendukung Bawaslu Prov. Sulawesi Tengah )

Komisi Pemilihan Umum (KPU) telah menyusun Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) Tentang Tahapan, Program dan Jadwal Penyelenggaraan Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan wakil Bupati, Walikota dan wakil Walikota Tahun 2020 serta telah ditetapkan dan diundangkan, yaitu PKPU Nomor 15 Tahun 2019. Dengan begitu artinya tahapan Pilkada Serentak Gelombang ke-4 akan segera dimulai. Selain itu, sebagai tanda akan segera dimulainya Pilkada dapat kita lihat dengan mulai bertebarannya Bahan Sosialisasi diri bakal calon yang akan mencoba peruntungan dalam kontestasi Pilkada di pada ruang-ruang publik saat ini.

Pada Pilkada serantak Tahun 2020 akan diselenggarakan Pemilihan Kepada Daerah (Pilkada) di 270 Daerah, Meliputi 9 Provinsi, 224 Kabupaten dan 37 Kota di Indonesia. Pilkada Tahun 2020 merupakan Pilkada serentak Gelombang ke 4 atau bisa dikatakan Pilkada Serentak Episode Ke-4, Pilkada serentak Pertama kali dilaksanakan Tahun 2015, Gelombang kedua dilaksanakan Tahun 2017 dan Gelombang ketiga dilaksanakan pada Tahun 2018.

Berdasarkan PKPU 15 Tahun 2019 tahapan Pilkada Serentak Episode Ke-4 dimulai dari Persiapan meliputi Perencanaan  Program yang akan dimulai 30 September 2019, sedangkan untuk Pelaksanaan Pemungutan Suara dan Penghitungan Suara di TPS untuk Pilkada Serentak Tahun 2020 akan Serentak  dilaksanakan pada 23 September 2020.

Terkait eksistensi Pengawas Pemilu  dalam menghadapi Pilkada tentunya tidak perlu diragukan lagi.! Ya,sudah 3 kali pengalaman dalam mengawal Pilkada Serentak mulai Pilkada serentak Tahun 2015, Pilkada serentak Tahun 2017 dan Pilkada serentak 2018. Apalagi Pengawas Pemilu  baru saja sukses mengawasi Pemilu  serentak Pertama kali di republik ini yang menggabungkan Pemilu Legislatif dan Pemilu Presiden dan Wakil Presiden atau Pemilu “Lima Kotak”, dan jaraknya hanya kurang lebih dua Bulan dengan dimulainnya tahapan penyelenggaraan  Pilkada Serentak Tahun 2020 dan Pengawas Pemilu  berhasil menjaga trust publik dan sukses merebut “hati” publik termasuk peserta Pemilu melalui eksistensinya dalam melakukan Pengawasan Pemilu serentak Tahun 2019.

Catatan kesuksesan dalam mengawasi Pemilu Serentak Pertama yang berdampak pada kepercayaan publik tersebut bukan pernyataan sepihak, berdasakan Penelilian Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesi (LIPI) kepercayaan publik terhadap integritas Bawaslu dan Jajarannya sangat baik. Dalam rilis hasil Riset LIPI tersebut 83,8% responden percaya bahwa Bawaslu dan jajarannya melaksanakan tugasnya dengan baik, ada 9,3% responden tidak percaya dan terdapat 6,9% responden tidak menjawab, Kepercayaan terhadap Pengawas Pemilu dalam hal ini Bawaslu dan jajarannya berada satu digit diatas KPU dan jajarannya, yang memperoleh angka 82,5%.

Namun tunggu dulu, hal itu selain menjadi nilai positif juga bisa saja memiliki dampak negatif terhadap eksistensi Pengawas Pemilu serta trust publik, sehingga dapat menjadi paradoks bagi Pengawas Pemilu dalam menjaga eksistensinya dalam mengawal Pilkada Serentak Tahun 2020.

Berdasarkan Undang-Undang Pilkada, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015, sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 Pengawas Pemilu  khususnya di tingkat Provinsi dan Kabupaten/Kota, sebagaimana diatur dalam Pasal 28 dan Pasal 30 Undang-Undang tersebut memiliki kewenangan di antaranya : Pertama, mengawasi tahapan penyelenggaraan Pemilihan; Kedua, mengelola, memelihara, dan merawat arsip/dokumen; Ketiga, menerima laporan dugaan pelanggaran terhadap pelaksanaan peraturan perundang-undangan mengenai Pemilihan; Keempat, menyampaikan temuan dan laporan kepada KPU Provinsi untuk ditindaklanjuti; Kelima, meneruskan temuan dan laporan yang bukan menjadi kewenangannya kepada instansi  yang berwenang; Keenam, mengawasi pelaksanaan tindak lanjut rekomendasi Bawaslu tentang pengenaan sanksi kepada anggota KPU Provinsi, sekretaris dan pegawai sekretariat KPU Provinsi yang terbukti melakukan tindakan yang mengakibatkan terganggunya tahapan penyelenggaraan Pemilihan yang sedang berlangsung; Ketujuh, mengawasi pelaksanaan sosialisasi penyelenggaraan Pemilihan; dan melaksanakan kewenangan lainnya yang diberikan oleh peraturan perundang-undangan.

Terdapat beberapa kewenangan yang notabene sebagai “mahkota” dalam melakukan penindakan yang hanya dimiliki dalam rezim Pemilu. Selain penguatan kelembagaan Pengawas Pemilu dalam Undang-Undang Pemilu memiliki kewenangan Yaitu Memutus Pelanggaran Administratif Pemilu dan Sengketa Pemilu; Memutus Pelanggaran Administratif Pemilu yang bersifat Terstruktur, Sistematis dan Masif (TSM) dan dapat memberikan sanksi diskualifikasi, dalam Pilkada kewenangan tersebut juga ada, namun terbatas pada pelanggaraan administratif Politik Uang; serta beberapa kewenagan besar lainnya dan juga memiliki porsi waktu yang lebih longgar dalam melakukan penanganan dugaan pelanggaran.

Singkatnya, dalam rezim Pemilu Pengawas Pemilu tidak hanya bertindak sebagai pengawas, namun juga memiliki wewenang eksekutorial terhadap pelanggaran administartif dan sengketa Pemilu, sehingga prodak dari hasil penanganan pelanggaran adalah putusan yang jika dalam Pilkada hanya berupa rekomendasi. Dan tidak dapat dipungkiri kewenangan-kewenangan tersebut menjadi daya tarik dan “pemikat hati” publik sehingga dapat membangun trust public terhadap eksistensi Pengawas Pemilu.

Paling tidak, berdasarkan kewenangan baru dalam Undang-Undang Pemilu Pengawas Pemilu bukan lagi “macan ompong” seperti Stereotipe yang berkembang di Publik dimasa lalu yang dialamatkan kepada Pengawas Pemilu karena lemahnya kewenagan yang dimiliki, atau katakan saja “tukang pos” yang menjadi istilah yang sering dialamatkan kepada lembaga Pengawas Pemilu dikarenakan tidak memiliki wewenang eksekutorial terhadap laporan maupun temuan hasil pengawasannya khususnya pelanggaran administratif, Pengawas Pemilu cukup meneruskan laporan/temuan hasil pengawasannya ke instansi berwenang. Dalam mengarungi Pemilu 2019, Bawaslu hadir dengan “wajah baru” memiliki kelembagaan yang kuat dengan kewenangan yang besar, Pengawas Pemilu berhasil mendapat bargaining position dalam penyelenggaraan Pemilu Tahun 2019.

Perlu dicatat, Publik terlanjur terbiasa dengan eksistensi Pengawas Pemilu  pada Penyelenggaraan Pemilu Tahun 2019 dengan kuatnya kewenangan yang diberikan melalui Undang-Undang 7 Tahun 2019. Sehingga, romantisme Publik terhadap pelaksanaan tugas fungsi dan kewenangan dalam Pemilu menjadikan banyak harapan besar publik dititipkan pada Pengawas Pemilu. Publik tidak cukup memahami bahwa ada kewenanganan berbeda pada rezim Pemilu dan rezim Pemilihan/Pilkada dimana Pengawas Pemilu memiliki kewenangan yang cenderung terbatas. Maka perlu disadari, dengan begitu keadaan ini bisa saja berdampak pada kekecewaan publik, karena begitu besar ekspektasi yang dititipkan kepada Pengawas Pemilu.

Tidak hanya Publik, Pengawas Pemilu  juga jangan sampai terjebak dalam romantisme tersebut, apalagi terlalu nyaman dengan ueforia, walapun saat ini Bawaslu RI telah mengajukan usulan perubahan terbatas Undang-Undang Pilkada, Jika memang akan ada revisi tentunya itu merupakan kabar gembira, namun demikian jika memang akan dilakukan revisi maka tidak bisa dalam waktu singkat, sementara Tahapan Pilkada sudah di depan mata.

Selain itu, tidak ada jaminan Undang-Undang Pilkada akan disetujui untuk dilakukan Revisi saat ini, seandainnya memang tidak ada revisi saat ini terhadap Undang-Undang Pilkada maka kondisi perbedaan kewenangan yang cenderung terbatas pada Pilkada sudah tentu sedikit banyak berdampak pada performance Pengawas Pemilu, dalam keadaan demikian dalam mengarungi Pilkada serentak Episode Ke-4 ini, Pengawas Pemilu setidaknya harus mempersiapakan diri sebaik mungkin untuk menjaga eksistensinya agar tetap mendapat trust publik.

Melakukan persiapan yang matang, melakukan Mapping, Mitigasi dan ekseskusi kebijakan Pengawasan dengan baik. Selain itu, penting untuk tetap intens memberikan pemahaman keadaan “keterbatasan” yang dimiliki kepada publik dalam konteks pengawasan dan penindakan. tetap menjaga  trust publik melalui kerja-kerja dengan performa terbaik, agar tidak ada lagi “macan ompong”, agar tidak ada lagi “tukang pos”, agar romanstisme tersbut bisa terjaga dan tetap berlanjut, Dan akhirnya Pilkada Episode Ke-4 “masih” berakhir dengan Happy Ending dan Ceria, Not Sad Ending. Semoga.!

Pernah terbit di Harian Radar Sulteng, edisi 2 September 2019.

Kendala Penindakan Pidana Pilkada

281 Views

Palu. Masa penanganan pidana pemilu pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota harus diselesaikan dalam waktu 5 hari kalender, turut menjadi kendala penindakan pelanggaran pidana pemilihan. Ketentuan masa penanganan ini merujuk pada UU 10/2016 (UU Pilkada). Waktu penanganan pelanggaran itu dirasa singkat, apalagi menggunakan perbandingan waktu penanganan pelanggaran pemilu selama 14 hari kerja yang diatur dalam 7/2017 (UU Pemilu).

Demikian Koordinator Gakkumdu RI, Ratna Dewi Pettalolo sampaikan di salah satu hotel kota Palu, dalam kegiatan Evaluasi Gakkumdu Pemilu 2019 pada Senin (19/8). “Perbedaan masa penanganan ini berakar pada payung hukum pelaksanaan Pemilu tahun 2019 yang berbeda dengan payung hukum pelaksanaan Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota,” terang Ratna Dewi.

Kendala lain yang berpotensi menjadi hambatan pelaksanaan Gubernur, Bupati dan Walikota, menurut anggota Bawaslu ini, soal status kelembagaan Bawaslu Kab/Kota yang diatur dalam UU Pemilu telah bersifat permanen, tapi dalam pelaksanaan Pemilihan Kepala Daerah dengan rujukan UU 10/2016 kelembagaan pengawas pemilu di tingkatan Kab/Kota bernama Panwaslu yang bersifat ad hoc. Bawaslu Kab/Kota saat ini dibentuk sesuai dan untuk melakukan kewenangan pengawas pemilu sesuai dengan UU Pemilu.

“Perlu ada langkah cepat meminta fatwa Mahkamah Agung yang pada pokoknya kelembagaan Panwaslu Kab/Kota yang disebutkan dalam UU 10/2016 disamakan dengan kelembagaan Bawaslu sebagaimana disebutkan dengan UU 7/2017 tentang Pemilu,” terang Ratna Dewi.

Selain itu, menurut Dosen Universitas Tadulako Palu ini juga menganggap perlu ada inisiasi ke pembentuk undang-undang baik ke Presiden maupun ke DPR dalam rangka perubahan materi muatan UU 10/2016. “Agar kelembagaan dan kewenangan Pengawas Pemilu dalam Pilkada, tidak jauh berbeda dengan kelembagaan dan kewenangan Pengawas Pemilu saat ini sebagaimana diatur dalam UU Pemilu,” terang Ratna Dewi.

Foto: Arih Muti’ah (Bawaslu Sulteng)

Bertaruh Nyawa Menuju TPS 1 Bolobia

263 Views

Palu. Mobil terhenti ditanjakan dan tukungan tajam. Penumpang panik. Sontak dua orang yang duduk di belakang kabin mobil cekatan melompat dan mencari batu ganjalan. Mobil berhasil terhenti. Driver kembali mengambil ancang-ancang dan melaju kencang mendaki jalanan menanjak.

Demikian jalur yang dilalui Tim Bawaslu menuju lokasi pemungutan suara ulang (PSU) di TPS 1 Desa Bolobia, Kec Kinovaro Kab Sigi. Driver harus ekstra hati-hati melewati tanjakan terjal, yang disisi jalan terdapat jurang yang curam. Lalainya driver dapat menjadi ancaman keselamatan mobil dan penumpang. Bertaruh nyawa menuju lokasi pelaksanaan PSU.

PSU dilaksanakan untuk menindaklanjuti putusan Mahkamah Konstitusi (MK) atas permohonan sengketa hasil pemilu di Dapil 5 Sigi yang diajukan pemohon PDI-Perjuangan. PSU ini menjadi cerita satu-satunya di Indonesia setelah putusan MK. Sebab permohonan yang dikabulkan MK hanya memerintahkan untuk melakukan penghitungan ulang surat suara. PSU berhasil dilaksanakan pada Minggu, (18/8/2019) bertempat di halaman SD Bala Keselamatan Bolobia.

Pengguna hak pilih saat PSU sejumlah 154 orang. Sebelumnya tercatat DPT setelah verifikasi faktual sejumlah 169 orang ditambah DPK 4 orang, hingga total pemilih terdaftar menjadi 173 orang. Dari angka-angka ini dapat diukur tingkat partisipasi pemilih yang cukup tinggi, berkisar 90%.

Eksistensi Bawaslu dalam Sengketa Hasil Pemilu

256 Views

EKSISTENSI BAWASLU DALAM SENGKETA HASIL PEMILU
Oleh: Ruslan Husen

Sengketa hasil pemilu yang lebih dikenal dengan istilah perselisihan hasil pemilihan umum (PHPU) dapat dianggap sebagai residu demokrasi. Disebut residu, karena seluruh tahapan pemilu telah selesai yang ditandai penetapan hasil pemilu. Namun, terdapat peserta pemilu merasa ada proses tahapan pemilu mengabaikan prinsip demokrasi yang turut mempengaruhi perolehan suaranya. Hingga mengajukan permohonan PHPU ke Mahkamah Konstitusi (MK) sebagai alternatif terakhir membuktikan tata cara dan pelanggaran pemilu yang mempengaruhi perolehan suaranya. Sekaligus memohon kepada MK yang menerima, memeriksa dan mengadili perkara untuk membatalkan perolehan suara sebagaimana ditetapkan oleh KPU secara berjenjang dan menetapkan perolehan suara sesuai dalil petitum pemohon.

Perselisihan hasil pemilu disebutkan dalam ketentuan Pasal 473 Undang-Undang Nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu), meliputi perselisihan antara KPU dan peserta pemilu mengenai penetapan perolehan suara hasil pemilu secara nasional. Pertama, perselisihan penetapan perolehan suara hasil pemilu anggota DPR, DPD, dan DPRD secara nasional meliputi perselisihan penetapan perolehan suara yang mempengaruhi perolehan kursi peserta pemilu. Kedua, perselisihan penetapan perolehan suara hasil pemilu presiden dan wakil presiden secara nasional meliputi perselisihan penetapan perolehan suara yang mempengaruhi penetapan hasil pemilu presiden dan wakil presiden.  

Salah satu kewenangan MK sebagai lembaga peradilan yang memiliki kewenangan memutuskan dalam tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final, adalah memutus perselisihan hasil pemilu.[1] Kewenangan tersebut guna melaksanakan prinsip checks and balances yang menempatkan semua lembaga negara dalam kedudukan setara, sehingga terdapat keseimbangan dalam penyelenggaraan negara. Dalam menyelenggarakan peradilan, MK menggunakan hukum acara umum dan hukum khusus yaitu hukum acara yang memuat aturan umum beracara di MK dan aturan khusus sesuai dengan karakteristik perkara yang menjadi kewenangan MK.

Pemohon dalam PHPU adalah Partai Politik Peserta Pemilu untuk pengisian keanggotaan DPR dan DPRD; Perseorangan calon anggota DPR dan DPRD dalam satu Partai Politik yang sama yang telah memperoleh persetujuan tertulis dari ketua umum dan sekretaris jenderal atau sebutan lainnya dari Partai Politik yang bersangkutan; Perseorangan Calon Anggota DPD Peserta Pemilu; dan/atau Pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden. Sedangkan yang jadi termohon adalah KPU secara berjenjang.

Permohonan pemohon disampaikan secara tertulis dan harus berdasarkan pada argumentasi yang logis dan jelas. Ini penting untuk menguraikan pokok materi permohonan, misalnya tentang ketidak-akuratan daftar pemilih tetap, ketidak-netralan aparat negara, diskriminasi dan penyalahgunaan penegakan hukum, penyalahgunaan birokrasi dan BUMN, penyalahgunaan APBN dan program pemerintah, pembatasan kebebasan media dan pers, atau mobilisasi pemilih. Masing-masing dalil pokok permohonan harus didukung dengan alat bukti yang menguatkan pokok permohonan.

Materi permohonan dalam perselisihan hasil adalah penetapan perolehan suara hasil pemilu yang telah ditetapkan KPU secara nasional dan mempengaruhi: a. Terpenuhinya ambang batas perolehan suara 2,5% sebagaimana dimaksud dalam UU Pemilu. b. Perolehan kursi partai politik peserta pemilu dan kursi calon anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota dari partai politik di suatu daerah pemilihan. c. Terpilihnya calon anggota DPD.

Sedangkan materi permohonan pada pemilu presiden dan wakil presiden adalah: a. Penentuan pasangan calon yang masuk pada putaran kedua pemilu presiden dan wakil presiden; b. Terpilihnya pasangan calon presiden dan wakil presiden.

Berkaitan dengan objek permohonan PHPU, yang menjadi objek permohonan adalah keputusan KPU tentang penetapan hasil rekapitulasi penghitungan suara pemilu yang mempengaruhi terpilihnya calon peserta pemilu. Dalam permohonan juga menyertakan alat bukti yang dapat diajukan ke MK yakni: a. surat atau tulisan; b. keterangan saksi; c. keterangan ahli; d. keterangan para pihak; e. petunjuk; dan f. alat bukti berupa informasi yang diucapkan, dikirimkan, diterima atau disimpan secara elektronik dengan alat optik atau yang serupa dengan itu. Alat bukti itu akan diperiksa oleh hakim di dalam sidang berdasarkan catatan staf pendukung MK. Dalam pemeriksaan itu harus dapat dipertanggung jawabkan perolehan alat bukti yang diajukan. Perolehan secara hukum ini menentukan suatu alat bukti sah atau tidak, yang dinyatakan dalam persidangan.

* * * 

Selain pihak pemohon dan termohon (KPU) dalam penyelesaian PHPU di MK, juga terdapat “pihak terkait” dan pihak pemberi keterangan “Bawaslu”. Pihak terkait merupakan peserta pemilu yang dalam penetapan KPU memperoleh suara terbanyak dan berkepentingan terhadap pengajuan permohonan pemohon. Adapun Bawaslu sebagai lembaga pengawas pemilu yang berkedudukan sebagai pemberi keterangan dalam PHPU yang sedang diperiksa.

Melalui beberapa putusan MK setelah proses tahapan persidangan guna mendengar permohonan pemohon, jawaban termohon, keterangan pihak terkait, dan keterangan Bawaslu serta pemeriksaan saksi dan ahli, dapat berupa penjatuhan putusan: tidak dapat diterima; dikabulkan, dalam artian membatalkan keputusan KPU dan menetapkan perhitungan yang benar; atau ditolak, yaitu permohonan tidak beralasan.

Terhadap permohonan yang tidak memenuhi syarat-syarat kedudukan hukum (legal standing) dan syarat-syarat kejelasan, maka majelis hakim MK menjatuhkan putusan berupa permohonan tidak dapat diterima. Manakala alasan yang menjadi dasar permohonan terbukti secara sah dan meyakinkan, maka majelis hakim MK menjatuhkan putusan berupa mengabulkan permohonan dengan menyatakan membatalkan hasil penghitungan suara oleh KPU dan menetapkan hasil penghitungan suara yang benar sebagaimana dimaksudkan oleh Pemohon. Atau sebaliknya, manakala tidak terbukti secara sah dan meyakinkan, maka majelis hakim MK menyatakan putusan yang menolak permohonan pemohon.

Eksistensi Bawaslu

Eksistensi Bawaslu dalam perselisihan hasil Pemilu di MK secara subjektif dapat dikatakan menentukan kualitas pertimbangan putusan majelis hakim. Bawaslu memberikan keterangan sebagai “lembaga pemberi keterangan” dengan menguraikan hasil pengawasan, penindakan pelanggaran, dan penyelesaian sengketa proses pemilu yang relevan dengan pokok permohonan pemohon. Bawaslu melaksanakan tugas dan kewenangan telah mendapatkan mandat UU Pemilu dan anggaran dari keuangan negara, olehnya materi muatan keterangan yang disampaikan sangat menentukan dan dipertimbangkan dalam putusan majelis hakim MK.

Apalagi posisi Bawaslu berbeda dengan semua pihak yang hadir di persidangan. Pemohon, jelas memohon mengubah penetapan KPU dan ingin ditetapkan pemenang kontestasi pemilu. Sementara termohon (KPU), posisinya mempertahankan keputusan yang ditetapkan, bahwa benar dan tidak cacat hukum. Demikian pula dengan pihak terkait, sebagai pihak yang ditetapkan KPU sebagai pihak yang memperoleh suara terbanyak, berkeinginan dan menguatkan jawaban dari termohon (KPU). Adapun Bawaslu berbeda dengan posisi semua pihak tadi, yakni fokus memberikan keterangan terkait faktual hasil pengawasan, penindakan pelanggaran dan penyelesaian sengketa proses pemilu. Posisi ini menandakan tidak ada keberpihakan pada pihak tertentu, murni menerangkan pelaksanaan kewenangan pengawasan pemilu khususnya terkait dalil pemohon.

Tidak jarang apa yang didalilkan oleh pemohon, terutama pelanggaran dalam tahapan pemilu, hakikatnya telah melalui proses penanganan pelanggaran di Bawaslu. Hanya saja, pemohon merasa kurang puas dari hasil (produk) kinerja Bawaslu, sehingga masih mengupayakan langkah terakhir melalui sengketa hasil di MK. Dengan harapan MK mau melihat pokok permasalahan-dalil pemohon, sebagai harapan pencapaian keadilan substantif.

Sejatinya MK dibatasi oleh ketentuan hukum acara dan keyakinan hakim, hingga tidak berani keluar dari frame ketentuan dimaksud. Sangat beresiko apalagi lewat proses persidangan yang terbuka, lantas mempertontonkan sikap keberpihakan dan tidak profesional. MK sudah selesai dengan sikap dan tindakan pragmatis sesaat seperti itu, beralih pada sikap dan tindakan mewujukan keadilan dan penegah konstitusi. Yakni, pelanggaran pemilu dan sengketa proses pemilu menjadi ranah kewenangan Bawaslu yang telah diselesaikan dalam tahapan pemilu. Tinggal didalami hasil pengawasan kaitan dengan perolehan suara pemohon dan tindaklanjut rekomendasi dan putusan administrasi sekaitan dengan dalil-dalil pemohon.

Komitmen MK terlihat kembali dalam putusan MK Nomor: 190/PHPU.D-VIII/2010, MK telah menegaskan bahwa:

“pembatalan hasil pemilu atau pemilukada karena pelanggaran-pelanggaran yang bersifat terstruktur, sistematis dan masif sama sekali tidak dimaksudkan oleh MK untuk mengambil alih kewenangan badan peradilan lain. Mahkamah tidak akan pernah mengadili pelanggaran pidana dan administrasi dalam pemilu dan pemilukada, melainkan hanya mengambil pelanggaran-pelanggaran yang terbukti di bidang itu yang berpengaruh terhadap hasil pemilu dan pemilukada sebagai dasar putusan, tetapi tidak menjatuhkan sanksi pidana dan administrasi terhadap pelakunya”[2]

Terhadap dalil-dali pemohon, MK memetakan berbagai dalil terjadinya pelanggaran pemilu kaitan dengan kewenangan dan kinerja Bawaslu, yaitu: (1) dalil yang tidak dilaporkan ke Bawaslu, atau Bawaslu tidak pernah menerima laporan atau temuan apapun; (2) Bawaslu menerima pengaduan atau mendapatkan temuan dan telah ditindaklanjuti; serta (3) Bawaslu tidak melaksanakan kewenangannya. Oleh karenanya, MK menilai dalil-dalil yang sudah pernah diputuskan atau tidak pernah diajukan kepada Bawaslu, maka tidak dipertimbangkan kembali secara mendalam oleh MK karena dianggap sudah diselesaikan sebelumnya. Meskipun, beberapa dalil yang belum pernah diajukan ke Bawaslu, juga tetap dipertimbangkan dan dinilai oleh MK.[3]

Menyadari eksistensi Bawaslu dalam proses sengketa hasil Pemilu dan penegasan MK untuk tidak mengambil alih kewenangan lembaga yang mengadili pelanggaran pidana dan administrasi pemilu, sejatinya struktur Bawaslu responsif terus menyiapkan diri dan kelembagaan menghadapi tantangan ke depan. Yakni, menyiapkan dokumen dan mengolah data/bahan yang terkait dengan pelaksanaan tugas dan wewenang Bawaslu. Seputar hasil pengawasan per/tahapan pemilu, penindakan pelanggaran yang bersumber dari temuan dan laporan, dan penyelesaian sengketa proses pemilu yang telah ditangani.

Penyiapan teknis dimaksud dengan memanfaatkan sarana teknologi dan informasi. Dokumen menumpuk hasil kinerja kelembagaan secara berjenjang ditabulasi dan diolah dalam bentuk soft copy. Kendati jika dibutuhkan dokumen hard copy dengan cepat dapat diakses sebagai alat bukti yang diajukan ke muka persidangan. Menyelesaikan hal-hal teknis tapi strategis seperti ini, perlu ditunjang staf pendukung yang bertanggungjawab mengelola dan menyiapkan dokumen terkait.

Proses pemberian keterangan di MK, yang diminta tampil memberikan keterangan adalah lembaga atas nama Bawaslu secara kelembagaan, bukan atas nama perseorangan. Keterangan yang diberikan adalah yang sudah dilaksanakan sebagai terjemahan melaksanakan mandat UU Pemilu, bukan yang belum dilakukan apalagi opini belaka.

Pertama, dokumen hasil pengawasan tahapan pemilu. Penyampaian pengawasan hasil kinerja pengawasan tahapan pemilu secara kelembagaan, di dalamnya memuat aspek pencegahan pelanggaran, pengawasan langsung dan melekat terhadap peserta pemilu dan sesama penyelenggara pemilu (KPU) serta pihak lain yang harus terjaga netralisnya dalam penyelenggaraan pemilu. Penyampaian keterangan bukan opini orang-perorang, tetapi merupakan hasil kinerja kelembagaan yang telah melalui kesepakatan rapat pleno komisioner dan ditulis dalam format baku keterangan tertulis.

Kedua, dokumen hasil penindakan pelanggaran pemilu. Proses pemilu masih diliputi dengan berbagai bentuk pelanggaran pemilu, baik dilakukan oleh peserta pemilu, aparat pemerintahan bahkan penyelenggara pemilu dalam frame orang-perorang. Atas pelanggaran pemilu tersebut, Bawaslu dengan kewenangannya, melakukan proses penindakan pelanggaran lewat pintu laporan atau pintu temuan pelanggaran. Olehnya, sekaitan dalil pemohon dalam PHPU, Bawaslu menguraikan proses dan tindaklanjut penindakan pelanggaran pemilu.

Ketiga, dokumen penyelesaian sengketa proses pemilu. Sengketa proses pemilu sebagai sengketa yang terjadi antar-peserta pemilu dan sengketa peserta pemilu dengan penyelenggara pemilu sebagai akibat dikeluarkannya keputusan KPU secara berjenjang. Bawaslu menerima permohonan sengketa, dan menyelesaikan melalui forum mediasi. Jika tidak tercapai kesepakatan mediasi, penyelesaian sengketa para pihak dilanjutkan dengan proses adjudikasi. Dalam PHPU, Bawaslu juga memberikan keterangan sekaitan dengan pokok permohonan pemohon yang ada kaitannya dengan pelaksanaan kewenangan penyelesaian sengketa proses pemilu ini.

Penutup

Pemilu bukan semata-mata dasar mendapatkan dukungan dan legitimasi rakyat untuk berkuasa, tetapi pemilu harus dilaksanakan sesuai prosedur dan tata cara yang digariskan oleh hukum pemilu. Dalam demokrasi, tujuan dan tata cara merupakan dua sisi yang tidak bisa diabaikan. Prosedur dan tata cara justru memberi jaminan tegaknya prinsip pemilu luber dan jurdil, yang turut memberikan jaminan atas persamaan hak, kesetaraan dan kebebasan masyarakat.

Menjamin pelaksanaan prinsip pemilu dimaksud, terbentang eksistensi dan peran strategis Bawaslu sesuai UU Pemilu dalam sengketa hasil yang tidak hanya sebagai pengawas pemilu, tetapi sebagai eksekutor penanganan pelanggaran dan pemutus sengketa proses pemilu. Hasil kinerja pelaksanaan kewenangan Bawaslu itu telah membantu pengembangan pertimbangan majelis hakim MK yang menerima, memeriksa dan mengadili penyelesaian PHPU.


Catatan Kaki:
[1] Lihat ketentuan Pasal 24C UUD NRI Tahun 1945.
[2] Putusan MK Nomor: 190/PHPU.D-VIII/2010.
[3] Pan Mohamad Faiz, 2019, Putusan Sengketa Hasil Pilpres, Jurnal Konstitusi Nomor 148 Juni 2019, Mahkamah Konstitusi, Jakarta, hlm. 70.

Catatan Pembuktian dan Putusan PHPU

276 Views

Mengukur demokratis atau tidaknya penyelenggaraan pemilu melalui electoral laws dan electoral procces pelaksanaan pemilu. Berkaitan dengan electoral laws, pemilu dikatakan demokratis apabila peraturan penyelenggaraan pemilu tidak bertentangan dengan UU Pemilu dan UUD NRI tahun 1945. Sedangkan dalam electoral proccess, pemilu dikatakan demokratis apabila tidak terjadi pelanggaran dan permasalahan hasil pemilu itu sendiri. Jika terjadi pelanggaran pemilu dan perselisihan hasil pemilu, tersedia mekanisme hukum yang dapat digunakan agar mampu menyelesaikan permasalahan secara demokratis dan proporsional.[1]

Mahkamah Konstitusi memiliki kewenangan memutuskan perselisihan hasil pemilu dalam tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final. Sebelum memutus permohonan pemohon, MK terlebih dahulu mencari kebenaran formil dan materil melalui hierarki bukti-bukti yang diajukan oleh para pihak (termohon, pihak terkait dan Bawaslu), dengan urutan alat bukti; surat atau tulisan; keterangan saksi; keterangan ahli; keterangan para pihak; petunjuk; dan alat bukti berupa informasi yang diucapkan, dikirimkan, diterima atau disimpan secara elektronik dengan alat optik atau yang serupa dengan itu.

 

Catatan Pembuktian

Proses pemeriksaan persidangan agenda pembuktian yang dilakukan Mahkamah Konstitusi (MK), tidak jarang menemui kritikan dan pertanyaan seputar penerapan hukum acara di persidangan. Mereka bisa berasal dari berbagai kalangan, yang disampaikan para pihak di dalam persidangan maupun mereka sampaikan di luar agenda persidangan, yang turut memperkaya khasasnah intelektual proses pembuktian di MK.

Pertama, waktu pembuktian yang terlalu singkat. Kritikan dan pertanyaan ini biasanya disampaikan pihak pemohon, yang menganggap kurang waktu dan pembatasan MK untuk memberi ruang saksi dan ahli pemohon membuktikan dalil-dalil permohonan dalam uraian persoalan yang dalam, dan tersebar di wilayah yang luas. Singkatnya batas waktu membuat Pemohon kesulitan membuktikan dalil-dalil permohonannya demi menggali kebenaran, baik secara materil maupun formil. Sebab, kualitas pembuktian juga dipengaruhi faktor keleluasan bagi para pihak untuk membuktikan argumentasi secara detil, khususnya ketika menghadirkan sejumlah saksi ataupun ahli.

Terhadap batas waktu penyelesaian PHPU telah ditetapkan dalam UU Pemilu, MK tinggal menjalankan sesuai produk legislasi pembentuk undang-undang (DPR bersama Presiden). Yakni, batas waktu 14 hari kerja sejak permohonan dicatat dalam Buku Registrasi Perkara Konstitusi (BRPK) dalam penyelesaian PHPU Pilpres 2019 dan batas waktu 30 hari kerja dalam penyelesaian PHPU Pileg 2019. Pembatasan waktu ini merupakan ketentuan UU Pemilu, bukan ketentuan yang dibentuk oleh MK sendiri. MK tinggal melaksanakan dengan menyiapkan perangkat teknis, kendati dengan pemeriksaan persidangan dengan metode panel agar efektif dan pembatasan jumlah saksi dan ahli yang dihadirkan para pihak.

Kedua, anggapan mahkamah kalkulator. Sempitnya pemaknaan hasil pemilu berupa perselisihan mengenai penetapan hasil pemilu yang dilakukan secara nasional oleh KPU membuat MK disebut “mahkamah kalkulator”. Ini karena dalam menyelesaikan sengketa PHPU, MK dibatasi untuk menilai benar atau tidaknya perhitungan suara yang telah ditetapkan secara nasional oleh KPU dan tidak lebih dari itu.

Mahkamah Konstitusi dalam PHPU merupakan lembaga peradilan pada tingkat pertama dan terakhir, sehingga erat kaitan dengan hasil secara kuantitatif. Namun, merujuk putusan MK Nomor: 062/PHPU-B-II/2014 diuraikan, selain menyelesaikan sengketa terkait dengan angka signifikan hasil akhir pemilu, MK juga mengadili konstitusionalitas pelaksanaan pemilu. Artinya, perkara yang bersifat melanggar kualitas pemilu terutama melanggar prinsip-prinsip pemilu yaitu “langsung, umum, bebas, rahasia dan adil” (luber dan jurdil) sebagaimana digariskan dalam ketentuan Pasal 22E ayat (1) UUD 1945 tetap akan menjadi perhatian MK. Sehingga MK memutus penyelesaian PHPU tidak sekedar angka-angka hasil pemilu yang diperoleh peserta pemilu, melainkan juga terkait dengan kualitas pelaksanaan pemilu berupa meneliti pelanggaran yang tidak bisa dihitung dengan jumlah.

Ketiga, tidak adanya tolak ukur yang dapat digunakan hakim sebagai acuan dalam membuktikan unsur-unsur “Terstruktur, Sistematis dan Masif (TSM)” dalam pembuktian persidangan PHPU Presiden dan Wakil Presiden. Hal ini membuat tafsir TSM menjadi “liar” dan berimplikasi pada perbedaan dasar pertimbangan bagi setiap hakim dalam memutus perkara di MK.

Perlu ada kesepakatan tegas yang dituangkan dalam kodifikasi ketentuan UU Pemilu, bahwa pelanggaran pemilu dapat dikatakan bersifat terstruktur, sistematis, dan masif ketika pelanggaran tersebut dilakukan oleh aparat struktural, baik aparat pemerintah maupun aparat penyelenggara pemilu, telah direncanakan secara matang dan berdampak sangat luas, serta terjadi secara merata di hampir semua wilayah yang menjadi cakupan dari penyelenggaraan pemilu. Selain itu, unsur TSM menjadi satu-kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Artinya, MK hanya dapat membatalkan hasil pemilu apabila unsur tersebut terpenuhi secara kumulatif di dalam fakta persidangan.

Keempat, adanya kebutuhan perlindungan saksi. Perlindungan saksi tersebut bahkan tidak saja ditujukan bagi saksi semata, namun kepada semua pihak yang berpotensi mendapatkan ancaman atau intimidasi. Bahkan bukan hanya dalam sengketa hasil Pemilu, tetapi juga dalam pengujian undang-undang, ataupun perkara lain yang menjadi kewenangan MK.

Kondisi saat ini, belum terdapat formula sistem yang mampu menyediakan perlindungan saksi tersebut secara terintegrasi. Sebab, ancaman atau intimidasi itu justru berpotensi terjadi di luar gedung MK, bukan di dalam ruang sidang MK. Sehingga, kerjasama lebih lanjut perlu dibangun antara MK, LPSK, Kepolisian, dan para penegak hukum lainnya guna menemukan formulasi perlindungan saksi dan pihak lain yang terkait, agar tidak ada keraguan untuk hadir dan memberikan kesaksian dan kontribusi terkait di muka persidangan.

 

Catatan Putusan

Tahapan pelaksanaan Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU) untuk pemilihan anggota DPR DPD, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota Tahun 2019 telah usai yang ditandai dengan pengucapan putusan/ketetapan atas perkara yang diterima, diperiksa dan diadili Mahkamah Konstitusi (MK). Mayoritas amar putusan MK menyatakan permohonan tidak dapat diterima sebagai akibat permohonan tidak jelas atau kabur (obscuur libel) yang berarti ada syarat-syarat kedudukan hukum (legal standing) dan syarat-syarat kejelasan permohonan yang tidak terpenuhi. Melalui catatan ini, diuraikan penyebab putusan MK yang pada pokoknya menyatakan permohonan pemohon tidak dapat diterima, dan ketetapan MK yang menyatakan permohonan gugur atau mengabulkan penarikan permohonan pemohon.

Pertama, perubahan (renvoi) permohonan bersifat substantif. Pada kasus ini terdapat renvoi permohonan dilakukan sebelum dan selama sidang pendahuluan bahkan ada renvoi dalam sidang lanjutan agenda jawaban termohon dan keterangan pihak terkait dan keterangan Bawaslu. Pada posisi ini pemohon melakukan renvoi permohonan karena terkait dengan objek substansi permohonan, jika tidak dilakukan renvoi jelas materi permohonan menjadi tidak jelas atau kabur, demikian pula saat melakukan renvoi akan dicatat Mahkamah sebagai ketidakpatuhan atas hukum acara persidangan (cacat formil).

Seharusnya renvoi permohonan yang bersifat substantif dilakukan oleh pemohon dalam tenggang waktu perbaikan permohonan yang ditentukan dalam hukum acara MK. Ketentuan Pasal 13 ayat (3) Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 2 Tahun 2018 tentang Tata Beracara dalam Perkara Perselisihan Hasil Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (selanjutnya ditulis PMK 2/2018) menyatakan “Pemohon atau kuasa hukum dapat menyerahkan perbaikan Permohonan dalam jangka waktu paling lama 3 x 24 (tiga kali dua puluh empat) jam sejak APBL diterima Pemohon”.

Akibat hukum renvoi substansial setelah lewat jangka waktu perbaikan permohonan, sebagaimana tergambar dalam putusan MK nomor: 147-02-26/PHPU.DPR-DPRD/XVII/2019 atas Pemohon Partai Gerindra dalam Perkara Pemilihan Anggota DPRD Provinsi Sulawesi Tengah yang pada pokonya renvoi bersifat substansial dilakukan pemohon saat pemeriksaan pendahuluan. Atas hal ini, Mahkamah Konstitusi menganggap renvoi tersebut tidak dapat dibenarkan secara hukum sehingga menyebabkan permohonan cacat formil dan berakibat permohonan menjadi kabur. Selanjutnya MK memutus perkara yang dimohonkan pemohon dalam amar putusan, permohonan tidak dapat diterima.

Kedua, kedudukan hukum (legal standing) pemohon tidak terpenuhi. Pada kasus ini terdapat permohonan pemohon yang tidak ditandatangani oleh ketua umum dan sekretaris jenderal Partai Politik atau permohonan pemohon yang merupakan calon anggota legislatif yang tidak melampirkan persetujuan tertulis dari ketua umum dan sekretaris jenderal Partai Politik yang bersangkutan.

Pengertian pemohon diatur dalam ketentuan Pasal 3 ayat (1) huruf a dan b PMK 2/2018, yang menyatakan “Pemohon sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf a adalah :

a. Partai Politik Peserta Pemilu untuk pengisian keanggotaan DPR dan DPRD.
b. Perseorangan calon anggota DPR dan DPRD dalam satu Partai Politik yang sama yang telah memeroleh persetujuan secara tertulis dari ketua umum dan sekretaris jenderal atau sebutan lainnya dari Partai Politik yang bersangkutan.” Selanjutnya

Permohonan dari Partai Politik mengacu pada ketentuan Pasal 7 ayat (2) PMK 2/2018, yang menyatakan “Pengajuan Permohonan oleh DPP Partai Politik Peserta Pemilu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditandatangani oleh ketua umum dan sekretaris jenderal atau sebutan lainnya”. Hal ini berbeda untuk permohonan perseorangan untuk pemilihan calon anggota DPD, sebagaimana disebutkan dalam ketentuan Pasal 3 ayat (1) PMK Nomor 3 Tahun 2018 tentang Tata Beracara dalam Perkara Perselisihan Hasil Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Daerah, yang menyatakan “Pemohon dalam perkara PHPU anggota DPD adalah perseorangan Peserta Pemilu untuk pengisian keanggotaan DPD”.

Akibat hukum atas kedudukan hukum (legal standing) pemohon yang mengajukan permohonan PHPU tidak terpenuhi, MK menjatuhkan putusan yang dalam amarnya, permohonan gugur.

Ketiga, objek permohonan keliru. Pada kasus ini terdapat permohonan pemohon yang mempermasalahkan (objek permohonan) keputusan KPU Provinsi atau keputusan KPU Kabupaten/Kota yang menetapkan perolehan suara hasil pemilu anggota DPRD Provinsi atau DPRD Kabupaten/Kota.

Padahal seharusnya objek permohonan adalah keputusan KPU RI yang menetapkan perolehan suara hasil pemilu anggota DPR dan DPRD secara nasional yang memengaruhi perolehan kursi Pemohon dan/atau terpilihnya calon anggota DPR dan/atau DPRD di suatu daerah pemilihan. Ketentuan terkait ditemukan dalam Pasal 5 PMK 2/2018 yang menyatakan “Objek Perkara PHPU anggota DPR dan DPRD adalah keputusan Termohon tentang penetapan perolehan suara hasil pemilu anggota DPR dan DPRD secara nasional yang memengaruhi perolehan kursi Pemohon dan/atau terpilihnya calon anggota DPR dan/atau DPRD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) di suatu daerah pemilihan”.

Akibat hukum atas objek permohonan pemohon yang keliru, MK menilai permohonan tidak jelas atau kabur hingga menjatuhkan putusan yang dalam amarnya, permohonan pemohon tidak dapat diterima.

Keempat, pertentangan petitum, kecuali petitum pemohon disusun alternatif. Pada kasus ini petitum pemohon disusun secara komulatif, artinya meminta kepada Mahkamah untuk mengabulkan secara keseluruhan petitum permohonan. Kejelian dan ketelitian pemohon dan kuasa hukumnya harus menguasai teknis dan struktur permohonan, saat mana disusun secara alternatif (ada kata “atau”) dan saat mana disusun secara komulatif.

Pada perkara tersebut MK mencermati petitum permohonan pemohon yang dirumuskan secara kumulatif, telah terjadi pertentangan antara yang satu bagian petitum dengan bagian petitum yang lainnya. Konsekuensi yuridisnya, jika dikabulkan petitum yang satu maka akan bertentangan dengan petitum yang lainnya. Berbeda halnya jika petitum pemohon dirumuskan secara alternatif. Atas dasar ini Mahkamah Konstitusi menyatakan permohonan pemohon tidak jelas atau kabur.

Akibat hukum atas penyusunan petitum permohonan yang bertentangan satu dengan yang lainnya, MK menilai permohonan tidak jelas atau kabur hingga menjatuhkan putusan yang dalam amarnya, permohonan pemohon tidak dapat diterima.

Kelima, pokok permohonan tidak menguraikan secara jelas atas selisih perhitungan suara, penyebab terjadi selisih perhitungan suara dan perhitungan suara yang benar menurut pemohon serta tidak ada permintaan untuk membatalkan penetapan suara termohon. Atas permohonan seperti ini, MK menilai permohonan tidak jelas atau kabur hingga menjatuhkan putusan yang dalam amarnya, permohonan pemohon tidak dapat diterima.

Sejatinya syarat formil mendasar permohonan pemohon ketika mengemukakan dasar-dasar atau alasan-alasan mengajukan permohonan (fundamentum petendi) adalah keharusan persandingan perolehan suara pemilu menurut termohon dengan perolehan suara yang benar menurut pemohon. Hal tersebut diatur dalam ketentuan Pasal 75 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi Junto Pasal 9 ayat (1) huruf b angka 4 dan angka 5 PMK 2/2018 yang menyatakan “Dalam permohonan yang diajukan, pemohon wajib menguraikan dengan jelas tentang:

a. kesalahan hasil penghitungan suara yang diumumkan oleh Komisi Pemilihan Umum dan hasil penghitungan yang benar menurut pemohon; dan
b. permintaan untuk membatalkan hasil penghitungan suara yang diumumkan oleh Komisi Pemilihan Umum dan menetapkan hasil penghitungan suara yang benar menurut pemohon.”

Keenam, pihak terkait tidak memiliki kedudukan hukum. Ini sebagai akibat atas tidak adanya permohonan Partai Politik peserta pemilu sebagai pihak terkait yang ditandatangani ketua umum dan sekretaris jenderal, dan keterangan pihak terkait secara tertulis yang disampaikan paling lama dua hari sebelum sidang pendahuluan. Artinya, walaupun ada keterangan pihak terkait yang disampaikan, tetapi tidak ada permohonan yang ditandatangani oleh Partai Politik, maka syarat formil pengajuan pihak terkait tetap tidak terpenuhi. Akibatnya keterangan tertulis yang disampaikan tidak menjadi pertimbangan hakim lebih lanjut.

Demikian yang terbaca dalam putusan MK Nomor: 98-19-26/PHPU.DPR-DPRD/XVII/2019 atas Pemohon PBB untuk Pokok Perkara Pemilihan Anggota DPRD Kabupaten Parigi Moutong dan Kabupaten Morowali Utara, yakni Partai Nasdem dan PPP telah menyerahkan keterangan pihak terkait kepada Mahkamah 2 (dua) hari sebelum Sidang Pemeriksaan Pendahuluan. Namun, surat permohonan menjadi Pihak Terkait Partai Nasdem dan surat permohonan untuk menjadi Pihak Terkait PPP yang diajukan ternyata tidak ditandatangani ketua umum dan sekretaris jenderal Partai Politik yang bersangkutan. Sehingga, Mahkamah menilai tidak memiliki kedudukan hukum untuk bertindak sebagai Pihak Terkait dalam permohonan tersebut serta keterangan yang diajukan tidak dipertimbangkan lebih lanjut oleh Mahkamah.

Ketentuan atas pihak terkait dalam PHPU diatur pada Pasal 3 ayat (3) huruf a dan b PMK Nomor 2/2018 yang menyatakan “Pihak Terkait sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf c adalah:

a. Partai Politik Peserta Pemilu yang berkepentingan terhadap permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a.
b. Perseorangan calon anggota DPR dan DPRD dalam satu Partai Politik yang sama yang telah memeroleh persetujuan secara tertulis dari ketua umum dan sekretaris jenderal atau sebutan lainnya dari Partai Politik yang bersangkutan yang berkepentingan terhadap permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b.”

Pihak terkait dalam memberikan keterangan tertulis harus memperhatikan Pasal 23 ayat (1) dan (2) PMK Nomor 2/2018 yang menyatakan “(1) Partai Politik Peserta Pemilu sebagaimana dimaksud dalam  Pasal 3 ayat (3) dapat mengajukan permohonan sebagai Pihak Terkait dengan disertai Keterangan Pihak Terkait paling lama 2 (dua) hari sebelum sidang Pemeriksaan Pendahuluan. (2) Permohonan sebagai Pihak Terkait dan Keterangan Pihak Terkait sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan oleh DPP Partai Politik Peserta Pemilu yang ditandatangani oleh ketua umum dan sekretaris jenderal atau sebutan lainnya”.

Ketujuh, pemohon tidak menghadiri sidang pemeriksaan pendahuluan dan sidang pemeriksaan. Terhadap ketidakhadiran pemohon dan/atau kuasa hukumnya mengakibatkan konsekuensi yuridis yang berbeda. Ketidakhadiran pemohon dan/atau kuasa hukumnya dalam sidang pemeriksaan pendahuluan berkonsekwensi pada permohonan gugur. Ketentuan ini merujuk Pasal 38 ayat (2) PMK Nomor 2/2018 yang menyatakan “Dalam hal Pemohon dan/atau kuasa hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak hadir dalam Pemeriksaan Pendahuluan tanpa alasan yang sah meskipun telah dipanggil secara sah dan patut, Mahkamah menyatakan Permohonan gugur.”

Selanjutnya ketidakhadiran pemohon dan/atau kuasanya pada sidang pemeriksaan tanpa alasan yang sah akan berkonsekwensi pada permohonan tidak dapat diterima. Ketentuan ini merujuk pada Pasal 41 Ayat (2) PMK Nomor 2/2018 yang menyatakan “Dalam hal Pemohon dan/atau kuasa hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak hadir dalam Pemeriksaan Persidangan tanpa alasan yang sah meskipun telah dipanggil secara sah dan patut, Mahkamah menyatakan Permohonan tidak dapat diterima”.

 

Penutup

Kepatuhan MK dalam penerapan hukum acara persidangan sebagaimana tertuang dalam PMK Nomor 2/2018, mengindikasikan proses tahapan pemilu tahun 2019 telah dilakukan sesuai dengan prinsip-prinsip pemilu. Walaupun diakui masih banyak masalah yang menyelimuti pelaksanaan pemilu, sebagai bahan evaluasi pelaksanaan kontestasi pemilihan ke depan. Tapi, saluran-saluran penyelesaian masalah pemilu tadi, telah ada jalur dan prosedurnya dalam penyelesaian berjenjang dan per/tahapan pada masing-masing tingkatan sesuai dengan hukum pemilu.

Mahkamah Konstitusi dengan kewenangan penyelesaian sengketa hasil pemilu, turut menerima, memeriksa dan mengadili permohonan pemohon yang bersinggungan dengan penetapan perolehan suara hasil pemilu, termasuk menilai penyelesaian masalah tahapan pemilu, tetapi tidak mengambil alih kewenangan lembaga lain. Terutama tergambar lewat pemeriksaan PHPU Pileg tahun 2019, MK sangat patuh terhadap terpenuhi syarat formil pemeriksaan perkara, yang kesemuanya menjadi satu kesatuan hukum acara pemeriksaan hingga mayoritas amar putusan, “permohonan pemohon tidak dapat diterima atau permohonan pemohon ditolak untuk seluruhnya.”


Catatan Kaki:
[1] Harry Setya Nugraha, 2015, Redesain Kewenangan Mahkamah Konstitusi dalam Penyelesaian Sengketa Perselisihan Hasil Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden di Indonesia, Jurnal Hukum Ius Quia Iustum No. 3 Vol. 22 Juli 2015, Yogyakarta, hlm. 428.

Loyalitas dan Etik

303 Views

LOYALITAS DAN ETIK
Oleh: Ruslan Husen

“Segera kirimkan laporan hasil pengawasan atas kegiatan kampanye Pemilu di daerah saudara agar jelas langkah/kebijakan yang akan diambil dengan peran kita sebagai Pengawas Pemilu. Informasi awal, ada kegiatan kampanye salah satu Parpol dilaksanakan di lapangan, dan ini potensi pelanggaran kampanye rapat umum karena belum saatnya dilaksanakan,” Instruksi Najib pada Selvy.

Najib merupakan Ketua Bawaslu Provinsi yang menginstruksikan kepada Selvy yang merupakan Ketua Bawaslu Kabupaten. Telah menjadi standar operasional prosedur pengawasan, yakni setelah melakukan pengawasan akan ditindaklanjuti dengan menyusun Laporan Hasil Pengawasan (LHP) sebagai bahan rapat pleno pimpinan. Dalam rapat pleno akan dibahas informasi, fakta dan data untuk menentukan apakah ada pelanggaran atau tidak. Sekaligus menentukan langkah pencegahan dan penindakan yang akan perlu dilakukan.

“Siap Pak, segera kami kirimkan,” tanggap Selvy.

Seketika Selvy memerintahkan staf dan jajarannya di Kabupaten untuk membuat dan menyerahkan LHP, terutama yang bertugas melakukan pengawasan di kecamatan tempat pelaksanaan kampanye untuk dikompilasi dan dikirimkan kepada Najib, Ketua Bawaslu Provinsi.

Tergambar dari LHP yang dikirimkan Selvy, memuat salah satu Parpol peserta Pemilu telah melaksanakan kampanye di lapangan terbuka menggunakan tenda terowongan dengan penggunaan pembatas kain mengelilingi peserta kampanye di dalam tenda. Kampanye berlangsung dengan ijin dari kepolisian dalam bentuk Surat Tanda Terima Pemberitahuan (STTP) yang memuat keterangan kegiatan “kampanye tatap muka”.

“Dari uraian LHP, tergambar kampanye dilaksanakan menyerupai bentuk kampanye rapat umum, jika demikian halnya maka ini perlu ditindak sesuai ketentuan yakni penindakan pelanggaran melalui sidang pelanggaran administrasi.” Jelas Najib. “Bagaimana pandangan teman-teman di Kabupaten?” Kembali tanya Najib.

“Mohon ijin Pak, tapi menurut saya itu kampanye pertemuan tatap muka, bukan kampanye rapat umum.” Kelit Selvy.

“Pertimbangannya apa Bu?” Tanya Najib menguji.

“Mohon maaf Pak, kampanye pertemuan tatap muka, saya pahami dapat dilaksanakan di dalam gedung, gedung tertutup, gedung terbuka, dan luar ruangan. Sehingga jika kampanye dilaksanakan di lapangan dengan memakai tenda yang dibatasi-dikelilingi kain dapat dimaknai sebagai pengganti gedung terbuka, karena di kecamatan/desa tidak ada ruangan yang mampu menampung peserta kisaran 1.000 orang. Makanya dimaknai sebagai kampanye pertemuan tatap muka dan tidak ada pelanggaran atas jadwal rapat umum,” Jelas Selvy.

Kampanye dalam metode rapat umum hanya dapat dilaksanakan oleh peserta Pemilu tahun 2019 selama 21 (dua puluh satu) hari sampai dengan hari tenang, yakni mulai tanggal 24 Maret s/d 13 April 2019. Pelanggaran atas jadwal kampanye rapat umum tersebut, dapat berpotensi sanksi pelanggaran Pemilu berupa sanksi administratif, dan sanksi Pidana.

“Ini hanya masukan sebagai bahan kalian menyelenggarakan rapat pleno, bahwa dari LHP yang dikirim dan data/bahan yang telah didapatkan oleh Bawaslu Provinsi, ada indikasi bahwa kampanye yang dilaksanakan tersebut merupakan kampanye dalam bentuk rapat umum, sehingga dapat ditindaklanjuti dengan mekanisme penindakan pelanggaran,” Terang Najib. “Semoga keputusan/kebijakan yang diambil tidak keliru. Adapun hasil rapat pleno kalian, agar dikirimkan ke Provinsi untuk kami evaluasi lebih lanjut.” Tutup Najib.

“Siap Pak. Terima kasih.” Jawab Selvy yakin.

Ketentuan Norma

Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu) yang dijabarkan lebih lanjut dengan peraturan teknis utamanya Peraturan KPU dan Peraturan Bawaslu, menggariskan metode kampanye yang dapat dilakukan oleh peserta Pemilu atau pelaksana yang ditunjuk untuk meyakinkan pemilih agar memilihnya di hari pemungutan suara. Metode kampanye tersebut antara lain: pertemuan terbatas, pertemuan tatap muka, dan rapat umum. Untuk ketiga metode kampanye ini, wajib Surat Tanda Terima Pemberitahuan (STTP) dari kepolisian. Walaupun dalam PKPU 23/2018 tentang Kampanye Pemilu hanya disebutkan peserta atau pelaksana kampanye wajib memberitahukan secara tertulis kepada kepolisian dengan tembusan pada Penyelenggara Pemilu (KPU-Bawaslu) akan rencana pelaksanaan kampanye. Tapi, bagi Pengawas Pemilu selain melaksanakan PKPU juga melaksanakan peraturan lain yang relevan, dalam hal ini Peraturan Kapolri Nomor 6 tahun 2012 tentang Tata Cara Pemberitahuan dan Penerbitan STTP Kampanye Pemilu, sehingga dalam pelaksanaan kampanye Pemilu, khusus ketiga metode kampanye tersebut wajib memiliki STTP.

Jika dalam pelaksanaan kampanye ternyata peserta Pemilu (Parpol, Pasangan calon Presiden atau calon anggota legislatif) tidak mengantongi STTP, maka Pengawas Pemilu akan mengambil langkah sebagai berikut. Pertama, menghimbau agar pelaksanaan kampanye ditunda sampai terbit STTP dari kepolisian. Himbauan ini bersifat pencegahan pelanggaran (persuasif) agar peserta Pemilu memahami dan melaksanakan ketentuan hukum Pemilu. Pengawas Pemilu tidak lantas mengambil langkah tegas serta-merta membubarkan kegiatan kampanye, karena sangat beresiko konflik. Sebab ini berhadapan dengan massa kampanye secara langsung, dan rentan untuk di provokasi melakukan tindakan tertentu. Sehingga himbauan menunda kegiatan kampanye adalah alternatif tindakan yang tepat.

Kedua, jika tetap melaksanakan kampanye tanpa STTP maka akan dijadikan sebagai temuan pelanggaran untuk ditindaklanjuti sesuai ketentuan hukum Pemilu. Penindakan kegiatan kampanye yang melanggar tata cara, mekanisme, dan prosedur maka penindakan pelanggaran dilakukan melalui sidang pelanggaran administrasi (cepat atau biasa). Dengan sanksi akhir pada terlapor dapat berupa teguran tertulis, sanksi tidak diikutkan dalam tahapan tertentu proses Pemilu, dan/atau bentuk sanksi lain yang diatur dalam UU Pemilu.

Kembali pada polemik penentuan status kampanye rapat umum atau bukan. Berdasar atas ketentuan metode kampanye Pemilu maka ketentuan atas kampanye pertemuan terbatas, dilaksanakan di gedung tertutup atau dalam ruangan. Pertemuan tatap muka, dilaksanakan di dalam ruangan, gedung tertutup, gedung terbuka, atau di luar ruangan. Adapun kampanye rapat umum, dilaksanakan di lapangan, stadion, alun-alun, dan tempat terbuka lainnya. Demikian tekstual norma dalam PKPU Nomor 23 tahun 2018 tentang Kampanye Pemilu.  

Jika terdapat fakta kampanye dilaksanakan di lapangan dengan menggunakan tenda terowongan walaupun ditutup kain mengelilingi peserta, tetap dimaknai bahwa pelaksanaan kampanye tersebut di lapangan. Sehingga ketika kampanye dilaksanakan pada lapangan akan mengarah pada metode kampanye rapat umum. Jika terbukti rapat umum, berarti potensi pelanggaran sebab rapat umum berbatas waktu, pada waktu yang ditentukan sah untuk dilaksanakan. Akan keliru jika dimaknai, gedung terbuka disamakan dengan tenda terowongan yang ditempatkan di lapangan. Sifat gedung adalah permanen dan tidak dapat berpindah-pindah, bangunannya kokoh menyatu dengan tanah. Sementara sifat tenda terowongan tidak permanen yakni selesai kegiatan/sewa dapat dicabut atau dibongkar, untuk dipasang dan digunakan kembali di tempat lain.

Kampanye Biaya Murah

Pelaksanaan Pemilu secara serentak tahun 2019 dengan menggabungkan Pemilu Presiden dan Wakil Presiden dengan Pemilu Legislatif (DPR, DPD, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota) dengan semangat efisiensi biaya Pemilu. Tindak-lanjut berupa rumusan ketentuan hukum Pemilu yang dapat menekan biaya politik tinggi, dengan norma larangan serta ancaman. Misalnya dalam tahap pencalonan, ada larangan mahar politik dan ancaman sanksi diskualifikasi bagi calon dan ancaman bagi Parpol tidak dapat mengajukan pasangan calon presiden dan wakil presiden di Pemilu berikutnya. Contoh lain berupa, pembiayaan kampanye berupa alat peraga kampanye, iklan media cetak dan pembiayaan debat pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden oleh KPU dengan menggunakan pembiayaan dari keuangan negara.

Demikian pula pemasangan alat peraga kampanye dan penyebaran bahan kampanye yang diproduksi sendiri oleh peserta Pemilu, ada ketentuan batasan lokasi dan tempat yang dilarang. Ada ketentuan waktu pelaksanaan tahapan kampanye. Ada ketentuan batas jumlah pemasangan alat peraga kampanye. Pengaturan ditujukan agar prinsip keadilan dan kesetaraan antar peserta Pemilu dapat terlaksana, yakni masing-masing peserta Pemilu memiliki kesempatan keterpilihan yang sama, baik Parpol yang memiliki kemampuan finansial lebih maupun yang tidak memiliki kemampuan finansial memadai.

Desain pembiayaan dan batasan tersebut pada intinya ingin mengatur agar pelaksanaan Pemilu dapat berlangsung dengan biaya murah. Para peserta Pemilu walaupun tidak memiliki kemampuan finansial lebih, dengan sebagian pembiayaan kampanye oleh KPU, dapat menekan biaya politik tinggi oleh peserta Pemilu. KPU dapat membiayai pencetakan alat peraga kampanye dan membiayai pelaksanaan debat pasangan calon presiden dan wakil presiden sesuai kemampuan keuangan negara.  

Demikian pula dengan pembatasan kampanye rapat umum yang berlangsung selama 21 hari sampai dengan hari tenang, karena metode kampanye model ini membutuhkan biaya yang sangat besar. Berupa pengerahan massa, penyiapan kebutuhan teknis, konsumsi dan transportasi peserta kampanye tentu memerlukan biaya yang tidak sedikit. Oleh karena itu, dengan prinsip efisiensi pembiayaan Pemilu lalu diberi batasan waktu dan tempat pelaksanaan rapat umum. Agar semua peserta Pemilu memiliki kesempatan yang sama menggelar kampanye ini. KPU mengatur jadwal pelaksanaannya, sehingga tidak ada yang kampanye rapat umum mendahului peserta yang lain. Pada posisi ini, Pengawas Pemilu bersama stakeholders terkait perlu hadir dalam mencegah dan menindak tegas pelaku yang melanggar.

Loyalitas dan Etika

Struktur kelembagaan Bawaslu berjenjang secara hirarkis. Bawaslu membawahi Provinsi, Provinsi membawahi Kabupaten/Kota, Kabupaten/Kota membawahi Panwaslu Kecamatan, Panwaslu Kecamatan membawahi Panwaslu Kelurahan/Desa, Panwaslu Kelurahan/Desa membawahi Pengawas TPS. Semuanya menjadi satu-kesatuan lembaga Pengawas Pemilu.

Dalam pelaksanaan tugas, wewenang dan kewajiban, pertanggung-jawaban kinerja ditemui melalui pelaporan dan pengambilan kebijakan pengawasan secara hierarki. Struktur kelembagaan, semakin ke jenjang terbawah maka lingkup urusan semakin teknis-praktis. Sebaliknya, struktur kelembagaan berjenjang ke atas akan mengerucut pada pengambilan kebijakan dan pendesain norma/ketentuan kinerja lembaga yang menjadi pedoman jajarannya dalam bertindak.

Demikian pula, pemegang pertanggung-jawaban akhir kerja-kerja Pengawas Pemilu secara kelembagaan dibebankan pada struktur tertinggi yakni Bawaslu yang berkedudukan di Jakarta. Mengapa seperti itu? Demikian struktur dan kebijakan kelembagaan Pengawas Pemilu. Makanya dikenal namanya supervisi dan konsultasi. Supervisi diperuntukkan bagi Bawaslu kepada jajarannya agar tetap dalam koridor integritas dan profesionalitas. Demikian pula dengan Pengawas Pemilu jajaran di bawah memakai mekanisme konsultasi guna mendapat petunjuk dan arahan atas masalah yang dihadapi kepada jenjang Bawaslu di atasnya.

Bawaslu menetapkan keanggotaan Bawaslu Provinsi dan Bawaslu Kabupaten/Kota setelah melalui serangkaian proses seleksi yang ketat. Selanjutnya, Bawaslu memberikan bimbingan teknis dan bentuk kegiatan lain agar Pengawas Pemilu dapat memahami dan mampu melaksanakan tugas, wewenang, dan kewajiban secara berintegritas dan profesional. Pada posisi ini, jajaran Pengawas Pemilu akan loyal kepada Bawaslu, sebab nasib sebagai Pengawas Pemilu ada ditangan Bawaslu, selanjutnya ditetapkan sebagai anggota berprestasi atau tidak sangat ditentukan oleh peran atasan, yakni Pengawas Pemilu yang lebih tinggi tingkatan secara berjenjang. Loyalitas, ketaatan, dan keramahan Pengawas Pemilu kepada atasannya sangat dampak saat pertemuan secara langsung, walaupun kadang berlebihan dan terkesan formalitas bahkan lebih karena takut. Dalam kondisi ini, akan ditemui Bawaslu di Kabupaten/Kota akan loyal kepada Bawaslu Provinsi apalagi loyalitas kepada Bawaslu.

Jika ada Bawaslu Kabupaten/Kota yang tidak melaksanakan instruksi Bawaslu Provinsi apalagi Bawaslu, maka kapasitas dan integritas menjalankan kerja-kerja sebagai Pengawas Pemilu patut disangsikan. Sebab, apakah ada alasan rasional untuk tidak melaksanakan arahan apalagi instruksi pimpinannya, atau mengambil langkah lain yang cenderung kontra-produktif dengan apa yang diarahkan. Sementara penanggung-jawab akhir tetap ada di atasan Pengawas Pemilu secara berjenjang, semakin ke bawah kerja-kerja pengawasan semakin teknis.

Oleh karena ini kejadian langkah, maka patut ditelisik bahwa ada yang lebih ditakutkan oleh Pengawas Pemilu yang bersangkutan. Bagi Penyelenggara Pemilu, aduan/laporan kepada DKPP atas dugaan pelanggaran kode etik menjadi bagian yang ditakutkan dan kadang membuat sangsi berbuat. Berarti ada sikap dan perilaku yang terkait dengan aspek etik yang turut mempengaruhi kinerja pengawasan. Jika demikian halnya, kembali pimpinan harus turun tangan secara langsung memberikan pendampingan, semangat dan motivasi agar muncul keberanian, integritas dan kapasitas yang handal dalam mengambil keputusan dan kebijakan secara tepat terutama dalam penindakan pelanggaran Pemilu.

Sebagai Penyelenggara Pemilu, langkah apa pun yang diambil selalu memiliki resiko etik untuk dipermasalahkan di belakang hari. Mengambil langkah penindakan dapat diadukan atau dilaporkan etik oleh terlapor yang merasa dirugikan atau yang merasa diperlakukan tidak adil. Demikian pula saat tidak mengambil tindakan, juga potensi diadukan sebab dianggap melakukan pembiaran dan tidak profesional sebagai Pengawas Pemilu. Jadi mengambil tindakan atau tidak mengambil tindakan semuanya memiliki resiko etik. Berarti pada posisi ini, tindakan dan kebijakan apa pun yang diambil harus selalu bersandar pada kewenangan, prosedur dan substansi tindakan yang dilakukan. Dan, inilah yang bisa memperkuat sikap dan perbuatan Penyelenggara Pemilu jika suatu saat ada yang meragukan atau mempersoalkan.

Atau, pada posisi ini pimpinan perlu melakukan refleksi diri sekaligus langkah penyesuaian diri (internalisasi). Sebab bisa jadi ketidak-taatan jajaran terjadi karena hilang kharisma kepemimpinan. Atau malah arahan yang diberikan tidak logis dan berdasar, sehingga cenderung dipersoalkan secara etika bahkan hukum di belakang hari. Sehingga jajaran tadi, cenderung mengambil langkah alternatif yang lebih menjamin dirinya bebas dari prasangka dan resiko pelanggaran kode etik Penyelenggara Pemilu. Walaupun ia harus menerima label sebagai jajaran yang tidak loyak, jajaran yang cenderung mengambil langkah yang kontra produktif dengan arahan pimpinan.

Konsekuensi Penindakan

261 Views

Majelis DKPP yang menerima dan memeriksa telah memberikan kesempatan sama kepada pengadu. Pengadu pada pokoknya merasa dirugikan dengan kinerja teradu yang dianggap tidak profesional dan melanggar kode etika penyelenggara pemilu, sehingga memohon kepada majelis DKPP untuk menjatuhkan sanksi pemberhentian tetap.

“Permohonan saya sebagai pihak pengadu yang dirugikan dengan tindakan teradu yang tidak profesional. Saat ini nasi sudah menjadi bubur, saya sudah dimatikan secara politik hingga tidak dapat mengikuti kontestasi pemilu. Dari itu kiranya majelis menjatuhkan sanksi pemberhentian tetap kepada semua teradu.” Tegas Bayu yang merupakan pengadu dalam sidang majelis DKPP.

“Terakhir, silahkan kepada teradu menyampaikan harapan sebagai pertimbangan majelis DKPP, setelah mengikuti serangkaian pemeriksaan dan pembuktian dalam sidang ini,” Ujar ketua majelis sambil mempersilahkan.

“Terima kasih ketua majelis yang mulia. Pengawasan dan penindakan Bawaslu lakukan sudah sesuai dengan kewenangan, prosedur dan substansi pelaksanaan dari diberikannya amanah ini kepada kami selaku pimpinan Bawaslu,” Kata Christian.

Christian juga menjelaskan, dalam pengawasan kegiatan reses anggota DPRD sebelum masa kampanye, menjadi tugas dan kewenangan pengawas pemilu sesuai ketentuan UU Pemilu untuk melakukan pengawasan. Demikian pula, penetiban APK (neon box) milik pengadu telah melalui serangkaian upaya pencegahan berupa sosialisasi dan rapat koordinasi, penyampaian surat himbauan namun tidak diindahkan, sehingga diikuti langkah penandaan melanggar, serta  koordinasi dengan Satpol PP hingga langkah penertiban APK dimaksud. Demikian pula dengan penindakan pidana pemilu hingga memperoleh putusan berkekuatan hukum tetap (incraht) dari Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tinggi setelah melalui serangkaian proses sesuai ketentuan. Termasuk kasus itu telah melalui pembahasan pertama, kedua, ketiga dan keempat di sentra Gakkumdu.

“Pada pokoknya, Bawaslu sudah melaksanakan sesuai kewenangan, prosedur dan substansi pengawasan dan penindakan sesuai UU Pemilu. Dalam pelaksanaanya, terkadang kami berhadapan dengan ancaman kekerasan dan tindakan intimidasi, bukan hanya kepada diri kami tetapi terkadang kepada teman-teman dan keluarga kami. Kami juga pernah dilaporkan ke Polisi, Namun semuanya tidak dapat dilanjutkan karena tidak didukung dengan bukti memadai.” Lanjut dan Tegas Malik.

Christian dan Malik dihadapkan ke muka sidang majelis pelanggaran kode etik penyelenggara pemilu oleh pengadu yang merupakan salah satu pengurus parpol, karena diduga melakukan pelanggaran kode etik penyelenggara pemilu. Sebagai hasil penindakan pelanggaran dari teradu, mengakibatkan kepentingan politik pengadu harus kandas, dan menerima keputusan KPU dengan status tidak memenuhi syarat (TMS). TMS ditetapkan KPU sebagai akibat yang bersangkutan (calon anggota legislatif) melakukan tindak pidana pemilu hingga lanjut ke proses hukum dan memperoleh putusan yang kekuatan hukum tetap melalui serangkaian pemeriksaan di Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tinggi yang menerima, memeriksa, mengadili dan memutus.

“Majelis sidang yang menerima dan memeriksa kasus ini telah menganggap cukup keterangan dan pembuktian para pihak, sehingga menjadi dasar dalam rapat pleno untuk rumusan dan menjatuhkan putusan yang akan dibacakan pada persidangan berikutnya yang waktunya akan disampaikan kemudian. Dengan demikian, sidang selesai dan ditutup.” Seraya ketua majelis mengacungkan tiga kali ketukan palu.

***

Kerja-kerja pengawasan merupakan pekerjaan yang “orang lain” tidak sukai. Artinya, tidak ada orang yang suka diawasi. Entah benar apalagi salah yang dilakukan orang tersebut, Ia cenderung tidak suka diawasi. Sebab hal benar yang dilakukan, tidak akan dipermasalahkan oleh pengawas, sebab menjadi keharusan sikap dan perilaku. Tetapi saat ada masalah dilakukan, Ia akan cenderung dipermasalahkan baik secara administrasi, etika bahkan pidana. Pada posisi ini, orang tidak suka diawasi. Bahkan mereka yang bekerja sebagai pengawas, ternyata tidak suka diawasi. Pihak yang memiliki tugas dan wewenang melakukan pengawasan, juga menjadi pihak yang tidak suka diawasi.

Pengawasan secara konseptual ditujukan menjamin proses pelaksanaan pekerjaan agar dilaksanakan dalam koridor legal, benar dan sah. Jika ada potensi penyimpangan, tindakan pengawasan akan menjadi patron perbaikan dan koreksi. Langkah ini dalam penyelenggaraan pemilu dinamakan langkah pencegahan terjadinya pelanggaran.

Namun saat pencegahan sudah dilakukan, dan potensi pelanggaran masih terjadi, maka langkah selanjutnya adalah penindakan pelanggaran. Penindakan menjadi alternatif terakhir memulihkan keadaan yang terganggu akibat terjadinya pelanggaran. Dalam konteks pemilu, penindakan pelanggaran merupakan keniscayaan saat terdapat keadaan yang secara faktual ditemukan unsur formil dan materil pelanggaran. Pelanggaran diuji melalui serangkaian tindakan proses pembuktian di Bawaslu dan Pengadilan yang menerima, memeriksa dan mengadili pelanggaran yang dilaporkan atau ditemukan.

Bagi pengawas pemilu yang diberikan mandat oleh UU Pemilu melakukan penindakan pelanggaran, menjadi keniscayaan melakukan serangkaian upaya penegakan hukum saat ditemukan fakta atau keadaan potensi pelanggaran. Pengawas pemilu dapat dipermasalahkan kinerja dan profesionalitas saat menemukan fakta atau keadaan yang mengharuskan penindakan pelanggaran namun tidak melakukan upaya memadai, atau terkesan melakukan pembiaran.

Pengawas pemilu yang konsisten melaksanakan tugas dan wewenang secara berintegritas dan profesional, saat menerima laporan atau menemukan pelanggaran pemilu perlu melakukan serangkaian tindakan penindakan. Pada posisi inilah, pengawas pemilu rawan dan berpotensi mendapatkan perlawanan, ancaman, dan intimidasi. Dilaporkan ke Polisi dan dipersoalkan profesionalitas kinerja ke DKPP menjadi dinamika suka-duka akhir penindakan pelanggaran. Inilah konsekuensi penindakan pelanggaran.

Lalu di mana letak pegangan penyelenggara pemilu agar mendapat posisi dan jawaban menghadapi semua tantangan dan perlawanan tadi? Jawabannya, pada kewenangan yang merujuk pada UU Pemilu, prosedur penindakan dilakukan menurut ketentuan hukum, dan substansi berupa produk penindakan yang mencirikan profesionalitas dan integritas yang tinggi. Sehingga saat ada pihak yang mempersoalkan, Ia memiliki jawaban dan pendirian yang dapat dipertanggungjawabkan baik dari sisi hukum dan etika (profesional dan integritas).

Tantangan berikutnya yang sering hinggap adalah, godaan. Godaan bisa datang berbentuk uang dan lawan jenis (wanita). Seseorang bisa saja kuat menghadapi tekanan dan intimidasi, juga kuat menghadapi godaan materi berupa uang yang bertumpuk-tumpuk.

Namun ada yang lalai dan berlutut dihadapan “wanita cantik”, akhirnya masuk dalam perangkap hubungan gelap alias perselingkuhan. Lena dan lelap dalam dekapan, desahan dan bujuk rayu manja sang wanita cantik yang pada akhirnya membuat petaka dalam karier dan kehidupan biduk rumah tangga.