PENERTIBAN ALAT PERAGA KAMPANYE
Oleh: Ruslan Husen, SH., MH.
(Ketua Bawaslu Provinsi Sulteng)
Pendahuluan
Akibat dampak global wabah pandemi covid-19 yang melanda semua negara, KPU akhirnya menjadwalkan ulang hari pemungutan suara pemilihan kepala daerah serentak menjadi tanggal 9 Desember 2020. Langkah ini diambil setelah penundakan sebagian tahapan akibat wabah pandemi ini, hingga tahapan pemilihan dilanjutkan kembali dalam konsep yang disebut pemerintah sebagai tatanan normal baru (new normal).
Pada tahapan kontestasi pemilihan, di antara yang menyita perhatian publik adalah tahapan masa kampanye. Kampanye merupakan satu tahapan dalam pemilihan yang sangat krusial, karena pada tahapan ini peserta pemilihan memiliki kesempatan untuk menyampaikan program kerja serta visi misi mereka kepada pemilih agar dapat terpilih dalam kontestasi pemilihan. Kampanye seharusnya menjadi wadah pendidikan politik untuk menampung aspirasi politik masyarakat, dan fasilitasi penyampaian janji-janji politik dari para kontestan yang berebut simpati publik.
Pada tahapan masa kampanye pemasangan Alat Peraga Kampanye (APK) masih menjadi metode yang digemari partai politik atau gabungan parpol, pasangan calon dan/atau tim kampanye untuk mempromosikan citra diri peserta pemilihan yang mereka usung. Pemasangan alat peraga ini tidak memerlukan masyarakat berkumpul, dan bernilai sosialisasi praktis sehingga menjadikan metode ini menjadi pilihan sejak tahapan masa kampanye dimulai.
Namun dalam pelaksanaan, muncul masalah pemasangan alat peraga yang melanggar ketentuan. Mulai dari pemasangan pada tempat yang dilarang, jumlah yang melebihi dari ketentuan per/wilayah desa dan kelurahan, sampai desain materi muatan yang tidak sesuai ketentuan. Atas pelanggaran dimaksud mengharuskan langkah pencegahan pelanggaran, yang jika tidak diindahkan oleh pihak peserta maka diikuti langkah penertiban. Berdasarkan hal tersebut, muncul permasalahan siapa yang berwenang dalam penertiban APK yang melanggar, dan bagaimana mekanisme penertibannya?
Sebelum masa kampanye, muncul juga berbagai alat peraga berbentuk spanduk dan baliho milik para bakal calon kepala daerah dengan tujuan untuk mensosialisasikan citra diri mereka. Bahkan ada yang berani menyebut sebagai calon kepala daerah, padahal belum ada calon yang ditetapkan oleh KPU setempat. Atas peraga kampanye bernilai politik yang terpasang di area publik tersebut, apakah melanggar atau tidak. Jika melanggar ketentuan, siapa yang berwenang melakukan penertiban dan kapan itu dilaksanakan?
Konsep dan Pengaturan Kampanye
Kampanye sejatinya mencerdaskan, membahagiakan, dan menjadi referensi yang cukup bagi pemilih untuk menentukan pilihan dan menyalurkan hak pilihnya di hari pemungutan suara. Kampanye pasangan calon idealnya disampaikan dengan cara sopan, tertib, mendidik, bijak, dan beradab, serta tidak bersifat provokatif. Melalui kampanye, pasangan calon dapat mengukur perolehan suara dengan kekuatan visi, misi, dan program yang ditawarkan dan disampaikan kepada masyarakat sebagai pemilih. Dengan demikian, kampanye semestinya menjadi wadah adu ide, gagasan, dan program dari pasangan calon yang akhirnya menjadi sarana interaksi yang mencerdaskan terutama bagi masyarakat pemilih dan pasangan calon.[1]
Menurut Gun Gun Heryanto kampanye harus diletakkan tidak semata sebagai upaya meraup suara dengan menghalalkan segala cara. Melainkan harus dibingkai dengan tanggung jawab politik guna menjaga kualitas kontestasi elektoral. Kampanye tidak semata dimaknai sebagai skema prosedural melainkan harus menjaga etos demokratik seperti nilai ketaatan atas hukum dan keadaban politik.[2] Sehingga pelaksanaan kampanye wajib tunduk dan patuh pada peraturan yang mengatur soal tahapan kampanye pemilihan.
Atas Peraturan KPU tentang kampanye pemilihan kepala daerah, ditemukan metode kampanye yang sebelumnya dapat dilaksanakan menjadi terlarang dilakukan akibat pandemi covid-19. Metode kampanye yang dilarang dilakukan dimaksud karena mengumpulkan dan melibatkan banyak orang berkerumun hingga rawan saling menyebarkan virus, meliputi: pentas seni, panen raya, dan atau konser musik; kegiatan olahraga berupa gerak jalan santai, dan atau sepeda santai; perlombaan; dan kegiatan sosial berupa bazar, donor darah, dan/atau hari ulang tahun.
Walaupun terdapat metode kampanye yang dilarang, partai politik atau gabungan parpol, pasangan calon dan/atau tim kampanye tetap diperbolehkan melaksanakan kampanye menggunakan metode tertentu. Merujuk pada Pasal 65 UU Pemilihan, metode kampanye dapat dilaksanakan melalui:
- pertemuan terbatas;
- pertemuan tatap muka dan dialog;
- debat publik/debat terbuka antarpasangan calon;
- penyebaran bahan kampanye kepada umum;
- pemasangan alat peraga kampanye;
- pemasangan iklan kampanye di media massa cetak, media massa elektronik, dan lembaga penyiaran publik atau lembaga penyiaran swasta;
- kegiatan lain yang tidak melanggar larangan kampanye dan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Atas semua metode kampanye yang diperbolehkan, pemasangan APK masih menjadi metode yang digemari para kontestan pemilihan. Alat peraga kampanye merupakan semua benda atau bentuk lain yang memuat visi, misi, dan program pasangan calon, simbol, atau tanda gambar pasangan calon yang dipasang untuk keperluan kampanye yang bertujuan untuk mengajak orang memilih pasangan calon tertentu, yang difasilitasi oleh KPU yang didanai APBD dan dibiayai sendiri oleh pasangan calon.[3] Jadi alat peraga ada yang dibiayai oleh penyelenggara lewat anggaran hibah daerah, dan ada yang dibiayai dan dilaksanakan sendiri oleh partai politik dan/atau pasangan calon.
Tujuan fasilitasi kampanye melalui anggaran daerah/negara menurut Lia Wulandari sebagai jaminan agar proses kompetisi berlangsung secara jujur dan adil antar peserta. Adanya perbedaan kemampuan sumber daya finansial dan manusia di antara peserta pemilihan, melalui fasilitasi kampanye diharapkan peserta memiliki kesempatan yang sama dalam melakukan kegiatan kampanye dan sosialisasi program, visi dan misi mereka kepada pemilih.[4] Adapun pembiayaan mandiri dalam produksi alat peraga oleh peserta pemilihan, tetap proporsional sebagai pengeluaran dana kampanye yang akan dilaporkan, dan dalam pelaksanaan harus tunduk pada aturan yang mengatur batasan jumlah, tempat pemasangan, dan desain materi muatan.
Beberapa ketentuan seputar metode kampanye APK pada perhelatan pemilihan, yang sekaligus dapat digunakan sebagai indikator kepatuhan atau terjadinya pelanggaran dalam pemasangan alat peraga. Pertama, jumlah dan ukuran. Jumlah dan ukuran APK[5] terdiri atas:
- baliho/billboard/videotron paling besar ukuran 4 (empat) meter x 7 (tujuh) meter, paling banyak 5 (lima) buah setiap pasangan calon untuk setiap kabupaten/kota;
- umbul-umbul paling besar ukuran 5 (lima) meter x 1,15 (satu koma lima belas) meter, paling banyak 20 (dua puluh) buah setiap pasangan calon untuk setiap kecamatan; dan/atau
- spanduk paling besar ukuran 1,5 (satu koma lima) meter x 7 (tujuh) meter, paling banyak 2 (dua) buah setiap pasangan calon untuk setiap desa atau sebutan lain/kelurahan.
Walaupun jumlah alat peraga sudah ditentukan, pasangan calon dapat menambahkan APK paling banyak 150% (seratus lima puluh persen) dari jumlah maksimal. Misalnya untuk jumlah 20 setiap kecamatan dengan ukuran 5m x 1,15m, pasangan calon dapat meminta KPU setempat memfasilitasi penambahan 10 sehingga memenuhi kouta 150% dari jumlah sebelumnya. Tapi penambahan lewat pembiayaan hibah daerah tetap memperhatikan ketersediaan anggaran lewat alokasi penggunaan di KPU setempat.
Kedua, desain dan materi. Desain dan materi alat peraga dapat memuat nama, nomor, visi, misi, program, foto pasangan calon, tanda gambar partai politik atau gabungan partai poitik dan/atau foto pengurus partai politik atau gabungan partai politik.
Namun, pada desain dan materi APK dilarang mencantumkan foto atau nama presiden dan wakil presiden dan/atau pihak lain yang tidak menjadi pengurus partai politik.[6] Juga dilarang memuat materi yang menjadi larangan kampanye, sebagaimana disebutkan dalam Pasal 69 UU Pemilihan.
Ketiga, Lokasi pemasangan. KPU berkoordinasi dengan pemerintah daerah, perangkat kecamatan, dan perangkat desa/kelurahan untuk menetapkan lokasi pemasangan APK, yang selanjutnya dituangkan pada keputusan KPU. Pada penetapan lokasi pemasangan, wajib merujuk pada Pasal 30 ayat (9) PKPU Nomor 4 Tahun 2017 yang menyatakan alat peraga dilarang dipasang pada lokasi meliputi: tempat ibadah termasuk halaman; rumah sakit atau tempat pelayanan kesehatan; gedung milik pemerintah; dan lembaga pendidikan (gedung dan sekolah). Pemasangan APK juga dilaksanakan dengan mempertimbangkan etika, estetika, kebersihan dan keindahan kota atau kawasan setempat sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Keempat, jangka waktu pemasangan. Pemasangan alat peraga dimulai pada masa kampanye sesuai peraturan tahapan yang ditetapkan KPU. Waktu kampanye dalam pelaksanaan pilkada putaran keempat, dimulai tanggal 26 September 2020 dan berakhir pada 5 Desember 2020 atau 3 hari sebelum tanggal pemungutan suara. Waktu tersebut sejatinya dimanfaatkan oleh pasangan calon untuk melaksanakan kampanye, karena setelah itu masa tenang menjadi terlarang melakukan kampanye.
Penertiban Alat Peraga Kampanye
Mekanisme penertiban Alat Peraga Kampanye (APK) merujuk pada Perbawaslu Nomor 12 Tahun 2018 Tentang Perubahan Atas Perbawaslu Nomor 12 Tahun 2017 Tentang Pengawasan Kampanye Peserta Pemilihan. Perbawaslu tersebut mengamanatkan tanggungjawab kepada Bawaslu, Bawaslu Provinsi, Bawaslu Kabupaten/Kota, dan Panwas Kecamatan untuk melakukan pengawasan terhadap persiapan kampanye dan pelaksanaan kampanye.[7] Pada tahapan persiapan kampanye, Bawaslu melaksanakan pengawasan terhadap lokasi pemasangan alat peraga yang akan ditetapkan oleh KPU setelah berkoordinasi dengan pemerintah daerah, perangkat kecamatan, dan perangkat desa atau sebutan lain/kelurahan.[8] Hal ini berhubungan dengan pelaksanaan pengawasan kampanye di lokasi yang terlarang dipasangi alat peraga.
Pada tahapan pelaksanaan kampanye, salah satu objek pengawasan jajaran Bawaslu yakni terkait pemasangan APK. Berdasarkan Pasal 8 ayat (2) Perbawaslu Nomor 12 Tahun 2017 menyatakan objek pengawasan yang dilakukan oleh jajaran Bawaslu untuk memastikan pemasangan hal-hal berikut:
- APK yang dipasang oleh KPU Provinsi dan/atau KPU Kabupaten/Kota sesuai dengan desain yang disampaikan oleh pasangan calon dan tim kampanye;
- APK yang ditambahkan oleh pasangan calon telah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
- penetapan jumlah maksimal APK berdasarkan hasil koordinasi KPU Provinsi atau KPU Kabupaten/Kota dengan pasangan calon dan/atau tim kampanye pasangan calon;
- adanya surat keputusan penetapan jumlah maksimal APK dari KPU Kabupaten/Kota;
- adanya surat persetujuan tertulis dari KPU Kabupaten/Kota untuk ukuran dan jumlah APK yang dicetak oleh pasangan calon;
- adanya persetujuan dari KPU Provinsi atau KPU Kabupaten/Kota untuk penggantian APK yang rusak pada lokasi dan jenis APK yang sama;
- Partai politik atau gabungan partai politik, pasangan calon dan/atau tim kampanye tidak mencetak dan memasang APK selain dalam ukuran, jumlah dan lokasi yang telah ditentukan oleh KPU;
- Gubernur atau wakil gubernur, bupati atau wakil bupati, dan wali kota atau wakil wali kota yang menjadi pasangan calon tidak memasang APK yang menggunakan program pemerintah provinsi atau kabupaten/kota selama masa cuti Kampanye;
- Gubernur atau wakil gubernur, bupati atau wakil bupati, dan wali kota atau wakil wali kota yang menjadi pasangan calon menurunkan APK yang menggunakan program pemerintah provinsi atau kabupaten/kota dan sudah terpasang sebelum masa kampanye dimulai dalam waktu 1×24 jam; dan
- pemasangan APK sesuai dengan jadwal dan lokasi kampanye yang sudah ditetapkan.
Atas objek pengawasan di atas, jajaran Bawaslu dapat melakukan pengawasan dengan cara: melakukan pengawasan langsung, mendapatkan salinan surat keputusan penetapan jumlah maksimal alat peraga, mendapatkan salinan surat persetujuan tertulis dari KPU Kabupaten/Kota untuk ukuran dan jumlah alat peraga yang dicetak oleh pasangan calon, mendapatkan salinan surat persetujuan dari KPU Provinsi atau KPU Kabupaten/Kota untuk penggantian alat peraga yang rusak, dan mendapatkan salinan berita acara penyerahan alat peraga.
Pada proses pengawasan, apabila ditemukan alat peraga yang tidak sesuai desain, jadwal, dan/atau lokasi yang telah ditetapkan, maka Bawaslu memberikan rekomendasi penurunan.[9] Rekomendasi dimaksud telah melalui proses penanganan pelanggaran administrasi di pengawas pemilihan, yang diawali dengan laporan atau temuan, rapat pleno, registrasi temuan pelanggaran, penanganan selama lima hari.
Rekomendasi penurunan atas pelanggaran pemasangan alat peraga ditujukan kepada KPU setempat selaku eksekutor. Atas rekomendasi tersebut, KPU melakukan serangkaian proses internal yang menghasilkan tindakan atas pelanggaran ketentuan pemasangan APK dimaksud, jika terbukti kebenarannya, peserta pemilihan dikenai sanksi oleh KPU berupa: peringatan tertulis; atau perintah penurunan APK dalam waktu 1 x 24 jam.[10]
Apabila partai politik atau gabungan partai politik, pasangan calon dan/atau tim kampanye tidak melaksanakan perintah penurunan APK dari KPU, maka Bawaslu berkoordinasi dengan Satuan Polisi Pamong Praja setempat untuk penertiban. Koordinasi dan penertiban alat peraga dalam praktek, dapat melibatkan pihak kepolisian untuk pengamanan, dan jajaran KPU sebagai penyelenggara teknis untuk bersama-sama melakukan penertiban alat peraga dimaksud.
Terhadap alat peraga yang masih terpasang menjelang hari tenang, maka KPU berkoordinasi dengan pemerintah daerah dan Bawaslu membersihkan alat peraga kampanye paling lambat 3 (tiga) hari sebelum hari dan tanggal pemungutan suara.[11] Jadi sentral penertiban alat peraga ada di KPU setempat, adapun pihak pemerintah daerah dan Bawaslu dapat berpartisipasi sesuai hasil rapat koordinasi yang digagas oleh KPU.
Muncul pertanyaan, bagaimana dengan alat peraga berbentuk spanduk dan baliho milik bakal calon kepala daerah yang terpasang sebelum masa kampanye dimulai? Alat peraga tersebut ditujukan sebagai sarana sosialisasi diri para bakal calon sebelum penetapan pasangan calon. Jadi subjek hukum yang diterangkan oleh alat peraga belum berstatus sebagai calon resmi sesuai penetapan KPU. Akibat subjek yang belum terpenuhi, maka Bawaslu belum memiliki wewenang melakukan serangkaian proses penindakan pelanggaran administrasi.
Lalu siapa yang berwenang? Sejatinya pemerintah daerah menggunakan kewenangannya selaku penguasa ruang wilayah di daerah. Terhadap alat peraga yang dipasang pada tempat-tempat yang dilarang sesuai dengan peraturan daerah (Perda), dapat dilakukan penertiban oleh perangkat daerah. Jadi menggunakan instrumen dan sumber daya daerah, dengan catatan penertiban harus adil tanpa membedakan perlakukan atas alat peraga milik petahana atau bukan petahana.
Penutup
Mekanisme penertiban APK yang melanggar ketentuan, pertama Bawaslu memberikan rekomendasi penurunan alat peraga yang ditujukan ke KPU Provinsi atau KPU Kabupaten/Kota atas hasil pengawasan pemasangan alat peraga. Atas rekomendasi tersebut KPU Provinsi atau KPU Kabupaten/Kota memberikan sanksi berupa peringatan tertulis atau perintah penurunan APK dalam waktu 1 x 24 jam. Terakhir, apabila partai politik atau gabungan partai politik, pasangan calon dan/atau tim kampanye tidak melaksanakan penurunan, Bawaslu berkoordinasi dengan Satuan Polisi Pamong Praja setempat untuk menurunkan APK tersebut.
Terhadap alat peraga yang dipasang sebelum masa kampanye, dihitung sebagai keseluruhan jumlah hak peserta pemilihan yang boleh terpasang pada wilayah tertentu pada kampanye. Jika ternyata melebihi jumlah, dipasang pada wilayah yang dilarang, dan memuat desain materi yang tidak sesuai ketentuan, maka dapat dikategorikan sebagai pelanggaran sehingga dilakukan langkah-langkah penanganan pelanggaran hingga penertiban alat peraga.
Saran, sebelum penertiban alat peraga dilakukan baik pada tahapan kampanye dan tahapan masa tenang maka terlebih dahulu Bawaslu memastikan pencegahan pelanggaran telah dilakukan. Berupa surat himbauan, nota kesepahaman, dan koordinasi dengan pihak terkait yang ditujukan untuk mencegah terjadinya pelanggaran sekaligus mengefektifkan penertiban alat peraga kampanye.
Daftar Pustaka
Dede Sri Kartini (Editor). 2019. Perihal Penyelenggaraan Kampanye; Serial Evaluasi Penyelenggaraan Pemilu Serentak 2019. Jakarta: Bawaslu.
Gun-Gun Heryanto. 2019. Panggung Komunikasi Politik. Yogyakarta: Ircisod.
Ruslan Husen. 2019. Dinamika Pengawasan Pemilu. Bandung: Ellunar.
Catatan Kaki:
[1] Ruslan Husen. 2019. Dinamika Pengawasan Pemilu. Bandung: Ellunar. hlm. 145.
[2] Gun-Gun Heryanto. 2019. Panggung Komunikasi Politik. Yogyakarta: Ircisod. hlm. 150.
[3] Pasal 1 angka 22 PKPU Nomor 4 Tahun 2017 Tentang Kampanye Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, dan/atau Walikota dan Wakil Walikota.
[4] Lia Wulandari dalam Dede Sri Kartini (Editor). 2019. Perihal Penyelenggaraan Kampanye; Serial Evaluasi Penyelenggaraan Pemilu Serentak 2019. Jakarta: Bawaslu. hlm. 54.
[5] Lihat Pasal 28 ayat (2) PKPU Nomor 4 Tahun 2017.
[6] Lihat Pasal 29 ayat (2) PKPU Nomor 4 Tahun 2017.
[7] Pasal 2 ayat (3) Perbawaslu Nomor 12 Tahun 2017 Tentang Pengawasan Kampanye Peserta Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, dan/atau Walikota dan Wakil Walikota.
[8] Pasal 5 ayat (2) huruf f Perbawaslu Nomor 12 Tahun 2017.
[9] Pasal 8 ayat (4) Perbawaslu Nomor 12 Tahun 2017.
[10] Lihat Pasal 76 ayat (1) PKPU Nomor 4 Tahun 2017.
[11] Lihat Pasal 31 PKPU Nomor 4 Tahun 2017.