PENINGKATAN KUALITAS DEMOKRASI MELALUI PENATAAN PARTAI POLITIK
Oleh: Ruslan Husen
Kehidupan Demokrasi Indonesia sangat tergantung pada penataan Partai Politik (Parpol) saat ini. Dengan memiliki Parpol yang tertata baik, para pihak dan masyarakat tidak lagi berdebat terkait adanya tersangka korupsi atau mantan terpidana korupsi yang menjadi calon Kepala Daerah atau dicalonkan sebagai anggota DPR, DPR, dan DPRD. Parpol ideal, telah memiliki desain manajemen, pola rekrutmen, dan kaderisasi Parpol yang ketat dalam menyeleksi calon-calon yang diusulkan mengikuti kontestasi Pemilihan atau Pemilu. Parpol itu juga memiliki basis massa di masyarakat secara memadai dengan didukung oleh hubungan jaringan (networking) luas di berbagai Daerah.
Parpol dibentuk dengan tujuan sebagai sarana komunikasi dan sosialiasi politik. Kepentingan kelompok, golongan, dan kepentingan masyarakat secara luas, kemudian diperjuangkan melalui wakil-wakil yang duduk di lembaga legislatif, hingga lahir kebijakan Pemerintah berupa akses pelayanan publik berkualitas, peningkatan kualitas pembangunan Daerah, dan peningkatan kesejahteraan masyarakat. Sebaliknya, Parpol berfungsi untuk mendesiminasikan kebijakan Pemerintah kepada publik, agar diketahui, dilaksanakan, tumbuh rasa rasa memiliki dan sikap kolaborasi dalam mendukung kemajuan Bangsa dan Negara.
Parpol melakukan kegiatan berkesinambungan, penyambung aspirasi politik masyarakat, dan mengusulkan kebijakan publik. Kegiatan tersebut terus dilakukan, baik sebelum pelaksanaan pesta Demokrasi maupun telah selesai pelaksanaan Pemilihan atau Pemilu. Adapun rutinitas pergantian kepengurusan Parpol hendaknya tidak mengenyampingkan tugas dan fungsi Parpol tersebut.
Masalah Parpol
Pembentukan Parpol dimaksudkan sebagai sarana komunikasi dan sosialisasi politik serta rekrutmen politik. Pada posisi ini Parpol hadir memberikan pendidikan politik kepada semua pihak, terutama bagi internal Parpol itu sendiri, kemudian kepada pihak masyarakat. Namun, pada banyak sisi fungsi ini belum berjalan dengan baik, bahkan Parpol belum menjalankan fungsinya. Lebih Nampak, orientasi pragmatis berupa kontestasi memperebutkan kekuasaan dengan menggunakan segala macam cara. Kadang mengkritik Pemerintah dengan sangat fulgar atau mendukung Pemerintah dengan sangat loyal, demikian pula dengan etika dan perilaku para Elit Parpol lebih banyak pada pencitraan belaka, hingga kepercayaan dan dukungan publik kepada Parpol terus menurun.
Menurut Arbi Sanit, Parpol gagal dalam memperbarui dan mendemokratisasikan diri sesuai dengan tuntutan reformasi. Kegagalan itu nampak dari, organisasi dan institusi, kepemimpinan, ideologi, dan taktik dan strategi.[1] Selanjutnya permasalahan kepartaian dalam hasil penelitian P2P-LIPI mengenai Pelembagaan Partai Politik Pasca Orde Baru, dapat dilihat pada enam aspek, yakni ideologi, kaderisasi, demokrasi internal partai, kohesivitas internal, otonomi keuangan, dan hubungan dengan konstituen.[2]
Membaca pemikiran dan hasil penelitian tersebut, Penulis menguraikan masalah Parpol terutama setelah era reformasi dalam fungsinya sebagai sarana komunikasi dan sosialisasi politik serta kaderisasi calon pemimpin di lembaga eksekutif maupun di legislatif. Pertama, Institusi Parpol. Pendirian Parpol bukan perkara mudah, butuh banyak tenaga dan biaya serta kesamaan visi pendirinya. Apalagi saat Parpol tersebut berhasil lolos verifikasi dan ditetapkan sebagai peserta Pemilu oleh KPU. Dalam proses pendirian dan perkembangan Parpol, di internal Parpol akan muncul pemimpin kharismatik, tokoh sentral yang menentukan platfon dan kebijakan strategis Parpol.
Permasalahannya, saat institusi internal Parpol tidak membangun budaya demokratis di internalnya. Ini ditandai saat pengambilan keputusan atau pilihan politik yang sentralistik di pengurus pusat, ditentukan secara sepihak dan sebahagian kecil pengurus bahkan seorang pimpinan Partai saja. Pilihan-pilihan politik strategis diambil tanpa menyerap dan mendengar aspirasi dari jajaran pengurus lainnya serta kepentingan konstituen, yang tidak jarang menimbulkan dampak bumerang bahkan memicu konflik di internal Parpol.
Kedua, Ideologi Parpol. Ideologi Parpol di Indonesia pada garis besarnya menganut ideologi nasionalis (Pancasila), nasionalis religius, dan Islam. Walaupun jumlah Parpol itu cenderung banyak, namun garis ideologi yang dibangun adalah pada seputar tiga ideologi besar tadi. Ideologi Parpol menentukan ciri khas yang melekat pada diri Parpol terutama pengurus, dan menentukan sikap dan tindakan serta garis perjuangan partai.
Permasalahannya, pada internalisasi ideologi yang tidak holistik, hal ini dapat dilihat dari sikap dan tindakan anggota Parpol yang tidak konsisten, dan sering kali menjadikan ideologi untuk kepentingan kekuasaan belaka, kepentingan pribadi dan kelompok. Pada umumnya Parpol terperangkap pada upaya memperjuangkan kekuasaan jabatan publik semata dari pada memperjuangkan kebijakan publik.
Ketiga, Sistem rekrutmen dan kaderisasi Parpol. Berbagai Parpol memiliki sistem rekrumen dan pembinaan kader yang berbeda. Pada umumnya, rekrutmen dan kaderisasi berangkat dari bawah, ditempa dan dibina hingga loyal, militan dan potensial menduduki jabatan strategis di internal Parpol atau diusung sebagai calon legislatif dan calon kepala daerah. Parpol harus di desain agar orang yang melalui proses kaderisasi di Parpol dapat memiliki komitmen dan fokus dalam membangun demokrasi.
Permasalahannya, saat Parpol cenderung merekrut calon dengan cara instan dan pragmatis. Misalnya, beberapa anak pemimpin partai masuk dengan mudah menjadi calon anggota legislatif. Contoh lain, saat Parpol merekrut artis untuk dijadikan pendulang suara dengan kepopuleran dan kemampuan finansial yang artis miliki. Hal ini akan menimbulkan kekecewaan bagi para kader, terutama yang sudah lama mengabdi dan meniti karier di partai. Terhambat karier politiknya karena tidak memiliki hubungan kekerabatan dengan petinggi pengurus Parpol atau kalah populer dengan kalangan artis.
Keempat, Etika kepemimpinan elit Parpol. Seorang pemimpin hendaknya mampu menjadi panutan bagi anggota atau bawahannya, mencegah dari penyimpangan moral dan hukum. Pemimpin memiliki kewajiban moral yang disebut dengan etika kepemimpinan. Etika kepemimpinan merupakan nilai-nilai yang harus dimiliki pemimpin agar kepemimpinannya dapat berjalan efektif dan efisien untuk mencapai tujuan organisasi atau institusi.
Permasalahan kepemimpinan Parpol, dapat dilihat dari orientasi sikap, tingkah laku, dan kemampuan elit partai. Pada posisi ini pemimpin Parpol terkadang mempertahankan dan membela kadernya, walaupun nyata-nyata bersalah. Atau mencari dan memberi argumentasi pembenar atas masalah yang dialami oleh kadernya. Penampakan ini terjadi saat elit Parpol tersandung masalah hukum atau terlibat skandal kasus etika-moral, yang dikhawatirkan menggerus kepercayaan publik terhadap eksistensi Parpol.
Kelima, Otonomi keuangan Parpol. Sebagian besar Parpol masih bergantung pada bantuan Pemerintah untuk membiayai kegiatan dan operasional Parpol, belum ada kemandirian lewat sistem pendanaan Parpol. Sumber keuangan partai pada umumnya dapat berasal dari uang pangkal anggota, iuran bulanan anggota, dan infaq, namun belum berjalan efektif serta kurang mencukupi membiayai kebutuhan partai.
Munculnya kasus-kasus korupsi selama ini, tidak jarang terbukti melibatkan pimpinan Parpol sebagai pihak yang melakukan, membantu melakukan, atau turut serta dalam tindak pidana korupsi tersebut. Kadang terdapat hubungan benang merah, antara perilaku korupsi dengan tuntutan membiayai operasional Parpol. Parpol dalam melaksanakan rutinitas organisasi apalagi turun ke konstituen di wilayah, membutuhkan anggaran yang besar. Bantuan dari Pemerintah sangat minim dan pendanaan dari sumber internal juga tidak mencukupi, sementara kebutuhan aktifitas organisasi dan membangun brand positif Parpol membutuhkan anggaran yang besar. Sangat disayangkan jika perilaku pelanggaran hukum (korupsi) sebagai pilihannya.
Inisiasi penataan Parpol sebaiknya juga memperhatikan penataan sumber penerimaan dan pengeluaran dana Parpol. Jika perlu, kegiatan rutinitas Parpol dibebankan pada APBN, tapi dengan syarat dikelola sesuai dengan prinsip pengelolaan keuangan negara.
Keenam, Relasi Parpol dengan konstituen. Parpol yang ideal, ketika pada sisi massa-konstituen dapat terpelihara dan berkembang lewat kolaborasi politik. Parpol membutuhkan dukungan pemilih dalam bentuk hak suara saat voting day Pemilihan atau Pemilu, dan konstituen juga mengharap terjembataninya aspirasi politik untuk diperjuangkan agar menjadi kebijakan publik. Menurut Luky Sandra Amalia, kegiatan yang berkesinambungan sebagai kriteria Parpol yang ideal, baik untuk mengontrol kekuasaan, menyuarakan aspirasi politik, maupun dalam mengusulkan suatu kebijakan. Kegiatan tersebut tidak berhenti meskipun Pemilu berakhir dan tidak terpengaruh oleh pergantian kepengurusan partai.[3]
Saat ini, relasi Parpol dengan konstituen lebih bersifat hubungan temporer bahkan cenderung pragmatis. Para pemilih mempertimbangkan memilih calon atau Parpol, karena secara pragmatis ketika calon tersebut terpilih akan ikut berdampak baik terhadap eksistensinya. Lebih mempertimbangkan aspek kedirian, yang biasanya diikat dengan isu kesamaan, senasib, dan seperjuangan. Walhasil isu-isu aktual tentang suku, agama, ras, dan antar golongan masih efektif digunakan mendapatkan simpati dan dukungan publik.
Peningkatan Kualitas Demokrasi
Demokrasi merupakan asas dan sistem yang paling baik dari berbagai pilihan lainnya di dalam sistem politik dan ketatanegaraan.[4] Secara universal, demokrasi memiliki empat prinsip utama, yaitu kesetaraan rakyat, kebebasan individual, pemerintahan konstitusional, dan pengawasan rakyat. Keempat prinsip utama ini saling terkait, jika satu prinsip saja lemah, maka demokrasi akan timpang.[5]
Demokrasi memberikan kesempatan bagi rakyat untuk berperan dalam penyelenggaraan pemerintahan. Rakyat diberi kesempatan mendirikan Parpol untuk berkontestasi secara jujur dan adil memperebutkan kekuasaan pemerintahan melalui mekanisme Pemilu. Demokrasi memberi peran yang besar bagi Parpol untuk menjadi penyelengara negara, melalui orang-orang pilihan yang terpilih lewat proses demokratisasi Pemilihan atau Pemilu yang diusung Parpol. Di tangan elit politik/pemimpin terpilih inilah kemajuan dan kesejahteraan rakyat dipertaruhkan.
Rakyat yang berkumpul, berserikat dan membentuk sebuah Parpol seharusnya terdiri dari orang-orang yang memiliki integritas dan kesadaran tinggi untuk mempertahankan eksistensi negara. Mereka memiliki jiwa nasionalisme dan kesadaran membangun bangsa dan negara. Negara yang dapat memberikan manfaat sebesar-besarnya bagi keadilan dan kemakmuran rakyat melalui pemerintahan berintegritas dan bertangggung jawab.
Jika manajemen dan pola perjuangan Parpol telah berintegritas dan kredibel dalam struktur parlemen, dan peran masyarakat (civil society) senantiasa kritis-konstruktif terhadap jalannya pemerintahan, maka akan menghasilkan regulasi serta kebijakan yang responsif bagi sebesar-besarnya keadilan dan kemakmuran rakyat.
Tantangan saat ini, perlu ada langkah selalu mengingatkan dan mengontrol Parpol untuk senantiasa berbenah, mereformasi organisasi agar kembali ke tujuan dan fungsi Parpol sebagai sarana komunikasi dan sosialisasi politik serta rekrutmen politik. Tujuannya agar Parpol sebagai pilar demokrasi memahami dan menginternalisasikan tugas dan fungsinya dalam mendukung sistem bernegara.
Pada sisi lain, pendidikan politik, dan pengorganisasian masyarakat sebagai entitas politik non-parlement sangat diperlukan sebagai strategi penyeimbang Parpol. Masyarakat yang cerdas dan berdaya harus dianggap mitra-kolaborasi. Bahkan, kekuatan warga negara yang kritis dapat diolah sebagai daya dorong bagi Parpol untuk makin penguatan institusi Parpol yang berintegritas. Pada sisi ini akan menghasilan, Parpol dan masyarakat dengan fungsinya masing-masing sebagai syarat peningkatan kualitas demokrasi.
[1] Arbi Sanit dalam Luki Sandra Amalia (Editor), 2017, Partai dan Sistem Kepartaian Era Reformasi, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, hlm. 13.
[2] Luki Sandra Amalia, ibid, hal. 67.
[3] Luky Sandra Amalia, 2016, Evaluasi Pemilu Legislatif 2014; Analisis Proses dan Hasil, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, hlm. 17.
[4] Ni’matu Huda dan M. Imam Nasef, 2017, Penataan Demokrasi & Pemilu di Indonesia Pasca Reformasi, Kencana, Jakarta, hlm. 13.
[5] Sri Budi Eko Wardani dalam Ihsan Ali-Fauzi dan Samsu Rizal Panggabean (Penyunting), 2012, Memperbaiki Mutu Demokrasi Di Indonesia: Sebuah Perdebatan, Pusad, Jakarta, hal. 134.