Perlindungan Hak Pilih
PERLINDUNGAN HAK PILIH
Oleh: Ruslan Husen
Hak pilih merupakan salah satu bentuk hak politik yang sifatnya mendasar bagi seluruh warga negara dan termasuk dalam kategori Hak Asasi Manusia (HAM). Hak pilih diatur di dalam ketentuan hukum fundamental suatu negara, yakni dalam Undang-Undang Dasar dan dalam Undang-Undang Pemilihan Umum. Negara berkewajiban memberikan jaminan perlindungan atas hak pilih warga negara melalui kebijakan dan tindakan melindungi hak pilih penduduk yang memenuhi syarat, agar dimasukkan dalam daftar pemilih tetap untuk menyalurkan hak suaranya di hari pemungutan suara.
Hak pilih di antaranya adalah hak untuk memilih dan dipilih dalam suatu pelaksanaan Pemilu yang jujur dan adil. Pemilu yang dilakukan dengan pemilih memberikan suara secara langsung, umum, bebas, dan rahasia. Pemilu yang dilaksanakan secara berkala oleh lembaga Penyelenggara Pemilu, yakni KPU, Bawaslu, dan DKPP sebagai satu kesatuan fungsi penyelenggaraan Pemilu.
Hak pilih ini memiliki karakter demokratis bila memenuhi tujuh prinsip, yaitu umum (universal), setara (equal), rahasia (secret), bebas (free) dan langsung (direct), jujur dan adil (honest and fair). Hak pilih bersifat umum bila dapat menjamin setiap warga negara tanpa diskriminasi untuk memilih dan hak untuk dipilih dalam Pemilu. Kesetaraan dalam hak pilih mensyaratkan adanya kesamaan nilai suara dalam Pemilu bagi setiap pemilih. Prinsip kerahasiaan dalam hak pilih adalah adanya jaminan bahwa tidak ada pihak lain yang mengetahui pilihan pemilih. Prinsip langsung dalam hak pilih adalah adanya jaminan bahwa pemilih dapat memilih secara langsung para calon tanpa perantara.[1]
Dalam International Convenan on Civil and Political Rights (ICCPR) disebutkan bahwa keberadaan hak-hak dan kebebasan dasar manusia yang bersifat absolut tidak boleh dikurangi walaupun dalam keadaan darurat, yang terdiri atas hak bebas dari pemidanaan yang bersifat surut, hak sebagai subjek hukum, hak kebebasan berpikir, hak berkeyakinan atau agama. Begitu juga hak dalam memilih dan dipilih dalam suatu pelaksanaan Pemilihan atau Pemilu secara periodik. Hal ini menekankan bahwa hak politik berupa hak memilih dan hak untuk dipilih merupakan hak yang dimiliki oleh warga negara yang memenuhi syarat dan negara harus hadir untuk memfasilitasi dan memberikan perlindungan secara maksimal.
Selain itu, Mahkamah Konstitusi dalam putusan Perkara Nomor 011-017/PUU-I/2003 tanggal 24 Februari 2004 antara lain menyebutkan, “Menimbang, bahwa hak konstitusional warga negara untuk memilih dan dipilih (right to vote and right to be candidate) adalah hak yang dijamin oleh konstitusi, undang-undang maupun konvensi internasional, maka pembatasan penyimpangan, peniadaan, dan penghapusan akan hak dimaksud merupakan pelanggaran terhadap hak asasi dari warga negara.”
Bentuk jaminan pemilih untuk dapat menggunakan hak pilihnya adalah tersedianya DPT yang akurat. Apabila pemilih telah terdaftar, pada hari pemungutan suara mereka mendapat jaminan untuk dapat menggunakan hak pilihya. Namun sebaliknya, bila pemilih tidak terdaftar dalam DPT, mereka potensial kehilangan hak pilihnya.
Menegakkan Hak Pilih
Tujuan utama sistem keadilan Pemilu adalah menjamin kebijakan dan tindakan yang diambil stakeholders (utamanya Pemerintah dan Penyelenggara Pemilu) dalam proses Pemilu selalu sesuai dengan kerangka hukum demi menegakkan hak pilih warga negara. Karena itulah, kerja-kerja Penyelenggara Pemilu yang berintegritas dengan fasilitasi Pemerintah menjadi salah satu standar integritas penyelenggaraan Pemilu.
Menurut Ramlan Surbakti, integritas Pemilu jika pelaksanaannya berdasarkan kepastian hukum yang dirumuskan sesuai asas Pemilu demokratis. Pemilu berintegritas adalah Pemilu yang jauh dari praktik manipulasi Pemilu (electoral fraud), seperti penyimpangan lain termasuk manipulasi perhitungan suara, pendaftaran pemilih secara ilegal, intimidasi terhadap pemilih. Manipulasi pemilihan seperti mencegah warga yang berhak memilih untuk memberikan suara secara bebas bahkan ada kalanya mencegah warga untuk memilih.[2]
Integritas Pemilu terlihat jika Pemilu terlaksana berdasarkan prinsip Pemilu demokratis dan penegakan hak pilih dan kesetaraan politik dengan Penyelenggara Pemilu yang profesional, tidak memihak dan senantiasa transparan. Demikian seharusnya jika ingin mewujudkan integritas Pemilu, maka jaminan hak untuk memilih dan dipilih dengan kerangka hukum yang mengakomodir semua warga negara yang memenuhi syarat bisa ikut dalam Pemilu tanpa diskriminasi.
Salah satu parameter Pemilu demokratis menurut Robert A. Dahl adalah inclusiveness, artinya setiap orang yang sudah dewasa harus diikutkan dalam Pemilu karena mempunyai kesempatan sama. Sedangkan equal vote, artinya setiap suara mempunyai hak dan nilai yang sama tanpa adanya suatu diskriminasi.[3] Keberadaan suatu formulasi hukum yang mewajibkan proses pemutakhiran daftar pemilih tetap secara transparan dan akurat, dengan jaminan perlindungan hak warga negara yang memenuhi syarat untuk didaftar dan mencegah masuknya orang-orang yang tidak memenuhi syarat dalam daftar pemilih tetap.
Fungsi lembaga Penyelenggara Pemilu sebagai pelaksana teknis sangat menentukan. KPU dan jajarannya melakukan pendataan pemilih dengan menggunakan basis data dari Pemerintah, untuk difaktualkan dengan cara memasukkan pemilih yang memenuhi syarat karena belum terdata, serta menghapus pemilih dari data karena tidak memenuhi syarat sebagai pemilih. Dan, Bawaslu beserta jajarannya dalam proses faktual data pemilih melakukan pengawasan melekat kepada KPU untuk akurasi data pemilih dengan memberikan saran dan rekomendasi jika sekiranya ada potensi pelanggaran proses pendataan tersebut.
Demi menjamin prinsip persamaan dan keadilan sebagai bagian dari prinsip demokrasi, maka hak pilih warga negara dalam proses penetapan DPT harus terakomodir secara utuh tanpa terkecuali. Kepastian ini menjadi penting, mengingat penetapan pemilih merupakan suatu parameter untuk meningkatkan partisipasi pemilih bagi negara demokrasi. Semakin sedikit pemilih yang tidak terdaftar dalam DPT, maka semakin tinggi nilai demokrasinya, sebaliknya semakin besar pemilih yang tidak terdaftar dalam DPT, maka nilai demokrasinya makinrendah.
Masalah dalam Penyusunan DPT
Permasalahan ketidakakuratan DPT menjadi permasalahan yang senantiasa muncul pada saat penyelenggaraan Pemilu. Pemilu dan Pemilihan Kepala Daerah sudah berulang dilaksanakan, tetapi masalah akurasi DPT masih saja terjadi, bahkan masalah yang sama terus berulang. Hal ini dampak saat ada sengketa hasil Pemilu, masalah akurasi DPT sering dijadikan objek sengketa yang turut dipermasalahkan.
Dalam proses Pemilu, Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) sebagai sumber data pemilih, menyiapkan data base berupa Daftar Penduduk Potensial Pemilih Pemilihan (DP4) berdasarkan data administrasi kependudukan untuk disinkronisasi langsung oleh KPU. DP4 tersebut difaktualkan oleh KPU dan jajarannya dengan melakukan pencocokan dan penelitian langsung ke rumah-rumah penduduk. Pengawas Pemilu juga hadir melakukan pengawas melekat untuk mengantisipasi potensi-potensi pelanggaran.
Permasalahan muncul menurut Sri Nuryanti,[4]saat pengelola data kependudukan yang kemudian diubah menjadi data pemilih tidak dilakukan oleh satu lembaga dan tidak dilakukan dengan sistem yang terintegrasi. KPU menerima DP4 meskipun sudah melakukan sinkronisasi, tetap mengalami masalah dalam hal ini sebagai berikut :
- validasi sumber data awal dan permasalahan yang dihadapi pada waktu pemutakhiran;
- masalah mobilitas penduduk dan mutasi kependudukan yang terjadi dan tidak terdata maupun belum terjadi ataupun akan terjadi setelah ada penetapan DPT;
- gugatan peserta Pemilu;
- masalah partisipasi warga negara yang minim dalam pembuatan DPT.
Dalam penyusunan DPT, persoalan teknis pembuatan DPT untuk menghasilkan data pemilih yang akurat, komprehensif dan mutakhir tidaklah mudah, butuh peran serta semua pihak utamanya Pemerintah, Penyelenggara Pemilu, peserta Pemilu, dan masyarakat. Apalagi dilihat dari proses pembuatan DPT yang cukup rumit, maka diperlukan sumber data komprehensif untuk mendapatkan daftar pemilih yang baik.
Sejak awal sumber data kependudukan tidak dapat dipastikan akurasinya, ini yang menambah kerumitan untuk mendapatkan data akurat bahkan sejak sumber datanya. Hal ini berdasar pemahaman bahwa data kependudukan berupa data lahir, mati, pindah penduduk, tidak tercatat secara on line. Dari itu, potensi data ganda akan sering terjadi, belum lagi soal mobilitas penduduk yang tidak bisa terdeteksi rentang waktunya.
Permasalahan pengelolaan data pemilih untuk akurasi DPT disebabkan oleh banyak faktor diantaranya, faktor ketentuan undang-undang, sumber data, dan partisipasi pemilih dan peserta Pemilu. Kombinasi dari permasalahan tersebut menjadi akumulasi problematika akurasi DPT. Terobosan yang perlu dilakukan adalah melakukan antisipasi data pemilih yang tidak akurat, tidak mutakhir atau tidak menyeluruh. Bahwa stakeholders Pemilu mulai dari Pemerintah, Penyelenggara Pemilu, peserta Pemilu, dan warga negara memiliki peran strategis masing-masing dalam menjamin hak pilih sebagaimana disebutkan dalam dalam konstitusi.
Pertama, Ketentuan undang-undang belum cukup menjamin validitas sumber data yang diberikan oleh Pemerintah, belum lagi sistem pendaftaran pemilih yang dianut Indonesia tidak konsisten atau berubah-ubah. Ketidak-konsistenan terhadap sistem tertentu juga berdampak kepada ketidak-akuratan DPT.
Inkonsistensi atau perubahan sistem pendaftaran pemilih dari Pemilu ke Pemilu pada akhirnya potensial menyebabkan daftar pemilih tidak akurat. Hal ini disebabkan asumsi pemilih bahwa dirinya telah terdaftar sebagai pemilih dalam Pemilu yang lalu. Namun karena sistem yang berubah-ubah, sangat mungkin pemilih yang semula terdaftar menjadi tidak lagi terdaftar. Ini disebabkan karena daftar pemilih disusun berdasarkan data yang berbeda.
Kedua, Sumber data. Lembaga yang memiliki otoritas melakukan pendataan jumlah penduduk di Indonesia adalah Kementerian Dalam Negeri (Mendagri) dan Badan Pusat Statistik (BPS). Nyatanya, data jumlah penduduk dari dua lembaga tersebut sering kali ditemukan berbeda. Perbedaan data penduduk itu dapat disebabkan dua hal, yaitu sumber data dan metode pengumpulan data dari masing-masing lembaga.
Data penduduk ada dua jenis, yaitu penduduk berdomisili secara de facto dan penduduk domisili de jure. Berdasarkan dua jenis data itu, Kemendagri mendata berdasarkan data penduduk domisili de jure dengan dibuktikan identitas kependudukan. Sementara BPS berdasarkan data penduduk domisili de facto, tanpa memperhatikan identitas kependudukan setiap orang yang secara de facto berdomisili di suatu tempat dicatat dalam data jumlah penduduk.[5]
Dengan demikian, metode yang digunakan oleh Kemendagri cq. Pemerintah Daerah adalah mendata jumlah penduduk berdasarkan identitas kependudukan. Kemendagri lebih bersifat pasif terhadap data penduduk yang sangat bergantung pada laporan peristiwa kependudukan (kelahiran, kematian, perkawinan) dari masyarakat. Sementara BPS menggunakan metode sensus, yaitu mencatat data penduduk secara aktif dengan melibatkan petugas sensus menemui orang secara langsung dalam suatu wilayah tertentu.
Ketiga, Tingkat partisipasi pemilih dan peserta Pemilu yang masih minim. Partisipasi politik merupakan inti dari prinsip demokrasi. Demokratis atau tidaknya suatu sistem politik, sangat ditentukan oleh ada atau tingginya tingkat partisipasi politik warga.
Akurasi daftar pemilih di antaranya ditentukan oleh respons masukan dan tanggapan dari masyarakat dan peserta Pemilu. Pendidikan pemilih hendaknya diarahkan untuk kegiatan pemutahiran DPT. Pemutahiran daftar pemilih dapat dijadikan sebagai salah satu substansi pendidikan politik yang sering digalakkan Partai Politik (Parpol). Kalau Parpol melaksanakan amanat ini, niscaya tidak mengalami kesukaran dalam mengajak, dan memfasilitasi para anggota dan simpatisan yang belum terdaftar dalam data pemilih untuk mendaftarkan diri kepada Penyelenggara Pemilu masing-masing wilayah.
Penutup
Hasil dari Pemilu yang berintegritas adalah merupakan cita-cita dan wujud dari integritas Pemilu itu sendiri tanpa ada diskriminasi yang didasarkan pada aturan yang ada. Keadaan tersebut mencerminkan betapa tingginya integriras dari proses Pemilu tersebut. Untuk keperluan pendaftaran pemilih agar ke depan menjamin DPT yang akurat, harus diambil sikap mengenai lembaga mana yang memiliki otoritas melakukan pendataan penduduk, dan pada gilirannya data lembaga mana yang akan digunakan sebagai pedoman KPU untuk melakukan pemutakhiran DPT.
Selain itu, KPU perlu membangun sistem informasi daftar pemilih. Sistem informasi daftar pemilih ini memiliki tiga fungsi utama, yaitu pemeliharaan data daftar pemilih, pemutahiran daftar pemilih yang dapat diakses oleh pemilih, dan transfer informasi dari PPS/PPK kepada KPU dan sebaliknya. Untuk tiga fungsi ini diperlukan perangkat lunak dan keras. Penyelenggara Pemilu, KPU dan Bawaslu perlu mengembangkan inovasi kemudahan akses bagi pemilih sesuai dengan karakteristik masyarakat daerah masing-masing.
[1] Ramlan Surbakti, Didik Supriyanto, dan Hasyim Asy’ari, 2011, Meningkatkan Akurasi Daftar Pemilih; Mengatur Kembali Sistem Pemilih Pemutahiran Daftar, Jakarta, hal. 1 -2.
[2] Ramlan Surbakti dalam Tota Pasaribu R dkk, 2018, Penerapan Pemilu Berintegritas Dan Jaminan Kesetaraan Hak Politik Dalam Pendaftaran Pemilih, Jurnal Wacana Politik, Vol. 3, No. 2, Oktober 2018, hal. 122.
[3] Robert A. Dahl dalam Tota Pasaribu R dkk, Ibid, hlm. 122.
[4] Sri Nuryati dalam Luky Sandra Amalia dkk, 2016, Evaluasi Pemilu Legislatif 2014; Analisis Proses dan Hasil, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, hlm. 38.
[5] Ramlan Surbakti, Didik Supriyanto, dan Hasyim Asy’ari, 2011, Op Cit, hlm. 24-25.